Hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja di SMP Kristen Harapan 1 Denpasar.

(1)

HUBUNGAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN KENAKALAN REMAJA DI SMPK HARAPAN I DENPASAR

Adisti Wastu Kirana Lembut ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja. Variabel self regulated learning terdiri dari tiga aspek, yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku. Sedangkan kenakalan remaja terdiri dari dua golongan, yaitu kenakalan yang tidak melanggar hukum dan kenakalan yang dianggap melanggar hukum. Subjek penelitian ini berjumlah 240 orang siswa/siswi dengan menggunakan metode pengambilan sampel teknik convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala regulasi diri dan skala kenakalan remaja yang dikembangkan oleh peneliti. Skala self regulated learning ini terdiri dari 25 item dengan nilai reliabilitas alpha berstrata sebesar 0,828 (αs = 0,828), skala kenakalan remaja terdiri dari

24 item dengan nilai reliabilitas berstrata sebesar 0,853 (αs = 0,853). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik Spearman Rho. Hasil uji hipotesis hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja diperoleh nilai signifikansi sebesar -0,302 (p < 0,05). Hasil ini menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self regulated learning dengan kenakalan remaja.


(2)

THE RELATION OF SELF REGULATED LEARNING WITH

JUVENILE DELINQUENCY IN HOPE JUNIOR HIGH SCHOOL DENPASAR Adisti Wastu Kirana Lembut

ABSTRACT

The purpose of this study was to understand the relation of self regulated learning with juvenile delinquency. Self regulated learning has three aspects: metacognitive, motivation, and behavior. While the juvenile delinquency consist of two categories: illegal deliquency and non illegal deliquency. The subject of this study were 240 students, selected using convenience sampling. Data collection was carried out by using the self regulated learning and juvenile delinquency scales developed by researchers. The scale of self regulated learning consisted of 25 items

with the reliability of alpha 0,828 (αs = 0,828), juvenile delinquency scale consisted of 24 item with reliability of

alpha 0,853 (αs = 0,853). The research is quantitative research, spearman rho. The results of the hypothesis relations of self regulated learning with juvenile delinquency obtained value significance of -0,302 (p < 0,05). The results showed significant corelation between self regulated learning with juvenile delinquency.


(3)

HUBUNGAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN

KENAKALAN REMAJA

DI SMP KRISTEN HARAPAN 1 DENPASAR

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

Adisti Wastu Kirana Lembut 119114038

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iii

HALAMAN MOTTO

“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu;

carilah, maka kamu akan mendapat; ketolah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima

dan setiap orang yang mencari, mendapat

dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.”

(Matius 7:7-8)

“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah

dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Filipi 4:6)


(7)

iv Skripsi ini saya persembahkan untuk

Yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus

Kedua orangtua yang kusayang, ibu dan bapak Para sahabat


(8)

v

Pernyataan Keaslian Karya

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 5 Desember 2016 Penulis,


(9)

vi

HUBUNGAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN KENAKALAN REMAJA

DI SMPK HARAPAN I DENPASAR Adisti Wastu Kirana Lembut

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja. Variabel self regulated learning terdiri dari tiga aspek, yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku. Sedangkan kenakalan remaja terdiri dari dua golongan, yaitu kenakalan yang tidak melanggar hukum dan kenakalan yang dianggap melanggar hukum. Subjek penelitian ini berjumlah 240 orang siswa/siswi dengan menggunakan metode pengambilan sampel teknik

convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala regulasi diri dan

skala kenakalan remaja yang dikembangkan oleh peneliti. Skala self regulated learning ini terdiri

dari 25 item dengan nilai reliabilitas alpha berstrata sebesar 0,828 (αs = 0,828), skala kenakalan

remaja terdiri dari 24 item dengan nilai reliabilitas berstrata sebesar 0,853 (αs = 0,853). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik Spearman Rho. Hasil uji hipotesis hubungan

self regulated learning dengan kenakalan remaja diperoleh nilai signifikansi sebesar -0,302 (p <

0,05). Hasil ini menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self regulated

learning dengan kenakalan remaja.


(10)

vii

THE RELATION OF SELF REGULATED LEARNING WITH JUVENILE DELINQUENCY IN HOPE JUNIOR HIGH SCHOOL

DENPASAR

Adisti Wastu Kirana Lembut ABSTRACT

The purpose of this study was to understand the relation of self regulated learning with juvenile delinquency. Self regulated learning has three aspects: metacognitive, motivation, and behavior. While the juvenile delinquency consist of two categories: illegal deliquency and non illegal deliquency. The subject of this study were 240 students, selected using convenience sampling. Data collection was carried out by using the self regulated learning and juvenile delinquency scales developed by researchers. The scale of self regulated learning consisted of 25

items with the reliability of alpha 0,828 (αs = 0,828), juvenile delinquency scale consisted of 24

item with reliability of alpha 0,853 (αs = 0,853). The research is quantitative research, spearman rho. The results of the hypothesis relations of self regulated learning with juvenile delinquency obtained value significance of -0,302 (p < 0,05). The results showed significant corelation between self regulated learning with juvenile delinquency.


(11)

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma

Nama : Adisti Wastu Kirana Lembut NIM : 119114038

Demi membangun ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya yang berjudul:

“HUBUNGAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN

KENAKALAN REMAJA DI SMP KRISTEN I DENPASAR”

Berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 5 Desember 2016 Yang menyatakan,


(12)

ix

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan membimbing dalam setiap proses pembuatan skripsi, sehingga sejak awal dapat berjalan dengan baik dan pada akhirnya dapat terselesaikan dengan baik. Meskipun tidak dipungkiri bahwa banyak hambatan dan kesulitan yang dialami oleh penulis selama proses pembuatan skripsi. Salah satu tujuan dan penulisan skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.).

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang terlibat. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

1. Bapak Dr. T. Priyono Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Bapak Prof. A. Supratiknya., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu memberi masukan dan wejangan ketika pertemuan bimbingan KRS setiap awal semester.

4. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, M.Si., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu membimbing dan memberikan semangat dalam proses penulisan skripsi.


(13)

x

5. Bapak Robertus Landung Eko Prihatmoko, M.Psi., selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang selalu membimbing, memberi semangat, memberi saran serta solusi ketika penulis mengalami hambatan dalam penulisan skripsi.

6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah mengajarkan dan memberikan ilmu serta pengalaman selama proses perkuliahan, sehingga penulis dapat menerapkan ilmu-ilmu tersebut dalam penulisan skripsi ini.

7. Segenap karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, dan Pak Gi) yang telah melayani, memberikan berbagai informasi dan membantu proses administrasi selama proses perkuliahan hingga penyelesaian skripsi.

8. Ibu Yuli Arsini S.Pd., selaku kepala sekolah SMP Kristen I Harapan Denpasar yang telah memberikan izin dan informasi untuk melakukan penelitian sejak observasi hingga pengambilan data melalui kuisioner. 9. Teman-teman yang menjadi responden penelitian.

10. Keluarga tersayang; Ibu Ratih Purnawati, Bapak I Ketut Sudana Astawa Lembut, dan Adik Ni Made Dinda Wastu Diyana Lembut yang selalu setia mendoakan, memberikan nasihat, dan dukungan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

11. Keluarga besar Sibret Lembut dan keluarga besar Soekidjo Digdowiratmo yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan bagi penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.


(14)

xi

12. Saudara Kenny Sundoro Rahardjo yang selalu mendoakan, memberikan dukungan dan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

13. Sahabat yang telah memberikan dukungan dan semangat: Putri Bunga, Lia Erosvita, Maria Angelicha dan Tommy.

14. Sahabat yang selalu setia untuk menjadi teman berbagi dalam proses pembuatan skripsi, berbagi suka dan duka sehingga penulis selalu mampu untuk kuat dan tegar dalam menyelesaikan skripsi: Akwila, Mira Toby dan Arinda.

15. Seluruh teman-teman angkatan 2011 yang telah berjuang bersama, selalu mampu menguatkan satu sama lain selama masa kuliah aktif hingga masa penyelesaian skripsi.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi banyak pihak. Selain itu, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bahi pengembangan wawasan dan ilmu pengetahuan.


(15)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN MOTTO ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ...xvi

DAFTAR LAMPIRAN ...xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Manfaat Teoritis ... 7


(16)

xiii

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Remaja ... 9

1. Pengertian ... 9

2. Batasan Usia ... 10

3. Perkembangan Kognitif Remaja ... 10

4. Perkembangan Sosial dan Emosional Remaja ... 14

5. Tugas Perkembangan Remaja ... 20

B. Kenakalan Remaja ... 21

1. Pengertian ... 21

2. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... 22

3. Bentuk Kenakalan Remaja ... 32

C. Self Regulated Learning ... 36

1. Pengertian ... 36

2. Proses Self Regulated Learning ... 36

3. Aspek-aspek Self Regulated Learning ... 39

4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Self Regulated Learning ... 41

D. Dinamika Hubungan Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja……… ... 44

E. Hipotesis ... 48

F. Kerangka Berpikir ... 49

BAB III METODE PENELITIAN... 50

A. Jenis Penelitian... 50


(17)

xiv

C. Definisi Operasional ... 50

1. Self Regulated Learning ... 50

2. Kenakalan Remaja ... 51

D. Subjek Penelitian ... 51

E. Metode dan Alat Pengambilan Data ... 52

F. Uji Coba Alat Ukur ... 54

G. Validitas dan Reliabilitas ... 54

1. Validitas ... 54

2. Seleksi Item ... 55

3. Uji Reliabilitas ... 58

H. Metode Analisis Data ... 59

1. Uji Asumsi ... 59

1.1 Uji Normalitas ... 59

1.2 Uji Linearitas ... 59

2. Uji Hipotesis ... 60

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61

A. Pelaksanaan Penelitian ... 61

B. Deskripsi Subjek ... 61

C. Deskripsi Data Penelitian ... 61

D. Analisis Data Penelitian ... 63

1. Uji Asumsi ... 63

a. Uji Normalitas ... 63


(18)

xv

2. Uji Hipotesis ... 65

E. Pembahasan ... 66

BAB V KESIMPULAN ... 71

A. Kesimpulan ... 71

B. Keterbatasan Penelitian ... 71

C. Saran ... 72

1. Bagi Pihak Sekolah ... 72

2. Bagi Subjek Penelitian ... 72

3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 73


(19)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor Jawaban ... 52

Tabel 2 Proporsi Self Regulated Learning Sebelum Uji Coba ... 53

Tabel 3 Proporsi Kenakalan Remaja Sebelum Uji Coba ... 54

Tabel 4 Proporsi Self Regulated Learning Setelah Uji Coba ... 57

Tabel 5 Proporsi Kenakalan Remaja Setelah Uji Coba ... 58

Tabel 6 Identitas Subjek ... 61

Tabel 7 Data Penelitian... 62

Tabel 8 Hasil Uji Normalitas ... 63

Tabel 9 Uji Linearitas Data Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja ... 64

Tabel 10 Kriteria Koefiensi Kolerasi... 65


(20)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Reliabilitas dan Seleksi Item ... 78

Lampiran 2 Skala Final ... 84

Lampiran 3 Hasil Uji Beda Mean (Uji-t) ... 92

Lampiran 4 Hasil Uji Normalitas ... 94

Lampiran 5 Hasil Uji Linearitas... 96

Lampiran 6 Uji Hipotesis ... 98

Lampiran 7 Blueprint Rancangan Item Skala Regulasi Diri... 100

Lampiran 8 Blueprint Rancangan Item Skala Kenakalan Remaja ... 104

Lampiran 9 Blueprint Skala Regulasi Diri ... 107


(21)

(22)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Fase remaja adalah fase perantara dari anak-anak menuju dewasa. Santrock (2003) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Fase remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Pada fase remaja, biasanya seorang anak akan mengalami suatu perubahan. Perubahan tersebut bukan hanya dari fisik namun juga dari psikologisnya. Pada masa transisi ini kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya kenakalan pada remaja.

Menurut Santrock (2003) kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. Masalah kenakalan remaja bukan suatu yang timbul dalam lingkup yang kecil, tetapi hampir terjadi baik di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Ujung Pandang, tidak sedikit remaja yang melakukan tindakan yang melanggar norma-norma sosial. Mereka tidak mau mengikuti aturan. Melanggar aturan justru merupakan kebanggaan tersendiri diantara kelompoknya (Dariyo, 2004).


(23)

Berdasarkan data dari Mabes Polri dalam penyajian data informasi Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia pada tahun 2009, tingkat gangguan keamanan dan ketertiban nasional (Kamtibnas) pelaku kecelakaan lalu lintas (Laka Lantas) berdasarkan laporan dari Mabes Polri tahun 2008 memperlihatkan tingkat yang cukup memprihatinkan, yaitu pelaku Laka Lantas profesi mahasiswa/pelajar menduduki peringkat ke dua dengan jumlah pelaku sebesar 12.298 kejadian di bawah urutan profesi lain-lain sebesar 37.764 kejadian. Begitu pula dengan kenakalan remaja yang terjadi di Indonesia tercatat kenakalan remaja tertinggi tercatat di Provinsi Jawa Barat sebesar 10 kejadian diikuti Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara masing-masing sebesar 9 dan 4 kejadian. Selain itu gambaran pelaku kriminalitas tahun 2008 ditandai kekhawatiran dengan meningkatnya jumlah pelaku tindak kriminalitas yang masih berusia anak-anak dan remaja. Terungkap pada tahun 2008 berdasarkan laporan Polri secara keseluruhan, jumlah anak-anak dan remaja pelaku tindak kriminalitas sebanyak 3.280 orang, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.797 orang dan perempuan sebanyak 483 orang, meningkat sebesar 4,3 persen dibandingkan tahun 2007 yang sebesar 3.145 orang.

Kenakalan remaja mulai menjelma menjadi satu tindakan kriminal. Seperti yang terjadi di Jakarta seorang anak berusia 15 tahun kedapatan membawa parang saat hendak tawuran (Muchlisa Choiriah, 2016). Selain itu kenakalan juga terjadi di Bandung. Seperti penuturan Kapolrestabes Bandung, Kombes Angesta Romano Yoyol tingkat konsumsi minuman keras


(24)

di wilayahnya mengkhawatirkan. Sebab, dia kerap menemukan banyak anak-anak menjadi peminum miras hingga mabuk, dan berkeliaran di jalanan pada akhir pekan (Aryo Putranto Saptohutomo & Andrian Salam Wiyono, 2015).

Bali pun tak luput dari perilaku nakal remaja. Sebuah video perkelahian dua gadis yang diunggah di media sosial Facebook membuat heboh netizen (pengguna internet) hingga menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat (NIV & REZ, 2016). Setelah itu berselang sehari pasca video dua gadis Bali berkelahi yang menjadi viral di media sosial Facebook, muncul lagi video serupa yang diduga dilakukan oleh pelajar di Kota Denpasar. Adalah video perkelahian berujung pengeroyokan oleh sejumlah pelajar pria mengenakan seragam SMA terhadap seorang pelajar yang mengenakan seragam serba putih (NVI & REZ, 2016).

Kenakalan remaja juga terjadi di Sekolah SMP Kristen 1 Harapan Denpasar. Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap pihak sekolah pada tanggal 10 hingga 15 Agustus 2015, peneliti mendapati bahwa ada cukup banyak siswa yang datang terlambat ke sekolah, membolos pada saat jam pelajaran berlangsung, dan tidak pekerjaan rumah (PR). Hasil wawancara dengan pihak sekolah, beberapa siswa yang datang terlambat sebagian mengaku disebabkan karena jalan macet, sebagian lagi disebabkan karena orangtua terlambat mengantar mereka ke sekolah. Sedangkan siswa yang kedapatan membolos pada saat jam pelajaran berlangsung disebabkan karena mereka merasa bosan dan jenuh berada di kelas, biasanya mereka pergi ke kantin untuk menghilangkan rasa bosan dan jenuhnya. Siswa juga


(25)

seringkali tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dengan berbagai alasan, seperti lupa, soal terlalu sulit, dan memang malas mengerjakannya. Pihak sekolah merasa jika para siswa kurang memiliki rasa tanggungjawab terhadap tugas yang diberikan. Sebenarnya pihak sekolah sudah memiliki peraturan yang harus ditaati oleh siswa, namun terkadang siswa mengabaikannya.

Pihak sekolah sudah melakukan tindakan untuk mengendalikan masalah ini. Tindakan yang dilakukan oleh sekolah ialah memanggil dan menegur siswa yang melakukan pelanggaran, menghukum siswa dengan membersihkan toilet sekolah, memasang cctv dibeberapa sudut sekolah untuk memantau kegiatan siswa, bahkan hingga memanggil orangtua siswa untuk mengadakan pertemuan membahas kenakalan siswa, namun tidak semua orangtua bersedia datang ke sekolah.

Jensen (dalam Sarwono, 2005) mengkategorikan kenakalan remaja ke dalam empat kategori, yaitu kenakalan remaja yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan dan lain-lain; kenakalan remaja yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain; kenakalan remaja sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak lain, seperti pelacuran dan penyalahgunaan obat; kenakalan remaja yang melawan status misalnya mengingkari status sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orangtua dengan cara minggat dari rumah. Berdasarkan empat kategori kenakalan remaja yang ada, maka diduga kenakalan remaja yang dilakukan oleh siswa SMP Kristen Harapan 1 Denpasar termasuk


(26)

kenakalan remaja yang melawan status, yaitu datang terlambat ke sekolah, membolos pada saat jam pelajaran berlangsung, dan tidak pekerjaan rumah (PR).

Perilaku ketidakdisiplinan siswa di sekolah juga menjadi salah satu bentuk kenakalan pada remaja yang melawan status. Hal ini sejalan dengan penelitian Sutrisno (2009) yang mengatakan bahwa remaja kebanyakan berperilaku sebagai siswa yang tidak disiplin. Hal ini ditunjukan oleh perilaku remaja sehari-hari di sekolah, seperti membolos, datang terlambat, melalaikan tugas, catatan tidak lengkap, tidak berseragam lengkap, malas mengikuti pelajaran, acuh tak acuh pada jam pelajaran, merokok, tidak sopan, mempengaruhi teman untuk melanggar disiplin, nongkrong di kantin.

Ketika remaja tidak disiplin, maka ia membutuhkan strategi belajar. Salah satu strategi belajar yang diperlukan oleh remaja adalah self regulated learning (SRL). Self regulated learning dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi, metakognisi, dan motivasi. Straregi kognisi meliputi usaha mengingat kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi mengorganisir materi. Strategi metakognisi meliputi merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi nilai belajar sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan (Chin, 2004 dalam Kristiyani, 2016).


(27)

Remaja yang tidak mampu mengembangkan self regulated learning dengan baik memiliki kecenderungan melakukan kenakalan. Hal ini berdasarkan pada hasil observasi dan wawancara, di mana beberapa siswa datang terlambat. Datang terlambat merupakan salah satu bentuk self regulated learning yang rendah, terutama dalam strategi metakognisi. Strategi metakognisi yang rendah dalam hal memonitor. Oleh karena hal tersebut,

maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka diperoleh rumusan permasalahan, di antaranya mengenai “bagaimana hubungan self regulated learning terhadap kenakalan remaja”. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut maka peneliti ingin melakukan

penelitian dengan mengambil judul “Hubungan Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja di SMP Kristen Harapan I Denpasar”.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja.


(28)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh hasil dan memberikan manfaat antara lain:

1. Manfaat Teoretis

Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan self regulated learning dan kenakalan remaja di sekolah. Khusunya bagi psikologi perkembangan dan psikologi sosial agar dapat lebih memahami bagaimana hubungan self regulated learning terhadap kenakalan remaja. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan ilmu psikologi.

2. Manfaat Praktis a. Bagi remaja

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai bagaimana self regulated learning yang baik, sehingga dapat mengurangi perilaku kenakalan.

b. Bagi sekolah

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan mendapatkan informasi tentang self regulated learning pada remaja, sehingga dapat menekan perilaku kenakalan pada remaja di sekolah. c. Bagi peneliti lain

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan atau data awal untuk melakukan penelitian selanjutnya khususnya mengenai


(29)

kenakalan remaja, baik menggunakan variabel-variabel lain ataupun menyempurnakan kekurangan yang terdapat pada penelitian ini.


(30)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Pengertian

Santrock & Adelar (2003) mengatakan bahwa remaja (adolescence) dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencangkup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Fase remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Pada fase remaja, biasanya seorang anak akan mengalami suatu perubahan. Perubahan tersebut bukan hanya dari fisik namun juga dari psikologisnya. Berk (2007) mengatakan bahwa masa remaja adalah periode transisi antara masa kanak-kanak dan dewasa. Para teoretikus awal memandang masa remaja sebagai periode kekacauan dan ketertekanan biologis atau sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan sosial.

Perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ditandai oleh periode transisional panjang yang dikenal dengan masa remaja. Masa remaja secara umum dianggap dimulai dengan pubertas, proses yang mengarah kepada kematangan seksual. Masa remaja dimulai pada usia 11 atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia dua puluhan, dan masa tersebut membawa perubahan besar saling betautan dalam semua ranah perkembangan (Papalia, 2008).


(31)

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja ialah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa.

2. Batasan Usia

Menurut Santrock (2003) fase remaja dimulai sekitar usia 10 tahun hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Ia juga membagi fase remaja menjadi dua, yaitu masa remaja awal menunjuk kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencangkup kebanyakan perubahan pubertas, dan masa remaja akhir menunjuk kira-kira setelah usia 15 tahun.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa batasan usia remaja ialah mereka yang berusia 10 tahun hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil batasan usia remaja dari usia 11 hingga 15 tahun.

3. Perkembangan Kognitif Remaja

Menurut Piaget (dalam Berk, 2007) di sekitar usia 11 tahun remaja memasuki tahap operasional formal, sebuah tahap di mana mereka mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, sistematis, dan ilmiah. Papalia (2008) mengatakan bahwa perkembangan ini memberikan cara baru yang lebih fleksibel kepada mereka untuk mengolah informasi. Mereka dapat menggunakan simbol untuk menyimbol, mereka dapat menghargai lebih baik metafora dan alegori sehingga bisa menemukan


(32)

makna yang lebih dalam. Mereka dapat berpikir dalam rangka apa yang mungkin akan terjadi, bukan hanya apa yang terjadi. Mereka dapat membayangkan kemungkinan dan dapat meyusun dan menguji hipotesis. Selain itu, mereka juga dapat mengintegerasikan apa yang telah mereka pelajari dengan tantangan di masa mendatang dan membuat rencana untuk masa datang.

Piaget (dalam Berk, 2007) percaya bahwa di masa remaja, anak muda pertama-tama mampu melakukan penalaran hipotetis-deduktif. Ketika dihadapkan pada masalah, mereka mulai membuat hipotesis atau prediksi tentang variabel-variabel yang mungkin mempengaruhi sebuah hasil yang kemudian menjadi dasar mereka menarik kesimpulan logis dan teruji. Selanjutnya, mereka secara sistematis akan memisahkan dan menggabungkan variabel-variabel untuk melihat kesimpulan.

Perkembangan kognitif remaja ditandai dengan pemikirannya yang lebih abstrak, idealistis, dan logis daripada saat masih anak-anak. Piaget meyakini munculnya suatu bentuk egosentrisme baru di mana remaja sulit membedakan antara perspektif sendiri dan perspektif orang lain. Piaget mengatakan bahwa di sini muncul dua citra keliru tentang hubungan antara diri dan orang lain (Berk, 2007). Egosentrisme remaja menggambarkan meningkatnya kesadaran diri remaja yang terwujud pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar, sebesar perhatian mereka terhadap diri mereka dan terhadap perasaan akan keunikan pribadi mereka (Santrock, 2003).


(33)

David Elkind, 1978 (dalam Santrock, 2003) yakin bahwa egosentrisme remaja dapat dibagi mejadi atas dua jenis berpikir sosial, yaitu penonton imajiner (imaginary audience) dan dongeng pribadi (personal fable). Penonton imajiner menggambarkan peningkatan kesadaran remaja yang tampil pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian yang amat besar terhadap diri mereka, sebesar perhatian mereka sendiri. Gejala penonton imajiner mencakup berbagai perilaku untuk mendapatkan perhatian, keinginan agar kehadirannya diperhatikan, disadari oleh orang lain, dan menjadi pusat perhatian.

Remaja ingin menghindari perilaku yang “salah” di mata orang lain,

terutama teman-temannya. Sehingga membuat mereka berperilaku berlebihan agar diterima oleh teman-temannya baik cara berbicara, berpakaian, dan berperilaku. Apabila remaja berada di tempat yang

“salah”, memiliki teman kelompok yang “nakal” maka ia cenderung

berbuat sesuai dengan ideologi kelompoknya tersebut tanpa merasa bahwa ia akan mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya sendiri. Dongeng pribadi memunculkan adanya anggapan kalau dirinya mempunyai kebebalan terhadap hal-hal yang bersifat negatif dan cenderung merugikan. Sedangkan dongeng pribadi adalah bagian egosentrisme remaja berkenaan dengan perasaan keunikan pribadi yang dimilikinya. Bahwa segala peristiwa, kejadian atau pengalaman buruk mungkin terjadi pada orang lain, tetapi hal itu tidak mungkin terjadi pada dirinya.


(34)

Remaja menjalankan tugas-tugas kognitif secara lebih efektif daripada sebelumnya. Akan tetapi dalam pengambilan keputusan sehari-hari, mereka kerap kali berpikir tidak rasional. Remaja tidak mengidentifikasi pro dan kontra mengenai setiap alternatif, menilai kemungkinan berbagi hasil, mengevalusai pilihan mereka berdasarkan pertimbangan apakah tujuan mereka terpenuhi dan jika tidak, belajar dari kesalahan dan mengambil keputusan yang lebih baik di masa depan (Berk, 2007). Selain itu, Jacobs & Klaczynski (2002, dalam Berk, 2007) mengemukakan bahwa dalam mengambil keputusan, remaja lebih sering daripada orang dewasa (yang juga mengalami kesulitan) beralih pada putusan intuitif. Hal itu dikarenakan dalam banyak jenis pengalaman, mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk memprediksi hasil-hasil yang mungkin muncul. Mereka juga menghadapi banyak situasi kompleks yang melibatkan tujuan-tujuan yang saling bersaing. Di samping itu, remaja jugaa sering merasa kewalahan ketika dihadapkan dengan banyak sekali pilihan.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja akan mengalami perkembangan kognitif, yaitu muncul suatu bentuk egosentrisme baru di mana remaja sulit membedakan antara perspektif sendiri dan perspektif orang lain. Elkind membagi menjadi dua jenis berpikir sosial, yaitu penonton imajiner (imaginary audience) dan dongeng pribadi (personal fable). Dalam hal ini remaja memiliki kencederungan untuk ingin diperhatikan oleh orang lain dan menjadi


(35)

pusat perhatian. Selain itu, remaja juga memiliki anggapan kalau dirinya mempunyai kekebalan terhadap hal-hal yang bersifat negatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil teori Elkind.

4. Perkembangan Sosial dan Emosional Remaja

Masa remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko. Para remaja berada diantara kehidupan cinta, pekerjaan, dan partisipasi dalam masyarakat dewasa. Belum lagi masa remaja adalah masa di mana para remaja terlibat dalam perilaku yang penyempitan pandangan dan membatasi pilihan mereka. Pencarian identitas sebagai konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan yang dipegang teguh oleh seorang remaja (Papalia, 2008).

Menurut Erikson (1968, dalam Papalia, 2008) tugas utama masa remaja adalah memecahkan “krisis” identitas versus kebingungan identitas, untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman akan diri yang utuh dan memahami peran nilai dalam masyarakat. Kroger (1993, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa remaja tidak membentuk identitas mereka dengan meniru orang lain, sebagaimana yang dilakukan anak yang lebih muda, tetapi dengan memodifikasi dan menyintensis identifikasi lebih awal ke dalam struktur psikologi baru yang lebih besar. Remaja juga dapat menunjukkan kebingungan dengan mundur ke masa kanak-kanak untuk menghindari pemecahan konflik atau dengan


(36)

melibatkan diri mereka secara impulsif ke dalam serangkaian tindakan buruk.

Erikson (1982, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa remaja yang berhasil mengatasi krisis tersebut dengan memuaskan

mengembangkan “moral” kesetiaan: mempertahankan loyalitas,

keyakinan atau perasaan dimiliki oleh yang tercinta atau kepada teman. Kesetiaan dapat berarti identifikasi serangkaian nilai, ideologi, agama, gerakan politik, pencarian kreatif, atau kelompok. Indentifikasi diri muncul ketika anak muda lebih memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekedar mengikuti pilihan orang tuanya. Kesetiaan merupakan perpanjangan dari rasa percaya (trust). Pada masa bayi, mempercayai orangtua merupakan hal yang penting untuk menekan ketidakpercayaan, pada masa remaja merupakan hal yang penting untuk mempercayai diri sendiri.

Fuligni, Eccles, Barber, & Clement (2001, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa ketika remaja mendapatkan otonomi dan mengembangkan hubungan keluarga yang lebih dewasa, para remaja terus merujuk orangtua mereka demi kenyamanan, dukungan, dan saran. Laursen, Coy, & Collins (1998, dalam Papalia, 2008) mengemukakan bahwa konflik keluarga paling sering terjadi pada awal masa remaja ketika emosi negatif mencapai puncaknya akan tetapi konflik semakin intens pada pertengahan masa remaja.


(37)

Fuligni & Eccles (1993, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa gaya pengasuhan yang sangat ketat dan otoriter mungkin tidak lagi sesuai ketika anak memasuki masa remaja dan ingin diperlakukan lebih dewasa. Ketika orangtua tidak menyesuaikan diri, seorang remaja mungkin menolak pengaruh orangtua dan mencari dukungan serta persetujuan teman sebaya, apapun risikonya.

Orangtua otoritatif akan bersikap tegas terhadap nilai penting peraturan, norma, dan nilai tetapi bersedia mendengar, menjelaskan dan bernegoisasi (Lamborn, Mounts, Steinberg, & Dornbusch, 1991, dalam Papalia, 2008). Mereka melatih kontrol yang tepat terhadap perilaku anak tetapi tidak mengatur pemahaman eksistensi diri sang anak (Steinberg & Darling, 1994, dalam Papalia, 2008). Orangtua yang menunjukan ketidaksetujuan kesalahan perilaku remaja akan lebih efektif memotivasi mereka untuk berperilaku yang benar ketimbang orangtua yang menghukum mereka dengan kejam (Krevans & Gibbs, 1996, dalam Papalia, 2008).

Sekolah menawarkan peluang untuk belajar informasi, menguasai keterampilan baru, dan menajamkan keterampilan yang sudah ada, berpartisipasi dalam olahraga, seni dan aktivitas lain, mengeksporasi pilihan pekerjaan, dan tempat berkumpul bersama teman. Sekolah juga meluaskan horison intelektual dan sosial. Walaupun demikian, sebagian remaja merasakan sekolah bukan sebagai peluang tetapi sebagai rintangan di jalan menuju masa dewasa (Papalia, 2008). Linney &


(38)

Seidman (1989, dalam Papalia, 2008) mengungkapkan bahwa kualitas sekolah sangat mempengaruhi prestasi sekolah siswa. Sekolah yang bagus memiliki atmosfer yang teratur dan tidak oppressive; kepala sekolah yang aktif dan energik; dan guru yang berpatisipasi dalam pengambilan keputusan.

Remaja yang melewati perubangan fisik yang cepat mendapatkan kenyamanan dengan bersama orang lain yang juga sedang melewati perubahan yang sama. Penentangan remaja terhadap standar orang dewasa dan otoritas orangtua menguatkankannya untuk merujuk pada masukan dari teman yang berada di posisi yang sama. Kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, dan panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi dan independensi dari orangtua. Kelompok tersebut merupakan tempat

membentuk hubungan intim yang berfungsi sebagai “latihan” bagi

intimasi orang dewasa (Gecas & Seff, 1990; Buhrmester, 1996; Laursen, 1996, dalam Papalia, 2008).

Pengaruh teman sebaya mencapai puncaknya pada awal masa remaja, biasanya pada usia 12 sampai 13 tahun dan menurun pada masa remaja pertengahan serta akhir. Keterikatan kepada teman sebaya pada masa remaja awal tidak menghasilkan masalah kecuali apabila keterikatan tersebut terlalu kuat sampai si remaja bersedia melanggar aturan rumah, tidak mengerjakan tugas sekolah, dan tidak


(39)

mengembangkan bakatnya sebagai usaha mendapat pengakuan teman sebaya dan popularitas (Fuligni et al., 2001, dalam Papalia, 2008).

Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan baru yang dialami sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis. Namun demikian kadang-kadang orang masih dapat mengontrol keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar dengan perubahan atau tanda-tanda perilaku tersebut. Hal ini berkaitan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (dalam Walgito, 2003) yang dikenal dengan display rules, yaitu masking, modulation, dan simulation. Masking adalah keadaan seseorang yang dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi alaminya. Emosi yang dialaminya tidak tercetus keluar melalui ekspresi tingkah laku. Contoh dari sikap masking tersebut adalah menutupi kesedihan, mengendalikan amarah, tidak menampakkan kebahagiaannya. Modulation adalah orang tidak dapat meredam secara tuntas mengenai gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat menguranginya. Contoh dari sikap modulation adalah bersikap biasa jika keadaan jengkel, bersikap cuek. Simulation adalah orang tidak mengalami emosi, tetapi ia seolah-olah mengalami emosi dengan menampakkan gejala-gejala


(40)

kejasmaniannya. Contoh dari sikap simulation adalah sering memberontak, meledakkan amarahnya, egois, bertindak kasar.

Menurut Gunarsa & Gunarsa (1981) mengatakan bahwa remaja cenderung untuk menggabungkan diri dalam kelompok teman sebaya. Kelompok sosial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi mereka. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkah laku dan melakukan hubungan sosial. Namun, kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi overacting dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak. Pada masa ini, juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, kegemaran, atau keinginan orang lain. Peer group, pembentukan kelompok membuat kelompok-kelompok yang sama dengan karakteristik dirinya ingin menonjolkan kelompok mereka. Keinginan untuk bisa sama dengan yang lain dan bisa diterima oleh suatu kelompok cukup tinggi. Maka, tidak heran jika terkadang remaja akan bersedia melakukan apapun selama ia bisa diterima oleh kelompok tersebut. Karena bagi sebagian orang, mereka yang akan dikucilkan oleh kelompok merupakan hal yang dapat menyebabkan stress, frustasi, dan rasa sedih (Santrock, 2003).


(41)

Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan emosi yang tinggi. Mencapai kematangan emosional merupakan tugas perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Dalam menghadapi ketidanyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja yang mereaksinya secara defensif, sebagai upaya untuk melindungi kelemahan dirinya (Hurlock, 1955).

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya pengasuhan otoritatif baik pada masa remaja. Selain itu, kualitas sekolah juga memperngaruhi prestasi siswa. Pada masa remaja, remaja memiliki kecenderungan untuk menggabungkan diri pada kelompok teman sebayanya. Dalam penelitian ini, peneliti ingin memfokuskan pada remaja memiliki kecenderungan untuk menggabungkan diri pada kelompok teman sebayanya.

5. Tugas Perkembangan Remaja

Menurut Havighurst (dalam Yusuf, 2006), remaja mempunyai tugas perkembangan sebagai berikut:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya, baik pria maupun wanita.


(42)

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa lainnya.

f. Mempersiapkan karier ekonomi.

g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas perkembangan remaja ialah mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial, menerima keadaan fisiknya, mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mandiri secara emosional, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan perkawinan dan keluarga, memperoleh nilai dan sistem etis sebagai pegangan dalam mengembangkan ideologi. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi tugas perkembangan remaja pada mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya, serta mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab.

B. Kenakalan Remaja 1. Pengertian


(43)

M. Gold dan J. Petronio (dalam Sarwono, 2005) mendifinisikan penyimpangan perilaku remaja dalam arti kenakalan anak sebagai tindakan oleh seorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.

Menurut Santrock (2003) kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial (misalnya bersikap berlebihan di sekolah) sampai pelanggaran status (seperti melarikan diri) hingga tindak kriminal (misalnya pencurian).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kenakalan remaja adalah suatu hal yang mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial (misalnya bersikap berlebihan di sekolah) sampai pelanggaran status (seperti melarikan diri) hingga tindak kriminal (misalnya pencurian).

2. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja

Remaja yang melakukan kenakalan pada umumnya kurang memiliki kontrol diri atau justru menyalahgunakan kontrol diri tersebut dan suka menegakan standar tingkah laku sendiri, disamping meremehkan keberadaan orang lain. Kenakalan yang mereka lakukan itu pada umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subjektif, yaitu untuk mencapai satu obyek tertentu dengan disertai kekerasan dan agresi.


(44)

Pada umumnya anak-anak muda tadi sangat egoistis, dan suka sekali menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga dirinya (Kartono, 2007). Berdasarkan penelitian Murtiyani (2011) pola asuh otoriter yang mana orangtua tidak pernah berunding kepada anaknya untuk menentukan peraturan dan orangtua memaksakan peraturan yang dibuatnya untuk anak dapat menjadi salah satu faktor kenakalan remaja. Orangtua menentukan peraturan pada anak dan tidak pernah melihat apakah anak bersedia dan mau mengikuti apa yang telah dibuat oleh orangtua. Hal ini memungkinkan remaja atau anak tidak diberi keempatan untuk bebas bahkan menentang orangtua karena orangtua sangat mengekang remaja atau anak, menyebabkan anak jarang keluar rumah atau jarang berkomunikasi dengan dunia luar sehingga pada kemudian hari anak akan mersa menikmati dunia luar dengan bebas.

Philip Graham (dalam Sarwono, 2005) mendasarkan teorinya pada pengamatan empiris dari sudut kesehatan mental anak dan remaja. Ia membagi faktor-faktor penyebab itu kedalam dua golongan, yaitu:

a. Faktor lingkungan:

1) Malnutrisi (kekurangan gizi). 2) Kemiskinan di kota- kota. 3) Gangguan di kota-kota besar.

4) Migrasi (urbanisasi, pengungsian karena perang, dan lain-lain). 5) Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum, dan


(45)

6) Keluarga yang tercerai-berai (perceraian, perpisahan yang terlalu lama, dan lain-lain).

7) Gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga: i. Kematian orangtua.

ii. Orangtua sakit berat atau cacat.

iii. Hubungan antar keluarga tidak harmonis. iv. Orangtua sakit jiwa.

v. Kesulitan dalam pengasuhan karena pengangguran, kesulitan keuangan, tempat tinggal tidak memenuhi syarat-syarat, dan lain-lain.

b. Faktor pribadi:

1) Faktor bakat yang mempengaruhi temperamen (menjadi pemarah, hiperaktif, dan lain-lain)

2) Cacat tubuh

3) Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri

Santrock (2007) menyebutkan ada beberapa faktor penyebab kenakalan remaja, antara lain:

a. Identitas

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erik Erikson (1968, dalam Santrock, 2007), masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi. Erikson percaya bahwa perubahan biologis berupa pubertas menjadi awal dari perubahan yang terjadi bersamaan dalam harapan sosial yang


(46)

dimiliki keluarga, teman sebaya, dan sekolah terhadap remaja. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja, yaitu pertama terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan kedua tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan, dan gaya yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.

Erikson percaya bahwa kenakalan terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan berbagai aspek-aspek peran identitas. Remaja yang memiliki masa balita, masa kanak-kanak, atau masa remaja yang membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima atau yang membuat mereka merasa bahwa mereka tidak mampu mematuhi aturan yang dibebankan pada mereka mungkin akan memilih perkembangan identitas yang negatif. Oleh karena itu, bagi Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu identitas, walaupun identias tersebut negatif.

b. Kontrol diri

Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Kebanyakan orang muda telah memperlajari perbedaan antara


(47)

tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin sebenarnya mereka sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Oleh karena itu, untuk memahami kenakalan remaja, kita haru menkaji berbagai aspek yang berbeda dalam perkembangan kontrol diri, sebagai contoh penundaan pemenuhan kebutuhan dan standar tingkah laku yang ditentukan sendiri. Kegagalan menunda pemenuhan suatu kebutuhan berhubungan dengan tingkah laku mencontek/curang dan ketiadaan tanggung jawab sosial.

Remaja pelaku kenakalan juga mungkin saja mengembangkan standar tingkah laku yang tidak memadai. Remaja yang melakukan tindakan antisosial memerlukan pemikiran kritis terhadap dirinya sendiri agar bisa meghambat kecenderungan untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum. Standar kritis terhadap diri sendiri ini sangat dipengaruhi oleh model peran yang dimiliki oleh remaja. Oleh sebab itu, remaja yang memiliki orangtua, guru, dan teman sebaya yang menunjukan adanya standar kritis terhadap diri sendiri biasanya mengambangkan kontrol diri yang diperlukan untuk menahan diri dari tindakan melanggar hukum atau antisosial.


(48)

Konsekuensi yang diharapkan muncul akibat suatu tindakan negatif juga berpengaruh pada keputusan remaja untuk melakukan atau menjauhi kenakalan. Bila remaja mengharapkan suatu penghargaan atau reward atas kenakalannya, mereka akan cenderung melakukan tindakan antisosial dibandingkan bila mereka berpendapat bahwa kenakalan akan menghasilkan hukuman.

Apakah seorang remaja akan melakukan tindak kenakalan juga diperngaruhi oleh kompetisi yang telah ia capai dalam berbagai aspek kehidupan yang berbeda-beda. Orang-orang yang berprestasi baik, aktif berpatisipasi di berbagai klub yang diterima oleh masyarakat, atau memiliki kemampuan dibidang atletik cenderung akan mengembangkan cara pandang yang positif terhadap diri mereka sendiri dan menerima reinforcement atau penguat dari orang lain karena tingkah laku mereka yang prososial. Namun demikian, kebanyakan remaja yang melakukan kenakalan tidak banyak memiliki kemampuan dalam berbagai kompetisi yang dapat meningkatkan cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Tingkah laku antisosial menjadi satu cara di mana mereka bisa menunjukan kompetisi diri dan menerima penguatan dari lingkungan yang juga terdiri dari pelaku kenakalan (Kazdin, 1995, dalam Santrock, 2007). c. Proses keluarga

Terganggunya atau ketiadaan penerapan pemberian dukungan keluarga dan praktek manajemen oleh orangtua secara konsisten


(49)

berhubungan dengan tingkah laku antisosial oleh anak-anak remaja (Rosenbaum, 1989; Novy, et al., 1992; Moran, Chang, & Pettit, 1994, dalam Santrock, 2007). Selain itu, Offord & Boyle (1988, dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa dukungan keluarga dan praktek manajaeman seperti ini meliputi pengawasan keberadaaan remaja, menerapkan disiplin yang efektif bagi tingkah laku antisosial, menerapkan keterampilan pemecahan masalah yang efektif, dan mendukung berkembanganya keterampilan prososial.

Orangtua yang memiliki remaja pelaku kenakalan biasanya tidak terlatih untuk bersikap tidak mendukung tingkah laku antisosial daripada orangtua yang memiliki remaja yang tidak melakukan kenakalan. Pengawasan orangtua terhadap remaja terutama penting dalam menentukan apakah remaja akan melakukan kenakalan atau tidak. Perselisihan dalam keluarga serta penerapan disiplin yang tidak konsisten dan tidak sesuai juga berhubungan dengan kenakalan.

d. Kelas sosial/komunitas

McCord (1990, dalam Santrock, 2007) berpendapat bahwa norma yang berlaku di antara teman-teman sebaya dan geng dari kelas sosial yang lebih rendah adalah antisosial dan berlawanan dengan tujuan dan norma masyarakat secara meluas. Terlibat dalam suatu masalah atau menghindari masalah mejadi ciri yang mencolok dalam kehidupan beberapa remaja yang datang dari kelas sosial yang


(50)

lebih rendah (Miller, 1958, dalam Santrock 2007). Status dalam kelompok teman sebaya dapat ditentukan dari seberapa sering seorang remaja melakukan tindakan anti sosial dan tetap tidak dipenjara. Karena remaja dari kelas sosial yang lebih rendah memiliki kesempatan yang lebih terbatas untuk mengembangkan keterampilan yang diterima oleh masyarakat, mereka mungkin saja merasa bahwa bisa mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan antisosial.

Chesney-Lind (1989) dan Fegueira & McDonough (1992) (dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa komunitas juga dapat berperan serta dalam munculnya kenakalan. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas yang tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil dari atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering kali ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan terisisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja. Bila dukungan keluarga tidak memadai, maka dukungan dari masyarakat seperti ini akan menjadi suatu hal yang penting dalam mencegah kenakalan.

Laird et al., 2005 (dalam Berk, 2007) mengatakan bahwa tempramen, kecerdasan rendah, kinerja buruk di sekolah, penolakan


(51)

teman sebaya di masa kecil, dan hubungan dengan teman antisosial terkait dengan kenakalan remaja. Salah satu temuan Capaldi et al., (2002) dan Barnes et al., (2006) (dalam Berk, 2007) tentang remaja nakal adalah keluarga mereka tidak hangat, penuh konflik, dan ditandai dengan disiplin kasar dan tidak konsisten serta pengawasan rendah. Farrington, (2004, dalam Berk, 2007) mengemukakan bahwa oleh karena transisi pernikahan kerap kali menyebabkan perselisihan keluarga dan tanggungunya pengasuhan, anak laki-laki yang mengalami perpisahan dan perceraian orangtua sangat rentan menjadi remaja nakal.

Pengasuhan yang tidak efektif dapat menumbuhkan dan menopang agresi anak. Dibanding anak perempuan, anak laki-laki lebih cenderung menjadi sasaran amarah dan disiplin tidak konsisten karena mereka lebih aktif dan implusif dan dengan demikian sulit dikendalikan. Bila anak-anak memiliki karakteristik ini dengan sangat parah dan kemudian mengalami pengasuhan tidak layak dan secara emosional negatif, agresi meningkat selama masa kanak-kanak, mengakibatkan tindakan kekerasan di masa remaja, dan tetap bertahan hingga masa dewasa (Berk, 2007).

Krevans & Gibbs (1996) dan Staub (1996) (dalam Papalia, 2008) mengemukakan bahwa pada tahun-tahun awal, orangtua mulai membentuk perilaku prososial atau antisosial dengan memenuhi kebutuhan emosional dasar sang anak. Orangtua dari anak dengan kenakalan kronis biasanya gagal menegakkan perilaku yang baik pada awal masa kanak-kanak dan bersikap keras atau tidak konsisten, atau


(52)

kedua-duanya, dalam hal menghukum perilaku yang tidak patut. Beberapa tahun kemudian orangtua tipe ini biasanya tidak terlibat secara rapat dan positif dalam kehidupan anak mereka (G. R. Patterson, DeBaryshe, & Ramsey, 1998, dalam Papalia, 2008). Anak-anak mungkin mendapatkan imbalan dari perilaku antisosialnya ketika mereka tertangkap, mereka mendapatkan perhatian atau menemukan jalan mereka sendiri (Papalia, 2008).

Simons, Chao, et al. (2001, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa anak-anak “bermasalah” ini terus menerus mendapatkan pengasuhan yang tidak efektif, yang sering kali mengarah kepada perilaku nakal pada masa remaja dan berteman dengan teman sebaya yang berperilaku menyimpang. Selain itu, Neiderhiser, Reiss, et al. (1999, dalam Papalia, 2008) menambahkan bahwa remaja antisosial cenderung memiliki konflik dengan orangtua, yang biasanya disebabkan oleh faktor genetik.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan dapat dikatakan sebagai upaya untuk membentuk suatu identitas walaupun identitas tersebut negatif. Selain identitas, kontrol diri juga menjadi faktor kenakalan remaja di mana mereka gagal mengembangkan kontrol diri dalam hal tingkah laku mereka. Proses keluarga menjadi faktor kenakalan remaja yang cukup besar. Hal ini meliputi ketidakadaan penerapan dukungan keluarga dan praktek manajemen oleh orangtua secara konsisten, kurangnya pengawasan terhadap keberadaan remaja, dan menerapkan disiplin yang efektif. Keluarga yang tidak hangat dan


(53)

penuh konflik dapat meyebabkan remaja melakukan perilaku nakal. Kelas sosial/komunitas juga menjadi penyumbang faktor kenakalan remaja. Kelas sosial yang rendah cenderung melakukan kenakalan karena mereka memiliki kesempatan yang terbatas untuk mengembangkan keterampilan mereka yang dapat diterima di masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti membatasi faktor kenakalan remaja dalam hal kontrol diri dan proses keluarga.

3. Bentuk Kenakalan Remaja

Jensen (1985, dalam Sarwono, 2005) membagi kenakalan menjadi empat jenis. Pertama, kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain. Kedua, kenakalan yang menimbulkan korban materi, seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain. Ketiga, kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin dapat juga dimasukan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini. Keempat, kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orangtua dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan sebagainya. Pada usia mereka, perilaku-perilaku mereka memang belum melanggar hukum dalam arti yang sesungguhnya karena yang dilanggar


(54)

adalah status-status dalam lingkung primer (keluarga) dan sekunder (sekolah) yang memang tidak diatur oleh hukum secara terinci.

Delinkuen merupakan produk konstitusi mental serta emosi yang sangat labil dan defektif, sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda tanggung usia, puber, dan adolesens (Kartono, 2007).

Adler (1952, dalam Kartono, 2007) menjabarkan bentuk-bentuk perilaku delinkuen sebagai berikut:

a. Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas, dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain.

b. Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan, yang mengacaukan ketentraman sekitar. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan.

c. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.

d. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan asusila. e. Kriminalitas anak remaja seperti perbuatan mengancam, memeras,

mencuri dan pelanggaran lainnya.

f. Berpesta-pora, sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas.


(55)

g. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif seksual.

h. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius; drugs) yang erat bergandengan dengan tindak kejahatan.

i. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas.

j. Penyimpangan tingkah-tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior.

Mulyono (1995) mengatakan bahwa pada dasarnya perilaku kenakalan dapat di golongkan menjadi dua golongan, di antaranya adalah:

a. Kenakalan remaja yang tidak digolongkan pada pelanggaran hukum, antara lain:

1) Berbohong, memutar balikkan kenyataan dengan tujuan menipu orang atau menutupi kesalahan.

2) Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan pihak sekolah.

3) Kabur, meninggalkan rumah tanpa ijin orangtua atau menentang keinginan orangtua.

4) Keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan, dan mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.


(56)

6) Bergaul dengan teman yang berpengaruh buruk. 7) Berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan.

8) Membaca buku-buku porno, melihat film porno dan kebiasaan menggunakan bahasa yang tidak sopan.

9) Berpakaian tidak pantas.

b. Kenakalan remaja yang tergolong pelanggaran hukum, antara lain: 1) Berjudi dengan menggunakan uang dan taruhan dengan benda

lain.

2) Mencuri, mencopet, menjambret, merampas dengan atau tanpa kekerasan.

3) Minum-minuman keras atau menghisap ganja sehingga merusak diri.

4) Penggelapan barang.

5) Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan kesulitan ekonomi maupun yang lainnya.

6) Penipuan dan pemalsuan.

7) Pelanggaran tata susila, menjual gambar-gambar porno, pemerkosaan.

8) Tindakan-tindakan antisosial: perbuatan yang merugikan orang lain.

9) Menyebabkan kematian orang lain, percobaan pembunuhan dan turut dalam pembunuhan.


(57)

11) Penganiayaan berat.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa untuk mendefinisikan bentuk perilaku kenakalan merupakan hal yang sulit apakah tingkah laku seorang remaja semata-mata merupakan kenakalan remaja atau hanya merupakan kelainan tingkah laku sesuai dengan tahap perkembangan. Maka dalam hal ini peneliti membatasi bentuk perilaku kenakalan yang dibagi menjadi dua golongan, yaitu kenakalan yang tidak digolongkan pada pelanggaran hukum dan kebakalan yang tergolong pelanggaran hukum.

C. Self Regulated Learning 1. Pengertian

Self regulated learning didefinisikan sebagai suatu proses di mana pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi, metakognisi, dan motivasi. Straregi kognisi meliputi usaha mengingat kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi mengorganisir materi. Strategi metakognisi meliputi merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi nilai belajar sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan (Chin, 2004, dalam Kristiyani, 2016).


(58)

Proses self regulated learning dilakukan agar seseorang atau individu dapat mencapai tujuan yang diharapkannya. Dalam mencapai suatu tujuan yang diharapkan seseorang perlu mengetahui kemampuan fisik, kognitif, sosial, dan pengendalian emosi yang baik sehingga membawa seseorang kepada regulasi diri yang baik. Miller & Brown (dalam Neal & Carey, 2005) memformulasikan sebanyak tujuh tahap, yaitu:

a. Receiving atau menerima informasi yang relevan, yaitu langkah awal individu dalam menerima informasi dari berbagai sumber. Dengan informasi-informasi tersebut, individu dapat mengetahui karakter yang lebih khusus dari suatu masalah. Seperti kemungkinan adanya hubungan dengan aspek lainnya.

b. Evaluating atau mengevaluasi. Setelah kita mendapatkan informasi, langkah berikutnya adalah menyadari seberapa besar masalah tersebut. Dalam proses evaluasi diri, individu menganalisis informasi dengan membandingkan suatu masalah yang terdeteksi di luar diri (eksternal) dengan pendapat pribadi (internal) yang tercipta dari pengalaman yang sebelumnya yang serupa. Pendapat itu didasari oleh harapan yang ideal yang diperoleh dari pengembangan individu sepanjang hidupnya yang termasuk dalam proses pembelajaran. c. Triggering atau membuat suatu perubahan. Sebagai akibat dari suatu

proses perbandingan dari hasil evaluasi sebelumnya, timbul perasaan positif atau negatif. Individu menghindari sikap-sikap atau


(59)

pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan informasi yang didapat dengan norma-norma yang ada. Semua reaksi yang ada pada tahap ini yaitu disebut juga kecenderungan kearah perubahan.

d. Searching atau mencari solusi. Pada tahap sebelumnya proses evaluasi menyebabkan reaksi-reaksi emosional dan sikap. Pada akhir proses evaluasi tersebut menunjukkan pertentangan antara sikap individu dalam memahami masalah. Pertentangan tersebut membuat individu akhirnya menyadari beberapa jenis tindakan atau aksi untuk mengurangi perbedaan yang terjadi. Kebutuhan untuk mengurangi pertentangan dimulai dengan mencari jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi.

e. Formulating atau merancang suatu rencana, yaitu perencanaan aspek-aspek pokok untuk meneruskan target atau tujuan seperti soal waktu, aktivitas untuk pengembangan, tempat-tempat dan aspek lainnya yang mampu mendukung efesien dan efektif.

f. Implementing atau menerapkan rencana, yaitu setelah semua perencanaan telah teralisasi, berikutnya adalah secepatnya megarah pada aksi-aksi atau melakukan tindakan-tindakan yang tepat yang mengarah ke tujuan dan memodifikasi sikap sesuai dengan yang diinginkan dalam proses.

g. Assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat. Pengukuran ini dilakukan pada tahap akhir. Pengukuran tersebut dapat membantu dalam menentukan dan menyadari apakah


(60)

perencanaan yang tidak direalisasikan itu sesuai dengan yang diharapkan atau tidak serta apakah hasil yang didapat sesuai dengan yang diharapkan.

Berdasarkan hasil uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa proses self regulated learning terdiri dari receiving atau menerima, evaluating atau mengevaluasi, triggering atau membuat suatu perubahan, searching atau mencari solusi, formulating atau merancang suatu rencana, implementing atau menerapkan rencana, assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat.

3. Aspek-aspek Self Regulated Learning

Menurut Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa self regulated learning mencakup tiga aspek, yaitu:

a. Metakognisi

Matlin (1998, dalam Schunk dan Zimmerman, 1998) mengatakan bahwa metakognitif adalah pemahaman dan kesadaran tentang proses kognitif atau pikiran tentang berpikir. Metakognitif merupakan suatu proses penting. Hal ini disebabkan pengentahuan seseorang tentang kognisinya dapat membimbing dirinya mengatur atau menata peristiwa yang akan dihadapi dan memilih strategi yang sesuai agar dapat meningkatkan kinerja kognitifnya ke depan. Hal yang penting bagi individu yang melakukan regulasi diri adalah kempampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasi atau


(61)

mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar.

b. Motivasi

Motivasi merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu.

c. Perilaku

Perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar.

Berdasarkan penjelesan di atas dapat disimpulkan aspek self regulated learning ialah metakognisi, motivasi, dan perilaku. Didalam aspek metakognisi terdapat kempampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasi atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar. Aspek motivasi mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu. Aspek perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar. Dalam


(62)

penelitian ini, peneliti menggunakan aspek self regulated learning sebagai dasar penelitian.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning

Menurut Zimmerman (1989, dalam Kristiyani, 2016), ada dua faktor yang mempengaruhi perkembangan self regulated learning, yaitu:

a. Faktor internal

Berdasarkan perspektif kognitif, faktor-faktor internal yang mempengaruhi perkembangan self regulated learning ialah pengaruh personal dan pengaruh perilakuan. Pengaruh faktor personal terhadap self regulated learning, yaitu pengetahuan siswa dapat dibedakan menjadi pengetahuan deklaratif dan pengetahuan regulasi diri. Pengetahuan deklaratif diorganisasikan berdasarkan struktur verbal, urutan dan hirarkinya, sedangkan pengetahuan regulasi diri berupa strategi belajar atau standar siswa. Proses metakognisi meliputi perencanaan dan kontrol perilaku. Pembutan keputusan metakognisi tergantung juga pada tujuan jangka panjang siswa. Tujuan siswa dan penggunaan proses kontrol metakognitifnya secara teoritis tergantung pada persepsi efikasi diri dan afeksi. Pengaruh perilakuan terdiri dari tiga jenis respon siswa yang relevan dengan self regulated learning, yaitu observasi diri, penilaian diri, dan reaksi diri. Observasi diri merupakan respon siswa yang meliputi pemantauan secara sistematis terhadap informasi mereka sendiri.


(63)

Proses ini dapat menghasilkan informasi mengenai seberapa baik seseorang mengalami kemajuan dalam mencapai tujuan. Observasi diri dipengaruhi oleh beberapa proses personal seperti efikasi diri, penetapan tujuan, dan perencanaan metakognisi. Penilaian diri merupakan respon siswa yang meliputi secara sistematis membandingkan performansinya dengan strandar atau tujuan yang sudah ditetapkan, sedangkan reaksi diri meliputi beberapa proses diri seperti penetapan tujuan, persepsi efikasi diri, dan perencanaan metakognisi, di mana hubungan ketiganya bersifat timbal balik. b. Faktor eksternal

Kendati bersifat individual, perkembangan self regulated learning seorang siswa juga diperngaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya. Faktor-faktor tersebut adalah faktor keluarga, faktor sekolah, dan faktor teman sebaya. Pola asuh dan keterlibatan orangtua dalam pendidikan terbukti mempengaruhi regulasi diri dalam bidang akademik siswa. Pola asuh yang ideal dalam mendukung perkembangan self regulated learning siswa adalah pola asuh demokratis, sedangkan pola asuh permisif terbukti berkolerasi negatif dengan regulasi diri di bidang akademik siswa. Pengasuhan yang dilakukan oleh ayah dan ibu juga memiliki dampak yang berbeda dalam jenis regulasi siswa. Keterlibatan orangtua dalam pendidikan terbukti meningkatkan kemampuan regulasi siswa dalam belajar (Abar, Carter, & Winsler, 2009, dalam Kristiyani, 2016).


(64)

Dukungan orangtua juga sangat memengaruhi perkembangan self regulated learning siswa. Semakin besar besar dukungan dari orangtua yang dirasakan siswa, semakin besar pula kemungkinan siswa tersebut melakukan belajar bedasar regulasi diri. Faktor sekolah yang mempengaruhi self regulated learning adalah relasi guru-siswa (Leutwyler & Merki, 2009, dalam Kristiyani, 2016), dukungan otonomi guru (Leutwyler & Merki, 2009; Sierens, et al., 2009, dalam Kristiyani, 2016), dan model pengajaran yang diberikan guru (Vassallo, 2011, dalam Kristiyani, 2016). Guru memiliki pengaruh besar pada perkembangan self regulated learning (Greene & Azevedo, 2007, dalam Kristiyani, 2016). Dalam faktor teman sabaya, Zimmerman dan Cleary (2006, dalam Kristiyani, 2016) mengatakan bahwa pada masa remaja kepercayaan pada kemampuan sendiri, yang merupakan bagian dari self regulated learning, sangat dipengaruhi oleh perilaku atau umpan balik dari orang-orang penting di sekitar siswa, seperti teman sebaya. Newman (2002, dalam Kristiyani, 2016) menyatakan bahwa siswa yang memiliki self regulated adalah siswa yang memiliki perasaan otonomi yang tinggi. Tetapi hal ini bukan berarti mereka terisolasi dan tidak membutuhkan bantuan orang lain, teman sebaya adalah orang-orang yang dapat memanifestasikan kebutuhan ini.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor self regulated learning terbagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal.


(65)

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada faktor internal, yaitu pengaruh personal dan pengaruh perilakuan.

D. Dinamika Hubungan Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja Masa remaja adalah masa di mana seseorang lebih mementingkan kehidupan sosialnya di luar ikatan sosialnya dalam keluarga, berpikir tentang apa yang terjadi pada pikiran orang lain, emosi yang tinggi, serta mulai melihat lebih dekat diri mereka sendiri untuk mendefinisikan bahwa diri mereka berbeda. Mereka mudah menjadi tidak puas dengan diri mereka sendiri, mengkritik sifat-sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka dengan orang lain, dan mencoba mengubah seperti diri orang lain atau teman lain. Pada fase remaja, biasanya seorang anak akan mengalami suatu perubahan. Perubahan tersebut bukan hanya dari fisik namun juga dari psikologisnya. Pada masa transisi ini kemungkinan dapat menimbulkan masa krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya kenakalan pada remaja.

Menurut Santrock (2003) kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. Perilaku ketidakdisiplinan siswa di sekolah juga menjadi salah satu bentuk kenakalan pada remaja yang melawan status. Hal ini sejalan dengan penelitian Sutrisno (2009) yang mengatakan bahwa remaja kebanyakan berprilaku sebagai siswa yang tidak disiplin. Hal ini ditunjukan oleh perilaku remaja sehari-hari di


(66)

sekolah, seperti membolos, datang terlambat, melalaikan tugas, catatan tidak lengkap, tidak berseragam lengkap, malas mengikuti pelajaran, acuh tak acuh pada jam pelajaran, merokok, tidak sopan, mempengaruhi teman untuk melanggar disiplin, nongkrong di kantin.

Ketika remaja tidak disiplin, maka ia membutuhkan strategi belajar. Salah satu strategi belajar yang diperlukan oleh remaja adalah self regulated learning (SRL). Self regulated learning dapat didefinisikan sebagai suatu proses di mana pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi, metakognisi, dan motivasi. Straregi kognisi meliputi usaha mengingat kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi mengorganisir materi. Strategi metakognisi meliputi merencanakan, memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi nilai belajar sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan (Chin, 2004 dalam Kristiyani, 2016). Schunk dan Zimmerman (1998) mengatakan bahwa self regulated learning yang terdiri dari tiga aspek, yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku.

Pada aspek metakognitif, Matlin (1998) mengatakan bahwa metakognitif adalah pemahaman dan kesadaran tentang proses kognitif atau pikiran tentang berpikir. Metakognitif merupakan suatu proses penting. Hal ini disebabkan pengentahuan seseorang tentang kognisinya dapat membimbing dirinya mengatur atau menata peristiwa yang akan dihadapi dan memilih strategi yang sesuai agar dapat meningkatkan kinerja kognitifnya ke depan.


(67)

Sehubungan dengan itu, Zimmerman (1998) menyatakan bahwa hal yang penting bagi individu yang melakukan regulasi diri adalah kempampuan individu dalam merencanakan, mengorganisasi atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang tinggi akan maka ia mampu merencanakan kegiatan sehari-hari, mampu mengatur diri, serta dapat memonitor kegiatannya, dan melakukan evaluasi kegiatannya. Sebaliknya, apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang rendah maka ia akan kesulitan untuk membuat suatu perencanaan kegiatan sehari-hari, kesulitan mengatur diri, kesulitan mengontrol kegiatannya, dan kesulitan dalam mengevaluasi kegiatan.

Pada aspek motivasi, Zimmerman (1998) mengatakan bahwa motivasi merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang tinggi maka ia merasa percaya bahwa dirinya mampu mengorganisasikan dan memutuskan tindakan yang akan dilakukan dalam berbagai situasi. Selain itu, ia mempunyai tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai dengan melakukan usaha tertentu. Sebaliknya, apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang rendah maka ia akan merasa kurang percaya diri, ia tidak memiliki tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai.


(68)

Pada aspek perilaku, Zimmerman dan Pons (1998) menyatakan bahwa perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang mendukung aktivitas belajar. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang tinggi maka ia mampu untuk melihat perilakunya sendiri dengan memberikan perhatian atas kualitas pada perilaku yang sedang dilakukannya. Selain itu, mereka juga mampu untuk mengevaluasi perilakunya sendiri dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Self regulated learning yang tinggi juga dapat dilihat dari bagaimana remaja mampu untuk merespon secara postitif atau negatif perilakunya yang bergantung pada standar personal dalam mengukur perilaku dengan memberikan reward atau punishment. Apabila serorang remaja memiliki self regulated learning yang rendah, maka ia merasa kurang mampu untuk melakukan evaluasi diri dengan memberikan perhatian atas apa yang mereka lakukan. Tambahan pula, remaja yang memiliki self regulated learning yang rendah akan kesulitan merespon secara positif maupun negatif perilakunya. Pada kenakalan remaja, self regulated learning memiliki pengaruh pada remaja untuk mengatur diri, mengevaluasi diri, mengorganisasikan dan memutuskan suatu tindakan, serta merespon secara positif maupun negatif perilaku yang dilakukannya. Hal ini menentukan pengambilan keputusan remaja untuk melakukan suatu tindakan. Remaja yang memiliki self regulated learning yang tinggi akan mampu menyadari perilakunya dan mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga remaja dapat mengantisipasi terjadinya


(69)

kenakalan. Sebaliknya, remaja dengan tidak memiliki self regulated learning yang baik cenderung kurang mampu menyadari perilakunya dan kurang mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga remaja melakukan kenakalan.

E. Hipotesis

Berdasdarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan negatif antara self regulated learning dengan kenakalan remaja. Apabila tingkat kecenderungan kenakalan tinggi, maka self regulated learning rendah. Sebaliknya, jika tingkat kecenderungan kenakalan rendah, maka self regulated learning tinggi.


(1)

No. Aspek Indikator Item Favorable Item

Unfavorable

Jumlah 1. Metakognitif 1. Merencanakan 1.1.1

Saya selalu menulis jadwal kegiatan sehari-hari. 1.1.3 Saya selalu belajar meskipun tidak ada ulangan. 1.1.2 Saya malas menulis jadwal kegiatan sehari-hari. 1.1.4 Saya hanya belajar ketika ada ulangan saja 4 item (16%) 2. Mengorganisasi/menga tur 1.2.1

Saya akan pergi dengan teman-teman setelah selesai menyelesaikan tugas dirumah. 1.2.2

Saya akan tetap pergi dengan teman-teman meskipun PR belum saya kerjakan. 1.2.3

Saya akan tetap pergi dengan teman-teman meskipun belum menyelesaikan tugas dirumah. 3 item (12%) 3. Menginstruksikan diri, memonitor & melakukan evaluasi

1.3.1

Saya datang ke sekolah tepat waktu. 1.3.3 Saya selalu menyisihkan waktu untuk quality time dengan keluarga. 1.3.2 Saya jarang menyisihkan waktu untuk quality time dengan keluarga. 3 item (12%)

2. Motivasi 1. Dorongan yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri,

2.1.1 Saya mampu menyelesaikan tugas tepat waktu. 2.1.3 Saya 2.1.2 Saya sering terlambat mengumpulkan tugas. 2.1.4 Saya membutuhkan 5 item (20%)


(2)

mengerjakan PR karena itu adalah

kewajiban.

bantuan orang lain ketika mengerjakan tugas. 2.1.6 Saya

mengerjakan PR karena takut dihukum guru. 2. Kompetensi

otonomi

2.2.1 Saya selalu berjuang mendapatkan nilai yang baik dalam ulangan. 2.2.3

Jika saya mendapat nilai ulangan yang jelek maka saya akan menambah jam belajar. 2.2.4

Saya menjadi diri sendiri dan tidak takut dicap aneh oleh teman-teman.

2.2.2

Saya enggan berusaha mendapat nilai yang baik dengan belajar.

4 item (16%)

3. Perilaku 1. Mengatur diri 3.1.1Dirumah saya mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan di sekolah.

3.1.2

Pada malam hari saya malas menyiapkan buku-buku untuk pelajaran besok.

2 item (8%)

2. Menyeleksi 3.2.1 Saya lebih senang belajar sendiri daripada belajar

berkelompok.

3.2.2

Saya bergaul dengan siapa saja tanpa mempertimban gkan dampak postifi dan negatif yang mungkin saya terima.

2 item (8%)


(3)

3. Memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan

lingkungan yang mendukung aktivitas belajar

3.3.1

Saya merapikan meja belajar ketika akan belajar.

3.3.2 Saya

membiarkan meja belajar berantakan ketika saya akan belajar.

2 item (8%)

25 item (100%)


(4)

Lampiran 10


(5)

No. Aspek Item Favorable Item Unfavorable Jumlah 1. Tidak digolongkan

pada pelanggaran hukum

1.

Saya pernah berbohong pada guru.

3.

Saya pernah

membohongi teman saya.

5.

Saya pernah bolos pada saat jam pelajaran. 7.

Saya lebih senang ngobrol dengan teman daripada mendengarkan guru menjelaskan pelajaran.

9.

Saya malas memakai atribut sekolah dengan lengkap.

2.

Saya selalu jujur pada teman saya. 4.

Saya rajin mengikuti pelajaran hingga selesai.

6. Saya

menyelesaikan masalah dengan orangtua secara baik-baik. 8.

Saya datang terlambat ke sekolah.

10. Saya tetap

mendengarkan guru menjelaskan pelajaran meskipun teman mengajak ngobrol.

11.

Saya selalu memakai atribut sekolah dengan lengkap. 12.

Saya selalu jujur pada guru.

12 item (50%)


(6)

2. Digolongkan pada pelanggaran hukum

1.

Saya pernah taruhan dengan teman. 3.

Saya pernah mengambil barang orang tanpa izin. 5.

Saya pernah minum minuman beralkohol. 7.

Saya merasa biasa saja ketika tertangkap basah mengambil barang teman. 9.

Saya suka ugal-ugalan ketika mengendarai kendaraan.

11.

Saya pernah ikut tawuran. 2.

Saya selalu

menjalin hubungan yang baik dengan teman.

4.

Saya menghindari taruhan dengan teman.

6.

Saya meminta izin apabila meminjam barang orang lain. 8.

Saya menghindari minum minuman beralkohol. 10.

Saya merasa malu ketika tertangkap basah mengambil barang teman. 12.

Saya selalu mematuhi peraturan lalu lintas.

12 item (50%)

24 item (100%)