PERBEDAAN SKALA NYERI SEBELUM DAN SESUDA

KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai salah satu syarat

dalam memperoleh gelar Diploma III Fisioterapi

Oleh : TJELSE PUTRI PERZIA

NIM : 1411401080

PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FORT DE KOCK BUKITTINGGI TAHUN 2017

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN FORT DE KOCK PROGRAM STUDI DIPLOMA III FISIOTERAPI KTI, AGUSTUS 2017 TJELSE PUTRI PERZIA PERBEDAAN SKALA NYERI SEBELUM DAN SESUDAH PEMBERIAN TRANSVERSE FRICTION DAN KINESIOTAPING PADA KASUS PLANTAR FASCITIS DI RAMAYANA BUKITTINGGI TAHUN 2017

VII BAB + 65 halaman + 5 tabel + 6 gambar + 2 bagan + 8 Lampiran

ABSTRAK

Plantar Fascitis adalah suatu peradangan pada plantar fascia yang disebabkan oleh penguluran yang berlebihan pada plantar fascia yang dapat mengakibatkan kerobekan kemudian timbul iritasi pada plantar fascia. Plantar fascitis disebabkan oleh faktor anatomi seperti arcus yang rendah dan arcus yang tinggi serta obesitas, faktor biomekanik seperti tightness pada tendon achilles, kelemahan fleksor plantar fascia dan faktor lingkungan seperti trauma dan aktivitas yang berlebihan. Di Indonesia angka kejadian Plantar Fascitis setiap tahunnya meningkat 25%. Pada tahun 2012 didapatkan data 220.000 kasus setiap tahunnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping pada penderita Plantar Fascitis di Ramayana Kota Bukittinggi tahun 2017.

Jenis penelitian ini adalah Quasi Eksperimen dengan rancangan test dalam satu kelompok (One-Group pretest-postest). Penelitian telah dilakukan pada 9 Agustus- 23 Agustus 2017. Dengan jumlah populasi 78 orang karyawan wanita di Ramayana Bukittinggi. Teknik Sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah Purposive Sampling sehingga didapatkan sampel sebanyak

10 orang karyawan wanita Ramayana penderita Plantar Fascitis. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan melalui observasi yaitu pengukuran nyeri responden dengan mengunakan uji t-dependen test.

Hasil menunjukkan rata-rata sebelum dilakukan pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping adalah 6.30 dan hasil rata-rata sesudah pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping adalah 5.00. Data dianalisis dengan menggunakan uji statistik test dependen dengan nilai signifikan a = 0,05. Hasil bivariat di dapatkan p value 0,004. Menunjukkan bahwa ada perbedaan penurunan nyeri pada kasus Plantar Fascitis sebelum dan sesudah diberikan Transverse Friction dan Kinesiotaping.

Dari hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping dapat menurunkan nyeri pada penderita Plantar Fascitis oleh karena pemakaian sepatu hak tinggi (High Heels). Maka Dari hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping dapat menurunkan nyeri pada penderita Plantar Fascitis oleh karena pemakaian sepatu hak tinggi (High Heels). Maka

Kata Kunci

: Plantar Fascitis, Transverse Friction, Kinesiotaping

Daftar Bacaan : 23 (2001-2016)

FORT DE KOCK HEALTH SCIENCE COLLEGE BUKITTINGGI DEPARTEMENT OF PHYSIOTHERAPY SCIENTIFIC WRITING, AUGUST 2017 TJELSE PUTRI PERZIA THE DIFFERENT OF SCALE PAIN BEFORE AND AFTER GIVING TRANSVERSE FRICTION AND KINESIOTAPING AT PLANTAR FASCITIS CASE IN RAMAYANA BUKITTINGGI ON 2017

VII chapter + 65 pages + 5 tables + 6 images + 2 charts + 8 appendixes

ABSTRAK

Plantar Fascitis is an inflammation in plantar fascia that caused by overstretch of plantar fascia resulted in scrap and inflammation in plantar fascia. Plantar fascitis caused by anatomi factor like lower arcus and higher arcus and obesity, biomekanic factor like tightness on achilles, weakness of fleksor plantar fascia and environment factor like trauma and overuse. In Indonesia, the amount people who get plantar fascitis increase 25% in a year. At 2012, its about 220.000 cases each year. The goal of this research is to know the different of scale pain before and after giving Transverse Friction and Kinesiotaping at Plantar Fascitis case in Ramayana Bukittinggi on 2017.

This is a Quasi Eksperimen research where the test is done in group (One-Group pretest-postest). The research had done at 9 August- 23 August 2017. There are 78 population. The sampling technique that is used is Purposive

Sampling so there are 10 samples, they are Ramayana’s employee who suffer Plantar Fascitis. The data is collected through observation by measuring the pain in the sample through dependent test.

Based on research, it is known that most of the pain before giving Transverse Friction and Kinesiotaping is 6.30 and after giving Transverse Friction and Kinesiotaping is 5.00. Data were analyzed by using dependent test statistic with significant value of a = 0,05. The result of bivariate is p value 0,004. Indicates that there is a difference before and after giving Transverse Friction and Kinesiotaping at plantar fascitis case in Ramayana Bukittinggi on 2017.

From the results of the study, the researchers concluded that giving Transverse Friction and Kinesiotaping can reduce pain in Plantar Fascitis sufferers because of the use of high heels (High Heels). It is suggested to Plantar Fascitis sufferers to be able to perform Transverse Friction independently.

Keyword

: Plantar Fascitis, Transverse Friction, Kinesiotaping

Bibliography : 23 (2001-2016)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb

Alhamdulillah, dengan mengucapkan puji dan syukur yang sebesar-besarnya kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan petunjuknya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

Judul Karya Tulis Ilmiah ini “Perbedaan Skala Nyeri Sebelum dan Sesudah Pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping pada Kasus Plantar Fascitis di

Ramayana Bukittinggi Tahun 201 7” yang merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Program Pendidikan DIII Fisioterapi STIKes Fort De Kock Bukittinggi.

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapatkan bimbingan, arahan, dan dukungan dari Pembimbing I Ns. Lydia Mardison, M. Kes dan Penguji Oktavianis, S.ST, M. Biomed Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan tak terhingga, kepada yang terhormat :

1. Ibu Nurhayati, M.Biomed selaku Ketua STIKes Fort De Kock Bukittinggi yang telah

memberikan fasilitas sarana dan prasarana kepada penulis selama perkuliahan. 2. Ibu Yelva febriani SST. FT, M. Kes selaku ketua program studi DIII Fisioterapi STIKes

Fort de Kock sekaligus sebagai Pembimbing II. 3. Ibu Rici selaku Manager/ Supervisor Ramayana Bukittinggi yang telah mengizinkan

dan memberikan bantuan kepada penulis dalam pengambilan data awal.

4. Staf Dosen Pengajar Program Studi D III Fisioterapi STIKes Fort De Kock Bukittinggi yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bantuan kepada penulis selama perkuliahan.

5. Teristimewa kepada keluarga tercinta yang telah begitu sabar membantu, berkorban, memberi dorongan, motivasi dan semangat bagi penulis baik moril maupun materil serta doa yang tulus dan kasih sayang.

6. Rekan rekan Program Studi D III Fisioterapi yang senangtiasa selalu bersama di saat saat sulit dan penuh perjuangan.

Penulis menyadari bahwa Karya Tulis Ilmiah ini belum sempurna. Oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan dan kesempurnaannya. Semoga Karya Tulis Ilmiah ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.

Bukittinggi, September 2017

Penulis

(Tjelse Putri Perzia)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

2.1 Otot-otot pada Kaki.................................................................................13

3.1 Kerangka konsep .................................................................................. 35

5.1 Distribusi rata-rata intensitas nyeri sebelum intervensi. ......................... 50

5.2 Distribusi rata-rata intensitas nyeri sesudah intervensi. ......................... 51

5.3 Perbedaan intensitas nyeri sebelum dan sesudah . ................................. 52

DAFTAR BAGAN

Bagan Halaman

2.1 Kerangka berpikir ................................................................................... 39

3.1 Kerangka konsep .................................................................................... 40

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Permohonan menjadi responden

2. Format Persetujuan

3. SOP Penelitian

4. Surat Balasan Penelitian

5. Surat Keterangan Validasi Data

6. Lembar Observasi

7. Hasil Output Data

8. Dokumentasi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

WHO (2012), sehat adalah suatu keadaan yang sempurna baik fisik, mental dan sosial tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan. Undang- undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan memperhatikan upaya kesehatan kerja sangat penting untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan, serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan. Kesehatan kerja diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab XII yang terdiri dari Pasal 164 sampai dengan Pasal 166. Kesehatan kerja dimaksud berlaku bagi setiap orang selain pekerja yang berada di lingkungan tempat kerja.

Dewasa ini, dunia mode atau fashion tidak dapat dipungkiri sudah berkembang dengan sangat cepat. Meskipun fashion tidak selalu memberikan dampak positif bagi pemakainya, namun tidak sedikit wanita yang rela mengabaikan dampak negatif dari fashion. Faktor kesehatan adalah salah satu yang sering terabaikan oleh penggiat fashion. Contoh yang sering kita jumpai adalah wanita pengguna sepatu hak tinggi (High Heels).

High-heeled footwear membuat posisi kaki menukik ke depan dan membuat posisi ibu jari dan jari-jari kaki menghadap atas. Dengan posisi High-heeled footwear membuat posisi kaki menukik ke depan dan membuat posisi ibu jari dan jari-jari kaki menghadap atas. Dengan posisi

Masalah lain yang timbul berupa gangguan postur, serta yang paling umum terjadi adalah timbulnya rasa nyeri di kaki. Penelitian yang dilakukan Defour, et al (2009) menyimpulkan bahwa 29% dari 1901 orang wanita di Framingham Foot Study mengalami nyeri pada tumit (Heel Pain) dan nyeri pada permukaan bawah kaki (Arc Pain) dikarenakan oleh pemakaian sepatu dengan hak tinggi (High heels) selama lebih dari 5 tahun. Pada pengguna high heels, keluhan nyeri yang paling sering terjadi adalah nyeri di bagian bawah kaki atau plantar fascitis (Zidni, 2014).

Plantar Fascitis adalah peradangan dan atau degenerasi jaringan collagen dari plantar fascia yang membujur sepanjang kaki bagian bawah. Kondisi plantar fascitis dapat menyebabkan gangguan yang serius. Terlebih untuk wanita yang memiliki mobilitas tinggi. Maka diperlukan penanganan yang tepat pada kasus plantar fascitis. Karena jika dibiarkan akan terjadi gangguan musculoskeletal lebih lanjut (Zidni, 2014).

Tempat kerja sebagaimana disebut di atas yaitu Mall dengan salah satu jenis pegawainya adalah Sales Promotion Girl (SPG) yaitu salah satu pekerjaan yang muncul akibat menjamurnya mall mall di kota besar. Seorang SPG harus bekerja kurang lebih selama minimal 6 jam berdiri menonjolkan penampilan lebih menarik yaitu dengan penggunaan sepatu high heels. SPG sering mengalami nyeri di sekitar daerah tumitnya dan mengalami penurunan pada Tempat kerja sebagaimana disebut di atas yaitu Mall dengan salah satu jenis pegawainya adalah Sales Promotion Girl (SPG) yaitu salah satu pekerjaan yang muncul akibat menjamurnya mall mall di kota besar. Seorang SPG harus bekerja kurang lebih selama minimal 6 jam berdiri menonjolkan penampilan lebih menarik yaitu dengan penggunaan sepatu high heels. SPG sering mengalami nyeri di sekitar daerah tumitnya dan mengalami penurunan pada

Plantar fasciitis adalah penyakit umum yang biasa ditemukan pada masyarakat, dari populasi Australia 33,4% nya mengeluhkan nyeri pada tumit (Ameer& Nadien, 2012).

Di Indonesia angka kejadian plantar fasciitis setiap tahunnya meningkat 25%. Pada tahun 2012 didapatkan data 220.000 kasus setiap tahunnya. Di Sumatera Barat sendiri berdasarkan observasi awal di Mall Ramayana kota Bukittinggi ada 15 orang karyawan yang mengalami nyeri tumit. Kondisi karyawan yang mengalami nyeri tumit sampai saat ini tidak ada perubahan, mereka masih saja bekerja dengan jam yang sama, tetapi mengkondisikan pemakaian High Heels tersebut. Apabila mereka merasa nyeri tumit di jam kerja, maka karyawan dengan spontan membuka High Heels tersebut.

Saat ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi cedera pada tumit meliputi obat, fisioterapi, dan terapi manual. Terapi manual merupakan pemberian manipulasi yang memiliki tujuan untuk memfasilitasi proses penyembuhan alami tubuh. Ada banyak ragam terapi seperti: terapi masase, osteopathic, akupuntur, circulo massage, ayurveda, reflexology, rofling, dan sport massage (Novita Intan Arovah, 2010). Banyaknya keluhan nyeri tumit yang diderita pasient salah satunya di physical therapy clinic (PTC), dalam Saat ini ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi cedera pada tumit meliputi obat, fisioterapi, dan terapi manual. Terapi manual merupakan pemberian manipulasi yang memiliki tujuan untuk memfasilitasi proses penyembuhan alami tubuh. Ada banyak ragam terapi seperti: terapi masase, osteopathic, akupuntur, circulo massage, ayurveda, reflexology, rofling, dan sport massage (Novita Intan Arovah, 2010). Banyaknya keluhan nyeri tumit yang diderita pasient salah satunya di physical therapy clinic (PTC), dalam

Fisioterapi adalah bentuk pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada individu atau kelompok untuk mengembangkan, memelihara dan memulihkan gerak dan fungsi tubuh sepanjang daur kehidupan dengan menggunakan penanganan secara manual, peningkatan gerak, peralatan (fisik, elektroterapeutik dan mekanis), pelatihan fungsi, komunikasi (Kep.Men.Kes 1363/2008). Fisioterapi baik secara manual ataupun dengan penggunaan alat guna dapat diaplikasikan pada pasient salah satu penanganannya bisa diaplikasikan pada kasus plantar fasciitis.

Pada kasus ini dan untuk mendukung proses penelitian, penulis menggunakan modalitas Kinesiotaping dan Transverse Friction.

Transverse Friction yaitu suatu teknik manipulasi yang bertujuan untuk memperbaiki sirkulasi darah, menurun-kan rasa nyeri secara langsung, melepas perlengketan jaringan atau mencegah pemben-tukan jaringan abnormal pada jaringan lunak dengan memberi penekanan secara menyilang dengan ibu jari atau jari telunjuk pada jaringan lunak yang cedera (Partono, 2006).

Kinesiotaping adalah suatu modalitas yang menunjukkan kemanjurannya melalui aktivasi saraf dan sistem sirkulasi darah, metode ini pada dasarnya berasal dari ilmu kinesiologi, mengakui pentingnya tubuh dan gerakan otot dalam rehabilitasi dan kehidupan sehari-hari. Kinesiotaping juga berfungsi untuk menjaga kestabi lan pada otot. Maka nama “kinesio” digunakan. Fungsi otot tidak hanya untuk gerakan tubuh, tetapi juga mengontrol peredaran vena dan aliran getah bening. Oleh karena itu, kegagalan otot berfungsi dengan baik menyebabkan berbagai macam penyakit kesehatan (Nugroho, 2013).

Zidni (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Penambahan Kinesiotaping pada Perlakuan Myosfascial Release Technique Lebih Baik

dalam Menurunkan Nyeri Fungsional pada Plantar Fasciitis oleh Karena Pemakaian Sepatu Hak Tinggi (High Hels) ” di Praktek Fisioterapi Sidhi Medika Canggu Badung mengatakan bahwa penggunaan Kinesiotaping dapat menurunkan nyeri fungsional pada Plantar Fasciitis oleh karena penggunaan sepatu hak tinggi (High Heels).

Pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping dilakukan secara sejalan kepada penderita yang mengalami keluhan nyeri pada daerah tumit, dengan demikian kita dapat mengetahui apakah ada perubahan atau penurunan nyeri pada kasus Plantar Fasciitis dan peneliti akan menggunakan Verbal Analog Scale (VAS) untuk mengukur tingkat nyeri yang dirasakan.

Berdasarkan pembahasan dari beberapa sumber diatas maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan menggunakan intervensi Transverse

Friction dan Kinesiotaping, karena lebih efektif dalam mengurangi nyeri pada Plantar Fasciitis dan peneliti akan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS) untuk mengukur tingkat nyeri yang dirasakan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang ada pada kasus Plantar Fasciitis dalam kaitannya dengan gangguan, maka rumusan masalah penelitian ini adalah apakah intervensi Transverse Friction dan Kinesiotaping dapat mempengaruhi penurunan nyeri pada kasus Plantar Fasciitis ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Diketahui perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah pemberian

Transverse Friction dan Kinesiotaping pada penderita Plantar Fasciitis.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahui rata-rata nyeri sebelum pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping pada kondisi Plantar Fasciits.

b. Diketahui rata-rata nyeri sesudah pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping pada kondisi Plantar Fasciitis.

c. Diketahui perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping pada kondisi Plantar Fasciitis.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Penulis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperdalam dan memperluas

wawasan dan pengetahuan penulis pada kondisi Plantar Fasciitis.

2. Bagi Pendidikan Dapat bermanfaat bagi dunia pendidikan untuk lebih mengembangkan

ilmu pengetahuan, pengalaman dan menyebar luaskan ilmu mengenai kasus Plantar Fasciitis

3. Bagi Institusi Rumah Sakit Dapat bermanfaat bagi institusi-institusi kesehatan khususnya bagi

fisioterapi agar dapat lebih mengenali dan menambah pengetahuan tentang kasus Plantar Fasciitis sehingga dalam penanganannya dapat ditangani secara optimal dan tepat.

4. Bagi Pembaca Diharapkan dapat menambah wawasan pembaca tentang kondisi

penderita Plantar Fasciitis serta mengetahui cara penatalaksaan fisioterapi pada kondisi penderita Plantar Fasciitis.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas tentang perbedaan skala nyeri sebelum dan sesudah pemberian Transverse Friction dan Kinesiotaping pada kasus Plantar

Fasciitis. Variabel penelitian meliputi Transverse Friction dan Kinesiotaping sebagai variabel independen dan Plantar Fasciitis sebagai variabel dependen.

Jenis Penelitian Eksperimen semu (Quasi Eksperiment) dengan metode rancangan rangkaian waktu (Times Seri Design). Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus 2017 di Ramayana Bukittinggi, penelitian ini dilakukan untuk memenuhi syarat awal dalam menyelesaikan tugas akhir Diploma III Fisioterapi, penelitian ini ditujukan kepada pasient yang memiliki keluhan nyeri dibagian tumit dan bersedia untuk menjadi responden, teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampel yaitu dengan cara mengambil semua anggota populasi. Jumlah sampel yaitu 10 orang karyawan wanita di Ramayana Bukittinggi. Dengan uji T paired sampel T test (Dependent) / dua rata-rata.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Pergelangan Kaki

1. Tulang

Gambar 2.1

Tulang pergelangan kaki dan jari kaki

(Sumber : Syaifudin, 2011)

a. Talus Talus berhubungan dengan tibia dan fibula, terdiri dari kaput

talus, kolumna talus, dan korpus tali. Permukaan atas korpus tali mempunyai bongkol sendi yang sesuai dengan lekuk sendi, terbentuk talus, kolumna talus, dan korpus tali. Permukaan atas korpus tali mempunyai bongkol sendi yang sesuai dengan lekuk sendi, terbentuk

(fasies molaris medialis) yang berhubungan dengan maleolus medialis , sebelah lateral terdapat fasies maleolaris lateralis berbentuk segitiga. Pada permukaan bawah berhubungan dengan kalkaneus yaitu fasies artikularis kalkaneus anterior dan posterior.

b. Kalkaneus

Kalkaneus terletak di bawah talus, permukaan atas bagian medial terdapat tonjolan yang dinamakan sustentakulum tali di bawahnya terdapat sulkus muskulifleksor halusis longus. Bagian belakang kalkaneus terdapat tonjolan besar tuberkalkanei mempunyai prosesus tuberkalkanei dan prosesus medial. Permukaan lateralis kalkaneus terdapat prosesus trokhlearis dan di bawahnya terdapat sulkus untuk M. Peroneus longus . Bagian depan permukaan sendi kuboideum dinamakan fasies artikularis kuboidea.

c. Navikular Bagian medial terdapat tonjolan yang dinamakan tuberositas ossis

navikular pedis. Permukaan sendi belakang berhubungan dengan os kunaiformi I, II, III.

d. Os Kuboideum Permukaan proksimal mempunyai fasies artikularis untuk

kalkaneus. Permukaan distal mempunyai 2 permukaan untuk metatarsal

IV dan V. Pada permukaan medial mempunyai dua permukaan sendi untuk navikular dan kunaiformi medialis.

e. Os Kunaiformi Terdiri dari kuneiformi lateralis, kuneiformi intermedialis, dan

kuneiformi medialis , semuanya berbentuk baji. Permukaan proksimal berbentuk segitiga. Puncak dari kunaiformi lateralis menghadap ke atas dan puncak kunaiformi medialis menghadap ke bawah.

f. Os Metatarsalia Os metatarsalia mempuyai lima buah tulang metatarsalia I, II, III,

IV, dan V. Bentuk kelima tulang ini hampir sama yaitu bulat panjang. Bagian proksimal dari masing-masing tulang agak lebar disebut basis ossis metatarsal. Bagian tengah ramping memanjang dan lurus sedangkan bagian distal mempunyai bongkol kepala (kaput ossis metatarsal ). Metatarsal I agak besar daripada yang lain. Metatarsal V bagian lateral basisnya lebih menonjol ke proksimal, disebut tuberositas ossis metatarsal V.

g. Os Falang Pedis Os falang pedis merupakan tulang-tulang pendek. Falang I terdiri

dari dua ruas lebih besar daripada yang lain. Falang II, III, IV, dan V dari dua ruas lebih besar daripada yang lain. Falang II, III, IV, dan V

2. Sendi

a. Artikulasio Talotibia fibularis (pergelangan kaki), antara fascies artikularis tali os tibia dan os fibula dengan trokhlea tali bagian medial dan lateral. Bentuk sendi engsel. Gerakan sendi ini dapat dilakukan dorsal fleksio dan plantar fleksio (ekstensi).

b. Artikulasio Talo tarsalia (sendi loncat) karena pada gerakan meloncat ada dua bagian. Yaitu Art. Talo kalkanea (sendi loncat atas), antara fascies artikularis kalkanei posterior ossis talus dan fascies artikularis tali poste rior ossis kalkaneus. Art. Talo kalkaneonavikularis (sendi loncat bawah) antara fascies artikularis navikulare kalkanei media anterior dan fascies artikularis navikulare ossis talus dengan fascies tali media anterior ossis kalkaneus dan fascies artikularis tali ossis navikulare pedis. Gerakan sendi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu gerakan plantar fleksi dan adduksi serta gerakan dorsal fleksi kaki disertai adduksi.

c. Artikulasio Tarsotransversa, merupakan linea amputasiones khoparti, ada dua bagian yaitu Art. Talonavikularis pedis dan Art. Kalkanea kuboidea.

d. Artikulasio Tarsometatarsea, antara permukaan distal ossa kunaiformi

I, II, dan III dengan permukaan proksimal ossa metatarsalia I, II, dan

III. Permukaan sendi distal os kuboideum dengan permukaan proksimal ossa metatarsalia IV dan V.

e. Antara permukaan distal ossa metatarsalia dengan permukaan proksimal ossa falangea I, digiti I, II, III, IV dan V.

f. Artikulasio Interfalangeal, antara ruas jari I, II, dan III dan masing- masing jari (digiti) I, II, III, IV, dan V. Gerakan fleksi dan ekstensi bentuk sendi engsel (Syaifudin, 2011).

Gambar 2.2 Persendian anggota gerak bawah

(Sumber : Syaifudin, 2011)

3. Otot

Tabel 2.1

Otot-otot pada kaki

Fungsi Otot Ventral Kruris

No Nama Otot

Origo

Insersio

1 M. tibialis

Basis metatarsalis Fleksi dorsal dan anterior

Epikondilus

lateralis dan fascies

I (sisi medial) dan supinasi kaki

lateralis tibia

os kunaiformi medial (sisi plantar)

2. M. ekstensor

Permukaan dorsal Ekstensi jari kaki, halusis longus

Fascies medialis

fibula membran

jari kaki yang

ekstensi dorsal

interosea kruris

besar bertendo

pada artikulasio

dan fascia kruris

talus sebelah atas

Kondilus lateralis Supinasi pada digitorum

3. M. ekstensor

Kondilus lateralis

artikulasio talus Longus

tibia, margo

tibia, margo

anterior fibula, dan anterior fibula, dan sebelah bawah M. membran interosea membran interosea Ekstensor halusis kruris

kruris

longus

4. M. Peroneus

Permukaan dorsal Pronasi kruris fibularis tertius distal fibula

Keluar dari bagian

kelima tonjolan tulang tengah kaki bertendo datar

Otot Kruris Lateralis

Plantar medis dan Kedua M. fibularis longus fascia kruris, fascia sulkus tendineus

1. M. Peroneus

Kaput fibula,

Fibularis

lateralis, dan

muskuli fibularis mengangkat sisi

margo posterior

dan tuberositas lateral kaki dan ossi metatarsal I-II menopang fleksi os kunaiformi

plantar kaki.

mediale

2. M. Peroneus Fascia lateralis dan Tuberositas ossis fibularis brevis margo anterior

metatarsalis V,

vigula

jalur tendo sampai septainternuskulari kelingking kaki s kruris anterior dan posterior

Otot Superfisial Kruris Dorsal

1. M. Triseps (M.Gastroknemius (M.Gastroknemius (M.Gastroknemius surae

) (Kaput medial

) : Epikondilus

:Plantar fleksi kaki dan lateral)

medial dan lateral

: Tuberkalkanei

femur

dan tendo

pada artikulasi kalkaneus (tendo

talus sebelah atas,

achilles)

supinasi kaki pada artikulasio talus

(M.Soleus)

(M.soleus)

: Fascia posterior

: Fleksi pada

dan margo

artikulasio surae,

posterior fibula,

memperkaku kaki

fasies posterior

dan lutut pada

tibia, dan arkus

sendi talus

tendineus muskuli

2. M. Plantaris

Epikondilus

Lapisan dalam

lateralis femur

fascia kruris dan tendo kalkaneus yang tipis dan panjang

3. M. Popliteus

Bertendo pada

Fascia posterior

Fleksi kruris dan

epikondilus

tibia di atas linea endorotasi pada

lateralis femur dan muskulisoleus

artikulasi genu

kaput fibula

Otot Kruris Profunda Lateralis

1. M. Tibialis

Tuberositas ossis Plantar fleksi dan posterior

Fascia posterior

bagian proksimal

navikulare,

supinasi kaki

tibia dan fascia

permukaan plantar

medialis fibula

os kuneiformi medial, ossa kuneiformi intermedium lateral dan basis metatarsal II-IV

Falang akhir jari Fleksi bagian digitorum

2. M. Fleksor

Fascia posterior

terakhir empat jari longus

bagian proksimal

kaki II-IV

tibia dan fascia

lateral kaki, fleksi,

medialis fibula

dan supinasi ke arah plantar

3. M. Fleksor

Fleksi ibu jari halusis longus

Fasies posterior

Falang terakhir

dan margo

dari ibu jari kaki kaki, fleksi dan

posterior fibula

supinasi seluruh supinasi seluruh

Otot Dorsalis Pedis

1. M. Ekstensor

Aponeurosa dorsal Dorso fleksi jari digitorum

Permukaan dorsal

kaki. brevis

dan permukaan

jari kaki bagian

2. M. ekstensor

Dorso fleksi jari halusis brevis

Permukaan dorsal

Falang ibu jari

Sisi medial dasar Fleksi dan abduksi Interoseidorsali tulang kaki.

3. M.

Permukaan tengah

falang distal III-V jari kaki III-V ke s I-IV

sampai aponeurosa lateral, jari kaki II ekstensi jari kaki

ke medial, dan

bersangkutan

ekstensi jari kaki yang lain.

4. M. Sisi bagian tengah Sisi medial falang Fleksi dasar sendi Interoseiplanta tulang kaki III-V.

distal III-V sampai dan adduksi jari ris I-III

aponeurosa

kaki III-V, ekstensi jari kaki.

ekstensi jari kaki yang lain.

5. Otot-otot ibu

M. Adduktor jari kaki

(M. abduktor

(M. abduktor

halusis) : Falang halusis) : (Persarafan N.

halusis) : Prosesus

proksimal ibu jari Abduksi, fleksi ibu Plantari

medialis tuberosis

jari kaki. medialis dan

kalkanei dan

(M. fleksor halusis

(M. fleksor halusis M. abduktor digiti

brevis) :

brevis) :Dua kaput minimi) persarafan

Permukaan plantar tulang sesamoid

: N. Plantaris

ossa kunaiformi

dan falang

lateralis.

mediale,

proksimal ibu jari

intermedium dan

kaki.

lateral ligamentum plantar longus.

(M. Adduktor

M. Adduktor

(M. Adduktor

Permukaan plantar Bagian lateral

Abduksi, fleksi ibu

os kunaiformi

tulang sesamoid

jari kaki.

lateral dan

dan falang

ligamentum plantar proksimal ibu jari

longus.

kaki.

6. Otot (M. abduktor digiti (M. abduktor digiti (M. abduktor digiti kelingking kaki minimi) :

minimi) persarafan berfungsi

minimi) :

Prosesus lateralar Sisi lateral falang : N. Plantaris abduksi

dan tuberiskalkanei dan proksimal lateralis. fleksi

aponeurosis

kelingking

kelingking plantaris.

(tuberositas ossis

serta ekstensi

metatarsalis V).

aktif penutup

kaki

(M. Fleksor digiti

(M. Fleksor digiti minimi brevis) :

(M. Fleksor digiti

minimi brevis) Bagian depan

minimi brevis) :

persarafan : ligamentum plantar proksimal

Bagian falang

Plantaris medialis. longum basis ossis

kelingking.

metatarsalis.

M. Opponeus digiti (M. Opponeus minimi) :

digiti minimi) :

Vagina tendini M. Sisilateral Fibularis peroneus metatarsal V. longus

7. Otot-otot (Fleksor digitorum (Fleksor digitorum (Fleksor digitorum Plantar pedis

longus) : Prosesus longus) longus) : Fleksi medialis

bagian tengah dan tuberosiskalkanei

: Empat tendo M.

dasar jari kaki II- dan

Fleksor digitorum

IV. plantaris.

aponeurosis longus sampai

pada falang tengah jari kaki II-IV.

(M. Quadratus

(M. Quadratus plantaris) :

(M. Quadratus

plantaris) : Dua

plantaris) :

Menopang M. permukaan plantar M. Fleksor

kaput Sisi lateral tendo

Fleksor digitorum kalkaneus

longus dan ligamentum plantar

dan digitorum longus

memperkuat otot longum.

yang melintang.

( Sumber : Syaifudin 2011, p. 167)

4. Ligament Posterior talofibular ligament adalah ligament yang melekat pada

posterior tulang talus dan fibula. Calcaneofibular ligament adalah ligament posterior tulang talus dan fibula. Calcaneofibular ligament adalah ligament

5. Saraf Persarafan pergelangan kaki berasal dari plexus lumbalis dan plexus

sacralis . Persarafan yang berfungsi mengontrol pergerakan pergelangan kaki yaitu n. tibialis, n. fibularis profundus dan n. fibularis superficialis. Saraf sensoris berasal dari n. suralis dan n. Saphenus (Syaifudin, 2011).

6. Biomekanik

a. Osteokinematik Osteokinematik adalah gerak sendi yang dilihat dari gerak tulangnya saja. Pada osteokinematik gerakan yang terjadi berupa gerak rotasi ayun, rotasi putar, dan rotasi spin (Nindi, 2009).

Gerakan yang terjadi pada sendi ankle yaitu fleksi (ke arah atas) dan ekstensi (ke arah bawah). Dalam keadaan normal, ekstensi ini bisa dilakukan sampai punggung kaki segaris dengan permukaan depan

tungkai bawah. Dengan demikian, ROM ekstensi normal adalah 90 o , dari jumlah tersebut sendi ankle ini hanya memberi andil sejumlah 45 o

. Fleksi mempunyai ROM ± 20 o dari posisi netral. Posisi netral kaki membentuk sudut 90 o dengan tungkai bawah (Harsanti, 2014).

b. Arthrokinematik Arthrokinematik adalah gerakan yang terjadi pada permukaan

sendi. Pada arthrokinematik gerakan yang terjadi berupa gerak roll dan slide. Dari kedua gerak tersebut dapat diuraikan lagi menjadi gerak traksi-kompresi, translasi, dan spin (Nindi, 2009).

Dalam keadaan normal besarnya gerakan dorsal flexi adalah 20˚, sedangkan plantar flexi adalah 45 ˚ dan gerakan eversi yaitu 20˚, gerakan inversi 40˚ (Nindi, 2009).

Luas gerak sendi ankle untuk gerak plantar flexi sebesar 50 derajat dan gerak dorsi flexi sebesar 20 derajat yang diukur pada posisi anatomis. Sedangkan untuk gerak inversi sebesar 40 derajat dan eversi sebesar 20 derajat. Bila penulisan disesuaikan dengan standar ISOM maka untuk gerak dorsi flexi dan plantar flexi akan tertulis (S) 20-0-50 dan gerak inversi dan eversi tertulis (S) 20-0-40 (Nindi, 2009).

B. Plantar Fasciitis

1. Definisi

Plantar Fasciitis adalah peradangan dan atau degenerasi jaringan collagen dari plantar fascia yang membujur sepanjang kaki bagian bawah.

Kondisi plantar fasciitis dapat menyebabkan gangguan yang serius. Terlebih untuk wanita yang memiliki mobilitas tinggi. Maka diperlukan penanganan yang tepat pada kasus plantar fasciitis. Karena jika dibiarkan akan terjadi gangguan musculoskeletal lebih lanjut (Zidni, 2014).

Gambar 2.3 Plantar Fasciitis

(Sumber : Mujianto 2013, p. 151)

2. Etiologi Ada beberapa faktor penyebab pada kasus fasciitis plantaris. Beberapa faktor tersebut antara lain yaitu faktor anatomi, faktor biomekanik, dan faktor lingkungan. Contoh pada faktor anatomi termasuk 2. Etiologi Ada beberapa faktor penyebab pada kasus fasciitis plantaris. Beberapa faktor tersebut antara lain yaitu faktor anatomi, faktor biomekanik, dan faktor lingkungan. Contoh pada faktor anatomi termasuk

3. Patofisiologi

Secara aktual patologi dari plantar fascitis berawal dari stress yang berlebihan dari plantar fascianya, dimana dapat disebabkan oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang termasuk yaitu kurangnya fleksibilitas dari plantar fascia dan tightnes otot otot gastroc atau soleus. Kelemahan dari otot-otot intrinsik kaki dan yang utama yaitu otot tibialis posterior pada ankle, penambahan berat badan atau aktivitas yang berat, kekurangan proprio-sepsi atau adanya deformitas dari struktur kaki, seperti: pes cavus dan fore foot varus. Hal tersebut akan mengakibatkan tarikan pada fascia, sehingga terjadi kerobekan dan timbul iritasi pada fascia plantarisnya.

Efek dari posisi yang lama dan terus-menerus serta stress yang berlebihan dari plantar fascia, akan menyebabkan perubahan pada serabut collagen , dimana terjadi penurunan kandungan air 3-4% dan penurunan GAG sekitar 20%. Sehingga akan menurunkan jarak diantara serabut-serabut collagen dan menyebabkan perubahan gerak yang bebas diantara serabut- serabut. Menurunnya gerakan diantara serabut collagen membuat jaringan cenderung menjadi kurang elastis dan lebih rapuh, sehingga akan terbentuk Efek dari posisi yang lama dan terus-menerus serta stress yang berlebihan dari plantar fascia, akan menyebabkan perubahan pada serabut collagen , dimana terjadi penurunan kandungan air 3-4% dan penurunan GAG sekitar 20%. Sehingga akan menurunkan jarak diantara serabut-serabut collagen dan menyebabkan perubahan gerak yang bebas diantara serabut- serabut. Menurunnya gerakan diantara serabut collagen membuat jaringan cenderung menjadi kurang elastis dan lebih rapuh, sehingga akan terbentuk

4. Tanda dan Gejala

Nyeri pada pada plantar fasciitis biasanya muncul saat bangun tidur di pagi hari saat ingin menapakkan atau menjejakkan kaki pertama kali ke lantai, berdiri lama, berjalan jauh, duduk terlalu lama dan saat ingin berdiri

Plantar fasciitis biasanya timbul secara bertahap, tetapi dapat juga datang dengan tiba-tiba dan langsung nyeri hebat. Dan meskipun dapat mengenai kedua kaki akan tetapi lebih sering hanya pada satu kaki saja (Alamsyah, 2016).

5. Pemeriksaan Untuk menentukan berbagai masalah gangguan gerak dan fungsi pada plantar fasciitis maka sebelumnya harus dilakukan analisa dan sintesa melalui proses asuhan fisioterapi yang diawali dengan assesmen meliputi anamnesa, pemeriksaan fisik tes cepat, inspeksi, tes pasif, tes aktif, tes isometrik sampai tes khusus, pemeriksaan penunjang, pengukuran dan evaluasi.

Pada anamnesa di temui keluhan pada pasien dengan plantar fasciitis yaitu nyeri di bagian medial atau lateral, kemudian pada pemeriksaan fisik dalam tes cepat positif nyeri gerak saat dorsal fleksi ankle, dalam inspeksi dibagi dua yaitu statik: terlihatobesitas, dinamis: flat foot dan analis gait, pada tes pasif, tes aktif dan tes isometrik ditemukan nyeri regang saat dorsal fleksi ankle. Setelah dilanjutkan dengan tes khusus yang akan memperkuat diagnosa yaitu stretch test dilakukan pada posisi dorsal fleksi ankle dan hasilnya nyeri regang pada fascia, palpasi dilakukan daerah fascia dan hasilnya ditemukan tenderness pada sisi medial atau lateral dari tuberositas calcaneus (Alamsyah, 2016).

6. Diagnosa Banding Tarsal tunnel syndrome adalah nyeri pada kaki yang disebabkan oleh

tertekannya syaraf tibial posterior yang mana posisi dari syaraf tersebut melintasi terowongan tarsal yang letaknya tepat di bawah tulang di bagian dalam pergelangan kaki.

Pemeriksaan dan diagnosis tarsal tunnel syndrome yang paling utama adalah mengobservasi daerah pergelangan kaki dan daerah kaki yang terdampak. Inspeksi pada pergelangan kaki terhadap bentuk dan anatomy kaki biasanya akan diketemukan bentuk kaki yang overpronasi ataupun flatfoot.

Palpasi pada pergelangan kaki pasien terutama pada daerah sekitar maleolus medialis akan ditemukan nyeri maupun nyeri tekan. Tinel's Sign Palpasi pada pergelangan kaki pasien terutama pada daerah sekitar maleolus medialis akan ditemukan nyeri maupun nyeri tekan. Tinel's Sign

C. Nyeri

1. Definisi

Nyeri merupakan respon subyektif dimana seseorang memperlihatkan tidak nyaman secara verbal maupun non verbal atau keduanya, akut maupun kronis. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi,tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat,konsentrasi dan kegiatan yang biasa dilakukan.Nyeri yang dialami oleh klien artritis reumatoid didapatkan skala nyeri rata-rata enam atau nyeri sedang (Dina, 2009).

2. Patofisiologi Nyeri

Nyeri lazimnya melibatkan empat proses : transduksi, transmisi, persepsi dan modulasi.

Tranduksi adalah proses yang melibatkan konversi energi dengan stimulus termal, mekanik, atau kimia yang berbahaya menjadi impuls saraf oleh

reseptor sensorik yang disebut dengan “nociceptor”. Transmisi adalah tahap selanjutnya dimana impuls saraf ini ditransmisi dari

tempat tranduksi (Tepi/perifer) ke saraf spinal dan otak.

Persepsi adalah proses apresiasi sinyal yang telah tiba di struktur yang lebih tinggi sebagai nyeri, penentuan pengertian dan respon prilaku.

Modulasi adalah tahap penting dimana masukan/input berupa inhisi dan fasilitasi dari otak mempengaruhi/modulasi transmisi nociceptive pada tingkat saraf spinal.

(Heru, 2011).

3. Klasifikasi Nyeri

Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi, nyeri dapat dibedakan menjadi enam jenis, yaitu nyeri superfisial, nyeri somatik dalam, nyeri viseral, nyeri alih, nyeri sebar, dan nyeri bayangan (fantom) (Tamsuri, 2007).

Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri jenis ini memiliki durasiv yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam (Tamsuri, 2007). Nyeri somatik dalam (deep somatik pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri jenis ini memiliki durasiv yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi yang tajam (Tamsuri, 2007). Nyeri somatik dalam (deep somatik pain) adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya,

Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya cukup lama. Sensasi yang timbul biasanya tumpul (Tamsuri, 2007). Nyeri sebar (radiasi) adalah nyeri yang meluas dari daerah asal ke jaringan sekitar, nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh klien seperti berjalan/bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar atau kesepanjang bagian tubuh tertentu (Tamsuri, 2007).

Nyeri fantom adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien yang mengalami amputasi. Nyeri oleh klien dipersepsi berada pada organ yang telah diamputasi seolah-olah masih ada (Tamsuri, 2007). Nyeri alih (referred pain) adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi (Tamsuri, 2007).

3. Respon tubuh terhadap nyeri

a. Respon fisik

Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap stres.

Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri superfisial, tubuh bereaksi membangkitkan “General Adaption

Sindrome ” (Reaksi fight of fight), dengan merangsang sistem saraf simpatis. Sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri yang berasal dari organ viseral, akan mengakibatkan stimulasi terhadap saraf parasimpatis (Tamsuri, 2007).

b.Respon Psikologis

Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien yang mengartikan nyeri seba gai suatu yang “negatif” cenderung memiliki suasana hati sedih, berduka, ketidakberdayaan, dan dapat berbalik menjadi rasa marah dan frustasi. Sebaliknya pada klien yang memiliki persepsi nyeri sebagai pengalaman yang “positif” akan menerima nyeri yang dialaminya (Tamsuri, 2007).

c.Respon perilaku

Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri macam-macam. Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting karena pada fase ini merupakan penentuan untuk fase berikutnya. Pada fase ini, merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri, untuk belajar dan mendapat gambaran tentang nyeri itu sendiri. Pada fase ini klien dipersiapkan untuk belajar bagaimana mengendalikan nyeri yang mungkin akan timbul, dan klien juga diajarkan bagaiman Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri macam-macam. Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting karena pada fase ini merupakan penentuan untuk fase berikutnya. Pada fase ini, merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri, untuk belajar dan mendapat gambaran tentang nyeri itu sendiri. Pada fase ini klien dipersiapkan untuk belajar bagaimana mengendalikan nyeri yang mungkin akan timbul, dan klien juga diajarkan bagaiman

4. Mekanisme timbulnya nyeri pada Plantar Fasciitis

Secara anatomi, pada saat kita berjalan, semua berat badan kita bertumpu pada tumit yang kemudian tekanan ini akan disebarkan ke ligamen plantar fascia. Sehingga ligamen tersebut akan tertarik ketika kaki melangkah, tegang, berulang terus menerus, sehingga terasa nyeri ringan yang akhirnya mengalami inflamasi pada tuberositas calcaneus dan robekan kecil di serabut ligamen plantar fascia akan menjadi teriritasi atau meradang.

Plantar fasciitis adalah suatu peradangan pada otot fascia yang disebabkan oleh penguluran yang berlebihan pada fascia plantarisnya yang dapat megakibatkan kerobekan kemudian timbul suatu iritasi pada fascia plantaris, khususnya mengenai bagian antero-medial tuberositas calcaneus terkadang dapat juga terjadi pada bagian posterior calcaneus.

Nyeri pada plantar fasciitis diawali karena adanya lesi pada soft tissue di sisi tempat perlengketan plantar aponeurosis yang letaknya dibawah dari tuberositas calcaneus atau pada fascia plantaris bagian medial calcaneus Nyeri pada plantar fasciitis diawali karena adanya lesi pada soft tissue di sisi tempat perlengketan plantar aponeurosis yang letaknya dibawah dari tuberositas calcaneus atau pada fascia plantaris bagian medial calcaneus

Inflamasi dapat dikatakan sebagai penyebab utama dari nyeri pada plantar fasciitis. Proses inflamasi menyebabkan jaringan di sekitar lesi memproduksi mediator inflamasi yang dapat menyebabkan aktivasi nosiseptor sehingga meransang serabut saraf afferen bermyelin tipis (Serabut saraf A delta dan tipe C). Impuls tersebut dibawa ke ganglia akar

saraf dorsalis dan meransang serabut “P” substance yang memicu terjadinya reaksi radang. Kemudian impuls tersebut dibawa ke cornu dorsalis medula spinalis dan dikirim ke level SSP yang lebih tinggi melalui traktus spinothalamicus. Pada level SSP yang lebih tinggi (Cortex sensorik, hipothalamus dan limbik system) impuls tersebut mengalami proses interaksi yang kemudian menghasilkan suatu perasaan subyektif yang dikenal dengan persepsi nyeri. Nyeri yang ditimbulkan akan menyebabkan spasme otot dan bila tidak ditangani dengan baik maka akan timbul kelemahan otot, sehingga akan rentan terjadinya resiko cidera ulang yang akan memperburuk kondisi nyeri.

5. Pengukuran Nyeri

Untuk menilai tingkat nyeri, ada berbagai macam alat ukur yang bisa digunakan. Dalam penelitian ini, penulis memilih pengukuran dengan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS), cara pengukuran ini sangat lazim digunakan oleh kalangan fisioterapis, hal ini disebabkan karena pengukuran nyeri dengan VAS sangat mudah di terapkan kepada pasient dimana besar nyeri yang dirasakan (Bambang, 2010).

VAS berupa sebuah garis lurus dengan panjang 10 cm/100 mm. Dalam pelaksanaan pengukuran nyeri, pasient diminta untuk memberi tanda pada garis sesuai yang dirasakan pasient.

Gambar 2.4 Visual Analogue Scale

(Sumber : Tamsuri, 2007 )

Keterangan :

1-3 : Nyeri ringan

3,1-6 : Nyeri sedang

6,1-10 : Nyeri berat (Tamsuri, 2007).

D. Transverse Friction

1. Definisi Menurut Cyriax dan Russel (1980), salah satu tujuan transverse

friction massage yaitu untuk memproduksi traumatic hyperemia dengan meningkatkan suplai darah di area otot yang spasme dengan cara mengurangi nodule dan melemaskan struktur serat otot yang spasme. Hal ini dapat mempengaruhi efektifitas gerakan dari serat otot seperti memanjang dan otot akan mudah digerakan kembali sehingga peredaran darah dan metabolisme disekitar otot tersebut dapat berjalan lebih lancar dan membuat nyeri pada otot berkurang (Faradilah, 2013).

2. Indikasi dan Kontraindikasi

a) Indikasi

1) Kondisi sehabis trauma atau sehabis operasi sub akut dan kronik pada sistem musculoskeletal.

2) Kondisi ketegangan, perlengketan dan pemendekan

jaringan otot dan jaringan lunak yang lain

3) Kondisi keluhan nyeri

4) Kondisi kurang lancarnya peredaran darah b). Kontraindikasi

1) Osifikasi atau pengerasan pada jaringan lunak 2)

Penyakit kulit

3) Sepsis pada area setempat

4) Rheumatoid pada tendon maupun rheumatoid arthritis

5) Penekanan pada saraf

3. Mekanisme penurunan nyeri dengan Transverse Friction Transverse friction akan merangsang serabut afferen Aδ dan C yang akan memicu pelepasan sistem analgesik endogen sehingga akan terjadi modulasi nyeri pada level supraspinal sehingga nyeri akan menurun. Adanya vasodilatasi akibat aplikasi transverse friction maka akan meningkatkan aliran darah yang mengalami kerusakan sehingga akan membersihkan area ini dari iritan kimia yang dihasilkan dari proses radang, menghilangkan jaringan fibrous, melemaskan dan melepaskan perlengketan pada jaringan lunak sehingga dapat menyebabkan terjadinya sedative efek yang menurunkan nyeri. Serta vasodilatasi yang terjadi juga akan meningkatkan transportasi endogenous opiate (endorphine) sehingga dari proses ini akan menghasilkan penurunan nyeri.

Menurut Cyriax dan Russel (1980), salah satu tujuan transverse friction massage yaitu untuk memproduksi traumatic hyperemia dengan meningkatkan suplai darah di area otot yang spasme dengan cara mengurangi nodule dan melemaskan struktur serat otot yang spasme. Hal ini dapat mempengaruhi efektifitas gerakan dari serat otot seperti memanjang dan otot akan mudah digerakan kembali sehingga peredaran darah dan metabolisme disekitar otot tersebut dapat berjalan lebih lancar dan membuat nyeri pada otot berkurang (Faradilah, 2013).

4. Teknik aplikasi Transverse Friction Transverse friction adalah Teknik massage yang dipopulerkan oleh James Cyriax 1975 yang diaplikasikan pada jaringan spesifik soft tissue