T1 312008079 BAB II

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pidana

1. Pengertian Pidana

Belajar hukum pidana tentunya tidak bisa terlepas dari kata “pidana”. Menurut Profesor van Hamel arti dari pidana atau straf (dalam bahasa Belanda) adalah:

“ Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat gehandhaafd rechtsvoorschrift, op den enkelen grond van die overtrading, van wege den staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de rechtsbedeeling belaste gezag uit te spreken.”1

Artinya:

“ Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggungjawab dari ketertiban umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.”

Menurut Profesor Simons, pidana atau straf itu adalah:

“Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtrading van de norm verbonden, data an den schuldige bij rechterlijk vonnis wordt opgelegd”.2

1 P.A.F. Lamintang, Theo Lamintang. Hukum Panitensier Indonesia.: Sinar Grafika, Jakarta 2010,

hlm.33

2 Ibid


(2)

Artinya:

“Suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah”.

Algra-Janssen merumuskan pidana atau straf sebagai berikut:

“Het middle waarmee de overhead (rechter) degene die een ontoelaatbare handeling pleegt terechtwijst of tot de orde roept. Deze reactive van de overhead op zijn handeling ontneemt de gestrafte een deel van de bescherming die hij, als hij geen delict gepleegd zou hebben, genlet t.a.v zijn leven, zijn vrijheid, zijn vermogen”.3

Artinya:

“Alat yang digunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan, dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana”.

Selain ahli hukum Belanda diatas, para ahli hukum pidana Indonesia juga merumuskan pengertian-pengertian pidana antara lain R.Soesilo menggunakan istilah “hukuman” untuk menyebut istilah “pidana”, menyebutkan, bahwa apa yang dimaksud dengan hukuman adalah suatu perasaan yang tidak enak (sengsara) yang dijatuhkan oleh hakim dengan vonis kepada orang yang telah

melanggar undang-undang hukum pidana.4 Sedangkan menurut Moeljatno, istilah

“hukuman” yang berasal dari kata “Straft” dan istilah “dihukum” yang berasal dari perkataan “Wordt Gestraf” merupakan istilah-istilah yang konvensional.

3

ibid hlm.34.


(3)

Dalam hal ini beliau tidak setuju dengan istilah itu dan menggunakan istilah “pidana” untuk menggantikan kata “straf”. Menurut Moeljatno jika “straf” diartikan “hukuman” maka “Strafrechts” seharusnya diartikan “hukum hukuman”. Menurut beliau “dihukum” berarti “diterapi hukum” baik hukum

pidana maupun hukum perdata.5 Sudarto menyatakan secara tradisional, pidana

didefinisikan sebagai nestapa yang dikenakan oleh Negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang, sengaja agar

dirasakan sebagai nestapa.6

Dari pengertian mengenai pidana diatas, dapat diketahui bahwa pidana sebenarnya merupakan suatu penderitaan atau suatu alat belaka untuk membuat pelaku tindak pidana merasakan derita. Penulis menyimpulkan bahwa pidana merupakan suatu penderitaan yang harus diterima pelaku tindak pidana sebagai konsekuensi logis dari tindak pidana yang dilakukan. Pidana dikenakan oleh Negara dan dilaksanakan melalui lembaga yang berwenang.

5

Ibid. hlm.59


(4)

2. Jenis-Jenis Pidana

Jenis-jenis pidana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pada bab II Pasal 10 yang dirumuskan sebagai berikut, Pidana terdiri atas:

a. Pidana pokok:

1. Pidana mati

2. Pidana penjara

3. Pidana kurungan

4. Pidana denda

5. Pidana tutupan.

b. Pidana tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman putusan hakim.

Jenis pidana diatas merupakan jenis pidana positif yang berlaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Selanjutnya pengertian mengenai jenis pidana diatas dapat disimak selengkapnya yaitu sebagai berikut:

a. Pidana Pokok

1. Pidana Mati

Pidana mati dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia menyebutkan bahwa pidana mati selalu diancamkan secara aternatif dengan pidana pokok yang lain, yakni pada umumnya dengan pidana penjara seumur hidup atau dengan pidana penjara sementara selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun. Menurut ketentuan Pasal 11 KUHP, pidana mati itu dilakukan oleh seorang algojo, yang dilaksanakan oleh terpidana di atas tiang gantungan, yakni dengan


(5)

mengikatkan sebuah jerat pada leher terpidana yang terikat pada tiang gantungan tersebut dan kemudian dengan menjatuhkan papan tempat berpijaknya terpidana. Pelaksanaan dari pidana mati itu kemudian dengan Penetapan Presiden (Penpres) tanggal 27 April 1964 Nomor 2 Tahun 1964, Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38, yang kemudian telah menjadi Undang-Undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964 telah diubah, yaitu dengan cara ditembak sampai mati.

2. Pidana Penjara

Pidana penjara sebenarnya adalah pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan yang menyebabkan orang tersebut harus mentaati semua peraturan tata tertip bagi mereka yang telah melanggar. Pidana

penjara juga dikenal sebagai pencabutan atau kehilangan kemerdekaan.7 Pidana

Penjara diatur di dalam Pasal 12 KUHP yaitu:

(1). Pidana penjara ialah seumur hidup dan selama waktu tertentu.,

(2). Pidana selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

(3). Pidana penjara untuk selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut, dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (cocursus), pengulanan (residive) atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a (LN.1958 No.127)

7


(6)

(4). Pidana selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.

Berdasarkan rumusan Pasal 12 diatas maka terlihat bahwa pidana penjara dibagi menjadi pidana seumur hidup dan pidana selama waktu tertentu.

a. Pidana selama watu tertentu

Pidana penjara waktu tertentu paling singkat satu hari dan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut. Pidana penjara untuk selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut, dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu, Pidana waktu tertentu tidak boleh lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

b. Pidana Penjara Seumur Hidup

Mengenai pidana seumur hidup tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai batas waktu menjalani masa pidana. Namun Pidana Penjara Seumur Hidup (pidana seumur hidup) lazim ditafsirkan sebagai pidana sepanjang hidup, yaitu menjalani pidana selama hidupnya. Pengertian ini dapat dilihat dari pendapat Barda Nawawi Arief yang menyatakan bahwa: “Dilihat dari sudut penjatuhan pidana dan juga dari sudut terpidana, pidana seumur hidup itu bersifat pasti (definite sentence) karena si terpidana dikenakan jangka waktu yang pasti (a definite period of time), yaitu menjalani pidana penjara sepanjang hidupnya”.8


(7)

Penulis setuju dengan apa yang dinyatakan dalam pendapat Barda Nawawi Arief tersebut, bahwa pidana seumur hidup adalah pidana sepanjang hidup dan sifat masa pidana seumur hidup ini adalah pasti yaitu selama sisa hidupnya dan dalam waktu yang tidak dapat ditentukan. Pidana seumur hidup dijatuhkan untuk tindak pidana berat misalnya kejahatan terhadap Negara, pembunuhan, kejahatan pelayaran dan tindak pidana lain seperti yang terdapat dalam KUHP tentang delik yang dipidana seumur hidup.

3. Pidana Kurungan

Pidana kurungan diatur khusus pada Pasal 18 KUHP bahwa pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun. Pidana kurungan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi orang-orang yang telah melakukan pelanggaran-pelanggaran sebagaimana diatur dalam Buku ke-III KUHP. Pidana kurungan tidak semata-mata diancamkan bagi pelanggaran-pelanggaran sebab dapat ditemukan dalam kejahatan yang diancam dengan pidana kurungan yaitu secara

alternative dengan pidana penjara.9 Pidana kurungan biasanya dijatuhkan oleh

hakim sebagai pokok pidana atau als pricipale ataupun sebagai pengganti atau als vervangende dari pidana denda.10

9 Lihat Pasal 359 dan 360 KUHP


(8)

4. Pidana denda

Pidana denda adalah hukuman berupa kewajiban seseorang untuk mengembalikan keseimbangan hukum atau menebus dosanya dengan pembayaran

sejumlah uang tertentu.11 Pidana denda diatur dalam Pasal 30 ayat 1 KUHP.

Minimum pidana denda dalam KUHP adalah tiga rupiah tujuh puluh lima sen. Di luar KUHP biasanya ditentukan adakalanya dalam 1 atau 2 pasal bagian terakhir dari undang-undang tersebut untuk norma-norma tindak pidana yang ditentukan dalam pasal yang mendahuluinya.

5. Pidana Tutupan

Pidana Tutupan tidak dijelaskan secara eksplisit dalam KUHP tetapi pidana tutupan dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 Tentang Hukuman Tutupan. Hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasan-asalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan

hukuman penjara oleh KUHP.12 Pidana tutupan ini di tambahkan ke dalam Pasal

10 KUHP melalui UU No. 20 Tahun 1946, sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud

11

Teguh Prasetyo. Hukum Pidana. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.2011.hlm.123.

12 http://hukum.kompasiana.com/ 2012/02/24/pidana-tutupan/ Didownload tanggal 29 Oktober


(9)

yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang merupakan kejahatan itu adalah sedemikian rupa sehingga hakim berpendapat bahwa pidana penjara lebih tepat.

b. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu

Pidana pencabutan hak-hak tertentu dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1) KUHP atau dalam aturan umum lainnya dapat berupa:

a. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu b. hak memasuki Angkatan Bersenjata

c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum

d. hak menjadi penasehat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan, hak menjadi wali, wali pengawas, pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anak sendiri

e. hak orang tua, hak perwalian dan hak pengampuan atas diri dari anak-anaknya sendiri

f. hak untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu.

2. Perampasan barang-barang tertentu

Menurut ketentuan Pasal 39 KUHP barang-barang yang dirampas adalah barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau yang sengaja dipergunakan untuk melakukan kejahatan.


(10)

3. Pengumuman Putusan Hakim

Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim ini berisi suatu penjatuhan pidana bagi seseorang terpidana itu menjadi diketahui orang secara lebih luas dengan tujuan-tujuan tertentu. Menurut Prof.Pompe pengumuman dari putusan hakim dimaksudkan: “Op voorkomen van dergelijke strafbare feiten bij groepegenoten van de schuldige”13. Artinya adalah untuk mencegah agar orang-orang yang segolongan dengan terpidana jangan melakukan tindak pidana yang sama.

B. Pemidanaan

1. Pengertian Pemidanaan

Profesor Sudarto mengatakan bahwa pemidanaan adalah sebagai berikut:

“Perkataan pemidanaan sinonim dengan istilah ‘penghukuman’.

Penghukuman sendiri berasal dari kata ‘hukum’, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (berechten). Menetapkan hukum ini sangat luas artinya, tidak hanya dalam lapangan hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainnya. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana yang kerapkali sinonim dengan pemidanaan atau

pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.”14

Berdasarkan pendapat Sudarto diatas dapat disimpulkan bahwa pemidanaan merupakan penetapan hukuman (pidana) tidak terbatas dalam lingkup hukum pidana saja tetapi juga dalam bidang hukum lainnya.

13 P.A.F Lamintang, Theo Lamintang. Hukum Panitensier Indonesia. Op.cit hlm.128.

14


(11)

Menurut Jan Remmelink pemidanaan adalah pengenaan secara sadar dan matang suatu azab oleh instansi penguasa yang berwenang kepada pelaku yang

bersalah melanggar suatu aturan hukum.15 Selain itu, Jerome Hall memberikan

rincian tentang pemidanaan, adalah bahwa pemidanaan meliputi:

(a). Pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup, (b). Ia memaksa dengan kekerasan,

(c). Ia diberikan atas nama Negara “diotorisasikan”,

(d). Pemidanaan mensyaratkan adanya peraturan-peraturan pelanggaranya dan penentuanya yang diekspresikan di dalam putusan,

(e). Ia diberikan kepada pelanggar yang telah melakukan kejahatan dan ini mensyaratkan adanya sekumpulan nilai-nilai yang beracuan kepadanya, kejahatan dan pemidanaan itu signifikan dalam etika,

(f). Tingkat atau jenis pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan dan diperberat atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian)

si pelanggar, motif dan doronganya.16

Sejalan dengan pendapat Jerome Hall, Ted Honderich merumuskan bahwa pemidanaan harus memuat 3 (tiga) unsur yaitu:

a. Pemidanaan harus mengandung kehilangan (deprivation) atau

kesengsaraan (distrees), yang biasanya dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan pemidanaan. Unsur ini merupakan kerugin atau kejahatan yang diderita oleh subyek yang menjadi korban akibat tindakan subyek lain.

b. Pemidanaan datang dari institusi yang berwenang secara hukum.

Pemidanaan tidak merupakan konsekuensi alamiah dari tindakan melainkan hasil keputusan suatu lembaga yang berkuasa.

c. Penguasa yang berwenang berhak menjatuhkan pidana hanya kepada

subyek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum ataupun

peraturan yang berlaku.17

15 Ibid. hlm.33-34

16 Malina..Hukum Panitensier .Op.cit hlm 34-35 17 Ibid


(12)

Berdasarkan rumusan diatas, secara teoritis pemidanaan harus mencangkup keseluruhan unsur yang terkandung didalamnya. Pemidanaan diberikan oleh Negara melalui institusi atau lembaga yang memiliki otoritas menjatuhkan pidana.

2. Tujuan Pemidanaan a. Teori Retributif

Teori ini merupakan teori klasik mengenai konsep pemidanaan. Teori ini mengandaikan bahwa setiap individu bertanggung jawab atas perbuatanya sendiri. Menurut teori ini seorang pelaku tindak pidana mutlak harus dipidana. Pemidanaan atas perbuatan yang salah adalah adil, karena akan memperbaiki

keseimbangan moral yang rusak akibat kejahatan yang diperbuat.18 Teori ini

memberikan pernyataan bahwa penjatuhan pidana semata-mata karena seseorang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana. Pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Adapun yang menjadi dasar pembenarannya dari

penjatuhan pidana itu terletak pada adanya kejahatan itu sendiri.19 Selama sekian

lama keadaan yang terjadi adalah bahwa suatu kejahatan haruslah disusul dengan pidana tanpa memperdulikan apakah dengan pidana tersebut dapat tercapai suatu

18 Hal senada diutarakan oleh Muladi bahwa tujuan pemidanaan didasarkan pada asumsi dasar,

bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap pengimbangan. Lihat juga Tongat, Op.cit. hlm.71-72


(13)

tujuan atau tidak. Hugo de Groot mengatakan bahwa kita tidak seharusnya menjatuhkan pidana karena seseorang berdosa,akan tetapi untuk mencegah supaya orang jangan berdosa lagi. Menurut Hugo de Groot, pidana dijatuhkan dan

dilaksanakan karena adanya kejahatan.20

Sejalan dengan Hugo de Groot, Imanuel Kant dalam bukunya Metaphysische Anfangsgrunde der Rechtslehre dan Hegel dalam bukunya Grundlinien der Philosophie des Rechts tetap mempertahankan pembalasan sebagai dasar pidana. Kant menilai bahwa terdapat sesuatu dalam pidana yang dinamakan Kategorischen Imperatio, yang berarti seseorang harus dipidana oleh hakim karena ia berbuat jahat. Pidana bukanlah sarana untuk mencapai suatu tujan, akan

tetapi pernyataan dari keadilan.21 Hegel berpendapat bahwa kejahatan akan

diakhiri oleh pidana.

b. Teori Teleologis

Menurut teori ini pidana digunakan sebagai sesuatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai kemanfaatan. Teori ini dimaksudkan sebagai alat pencegahan baik secara umum maupun khusus. Pemidanaan hanya akan dianggap sah apabila terbukti bahwa dijatuhkannya pidana dapat menimbulkan akibat lebih baik. Menurut teori ini penjatuhan pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan. Teori ini lebih menekankan pada sarana untuk

20

J.M. van Bemmelen. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material bagian umum. Binacipta. Bandung. 1987. hlm.26


(14)

melindungi kepentingan masyarakat. Lebih lanjut teori ini menjelaskan bahwa tujuan adanya pidana adalah sebagai berikut:

1. Pencegahan umum (Generals preventif) yaitu bahwa pemerintah berwenang

menjatuhkan pidana, untuk mencegah rakyat umumnya melakukan tindak pidana. Prevensi umum berfungsi untuk menegakkan wibawa pemerintah,

menegakkan norma dan membentuk norma.22

2. Pencegahan khusus (Special preventif) yaitu bahwa pidana adalah

pembenaran yang terpenting dari pidana itu sendiri, bertolak dari pendapat bahwa manusia dalam arti pelaku suatu tindak pidana di kemudian hari akan menahan diri supaya tidak melakukan perbuatan itu lagi karena ia mengalami proses pembelajaran bahwa perbuatanya menimbulkan penderitaan. Sehingga

pidana akan berfungsi mendidik dan memperbaiki.23

3. Fungsi perlindungan (Treatment ) yaitu mengganggap bahwa pemidanaan

sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada perbuatanya. Pemidanaan diberikan untuk member tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) bagi pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman. Hal ini mengingat bahwa pelaku kejahatan dianggap sebagai seorang yang ”sakit” dan perlu mendapat perawatan (treatment) serta

perbaikan (rehabilitation)24

4. Teori Perlindungan Masyarakat (Teory Social Defence)

Tokoh – tokoh dari teori bernama Adolphe Prins (Belgia,1845-1889), Geradus Antonius van Hamel ( Belanda, 1842-1917), dan Franz van Lizt (Jerman, 1851-1919). Menurut mereka, pidana adalah salah satu alat yang paling ampuh untuk memerangi kejahatan. Namun sanksi pidana bukan satu-satunya alat untuk melawan kejahatan, pidana harus dipadukan dengan kebijakan

sosial, khususnya dengan tindakan-tindakan preventif.25

22 Ibid. hlm. 27-28.

23

Marlina, Hukum Panitensier .Op.cit. hlm 58. Lihat juga van Bemmelen, Hukum Pidana 1 Hukum

Pidana Material bagian umum .Op.cit. hlm. 27-28.

24 Ibid. hlm 59. 25 Ibid, hlm. 70.


(15)

c. Teori Retributivisme Teleologis

Teori ini muncul sebagai reaksi dari teori sebelumnya yang kurang dapat memuaskan menjawab mengenai tujuan dari pemidanaan. Tokoh yang menyatakan pendapat pada teori ini adalah Pellegrino Rossi (1787-1848) dalam bukunya Traite de Droit Penal pada tahun 1828. Menurut pendapatnya pembenaran pidana terletak dalam pembalasan. Hanya” yang bersalah” boleh

dipidana dan pidana itu sesuai dengan delik yang dilakukan.26 Salah satu tujuan

pidana meurut Rossi adalah perbaikan tata tertib masyarakat. Jadi pidana harus memberikan manfaat kepada tata tertib masyarakat. Tujuan penting lainya dari pidana menurut Rossi adalah prevensi umum yaitu akibat penting dari pidana adalah pelajaran yang diberikan kepada seluruh rakyat dan menimbulkan rasa

takut, dan perbaikan penjahat.27

Dalam teori gabungan terdapat pergeseran orientasi pemidanaan dari prinsip “menghukum” kearah ide “pembinaan” yang lebih menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Menurut teori ini pemidanaan bersifat plural, karena teori gabungan berusaha ingin memadukan konsep pada teori absolute dan teori relative yaitu penjatuhan pidana harus memberikan efek jera bagi pelakunya namun tetap mendatangkan kemanfaatan baik bagi masyarakat maupun pelaku tindak pidana. Pada prinsipnya teori ini ingin menyeimbangkan antara perlindungan bagi masyarakat dan juga perlindungan bagi individu dalam hal ini

26 Van Bemmelen. Hukum Pidana 1 Hukum Pidana Material bagian umum .Op.cit .hlm. 29. 27 Ibid. hlm. 29-30.


(16)

pelaku tindak pidana. Tujuan pemidanaan sebagai upaya pengimbalan harus diimbang dengan adanya manfaat yang dapat dirasakan dari suatu penjatuhan pidana. Teori retributivisme teleologis sering disebut juga sebagai aliran integrative (Kemanusiaan dalam sistem Pancasila). Pemidanaan dalam hokum pidana saat ini lebih menekankan tujuan pemidanaan dalam prinsip teori gabungan ini. Salah satu hal yang menunjukkan digunakannya teori ini dalam hukum pidana saat ini adalah adanya pergeseran paradigma dikalangan ahli hukum bahwa pemidanaan yang bermula dari sifat menghukum menuju mulai berkembang kearah pembinaan. Hal tersebut dapat dilihat pada sistem pemidanaan yang telah berubah, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sebuah sistem pembinaan (Lembaga Pemasyarakatan).

Dari uraian mengenai teori-teori yang melatarbelakangi tujuan pemidanaan diatas, dapat ditarik kesimpulan diantaranya sebagai berikut: Pada dasarnya terdapat 3 (tiga) pokok pemikiran mengenai tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu: Pertama adalah untuk memperbaiki pribadi dari pelaku tindak pidana itu sendiri, Kedua adalah untuk membuat orang menjadi jera dalam melakukan tindak pidana, dan yang Ketiga adalah untuk membuat pelaku tindak pidana menjadi tidak mampu melakukan tindak pidana

lain, yakni pelaku tindak pidana yang sudah tidak dapat diperbaiki lagi.28 Secara

keseluruhan teori-teori tersebut merupakan spesifikasi dari tujuan yang hendak


(17)

dicapai dengan adanya pidana, yaitu tujuan pemidanaan yang dapat mencakup aspek perlindungan masyarakat dan individu.

d. Tujuan Pemidanaan Menurut Ahli

Tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat diantara para pemikir. Berangkat dari 3 (tiga) teori diatas munculah pendapat-pendapat para ahli hukum di Indonesia tentang tujuan pemidanaan diantaranya pendapat Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa tujuan pemidanaan memuat hal-hal sebagai berikut: Pertama, Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generals preventif) maupun menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (special preventif). Kedua, Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang melakukan kejahatan agar menjadi orang-orang yang baik

tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat.29 Selain Wirjono Prodjodikoro,

pendapat lain dikemukakan pula oleh Muladi. Beliau menerangkan tujuan pemidanaan meliputi: (1). Pencegahan secara umum dan khusus, (2).

Perlindungan masyarakat, (3). Memelihara solidaritas masyarakat,(4).

Pengimbalanatau pengimbangan.30 Menurut Hulsman pidana pada hakikatnya

mempunyai dua tujuan utama, yakni untuk mempengaruhi tingkah laku

29 http://raytama.blogspot.com/2012/02/pengertian jenis-jenis dan tujuan.html. download tanggal

29 Juni 2012 jam 17.00

30 M.Sholehudin,S.H. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track

System&Implementasinya .hlm.50. Lihat juga Tongat. Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia.Op.cit hlm. 108


(18)

(gedragsbeinvloeding) dan penyelesaian konflik (conflictoplossing). Penyelesaian konflik ini dapat terdiri dari perbaikan kerugian yang dialami atau perbaikan hubungan baik yang dirusak atau pengembalian kepercayaan antar sesama

manusia.31 Pada dasarnya pidana itu sendiri mempunyai sifat-sifat yang melekat

di dalamnya. M.Sholehuddin mengemukakan sifat-sifat dari unsur pidana berdasarkan tujuan pemidanaan diantaranya sebagai berikut:

(1). Kemanusiaan, yang berarti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang.

(2). Edukatif, yang berarti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan kejahatan.

(3). Keadilan, yaitu bawa suatu pemidanaan dapat dirasakan adil baik oleh

terhukum maupun oleh korban ataupun masyarakat.32

Berdasarkan uraian mengenai tujuan pemidanaan diatas, Penulis

menyimpulkan bahwa tujuan yang ingin dicapai dari suatu pemidanaan secara garis besar adalah untuk memperbaiki pribadi dan mendidik pelaku kejahatan, sekaligus untuk sarana pencegahan baik secara umum maupun khusus, pemidanaan juga bertujuan meyelesaiakan konflik yang telah ditimbulkan oleh suatu tindak pidana serta untuk memasyarakatkan kembali seorang pelaku tindak pidana agar dapat menjadi pribadi yang beguna dalam masyarakat.

31 Marlina. Hukum Panitensier.PT.Refika Aditama.Bandung.hlm.21.

32 M.Sholehudin,S.H. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track


(19)

e. Tujuan Pemidanaan Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2005 (Konsep)

Selain pendapat para ahli diatas, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru tahun 2005 atau dengan kata lain sering disebut Konsep, pada Pasal 54 ayat 1 merumuskan tujuan pemidanaan yaitu sebagai berikut:

(a). Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dan pengayoman masyarakat,

(b). Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna,

(c). Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, dan,

(d). Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Sedangkan Pasal 54 ayat 2 Konsep juga disebutkan bahwa pemidanaan tidak dimaksudkan menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Dapat disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan berusaha ingin mengakomodasi kedua kepentingan agar dapat tercapai dalam penjatuhan suatu pidana khususnya pidana seumur hidup.

C. Ketentuan Remisi Dalam Peraturan Perundang-undangan

1. Pengertian Remisi

Pengaturan remisi antara lain dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 sebagaimana telah diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Keputusa Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi, Keputusan Menteri


(20)

Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M-03.PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Remisi Bagi Narapidana yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Remisi adalah pengurangan masa pidana yang diberikan kepada Narapidana dan Anak Pidana yang telah

berkelakuan baik selama menjalani pidana.33 Remisi pada hakikatnya merupakan

hak-hak setiap narapidana termasuk narapidana seumur hidup.

2. Jenis-Jenis Remisi

Ada beberapa remisi dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia antara lain:

1. Remisi umum yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan pada hari peringatan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus. 2. Remisi khusus yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan kepada

narapidana dan anak pidana pada Hari Besar Keagamaan yang dianut oleh yang bersangkutan dan dilaksanakan sebanyak-banyaknya I (satu) kali dalam setahun bagi masing-masing agama.

3. Remisi Tambahan yaitu pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana yang berbuat jasa kepada negara, melakukan

perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan atau

melakukanperbuatan yang membantu kegiatan lembaga pemasyarakatan.

Menurut Keppres 174 tahun 1999 besarnya remisi adalah34:

Besarnya remisi umum

a. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan

b. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (duabelas) bulan atau lebih.

33

Pasal 1 ayat (1) Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor : M.09.HN.02.01 Tahun1999 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi


(21)

Pemberian remisi umum dilaksanakan sebagai berikut: a. pada tahun pertama diberikan remisi 1 (satu) bulan b. pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan c. pada tahun ketiga diberikan remisi 4 (empat) bulan

d. pada tahun keempat dan kelima masing-masing diberikan remisi 5 (lima) bulan

e. pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 6 (enam bulan) setiap tahun.

Besarnya remisi khusus adalah:

a. 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan

b. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani pidana selama 12 (dua belas) bulan atau lebih.

Besarnya remisi tambahan adalah:

a. 1/2 (satu perdua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang

bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang berbuat jasa kepada negara atau melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; dan

b. 1/3 (satu pertiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang

bersangkutan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah melakukan perbuatan yang membantu kegiatan pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan sebagai pemuka.

3. Pengurangan Masa Pidana Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara Pidana seumur hidup dapat memperoleh pengurangan pidana (remisi) yaitu dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara. Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 9 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi yang menyatakan :


(22)

(1) Narapidana yang dikenakan pidana penjara seumur hidup dan telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-turut serta berkelakuan baik, dapat diubah pidananya menjadi pidana penjara sementara, dengan lama sisa pidana yang masih harus dijalani paling lama 15 (lima belas) tahun.

(2) Perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(3) Permohonan perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara

sementara diajukan oleh Narapidana yang bersangkutan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

(4) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan perubahan pidana seumur

hidup menjadi pidana sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan.

Selanjutnya tata cara pengajuan permohonan remisi pidana seumur hidup menjadi pidana sementara diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M-03.PS.01.04 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pengajuan Remisi Bagi Narapidana yang Menjalani Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Tata cara pengajuan remisi yang dimaksud adalah sebagai berikut: Bahwa narapidana atau pihak lain yang diberi kuasa dapat membuat permohonan remisi yang ditujukan kepada Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM paling lambat 4 (empat) bulan sebelum tanggal 17 Agustus tahun yang berjalan. Permohonan hanya dapat diajukan apabila narapidana telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun dan berkelakuan baik sejak penahanan. Surat pengajuan permohonan diserahkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas)nuntuk dikoordinasikan dengan Tim Pengamat Pemasyarakatan (TPP) Daerah guna membahas permohonan beserta data pendukung narapidana yang bersangkutan.


(23)

Data pendukung tersebut meliputi:

a. Salinan (Daftar F) yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang

dilakukan narapidana selama 5 (lima) tahun menjalani pidana yang dibuat oleh Kepala Lapas.

b. Salinan vonis atau fotokopi yang disahkan oleh Kepala Lapas

c. Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) dari Balai Pemasyarakatan

(Bapas)

d. Fotocopi Kartu Pembinaan

e. Surat kuasa apabila permohonan dibuat oleh pihak lain selaku kuasa

narapidana

Setelah Kepala Lapas melakukan siding dengan TPP Daerah maka dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan, segera meneruskan permohonan beserta data pendukung dan hasil siding TPP Daerah kepada Kepala Kantor Wilayah (Kanwil). Dalam hal Kepala Kanwil menyetujui usul Kepala Lapas, maka dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul tersebut segera meneruskan kepada Direktur Jendral (Dirjen) Pemasyarakatan lengkap dengan data pendukung dan hasil siding TPP Wilayah. Dalam hal Dirjen Pemasyarakatan menyetujui usul tersebut, Dirjen Pemasyarakatan segera meneruskan usul tersebut kepada Menteri. Selanjutnya Menteri segera meneruskan permohonan tersebut kepada Presiden. Keputusan Presiden tentang pemberian remisi bagi narapidana yang menjalani pidana seumur hidup menjadi pidana sementara diterima oleh Menteri dan salinannya disampaikan kepada:

1. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

2. Direktur Jenderal Kehakiman dan Hak Asasi Manusia

3. Kepala Kantor Wilayah


(24)

5. Kepala Lapas tempat narapidana menjalani pidana

6. Hakim Pengawas dan Pengamat yang bersangkutan

Dalam hal narapidana yang telah mendapat remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara maka remisi selanjutnya dapat diajukan sesuai dalam

ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi.35

D. Pemasyarakatan Dalam Peraturan Perundang-undangan 1. Pengertian Pemasyarakatan

Pemasyarakatan diatur pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yaitu “Kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”. Dalam melaksanakan pemasyarakatan, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu:

(a). Bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat pengayoman dan pembinaan bukan pembalasan dan penjaraan,

(b). Bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga (intramural dan extramural),

(c). Proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi, keterpaduan dari petugas pemasyarakatan pada narapidana dan anak didik pemasyarakatan serta

anggota masyarakat umum.36

35 Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi 36 Marlina, Hukum Panitensier . Op.cit. hlm.124-125


(25)

2. Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Konsep Pemasyarakatan di Indonesia mulanya diperkenalkan oleh Dr. Sahardjo pada tahun 1963 yaitu dengan pendapatnya yang berbunyi:

“ Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehinnga akan menjadi Kaula yang berfaedah didalam masyarakat

Indonesia”.37

Konsep ini sebenarnya ditujukan untuk menggantikan konsep penjara yang dibawa pemerintahan Belanda saat itu yaitu Ordonnantie op de Voorwaardelijke Invrijheodstelling (Stb 1917-749 tanggal 27 Desember 1917 jo stb.1926-488), Gestichten Reglement (Stb.1917-708 tanggal 10 Desember 1917), Dwangopvoeding Regeling (Stb.1917-741 tanggal 12 Desember 1917) dan Uitvoeringordonnantie op de Voorwaardelijke veroordeeling (Stb.1926-487 tanggal 16 November 1926) dan kesemuanya dianggap tidak sesuai lagi dengan

kondisi dan norma masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan.38

Pemasyarakatan dimulai dengan adanya sistem kepenjaraan yang dahulu diterapkan dalam hukum pidana termasuk di Indonesia pada waktu itu. Pelopor pembaharu terbesar di bidang kepenjaraan dan pembinaan narapidana adalah seorang dari Inggris bernama John Howard. Melalui karyanya yang terkenal berjudul The State Of The Prison In England&Wales (Warrington 1777) dapat

37 Jhon Howard, Dasar-Dasar Penologi Usaha Pembaharuan Sistim Kependjaraan dan Pembinaan

Narapidana, Alumni, Bandung,1972.hlm. 87.


(26)

dijadikan bahan penting bagi studi Penologi sehingga dapat manjadi dasar-dasar

studi sistem Pemasyarakatan di berbagai Negara termasuk di Indonesia.39

3. Tujuan Pemasyarakatan

Dalam pandangan teoretis konsep pemasyarakatan pada dasarnya merupakan suatu konsep resosialisasi yaitu memasyarakatkan kembali para narapidana sehingga menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna atau “healty reentry into the community”.40 Pertanyaannya apakah konsep pemasyarakatan sama dengan teori resosialisasi? Mengutip pernyataan Kepala Jawatan Kepenjaraan Soedarman Gandasoebrata pada tahun 1962 pada dasarnya tidaklah berbeda. Teori resosialisasi sebagai tujuan pemidanaan pada dasarnyanmerupakan suatu konsep yang melihat bahwa pemidanaan dengan cara desosialisasi, yaitu memisahkan pelaku dari kehidupan social masyarakat dan membatasnya untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat, pada dasarnya dapat menghancurkan pelaku. Punishment should help the delinquent to overcome his social mal-adjusment.41 Menurut Velinka dan Ute resosialisasi adalah proses yang mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan kebutuhan sosialnya. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan untuk bersosialisasi dan

berinteraksi dengan lingkungan masyarakat.42

39

Ibid.

40 Ibid.

41 Ibid hlm.126-127 42 Ibid.hlm 127


(27)

4. Sistem Pemasyarakatan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Sistem Pemasyarakatan menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yaitu:

“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab”.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Pemasyarakatan ada 3 (tiga) unsur yang terkandung di dalamnya yaitu Pembina (personil atau staf lembaga pemasyarakatan), yang dibina (narapidana) dan masyarakat. Selain sebagai sarana pembinaan, sistem pemasyarakatan diharapkan mampu menjalankan fungsinya secara konsisten dan berkelanjutan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan bahwa Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Dalam menerapkan pembinaan pemasyarakatan sesuai Pasal 5 Undang-Undang Pemasyarakatan Sistem Pembinaan Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

(a). Pengayoman, (b). Persamaan, (c). Pendidikan, (d). Pembimbingan,


(28)

(e). Penghormatan harkat dan martabat manusia,

(f). Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan

(g).Terjaminya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Pelaksanaan proses pembinaan dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan perlu dilandasi asas-asas tersbut karena pada prinsipnya seorang narapidana yang di pidana penjara nantinya diupayakan untuk dapat kembali ke dalam masyarakat dan menjadi warga Negara yang dapat berperan aktif dan bertanggungjawab. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep atau ide pemasyarakatan di Indonesia sebenarnya bukan hal baru lagi dalam hukum pidana di Indonesia, tetapi pelaksanaanya baru dapat dilakukan secara maksimal setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Kini sistem pemasyarakatan menjadi hal yang sangat penting dalam pelaksanaan proses pembinaan narapidana di Indonesia.


(1)

Data pendukung tersebut meliputi:

a. Salinan (Daftar F) yang memuat tentang pelanggaran tata tertib yang dilakukan narapidana selama 5 (lima) tahun menjalani pidana yang dibuat oleh Kepala Lapas.

b. Salinan vonis atau fotokopi yang disahkan oleh Kepala Lapas

c. Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) dari Balai Pemasyarakatan (Bapas)

d. Fotocopi Kartu Pembinaan

e. Surat kuasa apabila permohonan dibuat oleh pihak lain selaku kuasa narapidana

Setelah Kepala Lapas melakukan siding dengan TPP Daerah maka dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan, segera meneruskan permohonan beserta data pendukung dan hasil siding TPP Daerah kepada Kepala Kantor Wilayah (Kanwil). Dalam hal Kepala Kanwil menyetujui usul Kepala Lapas, maka dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya usul tersebut segera meneruskan kepada Direktur Jendral (Dirjen) Pemasyarakatan lengkap dengan data pendukung dan hasil siding TPP Wilayah. Dalam hal Dirjen Pemasyarakatan menyetujui usul tersebut, Dirjen Pemasyarakatan segera meneruskan usul tersebut kepada Menteri. Selanjutnya Menteri segera meneruskan permohonan tersebut kepada Presiden. Keputusan Presiden tentang pemberian remisi bagi narapidana yang menjalani pidana seumur hidup menjadi pidana sementara diterima oleh Menteri dan salinannya disampaikan kepada:

1. Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia

2. Direktur Jenderal Kehakiman dan Hak Asasi Manusia 3. Kepala Kantor Wilayah


(2)

5. Kepala Lapas tempat narapidana menjalani pidana 6. Hakim Pengawas dan Pengamat yang bersangkutan

Dalam hal narapidana yang telah mendapat remisi dari pidana seumur hidup menjadi pidana sementara maka remisi selanjutnya dapat diajukan sesuai dalam ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi.35

D. Pemasyarakatan Dalam Peraturan Perundang-undangan 1. Pengertian Pemasyarakatan

Pemasyarakatan diatur pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yaitu “Kegiatan untuk melakukan pembinaan warga binaan pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana”. Dalam melaksanakan pemasyarakatan, terdapat tiga hal yang harus diperhatikan yaitu:

(a). Bahwa proses pemasyarakatan diatur dan dikelola dengan semangat pengayoman dan pembinaan bukan pembalasan dan penjaraan,

(b). Bahwa proses pemasyarakatan mencakup pembinaan narapidana di dalam dan di luar lembaga (intramural dan extramural),

(c). Proses pemasyarakatan memerlukan partisipasi, keterpaduan dari petugas pemasyarakatan pada narapidana dan anak didik pemasyarakatan serta anggota masyarakat umum.36

35 Pasal 1 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 Tahun 1999 tentang Remisi 36 Marlina, Hukum Panitensier . Op.cit. hlm.124-125


(3)

2. Sejarah Singkat Pemasyarakatan

Konsep Pemasyarakatan di Indonesia mulanya diperkenalkan oleh Dr. Sahardjo pada tahun 1963 yaitu dengan pendapatnya yang berbunyi:

“ Dengan singkat tujuan pidana penjara ialah pemasyarakatan yang mengandung makna bahwa tidak hanya masyarakat yang diayomi terhadap diulanginya perbuatan jahat oleh terpidana, melainkan juga orang-orang yang menurut Sahardjo telah tersesat diayomi oleh pohon beringin dan diberikan bekal hidup sehinnga akan menjadi Kaula yang berfaedah didalam masyarakat Indonesia”.37

Konsep ini sebenarnya ditujukan untuk menggantikan konsep penjara yang dibawa pemerintahan Belanda saat itu yaitu Ordonnantie op de Voorwaardelijke Invrijheodstelling (Stb 1917-749 tanggal 27 Desember 1917 jo stb.1926-488), Gestichten Reglement (Stb.1917-708 tanggal 10 Desember 1917), Dwangopvoeding Regeling (Stb.1917-741 tanggal 12 Desember 1917) dan Uitvoeringordonnantie op de Voorwaardelijke veroordeeling (Stb.1926-487 tanggal 16 November 1926) dan kesemuanya dianggap tidak sesuai lagi dengan kondisi dan norma masyarakat Indonesia pasca kemerdekaan.38

Pemasyarakatan dimulai dengan adanya sistem kepenjaraan yang dahulu diterapkan dalam hukum pidana termasuk di Indonesia pada waktu itu. Pelopor pembaharu terbesar di bidang kepenjaraan dan pembinaan narapidana adalah seorang dari Inggris bernama John Howard. Melalui karyanya yang terkenal berjudul The State Of The Prison In England&Wales (Warrington 1777) dapat

37 Jhon Howard, Dasar-Dasar Penologi Usaha Pembaharuan Sistim Kependjaraan dan Pembinaan

Narapidana, Alumni, Bandung,1972.hlm. 87.


(4)

dijadikan bahan penting bagi studi Penologi sehingga dapat manjadi dasar-dasar studi sistem Pemasyarakatan di berbagai Negara termasuk di Indonesia.39

3. Tujuan Pemasyarakatan

Dalam pandangan teoretis konsep pemasyarakatan pada dasarnya merupakan suatu konsep resosialisasi yaitu memasyarakatkan kembali para narapidana sehingga menjadi warga masyarakat yang baik dan berguna atau “healty reentry into the community”.40 Pertanyaannya apakah konsep pemasyarakatan sama dengan teori resosialisasi? Mengutip pernyataan Kepala Jawatan Kepenjaraan Soedarman Gandasoebrata pada tahun 1962 pada dasarnya tidaklah berbeda. Teori resosialisasi sebagai tujuan pemidanaan pada dasarnyanmerupakan suatu konsep yang melihat bahwa pemidanaan dengan cara desosialisasi, yaitu memisahkan pelaku dari kehidupan social masyarakat dan membatasnya untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat, pada dasarnya dapat menghancurkan pelaku. Punishment should help the delinquent to overcome his social mal-adjusment.41 Menurut Velinka dan Ute resosialisasi adalah proses yang mengakomodasi dan memenuhi kebutuhan pelaku tindak pidana akan kebutuhan sosialnya. Kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan masyarakat.42

39

Ibid.

40 Ibid.

41 Ibid hlm.126-127 42 Ibid.hlm 127


(5)

4. Sistem Pemasyarakatan Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan

Sistem Pemasyarakatan menurut Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yaitu:

“Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggungjawab”.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Pemasyarakatan ada 3 (tiga) unsur yang terkandung di dalamnya yaitu Pembina (personil atau staf lembaga pemasyarakatan), yang dibina (narapidana) dan masyarakat. Selain sebagai sarana pembinaan, sistem pemasyarakatan diharapkan mampu menjalankan fungsinya secara konsisten dan berkelanjutan. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 menyebutkan bahwa Sistem pemasyarakatan berfungsi menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggungjawab. Dalam menerapkan pembinaan pemasyarakatan sesuai Pasal 5 Undang-Undang Pemasyarakatan Sistem Pembinaan Pemasyarakatan dilaksanakan berdasarkan asas:

(a). Pengayoman, (b). Persamaan, (c). Pendidikan, (d). Pembimbingan,


(6)

(e). Penghormatan harkat dan martabat manusia,

(f). Kehilangan kemerdekaan merupakan satu-satunya penderitaan dan

(g).Terjaminya hak untuk tetap berhubungan dengan keluarga dan orang-orang tertentu.

Pelaksanaan proses pembinaan dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan perlu dilandasi asas-asas tersbut karena pada prinsipnya seorang narapidana yang di pidana penjara nantinya diupayakan untuk dapat kembali ke dalam masyarakat dan menjadi warga Negara yang dapat berperan aktif dan bertanggungjawab. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa konsep atau ide pemasyarakatan di Indonesia sebenarnya bukan hal baru lagi dalam hukum pidana di Indonesia, tetapi pelaksanaanya baru dapat dilakukan secara maksimal setelah terbentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan. Kini sistem pemasyarakatan menjadi hal yang sangat penting dalam pelaksanaan proses pembinaan narapidana di Indonesia.