PENERAPAN SOLUTION-FOCUSED COUNSELING UNTUK PENINGKATAN PERILAKU ASERTIF : Penelitian Single Subject pada Siswa Kelas VIII SMP Kartika XIX-2 Bandung Tahun Ajaran 2013/2014.
PENERAPAN SOLUTION-FOCUSED COUNSELING UNTUK PENINGKATAN PERILAKU ASERTIF
(Penelitian Single Subject pada Siswa Kelas VIII SMP Kartika XIX-2 Bandung Tahun Ajaran 2013/2014)
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan dalam Bidang Bimbingan dan Konseling
Oleh, ALREFI NIM 1201126
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2014
(2)
Penerapan Solution-Focused
Counseling untuk Peningkatan
Perilaku Asertif
Oleh, Alrefi
S.Pd FKIP UNSRI, 2011
Sebuah Tesis yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan (M.Pd.) pada Fakultas Bimbingan dan Konseling
© Alrefi 2014
Universitas Pendidikan Indonesia Oktober 2014
Hak Cipta dilindungi undang-undang.
Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.
(3)
ALREFI 1201126
PENERAPAN SOLUTION-FOCUSED COUNSELING UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF
(Penelitian Single Subject Terhadap Siswa Kelas VIII SMP Kartika XIX-2 Bandung Tahun Ajaran 2013/2014)
DISETUJUI DAN DISAHKAN OLEH PEMBIMBING : Pembimbing I
Prof. Dr. Kusdwiratri Setiono
Pembimbing II
Dr. Ilfiandra, M.Pd NIP. 19721124 199903 1 003
Mengetahui,
Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Pendidikan Indonesia
M.Pd IP.19600501 198603 1 004 D
(4)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ……….. i
KATA PENGANTAR ………... iii
UCAPAN TERIMA KASIH ………. v
DAFTAR ISI ……….. vii
DAFTAR TABEL ………..………….………... DAFTAR GRAFIK ……… ix xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……...………... 1
B. Identifikan dan Rumusan Masalah ...……… C. Tujuan Penelitian ……….. 6 8 D. Manfaat Penelitian ……… E. Sistematika Penulisan……… 8 9 BAB II TEKNIK SOLUTION-FOCUSED COUNSELING UNTUK MENINGKATKAN PERILAKU ASERTIF SISWA A. Konsep Perilaku Asertif...………...… 1. Pengertian Perilaku Asertif……… 2. Komponen Perilaku Asertif ……….. 3. Ciri-ciri Individu yang Asertif... ……….... 4. Hal-hal yang Mempengaruhi Perkembangan Perilaku Asertif…….. 5. Pengembangan Perilaku Asertif melalui Solution-Focused Counseling 10 10 15 16 19 21 B. Kerangka Berpikir...………..… 34
C. Asumsi dan Hipotesis Penelitian 36 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ………... B. Metode Penelitian ………. C. Desain Penelitian ……….. 37 37 37 D. Populasi dan Sampel Penelitian ….………... 38 E. Definisi Operasional Variabel Penelitian ……….…
F. Instrumen Penelitian ………..………...
G. Langkah-Langkah Penelitian………...………...
H. Analisis data...…………...………
40 41 43 50
(5)
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Profil Perilaku Asertif Siswa ………... 1. Profil Tingkat Perilaku Asertif Siswa ………...……… 2. Profil Perilaku Asertif Siswa Sebelum Intervensi...………...
a) Profil Konseli JN ………..
b) Profil Konseli IQ ……….
c) Profil Konseli YD ……….
B. Proses Pelaksanaan Solution-Focused Counseling untuk Meningkatkan
Perilaku Asertif...………...
1. Kasus Konseli JN ………...
2. Kasus Konseli IQ ………...
3. Kasus Konseli YD ………...
C. Gambaran Efektivitas Solution-Focused Counseling untuk Meningkatkan Perilaku Asertif Siswa ...……….... 1. Analisis Profil Konseli JN Setelah Intervensi ……… 2. Analisis Profil Konseli IQ Setelah Intervensi ……… 3. Analisis Profil Konseli YD Setelah Intervensi ……….. D. Analisis Temuan Penelitian Solution-Focused Counseling untuk
Meningkatkan Perilaku Asertif Siswa ………....………..
E. Keterbatasan Penelitian .………...………
53 53 56 57 58 61 63 63 69 76 83 83 93 103 113 118
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan ………... 120
B. Rekomendasi ……… 120
DAFTAR PUSTAKA ……… 122
LAMPIRAN-LAMPIRAN…………..………... 128
(6)
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Kisi-Kisi Instrumen Perilaku Asertif...……….. 41 Tabel 3.2 Kategori Pemberian Skor Alternatif Jawaban...………...……….. 42 Tabel 3.3 Sasaran Intervensi …...………. 47 Tabel 3.4 Panduan Interpretasi Skor Percentage Non-Overlapping Data
(PND) ...………. 52 Tabel 4.1 Tingkat Perilaku Asertif Siswa Kelas VIII SMP Kartika XIX-2
Bandung Tahun Ajaran 2013/2014 …………...…………. 53
Tabel 4.2 Tingkat Perilaku Asertif Siswa Kelas VIII SMP Kartika XIX-2 Bandung yang menjadi Partisipan dalam Penelitian Ajaran
2013/2014... 56 Tabel 4.3 Tabel Perubahan Skor Perilaku Asertif JN …………... 84 Tabel 4.4 Tabel 4.5 Tabel 4.6 Tabel 4.7 Tabel 4.8 Tabel 4.9 Tabel 4.10
Peubahan Skor Aspek Bebas Mengemukakan Pikiran dan Pendapat ... Perubahan Skor Aspek Mampu Berkomunikasi Secara Langsung, Terbuka dan Jujur.
Perubahan Skor Aspek Mampu Menyatakan Perasaan dengan tepat... Perubahan Skor Aspek Memiliki Sikap dan Pandangan yang Aktif Terhadap Kehidupan ...……….... Perubahan Skor Aspek Menerima Keterbatasan yang Ada dalam diri …... Tabel Perubahan Skor Perilaku Asertif Konseli IQ …………... Perubahan Skor Aspek Bebas Mengemukakan Pikiran dan Pendapat... 87 88 90 91 93 94 97 Tabel 4.11 Tabel 4.12
Perubahan Skor Aspek Mampu Berkomunikasi secra Langsung, Terbuka dan Jujur ... Perubahan Skor Aspek Mampu Menyatakan Perasaan dengan tepat ...
98
(7)
Tabel 4.13
Tabel 4.14
Tabel 4.15 Tabel 4.16
Tabel 4.17
Tabel 4.18
Tabel 4.19
Perubahan Skor Akti Memiliki Sikap dan Pandangan yang Aktif Terhadap Kehidupan ...…...……….... Perubahan Skor Aspek Menerima Keterbatasan yang Ada dalam
diri ...………
Tabel Perubahan Skor Perilaku Asertif Konseli YD...….…..… Perubahan Skor Aspek Bebas Mengemukakan Pikiran dan Pendapat ... Perubahan Skor Aspek Mampu Berkomunikasi secara Langsung, Terbuka dan Jujur pada Konseli ... Perubahan Skor Aspek Mampu Menyatakan Perasaan dengan Tepat ... Perubahan Skor Aspek Memiliki Sikap dan Pandangan yang Aktif Terhadap Kehidupan ...
101
103 104
107
108
110
111 Tabel 4.20
Tabel 4.21
Perubahan Skor Aspek Menerima Keterbatasan yang ada dalm diri ... Perbedaan Rata-Rata Skor Perilaku Asertif dan Standar Deviasi Antara Baseline (A) dan Intervensi (B)...
112
(8)
DAFTAR GRAFIK
Grafik 4.1 Profil Perilaku Asertif Konseli JN sebelum mendapatkan Intervensi
57
Grafik 4.2 Profil Perilaku Asertif Konseli IQ sebelum mendapatkan Intervensi
59
Grafik 4.3 Profil Perilaku Asertif Konseli YD sebelum mendapatkan Intervensi
61
Grafik 4.4 Profil Perilaku asertif Konseli JN Setelah Mendapatkan Intervensi
84
Grafik 4.5 Aspek Bebas Mengemukakan Pikiran dan Pendapat 86
Grafik 4.6 Aspek Mampu Berkomunikasi Secara Langsung, Terbuka dan Jujur
88
Grafik 4.7 Aspek Mampu Menyatakan Perasaan dengan Tepat 89
Grafik 4.8 Aspek Memiliki Sikap dan Pandangan yang Aktif terhadap Kehidupan
91
Grafik 4.9 Aspek Menerima Keterbatasan yang ada dalam diri 92
Grafik 4.10 Profil Perilaku asertif Konseli IQ Setelah Mendapatkan Intervensi
94
Grafik 4.11 Aspek Bebas Mengemukakan Pikiran dan Pendapat 96
Grafik 4.12 Aspek Mampu Berkomunikasi Secara Langsung, Terbuka dan Jujur 98 Grafik 4.13 Grafik 4.14 Grafik 4.15 Grafik 4.16 Grafik 4.17 Grafik 4.18
Aspek Mampu Menyatakan Perasaan dengan Tepat
Aspek Memiliki Sikap dan Pandangan yang Aktif terhadap Kehidupan
Aspek Menerima Keterbatasan yang Ada dalam Diri
Profil Perilaku asertif Konseli YD Setelah Mendapatkan Profil Aspek Bebas Mengemukakan Pikiran dan Pendapat
Aspek Mampu Berkomunikasi secara Langsung, Terbuka dan
99
101 102 104 106
(9)
Grafik 4.19 Grafik 4. 20
Grafik 4. 21
Jujur
Aspek Mampu Menyatakan Perasaan dengan Tepat
Aspek Memiliki Sikap dan Pandangan yang Aktif terhadap Kehidupan
Aspek Menerima Keterbatasan yang ada dalam Diri
108 109
111 112
(10)
ABSTRAK
Alrefi. (2014). Penerapan Solution-Focused Counseling Untuk Peningkatan Perilaku Asertif. (Penelitian Single Subject terhadap Siswa Kelas VIII SMP Kartika XIX-2 Bandung Tahun Ajaran 2013/2014).
Penelitian mengenai perilaku asertif dilatabelakangi oleh perilaku yang tidak asertif pada siswa seperti ketidakmampuan mengemukakan pikiran dan pendapat dan ketidakmampuan menyatakan perasaan dengan tepat. Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan solution-focused counseling untuk meningkatkan perilaku asertif yang dialami oleh siswa dengan kategori perilaku asertif rendah. Penelitian menggunakan metode penelitian single subject dengan desain A-B. Populasi penelitian yaitu siswa kelas VIII SMP Kartika XIX-2 Bandung tahun ajaran 2013 / 2014 dengan sampel penelitian sebanyak tiga orang siswa dengan kategori rendah dan dominan pada aspek bebas mengemukakan pikiran dan pendapat dan mampu menyatakan perasaan dengan tepat. Teknik analisis data menggunakan analisis visual dengan melihat arah kecenderungan garis (trend) dan analisis statistik menggunakan dua standar deviasi dan pedoman Percentage overlapping Non-Data (PND) untuk menguji keefektifan intervensi. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya perbedaan skor yang signifikan antara fase baseline dan fase intervensi dengan meningkatnya skor perilaku asertif yang dialami oleh siswa. Temuan ini menjelaskan bahwa solution-focused counseling efektif untuk meningkatkan perilaku asertif. Berdasarkan temuan penelitian, maka solution-focused counseling dapat dijadikan modus intervensi dalam menangani konseli yang berperilaku tidak asertif.
(11)
ABSTRACT
Alrefi. (2014). Application of Solution-Focused Counseling to Improve Assertive Behavior. (Single Subject Research of the Eight Grade Students of SMP Kartika XIX-2 Academic Year 2013/2014).
The research on assertive behavior might be caused by nonassertive behavior students, for instance the inabilty to express their thoughts, opinions and feelings exactly. This research was aimed at testing the effectiveness of solution-focused counseling to improve assertive behavior students. Single subject AB design was used in this research. The participants was the Eighth Grade Students of SMP Kartika XIX-2 Bandung academic year 2013/2014. The sample was three students with low category and dominant aspects of mind, free to express their opinions, and able to express feelings appropriately. Analysis using visual analysis by looking at the trajectory line (trend) and statistical analysis using two standard deviations and guidelines from Percentage overlapping Non-Data (PND) to test the effectiveness of interventions. The result showed that there was significant difference in scores between the baseline phase and the intervention with scores increasing assertive behavior experienced by students. This finding explains that solution-focused counseling improve effective to assertive behavior. Based on the research finding, the solution-focused counseling can be used as a mode of intervention in addressing non-assertive counselees.
Keywords: Assertive Behavior, Individual Counseling, Solution-Focused Counseling
(12)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masa awal remaja adalah masa seorang anak memiliki keinginan untuk mengetahui berbagai macam hal serta ingin memiliki kebebasan dalam menentukan apa yang ingin dilakukannya (Hurlock, 1980). Dalam keseharian tidak semua remaja dapat berperilaku asertif. Perilaku asertif didefinisikan sebagai suatu pengungkapan ekspresi secara langsung dan jujur yang memungkinkan remaja untuk mempertahankan hak-hak pribadi tanpa melakukan tindakan agresif yang mengganggu hak-hak pribadi orang lain (Lange dan Jackubowski, 1985:132). Hal ini dikarenakan tidak semua baik remaja laki-laki maupun perempuan sadar bahwa mereka memiliki hak untuk berperilaku asertif.
Seorang remaja memiliki kecemasan atau ketakutan untuk berperilaku asertif, bahkan banyak individu selain anak remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif (Eskin, 2003). Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya, keluarga tempat anak remaja tinggal, urutan anak tersebut dalam keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua dan sistem kekuasaan orang tua (William, 2008).
Berperilaku asertif memiliki banyak manfaat terutama dalam hubungan sosial siswa karena perilaku ini mengedepankan segi-segi kejujuran dengan tetap menghargai orang lain. Berperilaku asertif berarti individu selalu memikirkan orang lain dan reaksi mereka tidak mengorbankan hak pribadi (Alberti dan Emmons, 2008). Perilaku asertif berbeda dengan perilaku agresif, dalam perilaku asertif seorang remaja dituntut untuk tetap mengahargai orang lain dan tanpa melakukan kekerasan secara fisik maupun verbal, sedangkan perilaku agresif cenderung untuk menyakiti orang lain apabila kehendaknya tidak dituruti (Zulkaida, 2006). Perilaku tidak asertif jelaslah merugikan diri sendiri karena seseorang yang tidak asertif merasakan tidak nyaman dan mengorbankan hak-hak pribadinya.
(13)
2
Fensterheim dan Baer (1980: 14-15) berpendapat seseorang dikatakan mempunyai sikap asertif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: Bebas mengemukan pikiran dan pendapat, dapat berkomunikasi secara langsung, terbuka dan jujur, mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cara yang tepat, memiliki sikap dan pandangan yang aktif terhadap kehidupan dan menerima keterbatasan yang ada di dalam dirinya dengan tetap berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya sebaik mungkin, sehingga baik berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki harga diri dan kepercayaan diri.
Fenomena tidak asertif dapat terlihat dengan banyaknya kasus bolos sekolah pada siswa yang tidak asertif terhadap ajakan temannya seperti pada kasus berikut, Tribbun News (2013) menyatakan pada operasi gabungan antara pihak kepolisian, Satpol PP, dan Disdikpora, sebanyak 130 siswa dibawa ke Mapolres Cimahi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 siswa di antaranya diamankan saat berkeliaran di Kota Cimahi, adapun sisanya yakni 113 siswa diamankan dari wilayah Kabupaten Bandung Barat (KBB).
Dari kasus tersebut penulis menemukan beberapa penyebab siswa yang bolos seperti tidak suka terhadap guru, bosan dengan mata pelajaran dan sikap tidak asertif siswa karena tidak berani menolak ajakan teman. Perilaku tidak asertif yang ditunjukkan oleh siswa di kota Cimahi tersebut jelas sangat merugikan diri sendiri karena siswa sudah tidak sekolah, tidak mendapatkan ilmu pengetahuan dari bangku sekolah dan yang lebih memalukan adalah siswa tersebut diamankan oleh pihak kepolisian.
Selain bolos sekolah hasil penelitian Novalia dan Dayakisni (2013) menunjukkan terdapat 31,7% remaja (14-16) menjadi korban bullying akibat perilaku tidak asertif. Menjadi korban bullying sangat tidak diinginkan oleh siswa-siswi yang sedang sekolah tetapi hal itu dapat terjadi kalau siswa lebih memilih perilaku tidak asertif daripada perilaku asertif. Lightsey dan Barnes (2007) juga menjelasakan remaja yang tidak asertif berdampak negatif terhadap kehidupan sosial karena remaja tersebut disadari atau tidak merasa didiskriminasi.
(14)
Hal tersebut jika dibiarkan akan menghambat tugas perkembangan seorang remaja (Erikson, 1963).
Perilaku asertif sangat penting dalam perkembangan remaja, karena apabila seorang remaja tidak dapat berperilaku asertif, disadari ataupun tidak, remaja akan kehilangan hak-hak pribadi sebagai individu dan cenderung tidak dapat menjadi individu yang bebas dan akan selalu berada dibawah kekuasaan orang lain (Erikson, 1963). Hal ini didukung oleh penelitian Daniel (2008) remaja tidak dapat berperilaku asertif karena belum menyadari bahwa remaja memiliki hak untuk berperilaku asertif.
Dalam kehidupan sehari-hari remaja berperilaku tidak asertif, remaja tidak menyadari dampak perilaku yang dilakukan dengan membiarkan diri tidak berperilaku asertif justru akan merusak hubungan interpersonal dengan individu lain (Daniel, 2008), dengan tidak membiasakan berperilaku asertif membuat remaja dirugikan oleh orang lain, sehingga perilaku yang muncul dari remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan keinginan hati nurani remaja tersebut (Omeje, 2013).
Fenomena tidak asertif sangat merugikan remaja, hasil penelitian Novitriani (2013) menunjukkan fakta bahwa kebanyakan remaja mulai merokok karena dipengaruhi oleh temannya terutama sahabat yang lebih dahulu merokok. Remaja yang lingkungannya merokok akan lebih mudah ikut-ikutan merokok terutama bila remaja tersebut rentan terhadap tekanan teman sebaya. Demikian juga pada penyalahgunaan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) dan seks bebas yang membuat remaja tersebut ikut ikutan teman sebaya yang sudah melakukan seks bebas dan memakai Napza. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa perilaku negatif tersebut berkaitan dengan ketidakmampuan remaja untuk bersikap asertif.
Jika digambarkan dalam sebuah perilaku di sekolah siswa yang tidak mampu berperilaku asertif merasa dirugikan oleh temannya sehingga yang muncul adalah hubungan yang tidak harmonis pada siswa, siswa yang tidak mampu mengatakan tidak cenderung disepelekan oleh temannya. Banyak siswa yang tidak mampu berperilaku asertif karena merasa takut tidak diakui dalam
(15)
4
komunitas anak-anak lainya, disadari atau tidak dengan berperilaku tidak asertif justru merugikan diri sendiri, misalnya ketika anak di ajak membolos dan dia sebenarnya tidak mau membolos akan tetapi karena ketidakmampuannya untuk mengatakan tidak akhirnya dia pun membolos, dalam hal ini sebenarnya siswa tersebut dirugikan karena sudah tidak bejalar, dan pastinya siswa tersebut akan tertinggal dalam pelajaran dan jika dikaitkan dengan peraturan sekolah siswa akan mendapat suatu masalah karena telah melanggar peraturan sekolah yaitu membolos (Nurfaizal, 2012).
Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan lima siswa SMP Kartika Siliwangi 2 Bandung selama Praktik Pengalaman Lapangan (2013), perilaku yang ditunjukkan siswa di sekolah seperti berpura-pura, memendam perasaan, menahan perbedaan pendapat atau bersikap agresif dan terdapat beberapa siswa ikut temannya bolos sekolah karena menghormati teman padahal sangat bertentangan dengan keinginan siswa tersebut. Hal ini disebabkan karena remaja memiliki rasa khawatir, takut mengecewakan orang lain, takut tidak diterima oleh lingkungan, dan takut menyakiti hati orang lain sehingga perilaku siswa di sekolah memilih berperilaku tidak asertif.
Hasil wawancara dengan guru BK SMP Kartika Siliwangi 2 Bandung (2013), hasil observasi selama PPL dan hasil daftar kehadiran siswa masih ditemukan siswa yang melanggar peraturan sekolah seperti membolos di lingkungan sekolah yang disebabkan ketidakmampuan remaja untuk menolak ajakan teman dan juga munculnya fenomena tidak asertif dari siswa sepert siswa yang dirugikan oleh temannya karena ketidakberanian untuk mengungkapkan keinginan menolak ajakan teman sehingga yang terjadi adalah timbulnya masalah pada siswa tersebut dilingkungan sekolah, siswa yang ikut merokok teman-temannya karena alasan menghormati teman padahal bertentangan dengan hati nurani anak tersebut, siswa merasa sulit untuk menolak ajakan dari temannya sehingga perilaku kurang asertif muncul pada siswa. Permasalahan ini muncul karena siswa tidak mau dijauhi temannya jika tidak mengikuti ajakan dari temannya dan siswa lebih memilih berperilaku tidak asertif terhadap ajakan teman-temannya. Permasalahan ini menyebabkan terganggunya proses belajar
(16)
siswa karena siswa merasa tidak mendapatkan kenyamanan di lingkungan sekolah.
Permasalahan tidak asertif yang dialami oleh remaja mengancam siswa tidak memiliki ikatan identitas melainkan krisis identitas dan perkembangan remaja tidak tercapai secara optimal (Erikson, 1963). Dengan adanya permasalahan tersebut maka sangat dibutuhkan peran bimbingan dan konseling, bimbingan dan konseling yang bertujuan membantu remaja pada permasalahan di bidang sosial berkaitan erat dengan permasalahan tidak asertif pada remaja. Konselor perlu merancang layanan bimbingan pribadi-sosial yang bersifat responsif.
Konselor dapat membantu siswa meningkatkan perilaku asertif melalui layanan konseling individu. Berdasarkan wawancara dengan tiga guru BK di sekolah (2013) guru BK menginginkan inovasi teknik konseling yang singkat karena selama ini konseling yang dilaksanakan adalah berfokus pada pengkajian permasalahan siswa. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru BK, peneliti berpendapat bahwa Solution-Focused Counseling merupakan teknik yang tepat digunakan untuk meningkatkan perilaku asertif siswa karena teknik SFC lebih dominan berfokus pada solusi daripada berfokus pada pengkajian masalah (Corey, 2009:426; Gladding, 2012: 284).
Solution-Focused Counseling (SFC) merupakan salah satu teknik konseling pendekatan postmodern. Tumbuh dari orientasi terapi strategis di lembaga penelitian jiwa, SFC menggeser fokus dari penyelesaian masalah untuk fokus pada solusi lengkap. SFC berbeda dengan terapi tradisional dengan mengulas masa lalu dalam mendukung baik saat ini maupun masa depan (Corey, 2009:426).
Solution-Focused Counseling (SFC), pertama kali dikembangkan oleh Steve de Shazer dan Insoo Kim Berg di Milwaukee, Wisconsin (Corey, 2009:425). SFC merupakan pendekatan konseling yang menekankan pada kekuatan-kekuatan konseli dan berfokus pada solusi (O’Connell, 2004). Kelly, dkk (2008) juga menjelaskan bahwa SFC adalah teknik yang tepat untuk setting sekolah. Hal ini juga didukung dalam penelitian Saadatzaade dan Khalili (2012)
(17)
6
yang berjudul “Effects of Solution-Focused Counseling on Student’s Self
-Regulation and Academic Achievement” menunjukkan bahwa Solution-Focused Counseling memiliki dampak positif terhadap prestasi belajar siswa. Hasil penelitian tersebut didukung oleh pernyataan Franklin (2001) menunjukkan pengaruh positif Solution-Focused Counseling terhadap masalah perilaku dan masalah belajar siswa.
Pernyataan tersebut menegaskan bahwa perilaku tidak asertif remaja dapat ditingkatkan melalui Solution-Focused Counseling karena perilaku asertif berhubungan dengan permasalahan sosial dan pribadi (Kelly, 2008:41). Solution-Focused Counseling memiliki tujuan menumbuhkembangkan kesadaran, memfokuskan pada solusi, kekuatan dan kemampuan serta meningkatkan kemampuan berpikir positif terhadap suatu masalah dan Solution-Focused Counseling efektif untuk mengatasi perilaku anak dan remaja dalam setting sekolah (Corey, 2009:437; Franklin, 2008:15).
B. Identifikasi dan Rumusan Masalah
Atas dasar uraian latar belakang penelitian, diperoleh kejelasan permasalahan sebagai berikut, seorang remaja memiliki kecemasan atau ketakutan untuk berperilaku asertif, bahkan banyak individu selain anak remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif (Eskin, 2003). Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya, keluarga tempat anak remaja tinggal, urutan anak tersebut dalam keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua dan sistem kekuasaan orang tua (William, 2008).
Permasalahan siswa SMP Kartika Siliwangi sering menyebabkan mereka sulit untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Sehingga kadang kala siswa mempunyai perilaku yang sulit untuk diatur, mudah sekali terpengaruh oleh teman sebaya dan lingkungan, sehingga siswa mudah ikut-ikutan dengan apa yang dilakukan oleh teman dan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1980), dan Erikson (Hall & Lindzey, 1993) bahwa masa remaja merupakan tahap pencarian indentitas dan sebagai ambang masa dewasa.
(18)
Dalam kehidupan sehari-hari siswa-siswi SMP Kartika Siliwangi menampakkan perilaku tidak asertif, remaja tidak menyadari dampak perilaku yang dilakukan dengan membiarkan diri tidak berperilaku asertif justru akan merusak hubungan interpersonal dengan individu lain, dengan tidak membiasakan berperilaku asertif membuat remaja dikuasai dan dirugikan oleh orang lain, sehingga perilaku yang muncul dari remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya. Siswa-siswi sangat tidak nyaman dengan perilaku yang tidak asertif yang ditunjukkan sehingga perilaku tidak asertif yang dialami oleh siswa tidak tercapai secara optimal. Dengan adanya permasalahan tersebut maka sangat dibutuhkan peran bimbingan dan konseling, bimbingan dan konseling yang bertujuan membantu remaja pada permasalahan di bidang sosial berkaitan erat dengan permasalahan tidak asertif pada remaja.
Dari permasalahan perilaku tidak asertif yang dialami oleh remaja tersebut, sangat jelas bahwa perilaku asertif sangat diperlukan oleh remaja agar dapat bertindak sesuai dengan keinginan remaja untuk mempertahankan hak-hak pribadi tanpa melakukan tindakan agresif yang mengganggu hak-hak pribadi orang lain. Untuk meningkatkan perilaku asertif siswa SMP Kartika Siliwangi II diperlukan adanya sebuah metode yang efektif dan sistematis untuk meningkatkan perilaku asertif diantaranya adalah teknik Focused Counseling. Solution-Focused Counseling memiliki tujuan menumbuhkembangkan kesadaran, memfokuskan pada solusi, kekuatan dan kemampuan serta meningkatkan kemampuan berpikir positif terhadap suatu masalah dan Solution-Focused Counseling efektif untuk mengatasi perilaku anak dan remaja (Corey, 2009:437; Franklin, 2008:15). Selain itu, Solution-Focused Counseling digunakan di sekolah untuk menambah skill bagi guru bimbingan dan konseling untuk melaksanakan layanan responsif khususnya konseling individual, karena selama ini guru bimbingan dan konseling memerlukan inovasi teknik-teknik konseling dalam menangani beragam permasalahan siswa yang ada di sekolah.
Berdasarkan masalah yang telah diidentifikasi, dirumuskan masalah, Solution-Focused Counseling belum diketahui keefektivitannya terhadap peningkatan perilaku asertif remaja, sehingga diperlukan kajian yang lebih
(19)
8
mendalam terhadap penerapan Solution-Focused Counseling untuk meningkatkan perilaku asertif siswa.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menghasilkan Solution-Focused Counseling yang efektif untuk meningkatkan perilau asertif siswa SMP Kartika Siliwangi II Bandung.
D. Manfaat penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat memiliki manfaat bagi siswa dan guru bimbingan dan konseling.
1. Siswa
Manfaat penelitian Penerapan Solution-Focused Counseling untuk Peningkatan Perilaku Asertif Siswa SMP Kartika Siliwangi II bagi siswa adalah siswa mendapatkan layanan responsif untuk meningkatkan perilaku asertif melalui teknik Solution-Focused Counseling.
2. Guru Bimbingan dan Konseling
Guru bimbingan dan koseling di sekolah dapat berkolaborasi dan berdiskusi dengan peneliti mengenai solution-focused counseling dan memanfaatkan hasil studi untuk menambah pengetahuan dan keterampilan terkait teknik Solution-Focused Counseling untuk meningkatkan perilaku asertif siswa, sehingga diharapkan menambah skill konseling dalam melaksanakan layanan responsif khususnya konseling individual.
3. Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi yang berkaitan dengan perilaku asertif dan solution-focused counseling sebagai teknik untuk meningkatkan perilaku asertif siswa.
(20)
E.Sistematika Penulisan
Penelitian ditulis dalam lima bab, dengan struktur organisasi pada halaman berikutnya.
1. Bab I Pendahuluan mencakup uraian dari latar belakang; identifikasi dan rumusan masalah penelitian; tujuan penelitian; manfaat penelitian; dan sistematika penulisan tesis.
2. Bab II Kajian Pustaka mencakup uraian konsep atau teori utama dan teori-teori turunannya dalam bidang yang dikaji; hasil penelitian terdahulu dan hasil temuannya; kerangka pemikiran; serta asumsi dan hipotesis.
3. Bab III Metode Penelitian mencakup pembahasan secara berurutan tentang pendekatan penelitian; metode penelitian; desain penelitian; lokasi dan subjek penelitian; definisi operasional tentang variabel-variabel penelitian; instrumen penelitian; teknik pengumpulan data dan analisisnya.
4. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan mendiskusikan temuan penelitian dengan menggunakan dasar teoritik yang telah dibahas dalam Bab II dan berisi uraian tentang dua hal utama yaitu; hasil pengolahan atau analisis data dalam bentuk temuan penelitian; dan pembahasan atau analisis temuan penelitian. 5. Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi mencakup penafsiran dan pemaknaan
terhadap hasil analisis temuan penelitian yang disajikan dalam bentuk kesimpulan; dan rekomendasi yang ditujukan kepada konselor; dosen pengampu mata kuliah; dan kepada peneliti selanjutnya.
(21)
37
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif untuk mendapatkan data numerikal berupa persentase perilaku asertif peserta didik kelas VIII SMP Kartika Siliwangi II Bandung tahun ajaran 2013/2014. Creswell (2012) menjelaskan pendekatan kuantitatif dipilih sebagai pendekatan penelitian ketika tujuan penelitian yaitu menguji teori, mengungkapkan fakta-fakta, menunjukkan hubungan antar variabel dan memberikan deskripsi.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimen kuasi dengan desain single subject yang memungkinkan peneliti menentukan sampel penelitian sesuai dengan kriteria-kriteria tertentu yang akan diteliti. Single Subject Research biasanya digunakan dalam penelitian tentang perubahan tingkah laku yang timbul akibat adanya intervensi yang dilakukan secara berulang-ulang dalam kurun waktu tertentu. Juang (2006; 11) menjelaskan dalam proses penelitian single subject ada empat kegiatan utama yang perlu dilakukan, yaitu mengidentifikasi masalah dan mendefinisikan dalam bentuk perilaku yang akan diubah yang teramati dan terukur, menentukan tingkat perilaku yang akan diubah sebelum memberikan intervensi, memberikan intervensi, dan menindaklanjuti untuk mengevaluasi apakah perubahan perilaku yang terjadi menetap atau bersifat sementara. Dalam istilah penelitian single subject , perilaku yang akan diubah disebut perilaku sasaran atau target behavior yang dalam penelitian eksperimen pada umumnya disebut variabel terikat.
.
C. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah single subject design yang menggunakan desain A-B dan melibatkan satu peserta saja, tetapi biasanya juga dapat mencakup beberapa peserta atau subjek penelitian yakni 3 sampai 8 subjek.
(22)
Setiap subjek berfungsi sebagai kontrol bagi dirinya sendiri yang dapat dilihat dari kinerja subjek sebelum, selama, dan setelah diberi perlakuan (Horner et al., 2005: 168). Desain A-B merupakan desain dasar dari penelitian single subject. Prosedur desain disusun atas dasar apa yang disebut dengan logika baseline yang menunjukkan suatu pengulangan perilaku atau target behavior sekurang-kurangnya dua kondisi yaitu kondisi baseline (A) dan kondisi intervensi (B). Oleh karena itu, dalam penelitian single subject akan selalu ada pengukuran perilaku pada fase baseline dan pengulangannya pada sekurang-kurangnya satu fase intervensi Hasselt dan Hersen (Sunanto, 2005).
Desain yang digunakan adalah sebagai berikut: A-B
(Sunanto et al., 2006: 42)
Keterangan : A : Baseline B : Intervensi
D. Populasi dan Sampel Penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Kartika Siliwangi II Bandung yang beralamat di jalan Pak Gatot Raya No.73 KPAD Gegerkalong Bandung. Hasil studi pendahuluan terhadap kelas VIII SMP Kartika Siliwangi II Bandung menunjukkan adanya peserta didik yang berperilaku asertif rendah.
Populasi penelitian adalah peserta didik yang secara administratif terdaftar dan aktif dalam pembelajaran di kelas VIII SMP Kartika Siliwangi II Bandung. Sampel penelitian adalah peserta didik yang memiliki skor rendah pada perilaku asertif.
Teknik pengambilan sampel menggunakan maximal variation sampling yaitu strategi pemilihan sampel yang memiliki kesamaan dalam aspek tertentu tetapi memiliki perbedaan pada aspek lainnya (Creswell, 2012: 208). Dalam
(23)
39
konteks penelitian, sampel memiliki persamaan dan perbedaan dalam aspek perilaku asertif yang dominan.
E. Definisi Operasional Variabel Penelitian 1. Perilaku Asertif
Fensterheim (1980: 14) menjelaskan kata kerja assert berarti menyatakan atau bersikap positif, yakni berterus terang, atau tegas. Perilaku asertif adalah perilaku seseorang dalam hubungan antar pribadi yang menyangkut ekspresi emosi yang tepat, jujur, relatif terus terang, dan tanpa perasaan cemas terhadap orang lain. Fensterheim (1980) menyatakan bahwa seseorang dikatakan asertif hanya jika dirinya mampu bersikap tulus dan jujur dalam mengekspresikan perasaan, pikiran dan pandangannya pada pihak lain sehingga tidak merugikan atau mengancam integritas pihak lain. Asertif bukan hanya berarti seseorang dapat bebas berbuat sesuatu seperti yang diinginkannya, juga di dalam perilaku asertif terkandung berbagai pertimbangan positif mengenai baik dan buruknya suatu sikap dan perilaku yang akan dimunculkan.
Perilaku asertif dalam penelitian merupakan suatu perilaku peserta didik kelas VIII SMP Kartika Siliwangi II Bandung laki-laki dan perempuan yang tulus dan jujur dalam mengekspresikan perasaan, pikiran, dan pandangan serta keterbukaan diri kepada pihak lain, tanpa mengurangi hak dan kepentingan pribadi maupun orang lain. Aspek perilaku asertif merujuk pada pendapat Fensterheim dan Baer (1980) meliputi, (a) bebas mengemukakan pikiran dan pendapat, baik melalui kata-kata maupun tindakan; (b) dapat berkomunikasi secara langsung, terbuka dan jujur; c) mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cara yang tepat; (d) memiliki sikap dan pandangan yang aktif terhadap kehidupan; dan (e) menerima keterbatasan yang ada di dalam dirinya dengan tetap berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya sebaik mungkin, sehingga baik berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki harga diri dan kepercayaan diri.
(24)
2. Solution-Focused Counseling
Secara operasional, solution-focused counseling yang dimaksud dalam penelitian adalah suatu teknik bimbingan dan konseling yang diberikan oleh konselor kepada konseli secara individu dengan adanya kolaborasi antara konselor dan konseli untuk mencari solusi bersama, menumbuhkan potensi dan sumber daya yang dimiliki konseli dengan menggunakan lima strategi konseling yaitu exception questions, miracle questions, scaling questions, coping questions dan compliments. Tujuannya agar siswa menemukan solusi, menumbuhkan potensi dan sumber daya yang dimiliki terkait dengan perilaku asertif siswa.
F. Instrumen Penelitian 1. Kalibrasi Instrumen
Instrumen penelitian adalah instrument penelitian tentang indikator perilaku asertif yang dikembangkan oleh Nuirfaizal pada tahun 2012. Angket tersebut dikembangkan atas dasar perspektif kajian perilaku asertif dari Fensterheim dan Baer (1980) dan Alberti & Emmons (2008). Reliabilitas instrumen sebelumnya adalah 0,885 setelah diuji coba lagi reliabilitasnya 0,869. Instrumen yang dikembangkan oleh Nurfaizal digunakan lagi karena berkaitan erat dengan aspek yang akan diukur pada perilaku asertif siswa SMP Kartika Siliwangi.
Instrumen dalam penelitian yaitu angket tertutup (angket berstruktur) artinya angket yang disajikan dalam bentuk pernyataan yang telah tersedia alternatif pilihan jawabannya, sehingga responden diminta untuk memilih satu jawaban yang sesuai dengan karakteristik dirinya dengan cara memberikan tanda silang (x) atau tanda checklist (√). Jumlah item pernyataan yang harus dijawab oleh responden yaitu 52 butir item.
2. Kisi-Kisi Instrumen
Kisi-kisi instrumen untuk mengungkap perilaku asertif peserta didik yang dikembangkan dari definisi operasional variabel penelitian. Kisi-kisi dari instrumen disajikan pada Tabel 3.1.
(25)
41
Tabel 3.1
Kisi-kisi Instrumen Perilaku Asertif
No. Aspek Indikator No. Item ∑
(+) (-)
1. Bebas
mengemukak an pikiran dan pendapat
Kemampuan membuat pernyataan 1, 2, 4 3 4 Kemampuan mengungkapkan apa
yang dipikirkan 5, 6, 7 3
Kemampuan mengungkapkan apa
yang diinginkan 8, 9 10 3
2. Mampu
berkomunika si secara langsung, terbuka dan jujur
Mampu berkomunikasi kepada teman 11, 12,
13, 3
Mampu berkomunikasi kepada
anggota keluarga 14, 15 2
Mampu berkomunikasi kepada orang
yang lebih dewasa 16, 17,
18 3
Mampu berkomunikasi kepada orang
yang belum dikenal 19 20 2
Kemampuan memulai, melanjutkan, dan mengakhiri pembicaraan dengan baik
22, 23,
24 21 4
3. Mampu
menyatakan perasaan dengan tepat
Kemampuan mengungkapkan rasa
tidak senang 25, 26 2
Kemampuan mengungkapkan apa yang disukai
27, 28,
29 3
Kemampuan menolak ajakan orang lain yang tidak beralasan
30, 31,
32 3
Kemampuan mengungkapkan ketidaksetujuan terhadap pendapat orang lain
34 33 2
4. Memiliki sikap dan pandangan yang aktif terhadap kehidupan
Berusaha mewujudkan apa yang diinginkan
35, 36,
37 3
Menjadi pribadi yang optimis 38, 39,
40 3
Memiliki keyakinan dalam diri
41, 42 2
5. Menerima keterbatasan yang ada di dalam diri
Bertindak dengan cara yang dihormati diri sendiri dan orang lain
43, 44,
45 3
Berusaha mencapai sesuatu dengan
cara sebaik mungkin 46, 47 48 3 Mampu mengajukan permintaan dan
bantuan kepada orang lain 49, 50 2 Mengedepankan harga diri 51, 52 2
(26)
3. Hasil Kalibrasi Instrumen
Validitas merupakan tingkat penafsiran kesesuaian hasil yang dimaksudkan instrumen dengan tujuan yang diinginkan oleh suatu instrumen (Creswell, 2012:159). Pengujian validitas butir item dilakukan terhadap seluruh item yang terdapat dalam angket pengungkap perilaku asertif pada peserta didik. Pengujian validitas butir item bertujuan untuk mengetahui apakah instrumen yang digunakan mampu mengukur apa yang diinginkan. Validitas butir item yang dilakukan dalam penelitian yang diuji adalah seluruh item yang terdapat dalam angket yang mengungkap perilaku asertif siswa.Pengolahan data dalam penelitian dilakukan dengan bantuan program MS. Excel. Pengujian validitas alat pengumpul data menggunakan korelasi biserial titik.
Pengujian validitas dilakukan terhadap 52 item pernyataan dengan jumlah subjek 202 siswa. Dari 52 item diperoleh 47 item yang valid dan 5 item tidak valid. Hasil uji reliabilitas menunjukan nilai reliabilitas instrumen sebesar 0,72 artinya tingkat korelasi atau derajat keterandalan tinggi, yang menunjukkan bahwa instrumen yang digunakan sudah baik dan dapat dipercaya sebagai alat pengumpul data.
4. Pedoman Skoring
Butir pernyataan pada alternatif jawaban peserta didik diberi skor 1 dan 0. Jika peserta didik menjawab pada kolom “Ya” diberi skor 1 dan kolom “Tidak” diberi skor 0. Ketentuan pemberian skor perilaku asertif peserta didik dapat dilihat pada Tabel 3.2.
Tabel 3.2
Kategori Pemberian Skor Alternatif Jawaban
Alternatif Jawaban Positif
Ya 1
(27)
43
G. Langkah-Langkah Penelitian
1. Pengambilan Sampel Sebelum Baseline
Populasi penelitian adalah peserta didik yang secara administratif terdaftar dan aktif dalam pembelajaran di kelas VIII SMP Kartika Siliwangi II Bandung. Sampel penelitian adalah peserta didik yang memiliki skor rendah pada aspek perilaku asertif. Teknik pengambilan sampel menggunakan maximal variation sampling yaitu strategi pemilihan sampel yang memiliki kesamaan dalam aspek tertentu tetapi memiliki perbedaan pada aspek lainnya (Creswell, 2012: 208). Dalam konteks penelitian, sampel memiliki persamaan dan perbedaan dalam aspek perilaku asertif yang dominan. Penyebaran angket perilaku asertif dilakukan di kelas VIII SMP Kartika Siliwangi II Bandung, selain itu pemberian informed consent juga diberikan kepada peserta didik agar peserta didik memahami prosedur penelitian. Hasil penyebaran angket mendapatkan dua belas siswa yang berperilaku tidak asertif.
2. Pelaksanaan Baseline
Prosedur utama yang ditempuh dalam desain A-B meliputi pengukuran target behavior (variabel terikat) pada kondisi baseline dan setelah kecenderungan arah dan level datanya stabil kemudian intervensi mulai diberikan. Intervensi diberikan ketika secara kontinu kondisi baseline mencapai data yang stabil (Lovaas, 2003). Pelaksanaan pengukuran dan pencatatan data pada kondisi baseline secara kontinyu dilaksanakan 3 kali selama 3 minggu untuk siswa yang berperilaku tidak asertif, partisipan yang dipilih dalam penelitian berdasarkan hasil kestabilan baseline pada siswa yang berperilaku tidak asertif. Penentuan baseline dapat dilaksanakan dengan penyebaran angket kepada siswa.
3. Perancangan Intervensi
Pemberian intervensi dengan menggunakan solution-focused counseling dilakukan terhadap siswa yang memiliki skor Perilaku asertif yang rendah berdasarkan hasil baseline. Komponen rancangan intervensi solution-focused counseling untuk meningkatkan perilaku asertif adalah sebagai berikut.
(28)
a. Rasional
Seorang remaja memiliki kecemasan atau ketakutan untuk berperilaku asertif, bahkan banyak individu selain anak remaja yang kurang terampil dalam mengekspresikan diri secara asertif (Eskin, 2003). Hal ini dipengaruhi oleh latar belakang budaya, keluarga tempat anak remaja tinggal, urutan anak tersebut dalam keluarga, pola asuh orang tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi orang tua dan sistem kekuasaan orang tua (William, 2008).
Permasalahan siswa SMP Kartika Siliwangi sebenarnya bersumber pada pencarian identitas diri yang sering menyebabkan mereka sulit untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah. Sehingga kadang kala siswa mempunyai perilaku yang sulit untuk diatur, mudah sekali terpengaruh oleh teman sebaya dan lingkungan, sehingga siswa mudah ikut-ikutan dengan apa yang dilakukan oleh teman dan lingkungannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1980), dan Erikson (Hall & Lindzey, 1993) bahwa masa remaja merupakan tahap pencarian indentitas dan sebagai ambang masa dewasa.
Dalam kehidupan sehari-hari siswa-siswi SMP Kartika Siliwangi menampakkan perilaku tidak asertif, remaja tidak menyadari dampak perilaku yang dilakukan dengan membiarkan diri tidak berperilaku asertif justru akan merusak hubungan interpersonal dengan individu lain, dengan tidak membiasakan berperilaku asertif membuat remaja dikuasai dan dirugikan oleh orang lain, sehingga perilaku yang muncul dari remaja adalah perilaku yang tidak sesuai dengan keinginannya. Siswa-siswi sangat tidak nyaman dengan perilaku yang tidak asertif yang ditunjukan sehingga perilaku tidak asertif yang dialami oleh remaja mengancam siswa tidak memiliki ikatan identitas melainkan krisis identitas dan perkembangan remaja tidak tercapai secara optimal (Erikson, 1963). Dengan adanya permasalahan tersebut maka sangat dibutuhkan peran bimbingan dan konseling, bimbingan dan konseling yang bertujuan membantu remaja pada permasalahan di bidang sosial berkaitan erat dengan permasalahan tidak asertif pada remaja.
(29)
45
Dari permasalahan perilaku kurang asertif yang dialami oleh remaja tersebut, sangat jelas bahwa perilaku asertif sangat diperlukan oleh remaja agar dapat bertindak sesuai dengan keinginan remaja untuk mempertahankan hak-hak pribadi tanpa melakukan tindakan agresif yang mengganggu hak-hak pribadi orang lain. Untuk meningkatkan perilaku asertif siswa SMP Kartika Siliwangi II diperlukan adanya sebuah metode yang efektif dan sistematis untuk meningkatkan perilaku asertif diantaranya adalah teknik Focused Counseling. Solution-Focused Counseling memiliki tujuan menumbuhkembangkan kesadaran, memfokuskan pada solusi, kekuatan dan kemampuan serta meningkatkan kemampuan berpikir positif terhadap suatu masalah dan Solution-Focused Counseling efektif untuk mengatasi perilaku anak dan remaja dalam setting sekolah (Corey, 2009:437; Franklin, 2008:15). Selain itu, Solution-Focused Counseling digunakan di sekolah untuk menambah skill bagi guru bimbingan dan konseling untuk melaksanakan layanan responsif khususnya konseling individual, karena selama ini guru bimbingan dan konseling memerlukan inovasi teknik-teknik konseling dalam menangani beragam permasalahan siswa yang ada di sekolah.
b. Tujuan Intervensi
Secara umum tujuan intervensi adalah meningkatkan perilaku asertif peserta didik kelas VIII SMP Kartika Siliwangi Bandung tahun ajaran 2013/2014. Secara khusus tujuan intervensi adalah mengembangkan keterampilan peserta didik untuk;
1. Mampu mengemukakan pikiran dan pendapat, baik melalui kata-kata maupun tindakan.
2. Mampu berkomunikasi secara langsung, terbuka dan jujur.
3. Mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cara yang tepat.
4. Memiliki sikap dan pandangan yang aktif terhadap kehidupan.
5. Menerima keterbatasan yang ada di dalam dirinya dengan tetap berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya sebaik mungkin, sehingga baik
(30)
berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki harga diri dan kepercayaan diri.
c. Asumsi Intervensi
1) Perilaku asertif memberikan kepuasan baik pada diri sendiri maupun orang lain dan mendukung terbentuknya hubungan interpersonal yang positif dengan orang lain (Ames, 2008; Rizkani, 2009).
2) Solution-Focused Counseling berpijak pada asumsi optimis bahwa individu unik, memiliki kekuatan dan sumber daya yang dapat digunakan untuk membuat perubahan dalam hidupnya (Corey, 2008; Dahlan, 2011). 3) Solution-Focused Counseling memungkinkan konselor dan konseli
berkolaborasi dalam mencari solusi terhadap permasalahan konseli. (Gladding, 2009).
d. Kompetensi Peneliti
Dalam melaksanakan teknik solution-focused counseling untuk meningkatkan perilaku asertif harus didukung oleh kompetensi memadai yang dimiliki oleh peneliti yang sekaligus berperan sebagai pemberi intervensi. Berbagai sumber menyatakan bahwa solution-focused counseling dapat diberikan oleh berbagai kalangan dan tidak menuntut lisensi profesional tertentu. Beberapa kalangan yang terbiasa memberikan intervensi ini diantaranya adalah Guru, Guru BK, Konselor, Terapis dan Social Worker. Hal ini mengimplikasikan bahwa peneliti memenuhi syarat untuk melaksanakan solution-focused counseling. Kompetensi lainnya adalah:
1. Memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai mengenai konsep perilaku asertif.
2. Memiliki pemahaman, pengetahuan, dan keterampilan yang memadai dalam solution-focused counseling.
3. Memahami karakteristik remaja SMP Kartika Siliwangi yang merupakan subjek dari penelitian ini.
(31)
47
4. Menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap konseli sebagai manusia yang tidak lepas dari kesalahan.
e. Sasaran Intervensi
Populasi yang menjadi subjek intervensi/konseli dalam konseling melalui pendekatan solution-focused counseling untuk meningkatkan perilaku asertif adalah peserta didik kelas VIII SMP Kartika Siliwangi II Bandung, yang teridentifikasi memiliki tingkat perilaku tidak asertif.
Sasaran intervensi adalah peserta didik yang memiliki skor rendah pada aspek perilaku asertif seperti dikemukakan Fensterheim dan Baer (1980) yang meliputi aspek sebagai berikut 1) bebas mengemukakan pikiran dan pendapat, 2) Mampu berkomunikasi secara langsung, terbuka dan jujur, 3) Mampu menyatakan perasaan dengan tepat, 4) Memiliki sikap dan pandangan yang aktif terhadap kehidupan dan 5) Menerima keterbatasan yang ada di dalam diri. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan jumlah aspek yang memiliki skor rendah paling banyak diantara peserta didik yang memenuhi kriteria subjek penelitian.
Tabel 3.3 Sasaran Intervensi
Nama Jenis Kelamin Usia Aspek yang Rendah
YDP Laki-laki 14 Tahun Aspek 1, 2, dan 3
IQJ Laki-laki 13Tahun Aspek 1, 2 dan 3
JDA Laki-laki 14 Tahun Aspek 1, 2, dan 3
f. Pelaksanaan Intervensi
Pelaksanaan intervensi solution-focused counseling untuk meningkatkan perilaku asertif disusun berdasarkan hasil baseline perilaku asertif dan karakteristik sampel penelitian. Pelaksanan solution-focused counseling meliputi beberapa tahapan seperti yang dipaparkan oleh Neukrug (2012: 131-133) a) membentuk hubungan kolaboratif, b) mendeskripsikan masalah, c) menetapkan tujuan, d) berfokus solusi, e) mencapai tujuan dan termination. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
(32)
a) Membentuk Hubungan Kolaboratif
Konselor membantu konseli mengidentifikasi kekuatan dan sumber daya konseli, sehingga konselor membangun kepercayaan, kolaborasi dan hubungan yang setara dengan menunjukkan (rasa hormat, penerimaan, dan rasa ingin mengetahui), menjadi pendengar yang baik dan bersikap empati.
b) Mendeskripsikan Masalah
Meskipun fokus konseling secara khusus berfokus pada solusi, masalah adalah hal penting ketika konseli masuk pada sesi konseling yang pertama karena konseli merasa perlu didengarkan masalahnya, banyak skill yang digunakan untuk membangun hubungan kolaborasi yang awalnya adalah mendengarkan masalah konseli. De Jong dan Berg (2002) menyarankan bahwa masalah hanya perlu didengarkan sekitar 15 menit sebelum konselor mulai menggunakan teknik-teknik yang akan digunakan pada sesi konseling.
c) Menetapkan Tujuan
Langkah pertama membantu konseli fokus kepada tujuan yang ingin dicapai adalah merespon pertanyaan tentang apa yang konseli suka mengenai masa depannya. O’Connell (2003) menyarankan tipe-tipe pertanyaan untuk memfasilitasi tujuan yang ingin dicapai konseli, diantaranya: 1) “Apa harapan terbaik yang kamu inginkan pada sesi ini?”, 2) “Bagaimana kamu akan mengetahui perubahan yang lebih baik?”, 3) Bagaimana kamu mengetahui bahwa kedatangan kamu bisa bermanfaat? Bentuk-bentuk pertanyaan tersebut dapat digunakan pada saat sesi konseling berlangsung.
d) Berfokus Solusi
Tahap ini membantu konseli semakin fokus pada solusi bukan pada masalah, teknik-teknik yang dapat digunakan adalah exception questions, miracle questions, coping questions. Konselor mendukung solusi konseli yang terdiri dari amplification dan complimenting. Amplification yaitu mendukung konseli meningkatkan kekuatan dan sumber daya agar tercapainya tujuan. Complimenting, usaha memperkuat konseli menuju tujuan yangin dicapainya.
(33)
49
e) Mencapai Tujuan dan Termination
Pada akhir sesi pertama konseling, menggeser fokus konseli dari fokus masalah menuju fokus solusi. Pada sesi pertama dan sesi berikutnya, konseli mengimplementasikan dan mencari tujuan yang ingin dicapai. Konselor membantu konseli mengevaluasi keefektivan solution-focused counseling menggunakan Scaling Questions, yaitu skala penilaian untuk mengukur kemajuan. Konselor memperkuat konseli dengan menjadi pendengar yang baik, menunjukkan empati dan memuji usaha yang dilakukan konseli.
g. Proses Intervensi
Pelaksanaan intervensi dilakukan sesuai dengan rancangan intervensi yang telah dibuat. Pelaksanaan intervensi dilakukan setelah kondisi baseline sudah stabil. Pelaksanaan intervensi dilaksanakan selama 4-6 sesi , setiap sesi dilakukan seminggu sekali dengan waktu antara 60-80 menit persesi. Penentuan jadwal intervensi berdasarkan kesepakatan antara peneliti dan siswa.
h. Evaluasi dan Indikator Keberhasilan
Evaluasi keberhasilan intervensi solution-focused counseling untuk meningkatkan perilaku asertif siswa dilakukan pada setiap sesi intervensi dan setelah seluruh intervensi selesai dilaksanakan. Intervensi ini dikatakan berhasil apabila siswa:
1. Mampu mengemukakan pikiran dan pendapat, baik melalui kata-kata maupun tindakan.
2. Dapat berkomunikasi secara langsung, terbuka dan jujur.
3. Mampu menyatakan perasaan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan dengan cara yang tepat.
4. Memiliki sikap dan pandangan yang aktif terhadap kehidupan.
5. Menerima keterbatasan yang ada di dalam dirinya dengan tetap berusaha untuk mencapai apa yang diinginkannya sebaik mungkin, sehingga baik berhasil maupun gagal ia akan tetap memiliki harga diri dan kepercayaan diri.
(34)
Siswa yang berhasil mengikuti kegiatan intervensi adalah siswa yang mampu meningkatkan potensi dan sumber daya yang dimiliki pada setiap dan setelah sesi intervensi. Sumber utama untuk evaluasi ini adalah analisis terhadap catatan konseling setiap sesinya yang dicatat oleh konseli. Analisis catatan konseling dijadikan ukuran untuk mengetahui perubahan konstruk yang menjadi indikator keberhasilan dari setiap sesi intervensi.
4. Kondisi Intervensi
Setelah intervensi dilaksanakan maka akan mendapatkan hasil kondisi siswa setelah diberikan intervensi, kondisi intervensi tersebut akan terlihat apakah siswa mengalami perubahan perilaku atau tidak.
H. Analisis Data
Penelitian ini memiliki pertanyaan mengenai efektivitas penerapan solution-focused counseling dirumuskan ke dalam hipotesis “solution-focused counseling efektif dalam meningkatkan perilaku asertif siswa”. Ada dua teknik analisis data yang digunakan dalam menjawab pertanyaan penelitian ini yakni a. Analisis Visual
Dalam penelitian ini, analisis datanya dimaksudkan untuk mengetahui efek atau pengaruh intervensi terhadap perilaku sasaran yang ingin diubah dengan menggunakan analisis visual yakni analisis dilakukan dengan melakukan penggalian data secara langsung dan ditampilkan dalam bentuk grafik (split-middle technique). Menurut Barlow, Nock & Hersen (2008), menjelaskan bahwa bukti adanya intervensi yang efektif adalah ditunjukkan oleh perbedaan yang berarti antara nilai rata-rata peserta dikondisi. Untuk itu komponen penting yang dianalisis dengan cara ini adalah banyaknya data dalam setiap kondisi yang disebut dengan panjang kondisi (level) dan kecenderungan arah grafik (trend). b. Analisis Statistik
Untuk melihat keefektifan data perubahan yang terjadi, maka dilakukan analisis statistik sederhana. Nourbakhsh & Ottenbacher (1994) menjelaskan teknik dua standar deviasi (two standard deviation method) adalah teknik analisis
(35)
51
statistik yang dapat digunakan untuk melihat efektivitas atau perubahan antara kondisi baseline dan intervensi. Nourbakhsh & Ottenbacher menjelaskan langkah-langkah sebagai berikut mencari dua standar deviasi yakni : 1) mencari terlebih dahulu standar deviasi pada kemudian dikalikan dua dan hasilnya adalah dua standar deviasi; 2) mencari rata-rata baseline dan membuat garis lurus dengan menggunakan titik rata-rata baseline; 3) membuat garis dari titik rata-rata setelah dikurangi dua standar deviasi dibawah garis baseline; 4) intervensi dikatakan terjadi perubahan secara efektif jika ada dua titik yang berada di atas garis dua standar deviasi.
Analisis lain yang digunakan adalah dengan melihat penurunan atau kenaikan pada kecenderungan arah grafik (trend). Untuk itu, seperti yang dikatakan oleh Tankersley, Harjusala-Webb, dan Landrum (2008) menyarankan bahwa perubahan tren adalah bukti terbaik untuk mendukung efek pengobatan dalam desain penelitian subjek tunggal. Untuk tujuan ini, peneliti menganalisis menaik atau menurun tren dalam data seluruh kondisi dan dihitung "kenaikan atau penurunan garis lurus" dengan menghitung kuadrat regresi (Horner etal., 2005). Koefisien nilai determinasi juga dihitung untuk menilai tren diprediksi dengan menggunakan SPSS 20. Nilai R2 yang ditafsirkan mengikuti pedoman Cohen (1988). Menurut Cohen, nilai R2 dari 0.01 menunjukkan efek yang kecil, nilai R2 dari 0,09 menunjukkan efek sedang, dan nilai R2 dari 0,25 menunjukkan efek yang besar. Hal ini mengandung pengertian, semakin nilai koefisien regresi mendekati 1, maka semakin tinggi prediksi akan terjadi.
Untuk menegaskan besarnya efek intervensi dianalisis dengan menghitung percentage Non-Overlapping Data (PND) antara baseline dan fase intervensi (Morgan &Morgan, 2009). Karena solution-focused counseling diharapkan dapat meningkatkan perilaku asertif siswa, PND dihitung dengan menggunakan data yang paling bawah dari skor baseline dan dibuat garis lurus dari titik tersebut. Secara khusus, analisis visual dan deskriptif dilakukan untuk memeriksa jumlah titik pada fase intervensi yang berada dibawah garis titik terbawah pada baseline. Jumlah titik data yang tidak tumpang tindih dengan data titik terendah itu
(36)
dijumlahkan dan dikalikan dengan 100. Adapun pedoman interpretasi skor PND digunakan panduan oleh Morgan & Morgan (2008).
Tabel 3.4
Panduan Interpretasi Skor Percentage Non-Overlapping Data (PND)
Nilai PND Interpretasi
> 90% Sangat Efektif
70 - 90% Efektif
50 - 70% Dipertanyakan
(37)
120
BAB V
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Hasil intervensi yang telah diberikan dapat disimpulkan bahwa solution-focused counseling efektif untuk meningkatkan perilaku asertif siswa. Efektivitas ini dilihat dari beberapa hal diantaranya adalah dengan adanya peningkatan skor perilaku asertif berdasarkan analisis grafik pada fase baseline dan intervensi. Selain itu, berdasarkan dari hasil uji Percentage Non-Overlapping Data (PND) menunjukkan solution-focused counselingsangat efektif untuk meningkatkan perilaku asertif konseli JN dan IQ serta efektif untuk meningkatkanperilaku asertif konseli YD.
Selain itu, hasil wawancara dengan guru dan teman-teman konseli menunjukkan bahwa konseli mengalami perubahan dengan adanya perubahan perilaku asertif. Setelah 45 hari diberikan intervensi, partisipan diberikan angket kembali untuk mengukur perubahan perilaku asertif, hasilnya konseli JN tetap konsisten memiliki perilaku asertif, konseli IQ juga konsisten memiliki perilaku asertif dan konseli YD konsisten memiliki perilaku asertif. Temuan ini menunjukkan bahwa solution-focused counseling efektif untuk meningkatkan perilaku asertif siswa JN, IQ dan YD.
B. Rekomendasi
Berdasarkan hasil penelitian, direkomendasikan hal-hal sebagai berikut: 1. Bagi Konselor
Hasil penelitian menunjukkan solution-focused counseling efektif untuk peningkatan perilaku asertif siswa. Dengan demikian, konselor dapat menerapkan solution-focused counseling disertai dengan pemahaman teori dan praktek agar solution-focused counseling tetap bermanfaat kegunaannya di sekolah dan solution-focused counseling dapat menjadi pilihan pendekatan konseling ketika konselor menemui berbagai macam kasus atau permasalahan siswa di sekolah. Hal-hal yang perlu dipahami guru BK adalah lima strategi konseling yaitu
(38)
exception questions, miracle questions, scaling questions, coping questions dan compliments.
2. BagiPenelitiSelanjutnya
Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan design penelitian single subject A-B-A atau A-B-A-B sehingga konsistensi perubahan setelah diberikan intervensi lebih kuat dibandingkan design A-B. Peneliti selanjutnya tidak hanya menggunakan pengukuran melalui angket dan wawancara saja, tetapi perlu dilengkapi dengan menggunakan lembar observasi sehingga data yang dikumpulkan lebih lengkap dan detail dalam melakukan analisis data.
(39)
122
DAFTAR PUSTAKA
Abbassi, A., dan Singh, R. N. (2006). “Assertiveness in Marital Relationships Among Asian Indians in the United States.” Journal of the Family. 14, (4), 392-399.
Alberti, R.E. & Emmons, M.L. (2008). Your Perfect Right: Assertiveness and Equality in Your Life and Relationships (9th ed.). Atascadero, CA: Impact Publishers.
Ames, D. R. (2008). “In Search of the Right Touch: Interpersonal Assertiveness in Organizational Life.” Journal of Psychological Science,17, 381-385. Ames, D. R., and Wazlawek, A.S. (2014). “Pushing in the Dark: Causes and
Consequences of Limited Self-Awareness for Interpersonal
Assertiveness.” Personality and Social Psychology Bulletin, 1-16. Barlow, D. H, Mathew K. Nock & Michael Hersen. (2008). Single case
experimental designs: Strategies for studying behavior change (3rd Edition). New York: Pearson
Bertolino, B. Dan O’Hanlon, W. H. (2002). Collaborative, Competency-Based Counseling and Therapy.Boston: Allyn & Bacon.
Charlesworth, J.R., dan Jackson, C.M. (2004). Solution-Focused Brief Counseling: An Approach for Professional School Counselor. Dalam Erford, B.T. (ed.). Professional School Counseling: A Handbook of Theories, Programs and Practices. Austin, TX: Caps Press.
Cheng, C., dan Chun, W, Y. (2008). “Cultural Differences and Similarities in
Request Rejection: A Situational Approach.” Journal of Cross-Cultural Psychology. 39, (6), 745-764.
Cohen, J. (1988). Statistical power analysis for the behavioral sciences (2nd edition.). New York, NY: Academic Press.
Corcoran, J. (2006). “A comparison group study of solution-focused therapy versus treatment-as-usual for behavior problems in children.” Journal of Social Service Research, 33, 69−81.
Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont, California: Brooks/Cole.
Creswell, J.W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative Research (fourth edition). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
(40)
Dahlan, T. H. (2011). Model Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution Focused Brief Counseling) dalam Setting Kelompok untuk Meningkatkan Daya Psikologis Mahasiswa (Penelitian dan Pengembangan Model Konseling Singkat Berfokus Solusi pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Angkatan 2009). Disertasi pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
Daniel, R.A. (2008). “Assertiveness Expectancies: How Hard People Push Depends on the Consequences They Predict”. Journal of Personality and Social Psychology. 95, (6), 1541–1557.
DeJong, P., & Berg, I. K. (2002). Interviewing for solutions (2nd ed.). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.
Destari, A dan Andrianto, S. (2005). Hubungan Antara Kemandirian dengan Asertivitas pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan Yatim Piatu. Naskah Publikasi Fakultas Psikologi Universitas Islam Indoneisa Yogyakarta.
Erickson, M. H. (1954). “Special Techniques of Brief Hypnotherapy. Journal of Clinical and Experiment Hypnosis, 109-129.
Erikson, E.H. (1963). Childhood and Society (2nd ed). New York: W. W. Norton.
Eskin, M. (2003). “Self-reported assertiveness in Swedish and Turkish adolescents: A cross-cultural comparison”. Journal of Psychology. 44, 7–12.
Fensterheim dan Baer, J. (1980). Jangan Bilang Ya Jika Anda mengatakan Tidak. Jakarta: Gunung jati.
Fernando, D. (2007). “Existential theory and solution-focused strategies: Integration and application.” Journal of Mental Health Counseling, 29, (3), 226-241.
Franklin, C. (2001). The effectiveness of Solution–Focused Therapy with children in a school setting. Texas and Lake Universities.
Franklin, C., Biever, J. L., Moore, K. C., Clemons, D., & Scamardo, M. (2001).
“Effectiveness of solution-focused therapy with children in a school
setting.” Research on Social Work Practice, 11, 411−434.
Franklin, C. (2008). Effectiveness of Solution-Focused Brief Therapy in a School Setting. Children & Scholls, (30), 15-27.
(41)
124
Froeschle, J. G., Smith, R. L., & Ricard, R. (2007). “The efficacy of a systematic substance abuse program for adolescent females.” Professional School Counseling, 10, 498−505.
Furqon. (2008). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Gladding, S.L. (2009). Counseling: A Comprehensive Profession. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Gladding, S.L. (2012). Counseling: A Comprehensive Profession (Terjemahan). Jakarta: Indeks .
Hall, C.S. & Lindzey, G. 1993. Psikologi Kepribadian 1: Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius. Editor: A. Supratiknya. Horner, R. H. et al. (2005). “The Use of Single-Subject Research to Identify
Evidence-Based Practice in Special Education”. Council for Exceptional Children, 71, (2), 165-179.
Hurlock, E.B. (1980) Depelopment Psychology: A Life Span Approach. Alih Bahasa. (1997). Istiwidayanti dan Soedjarwo. Psikologi Perkembangan Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Helwig, C. C., & Turiel, E. (2002). “Rights, autonomy, and democracy: Children's perspectives.” International Journal of Law and Psychiatry,25, 253-270.
Hopson, L. M., & Kim, J. S. (2005). A solution-focused approach to crisis intervention with adolescents. Journal of Emotional and Behavioral Disorders, 15, 66-92.
Jacobson, K.L., Hood, J.N., and Buren, H.V. (2014). “Workplace bullying across cultures: A research agenda.” International Journal of Cross Cultural Management. 14, (1), 47-65.
Kelly, M.S., Kim, J.S., and Franklin, C. (2008). Solution-Focused Brief Therapy in Schools: A 360-Degree View of Research and Practice. New York: Oxford University Press.
Lange, A.J & Jackubowski, P. (1985). Responsible assertive behavior: Cognitive behavioral procedures training. Illionis: Research Press
Lawson, B. R. (1994). Design in Mind. Oxford, Butterworth Architecture.
Lightsey, O, R., dan Barnes, P. W. (2007) “Descrimination, Attributional Tendencies, Generalized Self-Efficacy, and Assertiveness as Predictors
(42)
of Psychological Distress Among African Americans.” Journal of Black Psychology. 33, (1), 27-50.
Miller, J. H. (2004). “Extending The Use of Constructivist Approachhes in Career Guidance and Counseling: Solution-Focused Strategies.” Australian Journal of Career Development.13, (1), 50-59.
Morgan, D. L., & Morgan, R. K. (2009). Single-case research methods for the behavioral and health sciences. Los Angeles: Sage.
Mulawarman. (2010). Penerapan Solution-Focused Brief Therapy (SFBT) untuk Meningkatkan Harga Diri (Self Esteem). (Online). Tersedia:
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/7852/0 [24 Agustus 2010]
Neukrug, E. (2012). The World of The Counselor An Introduction to the Counseling Profession. USA: Brooks/Cole Cengage Learning.
Newsome, W.S. (2005). “The Impact of Solution-Focused Brief Therapy with
At-Risk Junior High School Students.” Journal of Children & Schools. 27, (2), 83.
Nourbakhsh, M. R & Kenneth J. O. (1994). The Statistical Analysis of Single-Subject Data: A Comparative Examination. Journal of American Physical Therapy Association. Vol. 74. No. 8, pp. 768-776.
Novalia dan Dayakisni, T. (2013). “Perilaku Asertif dan Kecenderungan Menjadi Korban Bullying”. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. 1, (1), 169-175. Novitriani, S. (2013). Menumbuhkan Perilaku Asertif Pada Remaja. Tersedia:
http://kalsel.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=456&Conten
tTypeId=0x01003DCABABC04B7084595DA364423DE7897. [09
Desember 2013].
Nurfaizal. (2012). Efektivitas Teknik Assertive Training Untuk Meningkatkan Perilaku Asertif Siswa. Tesis Bandung: SPS UPI (tidak diterbitkan). Nursalim, M. (2005). Strategi Konseling. Surabaya: Unesa University Press.
Omeje, C.B. (2013). “Role of Locus of Control On Assertive Behavior of
Adolescents”. International Journal of Health and Psychology Research. 1, (1), 38-44.
Onyeizugbo. (2003). “Effects of Gender, Age, and Education on Assertiveness in A Nigerian Sample.” Journal Psychology of Women. 27, 12-16.
(43)
126
O’Connell, B.I. (2004). Solution-Focused Stress Counseling. London: Sage Publications, Ltd.
Pearson. J.C. (1983). Interpersonal Communication. USA : Scott, Foresman and Company.
Polyorat, K., Jung, J.M., & Hwang, Y.Y. (2012). “Effects of Self-Construals on Consumer Assertiveness/Aggressiveness: Evidence From Thai and U.S.
Samples.” Journal of Cross-Cultural Psychology. 44, (5), 738-747. Rakos, R. F. (1991). Assertive Behavior. New York: Routledge Chapman and Hall
Inc.
Rathus, S.A., & Nevid, J.S. (1980). Behavior Therapy of Solving Problem in Living. New York : The New American Library, Inc.
Rathus, S. A. & Nevid, J. S. (1983). Adjustmen and Growth: The Challenges of Life. New York :CBS Collage Publishing.
Rini, Jacinta (2001, 20, Agustus). Asertivitas. [Online]. Tersedia www.e-psikologi.com [20 Agustus 2001].
Rizkani, R. S. (2009). Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Asertif Perawat dalam Membina Hubungan Interpersonal di Ruang Rawat Inap Mawar dan Nusa Indah RSUD.dr. Djoelham Binjai. Skripsi.FK. USU. Medan: tidak diterbitkan.
Saadatzaade, R and Khalili, S. (2012). “Effects of Solution-Focused Group
Counseling on Student’s Self-Regulation and academic achievement”. International Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education. 3, (3), 27-50.
Segal, D. L. (2005). “Relationships of Assertiveness, Depression, and Social Support Among Older Nursing Home Residents”. Behavior Modification.29, (4), 689-695.
Springer, D. W., Lynch, C., & Rubin, A. (2000). “Effects of a solution-focused mutual aid group for Hispanic children of incarcerated parents.” Child & Adolescent Social Work Journal, 17, 431−432.
Simon, Joel. (2010). Solution-Focused Practice in End-Of-Life and Grief Counseling. New York: Springer.
(44)
Susilawati, N. (2003). Hubungan Antara Perlakuan Orang Tua dengan Asertivitas Siswa. Skripsi S1 pada PPB FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Tankersley, M., Harjusola-Webb, S., & Landrum, T.J. (2008). Using single-subject research to establish the evidence base of special education. Intervention in School and Clinic, 44(2), 83-90.
Tribbun News. (2013). Gelar Operasi Kasih Sayang, Polisi Tangkap Ratusan
Siswa Bolos Sekolah. Terdapat di
(http://www.tribunnews.com/regional/2013/10/25/gelaroperasikasihsay angpolisi-tangkap-ratusan-siswa-bolos-sekolah (Diakses tanggal 9 Desember 2013)
William, C.H.J. (2008). “Cognitive behaviour therapy within assertive outreach teams: barriers to implementation: a qualitative peer audit”. Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing. 15, 850–856.
Willis, S.S. (2004). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta. Yosef. (2008). Model Konseling Berfokus Solusi Untuk Pemecahan Masalah
Disiplin Diri Siswa di Sekolah (Studi Kasus Pelayanan Konseling untuk Siswa dengan Melibatkan Orang Tua di SMP Negeri 6 Palembang). Disertasi pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan. Yusuf, S., dan Nurihsan, A.J. (2010). Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Zulkaida, A. (2006). “Tingkah laku asertif yang bertanggung jawab”. Makalah: (Ditampilkan pada seminar pelatihan tingkah laku asertif). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Abbassi, A., dan Singh, R. N. (2006). “Assertiveness in Marital Relationships Among Asian Indians in the United States.” Journal of the Family. 14, (4), 392-399.
Alberti, R.E. & Emmons, M.L. (2008). Your Perfect Right: Assertiveness and Equality in Your Life and Relationships (9th ed.). Atascadero, CA: Impact Publishers.
Ames, D. R. (2008). “In Search of the Right Touch: Interpersonal Assertiveness in Organizational Life.” Journal of Psychological Science,17, 381-385. Ames, D. R., and Wazlawek, A.S. (2014). “Pushing in the Dark: Causes and
Consequences of Limited Self-Awareness for Interpersonal
Assertiveness.” Personality and Social Psychology Bulletin, 1-16. Barlow, D. H, Mathew K. Nock & Michael Hersen. (2008). Single case
experimental designs: Strategies for studying behavior change (3rd Edition). New York: Pearson
Bertolino, B. Dan O’Hanlon, W. H. (2002). Collaborative, Competency-Based Counseling and Therapy.Boston: Allyn & Bacon.
Charlesworth, J.R., dan Jackson, C.M. (2004). Solution-Focused Brief Counseling: An Approach for Professional School Counselor. Dalam Erford, B.T. (ed.). Professional School Counseling: A Handbook of Theories, Programs and Practices. Austin, TX: Caps Press.
Cheng, C., dan Chun, W, Y. (2008). “Cultural Differences and Similarities in
Request Rejection: A Situational Approach.” Journal of Cross-Cultural Psychology. 39, (6), 745-764.
Cohen, J. (1988). Statistical power analysis for the behavioral sciences (2nd edition.). New York, NY: Academic Press.
Corcoran, J. (2006). “A comparison group study of solution-focused therapy versus treatment-as-usual for behavior problems in children.” Journal of Social Service Research, 33, 69−81.
Corey, G. (2009). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Belmont, California: Brooks/Cole.
Creswell, J.W. (2012). Educational Research: Planning, Conducting and Evaluating Quantitative and Qualitative Research (fourth edition). New Jersey: Pearson Prentice Hall.
(2)
Dahlan, T. H. (2011). Model Konseling Singkat Berfokus Solusi (Solution Focused Brief Counseling) dalam Setting Kelompok untuk Meningkatkan Daya Psikologis Mahasiswa (Penelitian dan Pengembangan Model Konseling Singkat Berfokus Solusi pada Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia Angkatan 2009). Disertasi pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan.
Daniel, R.A. (2008). “Assertiveness Expectancies: How Hard People Push Depends on the Consequences They Predict”. Journal of Personality and Social Psychology. 95, (6), 1541–1557.
DeJong, P., & Berg, I. K. (2002). Interviewing for solutions (2nd ed.). Pacific Grove, CA: Brooks/Cole.
Destari, A dan Andrianto, S. (2005). Hubungan Antara Kemandirian dengan Asertivitas pada Remaja yang Tinggal di Panti Asuhan Yatim Piatu. Naskah Publikasi Fakultas Psikologi Universitas Islam Indoneisa Yogyakarta.
Erickson, M. H. (1954). “Special Techniques of Brief Hypnotherapy. Journal of Clinical and Experiment Hypnosis, 109-129.
Erikson, E.H. (1963). Childhood and Society (2nd ed). New York: W. W. Norton.
Eskin, M. (2003). “Self-reported assertiveness in Swedish and Turkish adolescents: A cross-cultural comparison”. Journal of Psychology. 44, 7–12.
Fensterheim dan Baer, J. (1980). Jangan Bilang Ya Jika Anda mengatakan Tidak. Jakarta: Gunung jati.
Fernando, D. (2007). “Existential theory and solution-focused strategies: Integration and application.” Journal of Mental Health Counseling, 29, (3), 226-241.
Franklin, C. (2001). The effectiveness of Solution–Focused Therapy with children in a school setting. Texas and Lake Universities.
Franklin, C., Biever, J. L., Moore, K. C., Clemons, D., & Scamardo, M. (2001).
“Effectiveness of solution-focused therapy with children in a school
setting.” Research on Social Work Practice, 11, 411−434.
Franklin, C. (2008). Effectiveness of Solution-Focused Brief Therapy in a School Setting. Children & Scholls, (30), 15-27.
(3)
Froeschle, J. G., Smith, R. L., & Ricard, R. (2007). “The efficacy of a systematic substance abuse program for adolescent females.” Professional School Counseling, 10, 498−505.
Furqon. (2008). Statistika Terapan Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Gladding, S.L. (2009). Counseling: A Comprehensive Profession. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Gladding, S.L. (2012). Counseling: A Comprehensive Profession (Terjemahan). Jakarta: Indeks .
Hall, C.S. & Lindzey, G. 1993. Psikologi Kepribadian 1: Teori-Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius. Editor: A. Supratiknya. Horner, R. H. et al. (2005). “The Use of Single-Subject Research to Identify
Evidence-Based Practice in Special Education”. Council for Exceptional Children, 71, (2), 165-179.
Hurlock, E.B. (1980) Depelopment Psychology: A Life Span Approach. Alih Bahasa. (1997). Istiwidayanti dan Soedjarwo. Psikologi Perkembangan Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Helwig, C. C., & Turiel, E. (2002). “Rights, autonomy, and democracy: Children's perspectives.” International Journal of Law and Psychiatry,25, 253-270.
Hopson, L. M., & Kim, J. S. (2005). A solution-focused approach to crisis intervention with adolescents. Journal of Emotional and Behavioral Disorders, 15, 66-92.
Jacobson, K.L., Hood, J.N., and Buren, H.V. (2014). “Workplace bullying across cultures: A research agenda.” International Journal of Cross Cultural Management. 14, (1), 47-65.
Kelly, M.S., Kim, J.S., and Franklin, C. (2008). Solution-Focused Brief Therapy in Schools: A 360-Degree View of Research and Practice. New York: Oxford University Press.
Lange, A.J & Jackubowski, P. (1985). Responsible assertive behavior: Cognitive behavioral procedures training. Illionis: Research Press
Lawson, B. R. (1994). Design in Mind. Oxford, Butterworth Architecture.
Lightsey, O, R., dan Barnes, P. W. (2007) “Descrimination, Attributional Tendencies, Generalized Self-Efficacy, and Assertiveness as Predictors
(4)
of Psychological Distress Among African Americans.” Journal of Black Psychology. 33, (1), 27-50.
Miller, J. H. (2004). “Extending The Use of Constructivist Approachhes in Career Guidance and Counseling: Solution-Focused Strategies.” Australian Journal of Career Development.13, (1), 50-59.
Morgan, D. L., & Morgan, R. K. (2009). Single-case research methods for the behavioral and health sciences. Los Angeles: Sage.
Mulawarman. (2010). Penerapan Solution-Focused Brief Therapy (SFBT) untuk Meningkatkan Harga Diri (Self Esteem). (Online). Tersedia:
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/7852/0 [24 Agustus 2010]
Neukrug, E. (2012). The World of The Counselor An Introduction to the Counseling Profession. USA: Brooks/Cole Cengage Learning.
Newsome, W.S. (2005). “The Impact of Solution-Focused Brief Therapy with
At-Risk Junior High School Students.” Journal of Children & Schools. 27, (2), 83.
Nourbakhsh, M. R & Kenneth J. O. (1994). The Statistical Analysis of Single-Subject Data: A Comparative Examination. Journal of American Physical Therapy Association. Vol. 74. No. 8, pp. 768-776.
Novalia dan Dayakisni, T. (2013). “Perilaku Asertif dan Kecenderungan Menjadi Korban Bullying”. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan. 1, (1), 169-175. Novitriani, S. (2013). Menumbuhkan Perilaku Asertif Pada Remaja. Tersedia:
http://kalsel.bkkbn.go.id/Lists/Artikel/DispForm.aspx?ID=456&Conten tTypeId=0x01003DCABABC04B7084595DA364423DE7897. [09 Desember 2013].
Nurfaizal. (2012). Efektivitas Teknik Assertive Training Untuk Meningkatkan Perilaku Asertif Siswa. Tesis Bandung: SPS UPI (tidak diterbitkan). Nursalim, M. (2005). Strategi Konseling. Surabaya: Unesa University Press.
Omeje, C.B. (2013). “Role of Locus of Control On Assertive Behavior of
Adolescents”. International Journal of Health and Psychology Research. 1, (1), 38-44.
Onyeizugbo. (2003). “Effects of Gender, Age, and Education on Assertiveness in A Nigerian Sample.” Journal Psychology of Women. 27, 12-16.
(5)
O’Connell, B.I. (2004). Solution-Focused Stress Counseling. London: Sage Publications, Ltd.
Pearson. J.C. (1983). Interpersonal Communication. USA : Scott, Foresman and Company.
Polyorat, K., Jung, J.M., & Hwang, Y.Y. (2012). “Effects of Self-Construals on Consumer Assertiveness/Aggressiveness: Evidence From Thai and U.S.
Samples.” Journal of Cross-Cultural Psychology. 44, (5), 738-747. Rakos, R. F. (1991). Assertive Behavior. New York: Routledge Chapman and Hall
Inc.
Rathus, S.A., & Nevid, J.S. (1980). Behavior Therapy of Solving Problem in Living. New York : The New American Library, Inc.
Rathus, S. A. & Nevid, J. S. (1983). Adjustmen and Growth: The Challenges of Life. New York :CBS Collage Publishing.
Rini, Jacinta (2001, 20, Agustus). Asertivitas. [Online]. Tersedia www.e-psikologi.com [20 Agustus 2001].
Rizkani, R. S. (2009). Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Asertif Perawat dalam Membina Hubungan Interpersonal di Ruang Rawat Inap Mawar dan Nusa Indah RSUD.dr. Djoelham Binjai. Skripsi.FK. USU. Medan: tidak diterbitkan.
Saadatzaade, R and Khalili, S. (2012). “Effects of Solution-Focused Group
Counseling on Student’s Self-Regulation and academic achievement”. International Journal for Cross-Disciplinary Subjects in Education. 3, (3), 27-50.
Segal, D. L. (2005). “Relationships of Assertiveness, Depression, and Social Support Among Older Nursing Home Residents”. Behavior Modification.29, (4), 689-695.
Springer, D. W., Lynch, C., & Rubin, A. (2000). “Effects of a solution-focused mutual aid group for Hispanic children of incarcerated parents.” Child & Adolescent Social Work Journal, 17, 431−432.
Simon, Joel. (2010). Solution-Focused Practice in End-Of-Life and Grief Counseling. New York: Springer.
(6)
Susilawati, N. (2003). Hubungan Antara Perlakuan Orang Tua dengan Asertivitas Siswa. Skripsi S1 pada PPB FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Tankersley, M., Harjusola-Webb, S., & Landrum, T.J. (2008). Using single-subject research to establish the evidence base of special education. Intervention in School and Clinic, 44(2), 83-90.
Tribbun News. (2013). Gelar Operasi Kasih Sayang, Polisi Tangkap Ratusan
Siswa Bolos Sekolah. Terdapat di
(http://www.tribunnews.com/regional/2013/10/25/gelaroperasikasihsay angpolisi-tangkap-ratusan-siswa-bolos-sekolah (Diakses tanggal 9 Desember 2013)
William, C.H.J. (2008). “Cognitive behaviour therapy within assertive outreach teams: barriers to implementation: a qualitative peer audit”. Journal of Psychiatric and Mental Health Nursing. 15, 850–856.
Willis, S.S. (2004). Konseling Individual Teori dan Praktek. Bandung: Alfabeta. Yosef. (2008). Model Konseling Berfokus Solusi Untuk Pemecahan Masalah
Disiplin Diri Siswa di Sekolah (Studi Kasus Pelayanan Konseling untuk Siswa dengan Melibatkan Orang Tua di SMP Negeri 6 Palembang). Disertasi pada Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia: tidak diterbitkan. Yusuf, S., dan Nurihsan, A.J. (2010). Landasan Bimbingan dan Konseling.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Zulkaida, A. (2006). “Tingkah laku asertif yang bertanggung jawab”. Makalah: (Ditampilkan pada seminar pelatihan tingkah laku asertif). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.