Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Faktor Motivator dengan Kepuasan Kerja Karyawan CV. Griya Wali Sakti T1 132007003 BAB II

(1)

xxi BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kepuasan Kerja

2.1.1 Pengertian Kepuasan Kerja

Menurut Porter dan Lawler (dalam Kreitner & Kinicki, 2004) menyatakan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil dari perbedaan antara imbalan yang dianggap pantas (yang diharapkan) dengan imbalan yang diperoleh. Disini Porter dan Lawler juga mendiskripsikan tentang motivasi kerja, dimana motivasi kerja mengandung arti kemampuan, dan persepsi peran, menghasilkan prestasi kerja (performance) dan memperoleh imbalan baik intrinsik (contohnya, pilihan, kompetensi, dan kemajuan) atau ekstrinsik (gaji dan pengakuan dari publik).

Lawler dan Porter, (dalam Kreitner & Kinicki, 2004) kepuasan kerja menentuan tinggi rendahnya motivasi. Motivasi menentukan tinggi rendahnya prestasi kerja. Prestasi kerja menghasilkan imbalan (dinilai adil atau tidak) yang menentukan tinggi rendahnya kepuasan kerja. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa motivasi dan kepuasan kerja memiliki hubungan positif. Bahkan memiliki hubungan timbal balik. Karena, kepuasan kerja juga merupakan hasil dari prestasi yang berkaitan dengan motivasi kerja.


(2)

xxii 2.1.2 Model Kepuasan Porter dan Lawler

Kepuasan kerja mengacu pada kontroversi hubungan antara kepuasan dan kinerja yang sudah ada sejak awal pergerakan hubungan manausia. Teori kepuasan secara implikasi mengasumsikan bahwa kepuasan meningkatkan kinerja dan ketidakpuasan mengurangi kinerja. Porter dan Lawler mulai dengan premis bahwa motivasi (usaha atau kekuatan) tidak sama dengan kepuasan dan kinerja. Porter dan Lawler menunjukan bahwa usaha (kekuatan atau motivasi) tidak secara langsung menghasilkan kinerja. Kinerja dihubungkan dengan kemampuan dan karakter serta persepsi peran. Yang lebih penting dalam model Porter dan Lawler adalah apa yang terjadi setelah kinerja. Penghargaan yang menyusul dan bagaimana penghargaan dinilai akan menentukan kepuasan. Dengan kata lain, model Porter dan Lawler (dalam Luthans, 2006) menyatakan dan ini merupakan perubahan penting dari pemikiran tradisional bahwa kinerja menghasilkan kepuasan.

Model Porter-Lawler ini konsisten dengan model ini menerima premis bahwa (1) kebutuhan yang dirasakan akan menyebabkan perilaku kemanusiaan; dan (2) usaha yang dilakukan untuk mencapai suatu tugas oleh nilai balas jasa yang dirasakan, yang dihasilkan dari suatu tugas dan probabilitas bahwa balas jasa tersebut akan menjadi nyata.


(3)

xxiii

1. Nilai balas jasa yang dìrasakan dìtentukan oleh baik balas jasa intrinsik dan ekstrinsik yang menghasilkan keputusan kebutuhan ketika suatu tugas diselesaìkan. Balas jasa intrinsik berasal langsung dari pelaksanaan suatu tugas, sementara balas jasa ekstrinsik tidak ada hubungannya dengan tugas itu sendiri. Contoh, ketika seorang wirausahawan memberi bimbingan pada bawahan mengenai suatu masalah pribadi. wirausahawan tersebut mungkin mendapat balas jasa intrinsik dalam bentuk kepuasan pribadi dengan membantu orang lain. 2. Tingkatan dimana individu secara efektif menyelesaikan suatu tugas

ditentukan oleh dua variabel: (1) persepsi individu tentang apa yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas, dan (2) kemampuan sesungguhnya dari individu untuk menjalankan suatu tugas. Sesungguhnya, efektivitas individu dalam menyelesaikan suatu tugas meningkat ketika persepsi dari apa yang diperlukan untuk melaksanakan suatu tugas menjadi lebih akurat dan ketiika kemampuan untuk menjalankan suatu tugas meningkat.

3. Keadilan balas jasa yang dirasakan akan mempengaruhi jumlah kepuasan yang dihasilkan oleh balas jasa tersebut. Pada umumnya,


(4)

xxiv

semakin adil balas jasa yang dirasakan oleh individu, semakin besar kepuasan yang dirasakan sebagai hasil dan menerima balas jasa.


(5)

xxv

Model Porter dan Lawler (dalam Luthans, 2006) mendapat dukungan penelitian selama bertahun-tahun. Misalnya, studi lapangan menunjukan bahwa level usaha dan arah usaha merupakan hal penting dalam menjelaskan kinerja individu dalam organisasi. Tinjauan yang komprehensif terhadap penelitian juga membuktikan pentingnya penghargaan berkenaan dengan kinerja dan kepuasan. Secara khusus disimpulkan bahwa hubungan antara kinerja dan kepuasan akan lebih erat saat penghargaan dihubungkan dengan kinerja.

2.1.3 Implikasi Dalam Praktik

Meskipun model Porter-Lawler (dalam Luthans, 2006) lebih berorientasi pada aplikasi-aplikasi daripada model Vroom- tapi model tersebut masih kompleks dan terbukti sulit menjembatani perbedaan pada praktik mamajemen sumber daya manusia yang sebenarnya. Kelebihan Porter dan Lawler adalah mereka bersungguh-sungguh menempatkan teori dan penelitian mereka ke dalam dunia nyata. Mereka merekomendasikan agar manajer berpengalaman tidak bersikap tradisional. Manajer sebaiknya berusaha mengukur variabel seperti penghargaan yang mungkin diberikan, persepsi terhadap probabilitas penghargaan atas usaha yang dilakukan, dan persepsi peran. Tentu saja variabel tersebut dapat membantu manajer dalam memahami usaha da kinerja karyawan dengan lebih baik. Dengan berfokus pada konsekuensi kinerja,


(6)

xxvi

Porter dan Lawler juga merekomendasikan agar organisasi secara kritis mengevaluasi ulang kebijakan penghargaan terbaru. Mereka menekankan bahwa manajemen sebaiknya berkontrasi pada usaha-usaha untuk mengukur seberapa dekat tingkat kepuasan berhubungan dengan tingkat kinerja, dan artikel yang berorientasi praktisioner menekankan bahwa persepsi peranan mungkin tidak berhubungan dengan pengembangan kinerja karyawan. Kesimpulan yang dapat diambil disini adalah bahwa kayawan perlu memfokuskan usaha mereka pada perilaku dan aktifitas yang berdampak tinggi, yang menghasilkan kinerja lebih tinggi. Akan tetapi, studi dan analisis komprehensif terus menunjukan dampak kompleks dari proses kognitif sehubungan dengan penghargaan dan hasil akhir lain di dalam organisasi.

2.1.4 Kontribusi pada Motivasi kerja

Model Porter dan Lawler (dalam Luthans, 2006) memberi kontribusi signifikan bagi pemahaman yang lebih baik terhadap motivasi kerja dan hubungan antara kinerja dan kepuasan. Akan tetapi, saat ini model tersebut tidak punya banyak dampak pada praktik sesungguhnya dari manajemen sumber daya manusia. Namun demikian, model ini memberikan panduan tertentu yang dapat diikuti oleh manajemen sumber daya manusia. Namun demikian model ini member panduan tertentu yang dapat diikuti oleh manajemen sumber daya manusia. Misalnya


(7)

xxvii

hubungan antara motivasi dan kinerja, model tersebut menyatakan bahwa rintangan berikut harus diatasi :

1. Keraguan akan kemampuan, keahlian, atau pengetahuan 2. Kemungkinan pekerjaan fisik atau praktis

3. Saling ketergantungan antara pekerjaan dengan orang atau aktivitas lain 4. Ambiguitas mengenai persyaratan pekerjaan.

Selain itu, pada bagian akhir (hubungan antara kinerja dengan kepuasan), pedoman seperti berikut ini disarankan :

1. Menentukan penghargaan apa yang dihargai karyawan 2. Menentukan kinerja yang diinginkan

3. Membuat kinerja yang diinginkan tercapai


(8)

xxviii 2.2 Motivasi 2 Faktor Dari Herzberg

Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor (Cushway and Lodge, 1995 : 138). Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu faktor intrinsik yaitu daya dorong yang timbul dari dalam diri masing-masing orang, dan faktor ekstrinsik yaitu daya dorong yang datang dari luar diri seseorang, terutama dari organisasi tempatnya bekerja. Jadi karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinnya menggunakan kreaktivitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat.

Kepuasan disini tidak terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi Herzberg mengembangkan teori motivasi dua faktor (Cushway and Lodge, 1995 : 138). Menurut teori ini ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan


(9)

xxix

seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation. Teori Herzberg ini melihat ada dua faktor yang mendorong karyawan termotivasi yaitu:

a) Pertama, kebutuhan akan kesehatan atau kebutuhan pemeliharaan maintenance factor (faktor pemeliharaan). Faktor pemeliharaan berhubungan dengan hakikat manusia yang ingin memperoleh ketentraman dan kesehatan badaniah (hygience)

b) Kedua, faktor pemeliharaan menyangkut kebutuhan psikologis

seseorang. Kebutuhan ini meliputi serangkaian kondisi intrinsik , kepuasan kerja (motivation factor) yang apabila terdapat dalam pekerjaan akan menggerakan tingkat motivasi yang kuat, yang dapat menghasilkan pekerjaan dengan baik

Jadi karyawan yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinnya menggunakan kreaktivitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan disini tidak terutama dikaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya, mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada


(10)

xxx

apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang diinginkannya dari organisasi.

Adapun yang merupakan faktor hygienis terdiri dari :

1. Kompensasi, 2. Kondisi kerja, 3. Supervisi,

4. Hubungan antara manusia, 5. Kebijaksanaan perusahaan.

Sedangkan faktor motivasi menurut Herzberg (Luthans, 2006) adalah :

1. Pekerjaan itu sendiri (the work it self), 2. Prestasi yang diraih (achievement), 3. Peluang untuk maju (advancement), 4. Pengakuan orang lain (ricognition), 5. Tanggung jawab (responsible).

Lebih jelasnya teori dua faktor Herzberg (Herzberg’s Two Factor Theory) yang dikutip oleh Luthas (2006) sebagai berikut :


(11)

xxxi 1. Higienis

a) Kebijakan perusahaan (company policy), derajat kesesuaian yang dirasakan tenaga kerja dari semua kebijakan dan peraturan yang berlaku diperusahaan. b) Penyeliaan (supervision), derajat kewajaran penyeliaan yang dirasakan oleh

tenaga kerja.

c) Gaji (salary), derajat kewajaran gaji/upah sebagai suatu imbalan atas hasil kerjanya (performance). Gaji yang besar belum menjamin kepuasan kerja seorang karyawan, begitu juga gaji yang kecil belum pasti juga membuat karyawan merasa kecewa. Namun, gaji yang adil dengan porsi pekerjaan mereka akan lebih membuat karyawan merasa dihargai.

d) Hubungan antar pribadi (interpersonal relations), derajat keseuaian yang dirasakan dalam berinteraksi dengan tenaga kerja lainnya.

e) Kondisi kerja (working condition), derajat kesesuaian kondisi kerja dengan proses pelaksanaan pekerjaannya.

kelompok-kelompok faktor yang berhubungan dengan ketidakpuasan dalam pekerjaan seringkali disebut dengan context factor. Sedangkan faktor yang sering kali berhubungan dengan isi (content) dari sebuah pekerjaan, itu mengapa seringkali disebut juga content factor. Faktor ini adalah :


(12)

xxxii 2. Motivator

a) Hal yang mendorong para karyawan adalah pekerjaan yang menantang. Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka. Karakteristik ini membuat pekerjaan secara mental lebih menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak pekerjaan menantang dapat menciptakan perasaan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.

b) Hal kedua yang dapat mendorong karyawan adalah dengan kinerja yang ditunjukan karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya dengan maksimal untuk berprestasi sehubungan dengan seperangkat standart yang telah ditentukan dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan atas kegiatan yang dilakukannya.

c) Peluang untuk maju juga menjadi prioritas karyawan dalam mendorong karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan harapan mendapatkan peluang untuk kemajuan dalam pekerjaannya. Dengan adanya peluang untuk maju karyawan akan berusaha untuk lebih baik dalam pekerjaannya, mereka akan berusaha melampaui standart yang ada.


(13)

xxxiii

d) Karyawan akan lebih dapat menunjukan kinerja yang positif apabila mereka mendapatkan pengakuan dari orang lain. Orang lain disini dapat berarti luas, dapat berarti atasan atau rekan kerja mereka. Dengan adanya pengakuan dari orang lain, karyawan akan lebih menunjukan kemampuan yang dimilikinya karena dengan adanya pengakuan dari atasan atau rekan kerjanya mereka lebih merasa diperhatikan akan pekerjaannya dan merasa lebih dihargai. e) Hal terakhir yang dapat medorong karyawan untuk meningkatkan kinerjanya

adalah tanggung jawab dari pekerjaan itu sendiri. Karyawan akan lebih serius dan maksimal apabila diberikan tanggung jawab atas pekerjaannya.

Faktor faktor yang masuk kedalam kelompok motivator cenderung merupakan faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak proaktif, sedangkan faktor yang termasuk kedalam kelompok hygiene cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif. Faktor hygiene bisa memindahkan ketidakpuasan dan meningkatkan performance, namun sampai titik tertentu, memperbaiki faktor faktor tersebut tidak lagi berpengaruh banyak. Untuk itu usaha-usaha yang dilakukan untuk lebih meningkatkan peformance dan sikap lebih positif, sebaiknya menggunakan dan berpusat pada faktor faktor motivator. Pekerjaan seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan derajat penghargaan yang tinggi oleh kedua faktor


(14)

xxxiv

tersebut. Faktor hygiene untuk menghindari ketidakpuasan kerja karyawan dan motivator sebagai faktor yang memastikan kepuasan kerja karyawan.

Gambar 2.2 : Herzberg’s view of satisfaction and dissatisfaction

2.2.1 Kontribusi Pada Motivasi Kerja

Teori dua-faktor Herzberg memberikan pandangan baru mengenai kepuasan motivasi kerja. Sampai pada titik ini, manajemen umumnya berkonsentrasi pada faktor higienis. Saat berhadapan dengan masalah semangat, solusi umumnya adalah gaji yang lebih tinggi, benefit, dan kondisi kerja yang lebih baik. Akan tetapi, seperti yang sudah dijelaskan, solusi sederhana tidak benar-benar berhasil. Manajemen sering bingung karena mereka membayar gaji dan upah yang tinggi, mempunyai benefit yang menarik, dan menyediakan kondisi kerja yang baik, tetapi karyawan mereka masih tidak termotivasi. Teori Herzberg menjelaskan masalah tersebut,


(15)

xxxv

dengan hanya berkonsentrasi pada faktor higienis manajemen tidak benar-benar memotivasi karyawannya.

Mungkin terdapat sangat sedikit karyawan atau rekan kerja yang tidak merasa bahwa mereka pantas mendapatkan kenaikan yang mereka peroleh. Sebaliknya, ada banyak karyawan dan manajer yang tidak puas dan merasa tidak memperoleh kenaikan yang pantas. Pengamatan sederhana menunjukan bahwa faktor higienis tampaknya penting untuk mencegah ketidakpuasan, tetapi tidak menyebabkan kepuasan. Herzberg yang pertama kali menyatakan bahwa faktor higienis benar-benar diperlukan untuk mempertahankan sumber daya manusia orgaisasi. Akan tetapi, seperti menurut Maslow, sekali “perut penuh” dengan faktor higienis-yang merupakan kasus dalam organisasi yang paling modern- karyawan tetap tidak akan termotivasi walaupun disodorkan di depan mereka. Menurut teori Herzberg, hanya pekerjaan menantang yang mempunyai kesempatan untuk prestasi / pencapaian, penghargaan, tanggung jawab, kemajuan, dan pertumbuhan yang akan memotivasi karyawan.

2.3 Kajian yang Relevan

Ayub dan Rafif (2010) melakukan penelitian Hubungan antara faktor Motivator dan Kepuasan Kerja di Sekolah Tinggi Manajemen of Business, Karachi


(16)

xxxvi

Pengambilan sampelnya laki-laki 64 orang dan perempuan 34 dari hasil penelitian menunjukkan hubungan antara faktor Motivator dan Kepuasan Kerja pada ** p = .000, Korelasi signifikan pada tingkat the0.05 (1-tailed).

Marom, Gorodeisky, Haim dan Godder (2006) melakukan penelitian tentang Identifikasi, Kepuasan Kerja dan Faktor Motivator antara Tutor di Universitas Terbuka Israel dengan sampel Tujuh puluh satu (n = 71) (mewakili tingkat tanggapan 42 persen) dari Departemen Pendidikan dan Psikologi menyelesaikan 107-item Likert-jenis kuesioner. Usia rata-rata mereka adalah 36 (dibandingkan dengan usia rata-rata 39 untuk semua tutor universitas). 75,4 persen adalah perempuan (dibandingkan dengan 61,3 persen untuk semua tutor universitas). Analisa regresi dan analisis jalur menunjukkan bahwa identifikasi dan kepuasan kerja dengan baik diprediksi oleh pentingnya pekerjaan dan lampiran organisasi, sedangkan Faktor Motivator dengan kepuasan kerja adalah tidak ada pengaruh R square dari 0,564 dan 0,461.

Saleem dan Mahmood (2010), melakukan penelitian tentang hubungan, Kepuasan Kerja dan Faktor Motivator organisasi servis telekomunikasi di pakistan. Dengan analisis regresi, korelasi dan P value atau R square. Dengan pengambilan sampel adalah sampel jenuh hasil menunjukkan hubungan antara Faktor Motivator dan Signifikan Kepuasan Kerja memiliki korelasi signifikan pada tingkat 0.05 .


(17)

xxxvii 2.4 Hipotesis

Berdasarkan kajian teori di atas, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut “Ada hubungan yang signifikan antara faktor motivator dengan kepuasan kerja karyawan CV. Griya Wali Sakti Demak”.


(1)

xxxii 2. Motivator

a) Hal yang mendorong para karyawan adalah pekerjaan yang menantang. Karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberikan mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka. Karakteristik ini membuat pekerjaan secara mental lebih menantang. Pekerjaan yang terlalu kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi terlalu banyak pekerjaan menantang dapat menciptakan perasaan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.

b) Hal kedua yang dapat mendorong karyawan adalah dengan kinerja yang ditunjukan karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya dengan maksimal untuk berprestasi sehubungan dengan seperangkat standart yang telah ditentukan dan berusaha untuk mendapatkan keberhasilan atas kegiatan yang dilakukannya.

c) Peluang untuk maju juga menjadi prioritas karyawan dalam mendorong karyawan untuk melakukan pekerjaan dengan harapan mendapatkan peluang untuk kemajuan dalam pekerjaannya. Dengan adanya peluang untuk maju karyawan akan berusaha untuk lebih baik dalam pekerjaannya, mereka akan berusaha melampaui standart yang ada.


(2)

xxxiii

d) Karyawan akan lebih dapat menunjukan kinerja yang positif apabila mereka mendapatkan pengakuan dari orang lain. Orang lain disini dapat berarti luas, dapat berarti atasan atau rekan kerja mereka. Dengan adanya pengakuan dari orang lain, karyawan akan lebih menunjukan kemampuan yang dimilikinya karena dengan adanya pengakuan dari atasan atau rekan kerjanya mereka lebih merasa diperhatikan akan pekerjaannya dan merasa lebih dihargai. e) Hal terakhir yang dapat medorong karyawan untuk meningkatkan kinerjanya

adalah tanggung jawab dari pekerjaan itu sendiri. Karyawan akan lebih serius dan maksimal apabila diberikan tanggung jawab atas pekerjaannya.

Faktor faktor yang masuk kedalam kelompok motivator cenderung merupakan faktor yang menimbulkan motivasi kerja yang lebih bercorak proaktif, sedangkan faktor yang termasuk kedalam kelompok hygiene cenderung menghasilkan motivasi kerja yang lebih reaktif. Faktor hygiene bisa memindahkan ketidakpuasan dan meningkatkan performance, namun sampai titik tertentu, memperbaiki faktor faktor tersebut tidak lagi berpengaruh banyak. Untuk itu usaha-usaha yang dilakukan untuk lebih meningkatkan peformance dan sikap lebih positif, sebaiknya menggunakan dan berpusat pada faktor faktor motivator. Pekerjaan seharusnya dirancang sedemikian rupa sehingga menghasilkan derajat penghargaan yang tinggi oleh kedua faktor


(3)

xxxiv

tersebut. Faktor hygiene untuk menghindari ketidakpuasan kerja karyawan dan motivator sebagai faktor yang memastikan kepuasan kerja karyawan.

Gambar 2.2 : Herzberg’s view of satisfaction and dissatisfaction

2.2.1 Kontribusi Pada Motivasi Kerja

Teori dua-faktor Herzberg memberikan pandangan baru mengenai kepuasan motivasi kerja. Sampai pada titik ini, manajemen umumnya berkonsentrasi pada faktor higienis. Saat berhadapan dengan masalah semangat, solusi umumnya adalah gaji yang lebih tinggi, benefit, dan kondisi kerja yang lebih baik. Akan tetapi, seperti yang sudah dijelaskan, solusi sederhana tidak benar-benar berhasil. Manajemen sering bingung karena mereka membayar gaji dan upah yang tinggi, mempunyai benefit yang menarik, dan menyediakan kondisi kerja yang baik, tetapi karyawan mereka masih tidak termotivasi. Teori Herzberg menjelaskan masalah tersebut,


(4)

xxxv

dengan hanya berkonsentrasi pada faktor higienis manajemen tidak benar-benar memotivasi karyawannya.

Mungkin terdapat sangat sedikit karyawan atau rekan kerja yang tidak merasa bahwa mereka pantas mendapatkan kenaikan yang mereka peroleh. Sebaliknya, ada banyak karyawan dan manajer yang tidak puas dan merasa tidak memperoleh kenaikan yang pantas. Pengamatan sederhana menunjukan bahwa faktor higienis tampaknya penting untuk mencegah ketidakpuasan, tetapi tidak menyebabkan kepuasan. Herzberg yang pertama kali menyatakan bahwa faktor higienis benar-benar diperlukan untuk mempertahankan sumber daya manusia orgaisasi. Akan tetapi, seperti menurut Maslow, sekali “perut penuh” dengan faktor higienis-yang merupakan kasus dalam organisasi yang paling modern- karyawan tetap tidak akan termotivasi walaupun disodorkan di depan mereka. Menurut teori Herzberg, hanya pekerjaan menantang yang mempunyai kesempatan untuk prestasi / pencapaian, penghargaan, tanggung jawab, kemajuan, dan pertumbuhan yang akan memotivasi karyawan.

2.3 Kajian yang Relevan

Ayub dan Rafif (2010) melakukan penelitian Hubungan antara faktor Motivator dan Kepuasan Kerja di Sekolah Tinggi Manajemen of Business, Karachi


(5)

xxxvi

Pengambilan sampelnya laki-laki 64 orang dan perempuan 34 dari hasil penelitian menunjukkan hubungan antara faktor Motivator dan Kepuasan Kerja pada ** p = .000, Korelasi signifikan pada tingkat the0.05 (1-tailed).

Marom, Gorodeisky, Haim dan Godder (2006) melakukan penelitian tentang Identifikasi, Kepuasan Kerja dan Faktor Motivator antara Tutor di Universitas Terbuka Israel dengan sampel Tujuh puluh satu (n = 71) (mewakili tingkat tanggapan 42 persen) dari Departemen Pendidikan dan Psikologi menyelesaikan 107-item Likert-jenis kuesioner. Usia rata-rata mereka adalah 36 (dibandingkan dengan usia rata-rata 39 untuk semua tutor universitas). 75,4 persen adalah perempuan (dibandingkan dengan 61,3 persen untuk semua tutor universitas). Analisa regresi dan analisis jalur menunjukkan bahwa identifikasi dan kepuasan kerja dengan baik diprediksi oleh pentingnya pekerjaan dan lampiran organisasi, sedangkan Faktor Motivator dengan kepuasan kerja adalah tidak ada pengaruh R square dari 0,564 dan 0,461.

Saleem dan Mahmood (2010), melakukan penelitian tentang hubungan, Kepuasan Kerja dan Faktor Motivator organisasi servis telekomunikasi di pakistan. Dengan analisis regresi, korelasi dan P value atau R square. Dengan pengambilan sampel adalah sampel jenuh hasil menunjukkan hubungan antara Faktor Motivator dan Signifikan Kepuasan Kerja memiliki korelasi signifikan pada tingkat 0.05 .


(6)

xxxvii 2.4 Hipotesis

Berdasarkan kajian teori di atas, peneliti merumuskan hipotesis sebagai berikut “Ada hubungan yang signifikan antara faktor motivator dengan kepuasan kerja karyawan CV. Griya Wali Sakti Demak”.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Dukungan Sosial Rekan Kerja dengan Burnout pada Karyawan T1 802010117 BAB II

1 1 6

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Stres Kerja dengan Produktivitas Kerja pada Karyawan CV. Mahkota Mulya Mandiri Jepara T1 132009082 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Stres Kerja dengan Produktivitas Kerja pada Karyawan CV. Mahkota Mulya Mandiri Jepara T1 132009082 BAB II

0 0 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Faktor Motivator dengan Kepuasan Kerja Karyawan CV. Griya Wali Sakti

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Faktor Motivator dengan Kepuasan Kerja Karyawan CV. Griya Wali Sakti T1 132007003 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Faktor Motivator dengan Kepuasan Kerja Karyawan CV. Griya Wali Sakti T1 132007003 BAB IV

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Faktor Motivator dengan Kepuasan Kerja Karyawan CV. Griya Wali Sakti T1 132007003 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Antara Faktor Motivator dengan Kepuasan Kerja Karyawan CV. Griya Wali Sakti

0 0 33

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Motivasi dan Disiplin Kerja dengan Kinerja Karyawan pada PT Kamaltex Karangjati T1 BAB II

0 0 11

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan Disiplin Kerja dan Motivasi Kerja dengan Produktivitas Kerja di CV. Jaya Manunggal Garment T1 BAB II

0 0 10