Hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja di SMP Kristen Harapan 1 Denpasar
HUBUNGAN
SELF REGULATED LEARNING
DENGAN
KENAKALAN REMAJA
DI SMP KRISTEN HARAPAN 1 DENPASAR
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
Adisti Wastu Kirana Lembut 119114038
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
(2)
(3)
(4)
iii
HALAMAN MOTTO
“Mintalah, maka akan diberikan kepadamu;
carilah, maka kamu akan mendapat; ketolah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena setiap orang yang meminta, menerima
dan setiap orang yang mencari, mendapat
dan setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan.”
(Matius 7:7-8)
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah
dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.” (Filipi 4:6)
(5)
iv
Skripsi ini saya persembahkan untuk
Yang Maha Kuasa, Tuhan Yesus Kristus
Kedua orangtua yang kusayang, ibu dan bapak Para sahabat
(6)
v
Pernyataan Keaslian Karya
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 5 Desember 2016
Penulis,
(7)
vi
HUBUNGAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN KENAKALAN REMAJA
DI SMPK HARAPAN I DENPASAR Adisti Wastu Kirana Lembut
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja. Variabel self regulated learning terdiri dari tiga aspek, yaitu metakognitif, motivasi, dan perilaku. Sedangkan kenakalan remaja terdiri dari dua golongan, yaitu kenakalan yang tidak melanggar hukum dan kenakalan yang dianggap melanggar hukum. Subjek penelitian ini berjumlah 240 orang siswa/siswi dengan menggunakan metode pengambilan sampel teknik convenience sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan skala regulasi diri dan skala kenakalan remaja yang dikembangkan oleh peneliti. Skala self regulated learning ini terdiri dari 25 item dengan nilai reliabilitas alpha berstrata sebesar 0,828 (αs = 0,828), skala kenakalan
remaja terdiri dari 24 item dengan nilai reliabilitas berstrata sebesar 0,853 (αs = 0,853). Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif dengan teknik Spearman Rho. Hasil uji hipotesis hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja diperoleh nilai signifikansi sebesar -0,302 (p < 0,05). Hasil ini menunjukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara self regulated learning dengan kenakalan remaja.
(8)
vii
THE RELATION OF SELF REGULATED LEARNING WITH JUVENILE DELINQUENCY IN HOPE JUNIOR HIGH SCHOOL
DENPASAR
Adisti Wastu Kirana Lembut ABSTRACT
The purpose of this study was to understand the relation of self regulated learning with juvenile delinquency. Self regulated learning has three aspects: metacognitive, motivation, and behavior. While the juvenile delinquency consist of two categories: illegal deliquency and non illegal deliquency. The subject of this study were 240 students, selected using convenience sampling. Data collection wa s carried out by using the self regulated learning and juvenile delinquency scales developed by researchers. The scale of self regulated learning consisted of 25
items with the reliability of alpha 0,828 (αs = 0,828), juvenile delinquency scale consisted of 24
item with reliability of alpha 0,853 (αs = 0,853). The research is quantitative research, spearman rho. The results of the hypothesis relations of self regulated learning with juvenile delinquency obtained value significance of -0,302 (p < 0,05). The results showed significant corelation between self regulated learning with juvenile delinquency.
(9)
viii
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Adisti Wastu Kirana Lembut
NIM : 119114038
Demi membangun ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah saya yang berjudul:
“HUBUNGAN SELF REGULATED LEARNING DENGAN
KENAKALAN REMAJA DI SMP KRISTEN I DENPASAR”
Berserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikan di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 5 Desember 2016 Yang menyatakan,
(10)
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan
membimbing dalam setiap proses pembuatan skripsi, sehingga sejak awal dapat
berjalan dengan baik dan pada akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.
Meskipun tidak dipungkiri bahwa banyak hambatan dan kesulitan yang dialami
oleh penulis selama proses pembuatan skripsi. Salah satu tujuan dan penulisan
skripsi ini adalah untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
(S.Psi.).
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak akan dapat
terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang terlibat.
Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada
1. Bapak Dr. T. Priyono Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Bapak P. Eddy Suhartanto, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
3. Bapak Prof. A. Supratiknya., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang
selalu memberi masukan dan wejangan ketika pertemuan bimbingan KRS
setiap awal semester.
4. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, M.Si., selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang selalu membimbing dan memberikan semangat
(11)
x
5. Bapak Robertus Landung Eko Prihatmoko, M.Psi., selaku Dosen
Pembimbing Skripsi yang selalu membimbing, memberi semangat, memberi
saran serta solusi ketika penulis mengalami hambatan dalam penulisan
skripsi.
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang telah mengajarkan dan memberikan
ilmu serta pengalaman selama proses perkuliahan, sehingga penulis dapat
menerapkan ilmu-ilmu tersebut dalam penulisan skripsi ini.
7. Segenap karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji,
dan Pak Gi) yang telah melayani, memberikan berbagai informasi dan
membantu proses administrasi selama proses perkuliahan hingga
penyelesaian skripsi.
8. Ibu Yuli Arsini S.Pd., selaku kepala sekolah SMP Kristen I Harapan
Denpasar yang telah memberikan izin dan informasi untuk melakukan
penelitian sejak observasi hingga pengambilan data melalui kuisioner.
9. Teman-teman yang menjadi responden penelitian.
10. Keluarga tersayang; Ibu Ratih Purnawati, Bapak I Ketut Sudana Astawa
Lembut, dan Adik Ni Made Dinda Wastu Diyana Lembut yang selalu setia
mendoakan, memberikan nasihat, dan dukungan bagi penulis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
11. Keluarga besar Sibret Lembut dan keluarga besar Soekidjo Digdowiratmo
yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan bagi penulis sehingga
(12)
xi
12. Saudara Kenny Sundoro Rahardjo yang selalu mendoakan, memberikan
dukungan dan semangat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
13. Sahabat yang telah memberikan dukungan dan semangat: Putri Bunga, Lia
Erosvita, Maria Angelicha dan Tommy.
14. Sahabat yang selalu setia untuk menjadi teman berbagi dalam proses
pembuatan skripsi, berbagi suka dan duka sehingga penulis selalu mampu
untuk kuat dan tegar dalam menyelesaikan skripsi: Akwila, Mira Toby dan
Arinda.
15. Seluruh teman-teman angkatan 2011 yang telah berjuang bersama, selalu
mampu menguatkan satu sama lain selama masa kuliah aktif hingga masa
penyelesaian skripsi.
Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan bagi
banyak pihak. Selain itu, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bahi pengembangan
(13)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN MOTTO ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ...xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoritis ... 7
(14)
xiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Remaja ... 9
1. Pengertian ... 9
2. Batasan Usia ... 10
3. Perkembangan Kognitif Remaja ... 10
4. Perkembangan Sosial dan Emosional Remaja ... 14
5. Tugas Perkembangan Remaja ... 20
B. Kenakalan Remaja ... 21
1. Pengertian ... 21
2. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja ... 22
3. Bentuk Kenakalan Remaja ... 32
C. Self Regulated Learning ... 36
1. Pengertian ... 36
2. Proses Self Regulated Learning ... 36
3. Aspek-aspek Self Regulated Learning ... 39
4. Faktor-faktor yang Memengaruhi Self Regulated Learning ... 41
D. Dinamika Hubungan Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja……… ... 44
E. Hipotesis ... 48
F. Kerangka Berpikir ... 49
BAB III METODE PENELITIAN... 50
A. Jenis Penelitian... 50
(15)
xiv
C. Definisi Operasional ... 50
1. Self Regulated Learning ... 50
2. Kenakalan Remaja ... 51
D. Subjek Penelitian ... 51
E. Metode dan Alat Pengambilan Data ... 52
F. Uji Coba Alat Ukur ... 54
G. Validitas dan Reliabilitas ... 54
1. Validitas ... 54
2. Seleksi Item ... 55
3. Uji Reliabilitas ... 58
H. Metode Analisis Data ... 59
1. Uji Asumsi ... 59
1.1 Uji Normalitas ... 59
1.2 Uji Linearitas ... 59
2. Uji Hipotesis ... 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 61
A. Pelaksanaan Penelitian ... 61
B. Deskripsi Subjek ... 61
C. Deskripsi Data Penelitian ... 61
D. Analisis Data Penelitian ... 63
1. Uji Asumsi ... 63
a. Uji Normalitas ... 63
(16)
xv
2. Uji Hipotesis ... 65
E. Pembahasan ... 66
BAB V KESIMPULAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Keterbatasan Penelitian ... 71
C. Saran ... 72
1. Bagi Pihak Sekolah ... 72
2. Bagi Subjek Penelitian ... 72
3. Bagi Penelitian Selanjutnya ... 73
(17)
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Skor Jawaban ... 52
Tabel 2 Proporsi Self Regulated Learning Sebelum Uji Coba ... 53
Tabel 3 Proporsi Kenakalan Remaja Sebelum Uji Coba ... 54
Tabel 4 Proporsi Self Regulated Learning Setelah Uji Coba ... 57
Tabel 5 Proporsi Kenakalan Remaja Setelah Uji Coba ... 58
Tabel 6 Identitas Subjek ... 61
Tabel 7 Data Penelitian... 62
Tabel 8 Hasil Uji Normalitas ... 63
Tabel 9 Uji Linearitas Data Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja ... 64
Tabel 10 Kriteria Koefiensi Kolerasi... 65
(18)
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil Reliabilitas dan Seleksi Item ... 78
Lampiran 2 Skala Final ... 84
Lampiran 3 Hasil Uji Beda Mean (Uji-t) ... 92
Lampiran 4 Hasil Uji Normalitas ... 94
Lampiran 5 Hasil Uji Linearitas... 96
Lampiran 6 Uji Hipotesis ... 98
Lampiran 7 Blueprint Rancangan Item Skala Regulasi Diri... 100
Lampiran 8 Blueprint Rancangan Item Skala Kenakalan Remaja ... 104
Lampiran 9 Blueprint Skala Regulasi Diri ... 107
(19)
(20)
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Fase remaja adalah fase perantara dari anak-anak menuju dewasa.
Santrock (2003) mendefinisikan masa remaja sebagai periode transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang
melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosio-emosional.
Fase remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun dan berakhir pada usia
18 hingga 22 tahun. Pada fase remaja, biasanya seorang anak akan mengalami
suatu perubahan. Perubahan tersebut bukan hanya dari fisik namun juga dari
psikologisnya. Pada masa transisi ini kemungkinan dapat menimbulkan masa
krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya kenakalan pada
remaja.
Menurut Santrock (2003) kenakalan remaja (juvenile delinquency)
mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat
diterima secara sosial sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal.
Masalah kenakalan remaja bukan suatu yang timbul dalam lingkup yang
kecil, tetapi hampir terjadi baik di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil.
Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan,
Ujung Pandang, tidak sedikit remaja yang melakukan tindakan yang
melanggar norma-norma sosial. Mereka tidak mau mengikuti aturan.
Melanggar aturan justru merupakan kebanggaan tersendiri diantara
(21)
Berdasarkan data dari Mabes Polri dalam penyajian data informasi
Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Republik Indonesia pada
tahun 2009, tingkat gangguan keamanan dan ketertiban nasional (Kamtibnas)
pelaku kecelakaan lalu lintas (Laka Lantas) berdasarkan laporan dari Mabes
Polri tahun 2008 memperlihatkan tingkat yang cukup memprihatinkan, yaitu
pelaku Laka Lantas profesi mahasiswa/pelajar menduduki peringkat ke dua
dengan jumlah pelaku sebesar 12.298 kejadian di bawah urutan profesi
lain-lain sebesar 37.764 kejadian. Begitu pula dengan kenakalan remaja yang
terjadi di Indonesia tercatat kenakalan remaja tertinggi tercatat di Provinsi
Jawa Barat sebesar 10 kejadian diikuti Provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi
Tenggara masing-masing sebesar 9 dan 4 kejadian. Selain itu gambaran
pelaku kriminalitas tahun 2008 ditandai kekhawatiran dengan meningkatnya
jumlah pelaku tindak kriminalitas yang masih berusia anak-anak dan remaja.
Terungkap pada tahun 2008 berdasarkan laporan Polri secara keseluruhan,
jumlah anak-anak dan remaja pelaku tindak kriminalitas sebanyak 3.280
orang, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.797 orang dan perempuan
sebanyak 483 orang, meningkat sebesar 4,3 persen dibandingkan tahun 2007
yang sebesar 3.145 orang.
Kenakalan remaja mulai menjelma menjadi satu tindakan kriminal.
Seperti yang terjadi di Jakarta seorang anak berusia 15 tahun kedapatan
membawa parang saat hendak tawuran (Muchlisa Choiriah, 2016). Selain itu
kenakalan juga terjadi di Bandung. Seperti penuturan Kapolrestabes
(22)
di wilayahnya mengkhawatirkan. Sebab, dia kerap menemukan banyak
anak-anak menjadi peminum miras hingga mabuk, dan berkeliaran di jalanan pada
akhir pekan (Aryo Putranto Saptohutomo & Andrian Salam Wiyono, 2015).
Bali pun tak luput dari perilaku nakal remaja. Sebuah video perkelahian
dua gadis yang diunggah di media sosial Facebook membuat heboh netizen
(pengguna internet) hingga menjadi perbincangan hangat di kalangan
masyarakat (NIV & REZ, 2016). Setelah itu berselang sehari pasca video dua
gadis Bali berkelahi yang menjadi viral di media sosial Facebook, muncul
lagi video serupa yang diduga dilakukan oleh pelajar di Kota Denpasar.
Adalah video perkelahian berujung pengeroyokan oleh sejumlah pelajar pria
mengenakan seragam SMA terhadap seorang pelajar yang mengenakan
seragam serba putih (NVI & REZ, 2016).
Kenakalan remaja juga terjadi di Sekolah SMP Kristen 1 Harapan
Denpasar. Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan terhadap
pihak sekolah pada tanggal 10 hingga 15 Agustus 2015, peneliti mendapati
bahwa ada cukup banyak siswa yang datang terlambat ke sekolah, membolos
pada saat jam pelajaran berlangsung, dan tidak pekerjaan rumah (PR). Hasil
wawancara dengan pihak sekolah, beberapa siswa yang datang terlambat
sebagian mengaku disebabkan karena jalan macet, sebagian lagi disebabkan
karena orangtua terlambat mengantar mereka ke sekolah. Sedangkan siswa
yang kedapatan membolos pada saat jam pelajaran berlangsung disebabkan
karena mereka merasa bosan dan jenuh berada di kelas, biasanya mereka
(23)
seringkali tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) dengan berbagai alasan,
seperti lupa, soal terlalu sulit, dan memang malas mengerjakannya. Pihak
sekolah merasa jika para siswa kurang memiliki rasa tanggungjawab terhadap
tugas yang diberikan. Sebenarnya pihak sekolah sudah memiliki peraturan
yang harus ditaati oleh siswa, namun terkadang siswa mengabaikannya.
Pihak sekolah sudah melakukan tindakan untuk mengendalikan masalah
ini. Tindakan yang dilakukan oleh sekolah ialah memanggil dan menegur
siswa yang melakukan pelanggaran, menghukum siswa dengan
membersihkan toilet sekolah, memasang cctv dibeberapa sudut sekolah untuk
memantau kegiatan siswa, bahkan hingga memanggil orangtua siswa untuk
mengadakan pertemuan membahas kenakalan siswa, namun tidak semua
orangtua bersedia datang ke sekolah.
Jensen (dalam Sarwono, 2005) mengkategorikan kenakalan remaja ke
dalam empat kategori, yaitu kenakalan remaja yang menimbulkan korban
fisik pada orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan,
pembunuhan dan lain-lain; kenakalan remaja yang menimbulkan korban
materi, seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan dan lain-lain;
kenakalan remaja sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak lain, seperti
pelacuran dan penyalahgunaan obat; kenakalan remaja yang melawan status
misalnya mengingkari status sebagai pelajar dengan cara membolos,
mengingkari status orangtua dengan cara minggat dari rumah. Berdasarkan
empat kategori kenakalan remaja yang ada, maka diduga kenakalan remaja
(24)
kenakalan remaja yang melawan status, yaitu datang terlambat ke sekolah,
membolos pada saat jam pelajaran berlangsung, dan tidak pekerjaan rumah
(PR).
Perilaku ketidakdisiplinan siswa di sekolah juga menjadi salah satu
bentuk kenakalan pada remaja yang melawan status. Hal ini sejalan dengan
penelitian Sutrisno (2009) yang mengatakan bahwa remaja kebanyakan
berperilaku sebagai siswa yang tidak disiplin. Hal ini ditunjukan oleh perilaku
remaja sehari-hari di sekolah, seperti membolos, datang terlambat, melalaikan
tugas, catatan tidak lengkap, tidak berseragam lengkap, malas mengikuti
pelajaran, acuh tak acuh pada jam pelajaran, merokok, tidak sopan,
mempengaruhi teman untuk melanggar disiplin, nongkrong di kantin.
Ketika remaja tidak disiplin, maka ia membutuhkan strategi belajar.
Salah satu strategi belajar yang diperlukan oleh remaja adalah self regulated
learning (SRL). Self regulated learning dapat didefinisikan sebagai suatu
proses di mana pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi,
metakognisi, dan motivasi. Straregi kognisi meliputi usaha mengingat
kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi
mengorganisir materi. Strategi metakognisi meliputi merencanakan,
memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi nilai belajar
sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap
diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan (Chin, 2004
(25)
Remaja yang tidak mampu mengembangkan self regulated learning
dengan baik memiliki kecenderungan melakukan kenakalan. Hal ini
berdasarkan pada hasil observasi dan wawancara, di mana beberapa siswa
datang terlambat. Datang terlambat merupakan salah satu bentuk self
regulated learning yang rendah, terutama dalam strategi metakognisi. Strategi
metakognisi yang rendah dalam hal memonitor. Oleh karena hal tersebut,
maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Hubungan self regulated learning dengan kenakalan remaja”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas maka
diperoleh rumusan permasalahan, di antaranya mengenai “bagaimana hubungan self regulated learning terhadap kenakalan remaja”. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut maka peneliti ingin melakukan
penelitian dengan mengambil judul “Hubungan Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja di SMP Kristen Harapan I Denpasar”.
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah
untuk mengetahui bagaimana hubungan self regulated learning dengan
(26)
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh hasil dan memberikan
manfaat antara lain:
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian diharapkan dapat menambah wawasan dan
pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan self regulated learning dan
kenakalan remaja di sekolah. Khusunya bagi psikologi perkembangan
dan psikologi sosial agar dapat lebih memahami bagaimana hubungan
self regulated learning terhadap kenakalan remaja. Penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi perkembangan
ilmu psikologi.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi remaja
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
mengenai bagaimana self regulated learning yang baik, sehingga
dapat mengurangi perilaku kenakalan.
b. Bagi sekolah
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
mendapatkan informasi tentang self regulated learning pada remaja,
sehingga dapat menekan perilaku kenakalan pada remaja di sekolah.
c. Bagi peneliti lain
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan atau data
(27)
kenakalan remaja, baik menggunakan variabel-variabel lain ataupun
(28)
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Pengertian
Santrock & Adelar (2003) mengatakan bahwa remaja (adolescence)
dapat diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak
dan masa dewasa yang mencangkup perubahan biologis, kognitif, dan
sosial-emosional. Fase remaja dimulai sekitar usia 10 hingga 13 tahun
dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Pada fase remaja, biasanya
seorang anak akan mengalami suatu perubahan. Perubahan tersebut
bukan hanya dari fisik namun juga dari psikologisnya. Berk (2007)
mengatakan bahwa masa remaja adalah periode transisi antara masa
kanak-kanak dan dewasa. Para teoretikus awal memandang masa remaja
sebagai periode kekacauan dan ketertekanan biologis atau sepenuhnya
dipengaruhi oleh lingkungan sosial.
Perjalanan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa ditandai oleh
periode transisional panjang yang dikenal dengan masa remaja. Masa
remaja secara umum dianggap dimulai dengan pubertas, proses yang
mengarah kepada kematangan seksual. Masa remaja dimulai pada usia 11
atau 12 sampai masa remaja akhir atau awal usia dua puluhan, dan masa
tersebut membawa perubahan besar saling betautan dalam semua ranah
(29)
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja
ialah masa transisi dari anak-anak menuju dewasa.
2. Batasan Usia
Menurut Santrock (2003) fase remaja dimulai sekitar usia 10 tahun
hingga 13 tahun dan berakhir pada usia 18 hingga 22 tahun. Ia juga
membagi fase remaja menjadi dua, yaitu masa remaja awal menunjuk
kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencangkup
kebanyakan perubahan pubertas, dan masa remaja akhir menunjuk
kira-kira setelah usia 15 tahun.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa batasan usia remaja
ialah mereka yang berusia 10 tahun hingga 13 tahun dan berakhir pada
usia 18 hingga 22 tahun. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil
batasan usia remaja dari usia 11 hingga 15 tahun.
3. Perkembangan Kognitif Remaja
Menurut Piaget (dalam Berk, 2007) di sekitar usia 11 tahun remaja
memasuki tahap operasional formal, sebuah tahap di mana mereka
mengembangkan kemampuan berpikir abstrak, sistematis, dan ilmiah.
Papalia (2008) mengatakan bahwa perkembangan ini memberikan cara
baru yang lebih fleksibel kepada mereka untuk mengolah informasi.
Mereka dapat menggunakan simbol untuk menyimbol, mereka dapat
(30)
makna yang lebih dalam. Mereka dapat berpikir dalam rangka apa yang
mungkin akan terjadi, bukan hanya apa yang terjadi. Mereka dapat
membayangkan kemungkinan dan dapat meyusun dan menguji hipotesis.
Selain itu, mereka juga dapat mengintegerasikan apa yang telah mereka
pelajari dengan tantangan di masa mendatang dan membuat rencana
untuk masa datang.
Piaget (dalam Berk, 2007) percaya bahwa di masa remaja, anak
muda pertama-tama mampu melakukan penalaran hipotetis-deduktif.
Ketika dihadapkan pada masalah, mereka mulai membuat hipotesis atau
prediksi tentang variabel-variabel yang mungkin mempengaruhi sebuah
hasil yang kemudian menjadi dasar mereka menarik kesimpulan logis
dan teruji. Selanjutnya, mereka secara sistematis akan memisahkan dan
menggabungkan variabel-variabel untuk melihat kesimpulan.
Perkembangan kognitif remaja ditandai dengan pemikirannya yang
lebih abstrak, idealistis, dan logis daripada saat masih anak-anak. Piaget
meyakini munculnya suatu bentuk egosentrisme baru di mana remaja
sulit membedakan antara perspektif sendiri dan perspektif orang lain.
Piaget mengatakan bahwa di sini muncul dua citra keliru tentang
hubungan antara diri dan orang lain (Berk, 2007). Egosentrisme remaja
menggambarkan meningkatnya kesadaran diri remaja yang terwujud
pada keyakinan mereka bahwa orang lain memiliki perhatian amat besar,
sebesar perhatian mereka terhadap diri mereka dan terhadap perasaan
(31)
David Elkind, 1978 (dalam Santrock, 2003) yakin bahwa
egosentrisme remaja dapat dibagi mejadi atas dua jenis berpikir sosial,
yaitu penonton imajiner (imaginary audience) dan dongeng pribadi
(personal fable). Penonton imajiner menggambarkan peningkatan
kesadaran remaja yang tampil pada keyakinan mereka bahwa orang lain
memiliki perhatian yang amat besar terhadap diri mereka, sebesar
perhatian mereka sendiri. Gejala penonton imajiner mencakup berbagai
perilaku untuk mendapatkan perhatian, keinginan agar kehadirannya
diperhatikan, disadari oleh orang lain, dan menjadi pusat perhatian.
Remaja ingin menghindari perilaku yang “salah” di mata orang lain,
terutama teman-temannya. Sehingga membuat mereka berperilaku
berlebihan agar diterima oleh teman-temannya baik cara berbicara,
berpakaian, dan berperilaku. Apabila remaja berada di tempat yang
“salah”, memiliki teman kelompok yang “nakal” maka ia cenderung
berbuat sesuai dengan ideologi kelompoknya tersebut tanpa merasa
bahwa ia akan mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya sendiri.
Dongeng pribadi memunculkan adanya anggapan kalau dirinya
mempunyai kebebalan terhadap hal-hal yang bersifat negatif dan
cenderung merugikan. Sedangkan dongeng pribadi adalah bagian
egosentrisme remaja berkenaan dengan perasaan keunikan pribadi yang
dimilikinya. Bahwa segala peristiwa, kejadian atau pengalaman buruk
mungkin terjadi pada orang lain, tetapi hal itu tidak mungkin terjadi pada
(32)
Remaja menjalankan tugas-tugas kognitif secara lebih efektif
daripada sebelumnya. Akan tetapi dalam pengambilan keputusan
sehari-hari, mereka kerap kali berpikir tidak rasional. Remaja tidak
mengidentifikasi pro dan kontra mengenai setiap alternatif, menilai
kemungkinan berbagi hasil, mengevalusai pilihan mereka berdasarkan
pertimbangan apakah tujuan mereka terpenuhi dan jika tidak, belajar dari
kesalahan dan mengambil keputusan yang lebih baik di masa depan
(Berk, 2007). Selain itu, Jacobs & Klaczynski (2002, dalam Berk, 2007)
mengemukakan bahwa dalam mengambil keputusan, remaja lebih sering
daripada orang dewasa (yang juga mengalami kesulitan) beralih pada
putusan intuitif. Hal itu dikarenakan dalam banyak jenis pengalaman,
mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk memprediksi
hasil-hasil yang mungkin muncul. Mereka juga menghadapi banyak
situasi kompleks yang melibatkan tujuan-tujuan yang saling bersaing. Di
samping itu, remaja jugaa sering merasa kewalahan ketika dihadapkan
dengan banyak sekali pilihan.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja
akan mengalami perkembangan kognitif, yaitu muncul suatu bentuk
egosentrisme baru di mana remaja sulit membedakan antara perspektif
sendiri dan perspektif orang lain. Elkind membagi menjadi dua jenis
berpikir sosial, yaitu penonton imajiner (imaginary audience) dan
dongeng pribadi (personal fable). Dalam hal ini remaja memiliki
(33)
pusat perhatian. Selain itu, remaja juga memiliki anggapan kalau dirinya
mempunyai kekebalan terhadap hal-hal yang bersifat negatif. Dalam
penelitian ini, peneliti mengambil teori Elkind.
4. Perkembangan Sosial dan Emosional Remaja
Masa remaja merupakan masa peluang sekaligus resiko. Para remaja
berada diantara kehidupan cinta, pekerjaan, dan partisipasi dalam
masyarakat dewasa. Belum lagi masa remaja adalah masa di mana para
remaja terlibat dalam perilaku yang penyempitan pandangan dan
membatasi pilihan mereka. Pencarian identitas sebagai konsepsi tentang
diri, penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan yang dipegang teguh oleh
seorang remaja (Papalia, 2008).
Menurut Erikson (1968, dalam Papalia, 2008) tugas utama masa
remaja adalah memecahkan “krisis” identitas versus kebingungan identitas, untuk dapat menjadi orang dewasa unik dengan pemahaman
akan diri yang utuh dan memahami peran nilai dalam masyarakat. Kroger
(1993, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa remaja tidak membentuk
identitas mereka dengan meniru orang lain, sebagaimana yang dilakukan
anak yang lebih muda, tetapi dengan memodifikasi dan menyintensis
identifikasi lebih awal ke dalam struktur psikologi baru yang lebih besar.
Remaja juga dapat menunjukkan kebingungan dengan mundur ke masa
(34)
melibatkan diri mereka secara impulsif ke dalam serangkaian tindakan
buruk.
Erikson (1982, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa remaja
yang berhasil mengatasi krisis tersebut dengan memuaskan
mengembangkan “moral” kesetiaan: mempertahankan loyalitas,
keyakinan atau perasaan dimiliki oleh yang tercinta atau kepada teman.
Kesetiaan dapat berarti identifikasi serangkaian nilai, ideologi, agama,
gerakan politik, pencarian kreatif, atau kelompok. Indentifikasi diri
muncul ketika anak muda lebih memilih nilai dan orang tempat dia
memberikan loyalitasnya, bukan sekedar mengikuti pilihan orang
tuanya. Kesetiaan merupakan perpanjangan dari rasa percaya (trust).
Pada masa bayi, mempercayai orangtua merupakan hal yang penting
untuk menekan ketidakpercayaan, pada masa remaja merupakan hal yang
penting untuk mempercayai diri sendiri.
Fuligni, Eccles, Barber, & Clement (2001, dalam Papalia, 2008)
mengatakan bahwa ketika remaja mendapatkan otonomi dan
mengembangkan hubungan keluarga yang lebih dewasa, para remaja
terus merujuk orangtua mereka demi kenyamanan, dukungan, dan saran.
Laursen, Coy, & Collins (1998, dalam Papalia, 2008) mengemukakan
bahwa konflik keluarga paling sering terjadi pada awal masa remaja
ketika emosi negatif mencapai puncaknya akan tetapi konflik semakin
(35)
Fuligni & Eccles (1993, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa
gaya pengasuhan yang sangat ketat dan otoriter mungkin tidak lagi sesuai
ketika anak memasuki masa remaja dan ingin diperlakukan lebih dewasa.
Ketika orangtua tidak menyesuaikan diri, seorang remaja mungkin
menolak pengaruh orangtua dan mencari dukungan serta persetujuan
teman sebaya, apapun risikonya.
Orangtua otoritatif akan bersikap tegas terhadap nilai penting
peraturan, norma, dan nilai tetapi bersedia mendengar, menjelaskan dan
bernegoisasi (Lamborn, Mounts, Steinberg, & Dornbusch, 1991, dalam
Papalia, 2008). Mereka melatih kontrol yang tepat terhadap perilaku anak
tetapi tidak mengatur pemahaman eksistensi diri sang anak (Steinberg &
Darling, 1994, dalam Papalia, 2008). Orangtua yang menunjukan
ketidaksetujuan kesalahan perilaku remaja akan lebih efektif memotivasi
mereka untuk berperilaku yang benar ketimbang orangtua yang
menghukum mereka dengan kejam (Krevans & Gibbs, 1996, dalam
Papalia, 2008).
Sekolah menawarkan peluang untuk belajar informasi, menguasai
keterampilan baru, dan menajamkan keterampilan yang sudah ada,
berpartisipasi dalam olahraga, seni dan aktivitas lain, mengeksporasi
pilihan pekerjaan, dan tempat berkumpul bersama teman. Sekolah juga
meluaskan horison intelektual dan sosial. Walaupun demikian, sebagian
remaja merasakan sekolah bukan sebagai peluang tetapi sebagai
(36)
Seidman (1989, dalam Papalia, 2008) mengungkapkan bahwa kualitas
sekolah sangat mempengaruhi prestasi sekolah siswa. Sekolah yang
bagus memiliki atmosfer yang teratur dan tidak oppressive; kepala
sekolah yang aktif dan energik; dan guru yang berpatisipasi dalam
pengambilan keputusan.
Remaja yang melewati perubangan fisik yang cepat mendapatkan
kenyamanan dengan bersama orang lain yang juga sedang melewati
perubahan yang sama. Penentangan remaja terhadap standar orang
dewasa dan otoritas orangtua menguatkankannya untuk merujuk pada
masukan dari teman yang berada di posisi yang sama. Kelompok teman
sebaya merupakan sumber afeksi, simpati, pemahaman, dan panduan
moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan otonomi
dan independensi dari orangtua. Kelompok tersebut merupakan tempat
membentuk hubungan intim yang berfungsi sebagai “latihan” bagi
intimasi orang dewasa (Gecas & Seff, 1990; Buhrmester, 1996; Laursen,
1996, dalam Papalia, 2008).
Pengaruh teman sebaya mencapai puncaknya pada awal masa
remaja, biasanya pada usia 12 sampai 13 tahun dan menurun pada masa
remaja pertengahan serta akhir. Keterikatan kepada teman sebaya pada
masa remaja awal tidak menghasilkan masalah kecuali apabila
keterikatan tersebut terlalu kuat sampai si remaja bersedia melanggar
(37)
mengembangkan bakatnya sebagai usaha mendapat pengakuan teman
sebaya dan popularitas (Fuligni et al., 2001, dalam Papalia, 2008).
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan
emosi yang tinggi. Pertumbuhan fisik, terutama organ-organ seksual
mempengaruhi berkembangnya emosi atau perasaan-perasaan dan
dorongan-dorongan baru yang dialami sebelumnya, seperti perasaan
cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan
jenis. Namun demikian kadang-kadang orang masih dapat mengontrol
keadaan dirinya sehingga emosi yang dialami tidak tercetus keluar
dengan perubahan atau tanda-tanda perilaku tersebut. Hal ini berkaitan
dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ekman dan Friesen (dalam
Walgito, 2003) yang dikenal dengan display rules, yaitu masking,
modulation, dan simulation. Masking adalah keadaan seseorang yang
dapat menyembunyikan atau dapat menutupi emosi alaminya. Emosi
yang dialaminya tidak tercetus keluar melalui ekspresi tingkah laku.
Contoh dari sikap masking tersebut adalah menutupi kesedihan,
mengendalikan amarah, tidak menampakkan kebahagiaannya.
Modulation adalah orang tidak dapat meredam secara tuntas mengenai
gejala kejasmaniannya, tetapi hanya dapat menguranginya. Contoh dari
sikap modulation adalah bersikap biasa jika keadaan jengkel, bersikap
cuek. Simulation adalah orang tidak mengalami emosi, tetapi ia
(38)
kejasmaniannya. Contoh dari sikap simulation adalah sering
memberontak, meledakkan amarahnya, egois, bertindak kasar.
Menurut Gunarsa & Gunarsa (1981) mengatakan bahwa remaja
cenderung untuk menggabungkan diri dalam kelompok teman sebaya.
Kelompok sosial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi
mereka. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat,
bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Kelompok remaja bersifat
positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk
melatih cara mereka bersikap, bertingkah laku dan melakukan hubungan
sosial. Namun, kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar
mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi
overacting dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat
merusak. Pada masa ini, juga berkembang sikap “conformity”, yaitu kecenderungan untuk menyerah atau mengikuti opini, pendapat, nilai,
kebiasaan, kegemaran, atau keinginan orang lain. Peer group,
pembentukan kelompok membuat kelompok-kelompok yang sama
dengan karakteristik dirinya ingin menonjolkan kelompok mereka.
Keinginan untuk bisa sama dengan yang lain dan bisa diterima oleh suatu
kelompok cukup tinggi. Maka, tidak heran jika terkadang remaja akan
bersedia melakukan apapun selama ia bisa diterima oleh kelompok
tersebut. Karena bagi sebagian orang, mereka yang akan dikucilkan oleh
kelompok merupakan hal yang dapat menyebabkan stress, frustasi, dan
(39)
Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu perkembangan
emosi yang tinggi. Mencapai kematangan emosional merupakan tugas
perkembangan yang sangat sulit bagi remaja. Proses pencapaiannya
sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-emosional lingkungannya,
terutama lingkungan keluarga dan kelompok teman sebaya. Dalam
menghadapi ketidanyamanan emosional tersebut, tidak sedikit remaja
yang mereaksinya secara defensif, sebagai upaya untuk melindungi
kelemahan dirinya (Hurlock, 1955).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gaya
pengasuhan otoritatif baik pada masa remaja. Selain itu, kualitas sekolah
juga memperngaruhi prestasi siswa. Pada masa remaja, remaja memiliki
kecenderungan untuk menggabungkan diri pada kelompok teman
sebayanya. Dalam penelitian ini, peneliti ingin memfokuskan pada
remaja memiliki kecenderungan untuk menggabungkan diri pada
kelompok teman sebayanya.
5. Tugas Perkembangan Remaja
Menurut Havighurst (dalam Yusuf, 2006), remaja mempunyai tugas
perkembangan sebagai berikut:
a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman
sebaya, baik pria maupun wanita.
(40)
c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara
efektif.
d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung
jawab.
e. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang
dewasa lainnya.
f. Mempersiapkan karier ekonomi.
g. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.
h. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk
berperilaku mengembangkan ideologi.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tugas
perkembangan remaja ialah mencapai hubungan baru dan yang lebih
matang dengan teman sebaya, mencapai peran sosial, menerima keadaan
fisiknya, mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab, mandiri
secara emosional, mempersiapkan karir ekonomi, mempersiapkan
perkawinan dan keluarga, memperoleh nilai dan sistem etis sebagai
pegangan dalam mengembangkan ideologi. Dalam penelitian ini, peneliti
membatasi tugas perkembangan remaja pada mencapai hubungan baru
dan lebih matang dengan teman sebaya, serta mencapai perilaku sosial
yang bertanggung jawab.
B. Kenakalan Remaja 1. Pengertian
(41)
M. Gold dan J. Petronio (dalam Sarwono, 2005) mendifinisikan
penyimpangan perilaku remaja dalam arti kenakalan anak sebagai
tindakan oleh seorang yang belum dewasa yang sengaja melanggar
hukum dan yang diketahui oleh anak itu sendiri bahwa jika perbuatannya
itu sempat diketahui oleh petugas hukum ia bisa dikenai hukuman.
Menurut Santrock (2003) kenakalan remaja (juvenile delinquency)
mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak
dapat diterima secara sosial (misalnya bersikap berlebihan di sekolah)
sampai pelanggaran status (seperti melarikan diri) hingga tindak kriminal
(misalnya pencurian).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kenakalan
remaja adalah suatu hal yang mengacu pada suatu rentang yang luas, dari
tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial (misalnya bersikap
berlebihan di sekolah) sampai pelanggaran status (seperti melarikan diri)
hingga tindak kriminal (misalnya pencurian).
2. Faktor Penyebab Kenakalan Remaja
Remaja yang melakukan kenakalan pada umumnya kurang memiliki
kontrol diri atau justru menyalahgunakan kontrol diri tersebut dan suka
menegakan standar tingkah laku sendiri, disamping meremehkan
keberadaan orang lain. Kenakalan yang mereka lakukan itu pada
umumnya disertai unsur-unsur mental dengan motif-motif subjektif, yaitu
(42)
Pada umumnya anak-anak muda tadi sangat egoistis, dan suka sekali
menyalahgunakan atau melebih-lebihkan harga dirinya (Kartono, 2007).
Berdasarkan penelitian Murtiyani (2011) pola asuh otoriter yang mana
orangtua tidak pernah berunding kepada anaknya untuk menentukan
peraturan dan orangtua memaksakan peraturan yang dibuatnya untuk
anak dapat menjadi salah satu faktor kenakalan remaja. Orangtua
menentukan peraturan pada anak dan tidak pernah melihat apakah anak
bersedia dan mau mengikuti apa yang telah dibuat oleh orangtua. Hal ini
memungkinkan remaja atau anak tidak diberi keempatan untuk bebas
bahkan menentang orangtua karena orangtua sangat mengekang remaja
atau anak, menyebabkan anak jarang keluar rumah atau jarang
berkomunikasi dengan dunia luar sehingga pada kemudian hari anak
akan mersa menikmati dunia luar dengan bebas.
Philip Graham (dalam Sarwono, 2005) mendasarkan teorinya pada
pengamatan empiris dari sudut kesehatan mental anak dan remaja. Ia
membagi faktor-faktor penyebab itu kedalam dua golongan, yaitu:
a. Faktor lingkungan:
1) Malnutrisi (kekurangan gizi).
2) Kemiskinan di kota- kota.
3) Gangguan di kota-kota besar.
4) Migrasi (urbanisasi, pengungsian karena perang, dan lain-lain).
5) Faktor sekolah (kesalahan mendidik, faktor kurikulum, dan
(43)
6) Keluarga yang tercerai-berai (perceraian, perpisahan yang
terlalu lama, dan lain-lain).
7) Gangguan dalam pengasuhan oleh keluarga:
i. Kematian orangtua.
ii. Orangtua sakit berat atau cacat.
iii. Hubungan antar keluarga tidak harmonis.
iv. Orangtua sakit jiwa.
v. Kesulitan dalam pengasuhan karena pengangguran,
kesulitan keuangan, tempat tinggal tidak memenuhi
syarat-syarat, dan lain-lain.
b. Faktor pribadi:
1) Faktor bakat yang mempengaruhi temperamen (menjadi
pemarah, hiperaktif, dan lain-lain)
2) Cacat tubuh
3) Ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri
Santrock (2007) menyebutkan ada beberapa faktor penyebab
kenakalan remaja, antara lain:
a. Identitas
Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erik
Erikson (1968, dalam Santrock, 2007), masa remaja ada pada tahap
di mana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi. Erikson
percaya bahwa perubahan biologis berupa pubertas menjadi awal
(44)
dimiliki keluarga, teman sebaya, dan sekolah terhadap remaja.
Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya dua bentuk
integrasi terjadi pada kepribadian remaja, yaitu pertama
terbentuknya perasaan akan konsistensi dalam kehidupannya dan
kedua tercapainya identitas peran, kurang lebih dengan cara
menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan, dan gaya yang
dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja.
Erikson percaya bahwa kenakalan terutama ditandai dengan
kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang
melibatkan berbagai aspek-aspek peran identitas. Remaja yang
memiliki masa balita, masa kanak-kanak, atau masa remaja yang
membatasi mereka dari berbagai peranan sosial yang dapat diterima
atau yang membuat mereka merasa bahwa mereka tidak mampu
mematuhi aturan yang dibebankan pada mereka mungkin akan
memilih perkembangan identitas yang negatif. Oleh karena itu, bagi
Erikson, kenakalan adalah suatu upaya untuk membentuk suatu
identitas, walaupun identias tersebut negatif.
b. Kontrol diri
Kenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan
untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah
laku. Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol yang
esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan.
(45)
tingkah laku yang dapat diterima dan tingkah laku yang tidak dapat
diterima, namun remaja yang melakukan kenakalan tidak mengenali
hal ini. Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat
diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin sebenarnya
mereka sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal
mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan
perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Oleh karena
itu, untuk memahami kenakalan remaja, kita haru menkaji berbagai
aspek yang berbeda dalam perkembangan kontrol diri, sebagai
contoh penundaan pemenuhan kebutuhan dan standar tingkah laku
yang ditentukan sendiri. Kegagalan menunda pemenuhan suatu
kebutuhan berhubungan dengan tingkah laku mencontek/curang dan
ketiadaan tanggung jawab sosial.
Remaja pelaku kenakalan juga mungkin saja mengembangkan
standar tingkah laku yang tidak memadai. Remaja yang melakukan
tindakan antisosial memerlukan pemikiran kritis terhadap dirinya
sendiri agar bisa meghambat kecenderungan untuk melakukan
tindakan yang melanggar hukum. Standar kritis terhadap diri sendiri
ini sangat dipengaruhi oleh model peran yang dimiliki oleh remaja.
Oleh sebab itu, remaja yang memiliki orangtua, guru, dan teman
sebaya yang menunjukan adanya standar kritis terhadap diri sendiri
biasanya mengambangkan kontrol diri yang diperlukan untuk
(46)
Konsekuensi yang diharapkan muncul akibat suatu tindakan
negatif juga berpengaruh pada keputusan remaja untuk melakukan
atau menjauhi kenakalan. Bila remaja mengharapkan suatu
penghargaan atau reward atas kenakalannya, mereka akan cenderung
melakukan tindakan antisosial dibandingkan bila mereka
berpendapat bahwa kenakalan akan menghasilkan hukuman.
Apakah seorang remaja akan melakukan tindak kenakalan juga
diperngaruhi oleh kompetisi yang telah ia capai dalam berbagai
aspek kehidupan yang berbeda-beda. Orang-orang yang berprestasi
baik, aktif berpatisipasi di berbagai klub yang diterima oleh
masyarakat, atau memiliki kemampuan dibidang atletik cenderung
akan mengembangkan cara pandang yang positif terhadap diri
mereka sendiri dan menerima reinforcement atau penguat dari orang
lain karena tingkah laku mereka yang prososial. Namun demikian,
kebanyakan remaja yang melakukan kenakalan tidak banyak
memiliki kemampuan dalam berbagai kompetisi yang dapat
meningkatkan cara pandangnya terhadap dirinya sendiri. Tingkah
laku antisosial menjadi satu cara di mana mereka bisa menunjukan
kompetisi diri dan menerima penguatan dari lingkungan yang juga
terdiri dari pelaku kenakalan (Kazdin, 1995, dalam Santrock, 2007).
c. Proses keluarga
Terganggunya atau ketiadaan penerapan pemberian dukungan
(47)
berhubungan dengan tingkah laku antisosial oleh anak-anak remaja
(Rosenbaum, 1989; Novy, et al., 1992; Moran, Chang, & Pettit,
1994, dalam Santrock, 2007). Selain itu, Offord & Boyle (1988,
dalam Santrock, 2007) mengatakan bahwa dukungan keluarga dan
praktek manajaeman seperti ini meliputi pengawasan keberadaaan
remaja, menerapkan disiplin yang efektif bagi tingkah laku
antisosial, menerapkan keterampilan pemecahan masalah yang
efektif, dan mendukung berkembanganya keterampilan prososial.
Orangtua yang memiliki remaja pelaku kenakalan biasanya tidak
terlatih untuk bersikap tidak mendukung tingkah laku antisosial
daripada orangtua yang memiliki remaja yang tidak melakukan
kenakalan. Pengawasan orangtua terhadap remaja terutama penting
dalam menentukan apakah remaja akan melakukan kenakalan atau
tidak. Perselisihan dalam keluarga serta penerapan disiplin yang
tidak konsisten dan tidak sesuai juga berhubungan dengan
kenakalan.
d. Kelas sosial/komunitas
McCord (1990, dalam Santrock, 2007) berpendapat bahwa
norma yang berlaku di antara teman-teman sebaya dan geng dari
kelas sosial yang lebih rendah adalah antisosial dan berlawanan
dengan tujuan dan norma masyarakat secara meluas. Terlibat dalam
suatu masalah atau menghindari masalah mejadi ciri yang mencolok
(48)
lebih rendah (Miller, 1958, dalam Santrock 2007). Status dalam
kelompok teman sebaya dapat ditentukan dari seberapa sering
seorang remaja melakukan tindakan anti sosial dan tetap tidak
dipenjara. Karena remaja dari kelas sosial yang lebih rendah
memiliki kesempatan yang lebih terbatas untuk mengembangkan
keterampilan yang diterima oleh masyarakat, mereka mungkin saja
merasa bahwa bisa mendapatkan perhatian dan status dengan cara
melakukan tindakan antisosial.
Chesney-Lind (1989) dan Fegueira & McDonough (1992)
(dalam Santrock, 2007) menyatakan bahwa komunitas juga dapat
berperan serta dalam munculnya kenakalan. Masyarakat dengan
tingkat kriminalitas yang tinggi memungkinkan remaja mengamati
berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh
hasil dari atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka.
Masyarakat seperti ini sering kali ditandai dengan kemiskinan,
pengangguran, dan perasaan terisisih dari kaum kelas menengah.
Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan
yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang
juga berhubungan dengan kenakalan remaja. Bila dukungan keluarga
tidak memadai, maka dukungan dari masyarakat seperti ini akan
menjadi suatu hal yang penting dalam mencegah kenakalan.
Laird et al., 2005 (dalam Berk, 2007) mengatakan bahwa
(49)
teman sebaya di masa kecil, dan hubungan dengan teman antisosial
terkait dengan kenakalan remaja. Salah satu temuan Capaldi et al., (2002)
dan Barnes et al., (2006) (dalam Berk, 2007) tentang remaja nakal adalah
keluarga mereka tidak hangat, penuh konflik, dan ditandai dengan
disiplin kasar dan tidak konsisten serta pengawasan rendah. Farrington,
(2004, dalam Berk, 2007) mengemukakan bahwa oleh karena transisi
pernikahan kerap kali menyebabkan perselisihan keluarga dan
tanggungunya pengasuhan, anak laki-laki yang mengalami perpisahan
dan perceraian orangtua sangat rentan menjadi remaja nakal.
Pengasuhan yang tidak efektif dapat menumbuhkan dan menopang
agresi anak. Dibanding anak perempuan, anak laki-laki lebih cenderung
menjadi sasaran amarah dan disiplin tidak konsisten karena mereka lebih
aktif dan implusif dan dengan demikian sulit dikendalikan. Bila
anak-anak memiliki karakteristik ini dengan sangat parah dan kemudian
mengalami pengasuhan tidak layak dan secara emosional negatif, agresi
meningkat selama masa kanak-kanak, mengakibatkan tindakan kekerasan
di masa remaja, dan tetap bertahan hingga masa dewasa (Berk, 2007).
Krevans & Gibbs (1996) dan Staub (1996) (dalam Papalia, 2008)
mengemukakan bahwa pada tahun-tahun awal, orangtua mulai
membentuk perilaku prososial atau antisosial dengan memenuhi
kebutuhan emosional dasar sang anak. Orangtua dari anak dengan
kenakalan kronis biasanya gagal menegakkan perilaku yang baik pada
(50)
kedua-duanya, dalam hal menghukum perilaku yang tidak patut.
Beberapa tahun kemudian orangtua tipe ini biasanya tidak terlibat secara
rapat dan positif dalam kehidupan anak mereka (G. R. Patterson,
DeBaryshe, & Ramsey, 1998, dalam Papalia, 2008). Anak-anak mungkin
mendapatkan imbalan dari perilaku antisosialnya ketika mereka
tertangkap, mereka mendapatkan perhatian atau menemukan jalan
mereka sendiri (Papalia, 2008).
Simons, Chao, et al. (2001, dalam Papalia, 2008) mengatakan bahwa
anak-anak “bermasalah” ini terus menerus mendapatkan pengasuhan yang tidak efektif, yang sering kali mengarah kepada perilaku nakal pada
masa remaja dan berteman dengan teman sebaya yang berperilaku
menyimpang. Selain itu, Neiderhiser, Reiss, et al. (1999, dalam Papalia,
2008) menambahkan bahwa remaja antisosial cenderung memiliki
konflik dengan orangtua, yang biasanya disebabkan oleh faktor genetik.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kenakalan
dapat dikatakan sebagai upaya untuk membentuk suatu identitas
walaupun identitas tersebut negatif. Selain identitas, kontrol diri juga
menjadi faktor kenakalan remaja di mana mereka gagal mengembangkan
kontrol diri dalam hal tingkah laku mereka. Proses keluarga menjadi
faktor kenakalan remaja yang cukup besar. Hal ini meliputi ketidakadaan
penerapan dukungan keluarga dan praktek manajemen oleh orangtua
secara konsisten, kurangnya pengawasan terhadap keberadaan remaja,
(51)
penuh konflik dapat meyebabkan remaja melakukan perilaku nakal.
Kelas sosial/komunitas juga menjadi penyumbang faktor kenakalan
remaja. Kelas sosial yang rendah cenderung melakukan kenakalan karena
mereka memiliki kesempatan yang terbatas untuk mengembangkan
keterampilan mereka yang dapat diterima di masyarakat. Dalam
penelitian ini, peneliti membatasi faktor kenakalan remaja dalam hal
kontrol diri dan proses keluarga.
3. Bentuk Kenakalan Remaja
Jensen (1985, dalam Sarwono, 2005) membagi kenakalan menjadi
empat jenis. Pertama, kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada
orang lain, seperti perkelahian, perkosaan, perampokan, pembunuhan,
dan lain-lain. Kedua, kenakalan yang menimbulkan korban materi,
seperti perusakan, pencurian, pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.
Ketiga, kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang
lain, seperti pelacuran, penyalahgunaan obat. Di Indonesia mungkin
dapat juga dimasukan hubungan seks sebelum menikah dalam jenis ini.
Keempat, kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status
anak sebagai pelajar dengan cara membolos, mengingkari status orangtua
dengan cara minggat dari rumah atau membantah perintah mereka dan
sebagainya. Pada usia mereka, perilaku-perilaku mereka memang belum
(52)
adalah status-status dalam lingkung primer (keluarga) dan sekunder
(sekolah) yang memang tidak diatur oleh hukum secara terinci.
Delinkuen merupakan produk konstitusi mental serta emosi yang
sangat labil dan defektif, sebagai akibat dari proses pengkondisian
lingkungan buruk terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda
tanggung usia, puber, dan adolesens (Kartono, 2007).
Adler (1952, dalam Kartono, 2007) menjabarkan bentuk-bentuk
perilaku delinkuen sebagai berikut:
a. Kebut-kebutan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas,
dan membahayakan jiwa sendiri serta orang lain.
b. Perilaku ugal-ugalan, berandalan, urakan, yang mengacaukan
ketentraman sekitar. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi
dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror
lingkungan.
c. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku
(tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa.
d. Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan, atau
bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan
eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan asusila.
e. Kriminalitas anak remaja seperti perbuatan mengancam, memeras,
mencuri dan pelanggaran lainnya.
f. Berpesta-pora, sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks
(53)
g. Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif
seksual.
h. Kecanduan dan ketagihan bahan narkotika (obat bius; drugs) yang
erat bergandengan dengan tindak kejahatan.
i. Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan
sehingga mengakibatkan ekses kriminalitas.
j. Penyimpangan tingkah-tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada
karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya
organ-organ yang inferior.
Mulyono (1995) mengatakan bahwa pada dasarnya perilaku
kenakalan dapat di golongkan menjadi dua golongan, di antaranya
adalah:
a. Kenakalan remaja yang tidak digolongkan pada pelanggaran hukum,
antara lain:
1) Berbohong, memutar balikkan kenyataan dengan tujuan menipu
orang atau menutupi kesalahan.
2) Membolos, pergi meninggalkan sekolah tanpa sepengetahuan
pihak sekolah.
3) Kabur, meninggalkan rumah tanpa ijin orangtua atau menentang
keinginan orangtua.
4) Keluyuran, pergi sendiri maupun berkelompok tanpa tujuan, dan
mudah menimbulkan perbuatan iseng yang negatif.
(54)
6) Bergaul dengan teman yang berpengaruh buruk.
7) Berpesta pora semalam suntuk tanpa pengawasan.
8) Membaca buku-buku porno, melihat film porno dan kebiasaan
menggunakan bahasa yang tidak sopan.
9) Berpakaian tidak pantas.
b. Kenakalan remaja yang tergolong pelanggaran hukum, antara lain:
1) Berjudi dengan menggunakan uang dan taruhan dengan benda
lain.
2) Mencuri, mencopet, menjambret, merampas dengan atau tanpa
kekerasan.
3) Minum-minuman keras atau menghisap ganja sehingga merusak
diri.
4) Penggelapan barang.
5) Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik dengan tujuan
kesulitan ekonomi maupun yang lainnya.
6) Penipuan dan pemalsuan.
7) Pelanggaran tata susila, menjual gambar-gambar porno,
pemerkosaan.
8) Tindakan-tindakan antisosial: perbuatan yang merugikan orang
lain.
9) Menyebabkan kematian orang lain, percobaan pembunuhan dan
turut dalam pembunuhan.
(55)
11) Penganiayaan berat.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas bahwa untuk
mendefinisikan bentuk perilaku kenakalan merupakan hal yang sulit
apakah tingkah laku seorang remaja semata-mata merupakan kenakalan
remaja atau hanya merupakan kelainan tingkah laku sesuai dengan tahap
perkembangan. Maka dalam hal ini peneliti membatasi bentuk perilaku
kenakalan yang dibagi menjadi dua golongan, yaitu kenakalan yang tidak
digolongkan pada pelanggaran hukum dan kebakalan yang tergolong
pelanggaran hukum.
C. Self Regulated Learning
1. Pengertian
Self regulated learning didefinisikan sebagai suatu proses di mana
pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi, metakognisi, dan
motivasi. Straregi kognisi meliputi usaha mengingat kembali dan melatih
materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi mengorganisir materi.
Strategi metakognisi meliputi merencanakan, memonitor, dan
mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi nilai belajar sebagai
kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap diri
sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan (Chin, 2004,
dalam Kristiyani, 2016).
(56)
Proses self regulated learning dilakukan agar seseorang atau
individu dapat mencapai tujuan yang diharapkannya. Dalam mencapai
suatu tujuan yang diharapkan seseorang perlu mengetahui kemampuan
fisik, kognitif, sosial, dan pengendalian emosi yang baik sehingga
membawa seseorang kepada regulasi diri yang baik. Miller & Brown
(dalam Neal & Carey, 2005) memformulasikan sebanyak tujuh tahap,
yaitu:
a. Receiving atau menerima informasi yang relevan, yaitu langkah awal
individu dalam menerima informasi dari berbagai sumber. Dengan
informasi-informasi tersebut, individu dapat mengetahui karakter
yang lebih khusus dari suatu masalah. Seperti kemungkinan adanya
hubungan dengan aspek lainnya.
b. Evaluating atau mengevaluasi. Setelah kita mendapatkan informasi,
langkah berikutnya adalah menyadari seberapa besar masalah
tersebut. Dalam proses evaluasi diri, individu menganalisis informasi
dengan membandingkan suatu masalah yang terdeteksi di luar diri
(eksternal) dengan pendapat pribadi (internal) yang tercipta dari
pengalaman yang sebelumnya yang serupa. Pendapat itu didasari
oleh harapan yang ideal yang diperoleh dari pengembangan individu
sepanjang hidupnya yang termasuk dalam proses pembelajaran.
c. Triggering atau membuat suatu perubahan. Sebagai akibat dari suatu
proses perbandingan dari hasil evaluasi sebelumnya, timbul perasaan
(57)
pemikiran-pemikiran yang tidak sesuai dengan informasi yang
didapat dengan norma-norma yang ada. Semua reaksi yang ada pada
tahap ini yaitu disebut juga kecenderungan kearah perubahan.
d. Searching atau mencari solusi. Pada tahap sebelumnya proses
evaluasi menyebabkan reaksi-reaksi emosional dan sikap. Pada akhir
proses evaluasi tersebut menunjukkan pertentangan antara sikap
individu dalam memahami masalah. Pertentangan tersebut membuat
individu akhirnya menyadari beberapa jenis tindakan atau aksi untuk
mengurangi perbedaan yang terjadi. Kebutuhan untuk mengurangi
pertentangan dimulai dengan mencari jalan keluar dari permasalahan
yang dihadapi.
e. Formulating atau merancang suatu rencana, yaitu perencanaan
aspek-aspek pokok untuk meneruskan target atau tujuan seperti soal
waktu, aktivitas untuk pengembangan, tempat-tempat dan aspek
lainnya yang mampu mendukung efesien dan efektif.
f. Implementing atau menerapkan rencana, yaitu setelah semua
perencanaan telah teralisasi, berikutnya adalah secepatnya megarah
pada aksi-aksi atau melakukan tindakan-tindakan yang tepat yang
mengarah ke tujuan dan memodifikasi sikap sesuai dengan yang
diinginkan dalam proses.
g. Assessing atau mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat.
Pengukuran ini dilakukan pada tahap akhir. Pengukuran tersebut
(58)
perencanaan yang tidak direalisasikan itu sesuai dengan yang
diharapkan atau tidak serta apakah hasil yang didapat sesuai dengan
yang diharapkan.
Berdasarkan hasil uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
proses self regulated learning terdiri dari receiving atau menerima,
evaluating atau mengevaluasi, triggering atau membuat suatu perubahan,
searching atau mencari solusi, formulating atau merancang suatu
rencana, implementing atau menerapkan rencana, assessing atau
mengukur efektivitas dari rencana yang telah dibuat.
3. Aspek-aspek Self Regulated Learning
Menurut Schunk dan Zimmerman (1998) menyatakan bahwa self
regulated learning mencakup tiga aspek, yaitu:
a. Metakognisi
Matlin (1998, dalam Schunk dan Zimmerman, 1998)
mengatakan bahwa metakognitif adalah pemahaman dan kesadaran
tentang proses kognitif atau pikiran tentang berpikir. Metakognitif
merupakan suatu proses penting. Hal ini disebabkan pengentahuan
seseorang tentang kognisinya dapat membimbing dirinya mengatur
atau menata peristiwa yang akan dihadapi dan memilih strategi yang
sesuai agar dapat meningkatkan kinerja kognitifnya ke depan. Hal
yang penting bagi individu yang melakukan regulasi diri adalah
(59)
mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan
evaluasi dalam aktivitas belajar.
b. Motivasi
Motivasi merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri
individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi
otonomi yang dimiliki dalam aktivitas belajar. Motivasi merupakan
fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan berkaitan dengan
perasaan kompetensi yang dimiliki setiap individu.
c. Perilaku
Perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri,
menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan
lingkungan yang mendukung aktivitas belajar.
Berdasarkan penjelesan di atas dapat disimpulkan aspek self
regulated learning ialah metakognisi, motivasi, dan perilaku. Didalam
aspek metakognisi terdapat kempampuan individu dalam merencanakan,
mengorganisasi atau mengatur, menginstruksikan diri, memonitor dan
melakukan evaluasi dalam aktivitas belajar. Aspek motivasi mencakup
persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki dalam
aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk
mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki
setiap individu. Aspek perilaku merupakan upaya individu untuk
mengatur diri, menyeleksi, dan memanfaatkan lingkungan maupun
(60)
penelitian ini, peneliti menggunakan aspek self regulated learning
sebagai dasar penelitian.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self Regulated Learning
Menurut Zimmerman (1989, dalam Kristiyani, 2016), ada dua faktor
yang mempengaruhi perkembangan self regulated learning, yaitu:
a. Faktor internal
Berdasarkan perspektif kognitif, faktor-faktor internal yang
mempengaruhi perkembangan self regulated learning ialah pengaruh
personal dan pengaruh perilakuan. Pengaruh faktor personal
terhadap self regulated learning, yaitu pengetahuan siswa dapat
dibedakan menjadi pengetahuan deklaratif dan pengetahuan regulasi
diri. Pengetahuan deklaratif diorganisasikan berdasarkan struktur
verbal, urutan dan hirarkinya, sedangkan pengetahuan regulasi diri
berupa strategi belajar atau standar siswa. Proses metakognisi
meliputi perencanaan dan kontrol perilaku. Pembutan keputusan
metakognisi tergantung juga pada tujuan jangka panjang siswa.
Tujuan siswa dan penggunaan proses kontrol metakognitifnya secara
teoritis tergantung pada persepsi efikasi diri dan afeksi. Pengaruh
perilakuan terdiri dari tiga jenis respon siswa yang relevan dengan
self regulated learning, yaitu observasi diri, penilaian diri, dan reaksi
diri. Observasi diri merupakan respon siswa yang meliputi
(61)
Proses ini dapat menghasilkan informasi mengenai seberapa baik
seseorang mengalami kemajuan dalam mencapai tujuan. Observasi
diri dipengaruhi oleh beberapa proses personal seperti efikasi diri,
penetapan tujuan, dan perencanaan metakognisi. Penilaian diri
merupakan respon siswa yang meliputi secara sistematis
membandingkan performansinya dengan strandar atau tujuan yang
sudah ditetapkan, sedangkan reaksi diri meliputi beberapa proses diri
seperti penetapan tujuan, persepsi efikasi diri, dan perencanaan
metakognisi, di mana hubungan ketiganya bersifat timbal balik.
b. Faktor eksternal
Kendati bersifat individual, perkembangan self regulated
learning seorang siswa juga diperngaruhi oleh faktor-faktor di luar
dirinya. Faktor-faktor tersebut adalah faktor keluarga, faktor sekolah,
dan faktor teman sebaya. Pola asuh dan keterlibatan orangtua dalam
pendidikan terbukti mempengaruhi regulasi diri dalam bidang
akademik siswa. Pola asuh yang ideal dalam mendukung
perkembangan self regulated learning siswa adalah pola asuh
demokratis, sedangkan pola asuh permisif terbukti berkolerasi
negatif dengan regulasi diri di bidang akademik siswa. Pengasuhan
yang dilakukan oleh ayah dan ibu juga memiliki dampak yang
berbeda dalam jenis regulasi siswa. Keterlibatan orangtua dalam
pendidikan terbukti meningkatkan kemampuan regulasi siswa dalam
(62)
Dukungan orangtua juga sangat memengaruhi perkembangan self
regulated learning siswa. Semakin besar besar dukungan dari
orangtua yang dirasakan siswa, semakin besar pula kemungkinan
siswa tersebut melakukan belajar bedasar regulasi diri. Faktor
sekolah yang mempengaruhi self regulated learning adalah relasi
guru-siswa (Leutwyler & Merki, 2009, dalam Kristiyani, 2016),
dukungan otonomi guru (Leutwyler & Merki, 2009; Sierens, et al.,
2009, dalam Kristiyani, 2016), dan model pengajaran yang diberikan
guru (Vassallo, 2011, dalam Kristiyani, 2016). Guru memiliki
pengaruh besar pada perkembangan self regulated learning (Greene
& Azevedo, 2007, dalam Kristiyani, 2016). Dalam faktor teman
sabaya, Zimmerman dan Cleary (2006, dalam Kristiyani, 2016)
mengatakan bahwa pada masa remaja kepercayaan pada kemampuan
sendiri, yang merupakan bagian dari self regulated learning, sangat
dipengaruhi oleh perilaku atau umpan balik dari orang-orang penting
di sekitar siswa, seperti teman sebaya. Newman (2002, dalam
Kristiyani, 2016) menyatakan bahwa siswa yang memiliki self
regulated adalah siswa yang memiliki perasaan otonomi yang tinggi.
Tetapi hal ini bukan berarti mereka terisolasi dan tidak
membutuhkan bantuan orang lain, teman sebaya adalah orang-orang
yang dapat memanifestasikan kebutuhan ini.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor self
(63)
Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan pada faktor internal, yaitu
pengaruh personal dan pengaruh perilakuan.
D. Dinamika Hubungan Self Regulated Learning dengan Kenakalan Remaja
Masa remaja adalah masa di mana seseorang lebih mementingkan
kehidupan sosialnya di luar ikatan sosialnya dalam keluarga, berpikir tentang
apa yang terjadi pada pikiran orang lain, emosi yang tinggi, serta mulai
melihat lebih dekat diri mereka sendiri untuk mendefinisikan bahwa diri
mereka berbeda. Mereka mudah menjadi tidak puas dengan diri mereka
sendiri, mengkritik sifat-sifat pribadi mereka, membandingkan diri mereka
dengan orang lain, dan mencoba mengubah seperti diri orang lain atau teman
lain. Pada fase remaja, biasanya seorang anak akan mengalami suatu
perubahan. Perubahan tersebut bukan hanya dari fisik namun juga dari
psikologisnya. Pada masa transisi ini kemungkinan dapat menimbulkan masa
krisis yang ditandai dengan kecenderungan munculnya kenakalan pada
remaja.
Menurut Santrock (2003) kenakalan remaja (juvenile delinquency)
mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat
diterima secara sampai pelanggaran status hingga tindak kriminal. Perilaku
ketidakdisiplinan siswa di sekolah juga menjadi salah satu bentuk kenakalan
pada remaja yang melawan status. Hal ini sejalan dengan penelitian Sutrisno
(2009) yang mengatakan bahwa remaja kebanyakan berprilaku sebagai siswa
(64)
sekolah, seperti membolos, datang terlambat, melalaikan tugas, catatan tidak
lengkap, tidak berseragam lengkap, malas mengikuti pelajaran, acuh tak acuh
pada jam pelajaran, merokok, tidak sopan, mempengaruhi teman untuk
melanggar disiplin, nongkrong di kantin.
Ketika remaja tidak disiplin, maka ia membutuhkan strategi belajar.
Salah satu strategi belajar yang diperlukan oleh remaja adalah self regulated
learning (SRL). Self regulated learning dapat didefinisikan sebagai suatu
proses di mana pelajar melakukan strategi dengan meregulasi kognisi,
metakognisi, dan motivasi. Straregi kognisi meliputi usaha mengingat
kembali dan melatih materi terus-menerus, elaborasi, dan strategi
mengorganisir materi. Strategi metakognisi meliputi merencanakan,
memonitor, dan mengevaluasi. Strategi motivasional meliputi nilai belajar
sebagai kebutuhan diri atau sisi intrinsik, melakukan penghargaan terhadap
diri sendiri, dan tetap bertahan ketika menghadapi kesulitan (Chin, 2004
dalam Kristiyani, 2016). Schunk dan Zimmerman (1998) mengatakan bahwa
self regulated learning yang terdiri dari tiga aspek, yaitu metakognitif,
motivasi, dan perilaku.
Pada aspek metakognitif, Matlin (1998) mengatakan bahwa metakognitif
adalah pemahaman dan kesadaran tentang proses kognitif atau pikiran tentang
berpikir. Metakognitif merupakan suatu proses penting. Hal ini disebabkan
pengentahuan seseorang tentang kognisinya dapat membimbing dirinya
mengatur atau menata peristiwa yang akan dihadapi dan memilih strategi
(65)
Sehubungan dengan itu, Zimmerman (1998) menyatakan bahwa hal yang
penting bagi individu yang melakukan regulasi diri adalah kempampuan
individu dalam merencanakan, mengorganisasi atau mengatur,
menginstruksikan diri, memonitor dan melakukan evaluasi dalam aktivitas
belajar. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang tinggi
akan maka ia mampu merencanakan kegiatan sehari-hari, mampu mengatur
diri, serta dapat memonitor kegiatannya, dan melakukan evaluasi
kegiatannya. Sebaliknya, apabila seorang remaja memiliki self regulated
learning yang rendah maka ia akan kesulitan untuk membuat suatu
perencanaan kegiatan sehari-hari, kesulitan mengatur diri, kesulitan
mengontrol kegiatannya, dan kesulitan dalam mengevaluasi kegiatan.
Pada aspek motivasi, Zimmerman (1998) mengatakan bahwa motivasi
merupakan pendorong (drive) yang ada pada diri individu yang mencakup
persepsi terhadap efikasi diri, kompetensi otonomi yang dimiliki dalam
aktivitas belajar. Motivasi merupakan fungsi dari kebutuhan dasar untuk
mengontrol dan berkaitan dengan perasaan kompetensi yang dimiliki setiap
individu. Apabila seorang remaja memiliki self regulated learning yang
tinggi maka ia merasa percaya bahwa dirinya mampu mengorganisasikan dan
memutuskan tindakan yang akan dilakukan dalam berbagai situasi. Selain itu,
ia mempunyai tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai dengan melakukan
usaha tertentu. Sebaliknya, apabila seorang remaja memiliki self regulated
learning yang rendah maka ia akan merasa kurang percaya diri, ia tidak
(66)
Pada aspek perilaku, Zimmerman dan Pons (1998) menyatakan bahwa
perilaku merupakan upaya individu untuk mengatur diri, menyeleksi, dan
memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan lingkungan yang
mendukung aktivitas belajar. Apabila seorang remaja memiliki self regulated
learning yang tinggi maka ia mampu untuk melihat perilakunya sendiri
dengan memberikan perhatian atas kualitas pada perilaku yang sedang
dilakukannya. Selain itu, mereka juga mampu untuk mengevaluasi
perilakunya sendiri dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Self regulated learning yang tinggi juga dapat dilihat dari bagaimana remaja
mampu untuk merespon secara postitif atau negatif perilakunya yang
bergantung pada standar personal dalam mengukur perilaku dengan
memberikan reward atau punishment. Apabila serorang remaja memiliki self
regulated learning yang rendah, maka ia merasa kurang mampu untuk
melakukan evaluasi diri dengan memberikan perhatian atas apa yang mereka
lakukan. Tambahan pula, remaja yang memiliki self regulated learning yang
rendah akan kesulitan merespon secara positif maupun negatif perilakunya.
Pada kenakalan remaja, self regulated learning memiliki pengaruh pada
remaja untuk mengatur diri, mengevaluasi diri, mengorganisasikan dan
memutuskan suatu tindakan, serta merespon secara positif maupun negatif
perilaku yang dilakukannya. Hal ini menentukan pengambilan keputusan
remaja untuk melakukan suatu tindakan. Remaja yang memiliki self regulated
learning yang tinggi akan mampu menyadari perilakunya dan mampu
(67)
kenakalan. Sebaliknya, remaja dengan tidak memiliki self regulated learning
yang baik cenderung kurang mampu menyadari perilakunya dan kurang
mampu mengatur dirinya sendiri, sehingga remaja melakukan kenakalan.
E. Hipotesis
Berdasdarkan uraian di atas, maka hipotesis penelitian ini adalah ada
hubungan negatif antara self regulated learning dengan kenakalan remaja.
Apabila tingkat kecenderungan kenakalan tinggi, maka self regulated
learning rendah. Sebaliknya, jika tingkat kecenderungan kenakalan rendah,
(68)
F. Kerangka Berpikir
Self Regulated Learning
(SRL)
SRL Tinggi SLR Rendah
Mampu mengatur strategi belajar
Kurang mampu mengatur strategi belajar
(1)
No. Aspek Indikator Item Favorable Item
Unfavorable
Jumlah 1. Metakognitif 1. Merencanakan 1.1.1
Saya selalu menulis jadwal kegiatan sehari-hari. 1.1.3 Saya selalu belajar meskipun tidak ada ulangan. 1.1.2 Saya malas menulis jadwal kegiatan sehari-hari. 1.1.4 Saya hanya belajar ketika ada ulangan saja 4 item (16%) 2. Mengorganisasi/menga tur 1.2.1
Saya akan pergi dengan teman-teman setelah selesai menyelesaikan tugas dirumah. 1.2.2
Saya akan tetap pergi dengan teman-teman meskipun PR belum saya kerjakan. 1.2.3
Saya akan tetap pergi dengan teman-teman meskipun belum menyelesaikan tugas dirumah. 3 item (12%) 3. Menginstruksikan diri, memonitor & melakukan evaluasi
1.3.1
Saya datang ke sekolah tepat waktu. 1.3.3 Saya selalu menyisihkan waktu untuk quality time dengan keluarga. 1.3.2 Saya jarang menyisihkan waktu untuk quality time dengan keluarga. 3 item (12%)
2. Motivasi 1. Dorongan yang ada pada diri individu yang mencakup persepsi terhadap efikasi diri,
2.1.1 Saya mampu menyelesaikan tugas tepat waktu. 2.1.3 Saya 2.1.2 Saya sering terlambat mengumpulkan tugas. 2.1.4 Saya membutuhkan 5 item (20%)
(2)
mengerjakan PR karena itu adalah
kewajiban.
bantuan orang lain ketika mengerjakan tugas. 2.1.6 Saya
mengerjakan PR karena takut dihukum guru. 2. Kompetensi
otonomi
2.2.1 Saya selalu berjuang mendapatkan nilai yang baik dalam ulangan. 2.2.3
Jika saya mendapat nilai ulangan yang jelek maka saya akan menambah jam belajar. 2.2.4
Saya menjadi diri sendiri dan tidak takut dicap aneh oleh teman-teman.
2.2.2
Saya enggan berusaha mendapat nilai yang baik dengan belajar.
4 item (16%)
3. Perilaku 1. Mengatur diri 3.1.1Dirumah saya mengulang kembali pelajaran yang telah diberikan di sekolah.
3.1.2
Pada malam hari saya malas menyiapkan buku-buku untuk pelajaran besok.
2 item (8%)
2. Menyeleksi 3.2.1 Saya lebih senang belajar sendiri daripada belajar
berkelompok.
3.2.2
Saya bergaul dengan siapa saja tanpa mempertimban gkan dampak postifi dan negatif yang mungkin saya terima.
2 item (8%)
(3)
3. Memanfaatkan lingkungan maupun menciptakan
lingkungan yang mendukung aktivitas belajar
3.3.1
Saya merapikan meja belajar ketika akan belajar.
3.3.2 Saya
membiarkan meja belajar berantakan ketika saya akan belajar.
2 item (8%)
25 item (100%)
(4)
Lampiran 10
(5)
No. Aspek Item Favorable Item Unfavorable Jumlah 1. Tidak digolongkan
pada pelanggaran hukum
1.
Saya pernah berbohong pada guru.
3.
Saya pernah
membohongi teman saya.
5.
Saya pernah bolos pada saat jam pelajaran. 7.
Saya lebih senang ngobrol dengan teman daripada mendengarkan guru menjelaskan pelajaran.
9.
Saya malas memakai atribut sekolah dengan lengkap.
2.
Saya selalu jujur pada teman saya. 4.
Saya rajin mengikuti pelajaran hingga selesai.
6. Saya
menyelesaikan masalah dengan orangtua secara baik-baik. 8.
Saya datang terlambat ke sekolah.
10. Saya tetap
mendengarkan guru menjelaskan pelajaran meskipun teman mengajak ngobrol.
11.
Saya selalu memakai atribut sekolah dengan lengkap. 12.
Saya selalu jujur pada guru.
12 item (50%)
(6)
2. Digolongkan pada pelanggaran hukum
1.
Saya pernah taruhan dengan teman. 3.
Saya pernah mengambil barang orang tanpa izin. 5.
Saya pernah minum minuman beralkohol. 7.
Saya merasa biasa saja ketika tertangkap basah mengambil barang teman. 9.
Saya suka ugal-ugalan ketika mengendarai kendaraan.
11.
Saya pernah ikut tawuran. 2.
Saya selalu
menjalin hubungan yang baik dengan teman.
4.
Saya menghindari taruhan dengan teman.
6.
Saya meminta izin apabila meminjam barang orang lain. 8.
Saya menghindari minum minuman beralkohol. 10.
Saya merasa malu ketika tertangkap basah mengambil barang teman. 12.
Saya selalu mematuhi peraturan lalu lintas.
12 item (50%)
24 item (100%)