PEMBINAAN SOPAN SANTUN SEBAGAI UPAYA MEMBENTUK AKHLAK MULIA SISWA :Studi Deskriptif Pada Pembelajaran Aqidah Akhlak di MTS YPI AL ISLAM Kab. Bandung.

(1)

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMAKASIH ... iv

DAFTAR ISI...ix

DAFTAR LAMPIRAN... xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 16

D. Manfaat dan Kegunaan Penelitian ... 16

E. Metode Penelitian ... 17

F. Lokasi Penelitian ... 21

BAB II : PEMBINAAN SOPAN SANTUN A. Konsep Pembinaan Sopan Santun ... 24

1. Hakikat pembinaan... 24

2. Sopan santun ... 25

3. Landasan Sopan Santun ... 31

4. Faktor yang mempengaruhi Sopan santun ... 34

5. Pendekatan dan Metode Pembinaan sopan santun ... 38

B. Pendidikan Umum dan Pendidikan Sopan Santun ... 45

1. Konsep Pendidikan Umum ... 45

2. Tujuan Pendidikan Umum ... 47

3. Pendidikan Umum dan Pendidikan Sopan Santun ... 50


(2)

C. Metode Penelitian ... 62

D. Subyek Penelitian ... 66

E. Teknik Pengumpulan Data ... 66

F. Pengumpulan Data Penelitian ... 69

G. Analisis Data ...71

H. Tahap - Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 73

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian... 76

1. Pola Pembinaan sopan santun sebagai upaya membentuk akhlak mulia siswa di MTs YPI Al Islam... 80

2. Proses Pembinaan sopan santun pada pembelajaran aqidah akhlak di MTs YPI Al Islam sebagai upaya membentuk akhlak mulia siswa... 85

3. Kendala yang dihadapi guru aqidah akhlak dalam pembinaan sopan santun di MTs YPI Al Islam... 103

B. Pembahasan Hasil Penelitian...104

BAB V : KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. KESIMPULAN ... 112

B. REKOMENDASI ... 115


(3)

(4)

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang

Kehidupan zaman bergerak semakin maju dan mempengaruhi pola pikir serta cara pandang manusia terhadap kehidupan. Untuk mencapai peradaban yang lebih tinggi masyarakat harus mulai meningkatkan potensi akal dan pikirannya untuk dapat memecahkan permasalahan yang dihadapinya dan sekaligus meninggalkan kehidupan dengan memecahkan permasalahan dengan jalan kekerasan.

Sebagian manusia mulai sadar dan lelah dengan kehidupan yang penuh dengan ketidakaturan, penyimpangan-penyimpangan, khususnya penyimpangan dalam berperilaku dalam berpakian, kemudian bertutur kata yang jorok, kasar, arogan. Namun di berbagai tempat masih dijumpai masyarakat yang mengedepankan perilaku yang sesuai dengan tatakrama masyarakat yang baik. Masyarakat Indonesia yang plural merupakan anugrah yang diberikan Allah kepada negeri ini, perbedaan suku, budaya dan juga agama yang ada di negeri ini, mempunyai berbagai perbedaan aturan, kebiasaan namun semua itu bisa disatukan dalam satu tujuan bangsa ini yaitu bhineka tunggal ika.

Namun terkadang dari perbedaan tersebut dapat menimbulkan masalah yang mengusik keharmonisan tatanan kehidupan sosial, politik dan mungkin juga ekonomi. Pembakaran pencuri yang tertangkap, saling ancam antar kampung sampai tawuran antar sekolah, maraknya seks bebas di kalangan pelajar dan mahasiswa, bertutur kata yang jorok, kasar, berpakaian yang tidak senonoh


(5)

adalah sederetan kasus di mana kekerasan, kecurangan, pergaulan bebas di kalangan remaja sudah menjadi hal yang mudah ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Inilah gambaran akhlak masyarakat Indonesia sekarang yang sudah meninggalkan tradisinya yang terkenal dengan masyarakat dengan ramah tamahnya, sopan santun dan berbudi luhurya.

Pendidikan mempunyai andil untuk mengembalikan nilai-nilai luhur bangsa ini, Pendidikan yang ada pada saat ini belum kondusif untuk pembinaan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sesuai dengan tuntutan era globalisasi. Globlalisasi ini membawa dampak positif juga berdampak negatif. Dampak positif dari globlalisasi ini bisa meningkatkan kualitas ilmu pengetahuan dan pendidikan. Sedangkan dampak negatifnya salah satunya adalah masuknya budaya-budaya Barat yang tentunya berbeda dengan budaya negeri ini, sehingga budaya Barat yang masuk mengakibatkan terjadinya degradasi akhlak yang merupakan cerminan dari terkikisnya nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan siswa.

Manusia cenderung terbawa arus zaman yang semakin maju, tanpa disadari semakin menjauhi pula nilai-nilai iman dan taqwa. Keadaan di atas selaras dengan pendapat Kaswardi (2000 : 3) perubahan kondisi sosial-ekonomi yang dipacu oleh perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat, membawa serta perubahan-perubahan dalam cara berpikir, cara menilai, cara menghargai nilai hidup dan kenyataan. Ini semua membawa kekaburan nilai yang ada dan kekaburan dimensi nilai yang sebenarnya harus selalu ada. Gejala ini lebih jelas terlihat dikalangan remaja, dalam hal ini pelajar sekolah menengah pertama. Para pendidik saat ini sedang dihadapkan pada suatu tantangan yang kompleks dalam


(6)

mendidik moral dan perilaku anak, terutama diera global yang ditandai derasnya informasi telah membawa pengaruh dalam sikap atau gaya hidup mereka.

Arifin (1987: 8) berpendapat bahwa dampak-dampak negatif dari teknologi modern :

Telah mulai menampakkan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya berkekuatan daya mental-spiritual/jiwa yang sedang tumbuh dan berkembang dalam berbagai bentuk dan penampilannya. Kondisi inilah salah satunya yang mengakibatkan terjadinya berbagai penyimpangan pada diri masyarakat Indonesia pada umumnya dan pada anak remaja yang belum matang dalam berpikir sehingga berpengaruh pada cara bersikap mereka.

Masyarakat Indonesia yang dulu terkenal masyarakat sopan santun ramah tamahnya. Pada zaman sekarang nilai-nilai luhur negeri ini sudah mulai hilang dan terkikis oleh derasnya budaya asing. Para remaja yang diharapkan menjadi penerus dan penentu kemajuan bangsa ini kini telah terpengaruh oleh budaya luar, sehingga mereka mulai melupakan budaya negeri ini yang terkenal dengan ramah tamah dan sopan santunnya. Adapun sopan santun menurut Tafsir (2009 : 220)

Santun merupakan akhlak terpuji pembuka segala kebaikan dan penutup segala keburukan. Masyarakat Indonesia kaya akan budayanya, ramah tamah dan sopan santunnya sekarang mulai terkikis oleh budaya Barat sehingga mulai berubah menjadi bangsa yang anarki, identik dengan kekerasan serta timbul berbagai penyimpangan. Perubahan pola perilaku itu bahkan saat ini semakin membudaya. Beberapa kasus yang dahulu dianggap tak mungkin terjadi kini tidak lagi menjadi mustahil. Hal-hal yang dahulunya dianggap tabu kini dianggap wajar.

Itu merupakan salah satu perubahan dalam pola berpikir manusia zaman ini yang sering tampak pula dalam pola perilakunya.

Lebih menarik lagi ketika kita saksikan setiap saat di berbagai media massa sejumlah bentuk perilaku manusia yang sesungguhnya tidak sejalan dengan


(7)

fitrah manusia sebagai seorang individu, anggota masyarakat maupun sebagai warga negara. Penghayatan dan pengalaman akan nilai-nilai normative mulai mengalami distorsi hampir dalam berbagai situasi pendidikan.

Djohar dan Navis (dalam Azra: 1999 : 34) mengungkapkan krisis mentalitas dan moral peserta didik dalam pendidikan nasional disebabkan arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya. Sekolah dan lingkungannya tidak lagi merupakan tempat peserta didik melatih diri untuk berbuat sesuatu berdasarkan nilai-nilai moral dan akhlak, di mana mereka mendapat koreksi tentang tindakan-tindakannya; salah atau benar, baik atau buruk sehingga proses pendewasaan diri tidak sesuai di lingkungan sekolah.

Kenyataan tersebut setidaknya harus dapat dijembatani oleh sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan yang memiliki tugas dan fungsi yang searah dengan pendidikan di dalam keluarga. Di sekolah, siswa (anak) mengalami proses pendewasaan dari orang-orang yang memiliki pengetahuan secara formal dan sistimatis dalam melaksanakan bimbingan, pengajaran dan latihan sehingga potensi-potensi yang ada pada siswa akan berkembang secara optimal, baik menyangkut aspek moral-spiritual, intelektual, emosional, sosial, maupun fisik motoriknya (Yusuf , 2000 : 112). Sebagaimana ditegaskan oleh Fuad (1993 : 8) bahwa guru sebagai pendidik menurut jabatan, menerima tanggung jawab dari tiga pihak yaitu orang tua, masyarakat dan negara. Tanggung jawab dari orang tua diterima guru atas dasar kepercayaan memberikan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan perkembangan peserta didik dan diharapkan pula dari pribadi guru memancar sikap-sikap dan sifat-sifat yang normatif.

Kepala sekolah dan guru harus mampu menciptakan suatu lingkungan pendidikan yang di dalamnya terjadi interaksi berdasarkan aturan-aturan dan


(8)

nilai-nilai kebaikan, yang dapat berbentuk tata tertib, etika, dan kepribadian yang baik. Aturan-aturan dan nilai-nilai itu harus ditanamkan baik melalui keteladanan maupun melalui praktek perilaku dan penerapan nilai kebaikan dan akhlak mulia dalam kehidupan di sekolah maupun di rumah. Dengan begitu nilai-nilai dan aturan-aturan itu semakin hari akan semakin membudaya dalam sikap dan perilaku siswa. Yang selanjutnya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses pembelajaran (Boeree, 2008: 176). Dalam kontek demikian maka akan muncul suatu perilaku santun pada diri anak dalam setiap interaksi di lingkungan di mana dia berada. Dengan demikian anak akan menemukan dirinya sebagai mahkluk berbudaya. Berbudaya artinya bahwa dia hidup dalam suatu sistem yang mengatur bagaimana manusia harus hidup dan bertindak, baik dalam kehidupannya secara perorangan ataupun sebagai anggota atau warga kelompok atau masyarakat (Yusuf, 2000: 24). Jika kebudayaan, perilaku masyarakat Indonesia melenceng dari nilai-nilai luhur bangsa ini maka bangsa ini bisa dikatakan bangsa Indonesia bangsa yang berkarakter lemah.

Senada dengan pernyataan Megawangi (2004: 3) menjelaskan tentang sepuluh ciri karakter bangsa yang lemah:

1) Meningkatnya kekerasan dikalangan remaja 2) Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk 3) Meningkatkan pengaruh kelompok teman sebaya 4) Meningkatnya perilaku yang merusak diri, seperti narkoba, seks bebas dll 5) Semakin kaburnya pedoman moral baik – buruk 6) Menurunnya etos kerja 7) Semakin rendahnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan figur teladan 8) Rendahnya tanggung jawab individu dan warga negara 9) Membudayanya ketidak jujuran 10) Adanya sikap saling curiga dan kebencian antar sesama.

Untuk mengantisipasi pergeseran nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia, seperti sopan santun dalam hal ini berubahnya akhlak masyarakat ke arah yang


(9)

lebih buruk lagi, diperlukan upaya yang serius salah satunya yaitu melalui pendidikan di sekolah. Di sekolah anak belajar banyak hal seperti belajar berdisplin, bersosial, menghargai orang lain, belajar sopan santun dan lain sebagainya. Sebelum membahas tentang sopan santun di sekolah penulis akan membahas tentang pendidikan. Menurut Poewadarminta dari segi bahasa, pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik, dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik, atau pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya (Elmubarok, 2008: 1). Oleh karena itu peneliti ingin menyatakan Pendidikan adalah upaya untuk membantu peserta didik, dalam hal ini siswa, untuk mengembangkan diri pada dimensi intelektual, moral dan psikologis mereka.

Sukmadinata (2009: 3) mengatakan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan interaksi antara pendidik dan peserta didik, untuk mencapai tujuan pendidikan, yang berlangsung dalam lingkungan tertentu. Menurut Hamka dalam (Atta’dib, 2006: 70) para ahli pendidikan telah sepakat bahwa pendidikan dan pengajaran merupakan dua jalan untuk menjadi satu dan antara keduanya tak dapat terpisahkan. Pendidikan dan pengajaran adalah wasilah (jalan) yang paling utama bagi kemajuan bangsa, mencapai kedudukan mulia di dunia. Menurut direktur CDIE (Center for Developing Islamic Education) dalam Goerge R Knight yang diterjamahkan oleh Mahmud, 2007: v);

Pendidikan merupakan basis kultural-intelektual kehidupan dan keagamaan umat. Dikatakan sebagai basis kultural-intelektual, mengingat pendidikan menjadi salah satu landansan berpijak bagi umat dalam membangun kekuatan mengatasi persoalan, merancang masa depan, memaknai kehidupan, dan menyikapi realitas.


(10)

Sedangkan menurut Natsir dalam (Atta’dib, 2006: 71) menitik beratkan pendidikan pada pengembangan kemapuan-kemampuan anak melalui bimbingan jasmani dan rohani untuk mencapai kesempurnaan. Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa pendidikan adalah merupakan usaha manusia seutuhnya agar ia dapat melakukan perannya dalam kehidupan secara fungsional dan optimal (Elmubarok, 2008: 3).

Dalam Undang- Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah :

Usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketemrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Ki Hajar Dewantoro mengatakan sebagaimana yang dikutif oleh Elmubarok (2008: 2) bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan nilai moral (kekuatan batin, karakter), pikiran dan tumbuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras.

Pendidikan menurut Tim Dosen FIP-IKIP Malang adalah sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat dan kebudayaannya (http:Lib.uin-malang.ac.id, 2011). Dengan demikian bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat di dalamnya berlangsung proses pendidikan. Karena itu sering dinyatakan bahwa pendidikan


(11)

telah ada sepanjang peradaban umat manusia (Syam, 1988: 2). Sedangkan Soelaeman (1994: 163) menyatakan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan maksud agar anak atau orang yang dihadapi itu akan meningkat pengetahuannya, kemampuannya, akhlaknya dalam seluruh kepribadiannya. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Tafsir (1992: 26). Menyatakan bahwa pendidikan ialah pengembangan pribadi dalam semua aspeknya mencakup aspek jasmani, akal dan hati.

Islam sebagai jalan hidup (way of life) telah mengajarkan berbagai aspek kehidupan agar manusia selamat dunia akhirat. Pendidikan termasuk aspek dalam kehidupan manusia. Dalam pendidikan Islam, nilai-nilai yang terdapat dalam Al Quran dan Hadits merupakan elemen dasar dalam kurikulum dan lembaga pendidikan. Kedua sumber Islam tersebut mencakup segala aspek kehidupan yang bersifat universal. Sifat universal inilah yang semestinya menempatkan Islam sebagai garda terdepan dari segala sistem pendidikan dalam komunitas muslim untuk membentuk manusia yang utuh (kaffah)( Zauhairini, dkk, 1985: 4) .

Dalam kehidupan manusia, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Pada hakekatnya pendidikan adalah upaya manusia secara sadar dengan tujuan mengembangkan kepribadian dan kemampuan manusia. Menelusuri tentang hakekat pendidikan bagi manusia berkaitan dengan pengertian manusia itu sendiri (Sauri, 2006: 39).

Setelah memaparkan beberapa pendapat tentang pendidikan peneliti akan mengulas tentang arti manusia yang merupakan bagian penting dalam pendidikan itu sendiri. Menurut Tafsir (2009: 17), manusia mempunyai kecenderungan oleh banyaknya potensi yang dibawanya, dalam garis besarnya kecenderungan dibagi menjadi dua yaitu; kecenderungan menjadi orang baik dan kecenderungan menjadi orang yang jahat. Manusia sesuai dengan kodratnya itu menghadapi tiga


(12)

persoalan yang bersifat universal, dikatakan demikian karena persoalaan tersebut tidak tergantung pada kurun waktu ataupun latar belakang historis kultural tertentu. Persoalan itu menyangkut tata hubungan atar dirinya sebagai mahluk yang otonom dengan realitas lain yang menunjukkan bahwa manusia juga merupakan makhluk yang bersifat dependen. Persoalaan lain menyangkut kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk dengan kebutuhan yang cukup kompleks yaitu kebutuhan bersosial, rasa aman, dihargai, aktualisasi diri, menurut Cik Suabuana melalui wawancara, mengatakan bahwa kebutuhan manusia itu terdiri dari enam kebutuhan yaitu basic need, social need, safty need, actual need estimed need dan yang terakhir god need yang semuanya mengisyaratkan adanya kebutuhan ruhaniah. Kebutuhan manusia yang kompleks ini menunjukan kesempurnaan penciptaan manusia. sedangkan manusia dalam konsep Islam mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat yaitu “Abdul Allah “ (hamba Allah) satu sisi dan sekaligus sebagai “Kholifah fil Ardli” (wakil Allah di muka bumi).

Manusia sebagai makhluk yang diberi berbagai potensi sebagai bukti kelebihan dari makhluk lain yang diberikan Allah Swt berupa pendengaran, penglihatan dan bentuk yang paling sempurna (Q. S. At-Tin : 3). Potensi ini penting untuk dikembangkan melalui proses pembelajaran agar berfungsi secara optimal.

Tafsir (2009: 17) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berkembang karena dipengaruhi pembawaan dan lingkungan. Itulah salah satu hakikat manusia, manusia mempunyai banyak kecenderungan, ini disebabkan oleh


(13)

banyaknya potensi yang dibawanya. Potensi manusia itu bisa dikembangakan dan bisa mengembangkan potensi manusia yang lainnya. Akan tetapi manusia yang bisa dan mampu mengembangkan manusia yang lain harus memiliki kemampuan yang baik dan berkualitas.

Manusia yang berkualitas adalah manusia yang seimbang antara dzikir dan pikir, sebagaimana yang dikatakan Fuad (1993: 84) mengatakan bahwa manusia yang berkualitas tinggi adalah cendekiawan yang mampu memadukan antara dzikir dan pikir secara seimbang, atau lebih dikenal dengan istilah Ulul Albab, sehingga melahirkan insan yang mampu menghadapi tantangan zamannya. Dapat diambil poin penting dari pendapat Fuad bahwa manusia bisa membentuk insan yang baik jika dibimbing dengan manusia yang berkualitas juga. Karena manusia dilahirkan dalam suatu kondisi yang lemah, tidak mempunyai pengetahuan dan tidak tahu apapun, kemudian tumbuh berkembang menjadi manusia sesungguhnya.

Perkembangan dan pertumbuhan manusia tidak bisa berjalan dengan sendirinya, akan tetapi ia memerlukan bimbingan dan pengarahan karena terbatasnya kondisi fisik serta kemampuan yang dimilikinya. Oleh karenanya manusia adalah makhluk yang memerlukan pendidikan. Manusia adalah makhluk yang dapat dididik, sekaligus juga dapat berfungsi sebagai pendidik (homo educandum). Dengan kedudukan tersebut, maka manusia perlu diberikan pendidikan secukupnya. Pendidikan sebagai bagian budaya, ia tidak dalam kondisi tetap, melainkan berkembang sesuai dengan perkembangan budaya yang dialami manusia (Sauri, 2006: 41). Dalam rangka mempersiapkan sosok individu


(14)

seperti yang telah disebutkan itu, pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam kelangsungan hidup manusia.

Melihat dari sisi fungsi dan perannya, pendidikan merupakan sebuah fasilitas untuk mendewasakan peserta didik, dalam istilah Driyarkara, pendidikan adalah memanusiakan manusia muda (Sumantri, 2009: 5). Dalam rumusannya pendidikan umum memiliki tujuan untuk mendampingi dan mengantarkan pserta didik menuju kepada kemandirian, kedewasaan, berperilaku baik, kecerdasan agar menjadi manusia profesional (memiliki skil/ keterampilan), komitmen pada nilai-nilai dan semangat dasar pengabdian, yang beriman dan bertanggung jawab, akan kesejahteraan dan kemakmuran warga masyarakat, nusa dan bangsa Indonesia, dengan kata lain bahwa tujuan pendidikan umum untuk membentuk manusia seutuhnya (Sumantri, 2009: 6).

Pada hakekatnya, pendidikan umum bertujuan untuk membangun manusia yang bernilai dan berketerampilan secara holistik dan utuh. Pendidikan umum akan melahirkan manusia yang berpandangan menyeluruh. Menurut Sauri bahwa tujuan pendidikan umum atau pendidikan nilai adalah untuk menciptakan manusia

yang cerdas otaknya, lembut hatinya dan terampil tangannya (Republika, 1-10- 2010). Ada dua penekanan pembelajaran pada pendidikan

umum: petama, menekankan pada proses intelektual; dan kedua menekankan pada perkembangan semua fase kepribadian seseorang secara simultan antara perkembangan intelektual, sosial, fisik, dan emosional. Untuk mencapai tujuan pembelajaran tersebut, maka pendidikan umum harus berbasis pada landasan pendidikan yang kuat.


(15)

Syahidin (2004: 2) mengutip pandangan Klafki bahwa pendidikan umum merupakan pendidikan yang komprehensif, di mana pendidikan umum mendidik manusia secara utuh dengan cara mendidik “kepala, hati dan tangan manusia”. Oleh karena itu, sasaran pendidikan umum harus menyentuh potensi-potensi yang dimiliki manusia, yakni potensi rasio, rasa, dan tingkah laku. Ketiga potensi manusia tersebut harus dibina secara bersama-sama dalam rangka mewujudkan keutuhan pribadi, bukan menyentuh suatu aspek secara terpisah-pisah.

Pentingnya pendidikan tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan sekarang yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ke tingkat kedewasaannya. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diidentifikasikan beberapa ciri pendidikan, antara lain : a) Tujuan pendidikan yaitu kemampuan untuk berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidup. b) untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan melakukan usaha yang terencana dalam memilih isi (materi) , strategi, dan teknik penilaiannya yang sesuai. c) kegiatan pendidikan dapat dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat (Formal dan Nonformal) (Atta’dib, 2006, 23).

Budi pekerti, sopan santun merupakan cerminan akhlak hasil dari “ learning to be “ yang dapat dicapai melalui proses pembelajaran siswa di sekolah. Transfer pengetahuan saja seperti yang diukur dengan nilai Ujian Nasional (UN) yang didambakan sekarang ini masih kurang mampu membentuk pribadi yang berakhlak mulia. Tetapi justru bergantung pada bagaimana proses pembinaan akhlak siswa.


(16)

Djohar dalam Azra (1999: 34) berpendapat bahwa keberhasilan pendidikan harus diarahkan indikatornya kepada perubahan kualitas perilaku siswa, misalnya perilaku berpikir, perilaku sosial, perilaku pribadi, perilaku sopan santun, perilaku menanggapi dan menyelesaikan masalah, perilaku menyikapi keadaan, dan perilaku kemandirian siswa.

Pada level sekolah adanya penekanan yang semakin terfokus pada sektor materialistis demi memenuhi tuntutan pasar kerja dan kebutuhan ekonomis. Sedangkan sektor informal sekarang ini banyak diabaikan dan tidak digarap. Akibat dari mengabaikan sektor informal adalah bahwa pembinaaan akhlak siswa, pendidikan nilai, pendidikan sikap menjadi hal yang dianggap tidak penting sehingga hal ini diabaikan. Padahal pada sektor ini salah satu sentral yang dianggap penting dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian siswa.

Pembentukan kepribadian siswa yang diinternalisasikan dalam pembinaan perilaku sopan santun dan akhlak siswa tidak cukup dipenuhi di sekolah saja, tetapi keluargapun turut campur, karena sebagian anak lebih lama tinggal di lingkungan rumah/keluarga dari pada di lingkungan sekolah. Kebanyakan orang tua mempercayakan sepenuhnya pendidikan anak mereka pada sekolah, padahal yang terjadi selama ini, sekolah sifatnya lebih banyak mengajar dari pada mendidik pada sektor formal. Lembaga pendidikan pun dalam hal ini cenderung hanya main nilai, dalam arti proses belajar mengajar belum dilaksanakan dengan baik, tetapi siswa mandapat nilai yang bagus-bagus demi nama baik sekolahnya (Tilaar, 2000: 20).


(17)

Dalam konteks pendidikan sekolah guru merupakan salah satu komponen mikrosistem pendidikan yang sangat strategis dan banyak mengambil peran di dalam proses pendidikan secara luas. Bahkan, dalam kaitannya dengan peningkatan mutu, dari hasil kajian terhadap 29 negara ditemukan fakta bahwa guru merupakan penentu paling besar terhadap prestasi belajar siswa Supriadi (1999: 42).

Guru sebagai pendidik merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan setiap upaya pendidikan. Itulah sebabnya setiap adanya inovasi pendidikan, khususnya dalam perubahan kurikulum, pembinaan perilaku siswa dan peningkatan sumber daya manusia yang dihasilkan dari upaya pendidikan selalu bermuara pada faktor guru. Hal ini betapa eksistensinya peran guru dalam dunia pendidikan sangat diperhitungkan. Guru menjadi figur manusia yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Begitu juga keberhasilan dalam pembinaan perilaku siswa di sekolah.

Merespon kenyataan sebagaimana digambarkan di atas, maka judul ini sengaja penulis angkat untuk dikaji bagaimana pembinaan perilaku sopan santun sebagai upaya dalam membentuk perilaku siswa menjadi individu yang bertanggung jawab sebagai seorang intelektual. Sehingga dalam pergaulan sosialnya terpancar suatu perilaku santun dalam wujud yang menyenangkan.

Sehubungan dengan itu, penelitian ini difokuskan untuk mengetahui peran kepala sekolah dan para guru terutama guru Aqidah Akhlak di MTs YPI Al Islam yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pembentukan perilaku


(18)

santun pada siswa yang dapat diwujudkan baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat.

B.Rumusan Masalah

Bertolak dari gambaran latar belakang di atas berikut dapat dirumuskan beberapa permalasahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola pembinaan sopan santun siswa di MTs YPI Al Islam ? 2. Bagaimanakah proses pembinaan sopan santun pada siswa pada

pembelajaran Aqidah Akhlak di MTs YPI Al Islam?

3. Kendala apakah yang dihadapi guru Aqidah Akhlak dalam pembinaan sopan santun siswa di MTs YPI Al Islam?

C.Tujuan Penelitian

Untuk menyusun penulisan tesis ini, peneliti ingin menggambarkan sebagai berikut:

1. Pola pembinaan sopan santun siswa sebagai upaya membentuk berakhlak mulia di MTs YPI Al Islam.

2. Proses pembinaan sopan santun pada siswa pada pembelajaran Aqidah Akhlak MTs YPI Al Islam.

3. Kendala yang dihadapi guru Aqidah Akhlak dalam pembinaan sopan santun siswa di MTs YPI Al Islam.


(19)

D.Manfaat dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memiliki nilai tambah terutama bagi pengembangan, pembinaan perluasan khazanah pengetahuan dalam pembinaan sopan santun siswa pada pembelajaran Aqidah Akhlak di MTs YPI Al Islam manfaatnya dapat dijadikan sebagai berikut:

1) Manfaat dari segi Teori

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan penjelasan tentang berbagai informasi yang berhubungan dengan pembinaan sopan santun pada siswa di sekolah terutama yang berkaitan dengan materi, metode, dan kondisi yang di ciptakan serta dapat menjelaskan tujuan dari pembinaan sopan santun pada siswa di sekolah dengan demikian diharapkan dapat membantu sekaligus mengembangkan teori pendidikan umum yaitu yang berkenaan dengan pendidikan nilai dalam rangka pendidikan umum khususnya pendidikan nilai.

2) Manfaat secara prkatis

Hasil penelitian ini sesungguhnya dapat digunakan sebagai masukan bagi para peneliti dan pemerhati dimasa yang akan datang baik orang tua, guru, ustadz ustadzah, pengurus lembaga sosial, kepala sekolah dan seluruh pihak yang berkepentingan dalam pembinaan sopan santun di sekolah dalam hal ini pembinaan nilai-nilai agama sebagai pendidikan umum dalam pembinaan sopan santun melalui pembelajaran Aqidah Akhlak, sehingga mampu merencanakan, membimbing, dan mengarahkan kepada kehidupan yang lebih baik fi dunya hasanah wa fil akhirati hasanah.


(20)

E.Metode Penelitian

1. Metode dan Pendekatan Penelitian

Untuk mencapai tujuan penulisan ini perlu diadakan penelitian dengan langkah-langkah, metode dan teknik, yang tepat sehingga dapat terlihat dengan jelas arah penelitian dalam penelitian dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

a. Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode studi deskriptif (descriptive study) dengan pendekatan kualitatif. Nasution (1988: 5) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif adalah “penelitian mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, serta berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”.

Karena bersifat kualitatif, maka penelitian ini bersifat natural setting. “ peneliti di sini bertindak sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara tiranggulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif, dan berhasil penelitian lebih menekankan kepada makna daripada generalisasi” (Sugiyono, 2012: 9).

Maka pendekatan kualitatif diyakini sangat tepat digunakan untuk menggali pembinaan sopan santun melalui pembelajaran Aqidah Akhlak di MTS YPI Al Islam.

Moleong (1991: 3) mengutip pendapat Kirk dan Miller bahwa penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam


(21)

peristilahannya. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Manusia sebagai alat dan hanya dia yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya karena yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan hanyalah manusia. Begitu juga, hanya manusia pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadarinya serta dapat mengatasinya.

Senada dengan Krik dan Miller (Moleong, 1991: 3) Sukmadinata (2005: 60) mengatakan penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Ia mengutip pendapat Lincoln dan Guba bahwa penelitian kualitatif bersifat naturalistik, sehingga kenyataan itu dianggap sebagai sesuatu yang berdimensi jamak. Peneliti dan yang diteliti bersifat naturalistik karena datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya dengan tidak merubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan (Nawawi, 1994: 174).

b. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk analitis tentang pembinaan sopan santun di lingkungan sekolah MTS YPI Al Islam untuk mencapai tujuan.

2. Intstrumen Penelitian

Bila diperhatikan penelitian yang bersifat kualitatif maka peneliti merupakan pengumpul data utama, sebab penelitian kualitatif membutuhkan


(22)

penelitian secara alamiyah yang langsung dihadapi oleh peneliti di samping itu peneliti kualitatif mempunyai sifat adaptabilitas kondisional yang tinggi dengan situasi yang berubah-rubah umpamanya mampu dihadapi. Peneliti sebagai instrument penelitian mempunyai ciri sebagaimana diungkapkan oleh, Nasution. (1988: 55) sebagai berikut :

1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bermakna bagi penelitian.

2. Peneliti dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian seperti yang digunakan kuantitatif yang dapa menyesuaikan diri sesuai dengan macam-macam situasi serupa itu. Suatu test hanya cocok mengukur variable tertentu akan tetapi tidak dapat dipakai untuk mengukur macam-macam variable lainnya.

3. Setiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada satu instrument berupa alat test atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia, hanya manusia sebagai instrument yang dapat memahami situasi dalam segala hal atau seluk beluknya.

4. Suatu situasi yang dapat melibatkan interaksi manusia tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata-mata. Untuk memahaminya kita perlu merasakannya, menyelaminya berdasarkan penghayatan kita. 5. Peneliti sebagai instrument dapat segera menganalisa data yang

diperoleh. Ia dapat menafsirkannya, dilahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan arah pengamatan untuk mentest hipotesis yang timbul seketika.

6. Hanya manusia sebagai instrument dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan.

7. Dalam penelitian dengan menggunakan test atau angket yang bersifat kuantitatif yang diutamakan adalah respons yang dapat dikuantifikasi agar dapat diolah secara statistik, sedangkan yang menyimpang dari itu tidak di hiraukan. Dengan manusia sebagai instrument, respons yang aneh yang menyimpang justru diberi perhatian. Respons yang lain dari pada yang lain bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepecayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diteliti. Keterlibatan peneliti dengan subyek peneliti dirasa cukup memadai.


(23)

Adapun beberapa alasan yang dikemukakan antara lain :

a. Informan telah secara sadar memahami makna penelitian ini sehingga mereka bersedia membantu sepenuhnya.

b. Tempat penelitian memungkinkan untuk meneliti sesering mungkin berada dilapangan.

c. Diupayakan untuk sering berada di tempat informan dengan tidak mengalami hambatan yang berarti, sehingga dapat memperoleh hasil seperti yang dimaksud.

3. Sumber Data

Teknik yang dipergunakan adalah sebagai berikut:

a. Teknik observasi langsung mengenai pembinaan sopan santun pada pembelajaran Aqidah Akhlak di sekolah MTS YPI Al Islam berjumlah kepala sekolah, 3 guru, 2 orang staf.

b. Teknik wawancara mendalam tentang pembinaan sopan santun melalui pembelajaran Aqidah Akhlak di MTs YPI Al Islam kepada kepala sekolah 2 guru dan 2 orang staff.

c. Teknik komunikasi tak langsung tentang pembinaan sopan santun pada siswa pembelajaran Aqidah Akhlak di MTs YPI Al Islam melalui 5 narasumber dengan melalui siswa juga warga sekitar sekolah.


(24)

F. Lokasi Penelitian

YPI adalah sebuah yayasan pendidikan Islam yang didirikan oleh DKM Mesjid Al Islam, yayasan pesantren Islam ini terdiri dari beberapa bagian yaitu terdiri dari 2 sekolah (Madrasah Diniyah dan Madrasah Tsanawiyah), koperasi JANAT, Wakaf Al Islam. Adapun lokasi MTs YPI Al Islam ini terletak di Jl. Laswi no 508 Kampung. Jongor, Desa. Serang Mekar, Kecamatan. Ciparay Kabupaten Bandung. Sekolah yang akan diteliti adalah Madrasah Tsanawiyah atau setara dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas satu sampai kelas tiga. Sekolah yang di jadikan obyek penelitian ini dikepalai oleh Drs. Wildan, Sekolah ini terdiri dari tiga kelas yaitu kelas satu, dua dan tiga yang semuanya berjumlah 103 siswa putra dan putri.

Memperhatikan perilaku siswa MTs YPI Al Islam Kecamatan Ciparay Kabupaten Bandung yang peneliti amati selama malakukan penelitian pendahuluan, suatu hal yang sangat menarik yakni apabila mereka bertemu guru, staf atau karyawan di sekolah mereka selalu mengucapkan salam (Assalamu`alaikum), dan selalu mengucapkan terimakasih setiap kali mereka dibantu oleh kepala sekolah, guru, juga staf sekolah.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, telah memotivasi peneliti untuk mengadakan penelitian mengenai : “Pembinaan sopan santun pada siswa sebagai upaya membentuk akhlak mulia”, dengan pendekatan studi deskriptif analitik di MTs YPI Al Islam Kabupaten. Bandung studi ini dilakukan dengan pertimbangan betapa pentingnya MTs dalam pembinaan sopan santun dalam menanamkan dasar


(25)

akhlak mulia bagi para siswa yang memasuki masa remaja awal dan akil balig, di mana perkembangan fisik dan mentalnya perubahan yang cepat dan labil. Pada masa awal remaja ini, anak dituntun agar belajar memiliki tanggung jawab, artinya ia telah mengerti tentang perbedaan antara yang benar dengan yang salah, yang boleh dan yang dilarang, yang dianjurkan dan yang dicegah, yang baik dan yang buruk, dan ia sadar bahwa ia harus menjauhi segala yang bersifat negatif dan mencoba membina diri untuk selalu menggunakan hal-hal yang positif terutama dalam bersikap, berperilaku dan berbahasa. Jadi pada masa remaja ini seseorang wajib mendapat bimbingan dan pemantapan kesadaran akhlak dengan nilai-nilai sopan santun juga dengan nilai-nilai religius yang Islami. Dengan demikian dapat diketahui akar permasalahannya sehingga nilai-nilai sopan santun akan lebih hidup dan berkembang dalam diri siswa sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang artinya sebagai berikut : “Sebaik-baiknya manusia adalah orang yang paling baik akhlaknya “.

Pada uraian latar belakang masalah telah digambarkan betapa pentingnya pembinaan sopan santun sebagai upaya membentuk akhlak mulia siswa di sekolah yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk budi pekerti, akhlak mulia. Sebagai bagian dari program pendidikan umum di MTs YPI Al Islam dalam usaha mewujudkan tujuan pendidikan umum di sekolah. Namun pada kenyataannya kontribusi pembinaan sopan santun masih dipertanyakan, terutama masih adanya kesenjangan antara cita-cita dan realitas perilaku siswa dalam mengisi nilai-nilai akhlak mulia siswa. Oleh karena itu dalam konteks ini terdapat masalah atau kesenjangan antara harapan dan kenyataan.


(26)

Banyak faktor yang terkait dan mempengaruhi keberhasilan pembinaan sopan santun pada siswa sebagai upaya membentuk aklah mulia. Untuk menelaah pembinaan dalam mempengaruhi perubahan perilaku dan sikap siswa MTs YPI Al Islam, dapat dirumuskan pertanyaan yang mendasar sebagai berikut : “Bagaimana pembinaan sopan santun sebagai upaya membentuk akhlak mulia siswa pada pembelajaran Aqidah Akhlak di MTs YPI Al Islam kabupaten Bandung? ”


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Definisi Operasional

Dari Judul penelitian di atas penulis membatasi istilah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Pembinaan

Pembinaan adalah upaya dalam pengembangan dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap yang ditujukan bagi tercapainya manusia terampil, cakap dan terpupuk sikap mental positif, dimana dalam pengembangannya diselaraskan dengan nilai-nilai yang dianutnya (Munandar, 1987: 92). Pembinaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah segala usaha atau ikhtiar guru yang terwujud dalam ucapan, pikiran dan tindakan guru dalam membina nilai-nilai sopan santun baik terkait langsung dengan rutinitas maupun terkait yang terkait dengan perbuatan-perbuatan yang memiliki muatan nilai-nilai sopan santun sebagai upaya membentuk akhlak siswa di sekolah.

2. Sopan santun

Perilaku santun yang dimaksudkan di sini adalah tata cara bertindak dan bertutur kata sesuai dengan etika, norma-norma atau aturan-aturan yang diwujudkan dalam hubungannya dengan diri sendiri, para guru, sekolah dan staf sekolah. Bertindak yang sesuai dengan etika, norma atau aturan itu seperti empati, hormat, kasih sayang, dan kebersamaan. Sedangkan


(28)

tutur kata yang sesuai dengan etika, norma atau aturan itu adalah menggunakan kata-kata yang sopan dalam berucap, misalnya mengucapkan salam kepada guru atau tamu yang datang, mengucapkan terima kasih jika diberi sesuatu, meminta maaf jika melakukan kesalahan, berkata jujur, dan sebagainya (Rustantiningsih, 2008): Indikator perilaku santun sebagaimana dimaksudkan di atas adalah

(a) Menerima nasihat guru; (b) Menghindari permusuhan dengan teman; (c) Menjaga perasaan orang lain; (d) Bersikap hormat pada orang lain; (e) Memaafkan kesalahan orang lain; (f) Tutur bahasa dan tindakannya menyenangkan orang lain; (g) Berposisi duduk yang sopan; (h) berpakaian sopan; (i) Menerima pendapat yang berbeda; (j) Memaklumi kekurangan orang lain; (k) Mengakui kelebihan orang lain; (l) Bertindak benar dan jujur; (m) Dapat bekerjasama; serta (n) Menghargai diri sendiri dan orang lain.

3. Sekolah

Sekolah adalah institusi pendidikan, yaitu tempat di mana pendidikan berlangsung (Sauri, 2006: 44). Sekolah yang dimaksud di sini adalah Madrasah Tsanawiyah AL ISLAM YPI AL ISLAM.

4. Akhlak Mulia

Akhlak merupakan bentuk jama‟ dari khuluq yang berarti “suatu keadaan jiwa, keadaan ini menyebabkan jiwa bertindak tanpa dipikir atau dipertimbangkan secara mendalam” (M. Al Ghazali, 1995: 36). Dapat dikatakan juga bahwa akhlak merupakan kemauan (azimah) yang kuat tentang sesuatu yang dilakukan berulang-ulang sehingga menjadi adat yang membudaya, yang mengarah pada kebikan dan keburukan. (Amin, 1975: 13).


(29)

5. Siswa

Siswa yang dimaksud disini adalah peserta didik yang terdaftar di MTS YPI Al Islam Kab. Bandung yang menjadi sumber dan lapangan penelitian. Tahun ajaran 2010/2011 jumlahnya 3 kelas, terdiri atas 107 siswa.

B. Penelitian Kualitatif sebagai sebuah Pendekatan

Pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang memiliki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Penelitian kualitatif disebut juga meteode naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (Sugiyono, 2012: 8). Penelitian kualitatif merupakan sebuah pendekatan. Ada dua istilah dalam penelitian, yang sering sekali disalah pahami. Yaitu pengertian metodologi dan metode, terkadang kedua istilah ini dipahami dalam makna yang sama, padahal istilah metodologi tidak identik dengan metode. Untuk itu terlebih dahulu peneliti akan bedakan secara mendasar tentang kedua istilah tesebut.

Sebagaimana dikemukakan oleh Cohen (1977: 4) mengatakan bahwa metodologi adalah rancangan yang dipakai peneliti memilih prosedur pengumpulan dan analisis data dalam menyelidiki masalah penelitian tertentu. Begitu juga McMillan dan Schumacher (1984: 9) bahwa “....the ways one collects and analyzes data.” Metodologi adalah cara seorang peneliti mengumpulkan dan menganalisis data secara sistematik dan mempunyai tujuan. Hal ini mencakup asumsi dan nilai yang berfungsi sebagai rasional untuk riset dan standar atau kriteria yang dipakai peneliti untuk menginterpretasikan data dan mencapai


(30)

kesimpulan. Jadi secara ringkas, metodologi berarti pengkajian, penjelasan, dan pembenaran metode, dan bukan metodenya itu sendiri.

Dalam penelitian, metode bisa berarti cara seseorang mengumpulkan dan menganalisis data atau teknik dan prosedur yang dipakai dalam proses pengumpulan data (Cohen dan Manion, 1977 : 4). Jadi, metode penelitian dapat diartikan sebagai suatu proses pengumpulan dan analisis data secara sistematis untuk mencapai tujuan tertentu. Menurut Creswell (2010: 17) Strategi penelitian merupakan istilah lain dari istilah pendekatan penelitian.

Dalam studi ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif karena pendekatan ini memiliki keistimewaan tersendiri. Ada enam keistimewaan pendekatan penelitian kualitatif menurut Alwasilah (2003: 107-110), yaitu :

Pertama, pemahaman makna, di mana makna merujuk pada kognisi, afeksi, intensi, dan apa saja yang terpayungi dengan istilah perspektif partisipan. Kedua, pemahaman konteks tertentu, di mana peneliti berkonsentrasi pada orang atau situasi yang relatif sedikit dan analisis secara mendalam terhadap kekhasan kelompok dan situasi itu saja. Ketiga, identifikasi fenomena dan pengaruh yang tidak terduga, di mana setiap informasi, kejadian, perilaku, suasana, dan pengaruh baru berpotensi sebagai data untuk membeking hipotesis kerja. Keempat, kemunculan teori berbasis data atau grounded theory. Kelima, pemahaman proses, artinya peneliti mengutamakan proses dari pada produk kegiatan yang diamati. Keenam, penejelasan sababiyah atau casual explanation, artiny penjelasan itu mencari sejauh mana kejadian-kejadian itu berhubungan satu sama lain dalam rangka penjelasan sababiyah lokal.

Peneliti telah menetapkan pendekatan kualitatif sebagai pendekatan studi, oleh karena itu dipandang perlu mengemukakan beberapa definisi mengenai pendekatan kualitatif.


(31)

Moleong (1991: 3) mengutip pendapat Kirk dan Miller bahwa :

Penelitian kualitatif sebagai tradisi tertenu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut berdasarkan bahasanya dan dalam peristilahannya. Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri atau dengan bantuan orang lain merupakan alat pengumpul data utama. Manusia sebagai alat dan hanya dia yang dapat berhubungan dengan responden atau obyek lainnya karena yang mampu memahami kaitan kenyataan-kenyataan di lapangan hanyalah manusia. Begitu juga, hanya manusia pulalah yang dapat menilai apakah kehadirannya menjadi faktor pengganggu sehingga apabila terjadi hal yang demikian ia pasti dapat menyadari serta dapat mengatasinya.

Senada dengan Kirk dan Miller dalam (Moleong, 1991: 3), mengatakan

Penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok. Ia mengutif pendapat Lincoln dan Guba bahwa penelitian kualitatif bersifat naturalistik, sehingga kenyataan itu diangap sesuatu yang berdimensi jamak.

Peneliti dan yang diteliti bersifat interaktif dan tidak bisa dipidahkan. Penelitian kualitatif bersifat naturalistik karena datanya dinyatakan dalam keadaan sewajarnya atau sebagaimana adanya dengan tidak merubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan (Nawawi, 1994: 174).

Creswell (2010: 261-262) menjelaskan secara rinci, seperti apakah karakteristik penelitian dari penelitian kualitatif, antara lain:

a. Lingkungan alamiah (natural setting); penelitian dilakukan dilokasi di mana partisipan mengalami isu atau masalah yang akan diteliti, jadi tidak membawa indvidu-individu partisipan ke dalam laboratorium penelitian.

b. Peneliti sebagai instrumen kunci (researcher as key instrument); para peneliti kualitatif mengumpulkan sendiri data melalui dokumentasi, obeservasi perilaku, atau wawancara dengan partisipan.


(32)

c. Beragam sumber data (multiple souerces of data); memilih mengumpulkan data dari berbagai sumber. Seperti wawancara atau observasi. Kemudian peneliti sendiri yang memberikan makna dari data tersebut, dan mengolahnya ke dalam ketegori-kategori atau tema-tema yang melintasi semua sumber data.

d. Analisis data induktif (inductive data analysis); para peneliti kualitatif membangun pola-pola, kategori-kategori, tema-temanya dari bawah ke atas (induktif) dengan mengolah data ke dalam unit-unit informasi yang lebih abstrak.

e. Makna dari para pertisipan (participant’s meaning); peneliti memitpelajari makna yang disampaikan oleh partisipan tentang masalah atau isu penelitian, bukan makna yang disampaikraan oleh peneliti atau penulis lain dalam literatur-literatur tertentu.

f. Rancangan yang berkembang (emergents design); proses penelitian berkembang dinamis.

g. Persfektif teoritis (theoritical lans); menggunakan persfektif tertentu dalam penelitian, misalnya konsep kebudayaan, etnografi, perbedaan-perbedaan gender, ras atau kelas yang muncul dari orentasi-orentasi teoritis.

h. Bersifat penafsiran (interpretative); peneliti melakukan interpretasi terhadap apa yang mereka lihat, dengan dan pahami. Kerena pandangan keualitatif menawarkan pendangan-pandangan yang beragam atau suatu masalah.

i. Pandangan menyeluruh (holistic account); para peneliti membuat gambaran yang komplek terhadap masalah atau isu.

Miles dan Haberman (dalam sugiyono 2009: 10) mengatakan bahwa penekanan data penelitan kualitatif terletak pada pengalaman hidup manusia. Hanya manusialah dapat mengemukakan makna terhadap suatu kejadian, proses, dan struktur hidup mereka, seperti, asumsi, prapenilaian, praduga, dan untuk mengaitkan makna tersebut dengan dunia sosial di sekitar mereka.

Metode kualitatif menjadikan peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian. Teknik pengamatan dilakukan dengan metode observasi partisipan, sedangkan teknik wawancara dengan wawancara mendalam. Obervasi berarti pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk perolehan data yang


(33)

dikontrol validitas dan reliabilitasnya (Alwasilah, 2003: 211). Untuk mendapatkan data sebaik mungkin, wawancara yang dilakukan bisa bersifat terstruktur, semi terstruktur, dan tidak berstruktur (Sugiyono, 2009: 73-75) Pengumpulan data penelitian kualitatif bersifat interaktif, berlangsung dalam lingkaran yang saling tumpang tindih (Sukmadinata, 2005: 114). Ia membagi lima tahap dalam pengumpulan data kualitatif :

1) Perencanaan meliputi perumusan dan pembatasan masalah serta merumuskan pertanyaan pertanyaan penelitian, merumuskan situasi penelitian, satuan dan lokasi yang dipilih, serta informan sebagai sumber data.

2) Memulai pengumpulan data dengan memulai menciptakan hubungan baik, menumbuhkan kepercayaan, serta membina hubungan akrab dengan semua sumber data.

3) Pengumpulan data dasar terjadi setelah peneliti berpadu dengan situasi yang diteliti. Data dikumpulkan lebih intensif lagi melalui wawancara mendalam, observasi, dan pengumpulan dokumen. Peneliti benar-benar melihat, mendengarkan, membaca dan merasakan apa yang ada di sekitarnya.

4) Pengumpulan data penutup yakni setelah peneliti telah mendapatkan semua informasi yang dibutuhkan atau tidak ditemukan lagi data baru dan setelah itu peneliti meninggalkan lokasi.

5) Melengkapi merupakan kegiatan menyempurnakan hasil analisis kemudian menyusun dan menyajikannya.

Alat pengumpul data paling penting dalam penelitian kualitatif adalah wawancara. Ada beberapa bentuk wawancara, seperti open-ended, wawancara terfokus, adn wawancara terstruktur

Pertama, bentuk wawancara yang paling umum adalah open-ended. Tipe open-ended adalah peneliti dapat bertanya kepada responden kunci tentang fakta- fakta suatu peristiwa di samping opini mereka mengenai peristiwa yang ada. Pada beberapa situasi peneliti bahkan bisa meminta responden untuk mempertahankan pendapatnya sendiri terhadap peristiwa tertentu dan bisa menggunakan proposisi tersebut sebagai dasar penelitian selanjutnya. Informan kunci sangat besar perannya dalam studi kasus karena ia tidak hanya memberikan informasi tetapi juga bisa


(34)

memberikan saran tentang sumber-sumber bukti lain yang mendukung, serta menciptakan akses terhadap sumber yang bersangkutan.

Kedua, tipe wawancara terfokus adalah reponden diwawancari dalam waktu yang pendek, sekirat satu jam. Pewawancara tidak perlu mengikuti serangkaian pertanyaan tertentu yang diturunkan dari protokol studi kasusnya. Namun pertanyaan-pertanyaan spesifik harus disusun dengan hati-hati agar peneliti tampak aneh terhadap topik tersebut dan memungkinkan responden memberikan komentar yang segar tentang hal yang bersangkutan. Tujuan pokok wawancara ini sekedar mendukung fakta-fakta tertentu yang diperlukan oleh peneliti.

Tipe wawancara ketiga adalah wawancara terstruktur. Tipe ini menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang lebih terstruktur. Pertanyaan tersebut disusun terutama sebagai pengingat bagi peneliti berkenaan dengan informasi yang perlu dikumpulkan, dan bagaimana cara pengumpulannya. Tujuan utamanya adalah untuk menjaga peneliti agar tetap berada pada alur ketika melakukan pengumpulkan data.

Selain wawancara, teknik observasi pengumpulan data juga merupakan aspek penting dalam penelitian keualitatif. Secara umum, ada beberapa teknik observasi pengumpulan data biasanya digunakan dalam penelitian kualitatif. Observasi penelitian adalah pengamatan sistematis dan terencana yang diniati untuk memperoleh data yang dikontrol validitas dan reliabilitasnya (Alwasilah, 2003: 211).

Hasil temuan studi dalam penelitian kualitatif berupa deskripsi analisis tentang fenomena secara murni dan informatif. Peneliti kualitatif berfungsi sebagai partisipan dan juga sekaligus sebagai instrumen bermakna bahwa peneliti sendiri yang mengumpulkan data di lapangan. Peneliti secara langsung mewawancarai, mengobservasi, membaca situasi, serta menangkap fenomena melalui perilaku manusia. Agar peneliti tidak menjadi faktor pengganggu dalam menggali informasi di lapangan, maka peneliti melakukan beberapa strategi dengan cara : 1) Peneliti menceburkan diri dengan sumber informasi dalam semua situasi sehingga dapat mengumpulkan semua fenomena yang berlangsung di lapangan. 2) Peneliti merespon segala stimulus yang ada di lingkungan penelitian yang diperkirakan bermakna bagi peneliti. Semua peristiwa yang terjadi direkam


(35)

dan dimaknai. 3) Peneliti berusaha memahami dan menghayati sumber informasi di lapangan.

Untuk mencapai ketiga hal tersebut, peneliti membangun rapport yang baik dengan sifat-sifat terpuji sebagaimana dikatakan Alwasilah (2003: 145) :

Bahwa peneliti etnografis profesional harus memiliki sifat-sifat sensitif, sabar, cerdik, tidak menghakimi, bersahabat, dan tidak menyerang, menunjukkan toleransi terhadap kemenduaan, memiliki selera humor, ingin menguasai bahasa reponden, dan mampu menjaga rahasia responden. Untuk mempertahankan kepercayaan responden, peneliti harus „berbudaya lokal responden‟ agar mendapatkan data secara terus menerus sampai penelitian usai.

Seorang peneliti harus memiliki sifat-sifat profesional tersebut agar mudah menggali peristiwa dan fenomena nilai sosial manusia sampai sekecil-kecilnya. Peneliti melibatkan diri secara langsung dan intensif ke dalam kehidupan sehari-hari keluarga dan masyarakat. Peneliti mengumpulkan data berdasarkan situasi yang wajar, berpastisipasi langsung, dan apa adanya tanpa terpengaruh oleh unsur-unsur dari luar lingkungan masyarakat.

C. Metode Penelitian

Untuk mencapai tujuan penulisan ini perlu diadakan penelitian dengan langkah-langkah, metode dan teknik, yang tepat sehingga dapat terlihat dengan jelas arah penelitian dalam penelitian dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Metode penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan adalah metode deskriptif analitik, menggunakan metode deskriptif analitik, mengingat kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, menganalisis dan mengambil suatu


(36)

generaliasasi dari pengamatan yang sedang diteliti. Sebagaimana yang diungkapkan Syaodih (2005: 54) bahwa penyelidikan deskriptif analitik digunakan apabila bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena-fenomena yang ada pada masa sekarang atau masa lampau, penelitian ini menggambarkan apa adanya. Metode penelitian deskriptif dipilih karena peneliti bermaksud untuk mendeskripsikan atau menggambarkan upaya-upaya pembinaan sopan santun pada pembelajaran Aqidah Akhlak di MTs YPI Al Islam.

Adapun alasan memilih metode ini karena masalah yang akan dianalisis dan dikaji menyangkut hal-hal yang berlangsung dalam kehidupan, khususnya pelaksanaan proses pembinaan sopan santun siswa MTs YPI Al Islam Kabupaten Bandung. Dengan deskripsi fenomena yang tampak di lapangan bisa ditafsirkan makna dan isinya yang lebih dalam dari data yang terhimpun dengan memperhatikan dan menjaga segi kualitasnya.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekaan ini diorientasikan kepada situasi dan kondisi individu secara utuh dan menyeluruh. Bogdan dan Taylor yang dikutif oleh Al-Wasilah (2003: 22) menyatakan bahwa: “Metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek) itu sendiri. Pendekatan ini diarahkan pada latar belakang individu tersebut secara holistik”.


(37)

Berkaitan dengan pendekatan kualitatif, Nasution (1988: 5) mengatakan bahwa: “Penelitian pada hakikatnya ialah mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berintraksi dengan mereka, berusaha memahami dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya”.

Karakteristik Penelitian Kualitatif menurut Nasution (1988: 10) karakteristik kualitatif adalah:

(1) Sumber data, ialah situasi wajar atau natural setting; (2) Peneliti, sebagai instrument penelitian; (3) Deskriptif; (4) mementingkan proses dan produk; (5) Mencari makna di belakang kelakuan atau perbuatan yang dapat memahami masalah atau situasi; (6) Mengutamakan dan langsung atau first hand; (7) Triangulasi, Yaitu memeriksa kebenaran dengan cara memperoleh data itu dari sumber lain; (8) Menonjolkan pencarian kontekstual; (9) subjek yang diteliti di pandang berkedudukan sama dengan peneliti; (10) Mengutamakan prospektif emik, artinya mementingkan pandangan responden tentang bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dari segi pendiriannya; (11) Verifikasi, yaitu mencari kasus lain yang berbeda dengan apa yang ditemukan untuk memperoleh hasil lain yang berbeda dengan apa yang ditemukan untuk memperoleh hasil lain yang lebih dipercaya; (12) Sample Purposif, dilihat menurut tujuan penelitian; (13) Mengutamakan auditrial, yaitu mengikuti jejak atau melacak untuk mengetahui apakah laporan sesuai dengan yang disimpulkan; (14) Partisipasi responden tanpa menggunakan alat untuk memperoleh situasi yang natural; (15) Mengadakan analisa jejak penelitian awal.

Pengumpulan data secara langsung terhadap proses pembinaan nilai sopan santun, mengungkapkan masalah pembinaan nilai-nilai dan perilaku sopan santun. Masalah tersebut diungkap dengan memperhatikan latar belakang proses terjadinya peminaan tersebut. Lantas data tersebut akan terkumpul secara totalistas dan akan memberikan kesatuan konteksnya sehingga diharapkan dapat dipahami maknanya.


(38)

3. Intstrumen Penelitian

Bila diperhatikan penelitian yang bersifat kualitatif maka tidak mengherankan apabila, penelitian merupakan pengumpul data utama, sebab penelitian kualitatif membutuhkan penelitian secara alamiyah yang langsung dihadapi oleh peneliti di samping itu peneliti kualitatif mempunyai sifat adaptabilitas kondisional yang tinggi dengan situasi yang berubah-rubah umpamanya mampu dihadapi. Peneliti sebagai instrument penelitian mempunyai ciri sebagaimana diungkapkan oleh, Nasution (1988: 55) sebagai berikut :

1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulus dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bermakana bagi penelitian.

2. Peneliti dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus. Tidak ada alat penelitian seperti yang digunakan keantitatif yang dapa menyesuaikan diri sesuai dengan macam-macam situasi serupa itu. Suatu test hanya cocok mengukur variable tertentu akan tetapi tidak dapat dipakai untuk mengukur macam-macam variable lainnya.

3. Setiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada satu instrument berupa alat test atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia, hanya manusia sebagai instrument yang dapat memahami situasi dalam segala hal atau seluk beluknya.

4. Suatu situasi yang dapat melibatkan interaksi manusia tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata-mata. Untuk memahaminya kita perlu merasakannya, menyelaminya berdasarkan penghayatan kita. 5. Peneliti sebagai instrument dapat segera menganalisa data yang

diperoleh. Ia dapat menafsirkannya, dilahirkan hipotesis dengan segera untuk menentukan arah pengamatan untuk mentest hipotesis yang timbul seketika.

6. Hanya manusia sebagai instrument dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan atau penolakan.

7. Dalam penelitian dengan menggunakan test atau angket yang bersifat kuantitatif yang diutamakan adalah respons yang dapat dikuantifikasi agar dapat diolah secara statistic, sedangkan yang menyimpang dari itu tidak dihiraukan. Dengan manusia sebagai instrument, respons yang aneh yang menyimpang justru di beri perhatian. Respons yang lain dari


(39)

pada yang lain bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepecayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang di teliti. Keterlibatan peneliti dengan subyek peneliti dirasa cukup memadai.

Adapun beberapa alasan yang dikemukakan antara lain :

a. Informan telah secara sadar memahami makna penelitian ini sehingga mereka bersedia membantu sepenuhnya.

b. Tempat penelitian memungkinkan untuk meneliti sesering mungkin berada dilapangan.

c. Diupayakan untuk sering berada di tempat informan dengan tidak mengalami hambatan yang berarti, sehingga dapat memperoleh hasil seperti yang dimaksud.

D. Subyek Penelitian

Subjek penelitian yang dimaksudkan dalam penelitian ini sifatnya menyeluruh semua sivitas MTs YPI Al Islam, dan ada pula 5 orang yang ditentukan melalui observasi awal untuk diwawancarai. Keutuhan kegiatan sekolah yang melibatkan seluruh guru staf sekolah itu dimaksudkan untuk mengamati kegiatan sekolah secara umum melalui observasi. Sedangkan subjek yang ditentukan, dimaksudkan untuk memperoleh informasi melalui wawancara.

Untuk meperoleh data melalui wawancara, ditentukan subjek penelitian yaitu:


(40)

1. Kepala sekolah dan tiga orang guru sebagai wakil kepalasa sekolah bidang kesiswaan, staf kurikulum dan guru agama di tambah 2 staff sekolah TU sekolah.

2. Lima orang siswa

Sehingga dapat dijumlahkan dengan komposisi satu orang kepala sekolah, 3 orang guru, 2 orang staff sekolah serta 5 orang siswa sekolah. Sehingga jumlah keseluruhan 11 orang.

E. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data yang dipergunakan peneliti dalam penelitian adalah sebagai berikut: a) Observasi b) Wawancara c) Studi Dokumentasi d) serta menunjang dalam mendapatkan data yang diperlukan.

1. Teknik observasi

Observasi merupakan alat yang sangat tepat dibutuhkan dalam penelitian kualitatif. Keuntungan yang dapat diperoleh melalui observasi adalah adanya pengalaman yang mendalam, di mana peneliti berhubungan secara langsung dengan subjek peneliti.

Secara intensif teknik observasi ini, digunakan untuk memperoleh data mengenai pembinaan sopan santun pada siswa di sekolah. Observasi ini, dilakukan di sekolah MTs YPI Al Islam melalui berbagai aktivitas. Data yang diobservasi ditujukan untuk mencari pembinaan sopan santun siswa yang dilakukan oleh perangkat sekolah, baik secara langsung maupun tidak langsung.


(41)

Jenis observasi yang digunakan adalah observasi non sistematis, yakni tidak menggunakan pedoman buku, berisi sebuah daftar yang mungkin dilakukan oleh perangkat sekolah, serta mengamati aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh perangkat sekolah di lingkungan sekolah.

2. Teknik wawancara

Melalui teknik wawancara data utama yang berupa ucapan, pikiran, perasaan, dan tindakan dari prangkat sekolah yang terdiri dari kepala sekolah, kesiswaan, guru dan staf sekolah diharapkan lebih mudah diperoleh. Dalam hal ini, Nasution (1988: 73) mengemukakan “Bahwa dalam teknik wawancara terkandung maksud untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran dan perasaan responden. Itulah sebabnya, salah satu cara yang akan di tempuh peneliti adalah melakukan wawancara secara mendalam dengan subjek penelitian dan berpegang pada arah,sasaran, dan fokus penelitian”.

Untuk mengehindari bias penelitian, peneliti tetap memiliki pedoman wawancara yang disesuaikan dengan sumber data yang hendak digali. Pedoman wawancara tersebut bersifat flesibel, sewaktu-waktu dapat berubah sesuai dengan perkembangan data yang terjadi dilapangan. Namun fleksibilitas tersebut tetap mengacu pada fokus penelitian, yaitu mengenai pembinaan sopan santun pada siswa.

Pelaksanaan wawancara dilakukan secara menyuluruh akan tetapi masih di lingkungan sekolah yang dipandang tepat dalam menggali data agar sesuai dengan konteksnya. Terkadang antara peneliti dan responden menyepakati waktu untuk


(42)

wawancara, atau secara spontan peneliti meminta penjelasan mengenai peristiwa yang dipandang erat kaitannya dengan pembinaan perilaku sopan santun pada siswa. Dan pada saat peneliti melakukan wawancara peneliti mencatat data yang dipandang penting sebagai data penelitian, serta merekam pembicaraan nara sumber atas kesepakatan bersama.

3. Studi Dokumentasi

Teknik ini, ditujukan untuk memperoleh data yang bersifat dokumenter yang terdapat dilapangan. Dokumentasi dipergunakan untuk memperkuat dan melengkapi data yang telah diperoleh melalui observasi dan wawancara. Data yang bersifat dokumenter yang terdapat di lingkungan sekolah MTs YPI Al Islam seperti photo, tulisan, peringatan, jargon dan lain sebagainya. Dari data dokumenter itu, peneliti menanyakan apa, siapa, kapan, di mana, bagaimana, dan mengapa dokumen-dokumen itu dibuat. Sehingga bukti-bukti itu bisa memperjelas keadaan responden, maupun hal-hal yang bisa dilalaikan atau diucapkan responden, khususnya yang berhubungan dengan pembinaan sopan santun pada siswa sebagai upaya membentuk akhlak mulia siswa yang dapat menjadi sumber data kuat bagi penelitian.

Dari penggunaan teknik pengumpulan data di atas, maka yang dijadikan acuan menjaring data penelitian dari lapangan seperti : 1) Peneliti berusaha mengumpulkan aneka ragam data sebanyak mungkin, 2) peneliti berusaha mengumpulkan memperhatikan setiap peristiwa secara keseluruhan, 3) peneliti berusaha menghubungkan keadaan lingkungan responden dengan peristiwa yang


(43)

terjadi, 4) supaya data yang didapat adalah data yang sahih maka peneliti berusaha memahami segala sesuatu secara teliti.

F. Pengumpulan Data Penelitian

Pelaksaan pengumpulann data didasarkan pada petunkuk-petunjuk dalam penelitian kualitatif, khususnya untuk masalah studi kasus. Teknik tersebut dilakasanakan secara berurutan terdiri dari lima tahap, yaitu:

1. Tahap Orientasi

Tahap orientasi dilakukan untuk mendapatkan informasi awal mengenai rencana tema penelitian yang akan diajukan serta mempertajam masalah dan fokus penelitian, sebelum penelitian disusun pada tahap ini penulis mengunjungi langsung sekolah MTs YPI Al Islam.

2. Tahap Eksplorasi

Berdasarkan pengumpulan data pada tahap orientasi diperoleh gambaran dan paradigma yang semakin terarah. Sehingga memberikan arahan bagi dilakukannya pengumpulan data, baik melalui wawancara, dokumentasi maupun observasi tahap ini pada intinya meliputi :

a. Menyusun dan menentukan data yang dapat dipercaya untuk memberikan informasi tentang tema penelitian baik dari pihak sekolah maupun dari lembaga pendidikan MTs YPI Al Islam.

b. Menyusun pedoman wawancara dan observasi resmi yang berkembang pada waktu lapangan yang merupakan instrusmen pembantu peneliti.

c. Mengadakan wawancara dengan subjek penelitian, di samping melakukan observasi terhadap pelaksanaan proses pembinaan perilaku sopan santun siswa.


(44)

d. Mengumpulkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan tema penelitian untuk melengkapi data primer sari hasil wawancara dan observsi.

e. Menyusun hasil laporan tersebut kepada masing-masing responden untuk diperiksa kebenarannya.

3. Tahap Member Check

Tahap ini dilakukan tingkat kredibilitas hasil penelitian sehingga informasi yang ada mendapatkan pembenaran dari subjek penelitian. Tahap ini meliputi :

a. Menyusun laporan penelitian yang diperoleh dari tahap eksplorasi.

b. Menyampaikan laporan tersebut kepada masing-masing responden untuk diperiksa kebenarannya.

4. Tahap Triangulasi

Tahapan ini merupakan pemeriksaan keabasahan data yang diperoleh dengan cara memanfaatkan sesuatu yang lain untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data yang ada tahapan ini meliputi :

a. Membanding hasil observasi dengan hasil wawancara.

b. Membandingkan informasi yang diperoleh dari pihak yayasan dan pihak sekolah.

Dalam proses triangulasi, tujuan peneliti bukan untuk mencari kebenaran, tetapi untuk meningkatkan pemahaman peneliti terhadap data dan objyek penelitian. Hal tersebut dilakukan agar data yang diperoleh lebih konsisten, tuntas, dan pasti (Sugiyono, 2009: 83-85).


(45)

Ketika meneliti pembinaan sopan santun siswa di MTs YPI Al Islam, data-data akan didapatkan dari berbagai sumber (triangulasi sumber), berbagai teknik (triangulasi teknik), dan berbagai waktu (triangulasi waktu).

5. Tahap Audit Trail

Tahap audit trail berguna untuk membuktikan kebenaran data yang ditampilkan dalam laporan ini setiap data yang ditampilkan disertai dengan keterangan yang menunjukan sumbernya sehingga data mudah ditelusuri sumber dan kebenarannya.

G. Analisis Data

Sebagaimana lazimnya, penelitian kualitatif diolah dan dianalisa sepanjang penelitian berlangsung. Penelitian kualitatif dilakukukan dengan menggunakan berpikir induktif. Menurut Poespoprodjo (1985: 17) suatu jalan pikiran disebut induksi manakala berupa penarikan kesimpulan yang umum (berlaku untuk semua/banyak) atas dasar pengetahuan tentang hal-hal yang khusus (beberapa/sedikit).

Ada beberapa langkah analisa data yang akan dilakukan oleh peneliti, yaitu:

1. Melakukan reduksi

Karena data yang didapatkan di lapangan pasti memiliki jumlah yang banyak, maka data-data tersebut akan dipilih. Peneliti akan memilih data yang penting saja untuk kemudian dianalisa secara mendalam. Reduksi dilakukan dengan cara membuat rangkuman tentang masalah yan diteliti, yaitu proses dan


(46)

lingkungan yang memiliki andil dalam pembinaan sopan santun siswa di MTs YPI Al Islam.

“Tujuan utama dalam penelitian kualitatif adalah temuan. Oleh karena itu, kalau penelitian dalam melakukan penelitian, menemukan segala sesuatu yang dipandang asing, tidak kenal, belum memiliki pola, justru itulah yang harus dijadikan perhatian peneliti dalam melakukan reduksi data” (Sugioyono, 2009: 92-93).

2. Penyajian Data

Data tentang pembinaan sopan santun sebagai upaya membentuk akhlak mulia siswa di MTs YPI Al Islam yang telah didapatkan akan dibuat dalam bentuk uraian singkat, hubungan antar kategori, dan lain sebagainya.

Hal tersebut dilakukan agar peneliti bisa mudah menulis segala kejadian penelitian dan merencanakan aktivitas selanjutnya berdasarkan hal yang telah dipahami (Sugiyono, 2009: 95).

3. Pengambilan Keputusan

Karena penelitian ini bersifat kualitatif, maka kesimpulan awal yang dikemukakan peneliti masih bersifat semantara. Ia akan berubah jika tidak ditemukan bukti-bukti kuat. Akan tetapi, jika kesimpulan tersebut bersifat kredibel.


(47)

Kesimpulan adalah temuan baru yang sebelumnya tidak ada. Temuan tersebut bisa berupa deskripsi sebuah obyek penelitian yang sebelumnya tidak jelas, hubungan kasual, hipotesa, atau teori (Sugiyono, 2009: 99).

H. Tahap-Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pelakasanaan peneltian meliputi: 1) kegiatan pra lapngan; 2) kegiatan lapangan; 3) kegiatan analisis intensif. Menurut Meloeng (1991: 16) bahwa tahapan-tahapan penelitian Kulitatif Meliputi:

1. Tahap pra lapangan

Pada tahap ini peneliti malakukan persiapan-persiapan yang meliputi: memilih masalah, studi pendahuluan, merumuskan fokus masalah, memilih pendekatan, menentukan sistem pola yang diamati dan sumber data. Sebagaimana layaknya seuatu penelitian ilmiah. Maka pada tahap ini peneliti menyusun desain penelitain untuk kemudian dikonsultasikan dengan pihak penyelenggara pendidikan di sekolah.

2. Tahap kegiatan Lapangan

Pada tahap ini, penulis mengumpulkan sekaligus menseleksi data-data yang diperlukan sesuai dengan fokus penelitian dan akhirnya meratifikasi atau menyimpulkan data tersebut secara deskriptif. Dalam konteks penelitain kualitatif bebrapa aspek kegiatan dalam pelakasanaan dikerjakan sebelum dan selama penelitain berlangsung. Misalnya pembuatan instrumen baik berupa pedoman observasi, wawancara maupun studi dokumentasi, instrumen penelitain ini adalah peneliti itu sendiri, sedangkan pedoman observasi dan wawancara hanya memmuat pertanyaan kunci untuk membuka masalah penelitian. Demikian juga halnya dengan kegiatan pengumpulan dan analisis data serta pembuatan kesimpulan dilakukan sepanjang penelitian berlangsung.

Secara singkat kegiatan pada tahap ini meliputi:


(48)

b. Menyusun dan mengelompokan data sejenis sesuai dengan fokus permasalahan.

c. Menganalisa hubungan antara data yang saatu dengan data yang lainnya. d. Memberikan komentar dan tafsiran terhadap data secara kontekstual. e. Menyimpulkan data tersebut menjadi suatu pernyataan umum sekaligus

menyusun temuan penelitian.

3. Tahap Analisis Intensif

Tahap ini merupakan puncak kegiatan yang dilakukan setelah penelitian lapangan berakhir. Pengorganisasian penulisan laporan penelitian dituangkan dalam satu karya ilmiyah yang terbagi dalam lima bab yaitu pendahuluan, tinjauan teoritis, metode penelitian, hasil penelitian dan kesimpulan.

Kegiatan pengolahan data dalam penelitian kualitatif dengan cara:

a. Mengumpulkan catatan-catatan lapangan yang berasal dari wawancara.

b. Mengelompokkan data penelitian dari para responden ke dalam data sejenis.

c. Menyusun data sesuai dengan fokus permasalahan dan tujuan penelitain.

d. Menganalisis hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. e. Memberikan komentar berupa tanggapan, kritikan yang konstruktif

dan tafsiran terhadap data secara kontekstual.

f. Menyusun temuan-temuan monumental dan gagasan-gagasan inovasi.


(49)

BAB V

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. KESIMPULAN

1. Kesimpulan Umum

Pembinaan sopan santun adalah suatu hal yang sangat penting dilakukan setiap lembaga pendidikan, baik lembaga pendidikan umum baik itu lembaga pendidikan negeri maupun lembaga pendidikan swasta, terlebih lembaga pendidikan yang berbasis agama. Setiap lembaga pendidikan harus bisa menciptakan lingkungan, lingkungan yang kondusif dalam pembinaan sopan santun siswa di sekolah sangat berpengaruh terhadap keberhasilan proses pembinaan sopan santun siswa. Sehingga ketika lingkungan sekolah sudah kondusif dan menunjang dalam pembinaan sopan santun siswa di sekolah maka siswa itupun akan mempunyai kepribadian yang utuh yang baik yang sesuai dengan tujuan pendidikan umum.

Tujuan pendidikan umum adalah untuk pengembangan dan pembinaan kepribadian secara utuh. Tujuan pendidikan umum ini sesuai dengan Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional yaitu mengembangkan kepribadian yang utuh, yaitu manusia yang berperilaku baik. Secara rinci tujuan pembinaan perilaku sopan santun ini adalah agar para siswa selalu berperilaku baik, berbakti kepada orang tua, hormat kepada guru, saling berbuat baik terhadap teman serta tidak merugikan orang lain, sopan dalam berperilaku santun dalam berbicara, disiplin, jujur, sabar dan pemaaf.


(50)

Untuk menciptakan iklim sekolah yang kondusif bagi perkembangan siswa yang berperilaku sopan santun kepala sekolah serta para guru menampilkan keterpaduan ketepatan yang ingin dicapai, materi yang disajikan dengan metode dan upaya yang digunakan untuk membangkitkan motivasi siswa menjadi manusia yang berakhlak mulia. Keterpaduan dimaksud sekaligus merupakan keterpaduan yang harmonis antara kurikulum sekolah yang tertulis dengan kurikulum yang tersembunyi dalam wujud pikiran, ucapan dan tindakan.

2. Kesimpulan Khusus

Menyimak hasil penelitian yang diketengahkan dalam Bab IV (deskripsi, interpretasi dan pembahasan) mengenai pembinaan sopan santun sebagai upaya membentuk akhlak mulia siswa, dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pola pembinaan sopan santun siswa sebagai upaya pembentukkan akhlak mulia siswa MTs YPI Al Islam Ciparay Kabupaten Bandung dapat dirinci melalui kegiatan :

a) Intra kurikuler dengan KBM di kelas

Pembinaan sopan santun dalam proses KBM guru-guru yang mengajar di sekolah ini diintruksikan oleh kepala sekolah untuk membina dan mendidik siswa siswi nya dari segi belajar, kreatifitas dan yang paling terpenting adalah perilaku atau akhlak siswa. Peneliti melihat beberapa guru juga kepala sekolah dalam proses KBM di MTS YPI Al Islam mereka sudah melakukan pembinaan tersebut, hanya saja masih ada guru dan staf sekolah yang belum peduli terhadap pembinaan ini.


(1)

sehingga peran guru harus dominan dan berada dalam semua posisi. Pendalaman mata pelajaran Aqidah Akhlak selain pada perilaku seyogyanya berorientasi pada orientasi konsep, juga diperlukan pada proses yang dilaksanakan dalamkehidupan sehari-hari siswa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Kedua, diperlukan adanya kebijakan pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional, Departemen Agama dan departemen lainnya untuk mendukung segala program yang dilakukan pembinaan manusia utuh yang handal, seimbang dan selaras untuk memenuhi kebutuhan manusia sebagai bekal kehidupan manusa yang akan datang.

Ketiga, sosialisasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa yang didasarkan kepada nilai-nilai agama Islam sebgai upaya menumbuhkan manusia yang berbudi luhur, berpeilaku sopan serta berakhlak mulia. Untuk meningkatkan akhlak siswa tersebut, diperlukan adanya kerjasama yang harmonis antara pihak sekolah, orang tua pemerintah dan masyarakat.


(2)

DAFTAR PUSTAKA Al Quran

Abdul Quasem, M. 1988, Etika Al-Ghazali, Bandung, Penerbit Pusaka.

Al Ghazali, Muhammad, 1995, Akhlak Seorang Muslim, Bandung, PT. Al Ma’arif.

Abdul Latif. 1999, Pembinaan Akhlak Remaja. Bandung, Tesis

Ahmad Sanusi, Penyunting Dedi Supriadi dkk. 1998. Pendidikan Alternatif. Bandung. Grafindo Media Pratama.

Alwasilah, A. Chaedar. 2003. Pokoknya Kualitatif Dasar-Dasar Merancang dan Melakukan Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya dan Pusat Studi Sunda.

Alberty & Al berty. 1965. Reorganizing The High School Curriculum. New York: The Macmillan Company.

Amin, Ahmad, 1975, Ethika ( Ilmu Akhlak), Jakarta, Bulan Bintang.

An-Nahlawi, Abdurrahman, 1992, Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam, Dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, Bandung, CV. Dipenogoro.

Amshari, Fuad. 1993, Masa Depan umat Islam Indonesia, peluang dan tantangan, Surabaya, Al Bayan.

Anton M. Mulyono, dkk, 1982. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Pustaka Arifin M, 1987, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta, Bina Aksara.

Atta’dib, 2006, Jurnal Kependidikan Islam, Ponorogo. ISID

Azra, Azyumardi, 1999, Pendidikan Islam ( Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru ), Logos, Jakarta.

Creswell, J. W. 2010, Reseach Design, Pendekatan kualitatif, kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Cohen, 1977, Statistical Power Analysis for the Behavioral Science. New York: Academic Press.


(3)

Djuju Sudjana. 1992. Metodologi Penelitian Pendidikan, Materi Pokok Perkuliahan PPS UPI Bandung.

Depdiknas, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka. Depdiknas, 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Balai Pustaka.

Direktorat Pendidikan Madrasah. 2007. Kurikulum Madrasah Tsanawiyah Model Pembelajaran. Jakarta. Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Djahiri, Kosasih. 1996. Menelusuri Dunia Afektif Pendidikan Nilai dan Moral. Bandung. Lab. Pengajaran PMP IKIP Bandung.

Elmubarok, Zaim, 2008, Membumikan Pendidikan Nilai, Bandung, Alfabeta. George. R. Knight di terjemahkan oleh Mahmud Arif. 2007, Filsafat Pendidikan.

Yogyakarta. Gama Media.

George Boeree, C. 2008. Psikologi Sosial. Yogyakarta: Prismasophie.

Hamzah Ya’qub, 1991. Etika Islam Pembinaan Akhlakul Karimah (suatu pengantar), Bandung, Diponegoro.

Http:Lib.uin-malang.ac.id, 2011

Junaedi, 2009, Pembinaan Akhlak Remaja di Keluarga. Tesis.

Jhoni, 2010, Pengembangan sopan santun dan keterampilan melakukan geral shalat. Melalui metode Role Playing pada anak usia dini. Thesis

K, Kaswardi. 2000. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Majid, Abdul, 2010, Pendidikan Karakter Dalam Persepektif Islam, Bandung, Insan Cita Utama.

Magnis – Suseno, 1992. Filsafat dari Konteks. Jakarta, Gramedia.

Megawangi, Ratna, 2004. Pendidikan Karakter, Jakarta, Indonesia Heritage Foundation.

Mulyana, R, 2000. Pendidikan Nilai, Bandung Alfabeta.


(4)

Munasir, 2010. Model Pendidikan Akhlak Bagi Anak dalam keluarga Kyai (Studi Kasus pada tiga keluarga Kyai di Desa Rancahilir Kec. Pamanukan Subang), Tesis.

M. Soelaeman, 1994, Pendidikan dalam keluarga, Bandung, CV Al Fabeta. Moleong, Lexy J.1991, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosdakarya McMillan, James H. & Schumacher. 1984, Research in Education: A Conceptual

Introduction. Boston , Little. Brown & Co.

Nata, A, 2011, Akhlak Tasawuf. Jakarta, PT Raja Grafindo Persada.

Nasution S, 1988, Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif, Bandung, Tarsito. Nawawi, H. Dan Martini, M. 1994. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press.

Poerwadarminta. 1984. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. Pemerintah RI, 2005. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan

Dosen.

Pribadi, S. 1971, In search of Formulation of The General Aim of Education. Bandung, LPPD.

Ramayulis. 1996. Metodologi Pengajaran Agama. Padang. Kalam Mulia Republika, 2010, 1 Oktober.

Rustantiningsih. 2008. Dampak Perilaku Religius Dalam Pembentukan Etika Siswa. [Online]. Tersedia: http://re-searchengines.com/ rustanti0708.html. Akses: Tanggal 03 Desember 2008.

Ruswandi, Uus. 2000. Pembinaan Akhlak Remaja. (Studi Kasus Pada Remaja Penderita Kecanduan Obat Bius di Pesantren Suryalaya Tasikmalaya. Thesis.

Sa’aduddin, Imam Abdul Mukmin, 2006, Meneladani Akhlak Nabi; Membangun Kepribadian Muslim, Terj. Dadang Sobar Ali. Bandung. Rosdakarya. Sumaatmadja, Nursid, 1998, Manusia Dalam Konteks Sosial, Budaya dan

Lingkungan Hidup, Bandung, Alfabeta.

Sukmadinata, 2009. Landasan Psikologi Proses Pendidikan, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.


(5)

Syaodih Sukmadinata, N. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Syarifah, 1995. Pembinaan Akhlak Remaja di Lingkungan Keluarga. Thesis Sauri, S. 2011, Filsafat dan Teosofat Akhlak, Bandung : Rizqi Press. ... 2006, Pendidikan Berbaha Santun, Bandung, PT Genesindo.

Setyadarmodjo, S. 2008. Strong Sociaty, Analisa Dasar Tentang Politik, Public Relations, dan Budaya. Jakarta: Prestasi Pustaka Publesher.

Syaodih, N. 2005, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung, Rosdakarya. Soetofo, Soemanto. 1986. Sosiologi Keluarga. Jakarta Aneka Cipta.

Sumatmadja, Nursid, 1997. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya dan Lingkungan Hidup. Bandung, Alfabeta.

Sumantri, Endang. 2009, Makalah Pendidikan Umum, UPI.

Supriadi, Dedi. 1999, Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta, Adicita Karya Nusa.

Soelaeman, I. 1998, Sebuah Telaah Tentang Manusia-Religi-Pendidikan. Jakarta: Departemen P & K., Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Soekanto, Soerjono. 1991. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press. Cet ke 14.

Syahidin, 2004, Kajian Pedagogis Mata Kuliyah Berkehidupan Bermasyarakat. ISBN di perguruan Tinggi. Bandung: Kopertis Wilayah IV Jabar.

Syam, M Nur, dkk, 1988, Pengantar Dasar-dasar Pendidikan, Malang, Usaha Nasional.

Sugiono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif. R&D. Bandung. Alfabeta.

... 2012. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif. R&D. Bandung. Alfabeta.

Sukmadinata, M.I, 2005, Metodologi Penelitian Pendidikan. Bandung, PT Remaja Rosdakarya.


(6)

Sukmadinata, 2009. Landasan Psikoloi Proses Pendidikan. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya.

Tafsir, Ahmad, 1992, Ilmu Pendidikan dalam perpektif Islam, Bandung, Remaja, Rosda Karya.

---, 2009, Pendidikan Budi Pekerti, Bandung, Maestro.

Tilaar, H.A.R, 2000. Pendidikan, Kebudayaan, Masyarakat Madani Indonesia. Bandung Rosdakarya.

Undang-Undang Tentang Sistem Pendidikan Nasional, 2003. Surabaya, Karina. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wismaningsih, Nitya dkk dalam Mimbar Pendidikan, 2001, No 4 tahun XX,

Bandung, Universitas press UPI.

Yusuf, S.L.N, 2000, Psikologi Anak dan Remaja. Bandung PT. Rosdakarya. Yunus, Mahmud, 1985. Tarbiyah Wa Ta’lim. Ponorogo. Darussalam Press.

Zain, Badudu, 1994, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.

Zainudin, Ali, 1994, Anak dan Lingkungan Menurut Pandangan Islam, Andes Utama Prima.

Zuhairini, dkk, 1985. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Diterbitkan atas kerjasama Penerbit Bumi Aksara dengan Derektorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPARTEMEN AGAMA.