Terjemahan Laowömaru Manömanö Nono Niha Dalam Laowömaru Legenda Masyarakat Nias

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI

Tinjauan pustaka bertujuan untuk menggambarkan batasan yang digunakan
untuk dijadikan pembahasan. Adapun yang menjadi pembahasan dalam penelitian
ini adalah: Legenda, penerjemahan, proses penerjemahan, teknik penerjemahan,
keakuratan terjemahan, penelitian terdahulu dan kerangka berpikir.
2.1. Legenda
Legenda adalah cerita prosa rakyat yang mempunyai kesamaan dengan mite,
yaitu cerita yang dianggap benar-benar terjadi atau pernah terjadi namun,
tidak dianggap suci dan oleh penulis cerita sebagai suatu yang benar-benar
terjadi dan ceritanya juga telah dibumbui dengan keajaiban, kesaktian, dan
keistimewaan tokohnya.
(http://xpesawatkertas.blogspot.com/2012/04/pengertian-legenda-mitosdan-cerita.html, diakses tanggal 24 Februari 2015)
Sedangkan menurut, Wulandari (2013) bahwa legenda adalah cerita tentang
kepercayaan, mitos, asal usul nama tempat, bangunan, kuil, desa istimewa,
dan berbagai peristiwa atau kejadian yang dipercayai keberadaannya pernah
ada di masa lampau. Legenda biasanya juga menyangkut sejarah, tokoh
penting, asal-usul tradisi, dan hal-hal yang bersifat larangan atau tabu.
Selanjutnya, Restiyani (2014) menyatakan bahwa “cerita rakyat merupakan
warisan bangsa yang perlu kita lestarikan dan terus dituturkan dari generasi ke

generasi”. Dari beberapa pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa cerita
rakyat merupakan warisan budaya yang dituturkan dari generasi ke generasi yang
dianggap pernah terjadi di masa lampau dan mempunyai pesan yang bersifat
mendidik, mempunyai nilai budaya serta mencerminkan watak pendukungnya.
Legenda merupakan cerita narasi yang sangat disenangi oleh banyak
kalangan terutama anak-anak, karena legenda dapat menghibur dan juga memiliki
nilai moralitas. Sinar (2012) menyatakan bahwa “narasi adalah tulisan kreatif dan

imajinatif yang bertujuan untuk memberikan kesenangan untuk mendapatkan
perhatian pembaca dan memupuk imajinasi pembaca terhadap cerita”. Selanjutnya
Sinar, menyebutkan jenis-jenis narasi adalah mitos, legenda, cerita-cerita peri,
misteri, roman, horor,hezo, parabel, kosah moral, dan lain-lain.
Legenda merupakan sastra daerah (lisan dan tulisan) menggambarkan ideide yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan kebudayaan daerah yang
menjadi unsur kebudayaan nasional (Alwi, 1995). Legenda diperankan oleh
manusia, ada kalanya mempunyai sifat-sifat luar biasa dan sering kali juga
dihubungkan dengan makhluk ajaib. Peristiwanya bersifat sekuler (keduniawian),
dan sering dipandang sebagai sejarah kolektif. Salah satu cara yang paling
sederhana dalam melestarikan legenda ini adalah peran orang tua atau guru dalam
membudayakan dan memperkenalkannya kepada anak.
Oleh karena itu, cerita rakyat/legenda ini perlu dikembangkan oleh

masyarakat yang empunya untuk mendukung kebudayaan nasional untuk
menciptakan persatuan dan kesatuan melalui kebudayaan. Hal ini sesuai dengan
apa yang dinyatakan oleh Suwando (1983) bahwa “pencatatan berbagai cerita
rakyat merupakan pencatatan kembali berbagai nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat dan berfungsi sebagai cermin diri yang hasilnya akan menjadi
dokumentasi yang berharga”.
2.1.1. Jenis Legenda
Alfiansyah dalam (http://serbasejarah.blogspot.com/2011/12/peran-folkloremitologi-legenda-dan.html, diakses tanggal 24 Februari 2015) menggolongkan
legenda menjadi empat kelompok yakni:
1. Legenda keagamaan (religious legends),

2. Legenda alam gaib (supernatural legends),
3. Legenda perseorangan (personal legends), dan
4. Legenda setempat (local legends).

1.

Legenda keagamaan
Legenda orang-orang suci (santo/santa) Nasrani, orang saleh, para wali


penyebar agama Islam. Salah satu contoh cerita mengenai wali sanga di Jawa
yang banyak sekali berkembang di masyarakat. Selain itu terdapat pula
peninggalan mereka yang berupa makam atau disebut keramat. Salah satu yang
termasuk pada kelompok legenda keagamaan ini, yaitu legenda penyebaran agama
Islam.
Sumber (http://serbasejarah.blogspot.com/2011/12/peran-folklore-mitologilegenda-dan.html, diakses tanggal 24 Februari 2015)
2.

Legenda alam gaib
Biasanya berbentuk kisah yang dianggap benar-benar terjadi dan pernah

dialami seseorang. Fungsi legenda semacam ini adalah untuk meneguhkan
kebenaran takhyul atau kepercayaan rakyat. Legenda alam gaib ini berhubungan
dengan kenyataan di luar dunia nyata namun ada di sekitar kita, misalnya tentang
keberadaan makhluk gaib, hantu, setan ataupun tempat-tempat yang sekitarnya
memiliki keanehan tersendiri misalnya desa yang dapat menghilang dan
sebagainya.

3.


Legenda perseorangan
Legenda yang bercerita mengenai tokoh-tokoh tertentu yang dianggap oleh

yang

empunya

cerita

benar-benar

terjadi. Misalnya legenda pahlawan

pembangunan masyarakat atau budaya yang bercerita mengenai tokoh atau orang
yang telah berjasa bagi negara atau masyarakatnya, yang sampai sekarang masih
dianggap kebenarannya oleh masyarakat.
4.

Legenda setempat
Cerita yang berhubungan dengan suatu tempat, nama tempat dan bentuk


tofografi, yakni bentuk permukaan suatu daerah, apakah berbukit-bukit, berjurang
dan sebagainya. Legenda setempat ini merupakan golongan legenda yang paling
banyak jumlahnya. Sebagaimana telah dikemukakan, hal yang terpenting bagi
penelitian sejarah, tradisi lisan bukan kebenaran faktanya. Untuk mencari
kebenaran faktanya sangatlah sulit, apalagi sumber-sumber tertulis, karena
kemungkinan pada awal pertama kali cerita-cerita itu dikenal di masyarakat,
belum mengenal tradisi menulis. Bahkan cerita-cerita itu banyak dibumbui oleh
hal-hal yang sepertinya sulit bisa masuk akal atau tidak rasional. Misalnya, tokoh
Sangkuriang lahir dari seekor binatang.
2.1.2. Manfaat Legenda
Dalam

(http://serbasejarah.blogspot.com/2011/12/peran-folklore-mitologi-

legenda -dan.html, diakses tanggal 24 Februari 2015) fungsi cerita rakyat ada
empat, yaitu:
1.

Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencerminan angan-angan suatu

kolektif;

2.

Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan;

3.

Sebagai alat pendidikan anak;

4.

Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma yang berlaku di
dalam masyarakat akan selalu dipatuhi dan diikuti oleh masyarakatnya.

2.2. Penerjemahan
Penerjemahan menurut Newmark (1988) adalah “rendering the meaning of
a text into another language in the way that the outhour intended the text”
(menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang
dimaksudkan pengarang). Selanjutnya, Soewondo (1989) menyatakan bahwa

“penerjemahan pada dasarnya merupakan pengalihbahasaan suatu teks ke dalam
bahasa lain yang diinginkan oleh penerjemah tanpa mengubah pesan atau isinya”.
Karena itu, penerjemah perlu menguasai kedua bahasa tersebut, baik dalam
perbendaharaan kata, susunan kalimat, tatabahasa, ungkapan idiomatik, istilahistilah, frasa-frasa dan sebagainya.
Brislin (1976) menyatakan bahwa “translation is the general term refering in
the transfer of thoughts and ideas from one language (source) to another
(target)”. Hal senada, Simatupang (2000) menyatakan bahwa “menerjemahkan
adalah mengalihkan makna yang terdapat dalam bahasa sumber ke dalam bahasa
sasaran dan mewujudkannya kembali dalam bahasa sasaran dengan bentuk-bentuk
yang sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku dalam bahasa
sasaran”. Sedangkan Nababan (1999) menyatakan bahwa “dalam bidang
penerjemahan terdapat istilah translation dan interpretation

mengacu pada

pengalihan pesan dari BSu ke dalam BSa". Istilah translation merujuk pada
pengalihan pesan tertulis dan istilah interpreation mengacu pada pengalihan pesan
lisan. Jadi, terjemahan merupakan hasil dari suatu penerjemahan.

Bell (1991) menyatakan bahwa “translation is the replacement of

representation of a text in one language by representation of an equivalent text in
a second language”. Yang artinya bahwa penerjemahan sebagai representasi dari
suatu teks BSu ke dalam BSa dengan memperhatikan kesepadanan makna yang
dihasilkan dalam teks terjemahannya. Newmark (1981) menyatakan bahwa
“penerjemahan merupakan upaya mengalihkan pesan yang ditulis dalam BSu ke
BSa dengan mengutamakan kesepadanan makna”. Tentu dalam hal melakukan
proses penerjemahan,

penerjemah membutuhkan keahlian yang cukup dalam

menguasai tata bahasa, kemampuan membaca dan memahami teks bacaan pada
kedua bahasa.
Kridalaksana (1985) menyatakan “bahwa penerjemahan sebagai pemindahan
suatu amanat dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran dengan pertama-tama
mengungkapkan makna dan kemudian gaya bahasanya”. Kemampuan seorang
penerjemahan dalam mengalihkan teks dari BSu ke BSa bertujuan agar isi atau
pesan yang disampaikan oleh penulis dapat tercapai sehingga mudah dipahami
oleh pembaca, dengan demikian para pembaca akan merasa puas. Tentu saja
dalam pengalihan pesan ini, penerjemah harus memiliki ilmu yang cukup dalam
bidang penerjemahan yang melibatkan analisis dalam bidang linguistik dan

semantik.
Catford (1965) mendefenisikan penerjemahan “the replecement of textual
material in one language (SL) by equivalent textual in another language (TL)”.
Sebagai proses penggantian suatu teks yang sama dari BSu ke teks BSa. Dalam
proses penerjemahan, penerjemah selalu berusaha mendapatkan unsur BSa yang
sepadan dengan BSu agar dapat mengungkapkan pesan yang sama dalam TSa.

Larson (1984) menyatakan bahwa, untuk memperoleh terjemahan yang
terbaik, terjemahan haruslah: a) memakai bentuk-bentuk BSa yang wajar, b)
mengkomunikasikan sebanyak mungkin, makna BSu, sebagaimana
dimaksudkan oleh penutur BSu tersebut kepada penutur BSa, c)
mempertahankan dinamika teks BSu, yaitu kesan yang diperoleh oleh
penutur asli BSu atau respon yang diberikannya harus sama dengan kesan
dan respon penutur BSa ketika membaca atau mendengar teks terjemahan.

Nida (1964) menyatakan bahwa “penerjemahan berarti menghasilkan pesan
yang paling dekat, sepadan dan wajar dari BSu ke BSa baik dalam hal makna
maupun gaya”. Sedangkan Hoed (2006) menyatakan bahwa “penerjemahan
adalah pengalihan pesan (message) atau maksud yang ada dalam BSu sehingga
dapat menghasilkan kesepadanan (equivalent) pada BSa”.

Dari beberapa defenisi penerjemahan di atas, peneliti menyimpulkan
bahwa:
1.

Penerjemahan merupakan pengalihbahasaan suatu teks dari suatu bahasa ke
dalam bahasa lain sesuai yang diinginkan oleh penerjemah tanpa mengubah
pesan atau isinya.

2.

Penerjemahan sebagai representasi dari suatu teks BSu ke BSa sasaran
dengan memperhatikan kesepadanan makna dengan bentuk-bentuk yang
sewajar mungkin menurut aturan-aturan yang berlaku dalam BSa.

3.

Penerjemahan berarti menghasilkan pesan yang paling dekat, sepadan dan
wajar dari BSu ke BSa sehingga pembaca dapat memahami maksud yang
disampaikan oleh penulis.


2.3. Proses Penerjemahan
Proses penerjemahan merupakan kegiatan pengalihan suatu pesan dari BSu
ke dalam BSa. Proses ini bersifat kognitif karena sifatnya yang abstrak dan tidak
dapat dilihat karena terjadi dalam otak penerjemah sehingga hanya dia sendiri
yang mengetahuinya dan mengambil suatu keputusan yang tepat. Machali (2009)
menyatakan bahwa “proses penerjemahan merupakan rangkaian tahapan yang
harus dilalui oleh seorang penerjemah agar bisa sampai pada hasil akhir”.
Johan (1996) menyatakan bahwa untuk menemukan arti kata dalam konteks
ialah dengan cara melihat kata-kata atau frasa yang mendahului atau mengikuti
kata tersebut sehingga dapat diketahui fungsi, jenis kata, dan arti kata tersebut.
Sebagai contoh: Children are usually given presents at their birthdays. Dari
konteks di atas present sebagai kata benda berarti hadiah.
Larson (19984) menyatakan bahwa “penerjemahan adalah kegiatan yang
berhubungan dengan

studi tentang leksikon, struktur tata bahasa, situasi

komunikasi dan konteks budaya teks BSu yang perlu dilakukan suatu analisis
dengan tujuan untuk dapat menentukan maknanya”.

Makna yang ditemukan

dalam BSu akan diungkapkan dan dikonstruksi kembali dengan leksikon, struktur
tata bahasa dan konteks budaya pada BSa. Proses penerjemahan secara sederhana,
sebagai berikut:

Bahasa Sumber

Bahasa Sasaran

Teks yang diterjemahkan

Terjemahan

Penemuan Makna

Pengungkapan Makna

Makna

Gambar 2.1. Proses penerjemahan (Larson, 1984)
Bentuk teks yang diterjemahkan dengan teks hasil terjemahan menunjukkan
adanya perbedaan bentuk antara teks BSu yang dilambangkan dengan bentuk
bujur sangkar dan

bentuk Tsa yang dilambangkan dengan bentuk segitiga.

Keduanya menunjukkan bahwa

dalam teks terjemahan, bentuk BSu diganti

dengan bentuk BSa yang sesuai untuk mencapai keakuratan terjemahan.
2.4. Teknik Penerjemahan
Machali (2009) menyatakan bahwa “1) teknik adalah hal yang bersifat
praktis, 2) teknik diberlakukan terhadap tugas tertentu (dalam hal ini tugas
penerjemahan)”. Hal ini menunjukkan bahwa teknik secara langsung berkaitan
dengan permasalahan praktis penerjemahan dan pemecahannya.
Molina dan Albir (2002) dalam Silalahi (2012) mendefenisikan bahwa
“teknik

penerjemahan

sebagai

prosedur

untuk

menganalisis

dan

mengklasifikasikan bagaimana keakuratan terjemahan berlangsung dan dapat
diterapkan pada satuan lingual”. Teknik
karakteristik:

penerjemahan memiliki lima

1. Teknik penerjemahan mempengaruhi hasil terjemahan.
2. Teknik diklasifikasikan dengan perbandingan pada teks BSu.
3. Teknik berada tataran mikro.
4. Teknik tidak saling berkaitan tetapi berdasarkan konteks tertentu.
5. Teknik bersifat fungsional.
Jadi, peneliti menyimpulkan bahwa dalam peneltian ini, lebih sesuai dengan
menggunakan teori Malina dan Albir karena teknik berada pada tataran mikro
yaitu tataran kata, frasa dan kalimat dan teknik penerjemahan ini berpengaruh
pada hasil terjemahan yang sangat bermanfaat untuk memberikan masukan positif
kepada penerjemah legenda Laowömaru. Teknik penerjemahan yang dimaksud
antara lain:
1. Adaptasi (Adaptation)
Teknik adaptasi adalah teknik penerjemahan yang digunakan oleh
penerjemah dengan cara menggantikan unsur budaya BSu dengan unsur budaya
yang mempunyai sifat yang sama dalam BSa. Contoh: as white as snow
diadaptasikan kedalam BSa menjadi seputih kapas. (Budaya Indonesia).
2. Amplifikasi (Amplification)
Teknik amplifikasi adalah teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan
mengeksplisitkan atau memparafrasakan suatu informasi dalam BSu. Catatan kaki
adalah bagian dari implifikasi. Contoh: Ramadan diprafrasakan menjadi
Muslim month of fasting (dalam Bahasa Inggris).

the

3. Teknik Peminjaman (Borrowing)
Teknik ini adalah teknik yang digunakan oleh penerjemah dengan
mengambil sebuah kata atau istilah langsung dari bahasa sumber. Peminjaman
langsung ini disebut peminjaman murni, contoh: harddisk diterjemahakan
harddisk sedangkan peminjaman yang menggunakan penyesuaian fonetik dan
morfologi bahasa sasaran adalah teknik peminjaman alamiah. Contoh: computer
diterjemahakan komputer.
4. Teknik Kalke (Calque)
Teknik kalke adalah teknik yang digunakan oleh penerjemah dengan
menerjemahkan kata asing atau frasa kedalam BSa dengan menyesuaikan struktur
BSa. Contohnya: prime minister diterjemahkan menjadi perdana menteri, vise
president diterjemahkan menjadi wakil presiden, way out diterjemahkan menjadi
jalan keluar.
5. Teknik Modulasi (Modulation)
Teknik

modulasi

(modulation),

adalah

teknik

penerjemahan

yang

mengalami perubahan sudut pandang. Perubahan sudut pandang tersebut dapat
bersifat leksikal atau struktural, contoh:
Contohnya:

BSu

: Nobody doesn’t like it.

BSa

: Semua orang menyukainya.

6. Transposisi (Transposition)
Teknik Transposisi adalah teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan
melakukan perubahan kategori gramatikal. Teknik ini sama dengan teknik
pergeseran kategori, struktur dan unit. Misalnya kata menjadi frasa. Cntohnya:
BSu : Bengkel diterjemahkan ke BSa : Repair shops.

7. Kompensasi (compesation)
Teknik ini dilakukan untuk menyampaikan pesan teks pada bagian lain dari
teks terjemahan untuk menghasilkan stilistik (gaya) dalam BSu yang tidak dapat
diterapkan dalam BSa.
Contoh: BSu: Sebuah gunting, diterjemahkan menjadi BSa: a pair of scissors.
8.

Generalisasi (Generalization)
Teknik generalisasi menggunakan istilah spesifik dalam BSu, namun

menggunakan kata umum pada BSa karena kedua teks itu tidak ada padanan yang
spesifik dalam BSa.
Contoh: BSu : Pohon kelapa, diterjemahkan ke BSa menjadi palm trees.
9. Penerjemahan Harafiah (Literal translation)
Teknik ini adalah teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah
dengan penerjemahan kata demi kata, namun tidak mengabaikan konteks dari teks
yang diterjemahkan.
Contoh: BSu : Jokowi adalah presiden Indonesia.
BSa : Jokowi is president of Indonesia.
10. Partikularisasi (Particularizaton)
Teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan menggunakan istilah yang
lebih spesifik dan konkrit dari superordinat ke subordinat.
Contoh: Air transporation diterjemahkan menjadi helikopter.
11. Variasi (Variation)
Teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan mengganti elemen
linguistik atau paralinguistik yang akan mengalami dampak pada variasi
linguistik: Perubahan tona tekstual, gaya bahasa, dialek sosial, dialeg geografis.

Teknik ini biasa digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan naskah
drama.
12. Substitusi (Substitution)
Teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan mengubah unsur-unsur
linguistik dan para linguistik. Sebagai contoh: bahasa isyarat dalam bahasa Arab,
yaitu dengan menaruh tangan di dada diterjemahkan menjadi Terima kasih.
13. Kompresi Linguistik (linguistik compression)
Teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan mensintesa unsur-unsur
linguistik pada BSa. Teknik ini biasa digunakan dalam pengalihbahasaan simultan
dan penerjemahan teks film (subtitling). Contoh: You must find out!
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Carilah!
14. Kreasi Diskursif (discusive creation).
Teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan menggunakan padanan
yang keluar dari konteks, yang bertujuan untuk menarik perhatian pembaca.
Teknik ini biasa digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan judul buku
atau judul film.
Contoh: film animasi Snow White diterjemahkan menjadi Putri Salju.
15. Padanan Lazim (estabilish equivalence)
Kesepadanan lazim adalah teknik yang digunakan oleh penerjemah untuk
menggunakan istilah atau ungkapan yang sudah lazim (berdasarkan kamus atau
penggunaan sehari-hari) Teknik ini menyerupai teknik harafiah.
Contoh: BSu : Ambiguity, diterjemahkan ke BSa: ambigu.

16. Deskripsi (Description)
Teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan cara menggantikan
ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. Contoh: Capati diterjemahkan
menjadi Roti panggang yang merupakan makanan utama pengganti nasi bagi
orang India.
17. Reduksi (Reduction)
Teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan menghilangkan secara
parsial, karena penghilangan itu tidak menimbulkan distorsi makna.
Contoh : BSu : Jokowi the president of Indonesia disterjemahkan ke BSa: Jokowi.
18. Amplifikasi Linguistik (Linguistic amplification)
Teknik yang dilakukan oleh penerjemah dengan menambahkan unsur-unsur
linguistik dalam BSa. Teknik ini biasa digunakan pada pengalihbahasaan
konsekutif dan sulih suara. Contoh: No way (Inggris) diterjemahkan menjadi De
ninguna de las maneras (dalam bahasa Spanyol).
19. Penambahan (Addition)
Teknik penambahan lazim diterapkan dalam kegiatan penerjemahan.
Penambahan yang dimaksud adalah penambahan informasi yang pada dasarnya
tidak

ada dalam kalimat sumber. Kehadiran informasi tambahan pada teks

sasaran bertujuan untuk lebih memperjelas konsep yang ingin disampaikan oleh
penulis kepada para pembaca teks sasaran. Contoh: He cama late diterjemahkan
menjadi pria muda itu datang terlambat.
20. Penghilangan (deletion)
Teknik penerjemahan ini mirip dengan teknik reduksi. Teknik reduksi dan
penghilangan menghendaki penerjemah untuk melakukan penghilangan. Teknik

penerjemahan reduksi ditandai oleh penghilangan secara parsial sedangkan teknik
penghilangan ditandai oleh adanya penghilangan informasi secara menyeluruh.
2.5. Keakuratan Terjemahan
Seorang penerjemah selalu berorientasi pada hasil terjemahan yang lebih
berkualitas. Hal itu dapat tercapai apabila penerjemah tersebut berusaha
semaksimal mungkin untuk mengoptimalkan metode dan teknik penerjemahan
yang telah ia pelajari, karena berbagai metode dan teknik penerjemahan itu akan
berdampak pada kualitas hasil terjemahan yang dilakukan.

Mutu dari suatu

terjemahan tertuju pada tiga hal pokok, yaitu 1) ketepatan pengalihan pesan,
2) ketepatan pengungkapan pesan dalam bahasa sasaran, 3) kealamiahan bahasa
terjemahan. (Nababan 1999).
Larson (1984) menyatakan bahwa “There are three main reasons for testing
a translation, they are: accurate, clear, and natural”. Dengan demikian
terjemahan harus diuji karena penerjemah ingin memastikan keakuratan,
kejelasan, dan kealamiahan. Akurat (accurate) berarti pengalihan pesan dari teks
BSu ke dalam BSa tidak ditambah atau dikurangi; jelas (clear) berarti hasil
terjemahannya mudah dipahami oleh pembaca; dan alami (natutal) berarti hasil
terjemahannya berterima menurut tata bahasa baku BSa. Hal ini menunjukkan
bahwa dalam melakukan penilaian kualitas suatu hasil terjemahan akan mudah
dipahami dengan kriteria tersebut.
Untuk menilai suatu hasil terjemahan, Nababan (2004) menguraikan
kualitas terjemahan dalam 3 komponen yaitu: 1) Keakuratan adalah terjemahan
yang tidak mengalami distorsi makna. Teks Bsu ditransfer secara akurat ke Teks
BSa. 2) Keberterimaan yaitu terjemahan dikatakan berterima apabila terjemahan

tersebut terasa alamiah, lazim dan akrab bagi pembaca. 3) Keterbacaan. Hasil
terjemahan dikatakan terbaca apabila teks yang diterjemahkan dapat dipahami
oleh pembaca.
Silalahi (2009) dalam Disertasinya menyatakan bahwa penilaian suatu
terjemahan menggunakan questioner untuk mengumpulkan data tentang kualitas
terjemahan. Kuesioner yang dimaksud ada tiga, yaitu: 1) Instrumen tingkat
keakuratan yang digunakan untuk menentukan tingkat keakuratan terjemahan,
2) Instrumen tingkat keberterimaan yang digunakan untuk mengukur tingkat
keberterimaan terjemahan, 3)

Instrumen tingkat keterbacaan yang digunakan

untuk mengukur tingkat keterbacaan terjemahan.
Dalam melakukan penilaian kualitas terjemahan dalam penelitian ini,
peneliti menggunakan Instrumen tingkat keakuratan. Untuk menilai tingkat
keakuratan terjemahan dalam penelitian ini, akan dilakukan oleh peneliti sendiri
karena data yang dianalisis adalah kata, frasa dan kalimat bahasa daerah Nias dan
bahasa Indonesia, jadi peneliti tahu unsur budaya dan bahasa pada kedua bahasa
yang diteliti. Penilaian keakuratan terjemahan dalam tiga hal, yaitu penilaian
terhadap: 1) tingkat keakuratan terjemahan, yaitu penerjemahan yang yang
merujuk pada terjemahan yang tidak mengalami distorsi makna, 2) terjemahan
kurang akurat, yaitu terjemahan yang merujuk pada terjemahan yang sebagian
besar makna dari BSu telah dialihkan secara akurat ke dalam BSa, namun masih
terdapat distorsi makna atau terdapatnya makna ambigu atau makna ganda atau
ada makna yang dihilangkan, 3) terjemahan tidak akurat, yaitu merujuk pada
terjemahan yang makna dari BSu dialihkan secara tidak akurat ke dalam BSa atau
dihilangkan.

2.6. Penelitian Terdahulu yang Relevan
Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dapat dijadikan sebagai rujukan
untuk melanjutkan penelitian ini, sebagai berikut:
1) Andayani (2014) dalam Tesisnya yang berjudul Kesepadanan Makna
Sosiokultural Terjemahan Lakon Lubdaka Buku The Invisible Mirror dari Bahasa
Bali ke dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Penelitian ini bertujuan untuk:
(1) mengidentifikasi makna sosiokultural; (2) menganalisis tingkat kesepadanan
makna sosiokultural; (3) mencermati strategi penerjemahan, khususnya bagian
pertunjukan wayang; dan (4) membandingkan ideologi penerjemahan yang
mendominasi penerjemahan buku The Invisible Mirror. Buku tersebut memuat tiga
bahasa, yakni: bahasa Bali sebagai bahasa sumber, sekaligus terjemahannya dalam
bahasa Indonesia (teks 2/T2) dan bahasa Inggris (teks 3/T3). Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif yang didukung dengan data kuantitatif.
Hasil penelitian yang ditemukan oleh Andayani di T2 dan T3 menunjukkan
bahwa: (1) Dari keseluruhan makna-makna sosiokultural yang teridentifikasi,
sociofact dan mantifact lebih banyak memuat makna yang bersifat sosiokultural
dibandingkan dengan artifact yang lebih banyak memuat makna yang sifatnya
universal sehingga mudah untuk ditemukan padanannya; (2) Tingkat kesepadanan
makna di T2 dan T3, sebagian besar merepresentasikan makna sosiokultural.
Perbedaannya, penerjemah di T3 mencantumkan padanan deskriptif pada makna
sosiokultural di T3, sedangkan penerjemah T2 jarang sekali menambahkan padanan
deskriptif di T2; (3) Strategi penerjemahan yang mendominasi di T2 adalah
transposisi 55,6%, diikuti dengan borrowing 10,6%, ekuivalensi 9,3%, modulasi
8,8%, terjemahan literal 7,8%, calque 5,2% dan adaptasi 2,7%. Di T3 hasil
menunjukkan bahwa, strategi penerjemahan transposisi paling banyak muncul yakni

58,8%, diikuti dengan ekuivalensi 16,2%, adaptasi 6,5%, borrowing 6,4%, modulasi
4,6%, terjemahan literal 3,9% dan yang paling sedikit digunakan adalah calque 3,6%;
(4) Ideologi penerjemahan menunjukkan bahwa penerjemah T2 dan T3 cenderung
menggunakan ideologi foreignisasi yakni sebanyak 61,1% di T2 dan 52,3% di T3.
Dengan demikian, penerjemah di T2 dan T3 berusaha untuk mempertahankan
atmosfir dan cita rasa kultural Bali sehingga pembaca bahasa sasaran mendapatkan
pembelajaran lintas budaya yang terdapat di dalam buku The Invisible Mirror.

2) Tinambunan, Rohaya. T. (2013) dalam Tesisnya yang berjudul Analisis
Kesepadanan Terjemahan dalam Buku Bilingual Active English for Nurses.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kesepadanan terjemahan buku
bilingual

Active

English

for

Nurses.

Tujuan

penelitian

ini

adalah:

1) mendeskripsikan teknik penerjemahan kata dan frasa dari bahasa Inggris ke
bahasa Indonesia, 2) mendeskripsikan kesepadanan terjemahan kata dan frasa dari
bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Peneliti menerapkan metode deskriptif
kualitatif, sumber data adalah buku bilingual Active English for Nurses sebagai
produk terjemahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 91 data (80.5%)
menggunakan teknik penerjemahan tunggal, teknik penerjemahan kuplet 16 data
(14.2%) dan teknik penerjemahan triplet ada 6 data (5.3%). Berdasarkan frekuensi
penggunaannya, dari 112 data yang berwujud kata dan frasa teridentifikasi bahwa
teknik penerjemahan harafiah dipakai pada 42 (37.1%), adaptasi 19 (17%),
peminjaman alamiah 17 (15%), peminjaman murni 10 (9%), deskripsi 6 (5.3%),
amplifikasi 5 (4.4%), kreasi diskursif 4 (2.6%). Hasil penelitian ini menunjukkan
76 (67.9%) data diterjemahkan secara akurat, 25 (22.3%) data diterjemahkan
dengan kurang akurat dan 11 (9,8%) data diterjemahkan secara tidak akurat. Dari

hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingginya tingkat penggunaan teknik
penerjemahan harafiah dan teknik penerjemahan adaptasi disebabkan BSu dan
BSa memiliki pola bahasa yang berbeda. Terjemahan yang tidak menerapkan
penyesuaian terhadap BSa akan mengalami perubahan makna bagi pembaca.
Selain itu, dampak pada keakuratan terjemahan dalam penelitian ini terdapat 25
(22,3%) data yang berwujud kata dan frasa yang diterjemahkan secara kurang
akurat ke dalam BSa, dan 11 (9,85) yang berwujud kata dan frasa diterjemahan
secara tidak akurat ke dalam BSa. Hal ini terjadi karena penerjemahan yang
dilakukan secara tidak akurat atau karena ada makna yang dihilangkan.
Hasil terjemahan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa penerjemahan
yang banyak mengurangi tingkat keakuratan terjemahan adalah teknik adaptasi,
teknik harafiah, teknik kreasi diskursif, teknik penerjemahan transposisi dan
teknik peminjaman alamiah. Teknik-teknik ini mengindikasikan terjemahan kata
dan frasa kurang akurat. Kemudian, teknik penerjemahan reduksi, adaptasi,
amplifikasi, kreasi diskursif dan peminjaman murni yang menyebabkan hasil
terjemahan dalam penelitian ini tidak akurat.
Penelitian yang dilakukan oleh Tinambunan relevan dalam penelitian ini
karena penelitian ini menganalisis produk terjemahan dengan mencari teknik
yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan buku Active English for
Nurses ke dalam bahasa Indonesia. Beliau hanya mengakaji terjemahan pada
tataran kata dan frasa. Kemudian, mencari tingkat kesepadanan terjemahan kata
dan frasa. Namun, dalam penelitian ini peneliti menganalisis produk pada tataran
yang lebih luas yaitu tataran kata, frasa dan kalimat dengan menggunakan teknik

terjemahan. Kemudian mencari bagaimana dampak teknik-teknik yang digunakan
oleh penerjemah pada kualitas terjemahan pada tingkat keakuratan terjemahan.
3) Waoma Demetrius (2013) dalam Tesisnya yang berjudul The Translation
Ideology of Nias Cultural Terminology in Famatö Harimao into Bahasa
Indonesia

Ritus

Patung

Harimau

yang

bertujuan

menganalisis

dan

mendeskripsikan 1) kategori budaya dari istilah budaya Nias maniamölö yang
terdapat dalam buku teks Famatö Harimao dan buku teks terjemahannya dalam
bahasa Indonesia dengan judul Ritus Patung Harimau, 2) berbagai prosedur
penerjemahan yang digunakan dalam penerjemahan istilah budaya Nias
Maniamölö tersebut, dan 3) kecenderungan ideologi terjemahan dalam terjemahan
istilah Budaya Nias Maniamölö tersebut.

Dalam penelitian ini, Demetrius

menggunakan metode observasi, teknik simak dan catat. Adapun yang menjadi
temuan penelitian ini adalah: 1) proposisi kategori budaya dari 242 istilah budaya
Nias Maniamölö yang terdapat dalam buku teks Famatö Harimao (dimana
organisasi, kebiasaan dan ide 61,57%, budaya material 24,79% dan ekologi
13,63%), mengalami pergeseran di dalam terjemahannya ke dalam bahasa
Indonesia dan menjadi organisasi, kebiasaan dan ide 47,13%, budaya material
24,40%, ekologi 14,47%, pekerjaan dan rekreasi 0,41%. Sedangkan sisanya
13,63% atau 33 dari 242 istilah budaya Nias Maniamölö tersebut mengalami
kehilangan kategori budaya, 2) aplikasi prosedur penerjemahan dalam terjemahan
istilah budaya itu didominasi oleh prosedur penerjemahan yang berorientasi
bahasa target (67,35%), sedangkan prosedur penerjemahan yang berorientasi
bahasa sumber hanya 32,64% dan 3) kecenderungan ideologi terjemahan dalam
terjemahan istilah budaya tersebut adalah domestikasi.

4) Ndruru Apraisman (2013) dalam tesisnya yang berjudul Terjemahan
Istilah Budaya dalam Novel Negeri 5 Menara ke dalam Bahasa Inggris the Land
of Five Towers. Tujuan penelitian ini adalah 1) mendeskripsikan istilah budaya
dalam Novel Negeri 5 Menara ke dalam Bahasa Inggris the Land of Five Towers.
2) teknik penerjemahan apa yang digunakan oleh penerjemah dalam
menerjemahkan Novel Negeri 5 Menara ke dalam bahasa Inggris the Land of Five
Towers.
Dalam penelitian ini, Ndruru menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif, yang menggunakan data pada tataran kata dan frasa. Hasil temuan
adalah gelar/sebutan memiliki presentase paling tinggi, yaitu (15,53%), diikuti
makanan dan bangunan (13,59%), transportasi dan benda budaya memiliki
presentase yang sama (8,73%), flora (6,79%), pakaian dan organisasi memiliki
presentase yang sama (5,82%), pekerjaan dan kesenian memiliki presentase yang
sama (4,85%), agama dan fauna memiliki presentase yang sama (2,91%),
administratif dan konsep memiliki presentase yang sama (1,94%) dan presentase
yang paling rendah adalah hukum dan bahasa isyarat (0,97%). Teknik
penerjemahan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah penerjemahan
menggunakan satu teknik (tunggal) penerjemahan dan menggunakan dua teknik
penerjemahan (kuplet). Teknik penerjemahan harfiah menggunakan teknik yang
digunakan paling banyak penerjemah (32,03%), diikuti teknik penerjemahan
adaptasi (20,38%), peminjaman murni (16,50%), generalisasi (9,70%), amplifikasi
dan kalke + peminjaman murni memiliki presentase yang sama (5,82%), deskripsi
dan reduksi memiliki presentase yang sama (2,91%) dan teknik penerjemahan

yang memiliki presentase yang rendah adalah modulasi, aplifikasi + peminjaman
murni, peminjaman murni + deskripsi dan generalisasi + deskripsi (0,97%).
Kontribusi pada penelitian yang dilakukan oleh Ndruru adalah mengkaji
teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan istilah budaya
dalam novel Negeri 5 Menara ke dalam Bahasa Inggris The Land of Five Towers.
Tetapi beliau tidak mencari dampak teknik terjemahan pada kualitas terjemahan.
Sedangkan pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana dampak
teknik penerjemahan pada kualitas terjemahan khususnya pada tingkat keakuratan
terjemahan dalam menerjemahkan Laowömaru Manömanö Nono Niha dalam
Laowömaru Legenda Masyarakat Nias.
5) Sinde (2012) dalam tesisnya yang berjudul Analisis Teknik, Metode dan
Ideologi Penerjemahan Terhadap Buku Cerita Anak Bilingual “Four Funny
Animal Stories”. Penelitian ini bertujuan 1) untuk mengidentifikasi teknik-teknik
penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjemahkan cerita
anak, 2) menganalisis metode dan ideologinya.
Dalam penelitian ini, Sinde menggunakan metode kualitatif deskriptif.
Sumber datanya adalah buku cerita anak bilingual. Dari data tersebut, Sinde
mengidentifikasi

teknik-teknik

yang

digunakan

oleh

penerjemah

dalam

menerjemahkan cerita anak. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat
enam

teknik

penerjemahan

yang

digunakan

oleh

penerjemah

dalam

menerjemahkan buku cerita anak tersebut, yaitu teknik literal berjumlah 515 data
(91.47%), peminjaman murni berjumlah 22 data (3.73%), kreasi diskursif
berjumlah 12 data (2.13%), reduksi 7 data (1.24%), kompresi linguistik 7 data
(1.24%) dan generalisasi 1 data (0.17%). Kesuluruhan data yang diterjemahkan

menggunakan teknik tunggal. Mayoritas teknik penerjemahan yang digunakan
oleh

penerjemah

metode

penerjemahan

literal

dengan

kecenderungan

mempertahankan bentuk BSu atau menggunakan ideologi foreignisasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Sinde, relevan dengan penelitian ini.
Bedanya sinde hanya menganalisis teknik yang digunakan oleh penerjemah dalam
produk penelitiannya. Namun dalam penelitian ini, selain mencari teknik yang
digunakan oleh penerjemah pada produk yang dianalisis, peneliti juga mencari
bagaimana dampak teknik itu pada kualitas terjemahan pada tingkat keakuratan
terjemahan.
6) Sutopo Anam (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Teknik
Penerjemahan Naskah Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia dari
Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Inggris. Penelitian ini bertujuan
mendeskripsikan teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam
menerjemahkan naskah pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia. Data
dalam penelitian ini berupa kata, frasa ataupun kalimat yang berasal dari naskah
pidato kenegaraan Presiden Republik Indonesia tahun 2006 yang ditulis dalam
bahasa Indonesia dan terjemahannya dalam bahasa Inggris yang berjumlah 317.
Hasil Penelitian Menunjukkan bahwa, pertama; terdapat sebelas teknik yang
digunakan oleh penerjemah, yaitu teknik amplifikasi sebanyak 64 data (9,37%),
teknik peminjaman murni sebanyak 63 data (9,22%), peminjaman natural
sebanyak 43 data (6,30%), teknik calque sebanyak 67 data (9,81%), teknik
deskripsi sebanyak 11 data (1,61%), teknik generalisasi sebanyak 56 data
(8,20%), teknik penerjemahan harfiah sebanyak 263 data (38,51%), teknik
modulasi sebanyak 35 data (5,12%), teknik reduksi sebanyak 4 data (0,59%),

teknik transposisi sebanyak 58 data (8,49%), dan teknik penambahan sebanyak 19
data (1,61%). Kedua, teknik penerjemahan yang diterapkan oleh penerjemah
didominasi oleh teknik ganda yang berfokus pada teknik harfiah.
7) Ahmad Sulaiman (2011) dalam Tesisnya yang berjudul Analisis
Terjemahan Istilah-istilah Budaya pada Brosur Pariwisata Berbahasa Inggris
Provinsi Sumatera Utara. Tujuan penelitian ini adalah: 1)

Mengidentifikasi

istilah-istilah budaya yang terdapat pada brosur pariwisata berbahasa Indonesia
dan Inggris Provinsi Sumatera Utara, 2) Mengidentifikasi teknik penerjemah
yang digunakan dalam menerjemahkan istilah-istilah budaya dari BSu (bahasa
Indonesia, Arab, Batak, Nias dan Melayu) ke dalam bahasa Inggris Provinsi
Sumatera Utara, 3) Mengidentifikasi pergeseran (shift) yang terjadi pada
terjemahan budaya dari BSu (bahasa Indonesia, Arab, Batak, Nias dan Melayu) ke
dalam bahasa Inggris Provinsi Sumatera Utara. Dalam penelitiannya Ahmad
menggunakan metode deskriptif-kualitatif.
Dari hasil penelitian beliau ditemukan sebanyak 67 data istilah budaya
pada brosur pariwisata berbahasa Indonesia dan Inggris. Istilah budaya yang
berkaitan dengan ekologi sebanyak 1 data (1,49%), makanan sebanyak 13 data
(19,40%), benda budaya/artefak sebanyak 2 data (2,98%), transportasi sebanyak 1
data (1,49%), bahasa sebanyak 4 data (5,97%), sosial budaya sebanyak 13 data
(19,40%), kemasyarakatan sebanyak 8 data (11,94%), agama sebanyak 3 data
(4,48%) dan seni sebanyak 12 data (17,91%). Teknik penerjemahan yang
digunakan dalam penerjemahan istilah-istilah budaya tersebut adalah teknik
penerjemahan deskripsi sebanyak 25 (37,31%), peminjaman sebanyak 21
(31,34%), caque sebanyak 12 (17,91%), generalisasi sebanyak 6 (8,96%), literal

sebanyak 2 (2,99%) dan couplet sebanyak 1 (1,49%). Sedangkan pergeseran
terdapat 44 data, terdiri atas pegeseran unit, sebanyak 28 (63,63%), pergeseran
struktur sebanyak 13 (29,55%) dan pergeseran sebanyak 3 (6,82%).
Kajian Ahmad menunjukkan bahwa objek penelitiannya adalah brosur
pariwisata berbahasa Inggris, Provinsi Sumatera Utara dengan menganalisis istilah
budaya dengan menggunakan teori Newmark (1988) dan untuk menganalis teknik
yang digunakan oleh penerjemah, Ahmad menggunakan teknik yang diterapkan
oleh Molina dan Albir (2012), sedangkan pergeseran menggunakan teori Catford
(1978).

Tetapi dalam penelitian Ahmad tidak melihat bagaimana keakuratan

terjemahan. Untuk itu, peneliti mencoba mencari bagaimana dampak teknik
penerjemahan pada tingkat keakuratan hasil terjemahan.
8) Yugasmara (2010), dalam jurnal yang berjudul Analisis Kesepadanan
Makna dan Keberterimaan Bahasa Informal pada Terjemahan Tuturan Slang
dalam Novel P.S. I Love You Karya Cecelia Ahern. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bentuk tururan slang, teknik penerjemahan yang digunakan dalam
mengetahui tingkat kesepadanan dan keberterimaan bahasa informal teks
terjemahan tuturan slang yang terdapat dalam Novel P.S. I Love You Karya
Cecelia Ahern dan terjemahannya dalam novel dengan judul yang sama oleh
Monica Dwi Chresnayani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk slang
yang digunakan terbagi 26 kategori dengan makna masing-masing.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yugasmara menunjukkan bahwa
teknik penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam penerjemahannya
adalah reduction, calque, dan variation atau gabungan dari ketiganya. Tingkat
kesepadanan makna, secara keseluruhan, data-data terjemahan slang dalam Novel

P.S.I Love You, memiliki kualitas terjemahan yang cukup baik. Untuk
menganalisis data, peneliti menggunakan instrumen pengukuran keberterimaan.
Instrumen itu mirip dengan instrumen pengukuran keakuratan yang ditetapkan
oleh peneliti dalam mengukur kesepadanan kata dan frasa. Active English for
Nurse.
Penelitian yang dilakukan oleh Yugasmara relevan dengan penelitian ini.
Bedanya, Yugasmara hanya mengkaji kesepadanan pada tataran kata dan frasa,
sedangkan pada penelitian ini, peneliti menganalisis data pada tataran kata, frasa
dan kalimat dan mencari dampak teknik terjemahan pada tingkat keakuratan
terjemahan.
9) Harahap Rosmawati (2010), dalam Disertasinya yang berjudul Fiksi
Halilian dari Bahasa Angkola ke Bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk
mengungkapkan masalah kesepadanan dan pergeseran dalam teks terjemahan
Fiksi Halilian Angkola Indonesia. Peneliti menggunakan teori semantik, termasuk
1) reference theory yang bisa mengungkapkan hubungan antar kata dengan entitas
melalui cara tertentu, 2) relasi makna atau meaning postulates yang bisa
menangani hubungan kemiripan dan keberbedaan antar konsep dan 3)
componential analysis yang mampu melihat tipe kesepadanan lintas bahasa dan
pergeseran makna sebagai akibat dari proses pemadanan.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang dilandasi oleh
kerangka teori yang bersifat plural dan elektik (text based on theory dan translator
based theory) dan disisi lain

form- based translation dan meaning based

translation yang diterapkan dengan cara mana suka, parsial, atau simultan
mengingat hakekat terjemahan sebagai suatu bidang ilmu terapan dan

kompleksitas fenomena terjemahan itu sendiri. Peneltian ini menerapkan
deskriptif kualitatif untuk menganalisis teknik penerjemahan dan kesepadanan
terjemahan hanya pada tingkat kata dan frasa. Bedanya dalam penelitin ini,
peneliti mencari teknik yang digunakan oleh penerjemah dan mencari dampaknya
pada tingkat keakuratan dengan analisis pada tataran selain kata dan frasa juga
dalam tataran yang lebih luas yaitu tingkat kalimat.
10) Meiliana (2010) dalam jurnalnya yang berjudul Kesepadanan Makna
Terjemahan teks Microbiology for Environmental Scientists and Engineers
Menjadi Mikrobiologi untuk Ilmuwan dan Insinyur Lingkungan. Tujuan penelitian
ini adalah untuk mengetahui tingkat keterbacaan dan kesepadanan makna pada
naskah “Microbiology for Environmental Scientists and Engineers” yang
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Mikrobiologi untuk Ilmuwan
dan Insinyur Lingkungan”. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif
kualitatif. Sumber data adalah dokumen data dalam penelitian ini sebanyak 50
kalimat. Temuan menunjukkan bahwa dari 50 data yang dianalisis terdapat 30
data atau 60 % termasuk dalam kategori terjemahan yang tepat dan 20 data atau
40 % termasuk pada kategori terjemahan yang tidak tepat. Analisis data tersebut
dapat disimpulkan bahwa penerjemah mampu menerjemahkan dengan baik
walaupun masih mengalami kendala. Hasil penelitian ini sangat signifikan untuk
berpartisipasi menyumbangkan pengembangan dalam teori linguistik yang
diterapkan untuk penerjemahan.
11) Ardi Havid (2010) dalam Tesisnya yang berjudul Analisis Teknik
Penerjemahan dan Kualitas Terjemahan Buku “Asal Usul Elite Minangkabau
Modern: Respons Terhadap Kolonial Belanda Abad ke XIX/XX”. Tujuan

penelitian ini adalah: Mengidentifikasi dan mendeskripsikan teknik, metode dan
ideologi yang digunakan oleh penerjemahan, kemudian peneliti melihat
dampaknya pada kualitas terjemahan, yaitu tingkat keakuratan (accuracy), tingkat
keberterimaan (acceptability) dan tingkat keterbacaan (readability).

Dari

penelitian ini ditemukan bahwa terdapat 18 jenis teknik penerjemahan dari jumlah
data 731. Berdasarkan frekuensi penggunaan teknik tersebut adalah: teknik
amplifikasi 122 data (16,69%), teknik harafiah 86 data (11,76%), teknik padanan
lazim 84 data (11,49%), teknik modulasi 73 data (9,99%), teknik peminjaman
murni 71 data (9,71%), teknik reduksi 61 data (8,34%), teknik adaptasi 57data
(7,80%), teknik penambahan 37 data (5,06%),teknik transposisi 27 data (3,69%),
generalisasi 22 data (3,01%), teknik calke 19 data (2,60%), teknik inversi 16 data
(2,19%), teknik partikulasi 15 data (2,05%), teknik penghilangan 15 data (2,05%),
teknik kreasi diskursif 10 data (1,37%), teknik deskripsi 9 data (1,23%), teknik
peminjaman alamiah 6 data (0,82%) dan teknik koreksi 1 (0,14%). Dari hasil
penelitian ini. Dampak dari penggunaan teknik-teknik ini terhadap kualitas
terjemahan, tergolong baik yaitu: rata-rata tingkat keakuratan terjemahan 3,33,
keberterimaan, 3,35 dan tingkat keterbacaan 3,53. Teknik yang paling
memberikan kontribusi positif terhadap tingkat keakuratan, keterbacaan dan
keberterimaan adalah teknik amplifikasi, teknik harafiah, dan teknik padanan
lazim. Dan yang paling banyak mengurangi tingkat keakuratan dan keberterimaan
adalah teknik modulasi, teknik penambahan dan teknik penghilangan.
12) Sari, W.P (2010) dalam junal yang berjudul Translation Techniques and
Translation Accuracy of English Translated Text of Tourism Brochure in Tanah
Datar Regency. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jenis-jenis teknik

penerjemahan yang digunakan oleh penerjemah dalam menerjememahkan teks
dari bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dalam brosur pariwisata yang terdapat di
kabupaten Tanah Datar. Penelitian ini menggunakan konseptual teori tentang
teknik penerjemahan dari Molina dan Albir. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menemukan tingkat keakuratan hasil terjemahan tersebut. Berdasarkan analisis
data, ditemukan bahwa teknik penerjemahan harafiah (literal translation)
merupakan teknik yang paling banyak digunakan oleh penerjemah, sedangkan
dari tingkat keakuratannya, 60% data masuk ke dalam kategori kurang akurat.
Dari hasil temuannya, Sari menyimpulkan bahwa penerjemah cenderung
mempertahankan ciri BSu dalam melakukan penerjemahan ke dalam BSa.
13) Silalahi Roswita (2009) dalam Disertasinya yang berjudul Dampak
Teknik, Metode dan Ideologi Penerjemahan pada Kualitas Terjemahan Teks
Medical –Surgical dalam Bahasa Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk: 1)
merumuskan teknik penerjemahan yang diterapkan dalam menerjemahkan kata,
frasa, klausa dan kalimat yang terdapat dalam teks Medical-surgical Nursing ke
dalam bahasa Indonesia, 2) mendeskripsikan metode penerjemahan yang
ditetapkan dalam menerjemahkan kata, frasa, klausa dan kalimat yang terdapat
dalam teks Medical-surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, 3)
mengekspresikan ideologi penerjemahan yang dianut oleh penerjemah dalam
menerjemahkan kata, frasa, klausa dan kalimat yang terdapat dalam teks Medicalsurgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia, 4) menilai dampak teknik
penerjemahan, metode penerjemahan dan ideologi penerjemahan tersebut pada
kualitas terjemahan. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif
dengan desain studi kasus terpancang. Data yang dikaji merupakan data kualitatif,

yang berwujud kata, frasa, klausa dan kalimat yang berasal dari sumber data
dokumen maupun informasi kunci dan respon. Data tersebut dideskripsikan dan
disesuaikan dengan tujuan penelitian. Temuan dalam penelitian ini adalah delapan
teknik penerjemahan diterapkan dalam penerjemahan teks Medical-Surgical yaitu
harfiah, peminjaman murni, peminjaman alamiah, calque, transposisi, modulasi,
penghilangan dan penambahan. Frekwensi penggunaannya menunjukkan bahwa
teknik harfiah menempati urutan pertama (489), yang diikuti oleh peminjaman
murni (224), peminjaman alamiah (222), transposisi (68), calque (67), modulasi
(25), penghilangan (16) dan teknik penambahan (9).
Pada penelitian beliau menunjukkan bahwa kualitas terjemahannya
didapatkan

338(64,75%)

diterjemahkan

secara

akurat,

136

(26,05%)

diterjemahkan kurang akurat dan 48 (9,20%) tidak akurat. Teknik yang
memberikan dampak positif adalah teknik peminjaman murni, teknik peminjaman
alamiah, calque, dan harfiah.
Kontribusi penelitian yang dilakukan oleh Silalahi, relevan dengan
penelitian yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini. Beliau mengkaji teknik,
metode dan ideologi dalam Medical-surgical Nursing ke dalam bahasa Indonesia,
dengan menganalisis makna pada tataran kata, frasa, kalausa dan kalimat.
Kemudia, Silalahi mencari dampaknya pada kualitas terjemahan pada tingkat
keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan. Namun, dalam penelitian ini peneliti
hanya mengkaji teknik yang digunakan oleh penerjemah dengan dan mencari
dampaknya pada kualitas terjemahan pada tingkat keakuratan terjemahan dengan
kajian pada tataran kata, frasa dan kalimat dalam menerjemahkan Laowömaru

Manömanö Nono Niha ke dalam bahasa Indonesia Laowömaru Legenda
Masyarakat Nias.
Penelitian terdahulu yang relevan seperti yang diuraikan di atas, sangat
membantu peneliti dalam melakukan penelitian ini sebab langkah-langkah dan
aspek penelitian mempunyai beberapa relevansi atau kesamaan dalam penelitian
ini seperti: metode penelitian, teknik penerjemahaan dan dampaknya pada kualitas
terjemahan.
2.7. Kerangka Berpikir
Penerjemah dalam proses penerjemahan merupakan pelaku utama
mengambil keputusan dalam menentukan padanan yang lebih tepat dalam
melakukan pengalihan pesan dari teks yang diterjemahkan dari BSu ke BSa. Teks
sumber adalah Laowömaru Manömanö Nono Niha yang ditulis dalam bahasa
daerah Nias dan Teks sasaran Laowömaru Legenda Masyarakat Nias, yang
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Dari teks yang diterjemahkan itu,
penerjemah menggunakan teknik-teknik penerjemahan yang digunanakan dalam
mencari padanan yang lebih tepat untuk menghasilkan terjemahan yang lebih
akurat. Oleh karena itu, peneliti ingin menggambarkan kerangka berpikir sebagai
berikut:

BSu
Teks Laowömaru
Manömanö Nono Niha
(Teks dalam Bahasa Daerah Nias)

BSa
Teks Laowömaru
Legenda Masyarakat Nias
(Teks dalam Bahasa Indonesia)

Teknik Penerjemahan
(Molina dan Albir 2002)

Keakuratan Terjemahan
(Nababan 2004)

Temuan/hasil

Kesimpulan

Gambar 2.2. Kerangka Berpikir