Tasawuf Kontekstual Kajian Hermeneutika Cerpen-Cerpen Danarto.

(1)

Dra. Hj. Latifah Ratnawati, M.Hum.

TASAWUF KONTEKSTUAL

Kajian Hermeneutik Cerpen-Cerpen Danarto

Penerbit Dramata

Palembang

2011


(2)

Kutipan Pidana

Pasal 72 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Desain Sampul: Layout:

Penyunting: Muhammad Azhari

Penulis: Dra. Hj. Latifah Ratnawati, M.Hum.

TASAWUF KONTEKSTUAL

Kajian Hermeneutika Cerpen-Cerpen Danarto

Penerbit Dramata, Palembang

ISBN xxx-xxx-xxxx-xx-x

110 halaman + iii

Dicetak di

Isi di luar tanggung jawab percetakan

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).


(3)

Kata Pengantar

Isu mengenai adanya kesadaran baru dalam kesusastraan Indonesia, yaitu kesadaran spiritualitas yang biasa dikenal dengan istilah sufisme atau tasawuf, terdengar sejak awal tahun tujuh puluhan. Karya sastra yang bermuatan tasawuf itu pun banyak dihasilkan oleh sastrawan Indonesia, salah satunya adalah Danarto. Akan tetapi, penelitian tentang karya-karya yang bermuatan tasawuf itu belum banyak dilakukan. Oleh sebab itu, penulis tertarik meneliti unsur ketasawufan, khususnya perilaku ketasawufan dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto ini.

Banyak kesulitan yang penulis hadapi dalam penelitian ini karena terbatasnya pengetahuan. Setelah melalui berbagai kesulitan dan mendapat bantuan dari berbagai pihak, alhamdulillah tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memeberikan nikmat ini. Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Muhammad Luthfi yang telah membimbing penulis dengan kesungguhan dan ketelitian, walaupun dalam kondisi kesehatan yang belum begitu prima;

2. Prof. Dr. Achadiati Ikram, Ketua Program Studi Ilmu Susastra, ketika tesis ini masih dalam bentuk rancangan, dan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Ketua Program Studi Ilmu Susastra Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, ketika tesis ini diujikan yang telah memberikan berbagai kemudahan;

3. Dr. Lilawati Kurnia, Sekretaris Program Studi Ilmu Susastra, Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra Universitas Indonesia;

4. Dr. Ahmad Dahana, Dekan Fakultas Sastra, Universitas Indonesia;

5. Prof. Dr. H. Zainal Ridho Djakfar, Rektor Universitas Sriwijaya, yang telah memberikan izin belajar di Program Pascasarjana (S2) ini;

6. Dr. H. M. Djahir Basir, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sriwijaya, yang memeberikan kemudahan dalam menempuh pendidikan S2 ini;


(4)

7. Pimpinan Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah (PGSM), Departemen Pendididkan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang telah meberi beasiswa selama penulis menempuh pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Susastra, Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia;

8. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Dr. Muhammad Luthfi, Prof. Dr. Achadiati Ikram, Dr. Andriani Lucia Hilman, dan Dr. Parwatri Wahjono, yang telah menguji penulis dengan situasi menyenangkan dan sekaligus memberikan masukan yang berharga;

9. Para penulis senior di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sriwijaya, yang banyak memberikan dorongan kepada penulis, dan

10.Teman-teman di Kajian Tasawuf Positif IIMA yang bersedia berbincang mengenai taswuf dan meminjamkan sejumlah makalah dan jurnal sufi.

Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dan tidak mungkin disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan tesis ini pada masa yang akan dating sangat diharapkan. Akhirya, penulis berharap semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua dan mendapat rida-Nya.

Depok, 28 Oktober 2000


(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI

ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN 1.1Cerpen dan Sastra Sufistik 1.2Rumusan Masalah

1.3Tujuan Penelitian 1.4Manfaat Penelitian 1.5Sumber Data 1.6Landasan Teori 1.7Metodologi Penelitian 1.8Sistematikan Penulisan

BAB II PERILAKU SUFISTIK TOKOH DALAM KUMPULAN CERPEN GERGASI

KARYA DANARTO 2.1 Pendahuluan

2.2 Perilaku Sufistik Tokoh

2.2.1 Sabar Dilandasi Cinta: Representasi Sufi Rabiah al-Adawiyah 1) Sinopsis Cerpen “Rembulan di Dasar Kolam”

2) Perilaku Sufistik

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

2.2.2 Rela dan Syukur Demi Menggapai Rida Allah

1) Sinopsis Cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa” 2) Perilaku Sufistik

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

2.2.3 Rela dan Zuhud Memberikan Ketenangan Hidup 1) Sinopsis Cerpen “Bulan Sepotong Semangka” 2) Perilaku Sufistik

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

2.2.4 Kezuhudan Memerangi Kejahatan Menegakkan Moral Keilahian 1) Sinopsis Cerpen “Dinding Ayah”

2) Perilaku Sufistik

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

2.2.5 Cinta Berbuah Ketaatan yang Tinggi Hanya kepada-Nya 1) Sinopsis Cerpen “Dinding Waktu”

2) Perilaku Sufistik

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

2.2.6 Kepemimpinan Dilandasi Cinta Berbuah Kebijakan Berpihak pada Rakyat 1) Sinopsis Cerpen “Gaharu”

2) Perilaku Sufistik

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

2.2.7 Isar dan Futuwah Sarana Amar Makruf Nahi Munkar Seniman 1) Sinopsis Cerpen “Balairung”


(6)

2) Perilaku Sufistik

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

2.2.8 Cinta Mengubah Kekuatan Negatif Menjadi Positif 1) Sinopsis Cerpen “Semak Belukar”

2) Perilaku Sufistik

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

2.2.9 Cinta dan Pengabdian kepada Sesama, Sarana Pengabdian kepada Allah 1) Sinopsis Cerpen “Gandasturi”

2) Perilaku Sufistik

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

BAB III SIKAP IMPLIEDAUTHOR TERHADAP PERILAKU SUFISTIK 3.1 Pendahuluan

3.2 Tasawuf Klasik dan Tasawuf Modern 3.3 Pandangan ImpliedAuthor tentang Tasawuf 3.4 ImpliedAuthor tentang Perilaku Sufistik BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan 4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN:

Lampiran 1 Rekapitulasi Perilaku Sufistik Tokoh Lampiran 2 Glosari


(7)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Cerpen dan Sastra Sufistik

Cerita pendek merupakan karya prosa imajiner yang menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dan interaksinya dengan sesamanya dan lingkungannya. Kehidupan yang ditampilkan itu merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap kehidupan dan lingkungan yang ada di sekitarnya itu. Bahkan, Wellek (1989:135) memandang bahwa karya sastra, termasuk cerpen tentu saja, dapat dianggap sebagai dokumen sejarah pemikiran dan filsafat. Karenanya, sejarah sastra dapat dianggap sejajar dan mencerminkan sejarah pemikiran.

Pada tahun 1970-an muncul karya-karya sastra yang berwawasan estetika dan kesaadaran baru dalam sastra Indonesia. Abdul Hadi WM, dalam wawancara dengan wartawan Minggu Pagi, 31 Oktober 1987 memandang bahwa karya-karya sastra yang ditulis pada tahun 1970-an itu memiliki benang merah yang jelas dalam wawasan estetika, pandangan hidup, daerah penjelajahan, dan kesadaran zaman yang didominasi rasionalisme, nasionalisme, dan teknologi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa karya sastra yang dijumpai antihero, menggarap arus kesadaran dalam pelakunya, tidak mempedulikan alur, dan mengembalikan realitas sastra kepada realitas imajiner. Dunia transenden digarap kembali sehingga muncul karya-karya sufistik atau ketasawufan dengan penghayatan baru.

Di dalam kesusastraan Melayu, sastra tasawuf sudah dirintis oleh Hamzah Fansuri dan Samsuddin Pasai pada abad ke-16 di Aceh, yang dipengaruhi ajaran Wahdat al-Wujud Ibnu Arabi dari sastra Arab. Ajaran ini cenderung Pantheistis dan menemukan bumi suburnya di dalam sastra sufi Jawa (Simuh, 1994:14). Abdul Hadi WM (1995:12) menganggap Hamzah Fansuri sebagai peletak dasar puitika dan estetia Melayu yang mantap dan kukuh. Pengaruhnya masih terlihat sampai abad ke-20, khususnya dalam karya-karya penyair Angkatan Pujangga Baru. Bahkan, pengaruh itu juga terlihat pada sastrawan Angkatan 70-an, seperti Danarto.


(8)

Cerpen-cerpen Danarto, dikatakan Hadi (1999:23) sebagai karya yang memiliki kecenderungan sufistik. Dikatakannya demikian, karena pengalaman yang dipaparkannya merupakan pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transendental. Sumber ilham karya sufistik ini adalah tasawuf dan karya penulis sufi. Sebagaimana sastra sufi, sastra sufistik juga sering menggunakan sistem pencitraan dan perlambangan khas sastra sufi, terkadang juga menggunakan perlambang ciptaan sastrawannya sendiri.

Sastra sufitik menurutnya dapat disebut juga sebagai sastra transendental. HB Jassin (1991:38) mengistilahkan karya seperti ini dengan mistisisme. Maksudnya, karya itu menjelmakan perasaan kedekatan dengan wujud keilahian; atau kebenaran Yang Paling Akhir, persatuan dengan Yang Mahatinggi. Pengarang, dalam hal ini, melukiskan pengalamannya dalam mencari dan merasakan napas ketuhanan dan keabadian.

Sastra sufistik ini berbeda dari sastra sufi. Sastra sufi, selain ditulis oleh para sufi, isinya berupa doktrin atau ajaran tasawuf. Tema sastra sufi, di samping masalah cinta Ilahi, makrifat, tauhid, dan persatuan dengan kehendak Tuhan, juga kaya akan tema sosial dan moral. Dalam hal pengucapan, para sufi biasanya menggunakan sistem pencitraan dan perlambangan khas sastra sufi (Hadi, 1993:8—9). Sementara Nicholson (1978:98) berpendapat bahwa sastra tasawuf dalam hal-hal tertentu bersifat figuratif, karena dengan cara itulah para sufi dapat menyembunyikan atau merahasiakan ajarannya yang sebenarnya hanya boleh diketahui oleh dirinya sendiri. Selain itu, dengan citra itu mereka dapat menuangkan pengalaman kerohaniannya. Lambang yang digunakan bermacam-macam, baik lambang yang umum seperti mabuk anggur, kekasih laut, burung, perahu, dan cermin, maupun lambang yang sesuai dengan pengarangnya. Isinya berupa masalah-masalah ketasawufan sehingga karya ini bersifat ideologis. Oleh sebab itu, sastra tasawuf ini diguakan sebagai wadah menuangkan ajaran tasawuf atau ideologi kaum sufi.

Menurut pandangan Simuh (1992:6) sastra sufi lahir dari kebutuhan untuk menyebarkan ajaran tasawuf sehingga sebagian ajaran tasawuf itu diungkapkan melalui karya sastra.

Pemerhati sastra menaruh perhatian besar terhadap karya-karya Danarto. Hal ini terlihat dari beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing. Misalnya saja, Godlob diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris


(9)

dengan judul Abacadabra. Kumpulan cerpennya Berhala mendapat penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tahun 1990. Teeuw (1998:199), menempatkan Danarto sebagai pengarang Indonesia mutakhir yan paling berhasil dalam pembaharuan terhadap prosa Indonesia, khususnya dalam hal teknik fiksi, di samping dalam hal isinya. Bahkan, Burton Raffel dalam The Asian Wall Street Journal, 28

Februari 1980 menulis, “Mungkin yang paling menarik adalah eksperimentalis Danarto.

Cerpen-cerpennya mempesona dan melebihi cerpen-cerpen terbaik di Eropa maupun

Amerika dewasa ini” (Danarto, 1982:kulit belakang).

Sampai tahun 1993, ada empat buku kumpulan cerpen yang ditulis Danarto. Keempat buku kumpulan cerpen itu adalah Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), Berhala (1987), dan Gergasi (1993). Danarto juga menulis catatan harian berjudul Orang Jawa Naik Haji

dan diterbitkan tahun 1983. Pada tahun 1986, ada dua buah kumpulan esai diterbitkannya, yaitu Gerak-gerik Allah dan Begitu Ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu. Pada tahun 1999, ia menerbitkan novel perdananya berjudul Asmaraloka. Selain itu, masih banyak karyanya yang tersebar di berbagai surat kabar dan majalah, seperti

Republika, Kompas, Horison, dan Zaman, baik yang berbentuk puisi, esai, maupun cerpen.

Kumpulan cerpen Gergasi, yang merupakan objek penelitian ini, memuat tiga belas

cerpen, yaitu (1) “Rembulan di Dasar Kolam”, (2) “Allah Berkenan Mengejawantah Lusa”, (3) “Bulan Sepotong Semangka”, (4) Dinding Ayah”, (5) Dinding Waktu”, (6)

Matahari Mabuk”, (7) “Gaharu”, (8) “Bulan Melahap Madu”, (9) “Menu”, (10) “Semak Belukar”, (11) “Kolam Merah”, dan (12) “Gandasturi”.

Ada perbedaan tajam antara kumpulan cerpen Godlob dan Adam Ma’rifat dengan

Berhala dan Gergasi. Perbedaan itu, setidaknya, dapat dilihat dari tokoh dan peristiwa yang dikemukakan. Pada Godlob dan Adam Ma’rifat, sebagian besar tokohnya merupakan tokoh yang sulit dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya dengan peristiwa yang dikemukakan. Tampaknya, kenyataan dalam karya sastra betul-betul dikembalikan pengarang kepada kenyataan yang imajiner.

Dalam Berhala dan Gergasi kesan seperti ini tidak begitu tampak. Setidaknya, tokoh dan peristiwa yang dikemukakan pengarangnya banyak berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, tetapi kesan taklogis tetap terasa juga. Dalam cerpen “Anakmu Bukanlah


(10)

Anakmu, Ujar Gibran” (Danarto, 1996:63—78), misalnya, ditokohi Niken, seorang mahasiswa berotak cerdas, aktivis pembela kebenaran dan keadilan, pejuang rakyat kecil, dianggap pemerintah Orde Baru sebagai pemberontak, sehingga akhir cerita ia diculik. Realistik, aktual, dan kontekstual. Akan tetapi, kesan taklogis tetap juga ada, karena cerita ini diwarnai peristiwa atau kejadian-kejadian yang luar biasa dan tidak masuk akal yang dialami tokoh. Perilaku sufistik ada juga dalam cerpen ini, yaitu makam cinta. Tampaknya dalam cerpen ini, Danarto mengambil peristiwa sehari-hari yang aktual, lalu mengomentarinya dan menghubungkannya dengan dunia transendental, dunia tasawuf. Peristiwa lain yang juga terungkap dalam cerpen Berhala ini adalah korupsi, pencurian mayat, penembakan misterius, gali, dan gejala paranormal. Oleh sebab itu, Kayam (1996:xiv-xx) memandang Danarto telah meninggalkan dunia sonya ruri, yang tidak riil tetapi tidak sepenuhnya abstrak. Walaupun demikian, ia tidak sepenuhnya meninggalkannya.

Warna baru yang ditampilkan Danarto dalam cerpen Berhala dan Gergasi ini adalah pemakaian bahasa yang lugas dan alur cerita yang lebih linier.

Apa yang tampak pada Berhala, berlanjut pada kumpulan cerpen berikutnya, yaitu

Gergasi. Cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” (Danarto, 1996:1—14), misalnya, berkisah tentang seorang istri yang selalu dimarahi dan dituduh suaminya memata-matainya. Setelah diselidiki salah seorang anaknya, yaitu Bagas, ternyata si Ibu berhasil menguasai

ruang dan waktu. Di mobil ibunya, Bagas menemukan puisi berjudul “Doa Rabiah dari Basrah”. Ia pun berkesimpulan bahwa ibunya berhasil memiliki kemampuan itu karena

mempelajari puisi Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang terkenal itu.

Tokoh dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” ini adalah tokoh yang biasa

dijumai di dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa yang dikisahkan pun biasa, seorang suami yang memiliki istri simpanan, tetapi kesan taklogis terasa juga. Tokoh Ibu dalam cerpen ini dikisahkan memiliki kemampuan menguasai ruang dan waktu, salah satu kemampuan yang dimiliki oleh seorang sufi.

Cerpen lain dari Gergasiini yang juga memperlihatkan muatan tasawuf adalah “Allah

Berkenan Mengejawantah Lusa” (Danarto, 1996:15—23). Kelompok pohonan, yang dianggap masyarakat sedang bermusyawarah, telah menyedot perhatian masyarakat untuk menyaksikannya. Hal ini menjadikan tempat yang semula sepi menjadi ramai dan


(11)

sekaligus membuka peluang usaha bagi penduduk sekitar tempat itu. Setelah waktu yang ditentukan tiba, yaitu sesudah waktu ashar, pohon-pohon itu meneriakkan ketiadaannya. Yang ada hanyalah Yang Mutlak (Allah). Penyatuan diri makhluk dengan Khalik mengakhiri cerita ini.

Cerpen berjudul “Dinding Ayah” (Danarto, 1996:40—58) jika dilihat sekilas tidak memperlihatkan perilaku sufistik di dalamnya. Akan tetapi, bila dicermati, muatan tasawuf itu ada. Tahapannya memang belum sampai pada penyatuan makhluk dengan Tuhan, tetapi baru pada kezuhudan, yaitu menghindarkan diri dari segala sesuatu yang haram. Cerpen ini mengisahkan kehidupan seorang pengusaha kaya yang sangat berambisi menguasai semua sektor perdagangan dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Hal ini menimbulkan kecemasan, bukan saja dari para pesaingnya, tetapi juga bagi anak-istrinya sendiri. Oleh sebab itu, ada beberapa orang, anaknya sendiri merasa tidak berbahagia menyaksikan kekayaan usahawan itu, bahkan mereka tidak mau menikmatinya karena memandang bahwa semua itu diperoleh dengan cara yang tidak halal.

Peristiwa-peristiwa yang diceritakan Danarto dalam kumpulan cerpen berjudul

Gergasi ini amat kontekstual dan aktual. Walaupun demikian, peristiwa-peristiwa ini dihadirkannya dengan menghubungkannya dengan dunia transendental, dunia tasawuf. Dengan demikian, dimensi soasial dan transendental benar-benar disatukannya.

Bagi Danarto, karya seni memang merupakan alat untuk menerima dan memberi

enlightment (Tjitro Subroto, 1986:8). Maksudnya, melalui karyanya, ia dapat memberikan pencerahan kepada pembacanya. Dalam wawancara dengan Abdul Hadi W.M di harian Berita Buana, 14 Agustus 1984, Danarto mengemukakan bahwa kata-kata yang digunakannya merupakan sarana bagi penglihatan batinnya. Dengan kata-kata, ia harus mampu menjadikan yang abstrak berdaging, dan yang ‘tersirat’ menyebabkan

pencerahan. Semua itu hanya dapat dicapai dengan kekuatan kesadaran ‘bumi yang berenang di langit’. Kecerahan ini diperoleh pengarang karena ia terus-menerus melakukan hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga ia mencapai persatuan rahasia (unio mystica) dengan-Nya (Hadi, 1999:17).

Tampaknya, Danarto mendahului menjawab tantangan Syukur (1999:vi), yaitu agar di abad XXI tasawuf lebih bersifat pragmatik, empirik, dan fungsional. Tasawuf


(12)

hendaknya mempunyai tanggung jawab yang nyata antara yang bersifat spiritual, psikologi, politik, moral intelektual, sosial, dan ekonomi. Dengan sendirinya, tasawuf tidak eksklusif melainkan inklusif di dalam aspek kehidupan. Ini antara lain segi menarik dari kumpulan cerpen Gergasi ini untuk diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini.

Penelitian terhadap cerpen-cerpen Danarto banyak dilakukan. Di antaranya dilakukan oleh Siti Sundari Tjitrosubono dan kawan-kawan (1985) dan Th, Sri Rahayu Prihatmi (1989). Tjitrosubono meneliti struktur cerpen-cerpen Danarto yang ditulis dalam kurun waktu tahun 1967—1977. Sementara Prihatmi meneliti cerpen-cerpen dalam kedua kumpulan cerpen Danarto, yaitu Godlob dan Adam Ma’rifat. Penelitian ini antara lain menyimpulkan bahwa kedua kumpulan cerpen yang diteliti itu tergolong cerpen yang nonrealis, yang menghadirkan dunia nyata dan dunia tidak nyata sekaligus melalui pertemuan terhadap unsur-unsur strukturnya, yaitu alur, tokoh, dan latarnya.

Penelitian terhadap sufi dan sastra sufstik juga banyak dilakukan, baik terhadap karya sastra Melayu, karya sastra Jawa, maupun karya sastra Indonesia modern. Di antaranya P.J Zoetmulder (1990), Purwadaksi (1992), Vladimir I. Braginsky (1993), Abdul Hadi W.M. (1995), Simuh (1995), dan Ahmad Badrun (1994). Zoetmulder meneliti ajaran mistik yang terdapat dalam karya sastra Jawa. Sementara, Purwadaksi menyunting dan mengkaji teks Ratib Saman dan Hikayat Syekh Muhammad Saman. Braginsky meneliti sistem citra dan system simbolisme dalam puisi-puisi karya Hamzah Fansuri. Hadi W.M. juga meneliti karya Hamzah Fansuri berjudul Zinat al-Wahidin. Simuh, sebagaimana Zoetmulder, meneliti ajaran mistik yang terdapat di dalam sastra suluk Jawa, sementara Badrun meneliti tasawuf yang terdapat di dalam tiga buah puisi karya Abdul Hadi W.M

berjudul “Meditasi”, “Dari Tawangmangu” dan “Tuhan, Kita Begitu Dekat”. Penelitian

mengenai perilaku ketasawufan pada tahap tarikat yang terdapat dalam kumpulan cerpen

Gergasi karya Danarto belum dilakukan.

1.2Rumusan Masalah

Pada bagian sebelumnya dikemukaan bahwa karya-karya Danarto, termasuk kumpulan cerpen Gergasi mengandung perilaku sufistik. Perilaku sufistik ini dilihat dari jalan pikiran, tindakan, perbuatan, dan dialog antartokoh. Selain itu, untuk melihat sikap


(13)

pandang yang digunakan pengarang dan nadanya. Secara lebih rinci, rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Perilaku aufistik pada makam apakah yang terdapat di dalam kumpulan cerpen

Gergasi ini dan apa yang melatarbelakangi para tokohnya melakukan perilaku sufistik itu?

2. Bagaimanakah sikap implied author terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan cerpen Gergasi ini?

1.3 Tujuan Penelitian

Bedasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini bertujuan sebagai berikut.

1. Merumuskan perilaku sufistik yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Gergasi

karya Danarto dan latar belakang para tokohnya melakukan perilaku sufistik itu. 2. Merumuskan sikap implied author terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan

cerpen Gergasi.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi sastra itu sendiri maupun bagi hal-hal di luar sastra, seperti di dalam kehidupan masyarakat. Pengguanaan teori hermeneutik dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah model aplikasi teori sastra terhadap karya sastra. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam rangka memperkaya pemaknaan terhadap karya sastra, dalam hal ini terhadap karya Danarto.

Karena karya sastra merupakan cermin kondisi sosial budaya masyarakat dan memuat tanggapan evaluatif pengarang terhadap kondisi itu, setidaknya penelitian ini menujukkan sejumlah masalah yamg ada dalam kehidupan itu. Dari dunia alternatif yang ditawarkan pengarang, diharapkan penelitian ini dapat membantu mengatasi masalah yang ada di dalam kehidupan itu.

1.5 Sumber Data

Dari ketiga belas cerpen yang terdapat di dalam Gergasi ini, dipilih sembilan cerpen yang dijadikan sumber penelitian ini. Pemilihan terhadap kesembilan cerpen ini


(14)

didasarkan atas pertimbangan bahwa kesembilan cerpen ini memiliki perilaku sufistik.

Kesembilan cerpen itu adalah: (1) ”Rembulan di Dasar Kolam”, (2) Allah Berkenan Mengejawantah Lusa”, (3) “Bulan Sepotong Semangka”, (4) “Dinding Ayah”, (5) “Dinding Waktu”, (6) “Gaharu”, (7) “Balairung”, (8) “Semak Belukar”, dan (9) “Gandasturi”.

1.6 Landasan Teori

Landasan teori yang dipakai dalam rangka menjawab masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah teori hermeneutika. Kata hermeneutika secara etimologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’. Kata

ini berhubungan dengan kata benda hermeneia yang berarti ‘penafsiran’ atau

‘interpretasi’. Kedua kata ini berkaitan dengan nama dewa pada mitologi Yunani, yaitu

Hermes. Dewa ini bertugas menyampaikan pesan Dewa Yupiter kepada manusia. Ia menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Oleh sebab itu, hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai

‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Palmer dalam Sumaryono, 1993:23—24).

Semula hermeneutika hanya mencurahkan perhatian pada pembacaan dan penafsiran teks-teks keagamaan, seperti Alkitab. Akan tetapi, pada abad ke-19 bidang cakupannya diperluas sehingga meliputi semua karya (Eagleton, 1988:73). Kaitannya dengan studi sastra adalah berdasarkan kenyataan bahwa teks-teks yang ditulis pada masa lampau terus ada dan dibaca, sementara penulisnya dan kaitan historisnya yang menghasilkan karya-karya itu sudah tidak ada. Pembacaan teks-teks seperti ini menjadi tak terpisahkan dari penafsiran (Newton, 1994:52).

Schleimacher dianggap sebagai pendiri hermeneutika modern karena ia memperluas makna hermeneutika melampaui batas-batas keagamaan sehingga hermeneutika diharapkan dapat diterapkan untuk menafsirkan teks-teks yang bersifat lebih umum. Menurut pendapatnya, pemahaman memiliki dua aspek pokok, yaitu yang bersifat gramatikal dan bersifat kejiwaan. Maksudnya, setiap pengucapan, baik lisan maupun tertulis, haruslah merupakan bagian dari sistem kebahasaan. Oleh karena itu, pengucapan tidak akan dapat meiliki pengetahuan mengenai struktur tersebut, di lain


(15)

pihak, pengucapan itu juga merupakan hasil manusia dan harus dipahami dalam hubungannya dengan kehidupan orang-orang yang mengucapkannya. Prinsip yang menjadi rekonstruksi bidang bahasa dan kejiwaan ini diistilahkannya dengan lingkaran hermeneutik (Newton, 1994:52 dan Kaelan, 1990:187).

Bertolk dari pendapat Schleimacher inilah E.D. Hirsch mengembangkan pendapatnya. Menurutnya, makna keseluruhan karya adalah penafsiran sebagaimana yang dimaksud pengarangnya. Dalam menafsirkan sebuah karya, secara keseluruhan karya itu boleh disatukan kembali dengan apa yang diketahui tentang pengarang itu dan konteks historisnya (Newton, 1994:62 dan Eagleton, 1988:74). Dalam identitas arti teks dengan maksud penulisnya ini dapat dicapai penafsiran teks yang ilmiah sehingga dapat dibuktikan. Pembuktiannya memang tidak dilakukan secara eksperimental, seperti dalam ilmu-ilmu eksakta, melainkan perlu melalui proses pendekatan kebenaran yang berangsur-angsur, dan yang akhirnya berdasarkan prinsip probabilitas. Menurutnya, validitas merupakan kesimpulan yang objektif mengenai probabilitas yang nisbi. Jadi, dalam interpretasi teks tidak dapat dibuktikan bahwa hanya sebuah interpretasi yang mutlak, dan seluruhnya benar dan absah. Walaupun demikian, pencapaian terhadap kebenaran interpretasi itu tidak boleh diabaikan. Identifikasi arti karya sastra dengan maksud penulis akan memberi jaminan bagi pemberian penafsiran setepat mungkin (Newton, 1994:58 dan Teuw, 1984:175).

Dalam upaya interpretasi ini, Hirsch (Newton, 1994:59 dan Teuw, 1984:176) membedakan meaning (arti) dan significance (makna). Meaning (arti) merupakan suatu

determinat, genah, niat penulis seperti terkandung dan terjelma dalam tulisannya, dan itu merupakan hal yang dapat diteliti dan dipastikan secara objektif. Di sisi lain, significance

(makna) menurutnya adalah hubungan antara arti dan seorang atau sesuatu di luar teks, antara arti dan pembaca dalam situasinya yang khas pada masa tertentu. Ia mengakui bahwa makna itu adalah sesuatu yang variabel, terus berubah, tetapi menyamakan arti dan makna berarti meniadakan perbedaan antara pemahaman dan kritik.

Dengan memerhatikan tokoh, sudut pandang pengarang, dan nada yang ada dalam cerpen Gergasi ini, akan terlihat sikap dan perilaku sufistik para tokohnya. Selain dari itu, pendeskripsian mengenai perilaku sufistik ini juga mencerminkan sikap implied author


(16)

Menurut Both (1961:66—67) implied author adalah jiwa pengarang masuk dalam karya-karyanya. Kadang-kadang implied author dapat dilihat melalui komentar eksplisit narator dan melalui penggunaan teknik akuan, kadang-kadang pula disamakan dengan gaya atau teknik dalam sebuah karya. Yang jelas bahwa implied author itu terlihat dari keseluruhan (struktur) karya yang di dalamnya pengarang tidak pernah netral terhadap suatu nilai. Ia mempunyai nilai yang dianut dan menjadi komitmennya. Situasi pengarang terhadap karya sastra dan terhadap pembaca bersifat ambivalen. Maksudnya, pengarang berada di luar situasi karya sastra, tetapi sekaligus merupakan bagian dari karya itu. Dalam implied author ini, Juhl dan Teeuw (1984:180) mengatakan, memasukkan pengarang ke dalam karya fiksi, kritik sastra akan menghasilkan sintesis yang luhur; kita diberi ilusi bahwa kehadiran pengarang dan fungsi komunikasi sastra telah dirukunkan dengan dunia rekaan yang memenuhi tuntutan akan kemurnian mutlak.

Penelitian terhadap cerpen-cerpen karya Danarto dalam Gergasi ini memerlukan pengetahuan mengenai tasawuf, baik tasawuf Islam, maupun mistik Jawa. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata tasawuf ini. Dalam Syukur (1999:9—10) dikemukakan bahwa kata sufi berasal dari kata suf ‘bulu domba’, safa’bersih’, dan saf‘barisan’. Yang

berpendapat bahwa sufi itu berasal dari kata suf ‘bulu domba’ mengaitkannya dengan

pakaian yang sering dikenakan para sufi, yaitu wool kasar yang terbuat dari bulu domba. Pakaian itu merupakan wujud kesederhanaan atau sebagai perotes sosial terhadap kemewahan masyarakat ketika itu. Yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata

safa ‘bersih’ dan saf ‘barisan’ mengaitkannya dengan kebersihan hati para sufi itu

sehingga mereka diharapkan berada pada barisan pertama di sisi Allah Swt.

Schimmel (1986:1—2) menggunaan istilah tasawuf dengan mistik Islam. Kata mistik itu sendiri secara etimologis berasal dari kata bahasa Yunani myein ‘menutup

mata’. Dalam kata mistik itu terkandung makna ‘misterius’ yang tidak dapat dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan cara intelektual. Mistik juga disebut sebagai “arus

kerohanian yang mengalir dalam semua agama”. Dalam pengertiannya yang paling luas,

kata mistik itu didefinisikan sebagai kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, yang mungkin disebut sebagai kearifan, cahaya, cinta, nihil. Nicholson (1987:3) berpendapat bahwa walaupun kata mistik dan tasawuf itu berpadanan, istilah tasawuf mengandung konotasi religius dan luhur serta menggambarkan kebersahajaan. Oleh karena itu,


(17)

menurutnya, hanya istilah tasawuf yang dapat digunakan untuk mistik bagi penganut ajaran Islam. Abu Muhammad al-Jurairi berpendapat bahwa tasawuf adalah membina kebiasaan-kebasaan baik serta menjaga hati dan kalbu dari berbagai keinginan dan hasrat hawa nafsu (Valiuddin, 1997:37).

Basyuni dalam Syukur (1999:11—16) mendefinisikan tasawuf ke dalam tiga tahap. Tahap pertama, al-bidayah (pemula). Pada tahap ini secara naluri manusia mulai menyadari bahwa di balik dirinya ada Realitas Mutlak. Oleh karena itu, muncul dorongan dalam dirinya untuk mendekati-Nya. Hal ini disebut kesadaran tasawuf. Tahap kedua, al-mujahadah (perjuangan keras). Kesadaran ini muncul karena manusia menyadari ada jarak antara dirinya dan Realitas Mutlak itu. Jarak itu bukan saja jarak fisik, tetapi juga jarak rohani yang penuh tantangan dan hambatan sehngga diperlukan kesungguhan dan perjuangan keras untuk dapat menempuh jarak itu. Caranya, adalah dengan menciptakan kondisi tertentu untuk mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak itu. Tahap ini disebut sebagai tahap perjuangan tasawuf. Tahap ketiga, al-maazaqat, bermakna seorang sufi telah lulus mengatasi hambatan dalam mendekati Realitas Mutlak sehingga ia dapat berkomunikasi dan berada dekat sekali dengan-Nya serta merasakan kenikmatan spiritual yang didambakan. Tahap ini lebih menitikberatkan pada rasa serta kesatuan dengan Yang Mutlak.

Tasawuf pada dasarnya adalah ajaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga seseorang itu dapat melihat-Nya dengan mata hati, bahkan ruhnya dapat menyatu dengan ruh Tuhan (Nasution, 1978:83). Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa ada dua hal yang mendasari tasawuf. Pertama, Tuhan bersifat ruhani sehingga yang dapat mendekati-Nya adalah ruh, bukan jasmani. Kedua, Tuhan Mahasuci, sehingga yang dapat mendekati-Nya adalah ruh yang suci pula.

Sementara itu, Hasan dalam Simuh (1999:25) mengemukakan bahwa tujuan seseorang mengamalkan tasawuf adalah untuk sampai kepada zat al-Haq atau Mutlaq, yaitu Tuhan dan dapat bersatu dengan-Nya, atau disebut dengan makrifat.

Di dalam tasawuf, untuk sampai pada makrifat itu, ada beberapa tahap yang harus ditempuh. Al-Ghazali (dalam Simuh, 1999:102—104) mengemukakan agar sebelum mempelajari dan mengamalkan ajaran tasawuf, seseorang itu harus memilik pengertian yang cukup tentang pokok-pokok ajaran syariat serta menjalankannya dengan penuh


(18)

kesadaran dan ketaatan. Sesudah itu, barulah ditingkatkan pada ajaran tasawuf secara urut dan tertib agar pengalaman dan keyakinan agamanya semakin mantap.

Konsep Al-Ghazali tentang tasawuf ini secara singkat dapat dilihat dari skema berikut.

Dari konsep ini, akhirnya berkembang rumusan tiga tahap di dalam tasawuf, yaitu

syariat, tarikat, kemudian, hakikat, dan makrifat. Pembagian tasawuf yang terdiri dari tiga tahap ini sama dengan yang dikemukakan Schimmel (1986:101),hanya saja tahap ketiga hanya hakikat, bukan hakikat dan makrifat seperti yang dikemukakan oleh Imam Gazali. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada tahap tarikat.

Qutbaddin al-Ibadi dalam Schimmel (1986:101) mengemukakan, tarikat adalah

“jalan” yang harus ditempuh oleh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang

berpangkal dari syariat. Jalan utamanya, disebut syari’ dan anak jalannya disebut tariq. Pengalaman tasawuf tidak mungkin dapat dicapai bila perintah syariat tidak ditaatai terlebih dahulu secara seksama. Tariq ini merupakam jalan yang lebih sempit dan lebih sulit dijalani oleh si pejalan (salik) dalam pengembaraan (suluk). Pengembaranaannya ini melalui berbagai persinggahan (makam) sehingga cepat atau lambat akhirnya ia mencapai tujuannya, yaitu tauhid sempurna; pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan adalah Satu.

Antara sufi yang satu dengan sufi yang lain, tidak jarang memperlihatkan perbedaan kecil, dalam hal makam-makam yang ditempuhnya, karena ini bersifat personal. Misalnya saja, Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi, menempuh makam: tobat zuhudsabarkefakirankerendahan hatitawakalkerelaaan--cintamakrifat. Sementara itu, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menempuh: tobatwarazuhudkefakiran sabartawakalkerelaan hati (Nasution, 1973:60—62). Sufi wanita, Rabiah

al-Pengetahuan syariat yang memadai disertai

dasar ilmu Al-Quran dan hadis

Melaksanakan syariat dan tasawuf

Syariat dengan keyakianan dan budi luhur ditambah ilmu


(19)

Adawiyah, dalam mencapai makrifat ini menempuh: tobatzuhudsabarsyukur wararidamahababah (cinta) (Asfari, 1998:78). Sementara, Al-Ghazali, yang ingin mengembalikan tasawuf ke ajaran Quran dan Hadis, menempuh makam tobatsabar zuhudkefakirantawakalmakrifatcintarida (Syukur, 1999:49).

Schimmel (1986:112—147) mengemukakan secara umum bahwa makam-makam itu urutannya adalah: tobatwarakzuhudtawakalkemiskinansabarsyukur relaketakutanharapancintamakrifat.

Kecuali Al-Ghazali, umumnya para sufi tidak merasa puas sampai di makam makrifat saja. Oleh sebab itu, mereka terus berusaha agar lebih dekat lagi dengan Tuhan. Bahkan, mereka ingin mengadakan persatuan dengan Tuhan. Istilah sufinya adalah

ittihad. Sebelum seseorang sampai pada pengalaman ittihad ini, ia harus mengalami fana

dan baka dahulu. Jika hampir mengalami ittihad itu, dari mulutnya keluar ungkapan-ungkapan teopatis atau syatahat. Ungkapan teopati yang dikeluarkan oleh Abu Yazid

al-Bustami, misalnya saja, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku, maka sembahlah Aku”. Ungkapan itu dikemukakan oleh Abu Yazid ketika ia mengalami

penyatuan diri dengan Tuhan. Oleh sebab itu, ungkapan ini dapat diinterpretasikan bahwa Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, tetapi ia mengucapkan kata Tuhan lewat bibirnya. Al-Hallaj juga adalah seorang sufi yang mengalami penyatuan dengan Tuhan. Ia menamai penmgalamannya dengan al-hulul. Ungkapan teopatis yang keluar dari mulutnya ketika ia mengalami peristiwa itu adalah Ana al-Haq (Aku adalah Yang Mahabenar). Ibnu Arabi juga mengalami penyatuan dengan Tuhan ini. Ia membawa ajaran Wahdat al-Wujud, yang memandang bahwa alam sebagai makhluk merupakan penampakan diri (tajalli) dari Tuhan (Syukur, 1999:55—59).

Mistik Jawa menekankan pada pencapaian insan kamil (manusia sempurna) yang dapat mencapai penyatuan dengan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti) karena penghayatan spiritualnya. Ajaran ini hampir menjadi ajaran pokok dalam kepustakaan Islam kejawen. Ajaran mistik dalam kepustakaan Islam kejawen ini bersifat sinkretisme. Maksudnya, ajaran itu dipadukan dengan tradisi Jawa yang telah lama menerima pengaruh ajaran Hindu-Buddha. Di samping itu, mistik Jawa ini bersumber juga dari sikap para sastrawan dan bangsawan Jawa pada masa itu (Simuh, 1999:262—263).


(20)

Dalam penyatuan diri dengan Tuhan, pada saat ekstasis, mistik Jawa tidak memperlihatkan Pantheisme. Hal ini dapat dilihat dari ketiga sumber, yaitu kitab Bonang, bagian pertama suluk Ngasmara dan serat Centini, terutama bagian teks Mijil (Zoetmulder, 1991:96—113). Ketiga teks ini mengindikasikan bahwa penyatuan diri dengan Tuhan pada saat ekstasis, ketunggalan dan transendensi Tuhan dijaga dengan baik, Sang Pencipta tidak tenggelam atau berbaur dengan ciptaan-Nya. Dalam hal fana, terdapat kesamaan konsepnya dengan Al-Hallaj (syatahat). Tentang Adanya Tuhan dan adanya makhluk memperlihatkan kesamaan konsep dengan Al-Ghazali, yaitu adanya Tuhan sebagai en a sepengada dan Adanya tidak tergantung pada Yang Lain, sedangkan adanya makhluk sebagai en ab lio adanya semata-mata tergantung pada Yang Lain. Tuhan mencipta karena keagungan dan kemandirian-nya serta agar dihormati, dipandang, dan dicintai.

Dalam proses penciptaan semesta mistik Jawa bersifat monisme. Proses ini dikenal dengan istilah emanasi yang melalui tujuh martabat. Walaupun demikian, persamaan yang sempuna antara Tuhan dengan ciptaan-Nya juga tidak diakui. Hal ini distilahkan dengan tunggal tan tunggal ‘satu tetapi tidak satu’, karena emanasi

menyebabkan terjadinya perubahan. Emanasi Ada dalam bermacam bentuk ini tidak boleh dipandang sebagai bentuk yang hakiki, melainkan hanya wujud semu. Teori emanasi ini terdiri dari tujuh martabat. Ketujuh martabat ini adalah (1) Ahadiyah. Pada tahap ini Zat Mutlak atau hakikat ketuhanan belum menganal individuasi dan belum ada ide-ide. Martabat ini disebut juga martabat tersembunyi. (2) Martabat Wahda yang merupakan awal pemancaran. Pada tahap ini hakikat ketuhanan mulai berindividuasi dalam bentuk Nur Muhammad yang tersembunyi dalam rahasia Tuhan. (3) Martabat

Wahidiyah atau individuasi kedua. Pada tahap ini semua ide sudah mantap dalam pengetahuan Tuhan. Adanya hakikat yang keluar (‘ayan kharija) sejalan dengan yang ada dalam pengetahuan (‘ayan sabita). Dengan demikian, zat-Nya dan sifat-sifat-Nya menjadi tampak. Ketiga martabat ini disebut martabat batiniah atau lingkungan Ilahi sedangkan keempat martabat berikutnya disebut martabat lahiriah. Martabat lahiriah terdiri dari martabat arwah, missal, ajsam, dan insan kamil. Keempat martabat ini


(21)

Ketujuh teori emanasi dalam mistik Jawa memeperlihatkan perbedaan kecil dengan teori emanasi atau tajali yang dikemukakan Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri merumuskannya dalam lima martabat saja, yaitu (1) la ta’ayyun atau tidak nyata. Pada tahap ini Allah tidak dapat dijangkau oleh siapa pun dan pengetahuan apa pun. (2)

Ta’ayyun atau nyata, yang terdiri dari empat macam, yaitu ta’ayyun awal atau kenyataan pada tahap pertama, ta’ayyyun tsani (kenyataan pada tahap kedua), ta’ayyun tsalits

(kenyataan pada tahap ketiga), dan ta’ayyun rabi’ dan khamis (kenyataan pada tahap keempat dan kelima). Pada ta’ayyun awal, dengan adanya ilmu atau pengetahuan, maka Tuhan itu Alim (Mahatahu) dan Maklum (Yang Diketahui). Karena Allah Wujud atau Ada, maka Dialah Yang Mengadakan atau Yang Ada. Karena Nur atau cahaya, maka Dialah Yang Menerangkan dengan Cahaya-Nya dan Yang Diterangkan oleh Cahaya-Nya. Pada ta’ayyun sani ialah maklum. Kenyataan menjadi Yang Dikenal atau Yang Diketahui. Pengetahuan Tuhan Yang Dikenal disebut a’yan sabitah (esensi segala sesuatu) atau suwari al-ilmiyah (bentuk yang dikenal), atau haqiqat al-asyya’ (hakikat segala sesuatu di alam semesta), atau ruh idafi (ruh yang terpaut). Ta’ayyun tsalits berupa ruh manusia dan makhluk-makhluk lain. Ta’ayyun rabi’ dan khamis berupa penciptaan jasmani alam semesta dan makhluk-makhluk lain, termasuk manusia (Fansuri dalam Hadi, 1995:84—91).

Ada beberapa ajaran mistik Jawa yang berbeda dari tasawuf Islam. Misalnya, Tuhan bersifat antropomorphis. Maksudnya, Tuhan digambarkan memiliki sifat sebagai manusia, begitu juga sebaliknya, manusia dilukiskan memiliki sifat-sifat sebagai Tuhan. Mengenai hal ini, Zoetmulder (1991:215—216) cenderung berpendapat bahwa ajaran Atman dalam agama Hindulah yang lebih mendominasi daripada tasawuf Islam. Bahkan, ada juga sekte mistik Jawa yang amat radikal menentang Islam dalam mencapai

Manunggaling Kawula Gusti (Zoetmulder, 1991:278—283). Dalam mencapai

Manunggaling Kawula Gusti, mereka menghina praktik syariat; ada yang bertingkah laku sebagai orang gila, bahkan bergaul bebas antara pria dan wanita, karena mereka menganggap bahwa perbedaan kedua jenis kelamin itu tidak ada.


(22)

1.7 Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif, dalam arti bahwa penelitian ini mendeskripsikan perilaku sufistik, khususnya dalam tahap tarikat, yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto dan latar belakang tokohnya melakukan perilaku sufistik itu, serta mendeskripsikan sikap implied author terhadap perilaku sufistik.

Dengan menggunakan teori hermeneutika, dapat diungkapkan perilaku sufistik yang dilakukan oleh para tokoh cerpen-cerpen yang dianalisis. Tokoh ini tidak hanya terbatas pada tokoh utama, tetapi dapat juga tokoh bawahan selagi tokoh itu memperlihatkan perilaku sufistik. Selain itu, penelitian ini juga memerhatikan sudut pandang pengarang dan nada dalam teks cerpen. Perilaku sufistik ini dirumuskan baik melalui konteks bahasa maupun konteks kejiwaan atau dengan menggunakan lingkaran hermeneutika Schleimacher (Newton, 1994:52 dan Kaelan, 1980:187). Selain itu, juga menggunakan pendekatan meaning (arti) dan pendekatan significance (makna). Hal ini sesuai dengan pendapat Hirsch (Newton, 1994:59 dan Teuw, 1984:176). Ini dilakukan untuk memperdalam penafsiran terhadap teks cerpen yang diteliti.

Berdasarkan perilaku sufistik, khususnya pada tahap tarikat, yang terdapat dalam kumpulan cerpen Gergasi ini, dapat disimpulkan sikap Danarto sebagai implied author

terhadap tasawuf, dalam hal ini perilaku sufistik pada tahap tarikat. Dengan demikian, penelitian ini akan sampai pada pembahasan mengenai bagaimana cerpen-cerpen Danarto dalam Gergasi ini menyikapi perilaku sufistik.

1.8 Sistematika Penulisan

Hasil peneltian ini disusun menjadi empat bab. Bab pertama merupakan pendahuluan, yang berisi cerpen dan sastra sufistik, masalah, tujuan penelitian, sumber data, ladasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi analisis mengenai perilaku sufistik yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Gergasi, yang dilakukan oleh para tokohnya dan deskripsi mengenai latar belakang pengalaman perilaku sufistik yang dilakukan oleh para tokoh. Bab ketiga, membicarakan sikap Danarto sebagai implied author terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan cerpen ini. Bab keempat berupa kesimpulan dan implikasi penelitian yang dilakukan.


(23)

BAB II

PERILAKU SUFISTIK TOKOH

DALAM KUMPULAN CERPEN GERGASI KARYA DANARTO

2.1 Pendahuluan

Pembahasan mengenai perilaku sufistik tokoh yang terdapat dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto ini dilakukan per cerpen. Sebelum analisis dilakukan, disajikan sinopsis ceritanya. Perilaku sufistik ini dikaitkan dengan makam-makam yang terdapat di dalam tahap tarikat. Analisis mengenai perilaku sufistik tokoh ini dikaitkan pula dengan hal yang melatarbelakangi perilaku sufistik itu dilakukan para tokoh.

Berdasakan analisis yang dilakukan terhadap perilaku sufistik tokoh dalam kumpulan cerepen Gergasi karya Danarto ini, tampak bahwa perilaku sufistik yang dijumpai adalah perilaku makam sabar dalam “Rembulan di Dasar Kolam” dan

“Balairung”; rela dalam “Bulan Sepotong Semangka”, “Allah Berkenan Mengejawantah,

Lusa”, dan “Gandasturi”; syukur dalam “Allah Berkenan mengejawantah Lusa”; tawakal

dalam “Bulan Sepotong Semangka”, “Gaharu”, dan “Gandasturi”; zuhud dalam “Bulan

Sepotong Semangka”, “Dinding Ayah”, Balairung”, “Semak Belukar”, dan “Gandasturi”;

cinta dalam “Rembulan di Dasar Kolam”, “Dinding Waktu”, “Gaharu”, dan “Semak

Belukar”; fana dalam “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”, “Dinding Waktu”, dan

“Gandasturi”, baka dalam “Dinding Waktu”. Ada juga tokoh yang mencapai predikat insan kamil, yaitu pada cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”. Analisis yang dilakukan sedapat mungkin dikembalikan kepada judul setiap cerpen, kecuali jika judul itu telah tereksplisit dalam cerita. Secara lebih rinci, perilaku sufistik dimaksud terlihat dari uraian berikut.

2.2 Perilaku Sufistik Tokoh

2.2.1 Sabar Dilandasi Cinta: Representasi Sufi Rabiah al-Adawiyah 1) Sinopsis Cerpen “Rembulan di Dasar Kolam”

Tokoh Ibu adalah seseorang yang memiliki figur ideal seorang ibu, seperti sabar, rajin, menyayangi anak-anak dan suaminya, dan pandai mengurus rumah tangganya.


(24)

Akan tetapi, ia selalu dibentak oleh suaminya, karena dianggap suaminya selalu memata-matainya. Walaupun demikian, Ibu tidak pernah menanggapinya, apalagi membela diri. Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga salah seorang anaknya, Bagas, mengetahuinya. Hal ini menimbulkan keingintahuan si anak tentang kebenaran tuduhan itu. Diam-diam, ia mengikuti perjalanan ibunya. Di sebuah museum, ia melihat ayahnya berjalan dengan seorang wanita asing, sementara ibunya ada juga di tempat itu, tetapi sikapnya jauh dari memata-matai. Ibunya asyik mengamati relief yang digelar di museum itu. Ayah yang sempat melihat keberadaan Ibu di tempat itu merasa bersalah sehingga ia cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

Mobil Bagas lebih dulu sampai di rumah mereka, tetapi ia kembali terkejut tiba-tiba ibunya muncul dari dalam rumah sementara ia sendiri baru memasuki rumah. Kejadian ini kembali menimbulkan keingintahuan si anak. Ketika ibunya pergi ke Surabaya, Bagas memeriksa mobil ibunya. Tidak ada yang istimemewa yang

dijumpainya. Di antaranya, ia menemukan puisi “Doa Rabiah dari Basrah” lalu

membacanya. Ia juga menemukan beberapa kaset pengajian Alquran. Tiba-tiba ia mendengar suara ibunya sehingga ia cepat-cepat masuk ke rumah. Kembali ia terkejut karena ia melihat ibunya keluar dari kamarnya sehingga ia menanyakan kepulangan ibunya yang tiba-tiba itu. Tetapi, ibunya menjawab sambil masuk ke kamarnya bahwa masih ia masih berada di Surabaya. Bagas yang diliputi keheranan memasuki kamar ibunya, tetapi ibunya tidak ada di kamar itu.

Ketiga peristiwa aneh yang dialami Bagas itu menyadarkannya akan keluarbiasaan ibunya, yaitu memiliki kemampuan menguasai ruang dan waktu. Ia yakin bahwa ibunya mengetahui segala perbuatan ayahnya. Akhirnya, ia juga merasakan

keanehan yang terjadi dalam dirinya, setelah ia membaca kembali puisi “Doa Rabiah Barda dari Basrah”.

2) Perilaku Sufistik

Perilaku sufistik tokoh yang tedapat dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” itu tampak dlakukan oleh tokoh Ibu. Peilaku sufistik yang dilakukan itu berkaitan dengan

makam sabar, dan cinta. Dari judul cerpen ini, dapat dilihat kaitannya dengan tasawuf, yaitu mengenai tajalli, bahwa wujud alam ini hanya merupakan representasi atau


(25)

bayang-bayang dari wujud Allah (Syukur, 1999:55—59). Dalam cerpen ini, rembulan yang terlihat di dasar kolam bukanlah rembulan yang sesungguhnya, melainkan representasi atau bayang-bayang dari rembulan yang sesungguhnya. Demikian juga halnya dengan tokoh Ibu dalam cerpen ini hanya menggambarkan representasi atau bayang-bayang seorang sufi wanita yang terkenal, yaitu Rabiah al-Adawiyah. Representasi ini jelas terlihat dari perilaku tokoh Ibu dalam menyikapi segala sesuatu yang ada di lingkungannya, terutama suami dan anak-anaknya.

Kesabaran (sabr) merupakan tonggak penting daam tarikat. Al-Qusyayri sebagaimana dikutip Smith (1997:67) mengatakan pentingnya kesabaran ini bagaikan pentingnya sebuah kepala bagi tubuh. Dalam Ensiklopedi Islam (1996:125) dikemukakan bahwa sabar adalah “Konsekuen dan konsisten melaksanakan semua perintah Allah Swt. dan menjauhi segala laragannya, tahan uji menghadapi kesulitan dan cobaan, tabah menunggu datangnya pertolongan Allah Swt. dan tabah menerima segala konsekuensi kesabaran tersebut”. Kesabaran tokoh Ibu terlihat ketika ia menghadapi tuduhan suaminya bahwa ia telah memata-matainya. Konflik yang terdi di awal cerita ini, ditanggapi oleh tokoh utama, Ibu, dengan sikap membisu. Ia diam saja menghadapi tuduhan itu, dan tidak pula berkeinginan membela diri. Hal ini dituturkan oleh tokoh aku, sebagai tokoh bawahan berikut.

“KAMU MEMATA-MATAI SAYA!” TERDENGAR BENTAKAN AYAH. Suara kemarahan itu merangkum seisi kamar tidur. Saya seperti melihat cermin dan peralatan kecantikan, syukuras bunga dengan gloxinia, dan gelas air putih yang disediakan sejak malam hari, ikut memaklumi sambil mengantar kesenyapan. Adakah yang lebih baik dari kesenyapan bagi suara ayah yang seringkali saya bayangkan menggetarkan kelambu itu. Ibu, ya suara Ibu, saya menunggu suara Ibu. Saya yang kebetulan melewati kamar itu, mendengar suara ayah lalu bersijingkat merapatkan tubuh ke pintu untuk bisa sebanyak dan sejelas mungkin menangkap suara-suara. Sesaat saya tunggu suara Ibu, tak juga suara itu terdengar. Tak juga desahan pun. Hanya geseran sepatu ayah yang pada lantai yang menapak mendekati jendela. Lalu terdengar gemerisik kertas perak bungkus rokok yang dibuka. Geretan tas bergetar dan bunyi gemeretak rokok keretek yang disedot.

Pada puncak kemarahan ayah, pada pucak keterdesakan Ibu, hanya kesenyapan yang biasa menerima semuanya dengan sebaik-baiknya. Ibu hanya berpihak pada kesenyapan, agaknya tak pernah terlintas untuk memberikan alasan apa pun walaupun sejumput (Danarto, 1996:1).


(26)

Walaupun konflik ini berlanjut dalam bentuk tuduhan serupa dari tokoh ayah, Ibu tetap pada sikapnya. Hal ini juga dituturkan tokoh aku dari kutipan berikut.

Seminggu kemudian itulah saya mendengar kembali suara ayah dari balik kamar tidur itu, dan tak pernah terdengar suara Ibu, walaupun sekadar gesekan ingsutan duduknya. Lama saya menunggu di dapur sampai keduanya keluar (Danarto, 1996:3).

Dengan menggunakan sudut pandang “akuan”, kutipan di atas memperlihatkan

nada yang bersikap empati terhadap tokoh Ibu, yang merupakan tokoh utama cerpen ini. Kesabaran yang dilakukan tokoh Ibu ini meliputi tiga tahap kesabaran sebagaimana diklasifikasian oleh Abu Thalib (dikutip Smith, 1997:67). Pertama, menghentikan keluhan; kedua merasa puas dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah; dan ketiga, menerima dan menyenangi semua yang telah ditentukan oleh Allah kepada hamba-Nya.

Kesabaran tokoh Ibu juga tampak ketika ia menghadapi kelima anaknya. Ibu selalu menjawab semua pertanyaan anaknya dengan sabar. Penuturan narrator pada kutipan berikut memperlihatkan hal itu.

Wangi, si bungsu, memang bintang meja makan. Dia—begitu manis— menguasai pembicaraan di meja makan. Semua makanan, satu per satu ditanyakan namanya, dan Ibu dengan penuh kesabaran memberikan jawabannya (Danarto, 1996:4).

Tampaknya, perilaku sabar tokoh Ibu dilandasi oleh cinta. Cinta dipandang sebagai

makam tertinggi dari perjalanan tarikat (Smith, 1997:101). Ensiklopedi Islam

mendefinisikan makam cinta ini dengan patuh kepada-Nya, membenci setiap sikap yang melawan kepada-Nya, menyerahkan diri sepenuhnya, dan mengosongkan diri dari segala-galanya kecuali Allah swt. yang dicintai (1996:125). Dari makam cinta ini serang sufi akan langsung meraih makrifat sehingga ia akan mampu menyingkap keindahan Allah dan menyatu dengan-Nya.

Rabiah al-Adawiyah dipandang sebagai sufi yang mengajarkan cinta tanpa pamrih kepada Allah, suatu konsep baru di kalangan para sufi pada masanya. Bahkan, Attar (dikutip Smith, 1997:113) menceritakan bahwa Rabiah ketika ditanya tentang cintanya kepada Allah menjawab, “Cintaku kepada Allah tidak menyisakan ruang di dalam hatiku


(27)

untuk membenci setan sekalipun”. Cinta Rabiah yang utuh kepada Allah ini menyebabkan ia tidak memiliki rasa benci kepada makhluk lain, sekalipun makhluk itu adalah setan yang jelas-jelas merupakan musuh manusia (Surat Taha:117). Tokoh Ibu dalam cerpen ini tampaknya merupakan representasi tokoh sufi wanita dari Basrah itu karena cintanya yang utuh kepada suaminya, menyebabkan ia tidak mempunyai rasa benci kepada suaminya itu, walaupun suaminya jelas-jelas mengkhianati cintanya.

Di dalam konsep tasawuf cinta tidak terbatas pada cinta kepada Allah, tetapi juga

cinta keada semua makhluk. Cinta kepada sesama makhluk ini merupkan sarana untuk mencintai Allah. Surat at-Taubah:24 memang memandang bahwa cinta yang paling tinggi adalah cinta kepada Allah, disusul cinta kepada rasul, dan cinta berjuang di jalan Allah. Cinta berikutnya barulah buah cinta kepada sesama makhluk. Rasa cinta suami-istri memang diciptakan Allah, karena Allah ingin memperlihatkan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada manusia (Surat ar-Rum:21).

Dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” ini tampak bahwa tokoh Ibu

mengamalkan perilaku sufistik sampai kepada makam cinta, yang merupakan makam

tertinggi dalam tarikat. Di dalam karya-karya hagiografi (cerita tentang para sufi), sering dijumpai pembicaraan mengenai firasa (kearifan seorang yang beriman) kardiognosia

(membaca batin) yang dimiliki seorang sufi. Seorang sufi itu melihat dengan penerangan Tuhan (Schimmel, 1986:209) sehingga tidak mengherankan bila ia mampu membaca apa yang terdapat di dalam hati seseorang. Bahkan ada beberapa sufi yang mengatakan bahwa ia dapat melihat seseorang masuk surga atau masuk neraka. Selain itu, seorang sufi juga dapat menghilang dari pandangan, menjadi sama sekali tidak terlihat dan mempraktikkan buriz, eksteioisasi, yaitu ia dapat hadir pada beberapa tempat yang berbeda pada saat yang sama.

Karya-karya hagiografi ini tampaknya mengilhami pengarang dalam menulis cerpennya ini. Tokoh Ibu diceritakan memiliki kemampuan luar biasa di antaranya adalah hadir di beberapa tempat dalam waktu yang sama. Hal ini dapat dilihat dari penutuan narator sebagai berikut.

Saya sampai di rumah lebih dahulu daripada Ibu. Saya beranjak dari teras ke dalam ruang ketika mobil Ibu memasuki pekarangan dan langsung ke garasi.


(28)

“Astaga!” pekik saya tiba-tiba ketika mendadak beratatapan dengan Ibu yang muncul dari kamarnya sambil menenteng buku perpustakaan museumnya itu, padahal saya mendengar pintu mobil baru saja ditutup kembali.

“Bagas!” sergah Ibu, “Kamu kok seperti bertemu macan! Bengong dan merah padam.”

“Mendadak saya tidak enak badan, Bu”, sahut saya sambil

menghindar.

Saya memang gemetar. Barangkali saya tak kuat menyaksikan kejadian itu. Saya tak bias mengerti bagaimana mungkin Ibu secepat itu turun dari mobil lalu menutup pintunya dan tiba-tiba saja sudah muncul dari dalam kamarnya, padahal antara garasi dan kamar Ibu akan melewati saya yang sedang masuk kamar tamu dari teras (Danarto, 1996:9).

Kemampuan tokoh Ibu hadir di beberapa tempat juga disaksikan oleh Bagas ketika ia memeriksa mobil ibunya. Ia menemukan dan membaca beberapa tulisan yang ada di dalam mobil itu. Kelancangannya ini dilandasi keingintahuan mengenai kejadian luar biasa yang dilihatnya dari perilaku ibunya itu. Kita lihat kutipan berikut ini.

Saya ingin tahu juga apa yang sedang berubah dalam mobil Ibu. Sementara sopir di luar mencucinya, saya melongok-longok ke dalam. Tidak ada yang menarik. Beberapa buku, majalah, kertas-kertas, balpoin, dan sejumlah katalog. Apakah sahabat-sahabat Ibu ini dapat memeberikan keterangan kepada saya. Saya balik lembaran fotokopi tulisan yang

lepas-lepas itu. Saya baca dengan acuh tak acuh sebuah puisi “Doa Rabiah dari Basrah”. Belum selesai saya letakkan kembali kertas itu. Agak ogah-ogahan saya membalik-balik sejumlah kaset pengajian Al-Quran.

Lalu saya kembali ke jok belakang. Sambil bersandar saya baca kembali puisi itu.

………..

Terdengar Ibu dari dalam rumah, buru-buru saya keluar dari mobil. Ini suatu hal yang tidak mungkin. Ibu saat ini sedang berada di Surabaya. Kecuali oleh satu hal yang sangat darurat, Ibu selalu punya jadwal yang tepat. Saya bergegas ke rumah. Saya kaget ketika Ibu tiba-tiba muncul dari dalam kamarnya, seperti peristiwa dulu.

“Lho! Ibu ternyata sudah datang,” seru saya. “Lebih cepat dari yang direncanakan.”

“Tidak,” sahut Ibu. “Sebenarnya Ibu saat ini masih di Surabaya.” “Saya tidak mengerti maksud Ibu.”

Lalu Ibu kembali masuk ke kamarnya. Saya penasaran menungu di luar. Setelah satu jam tak muncul, pelan-pelan saya memasuki kamarnya.

Mlompong. Kamar itu kosong.

“Ibu!” teriak saya dengan gemetar. Jendela kelihatan tetap terkunci.

Pintu yang menembus ke kamar lain juga terkunci. Ibu telah lenyap tak berbekas. Pasti wajah saya nampak bengong dan merah padam. Lalu saya ke


(29)

dapur. Pembantu asyik memasak. Saya segan untuk menanyakan tentang

kedatangan Ibu tadi… (Danarto, 1996:12—13).

Kedua peristiwa yang dialami Bagas itu memperlihatkan kemampuan luar biasa yang dimiliki Ibu dan sekaligus memperlihatkan nada yang penuh kecurigaan terhadap tokoh Ibu itu. Kemampuan serupa ini merupakan kemampuan yang lazim dimiliki oleh para sufi yang telah mencapai makrifat. Tokoh Bagas, yang semula menyikapi kemampuan luar biasa ibunya dengan penuh curiga, akhirnya memiliki sikap kagum dan bangga terhadap ibunya itu. Di lain pihak, ia menampakkan sikap sinis terhadap perlakuan ayahnya terhadap ibunya itu. Hal ini dituturkan tokoh Aku (Bagas) seperti terlihat dari kutipan berikut ini.

Serta merta saya merasakan keagungan Ibu, seorang perempuan yang mampu menegakkan rumah tangganya begitu tegar dalam kehalusan seorang istri yang begitu mengerti akan hasrat-hasrat yang mendadak, yang tidak dapat dimengerti. Ini semua saya rasa berkat kemampuan menguasai ruang dan waktu itu. Diam-diam Ibu telah menguasai suatu ilmu yang sudah ditinggalkan orang. Suatu kekuatan anugerah yang tidak dapat diminta maupun ditolak. Saya rasa ilmu itu datang dengan sendirinya ketika seseorang lupa untuk memedulikannya.

Saya tidak percaya Ibu tidak mengetahui percintaan Ayah dengan perempuan lain. Roh Ibu pasti sudah mengendus-endus gerak-gerik ayah… (Danarto, 1996:13).

Walaupun demikian, kemampuan yang dimiliki Ibu itu bukanlah semata-mata hal

‘keadaan’ yaitu sesuatu yang turun dari Tuhan ke dalam hati manusia, tanpa dapat ditolak kedatangannanya atau dicegah kepergiannya; atau dengan kata lain hal adalah anugerah dari Allah (Schimel, 1986:102), seperti yang diduga tokoh Aku, melainkan merupakan

makam, yaitu suatu yang berlangsung terus yang dicapai oleh manusia berkat usahanya yang selalu mendekatkan diri kepada Allah. Dengan usaha itulah seorang sufi dapat mencapai suatu taraf tertentu dalam perjalanan spiritualnya. Dengan demikian, makam

merupakan kategori tindakan.

Beberapa tindakan yang dilakukan Ibu dalam upaya mencapai makam makrifat, seperti terdapat pada uraian sebelum ini, yaitu melakukan makam sabar dan cinta. Usaha lain yang juga tampak dilakukan Ibu adalah mempelajari ajaran tasawuf, yang dimetaforkan oleh puisi “Doa Rabiah dari Basrah”. Selain itu, Ibu juga mempelajari Al -Quran yang disimbolkan dengan adanya kaset pengajian Al--Quran. Kedua hal ini


(30)

dijumpai tokoh aku di dalam mobil Ibu. Akan halnya dengan keanehan yang dialami Bagas setelah ia membaca pusisi “Doa Rabiah dari Basrah”, memang digolongkan sebagai hal, karena itu semata-mata merupakan anugerah Allah, sementara ia sendiri tidak pernah menginginkannya atau berupaya mencapai kemampuan itu. Hal aneh dimaksud dapat dilihat dari penuturan narator melalui tokoh saya yang memperlihatkan

nada kagumnya terhadap ibunya berikut ini.

…Sambil membaca kembali puisi “Doa Rabiah dari Basrah”, saya makin

memuja Ibu dan merasa bangga dilahirkan dari rahimnya.

“Bagi-bagi dong”, surat pacarnya!” seru Madu yang begitu saja muncul dari jok depan. Bukan main kaget saya sambil secepatnya menyembunyikan puisi karya Rabiah al-Awaliyah itu.

“Mas terlalu, deh” masak jalan-jalan di fakultas Madu nggak mau nemuin adiknya. Lagian diem aja waktu ditegur. Sampai beberapa teman Madu ngirain mas sedang kesambet,” tutur Madu nerocos.

“Masya Allah!” seru saya, “Madu! Seharian saya cuma di rumah saja. Sejengkal pun tak beranjak keluar dari pekarangan.”

Sementara Madu menertawakan saya yang dianggapnya bercanda, saya merasa sesuatu keanehan sedang menyelinap di hati sanubari saya. Mungkinkah saya sedang menyusul kemampuan Ibu lewat puisi Rabiah ini? (Danarto, 1996:14)

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

Dari uraian perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” ini, terlihat bahwa tokoh Ibu melakukan perilaku sufistik itu, dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk menciptakan keharmonisan keluarganya sehingga ia mampu mengatasi segala masalah yang sedang bergejolak di dalam kehidupan keluarganya, yang memang sedang bermasalah.

Dengan modal kesabaran, yang merupakan salah satu makam dalam tarikat, tokoh Ibu mampu menegakkan keutuhan rumah tangganya, yang menunjukkan adanya gejala akan terpecah karena suaminya berpaling kepada perempuan lain. Ia tidak menaggapi tuduhan suaminya atas dirinya dengan balik menuduh suaminya telah mengkhianatinya. Ia menyikapi tuduhan suaminya itu dengan diam walaupun sesungguhnya ia mengetahui segala perbuatan suaminya.

Selain itu, makam cinta, yang merupakan makam tertinggi dalam tahap tarikat, yang dilakukan oleh tokoh Ibu lebih menentukan dalam upayanya menegakkan keutuhan rumah tangganya itu. Dadanya yang penuh rasa cinta kepada suaminya itu tidak


(31)

menyisakan sedikit pun kebencian kepada sang suami, walaupun sang suami telah mengkhianatinya. Melalui tasawuf, ternayata bahwa tokoh Ibu mampu mengatasi masalah yang terjadi di dalam kehidupannya, terutama kehidupan rumah tangganya.

2.2.2 Rela dan Syukur Demi Menggapai Rida Allah

1) Sinopsis Cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”

Sekelompok pohonan berdiri melingkari laki-laki yang mengumpulkan mereka. Tujuan laki-laki mengumpulkan pepohonan itu adalah untuk menyampaikan pesan Allah bahwa Allah akan menampakkan diri lusa (hari Jumat) sebelum waktu Ashar. Pepohonan itu amat gembira menerima berita itu dan mereka ramai memperbincangkannya. Tiba-tiba salah satu pohon itu bertanya tentang laki-laki pembawa berita itu dan dari mana ia mendapatkan berita itu. Laki-laki itu menjawab bahwa ia menerima berita itu dari Allah sendiri melalui gunung, yang bergerak menyebabkan segala kehancuran dan dia sendiri pingsan. Pepohonan itu terkesima sehingga suasana menjadi hening. Mereka menjadi terharu setelah mendengar penjelasan laki-laki itu bahwa hanya kepada pohon-pohon saja Allah berkenan menampakkan diri sedangkan kepada makhluk lainnya tidak.

Sementara pepohonan tenggelam dalam keharuan, laki-laki itu pergi ke sebuah kedai yang tidak jauh dari tempat itu. Pemilik kedai itu tiba-tiba terjaga ketika laki-laki itu memasuki kedainya. Ia lalu berteriak bahwa ia harus berbelanja lebih banyak keesokan harinya karena tempat itu ramai dikunjungi orang.

Ketika hari yang ditentukan tiba, pagi-pagi sekali orang-orang berdatangan ke tempat itu untuk melihat pohon bermusyawarah. Orang-orang yang berjualan pun menjadi banyak dan dagangan mereka laris. Mereka benar-benar menikmati totonan pohon yang mereka anggap bermusyawarah itu. Laki-laki itu heran melihat keadaan itu tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu, bahkan mendekati pohon itu menjelang waktu yang dijanjikan pun ia tidak ia mau karena takut menyalahi pesan Allah. Ia pun tidur dan baru terjaga karena mendengar percakapan antarpohon tentang ketepatan janji Allah karena saat itu waktu Ashar telah lewat, sementara laki-laki itu puas sebab ia telah mematuhi perintah Allah. Ia juga menyaksikan kebahagiaan seluruh makhluk di tempat itu. Pepohonan itu pun tiba-tiba meneriakkan ketiadaannya. Mereka terus berkembang hingga


(32)

seratus kali lebih tinggi dan lebih besar dari bentuk semulanya, sementara orang-orang yang menyaksikannya panik dan jatuh pingsan.

2) Perilaku Sufistik

Tokoh yang memperlihatkan perilaku sufistik dalam cerpen “Allah Berkenan

Mengejawantah, Lusa” ini adalah laki-laki pembawa berita dan pohon-pohon. Tampaknya, kisah tentang Nabi Musa yang ingin melihat Allah mengilhami pengarang dalam menulis cerpen ini. Dikatakan demikian, karena kisah yang dialami tokoh laki-laki pembawa berita itu memiliki kesamaan dengan kisah yang dialami Nabi Musa seperti terdapat dalam Quran Surat al-A’raf:143 berikut ini.

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,

berkatalah Musa, “Ya, Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu”. Tuhan berfirman, “kamu sekali-sekali tidak akan sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunug itu, dijadikan-Nya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar

kembali, ia berkata, “Mahasuci engkau, aku bertobat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman”.

Ada beberapa hal lagi yang dapat memperkuat bahwa tokoh laki-laki pembawa berita itu adalah insan kamil, yaitu kemampuannya dapat berkomunikasi dengan makhluk lain, dalam hal ini pohon. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

Karena pohon-pohon itu begitu ributnya, kuping laki-lai itu lebih menangkap keramaian pasar malam, daripada suatu pemicaraan tentang akan hadirnya Allah. Laki-laki itu mengacungkan tangannya. Pohon-pohon itu mengerti, lalu mengatup mulutnya.

“Dari mana Anda tahu bahwa Allah berkenan akan mengejawantah?” Tanya sebatang pohon.

“Saya diberi tahu,” jawab laki-laki itu.

“Siapa yang memeberi tahu Anda?” “Allah sendiri.”

“Dari mana Anda tahu bahwa itu Allah sendiri?” “Saya menduganya.”

“Anda ini siapa sampai-sampai Allah turun tangan sendiri memberi

tahu Anda?”


(33)

“Mengapa Allah tidak mengutus malaikat-Nya untuk memberi tahu Anda?”

“Itulah saya tidak tahu.” (Danarto, 1996:16—17).

Kutipan berikut ini, yang merupakan penuturan narator, juga memperlihatkan kemampuan tokoh laki-laki pembawa berita itu berkomunikasi dengan makhluk lain itu.

POHON-POHON ITU LALU BERANJAK SETELAH DIPANGGILNYA. Tanpa merasa menghujam tanah, pohon-pohon itu begitu mulus menghampirinya, dengan akar-akar berjuntaian, terseret, sambil mencengkeram gumpalan-gumpalan ranah. Serta–merta burung-burung, belalang, kadal, ular, semut-semut, kupu-kupu beterbangan dan berlarian meninggalakan pohon-pohon yang berjalan, bergoyang-goyang itu. Awan gemawan terpana. Laki-laki yang memandangi pohon-pohon itu berdiri tegak di tengah tanah datar itu. Ia nampak tenang. Sebagai seorang yang tahu segala, laki-laki itu nampak biasa bergaul dengan segala jenis makhluk, termasuk tanaman-tanaman.

Pohon-pohon itu melingkari laki-laki tadi. Menancapkan kembali akar-akarnya, menghujam ke dalam, mencengkeram. Seolah memanggil teman sejawatnya di warung kopi, laki-laki itu tersenyum menyambut mereka. Dalam ruang kira-kira seluas 5m x5m laki-laki itu kelihatan akrab dengan pohon-pohon itu (Danarto, 1996:15).

Dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan” serbatahu, kutipan di

atas memperlihatkan nada yang bersikap akrab pohon-pohon yang semula curiga terhadap laki-laki pembawa berita itu. Ada beberapa perilaku sufistik dalam tarikat yang terlihat dari tokoh-tokoh laki-laki pembawa berita ini, yaitu makam syukur dan rela. Kedua makam ini memeiliki hubungan yang erat. Menurut Attar (dikutip Schimmel, 1986:130) kesyukuran dalam makna yang sedalam-dalamnya adalah keinsafan akan kearifan takdir Ilahi. Rasa syukur kepada Tuhan mengajarkan kepada manusia agar dengan mata hati ia melihat hikmah yag terselubung dari sebuah musibah. Di sisi lain,

rela merupakan kegembiraan hati dalam pahitnya takdir (Zunnun dikutip Schimmel, 1986:131). Kesyukuran itu sendiri terdiri dari tiga tingkat, yaitu kesyukuran karena pemberian, kesyukuran karena tidak diberi, dan kesyukuran karena dapat merasa bersyukur (Schimmel, 1986:129). Perilaku ketasawufan kedua makam ini terlihat dari sikap tokoh laki-laki pembawa berita yang rela menerima ketentuan Allah bahwa hanya pohon yang berhak melihat pengejawantahan Allah sedangkan makhluk lain tidak boleh,


(34)

termasuk dirinya sendiri. Sikap ini juga mencerminkan kesyukurannya. Kesyukuran yang dilakukan oleh tokoh laki-laki pembawa berita ini, bukanlah kesyukuran pada tahap rendah, yaitu karena mendapat nikmat. Kesyukurannya merupakan kesyukuran tingkat menengah dan tingkat tinggi, yaitu kesyukuran karena tidak diberi nikmat dan bersyukur karena dapat merasa bersyukur.

Tokoh laki-laki pembawa berita sengaja tidur sesudah waktu zuhur. Hal itu dilakukannya semata-mata karena sikap patuhnya terhadap pesan Allah, yaitu hanya pohon yang berhak menyaksikan pengejawantahan Allah itu. Setelah waktu ashar, ia terjaga dan melihat keanehan terjadi. Hal ini memperlihatkan nada simpati dan penuh kagum narator terhadap perilaku laki-laki pembawa berita itu. Penuturan narator itu adalah:

Jika ada orang yang paling heran, ialah laki-laki yang membawa pesan Allah itu. Dengan hadirnya orang-orang kota itu, pesan Allah bakal terganggu. Begitu laki-laki itu berpikir. Perlukah ia mengusir orang-orang itu sebelum ashar? Laki-laki itu lalu bersolat mohon petunjuk. Ternyata petunjuk itu tak diberikan. Kemudian laki-laki itu beranjak dan berjalan menuju tempat pohon bersmusyawarah itu bersama bondongan orang yang baru datang. Tidak. Ia tidak akan menyalahi pesan Allah. Ia hadir di tempat itu, tetapi ia tidur, supaya ia tidak menyaksikan pengejawantahan Allah. Sementara waktu menjelang ashar makin mendekat (Danarto, 1996:21—22).

………

Laki-laki itu mengusap kedua matanya. Ia merasa lega karena telah mematuhi perintah Allah. Ia memandang berkeliling. Ia merasakan kebahagiaan orang-orang, binatang-binatang, pohon-pohon, benda-benda. Bahkan ia melihat rantang yang berjingktak-jingkrak (Danarto, 1996:22— 23).

………

Laki-laki itu bangkit dengan kaget. Ia sasksikan pohon-pohon bermusyawarah itu berteriak bersahut-sahutan sambil merentang-rentangkan cabang-cabangnya ke angkasa: “Saya tidak ada!” (Danarto, 1996:23).

Kerelaan dan kesyukuran tokoh laki-laki pembawa berita dalam cerpen ini menyebabkan kerelaan Tuhan pula terhadapnya. Ketika pengejawantahan Allah terjadi, laki-laki pembawa berita tidak diperkenankan Allah menyaksikan pengjawantahan-Nya. Sementara, orang-orang kota yang berdatangan ke tempat itu pingsan melihat peristiwa itu. Hal ini terlihat dari dialog para pohon dan penuturan narator berikut.


(35)

“Jangan-jangan Allah telah mengejawantah. Hanya saja kita tidak

melihat-Nya,” kata pohon kembar.

“Tetapi tunggu dulu,” seru pohon bulat, “Saya merasa, saya merasa, saya merasa tidak ada.”

“He!”teriak pohon lengkung. “Saya juga merasa tidak ada!”

Laki-laki itu bangkit dengan kaget. Ia saksikan pohon-pohon bermusyawarah itu berteriak bersahut-sahutan sambil merentang-rentangkan cabang-cabangnya ke angkasa: “Saya tidak ada!”

Laksana menyedot pupuk langsung dari Lauhul Mahfud, batang-batang pohon itu berkembang, berkembang, dan berkembang. Membesar, membesar, dan membesar. Pohon itu menjadi seratus kali lebih besar, lebih tinggi, dan lebih rimbun. Menyaksikan pohon-pohon raksasa ini, orang-orang yang sedang piknik itu panik dan jatuh pingsan (Danarto, 1996:23).

Tokoh lain yang juga memperlihatkan perilaku ketasawufan adalah pohon-pohon. Dalam cerpen ini, pohon dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari makhluk ciptaan Tuhan dari kelompok tumbuh-tumbuhan. Kalau demikian, pohon itu sendiri merupakan

tajalli dan emanasi Allah. Selain itu, pohon pohon juga dapat diinterpretasikan sebagai manusia yang patuh dan selalu bertasbih kepada Allah, sekaligus juga merupakan metafor manusia yang menderita karena pengeksplorasian yang berlebihan terhadap kehidupan mereka, sementara nasib dan kelangsungan hidup mereka tidak diperhatikan.

Perilaku ketasawufan pohon-pohon ini sudah mencapai fana (peleburan). Dalam

Ensiklopedi Islam (1996:286) dikemukakan bahwa fana merupakan suatu kondisi yang dialami oleh seorang sufi yang merasakan bahwa ia kehilangan kemanusiaannya dan tenggelam dalam keesaan Tuhan. Fana itu sendiri ada beberapa macam. Abdul Hamid bin Muhammad Ali Quds (dikutip Purwadaksi, 1992:14—17) mengemukakan bahwa

fana itu ada sembilan jenis. Salah satu di antaranya adalah fana al-Istilam, yaitu fana

yang dirasakan seorang sufi ketika wujud Allah memengaruhi wujud dirinya sehingga ia tidak merasakan lagi keberadaan dirinya, Ia merasakan bahwa semua yang berwujud ini lenyap, yang dirasakannya hanyalah wujud Allah. Jenis fana al-Istilam ini dirasakan oleh pohon-pohon sebagaimana terlihat dari dialog antarpohon berikut.

“Tetapi tunggu dulu,” seru pohon bulat, “Saya merasa, saya merasa, saya merasa tidak ada.”

“He!” teriak pohon lengkung. “Saya juga merasa tidak ada!”

Laki-laki itu bangkit dengan kaget. Ia saksikan pohon-pohon bermusyawarah itu berteriak bersahut-sahutan sambil merentang-rentangkan cabang-cabngnya ke angkasa: “Saya tidak ada!”


(36)

Laksana menyedot pupuk langsung dari Lauhul Mahfud, batang-batang pohon itu berkembang, berkembang, dan berkembang. Membesar, membesar, dan membesar. Pohon itu menjadi seratus kali lebih besar, lebih tinggi, dan lebih rimbun. Menyaksikan pohon-pohon raksasa ini, orang-orang syang sedang piknik itu panik dan jatuh pingsan (Danarto, 1996:23).

Pohon yang merupakan makhluk Allah, merupakan makhluk yang selalu bertasbih

kepada Allah. “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih

kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun

lagi Maha Pengampun” (al-Isra’:44). Selain itu, di dalam konsep tasawuf, alam semesta, termasuk pohon tentu saja, merupakan tajalli atau penampakan Allah. Peristiwa tajalli ini memakan waktu yang panjang, melalui beberapa martabat, misalnya, Hamzah Fansuri mengelompokannya ke dalam lima martabat. Menurutnya, penciptaan manusia yang dapat diinderai terjadi pada martabat kelima. Dalam rangka Tuhan menampakkan diri-Nya, Dia bertajalli pada diri manusia dengan sifat asma-Nya, sehingga wujud manusia itu

menjadi “pakaian Tuhan” di dalam syahadah ini (Hadi, 1995:84—91).

Pohon dalam cerpen ini dapat diinterpretasikan sebagai metafor manusia yang patuh bahkan mencintai Allah. Bagi manusia yang mencintai Allah, khususnya para salik

(pengembara) pencari Allah, pertemuan dengan Allah merupakan tujuan mereka sehingga hal ini menimbulkan kebahagiaan yang dinanti-nanti. Hal ini tampak dari penuturan narator berikut ini.

Pohon-pohon itu tiba-tiba diam. Apakah mereka lalu berpikir? Mereka berikut cabang, ranting, dan seluruh daunnya, menjadi tegak lurus. Patung-patung hijau, patung-patung yang tumbuh. Perupa mana yang sanggup menemukan kebaruan ini? Apakah pohon-pohon itu mendadak tersihir? Apakah sedang berzikir? Apakah mereka sedang mensyukuri nikmat Allah? Air mata berlelehan. Kelihatannya mereka sedang menikmati keharuan (Danarto, 1996:19).

Kutipan di atas juga memperlihatkan nada yang bersikap simpati narator melalui

sudut pandang ”diaan” serbatahu terhadap kepatuhan dan kesyukuran yang diperlihatkan

pohon-pohon itu. Selain merupakan metafor manusia yang dicintai Allah, pohon itu juga merupakan metafor kelompok masyarakat yang terpinggir. Hal ini terlihat dari penuturan


(1)

Surat Taha:117

(117) Maka Kami berkata, "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.

Surat al-Qasas:77

(77) Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

Surat ar-Rum:21

(21) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Surat Sad:26

(26) Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.

Surat-az-Zariyat:19

(19) Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.


(2)

(56) Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Surat al-Haddid:20

(20) Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

Surat al-Haddid:23

(23) (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,

Surat al-Jumu’ah:10

(10) Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.

Surat al-Munafiqun:9

(9) Hai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abu Hamid. 1995. Raudhah: Taman Jiwa Kaum Suufi. Diterjemahkan oleh Muhammad Luqman Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti.

Al-Ghazali, Abu Hamid. 1998. Pilar-Pilar Rohani Islam. Diterjemhkan oleh Irwan Kurniawan. Jakarta: Lentera.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Tanpa tahun. Keutamaan Cinta & Kasih Sayang. Bandung: Bintang Pelajar

Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim. 2000. Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah. Diterjemahkan oleh Kuthur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Al-Quran dan Terjemahannya. 1990. Diterjemahkan oleh Soenarjo, R.H.A.dkk. Madinah: Mujamma Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush_haf Asy-Sayaruf.

Amstrong, Amatullah. 1998. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Diterjemhkan oleh M.S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan.

Asfari M.S. dan Otto Sukatno CR. 1998. Mahabbah cinta Rabi’ah al-Adawiyah. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Badrun, Ahmad. 1994. “Makna Tiga Sajak Ketasawufan Abdul Hadi W.M”. Tesis S2 Jakarta: Program Studi Ilmu budaya, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Booth, Wayne C. 1991. The Rethoric of Fiction. Chicago & London: The University of Chicago Press.

Braginsky, V.I. 1993. Tasawuf dan Sastra Melayu: Kajian dan Teks-Teks. Jakarta: RUL. “Cakrawala”, dalam Minggu Pagi. Nomor 29, 31 Oktober 1987.

Danarto. 1987. Godlob. Cetakan ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Danarto. 1982. Adam Ma’rifat. Jakarta: Balai Pustaka

Danarto. 1996. Berhala. Cetakan kelima. Jakarta: Pustaka Firdaus. Danarto. 1996. Gergasi. Cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Egleton, Terry. 1988. Teori kesusastraan: Suatu Pengenalan. Diterjemahkan oleh Muhammad H. Saleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.

Eneste, Pamusuk (ed). 1983. Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta: Gramedia. Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.


(4)

Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid III. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve. Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid IV. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve. Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid V. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Ensiklopedi Wayang Indonesia. 1999. Jakarta: Senawangi, PT Sukamindo Pritama.

Hadi W.M., Abdul. 1991. Sastra Sufi: Sebuah Antalogi. Cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Hadi W.M., Abdul. 1995. HamzahFansuri: Risallah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. Bandung: Bentang Budaya.

Hadi W.M., Abdul. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esei-Esei Sastra Profetik dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Harun, Ramli dkk.1985. Kamus Istilah Tasawuf. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Kaelan. 1990. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma. Jassin, H.B 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Cetakan Kedelapan. Jakarta: CV Haji

Masugung.

Madjid, Nurcholish. 1998. Tasawuf Positif dan Kekuasaan Politik: Pengantar Kajian Tasawuf Positif: Alternatif Spritualitas bagi Dunia Modern. Jakarta: Indonesia Islamic Media Network (IIMAN).

Nasr, Sayyid Husein. 2000. Tasauf dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Nicholson, Reynold A. 1987. Tasawuf: Menguak Cinta Ilahiyah. Diterjemahkan oleh Nashir Budiman. Jakarta: Rajawali Press.

Newton, K.M. 1990. Menafsirkan Teks: Pengantar Kritis kepada Teori dan Praktek Penafsiran Sastra. Diterjemahkan oleh Soelista. Semarang: IKIP Semarang Press. Nurbakhsh, Javad. 1993. “Suvi Love” dalam Sufi: A Journal of Sufism. Issue 20. London,

Khaniqahi Nimatullahi Publications.

Nurbakhsh, Javad. 1993. “Two Principle Messages of Sufism” dalam Sufi: A Journal of Sufism. Issue 18. London: Khaniqahi Nimatullahi Publication.

Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 1989. Fantasi dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto. Dialig Anatara Dunia Nyata dan Tidak Nyata. Jakarta: Balai Pustaka.


(5)

Purwadaksi, Ahmad. 1992. “Ratib Saman dan Hikayat Syekh Muhammad Saman: Suntingan Naskah dan Kajian Isi Teks”. Disertasi. Jakarta: Program Studi ilmu Budaya. Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.

Rahman, Fazlur. 1984. Membuka Pintu Ijtihad. Diterjemahkan oleh Anas Mahuidin. Bandung: Pustaka.

Rakhmat, Jalaluddin. 1999. “Allah dan Perwujudan jalal dan jamal” dalam Pengantar Kajian Tasawuf Positif: Alternatif Spritualitas bagi Dunia Modern. Jakarta: Indonesia Islamic Media Network (IIMAN).

Sastroyatmo, Mulyono (Pengalih bahasa). 1987. Kresna Arjuna Bawarasa Mangunsalaga. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Schmmel, Annemarie. 1986. Dimensi Mistik dalam Islam. Diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Simuh. 1999. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bintang Budaya.

______. 1992. “Mistik Islam dalam Karya Sastra Daerah”. Makalah pada Seminar Nasional Sastra dan Filsafat tanggal 29-30 Januari 1992 di fakultas Sastra, Universitas Indonesia, Depok.

Siraj, Said Aqiel. 2000. “Relevansi Tasawuf pada Era Global” dalam Sufi Menuju Jalan Ilahi. Nomor 3, Juli 2000.

Smith, Margaret. 1999. Rabi’ah: Pergulatan Spritual Perempuan. Diterjemahkan oleh Jamilah Baraja. Surabaya: Risalah Gusti.

Sumarsono, E. 1993. Hermeneutika, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Syukur, M. Amin. 1999. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syukur, M. Amin.1997. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Teuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teuw, A.1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tjitrosubono, Siti Sundari dkk. 1985. Memahami Cerpen-cerpen Danarto. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Valiuddin. Mir. 1997. Zikir & Kontemplasi dalam Tasawuf. Diterjemahkan oleh M.S. Nasrulloh. Bandung Hidayah.

Wellwk, Rene dan Austin Warren, 1989. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.


(6)

Zoetmulder, P. J. 1991. Menunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Cetakan Kedua. Jakarta: Gramedia.