Pengaruh Mutu Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien Jaminan Kesehatan Nasional Di Poliklinik Rumah Sakit Umum Daerah Doloksanggul

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Rumah Sakit
2.1.1 Pengertian Rumah Sakit
Pengertian Rumah Sakit menurut Undang-Undang RI Nomor 44 tentang
Rumah

Sakit

Tahun

menyelenggarakan

2009

pelayanan

adalah
kesehatan


institusi

pelayanan

perorangan

secara

kesehatan

yang

paripurna

yang

menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan
kesehatan paripurna yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan yang meliputi
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Rumah Sakit harus mempunyai kemampuan pelayanan sekurang-kurangnya

pelayanan medik umum, gawat darurat, pelayanan keperawatan, rawat inap,
operasi/bedah, pelayanan medik spesialis dasar, penunjang medik, farmasi, gizi,
sterilisasi, rekam medik, pelayanan administrasi dan manajemen, penyuluhan
kesehatan masyarakat, pemulasaran jenazah, laundry, pemeliharaan sarana rumah
sakit, serta pengolahan limbah (UU No 44, 2009).
2.1.2 Tugas dan Fungsi Rumah Sakit
Menurut Permenkes No 340 tahun 2010 rumah sakit mempunyai tugas
memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna. Untuk menjalankan
tugas rumah sakit mempunyai fungsi :

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan
standar pelayanan rumah sakit
b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan
yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis
c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan
d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi bidang
kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan memperhatikan
etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan
2.1.3 Klasifikasi Rumah Sakit

Permenkes RI No 340 tahun 2010 tentang klasifikasi rumah sakit dibedakan
berdasarkan : pelayanan, sumber daya manusia, peralatan, sarana dan prasarana dan
administrasi dan manajemen. Adapun klasifikasi rumah sakit umum adalah :
a. Rumah Sakit Umum Kelas A
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan
anak, bedah, obstetri dan ginekologi, 5 (lima) spesialis penunjang medik yaitu:
pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik, patologi klinik dan patologi
anatomi, 12 (dua belas) spesialis lain yaitu: mata, telinga hidung tenggorokan,
syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru,
orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan kedokteran forensik dan 13
(tiga belas) subspesialis yaitu: bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetri dan

ginekologi, mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh
darah, kulit dan kelamin, jiwa, paru, onthopedi dan gigi mulut.
b. Rumah Sakit Umum Kelas B
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan
anak, bedah, obstetri dan ginekologi, 4 (empat) spesialis penunjang medik yaitu
:pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik dan patologi klinik.

Sekurang-kurangnya 8 (delapan) dari 13 (tiga belas) pelayanan spesialis lain yaitu
: mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan
kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedi, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan
kedokteran forensik: mata, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin,
kedokteran jiwa, paru, urologi dan kedokteran forensik. Pelayanan Medik
Subspesialis 2 (dua) dari 4 (empat) subspesialis dasar yang meliputi :Bedah,
Penyakit Dalam, Kesehatan Anak, Obstetri dan Ginekologi.
c. Rumah Sakit Umum Kelas C
Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik
paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar :pelayanan penyakit dalam, kesehatan
anak, bedah, obstetri dan ginekologi dan 4 (empat) spesialis penunjang medik
yaitu : pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik dan patologi klinik.
d. Rumah Sakit Umum Kelas D adalah rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas
dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) dari 4 (empat) spesialis

dasar yaitu: pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetri dan
ginekologi.

2.2 Poliklinik
Pengertian poliklinik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2012) adalah

balai pengobatan umum tidak untuk perawatan atau pasien menginap. Kata dasar dari
poliklinik adalah klinik yang mempunyai pengertian : bagian rumah sakit atau
lembaga kesehatan tempat orang berobat dan memperoleh advis medis serta tempat
mahasiswa kedokteran melakukan pengamatan terhadap kasus penyakit yang diderita
para pasien.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 028/Menkes/Per/I/
2011 tentang klinik bahwa klinik sebagai salah satu bentuk fasilitas pelayanan
kesehatan dibutuhkan untuk terselenggaranya pelayanan kesehatan yang mudah
diakses, terjangkau dan bermutu dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat
Dalam suatu rumah sakit poliklinik merupakan bagian dari unit rawat jalan,
instalasi pelayanan rawat jalan mempunyai tugas melaksanakan diagnosa, melaksanakan
pengobatan, perawatan, pencegahan dan pemulihan akibat suatu penyakit dan
peningkatan kesehatan untuk penderita rawat jalan, melakukan rujukan baik ke instalasi
lain maupun ke unit pelayanan kesehatan lainnya. Dalam operasionalnya pelayanan
rawat jalan adalah kegiatan fungsional yang dilakukan petugas medis, perawat dan /

atau non medis yang melayani berbagai jenis pelayanan kesehatan yang dilaksanakan
di Instalasi Rawat jalan (Poliklinik).
Poliklinik rawat jalan adalah pelayanan yang diberikan kepada pasien yang

masuk rumah sakit untuk keperluan observasi, diagnosa, pengobatan, rehabilitasi
medis dan pelayanan kesehatan lainnya tanpa tinggal di ruang rawat inap. Pelayanan
rawat jalan mencakup pengobatan medis praktek swasta perorangan, praktek
bersama, klinik-klinik, pusat pelayanan medis swasta maupun pemerintah termasuk
rumah sakit.
Instalasi atau poliklinik rawat jalan bukanlah suatu unit pelayanan rumah sakit
yang dapat bekerja sendiri, melainkan mempunyai kaitan sangat erat dengan instalasi
lain di rumah sakit agar dapat memberikan pelayanan kepada pasien dengan baik.
Instalasi atau bagian lain yang mempunyai kaitan erat dengan rawat jalan, antara lain
unit rekam medis, staf medis fungsional, laboratorium, pemeliharaan sarana rumah
sakit, radiologi, logistik, farmasi, dan keuangan. Agar dapat memberikan pelayanan
dengan sebaik-baiknya kepada pasien maka dalam melakukan kegiatan pelayanannya,
unit atau bagian tersebut harus berkoordinasi dengan baik. Pelayanan rawat jalan
adalah pelayanan pertama dan merupakan pintu gerbang rumah sakit, serta
merupakan satu-satunya bagian dari pelayanan medik yang memberikan kesan
pertama bagi pasien sebagai konsumen.

2.3 Mutu Pelayanan Rumah Sakit
Layanan merupakan suatu aktivitas atau hasil yang dapat ditawarkan oleh
suatu lembaga kepada pihak lain yang biasanya tidak tampak dan hasilnya tidak

dapat dimiliki orang lain. Proses layanan kepada pasien merupakan aktivitas rumah
sakit yang memberikan kemudahan pada pasien untuk mendapat layanan, jawaban dan
solusi (Depkes RI, 1999).
Mutu merupakan fenomena yang komprehensif dan multi dimensi, bisa
digunakan pada pelayanan klinis maupun manajemen untuk mendukung pelayanan
kesehatan. Kegiatan menjaga mutu dapat menyangkut satu atau beberapa dimensi,
yaitu:

kompetensi

teknis,

akses terhadap

pelayanan,

efektifitas,

efisiensi,


keamanan, hubungan antar manusia, kenyamanan dan kelangsungan pelayanan
(Pohan, 2012).
Menurut Brown dalam Pohan (2012) mutu pelayanan kesehatan adalah
pelayanan kesehatan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan
kesehatan

sesuai

dengan

tingkat

kepuasan

rata-rata

penduduk

serta


penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan dan kode etik profesi yang
telah ditetapkan. Mutu pelayanan kesehatan adalah tingkat terbaik yang dihasilkan
dan didokumentasikan dalam proses diagnosa dan terapi berdasarkan pengetahuan
ilmu sehingga memperkecil kematian dan kesakitan.
Berdasarkan pengertian mutu pelayanan kesehatan yang telah dijabarkan
sebelumnya, mutu pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tingkat terbaik
yang dihasilkan untuk memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan dimana

penyelenggaraannya sesuai dengan standar pelayanan, kode etik dan pengetahuan
sehingga memperkecil kematian dan kesakitan.
Dimensi mutu pelayanan kesehatan Parasuraman (2001) mengembangkan
model yang komprehensif dari mutu pelayanan kesehatan yang berfokus pada
aspek fungsi dari pelayanan, yaitu:
a. Tampilan fisik, yaitu penampilan fasilitas fisik, peralatan, pegawai dan
media komunikasi dengan indikator:
1). Kebersihan, kerapian dan kenyamanan ruangan.
2). Penataan ruang tunggu dan ruang periksa kesehatan pasien. 3). Kesiapan dan
kebersihan alat-alat yang dipakai.
b. Reliabilitas, yaitu kemampuan untuk memberikan pelayanan kesehatan
yang dijanjikan dengan tepat dan memuaskan dengan indikator:

1). Prosedur penerimaan pasien yang cepat dan tepat.
2). Pelayanan pemeriksaan, pengobatan dan perawatan yang cepat dan tepat.
3). Jadwal pelayanan dan kunjungan dokter dijanjikan dengan tepat.
c. Responsif,

yaitu

kemampuan

untuk

membantu

pasien

dan

memberikan pelayanan dengan cepat tanggap, indikatornya:
1). Perawat cepat tanggap menyelesaikan keluhan pasien.
2). Petugas memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti.

3). Saat dibutuhkan pasien, perawat bertindak dengan tepat dan cepat.
d. Jaminan, yaitu mencakup pengetahuan, kemampuan, kesopanan serta
sifat yang dapat dipercaya dimiliki oleh para staf bebas dari bahaya,

resiko dan keragu-raguan dengan indikator:
1). Pengetahuan dan kemampuan para dokter menetapkan penyakit. 2).
Keterampilan para perawat melayani pasien Askes.
3). Pemberi layanan yang sopan dan ramah.
4). Jaminan keamanan pelayanan dan kepercayaan terhadap pelayanan.
e. Empati, yaitu kemudahan dalam melakukan hubungan komunikasi yang
baik, perhatian pribadi dan pemahaman kebutuhan pasien dengan indikator:
1). Memberikan perhatian secara khusus kepada setiap pasien.
2). Perhatian terhadap keluhan pasien dan keluarganya.
3). Pelayanan kepada semua pasien tanpa memandang status sosial.
Menurut Parasuraman (2001) ada perbedaan dimensi yang dianut oleh
setiap pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan, yaitu:
a. Bagi

pemakai

jasa

pelayanan

yang

berhubungan

dengan

ketanggapan dan kemampuan petugas dalam memenuhi kebutuhan
pasien dan komunikasi pasien dan petugas termasuk didalamnya
sifat ramah, rendah hati dan kesungguhan.
b. Bagi pihak pelayanan kesehatan yang terkait pada pemakai yang
sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi selain itu terkait
juga pada otonomi profesi dokter dan perawat serta profesi kesehatan
lain.
c. Segi pembiayaan, mutu pelayanan terkait pada segi efisiensi pemakai

sumber dana serta kewajaran pembiayaan kesehatan.
Berdasarkan penjabaran mengenai dimensi dari mutu pelayanan kesehatan
dapat disimpulkan bahwa dimensi mutu pelayanan kesehatan dapat berbeda untuk
setiap pihak yang terkait dalam pelayanan kesehatan. Bagi pemakai jasa, dimensi
responsif, jaminan dan empati merupakan dimensi yang harus dilaksanakan dalam
melayani pasien. Bagi penyelenggaraan pelayanan, mutu pelayanan lebih terkait
pada dimensi tampilan fisik. Sedangkan untuk penyandang dana pelayanan
kesehatan lebih terkait pada efisiensi pemakaian sumber dana dan kewajaran
pembiayaan.
Menurut Azwar (1999) aspek mutu pelayanan kesehatan mencakup empat
aspek yaitu:
a. Penampilan keprofesian atau klinis. Aspek ini menyangkut sumber daya
manusia seperti dokter, perawat yang terkait dengan sikap, perilaku,
pengetahuan dan pengalamannya.
b. Efektifitas dan efesiensi. Hal ini menyangkut pemanfaatan sumber daya yang
ada.
c. Keselamatan pasien. Aspek ini menyangkut keamanan dan keselamatan
pasien, perlindungan dari resiko yang sekecil-kecilnya terhadap pasien.
d. Kepuasan pasien. Menyangkut aspek fisik, mental, sosial pasien seperti
kebersihan lingkungan, kemampuan, keramahan, kecepatan pelayanan dan
perhatian petugas terhadap pasien.

Rumah sakit pemerintah sebagai sebuah organisasi yang ditujukan untuk
memberikan pelayanan umum guna memenuhi kebutuhan kesejahteraan minimal
serta standar yang dapat diakses oleh masyarakat telah ditetapkan dengan berbagai
peraturan untuk menetapkan standar pelayanan minimal yang harus disediakan serta
sebagai dasar evaluasi, pengukuran dan penilaian kinerja dari rumah sakit itu sendiri.
Kondisi ini juga diterapkan bagi rumah sakit pemerintah daerah yang telah menjadi
BLU/BLUD dimana standar pelayanan minimum yang digunakan ditetapkan oleh
menteri/pimpinan, lembaga/gubernur/bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya,
harus mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya
serta kemudahan untuk mendapatkan layanan.
Sehubungan dengan hal tersebut dalam Peraturan Pemerintrah (PP) No 23
tahun 2005 tentang Standar Pelayanan Minimal BLU disebutkan bahwa standar
pelayanan rumah sakit pemerintah daerah (RSUD) ditetapkan oleh kepala daerah
dengan peraturan kepala daerah. Standar pelayanan minimal tersebut harus memenuhi
persyaratan yaitu :
1. Fokus pada jenis pelayanan, dalam arti mengutamakan kegiatan pelayanan yang
menunjang terwujudnya tugas dan fungsi BLU/BLUD
2. Terukur, merupakan kegiatan yang pencapaiannya dapat dinilai sesuai dengan
standar yang telah ditetapkan.
3. Dapat dicapai, merupakan kegiatan nyata yang dapat dihitung tingkat
pencapaiannya, rasional sesuai kemampuan dan tingkat pemanfaatannya

4. Relevan dan dapat diandalkan, merupakan kegiatan yang sejalan, berkaitan dan
dapat dipercaya untuk menunjang tugas dan fungsi BLU/BLUD
5. Tepat waktu, merupakan kesesuaian jadwal dan kegiatan pelayanan yang telah
ditetapkan
Kualitas pelayanan standar rumah sakit pemerintah juga diatur dalam jenjang
yang lebih tinggi, Departemen Kesehatan mengatur dan menetapkan kinerja
pelayanan standar yang harus disediakan oleh rumah sakit pemerintah berupa Standar
Pelayanan Minimal dalam bidang kesehatan serta pedoman yang digunakan oleh
rumah sakit daerah untuk menyusun Standar Pelayanan Minimalnya sendiri diatur
dalam Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2008.
Pedoman tentang Standar Pelayanan Minimal yang harus diselenggarakan
oleh Rumah Sakit Daerah mengatur bahwa Standar Pelayanan Rumah Sakit Daerah
meliputi penyelenggaraan pelayanan manajemen rumah sakit, pelayanan medik,
pelayanan penunjang dan pelayanan keperawatan baik rawat inap maupun rawat jalan
yang minimal harus diselenggarakan oleh rumah sakit. Kemudian indikator yang
digunakan meliputi :
1. Input, yang dapat mengukur pada bahan alat sistem prosedur atau orang yang
memberikan pelayanan misalnya jumlah dokter, kelengkapan alat, prosedur tetap
dan lain-lain.
2. Process, yang dapat mengukur perubahan pada saat pelayanan yang misalnya
kecepatan pelayanan, pelayanan dengan ramah dan lain-lain.

3. Output, yang dapat menjadi tolok ukur pada hasil yang dicapai, misalnya jumlah
yang dilayani, jumlah pasien yang dioperasi, kebersihan ruangan.
4. Outcome, yang menjadi tolok ukur dan merupakan dampak dari hasil pelayanan
sebagai misalnya keluhan pasien yang merasa tidak puas terhadap pelayanan dan
lain-lain.
5. Benefit, adalah tolok ukur dari keuntungan yang diperoleh pihak rumah sakit
maupun penerima pelayanan atau pasien misal biaya pelayanan yang lebih murah,
peningkatan pendapatan rumah sakit.
6. Impact, adalah tolok ukur dampak pada lingkungan atau masyarakat luas misalnya
angka kematian ibu yang menurun, meningkatnya derajat kesehatan masyarakat,
meningkatnya kesejahteraan karyawan (Depkes RI, 2008).

2.4 Kepuasan Pasien
2.4.1. Pengertian Kepuasan
Pengertian kepuasan adalah suatu perasaan dimana keinginan dan harapanharapan manusia terpenuhi. Rasa kepuasan adalah suatu ekspresi kebutuhan manusia
apabila kebutuhan akan sesuatu terpenuhi.
Menurut Kotler (2005), pengertian kepuasan pelanggan merupakan evaluasi
purna beli dimana alternatif yang dipilih sekurang-kurangnya sama atau melampaui
harapan. Kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang
berasal dari perbandingan antara kesannya terhadap kinerja suatu produk dan
harapannya.

Kepuasan pelanggan merupakan perbedaan antara harapan dan unjuk kerja
yang diterimanya. Apabila harapan tinggi sementara unjuk kerjanya biasa-biasa saja,
kepuasan tidak akan tercapai dan kemungkinan konsumen akan kecewa. Sebaliknya
bila unjuk kerja melebihi harapan, kepuasan akan meningkat Kalau seorang
pelanggan puas dengan nilai yang diberikan oleh produk suatu perusahaan, Kalau ia
merasa dihargai dan diperlakukan dengan baik, pelanggan itu akan tetap menjadi
peanggan perusahaan tersebut dalam waktu yang lama. Kalau tidak ia akan segera
berpindah ke perusahaan lain.
Menurut Kotler (2005) bila pelanggan merasa puas akibatnya adalah
pelanggan akan: menjadi lebih setia, membeli lebih banyak jika perusahaan
memperkenalkan produk baru, memberi komentar yang menguntungkan tentang
perusahan dan produknya. Kurang memberi perhatian pada merek dan iklan pesaing
dan kurang sensitifterhadap harga serta membutuhkan biaya pelayanan yang lebih
kecil daripada pelanggan baru karena transaksi menjadi rutin.
Menurut Singh (2006) apabila pelanggan tidak puas, maka bentuk ketidak
puasannya tersebut dapat diwujudkan dalam 3 respon yaitu :
a. Voice Response, apabila pelanggan yang tidak puas menyampaikan keluhannya
kepada perusahaan yang bersangkutan. Respon ini sangat menguntungkan
perusahaan karena: (a) Pelanggan masih memberi kesempatan perusahaan untuk
mernuaskan mereka, (b) Risiko publisitas buruk dapat ditekan dan (c) Memberi
masukan mengenal kekurangan pelayanan yang perlu diperbaiki.

b. Private response. Apabila pelanggan yang tidak puas menyampaikan keluhannya
kepada orang lain baik ternan, kolega atau keluarganya. Tindakan ini berdampak
besar bagi citra perusahaan.
c. Third Party response. Apabila pelanggan yang tidak puas menyampaikan
keluhannya dengan mengadu lewat media masa, lembaga konsumen atau institusi
hukum. Tindakan ini sangat ditakuti olehsebagian besar perusahaan. Me!ihat
keuntungan bila perusahan memberikan kepuasan pelanggan dan kerugian bila
perusahaan tidak bisa memberi kepuasan kepada pelanggan.
Kotler (2005) menyimpulkan bahwa mempertahankan pelanggan lebih
penting daripada menarik pelanggan dan kunci untuk mempertahankan pelanggan
adalah dengan memberi kepuasan pe!anggan. Kepuasan pelanggan selalu berubah
seiring dengan berubahnya harapan pelanggan. Harapan yang dimiliki konsumen
cenderung meningkat sejalan dengan penga!arnan konsumen. Agar perusahaan dapat
memperbaiki kepuasan pelanggan atas produk dan jasanya, maka perlu dilakukan
penilaian terhadap kepuasan pelanggan secara teratur4. Untuk itu harus ada cara
konkrit bagaimana mengukur kepuasan pelanggan.
2.4.2 Cara Mengukur Kepuasan Pelanggan
Menurut Tjiptono (2000) untuk mengukur kepuasan pelanggan ada 3 aspek
penting yang saling berkaitan yaitu :
a. Apa yang diukur
Konsep yang biasa digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan yaitu
kepuasan pelanggan keseluruhan (overall customer satisfaction). Pengukuran ini

disebut pengukuran langsung dan merupakan teori pengukuran klasik. Pengukuran
kepuasan pelanggan ini dilakukan

dengan rnenanyakan kepada pelanggan

seberapa jauh mereka puas dengan produk atau jasa yang telah diterimanya.
Ada 2 bagian dalam proses pengukurannya yaitu: (a) mengukur tingkat kepuasan
pelanggan terhadap produk atau jasa perusahaan bersangkutan. (b) menilai dan
membandingkan dengan tingkat kepuasan pelanggan keseluruhan terhadap produk
atau jasa para pesaing.
b. Metode Pengukuran
Menurut Kotler

(2005) ada 4 metode yang banyak digunakan untuk

mengukur kepuasan pelanggan yaitu :
1) Sistem keluhan dan saran. Perusahaan yang berorientasi pelanggan wajib memberi
kesempatan kepada pelanggan untuk menyampaikan keluhan, kritik, usulan,
pendapat dan saran seluas-luasnya dengan melalui kotak saran, kartu
komentar,saluran telepon khusus, pos, website atau sarana lainnya.
2) Ghost shopping. Untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan
dengan menempatkan beberapa orang untuk berperan sebagai pelanggan potensial
jasa perusahaan pesaing. Mereka bertugas mencatat kekuatan dan kelemahan
pesaing
3) Lost Customer analysis. Perusahaan menghubungi kembali pelanggan yang sudah
berhenti atau beralih ke perusahaan lain, agar dapat rnernaharni mengapa hal
tersebut terjadi dan supaya dapat melakukan perbaikan atau penyempumaan
selanjutnya.

4) Survai kepuasan pelanggan. Survai dapat dilakukan melalui pos, telepon, e-mail
atau wawacara langsung. Melalui survai perusahaan akan memperoleh tanggapan
dan umpan balik langsung dari pelanggan dan merupakan tanda positif bahwa
perusahaan menaruh perhatian terhadap pelanggan.
c. Skala Pengukuran
Hanan dan Karp (2001) mengidentifikasi beberapa skala pengukuran yang
banyak diterapkan yaitu : (1) skala 2 poin ( ya - tidak), (2) skala 4 poin (sangat tidak
puas-tidak puas-puas-sangat puas), (3) skala 5 poin (sangat tidak memuaskan-tidak
rnemuaskan-netral-memuaskan-sangat memuaskan), (4) skala 7 pain (sangat tidak
puas-tidak puas-agak tidak puas-biasa saja-agak puas-puas-sangat puas), (5) skala 10
poin ( 1. sangat tidak puas ---10. sangat puas) 6) skala 100 pain (0% tidak puas sarna
sekali---l00% sangat puas) dari skala pengukurannya peneliti memilih menggunakan
skala yang ketiga yaitu menentukan kepuasan dari yang sangat tidak memuaskantidak rnemuaskan-netral- memuaskan-sangat memuaskan.
2.4.3 Faktor yang Digunakan untuk Mengukur Kepuasan
Menurut Parasuraman (2001) faktor yang digunakan untuk mengevaluasi
kepuasan di bidang kesehatan adalah:
a. Bukti langsung (Tangible) yang terdiri dari ruang perawatan dan fasilitas.
b. Keandalan (Reliability) meliputi janji yang ditepati dan diagnosis yang akurat.
c. Daya tanggap (Responsiveness) meliputi penanganan keluhan pasien, mudah
tidaknya dihubungi.
d. Jaminan meliputi ketrampilan, kepercayaan dan reputasi.

e. Emphati meliputi mengenal pasien, ingat masalahnya, perhatian dan kesabaran.
Kepuasan pasien ditentukan oleh adanya hubungan interpersonal dengan
perawat dan informasi yang diberikan. Kepuasan pasien terhadap perawat tersebut
menyebabkan

pasien

akan

kembali

lagi

ke

rumah

sakit

tersebut

dan

merekomendasikan kepada orang lain untuk menggunakan rumah sakit tersebut bila
membutuhkannya.

2.5 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Menurut UU SJSN No. 40 tahun 2004 tentang sistem jaminan sosial nasional,
Jaminan

Kesehatan

Nasional

(JKN)

adalah

Jaminan

kesehatan

yang

diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip
ekuitas. Jaminan kesehatan diselenggarakan dengan tujuan menjamin agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan.
Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Anggota keluarga peserta berhak
menerima manfaat jaminan kesehatan. Setiap peserta dapat mengikutsertakan
anggota keluarga yang lain menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran
(Kemenkes RI, 2014).
BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
jaminan sosial. Di dalam pasal 3 UU SJSN No. 40 tahun 2004 disebutkan bahwa
Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial harus dibentuk dengan Undang-Undang.

Sejak berlakunya UU SJSN, badan penyelenggara jaminan sosial yang ada
dinyatakan sebagai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial menurut UU SJSN.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (UU BPJS), secara tegas menyatakan bahwa BPJS yang
dibentuk dengan UU BPJS adalah badan hukum publik. BPJS yang dibentuk dengan
UU BPJS adalah BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Kedua BPJS tersebut
pada dasarnya mengemban misi negara untuk memenuhi hak konstitusional setiap
orang atas jaminan sosial dengan menyelenggarakan program jaminan yang
bertujuan memberi kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
2.5.1 Prinsip Penyelenggaraan JKN
Dalam penyelenggaraan program jaminan kesehatan nasional sebagai
bagian dari program jaminan sosial nasional, diselenggarakan berdasarkan prinsip :
a. Kegotong royongan. Prinsip ini diwujudkan dalam mekanisme gotong royong
dari peserta yang mampu kepada peserta yang kurang mampu, yang berisiko
rendah membantu yang berisiko tinggi, dan yang sehat membantu yang sakit.
Mekanisme pasar, yang didasari transaksi sukarela dan pilihan (free choices)
tiap orang, tidak mungkin mewujudkan kegotong-royongan. Secara alamiah,
pasar bersifat egois individualistis. Maka transaksi jaminan sosial haruslah
bersifat memaksa atau wajib, sama dengan transaksi pajak penghasilan. Melalui
prinsip kegotong royongan ini jaminan sosial dapat menumbuhkan keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hanya dengan prinsip ini, cakupan
universal dapat dicapai (Kemenkes RI, 2014).
b. Nirlaba, Untuk Indonesia istilah nirlaba masih banyak disalah-tafsirkan. Sering
ditafsirkan sebagai tidak boleh ada surplus. Salah besar. Yang lebih tepat adalah
bukan untuk memberi keuntungan kepada sebagian orang. Dalam bahasa
Inggris disebut not for profit, bukan no-profit. Prinsip ini adalah konsekuensi
transaksi wajib. Dalam transaksi sukarela (mekanisme pasar), keuntungan bagi
sebagian orang merupakan persayaratan untuk tercapainya mekanisme pasar
yang menghasilkan produk bermutu dan harga bersaing. Dalam UU SJSN,
dana yang terkumpul dari transaksi wajib disebut Amanat. Amanat yang akan
digunakan di masa depan dengan tujuan utama memenuhi sebesar-besarnya
kepentingan peserta, bukan memberi keuntungan kepada badan penyelenggara.
Oleh karenanya, indikator kinerja bukan laba sebagaimana indikator perusahaan
yang harus selalu diumumkan (paling tidak kepada pemegang saham) setiap
tahun. Dalam konsep jaminan sosial, selain akumulasi iuran, hasil investasi
iuran juga merupakan Dana Amanat. Hasil investasi tidak boleh dibukukan
sebagai pendapatan badan, sebagaimana bank membukukan. Hasil bunga
dana pihak ketiga sebagai pendapatan bank. Dana Amanat mempunyai ciri
yang mirip dana APBN, kecuali bahwa dana tersebut harus diinvestasi dan
jasa bunga atau hasil pengembangan menajdi bagian dari Dana Amanat. Dana
APBN tidak boleh diinvestasikan oleh penyelenggara pemerintahan atau
pengguna kuasa anggaran. Dana Amanat yang belum digunakan, karena

menunggu peserta pension atau sakit, justeru harus diinvestasikan agar dana
tersebut mempunyai manfaat maksimal bagi peserta (Kemenkes RI, 2014).
c. Keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan efektifitas.

Prinsip-

prinsip manajemen ini diterapkan dan mendasari seluruh kegiatan pengelolaan
dana yang berasal dari iuran peserta dan dari hasil pengembangannya. Prinsip ini
juga merupakan konsekuensi dari transaksi wajib. Jika semua orang wajib
mengiur (kecuali dalam keadaan tidak mampu absolut), maka segala kebijakan,
penggunaan uang, investasi, harus dilakukan secara terbuka (Kemenkes RI,
2014).
d. Portabilitas, Prinsip ini berlaku bagi jaminan, manfaat (benefit) jasa keuangan
(jaminan uang, atau layanan yang dibebankan dari D ana Amanat) yang
menjadihak peserta. Portabel atrtinya selalu dibawa, selalu mengikuti peserta.
Karena prinsipnya peserta harus selalu aman (security) kapan dan dimanapun
dia berada di dalam jurisdiksi Indonesia. Jaminan Sosial dimaksudkan untuk
memberikan jaminan yang berkelanjutan sampai peserta meninggal dunia.
Peserta yang berpindah pekerjaan atau berpindah tempat tinggal dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus selalu menerima manfaat
ketika risiko yang menjadi triger, syarat penerimaan manfaat, terjadi. Ketika
orang sakit, maka sakit adalah triger untuk mendapatkan hak jaminan
pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan (Kemenkes RI, 2014).
e. Kepesertaan bersifat wajib. Hal ini merupakan persyaratan agar seluruh rakyat
Indonesia

menjadi

peserta,

walaupun

dalam

penerapannya

tetap

menyesuaikan

dan

mempertimbangkan

kemampuan

ekonomi

rakyat

Penyelenggaraan Jaminan Sosial eksklusif oleh Pemda bertentangan dengan
UUD 45 dan Pemerintah serta kelayakan penyelenggaraan program. Kewajiban
menjadi peserta dimulai dari pekerja pada sektor formal karena secara teknis
pengumpulan iuran mudah dilakukan dengan mewajibkan pemberi kerja
(majikan) memungut iuran (Kemenkes RI, 2014).
f. Dana amanat. Hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya
untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta
(Pasal 4 UU SJSN), hal ini merupakan rumusan optimal untuk menjelaskan
apa yang dimaksud nirlaba. Dalam penjelasan dirumuskan bahwa hasil berupa
deviden dari para pemegang saham dikembalikanuntuk kepentingan peserta
jaminan sosial (Kemenkes RI, 2014).
UU BPJS No 24 Tahun 2011 menetukan bahwa BPJS Kesehatan berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Jaminan Kesehatan menurut UU
SJSN diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan
prinsip ekuitas, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar
kesehatan.
BPJS Ketenagakerjaan menurut UU No 24 tahun 2011 berfungsi
menyelenggarakan 4 program, yaitu program jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari
tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian. Menurut UU SJSN program jaminan
kecelakaan kerja diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi

sosial, dengan tujuan menjamin agar peserta memperoleh manfaat pelayanan
kesehatan dan santunan uang tunai apabila seorang pekerja mengalami kecelakaan
kerja atau menderita penyakit akibat kerja.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana diamksud di atas BPJS
berwenang: (a) menagih pembayaran iuran; (b) menempatkan Dana Jaminan Sosial
untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek
likuiditas, solvabilitas, kehati- hatian, keamanan dana, dan hasil yang memadai; (c)
melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan peserta dan pemberi kerja
dalam memanuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan jaminan sosial nasional; (d) membuat kesepakatan dengan fasilitas
kesehatan mengenai besar pembayaran fasilitas kesehatan yang mengacu pada
standar tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah; (e) membuat atau menghentikan
kontrak kerja dengan fasilitas kesehatan; (f) mengenakan sanksi administratif kepada
peserta atau pemberi kerja yang tidak memenuhi kewajibannya; (g) melaporkan
pemberi kerja kepada instansi yang berwenang mengenai ketidakpatuhannya
dalam membayar iuran atau dalam memenuhi kewajiban lain sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan (h) melakukan kerjasama dengan
pihak lain dalam rangka penyelenggaraan program jaminan sosial (Kemenkes RI,
2014).
Semua penduduk Indonesia wajib menjadi peserta jaminan kesehatan
yang dikelola oleh BPJS termasuk orang asing yang telah bekerja paling singkat
enam bulan di Indonesia dan telah membayar iuran.Jadi, seluruh masyarakat di

Indonesia harus ikut program jaminan kesehatan ini. Diharapkan Jaminan
Kesehatan telah mencapai kepesertaan semesta atau Universal Health Coverage
(UHC) paling lambat pada tahun 2019. Dengan semua penduduk menjadi peserta
jaminan kesehatan akan terjadi subsidi silang antara peserta yang sehat kepada yang
sakit, peserta yang muda kepada yang tua, dan peserta yang kaya kepada yang
miskin (Kemenkes RI, 2014).
Peserta Jaminan Kesehatan meliputi : (a) Penerima Bantuan Iuran Jaminan
Kesehatan (PBI): fakir miskin dan orang tidak mampu, dengan penetapan peserta
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang berhak menjadi peserta
PBI jaminan kesehatan lainnya adalah yang mengalami cacat total tetap dan tidak
dan tidak mampu. Cacat total tetap merupakan kecacatan fisik dan/ atau mental
yang mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pekerjaan.
Penetapan cacat total tetap dilakukan oleh dokter yang berwenang. (b) Bukan
Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan (Non PBI), terdiri dari: Pekerja
Penerima Upah dan anggota keluarganya, Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI,
anggota Polri, Pejabat Negara, Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri, Pegawai
Swasta dan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sd f yang menerima Upah termasuk
WNA yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam) bulan (Kemenkes RI, 2014).
2.5.2 Fasilitas Pelayanan Kesehatan bagi Peserta JKN
Fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan terdiri dari:
1. Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama

seperti Pusat Kesehatan Masyarakat

(Puskesmas) Non Perawatan dan Puskesmas Perawatan serta fasilitas kesehatan

milik Tentara Nasional Indonesia (TNI), fasilitas kesehatan milik Polisi
Republik Indonesia (POLRI), rumah sakit swasta serta klinik atau praktek
dokter yang melakukan kerjasama dengan BPJS sebagai badan penyelenggara
JKN (UU No. 24 Tahun 2011).
2. Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan adalah ruma sakit yang memiliki
pelayanan lebih lengkap dari sarana pelayanan tingkat pertama. Fasilitas
kesehatan tingkat lanjutan ini menerima pasien peserta JKN berdasarkan
rujukan dari masing-masing fasilitas pelayanan tingkat pertama di wilayah
kerjanya dengan membawa surat rujukan sesuai dengan indikasi medis
penyakit pasien yang dirujuk (UU No. 24 Tahun 2011).
3. Fasilitas kesehatan penunjang yang tidak bekerjasama secara langsung
dengan BPJS Kesehatan namun merupakan jejaring dari fasilitas kesehatan
tingkat pertama

maupun

fasilitas

kesehatan

tingkat

lanjutan

yang

bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, meliputi : laboratorium kesehatan,
apotek, unit transfusi darah, optik (UU No. 24 Tahun 2011).
2.5.3
a.

Pelayanan Kesehatan yang Dijamin dalam JKN
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Pelayanan kesehatan tingkat
pertama, meliputi pelayanan kesehatan non spesialistik yang mencakup:
administrasi pelayanan, pelayanan promotif dan preventif, pemeriksaan,
pengobatan, dan konsultasi medis, tindakan medis non spesialistik, baik
operatif maupun non operatif, pelayanan obat dan bahan medis habis pakai,
transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis, pemeriksaan penunjang

diagnostik laboratorium tingkat pratama dan rawat inap tingkat pertama sesuai
dengan indikasi medis (UU No. 24 Tahun 2011).
b.

Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, meliputi pelayanan kesehatan
rawat jalan dan rawat inap, yang mencakup: administrasi pelayanan,
pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh dokter spesialis dan
subspesialis, tindakan

medis

spesialistik,

baik

bedah

maupun

non

bedah sesuai dengan indikasi medis, pelayanan obat dan bahan medis habis
pakai, pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan indikasi medis,
rehabilitasi medis, pelayanan darah, pelayanan kedokteran forensik klinik,
pelayanan jenazah pada pasien yang meninggal setelah dirawat inap di
fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan bpjs kesehatan, berupa
pemulasaran jenazah tidak termasuk peti mati dan mobil jenazah, perawatan
inap non intensif dan perawatan inap di ruang intensif (UU No. 24 Tahun
2011).
c.

Persalinan. Persalinan yang ditanggung BPJS Kesehatan di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama maupun Tingkat Lanjutan adalah persalinan
sampai dengan anak ketiga, tanpa melihat anak hidup/ meninggal (UU No. 24
Tahun 2011).

d.

Ambulans. Ambulans hanya diberikan untuk pasien rujukan dari Fasilitas
Kesehatan satu ke fasilitas kesehatan lainnya, dengan tujuan menyelamatkan
nyawa pasien (UU No. 24 Tahun 2011).

2.6 Landasan Teori
Mutu pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pasien dan berakhir dengan
kepuasan pasien. Tingkat mutu pelayanan kesehatan tidak dapat dinilai berdasarkan
sudut pandang Puskesmas tetapi harus dipandang dari sudut pandang pasien. Menurut
Azwar (1999) mutu pelayanan kesehatan adalah mengacu pada tingkat kesempurnaan
layanan kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan memiliki hubungan yang erat dengan
kepuasan pasien, karena mutu memberikan dorongan kepada pasien untuk menjalin
ikatan hubungan yang lebih kuat dengan Puskesmas dan pada akhirnya kepuasan
pasien dapat meningkatkan jumlah kunjungan rumah sakit.
Agar pelayanan memiliki mutu dan memberikan kepuasan pada pengguna
jasa maka perlu diperhatikan dimensi yang berperan menciptakan dan meningkatkan
mutu pelayanan yang disebut dengan SERVQUAL (Parasuraman, 2001), yaitu: bukti
fisik (tangibles), keandalan (reliability), ketanggapan (responsiveness), jaminan
(assurance) dan perhatian (emphaty). Kelima dimensi mutu pelayanan berhubungan
dengan apa yang biasanya diharapkan dari suatu pelayanan jasa kesehatan.
Konsep mutu pelayanan rumah sakit sebagai faktor yang mempengaruhi
kepuasan pasien sebagaimana diuraikan di atas sebagai landasan teori mengacu
kepada teori Parasuraman (2001).

2.7 Kerangka Konsep
Mutu Pelayanan
1. Tampilan Fisik
2. Keandalan
3. Daya Tanggap
4. Jaminan
5. Empati

Kepuasan Pasien JKN
• Puas
• Tidak Puas

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian