D 902009009 BAB VIII
Bab Delapan
Sumber Daya Perempuan dalam
Ritual Subak
Pengantar
Dari bahasan bab-bab empiris sebelumnya, pada bab sintesa ini
saya membahas tentang bagaimana perempuan memiliki peran yang
sentral dalam pelaksanaan ritual-ritual subak. Sebagai salah satu daerah
dengan budaya dan adat yang masih kuat, maka perempuan Bali sering
dihadapkan pada isu-isu ketidak setaraan gender. Walaupun dari
penggalian data di lapangan maka isu kesetaraan gender terutama pada
pelaksanaan ritual subak tidak sepenuhnya terbukti. Justru dalam
pelaksanaan ritual subak akses bagi perempuan sangat terbuka,
terutama akses akan pengambilan keputusan. Hal ini dapat dibuktikan
pada saat anggota perempuan harus memutuskan semua persiapan
ritual sampai dengan pelaksanaannya, tanpa campur tangan anggota
subak laki-laki. Peran masing-masing gender dalam hal ini adalah khas.
Jadi dalam studi ini kesetaraan gender lebih berkaitan dengan budaya,
sehingga terkadang perempuan memaknainya sebagai suatu kewajiban.
Ritual sebagai salah satu unsur yang terkait dengan pura subak
juga berperan penting dalam setiap gerak langkah subak. Kondisi
dilematis antara pelestarian kearifan lokal (revitalisasi pertanian) dan
perkembangan Bali sebagai daerah wisata memberikan dampak secara
menyeluruh (multiplier effects) pada keberadaan subak dengan
kegiatan ritualnya. Permasalahan yang dihadapi umat Hindu di Bali
tentang bagaimana keefektifan pelaksaaan ritual baik secara individu
maupun kolektif dan perubahan pada elemen subak yang lain seperti
177
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
luasan lahan pertanian, mobilitas anggota subak serta sarana irigasi
yang tidak terhindarkan akibat adanya pengaruh perkembangan pulau
Bali sebagai daerah pariwisata menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan
pemecahannya. Yang menjadi menarik adalah di tengah perubahanperubahan yang terjadi maka subak masih tetap melaksanakan kegiatan
ritual yang berkaitan dengan kegiatan di lahan pertanian. Situasi
seperti ini oleh (Nordholt dalam Harris et al, 2004) disebut dengan
konsep "changing continuities" menggambarkan apa yang 'tetap
bertahan' dalam ‘perubahan’ sebagai-mana terjadi dalam sebuah proses
perkembangan. Elemen lain seperti lahan pertanian, anggota subak dan
sistem irigasi boleh berubah (seperti telah dikemukakan dalam bab
empiris), akan tetapi ritual yang berkaitan dengan elemen pura subak
tetap bertahan.
Walaupun sangat sulit untuk menjelaskan secara logis makna
dari setiap pelaksanaan ritual tersebut, akan tetapi realitasnya ritual
tersebut menjadi spirit yang mampu menjamin keajegan pertanian dan
produksi pangan di Subak Wongaya Betan. Di samping itu adanya
kepercayaan dan keyakinan akan agama Hindu yang dianut anggota
subak, maka ritual seperti sebuah habitus bagi anggota subak. Sehingga
subak akan merasakan kehilangan identitas apabila tidak melaksanakan
ritual dalam pengusahaan lahan pertanian mereka. Konsep habitus
yang dikemukakan Bourdieu (1990) yang menyatakan bahwa akan ada
keterkaitan antara praktik, habitus dan ranah (practice, habitus and
field), pemaknaan realitas kehidupan (Berger and Luckman, 2006), dan
spiritualitas (Zohar and Marshall, 2004) merupakan beberapa konsep
yang saling mendukung dalam menjelaskan fenomena ritual di lahan
pertanian yang tetap diajegkan oleh subak dalam rangka menjamin
ketahanan pangan dan katahanan hayati di Subak Wongaya Betan.
Peran Ritual dalam Kehidupan Masyarakat Hindu di Bali
Dalam pemahaman umat Hindu di Bali Ritual atau Upacara
merupakan bagian dari tiga filosofi Agama Hindu yaitu Tattwa, Etika
dan Upakara (ritual). Dalam pelaksanaannya memang diakui dari
ketiga filosofi tersebut aspek ritual masih menempati posisi terbanyak
178
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
dilakukan Umat Hindu di Bali. Hal ini diduga karena memang dari sisi
penghayatan tentang ajaran agama Hindu maka masyarakat di Bali
masih memilih melaksanakan filosofi ritual dalam mengungkapkan
rasa Bhakti kehadapan Sang Pencipta. Walaupun aspek Tattwa dan
Etika tetap menjadi dasar dalam setiap tindakan umat. Karena dalam
pelaksanaannya ketiga filosofi ini akan berjalan bersamaan, walaupun
memang porsi penekanannya berbeda sesuai dengan penghayatan
masing-masing individu atau kelompok.
Ada pengertian yang ambigu (mendua) tentang manfaat ritual
dalam pelaksanaannya. Dari persepsi suci baan banten, suci baan
kenehe, yang memiliki arti kesucian bisa diraih dengan banten
(sesajen), dan kesucian juga dapat diraih dengan perasaan (kenehe)
tanpa banten (tanpa ritual) maka kesucian atau kebahagiaan hidup
sebenarnya dapat diraih baik melalui perasaan suci, maupun bisa
dicapai melalui pelaksanaan ritual yang menggunakan sesajen sebagai
perangkatnya. Berger and Luckman (1990) menyikapi ambigusitas dari
ritual dan menyatakan adanya pengertian yang mendua dari manfaat
ritual mendorong banyak keraguan dengan fungsi dan manfaat dari
ritual terutama dikalangan generasi muda, yang mulai merasakan
adanya keterbatasan waktu karena tuntutan pekerjaan terutama
disektor pariwisata. Golongan yang lebih memberikan penekanan pada
konsep suci baan kenehe (meraih kesucian tanpa melalui pelaksanaan
ritual) biasanya akan lebih memilih penekanan pada filosofi etika
dibandingkan dengan kerepotan melaksanakan ritual yang tentu saja
harus disertai dengan persiapan pembuatan sesajen, sehingga sering ada
persepsi bahwa pelaksanaan ritual pada agama Hindu sebenarnya
merupakan implikasi dari budaya dan adat di Bali. Hal ini sebenarnya
sudah diamati oleh Geertz (1992) bahwa agama Hindu di Bali memang
tidak dapat dipisahkan dari adat, budaya dan seni yang sudah mengakar
pada masyarakat Bali.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat Hindu di Bali
termasuk subak masih memposisikan ritual sebagai cara yang terbaik
untuk mengekspresikan ketaatan dan kepercayaan terhadap Tuhan.
Sehingga ritual adalah sesuatu yang mutlak dan menjadi spirit bagi
179
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
masyarakat untuk tetap mempertahankan kawasan suci sebagai refleksi
tempat berstananya (tempat tinggal) Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dengan segala manifestasiNya.
Sebagai agama yang diakui oleh Negara maka ritual dalam agama
Hindu akan berbeda dengan ritual suku yang masih eksis di beberapa
daerah (misalnya seperti Marapu di Sumba 1 dan Sedulur Sikep di
Sukalila) 2 . Ritual dalam agama Hindu memiliki legitimasi sehingga
dalam pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari pemerintah,
sehingga pengakuan akan ritual-ritual dalam agama Hindu lebih
mempermudah untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan
lebih mempermudah menggunakannya sebagai modal pemberdayaan
masyarakat dalam hal ini dalam menjamin ketahanan pangan dan
ketahanan hayati khususnya untuk Bali. Fenomena ini yang kemudian
menimbulkan penguatan pada kebalian orang Bali (identitas orang Bali
sebagai umat Hindu dan anggota adat). Aspek kebalian ini juga diteliti
oleh Yulianto (2011) pada komunitas masyarakat Bali Nuraga di
Lampung. Akan tetapi Yulianto belum secara eksplisit membahas
tentang manfaat dari kebertahanan kebalian komunitas Bali Nuraga
terhadap peran serta komunitas tersebut dalam mendukung pembangunan. Padahal sebenarnya banyak aspek dari kebalian yang dipertahankan oleh komunitas Bali Nuraga yang dapat diarahkan menjadi sebuah partisipasi dalam pembangunan berkelanjutan.
Penelitian ini membuktikan keterkaitan yang sangat erat antara
masyarakat Hindu Bali dengan konsep Tri Hita Karana yang menghormati keseimbangan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Di samping
itu masih eksisnya kearifan lokal (subak) yang secara intensif dan
berkelanjutan melaksanakan kepercayaan dan keyakinannya untuk
menghormati alam dalam rangka menjamin ketahanan pangan dan
ketahanan hayati. Demikian juga dengan adanya kawasan suci termasuk pura subak yang harus dipelihara dan disungsung oleh anggota
subak dengan mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana untuk
1
2
Marapu hasil penelitian Palekahelu, (2010)
Sedulur Sikep hasil penelitian Samiyono, D (2010)
180
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
menjamin ketahanan pangan dan hayati. Selain itu adanya pengakuan
dunia terhadap keberhasilan subak dalam menjaga kelestarian budaya
dan lingkungan dengan adanya pengakuan wilayah ini sebagai kawasan
budaya dunia (culture heritage) yang lebih menguatkan wilayah ini
sebagai model pemberdayaan masyarakat dalam rangka penjaminan
ketahanan pangan dan ketahanan hayati seperti disajikan dalam
Gambar 1.
Sumber Daya Perempuan sebuah Kekuatan dalam Mendukung
Ketahanan Pangan dan Hayati di Bali
Dalam mengimplemtasikan konsep harmonisasi Tri Hita Karana
ternyata peran perempuan sangatlah besar. Malahan pada beberapa
kegiatan seperti persiapan dan pelaksanaan ritual peran tersebut sangat
dominan. Seperti telah dipaparkan pada bab enam bahwa perempuan
sebagai bagian dari subak sangat menentukan pelaksanaan ritual
pertanian yang berkaitan dengan awig-awig subak. Walaupun terkadang ritual yang dilakukan secara personal sebagai bagian dari keluarga
Hindupun menjadi tanggung jawab perempuan. Kegiatan ritual yang
dilakukan sangat intensif dan merupakan realitas kehidupan perempuan sebagai individu maupun sebagai bagian dari anggota subak. Hal
ini bila dikaitkan dengan adanya pura yang harus disungsung 3 sebagai
bagian keluarga Hindu dan anggota subak yang termasuk dalam desa
Adat, maka dapat dikatakan bahwa ritual sebagai realitas kehidupan
perempuan dan Subak Wongaya Betan. Sebagai anggota desa Adat ada
Pura Kahyangan Tiga yang harus disungsung, sedangkan sebagai bagian
dari anggota Subak Wongaya Betan mereka memiliki pura subak yang
harus disungsung.
Walaupun sering perempuan dikatakan masih menghadapi ketidak setaraan dalam setiap perannya, akan tetapi dalam hal penentuan
kegiatan ritual dalam keluarga dan subak, ternyata perempuan memiliki otoritas. Jadi pada saat akan melakukan kegiatan ritual di subak
ternyata yang menentukan hari pelaksanaan ritual adalah sangkep
Nyungsung adalah bentuk kata kerja dari sungsung yang berarti melakukan persembahyangan wajib di pura tersebut.
3
181
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
(rapat) krama istri subak. Setelah diperoleh kesepakatan antar krama
istri, baru kemudian disiarkan kepada seluruh anggota subak yang
lainnya (dijelaskan dengan lebih detail pada bab enam). Jadi fakta ini
menunjukkan bahwa dalam komunitas Hindu dan juga subak ternyata
ketimpangan peran yang selalu didengungkan dialami oleh perempuan
tidak terjadi. Pengambilan keputusan dalam beberapa kegiatan dapat
dilakukan oleh krama istri. Dalam pelaksanaan ritual di komunitas
Hindu di Bali termasuk subak, tidak terjadi ketimpangan peran gender.
Malahan dari hasil wawancara dan observasi di lapangan, ternyata banyak sekali kewenangan yang dimiliki oleh krama istri.
Misalnya saja anggota perempuan Subak Wongaya Betan memiliki
peran khusus dalam mengatur organisasi pengolah teh dan kopi beras
merah organik KTT Kuntum Sari. Seperti diketahui Subak Wongaya
Betan mengusahakan pertanian beras organik dan pengolahan limbah
ternak sapi. Dalam pelaksanaan usaha ini memang anggota secara
struktural adalah anggota subak pria, akan tetapi dalam pelaksanaan
kegiatan seperti pemasaran produk dan pemeliharaan jaringan dengan
pihak pembeli dilakukan oleh anggota subak perempuan. Salah satunya
adalah Ibu Kadek Rusmini selaku Ketua Kelompok Kuntum Mekar.
Dari fenomena ini dapat dilihat bahwa Subak Wongaya Betan tidak
memposisikan perempuan sebagai anggota kelas dua, tetapi subak
memberikan kewenangan yang sama kepada perempuan. Hal ini juga
dibuktikan dengan tidak adanya pembatasan peran gender dalam awigawig subak yang menjadi kaki dan tangan dari organisasi subak,
sekaligus akan mematahkan pendapat bahwa pada masyarakat dengan
adat dan budaya yang masih berlaku kuat, biasanya perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Terbukti di Bali terutama dalam organisasi tradisional subak ketimpangan
posisi ini tidak ditunjukkan baik dalam bentuk peraturan maupun
implikasinya di lapangan.
Perlu mendapat perhatian pemerintah terutama yang berkaitan
dengan pemberdayaan masyarakat pedesaan dan Dinas Pertanian
terkait dengan ruang lingkup subak untuk lebih memperhatikan
pemberdayaan perempuan sebagai aset yang memiliki potensi yang
182
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
sama dengan petani pria. Untuk ke depannya tidak akan terdengar lagi
slogan-slogan bahwa ”petani itu selalu dianalogikan dengan pria’. Hal
ini untuk lebih memberikan pemberdayaan yang lebih merata dalam
konteks gender. Hasil penelitian yang dilakukan Griya (1985) di Subak
Rejasa juga menghasilkan kenyataan bahwa etos kerja merupakan
prinsip kehidupan petani. Dengan prinsip ini maka petani sebagai
anggota subak akan terus berusaha untuk bekerja. Prinsip kehidupan
petani berupa etos kerja berlaku baik bagi petani pria maupun perempuan. Karena memang secara normatif jenis-jenis pekerjaan yang
dilakukan adalah spesifik gender. Walaupun memang pada kasus di
Subak Wongaya Betan, masa kini banyak pekerjaan petani pria diambil
alih oleh petani perempuan.
Inti dari bahasan sub bab ini adalah perempuan merupakan
sumber daya yang mampu mendukung pencapaian ketahanan pangan
dan hayati. Hal ini sangat relevan dikedepankan karena semua aspek
yang berkaitan dengan pelestarian budaya, lingkungan, ketahanan
pangan dan ketahanan hayati hampir semuanya mendapat sentuhan
pemikiran perempuan. Misalnya saja dari peran perempuan dalam
keluarga, dalam subak dan dalam masyarakat adat yang ditempatkan
pada posisi-posisi strategis. Jadi pada kenyataannya masyarakat Hindu
dan subak di Bali menganut kehidupan berprinsip etos kerja spesifik
gender.
Hubungan Sebab Akibat (Karmapala) sebagai Buffer
Kepercayaan dan keyakinan akan adanya reinkarnasi (roh tidak
pernah mati akan tetapi akan kembali menjelma pada kehidupan
berikutnya) juga merupakan satu kekuatan yang melekat sebagai
identitas Umat Hindu di Bali. Keterkaitan keyakinan reinkarnasi ini
akan terimplikasi pada keyakinan dan kepercayaan adanya Karmapala
(pahala dan sanksi) bagi umat Hindu yang melakukan perbuatan baik
dan buruk (bertentangan dengan aturan agama Hindu). Fenomena ini
akan sangat terkait dengan adanya sanksi moral, sosial dan spiritual
pada setiap gerak kehidupan umat Hindu di Bali. Dari makna kata
karmapala yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karma
183
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
adalah perbuatan dan pala adalah buah atau pahala atas perbuatan yang
dilakukan maka setiap gerak gerik umat Hindu akan selalu terikat
dengan konsep karmapala ini. Pandit (2005: 112-122) menyatakan
sesuai dengan kepercayaan Hindu bahwa manusia menciptakan nasib
sendiri, melalui pikiran dan perbuatan masing-masing individu,
sehingga ada petikan dari tulisannya yaitu ”apa yang engkau tanam,
itulah yang akan engkau tuai”.
Perbuatan manusia tidak terjadi begitu saja tanpa akibat, akan
tetapi diyakini oleh umat Hindu bahwa perbuatan akan selalu bersifat
dinamis. Yang lebih menguatkan dan meyakinkan umat terhadap
konsep ini adalah bahwa segala karmapala yang dihadapi akan berpengaruh pada keturunan berikutnya. Jadi kalau generasi saat ini
berbuat maka dengan adanya kepercayaan dan keyakinan reinkarnasi
maka generasi berikut akan mewarisi semua pahala generasi sebelumnya. Jadi konsep-konsep yang diyakini oleh umat Hindu di Bali dari Tri
Hita Karana, Karmapala dan juga Reinkarnasi merupakan spirit bagi
umat Hindu untuk berbuat yang terbaik dalam setiap fase kehidupannya. Konsep ini memang merupakan konsep yang dianut oleh agamaagama kuno seperti halnya juga Buddha, yang mungkin agak berbeda
dengan sanksi hukuman dan pahala pada agama modern (Islam dan
Kristen) yang mungkin tidak akan diwariskan kepada generasi
berikutnya.
Menyimak fakta di lapangan maka sebenarnya kehidupan
menurut pandangan hidup masyarakat Hindu termasuk petani di Bali
ditentukan oleh dua hal yaitu nasib dan perbuatan. Hal ini memiliki
makna bahwa kehidupan petani memiliki dua dimensi yaitu niskala
(berhubungan dengan kepercayaan terhadap Tuhan dan hal-hal yang
diluar batas dunia nyata), dan sekala yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan dunia nyata. Sebenarnya konsep ini pun sangat terkait
dengan filosofi Tri Hita Karana yang masih terimplementasi dengan
baik pada seluruh aras kehidupan masyarakat petani. Ini tampak pada
kehidupan petani yang bersifat religius dan juga realistis, bahwa dalam
setiap sendi kehidupan petani akan muncul aktivitas dan kreativitas di
samping juga kekuatan supranatural. Kenyataan ini merupakan suatu
184
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
hubungan yang sangat kuat di tengah semakin ditinggalkannya beberapa kearifan lokal yang sebenarnya masih mengakar di masyarakat
petani. Dalam setiap kehidupan petani akan selalu dilandasi dengan
keyakinan dan kepercayaan bahwa apa yang diperbuat saat ini akan
mendatangkan sesuatu yang bersifat causa prima (sebab akibat).
Keyakinan ini sebenarnya merupakan kekuatan untuk tetap menjaga
setiap perbuatan dalam kehidupan nyata.
Sesuai dengan tema pada bagian ini yaitu karmapala sebagai
buffer (penyangga) segala perbuatan umat Hindu untuk selalu berpegang pada konsep keseimbangan Tri Hita Karana dan keyakinan
akan karmapala, maka sangat mungkin konsep-konsep ini menjadi
sebuah modal tetap bertahannya cara-cara berkehidupan secara
tradisional yaitu kehidupan berpegang pada praktek kearifan lokal
menuju ketahanan pangan dan ketahanan hayati.
Praktik Kearifan Lokal Modal Kearifan Lingkungan
Pengertian kearifan lokal yang masih dipraktikkan di daerah
penelitian adalah kepercayaan lokal dan praktik tradisional yang masih
dilakukan sejak jaman nenek moyang sampai saat ini. Jadi nilai kearifan
lokal merupakan nilai warisan leluhur yang masih dipercaya dan
diyakini oleh masyarakat sehingga tetap dilaksanakan sampai saat ini.
Kalau menyimak kearifan lokal yang dibahas oleh Gerung (2008) yang
akan merekonstruksi kebudayaan, maka kearifan lokal yang masih
eksis di Bali memang merupakan bagian dari budaya Bali dan bahkan
agama yang dianut masyarakat Bali. Jadi kearifan lokal adalah bagian
dari kebudayaan karena secara tidak langsung apabila kearifan lokal
sudah memiliki nilai dan menjadi norma bagi masyarakat sekitar maka
kearifan lokal tersebut akan dapat disebut sebagai kebudayaan. Seperti
misalnya kepercayaan dan keyakinan umat Hindu di Bali akan adanya
azab apabila salah satu ritual yang harus dilaksanakan dilanggar oleh
penganut Hindu. Kepercayaan dan keyakinan inilah yang mendorong
begitu kuatnya keterikatan umat Hindu di Bali termasuk subak untuk
melaksanakan ritual-ritual yang telah ditetapkan pada penanggalan
185
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
Hindu termasuk ritual-ritual di lahan pertanian yang dilakukan oleh
anggota subak.
Palekahelu (2010) sebenarnya juga membahas tentang praktik
tradisional Marapu di Sumba yang disebut dengan kepercayaan lokal,
yang dipercaya oleh masyarakat sebagai kekuatan dalam mempertahankan ketersediaan pangan pada masyarakat Wunga. Akan tetapi
praktik Marapu hanya berdasarkan kepada agama suku yang tidak
mendapatkan legitimasi dari negara, sehingga tidak memiliki kekuatan
mengikat terhadap pemerintah. Berbeda halnya dengan ritual yang
menjadi kepercayaan lokal masyarakat Hindu di Bali yang merupakan
implementasi dari agama Hindu yang diakui pemerintah sebagai agama
negara. Keuntungan dari ritual yang dipraktikkan oleh agama Hindu
adalah adanya dukungan dari pemerintah terhadap praktik-praktik
yang dilaksanakan, sehingga akan mempermudah melegalisasi praktikpraktik agama negara untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
pembangunan. Dengan kata lain bahwa ritual maupun praktik tradisional yang dilaksanakan subak akan lebih mudah mendapatkan
legitimasi sebagai salah satu modal mempercepat pembangunan melalui
penjaminan ketahanan pangan dan hayati. Karena seperti penjelasan
Triguna (2006) bahwa kearifan lokal adalah modal sosial dalam kearifan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagai basis
dalam pemenuhan kehidupan manusia. Sehingga dengan praktikpraktik kearifan lokal maka kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan
dasar manusia baik berupa sandang, pangan dan papan selalu akan
mengacu pada pelestarian sumberdaya alam yang merupakan asas dasar
dari pembangunan berkelanjutan.
Ritual sebagai Media Penghayatan Religiositas dan Modal Sosial
Pada beberapa penjelasan bab terdahulu memang ritual mendatangkan berbagai tanggapan baik dari umat non-Hindu bahkan dari
Umat Hindu sendiri. Banyak yang menilai ritual yang dilakukan
demikian intensif oleh umat Hindu tidak masuk akal, hanya hura-hura,
pemborosan dan tanpa makna yang jelas. Berbagai pandangan ini
memang akhirnya menjadi tantangan bagi umat Hindu untuk men186
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
jelaskan dan meyakinkan diri bahwa berbagai pandangan tersebut
tidak semuanya benar. Pertama yang perlu dipahami bahwa ritual yang
dilakukan umat Hindu memiliki tujuan dan maksud tertentu yang
dipercaya dan diyakini oleh umat yang melaksanakannya. Kedua
adalah keyakinan para pelaksana ritual akan arti ritual yang dilaksanakan sangatlah penting karena dengan kayakinan penuh maka akan
muncul kesadaran untuk melaksanakan ritual dengan tulus ikhlas
sesuai dengan makna sebenarnya (dalam istilah Hindu bagian Tattwa).
Pandit (2005: 123-127) menyatakan ritualisme yang dilakukan
oleh umat Hindu sebenarnya dimaksudkan sebagai alat pemula dalam
menjalankan kehidupan spiritual. Dalam Hindu ritualisme dianggap
mampu menciptakan lingkungan yang suci, yang mendorong timbulnya rasa pengabdian bagi umat ke hadapan Sang Pencipta. Walaupun
memang pernah disinggung bahwa ritual sebenarnya bukan merupakan keharusan untuk dilakukan oleh Umat Hindu. Akan tetapi dari
hasil penelitian Geertz (1992) tentang Kebudayaan dan Agama maka
bagi umat Hindu di Bali agama, budaya dan seni adalah saling mendukung dan menguatkan. Sehingga bagi umat Hindu di Bali ritualisme
sudah terikat dalam budaya kehidupan masyarakat Hindu Bali. Pada
kenyataannya memang setiap ritual keagamaan yang dilakukan memiliki dasar filsafat (dasar keilmuan), tidak ada ritual yang dilakukan atas
dasar dogma (hanya mengikuti yang sudah dilaksanakan oleh pendahulu tanpa pemahaman yang jelas). Fenomena ini juga dapat dibuktikan dalam serangkaian ritual yang dilakukan oleh subak di daerah
penelitian. Misalnya, ritual yang mengawali kegiatan pertanian di
sawah yaitu mendak toya (mapag toya) merupakan satu ritual yang
dimaksudkan untuk menjemput air dari sumber air yang terletak di
hulu subak. Dalam pelaksanaan ritual ini maka seluruh anggota subak
(laki-laki) akan melakukan pembersihan di sekitar sumber air, memperbaiki saluran air menuju masing-masing sawah anggota subak.
Dari kegiatan ini terlihat arti yang sangat dalam bahwa subak
harus selalu menjaga dan memelihara sumber air agar tetap mampu
menyediakan air bagi sawah anggota subak. Di sisi lain adalah bahwa
masih ada hubungan yang baik antara anggota subak dalam memikir-
187
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
kan kepentingan bersama. Dalam rangka persiapan sesajen untuk ritual
juga terlihat adanya kebersamaan diantara anggota subak perempuan
yaitu dalam mempersiapkan sesajen (pada bab 7 sudah dipaparkan
dengan lebih jelas tentang proses persiapan sesajen), sehingga dalam
setiap kegiatan ritual di samping terjadi penggalangan kebersamaan
juga terjadi penghayatan religiositas bagi anggota subak. Kalau dilihat
dari realitas ini maka sangat jelas terlihat bahwa ada usaha
pemeliharaan modal sosial dalam aktivitas ritual yang dilaksanakan.
Gambar 23
Sumber air Subak Wongaya Betan
(Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2010)
Seperti dijelaskan juga dalam Pandit (2005) bahwa ritual keagamaan Hindu sebenarnya juga membantu dalam perkembangan dan
peningkatan kualitas moral. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
persembahan materi (sesajen) yang dilakukan dengan ketulusan hati
188
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
dan pengabdian sehingga ritual akan mengarahkan manusia Hindu
untuk melayani diri sendiri. Sangatlah tepat apabila ritual Hindu
sebenarnya merupakan habitus 4 bagi umat Hindu di Bali karena
dengan pelaksanaan ritual maka akan mengarahkan individu maupun
komunitas kepada penyucian ego. Kebajikan yang terdapat dalam
individu akan jauh lebih mulia dan berarti untuk perkembangan
individu, yang akan mengarahkan perubahan sosial yang lebih bermartabat. Perubahan sosial yang terjadi disini dalam konteks perubahan yang mengarah pada manusia sebagai individu yang lebih menghargai lingkungan. Konsep pemujaan kehadapan Sang Pencipta melalui
ritual merupakan alat efektif mengejar keyakinan akan konsep Tri Hita
Karana, Karmapala dan Reinkarnasi, juga merupakan spirit bagi umat
Hindu untuk selalu meningkatkan kualitas diri dalam menghormati
sesama ciptaan Tuhan yang dipercaya mengandung atman.
Dalam kaitannya dengan intensitas ritual yang dilakukan di
Subak Wongaya Betan, dan bagaimana keyakinan anggotanya akan
fungsi dan kebermanfaatan dari ritual yang dilakukan maka dapat
dikatakan bahwa “ritual sebagai realitas kehidupan Subak Wongaya
Betan”. Memang secara realita anggota subak merasa harus dan yakin
bahwa ritual sangat penting dilaksanakan dalam rangka memohon
keberhasilan pertanian mereka. Namun jika pendekatannya dari sisi
identitas maka ritual merupakan identitas subak di Bali. Dari kemampuan Subak Wongaya Betan dalam menerima inovasi dan memanfaatkan teknologi moderen, maka identitas Subak Wongaya Betan
terbentuk secara terbuka (Nordolt, 2007). Dari bahasan ini dapat
dikatakan bahwa ritual adalah identitas petani Hindu di Bali dan
penghayatan pribadi terimplikasi dalam penghayatan komunitas, sesuai
dengan konsep habitus yang dikemukakan oleh Bourdieu (1990: 2003).
Gambar 24 menunjukkan diagram proses habitualisasi individu
perempuan terhadap ritual yang berdasarkan kesadaran dilakukan
4 Menurut Bourdieu, 2003: 5-8) praktik individual dan kolektif akan dibangun berdasarkan pengalaman individual dan kolektif sehingga pengalaman akan menjadi penentu
arah kehidupan selanjutnya. Pada pelaksanaan ritual umat Hindu, selain sebagai arah
kehidupan juga mampu sebagai penyucian ego dan ambisi sehingga individu mampu
bersikap lebih bijak.
189
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
sehingga terjadi keberlanjutan dalam pelaksanaannya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Strisno dan Putranto (2005) yang membahas tentang
teori modal Bourdieu bahwa dengan keterikatan individu maupun
masyarakat dengan budaya maka praktik-praktik budaya yang dilakukan oleh statu individu maupun komunitas akan memiliki keterikatan
emosional dengan pelaksananya. Hal ini akan berimplikasi pada ketergantungan untuk tetap melaksanakan kegiatan tersebut. Oleh karena
pelaksanaan ritual di subak dilakukan berdasarkan tuntunan agama
Hindu sehingga semua pelaksanaannya dilakukan dengan berdasarkan
pada kesadaran pelaksananya. Bertitik tolak dari Gambar 20 pada bab
enam, maka pemaknaan individu perempuan akan ritual akan dimulai
dengan terbentuknya kesadaran, kemudian dengan adanya keterikatan
emosional akan ritual tersebut karena berkaitan denga keyakinan
veragama dan kepercayaan terhadap Tuhan maka keberlanjutan akan
praktik tersebut akan terbentuk. Dari proses ini kalau menyimak
pendapat Luckman and Burger (1999) bahwa sesuatu yang sudah
menjadi kegiatan sehari-hari (the reality of life) suatu individu akan
mendorong terjadinya pemaknaan akan praktik-praktik yang dilakukan. Pemaknaan ini akan membentuk habitus dalam anggota subak
akan pelaksanaan ritual, dimulai dengan terbentuknya kesadaran akan
keberlanjutan kehidupan karena anugrah Tuhan yang kemudian dimplikasikan dengan pelaksanaan ritual yang berlanjut. Berfiloisofi pada
konsep Tri Hita Karana, maka pelaksanaan ritual harus menjaga keberlanjutan keseimbangan ke 3 hubungan termasuk dengan pelestarian
pertanian dan lingkungan.
190
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
Ritual
Anggota
subak
Praktek/
internalisasi
kesadaran
keberlanjutan
Habitus
habitualisasi
Gambar 24
Proses habitualisasi (pembentukan habitus) ritual
pada tingkat individu anggota subak
Kawasan Suci sebagai Identitas Hindu di Bali
Seperti telah disinggung pada bahasan terdahulu (bab empat)
tentang empat elemen subak dan fungsi subak maka yang berkaitan
khusus dengan konsep pertama Tri Hita Karana adalah hubungan
keseimbangan dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa). Berkaitan
dengan hubungan keseimbangan ini maka subak yang didasari oleh
kepercayaan dan keyakinan Hindu maka ritual adalah salah satu fungsi
subak dalam mengimplementasikan salah satu konsep Tri Hita Karana.
Implementasi ini juga berhubungan erat dengan elemen subak yaitu
adanya pura subak (Water Temple). Dalam kepercayaan dan keyakinan
agama Hindu di Bali maka konsep Tri Hita Karana akan diaktualisasi
oleh umat Hindu dengan melakukan persembahan berupa sesajen
melalui kegiatan ritual. Kegiatan ritual dalam kepercayaan Hindu
(Krisnu, 1991) merupakan salah satu dari tiga dasar filosofi Hindu di
Bali (tattwa, etika dan upacara/ritual). Sebagai umat Hindu maka
masyarakat di Bali akan melakukan ritual baik secara personal di
191
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
rumah tangga masing-masing, juga ritual kolektif yang berkaitan
dengan kegiatan keluarga besar (klan) adanya pura kawitan, adat
(adanya pura Kahyangan Tiga) maupun dalam lingkup organisasi
seperti juga dalam subak (pura Subak).
Semua jenis kawasan suci (pura) tersebut di atas menjadi
tanggung jawab individu dan komunitas dalam pemeliharaannya
maupun dalam pelaksanaan ritual-ritualnya, sehingga akan selalu ada
keterkaitan antara pura-pura tersebut dengan pelaksanaan ritual.
Kawasan suci ini bagi umat Hindu di Bali memiliki kekuatan untuk
tetap dilestarikan, sehingga kawasan suci sebenarnya juga merupakan
identitas orang Hindu di Bali. Pada saat individu tersebut sebagai
sebuah anggota klan maka dia akan merepresentasikan diri sebagai
warga dari klan tertentu dengan mengikuti pelaksanaan ritual pada
pura kawitan klan tersebut. Sedangkan pada saat yang berbeda ketika
individu tersebut berperan sebagai anggota adat, maka dia akan
mempresentasikan identitas dari desa adat tempat individu tersebut
bergabung, demikian juga pada saat individu tersebut berperan dalam
subak sebagai anggota subak, maka identitas sebagai anggota subak
tertentu akan muncul pada individu itu. Identitas seorang Hindu di
Bali dapat diketahui juga dari lokasi kawasan sucinya. Dengan adanya
keterkaitan antara identitas individu dengan kawasan suci maka akan
terbentuk kekuatan untuk tetap mempertahankan identitas dengan
tetap mempertahankan kawasan suci mereka. Konsep menjadikan
kawasan suci sebagai identitas akan mampu memperkuat pelestarian
kawasan suci itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Hal ini juga akan
terjadi pada pura subak, dimana anggota subak (Subak Wongaya Betan)
masih secara intensif melaksanakan ritual pada masing-masing tahapan
kegiatan di lahan pertanian, baik secara personal maupun kolektif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kesadaran individu terkadang lebih berpengaruh dibandingkan dengan kesadaran kelompok.
Kesadaran personal dari tiap anggota subak akan terlihat dari ketakutan
setiap anggota dengan sanksi yang tidak terlihat terhadap kehidupan
mereka, sedangkan untuk kegiatan ritual kolektif selain karena
kesadaran personal juga akibat adanya awig-awig yang mengikat setiap
anggota subak. Ketika anggota subak melakukan pelanggaran maka
192
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
mereka harus menanggung sanksi finansial disamping sanksi moral dan
ritual.
Seperti telah dijelaskan bahwa subak memiliki awig-awig yang
berkaitan dengan Tri Hita Karana yaitu awig-awig-parhyangan, awigawig-palemahan dan awig-awig pawongan (dijelaskan pada bab 4).
Oleh karena awig-awig sangat mengikat anggota subak, maka konsep
Tri Hita Karana yang terimplementasi salah satunya melalui kegiatan
ritual, menjadikan ritual merupakan suatu kewajiban tetap bagi
anggota subak. Walaupun dari hasil wawancara di lapangan ternyata
ritual sebenarnya juga merupakan sesuatu yang melekat sebagai sebuah
kesadaran dari individu.
Jadi sebenarnya kesadaran pribadi lebih memiliki kekuatan
mendorong fenomena ritual yang khas dilakukan oleh umat Hindu
anggota subak. Seperti pemikiran Bourdieu (1990) tentang fenomena
sosial bahwa yang mendasari adalah aktivitas individu, yang kemudian
menjadi kesadaran kolektif sehingga mampu menghasilkan sebuah
fenomena sosial. Fenomena sosial yang terjadi di antara umat Hindu di
Bali adalah fenomena bahwa masyarakat tidak mampu terlepas dari
pelaksanaan ritual, yang hampir dilakukan dalam setiap tindak kehidupannya. Apalagi dalam pandangan Hindu, individu adalah atman 5
(Pandit 2005) yang berada dalam tubuh manusia, hewan maupun
tumbuhan. Dengan kepercayaan bahwa dalam setiap individu baik
manusia, hewan dan tumbuhan berstana atman, maka secara tidak
langsung akan terjadi hubungan saling menghormati dalam setiap individu tersebut. Hal ini yang akan menguatkan bahwa modal religius 6
(agama) dan modal budaya akan mendorong munculnya modal
spiritual pada masyarakat Hindu di Bali.
5 Atman adalah sebutan bagi Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) yang berada dalam
diri setiap manusia atau bisa juga disebut dengan roh yang dalam kepercayaan Hindu
bersifat kekal abadi.
6 Religiositas dan spiritualitas adalah sesuatu yang memiliki pengertian yang berbeda
(Zohar and Marshall, 2004). Hal ini disebabkan karena nilai-nilai religiositas selalu bisa
dikaitkan dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi nilai-nilai spiritual terkadang tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi mampu di kenali melalui peruabahan-perubahan yang terjadi dalam individu atau masyarakat.
193
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
Kaitannya dengan masyarakat petani yang tergabung dalam
organisasi subak, maka di Bali subak merupakan elemen penting dalam
pelestarian pertanian, ketahanan pangan dan lingkungan (hayati)
(Sirtha, 1996: Sutawan, 2008; Wiguna dan Surata, 2008). Di samping
itu adanya keyakinan dan kepercayaan terhadap konsep Tri Hita
Karana mendukung adanya spirit harmonisasi antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Harmonisasi ini sangat melekat pada masyarakat Hindu di Bali
temasuk warga subak. Seperti yang teramati dari beberapa praktik di
lapangan yaitu pada kegiatan ritual yang menyebabkan terjadinya
resiprositas antara Tuhan, manusia dan lingkungan. Harmonisasi juga
mendorong adanya kegiatan perluasan dan pemeliharaan jejaring baik
antara anggota dalam Subak Wongaya Betan (bonding), jejaring antara
subak di satu wilayah dengan subak wilayah lainnya melalui ritual
pertanian seperti mendak toya, nangluk merana (briging), dan juga
jejaring antara subak dengan pemerintah (linking). Perluasan dan
pemeliharaan jejaring ini tentu saja masih dalam keterkaitannya
dengan katahanan pangan dan hayati, melalui pelestarian pertanian
dan lingkungan.
Menyimak pemikiran Berger dan Luckman (2006) bahwa realitas
kehidupan manusia adalah merupakan refleksi dari pemaknaan manusia terhadap segala sesuatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
mereka. Kalau dikaitkan dengan keterikatan manusia Hindu dengan
ritual yang merupakan ungkapan rasa syukur, rasa terimakasih dan
malahan rasa bersalah terhadap Tuhan, manusia dan lingkungan maka
ritual tidak mungkin dipisahkan dengan umat Hindu di Bali. Dalam
setiap gerak langkah umat Hindu dan juga anggota subak yang
terefleksi dari awig-awig subak maka ritual dapat dikatakan sebagai
habitus bagi masyarakat Hindu di Bali termasuk bagi anggota subak.
Walaupun banyak yang mempertanyakan relevansi pelaksanaan
ritual dengan realitas kehidupan masyarakat petani, akan tetapi akhirnya disadari bahwa sangat sulit mencari penjelasan yang logis. Dalam
melaksanakan kegiatan ritual melekat kepercayaan, sugesti, keyakinan,
kewajiban, rasa syukur, kepasrahan, persembahan sehingga akan
194
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
tercermin hubungan yang sangat kompleks antara individu-individu
dalam organisasi subak. Kalau dicermati tentang sanksi yang akan
mereka tanggung kalau melanggar awig-awig parahyangan, maka
biasanya anggota subak sebagai individu akan merasa lebih takut akan
sanksi moral dan sanksi ritual yang diyakini diberikan oleh Sang
pencipta, dibandingkan dengan sanksi moral dan sanksi finansial yang
dikenakan oleh awig-awig subak. Menariknya lagi bahwa sanksi moral
dan sanksi finansial akan lengkap terbayar kalau sudah dilaksanakan
sanksi ritual untuk menebus kesalahan yang dilakukan oleh masingmasing anggota baik sebagai anggota subak maupun sebagai personal di
rumah tangga mereka masing-masing. Dari fenomena ini dapat katakan
bahwa ritual merupakan spirit dalam rangka penghormatan terhadap
Sang Pencipta, memanusiakan manusia dan alam lingkungan.
Ritual Berperan Penting dalam Subak (Elemen Pelestarian
Budaya Pertanian)
Pada bab-bab sebelumnya telah disinggung tentang budaya Bali
yang sangat identik dengan budaya pertanian (Geertz, 1973; 1983)
menjelaskan bagaimana perbedaan perkembangan pertanian yang
terjadi di Pulau Jawa dan Bali, khususnya di kota Tabanan. Selanjutnya
dijelaskan sampai saat ini pertanian di Bali masih mampu melestarikan
praktik-praktik tradisional yang telah dilakukan petani-petani di Bali
beberapa tahun lalu. Berbeda halnya dengan praktik pertanian di Pulau
Jawa (Geertz, 1989) yang hampir meninggalkan semua warisan
praktik-praktik tradisional yang juga pernah dikenal oleh petani-petani
di Pulau ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa petani di Bali lebih
mampu menjaga warisan leluhur dan lebih selektif dalam menerima
inovasi baru yang berkaitan dengan praktik-praktik pertanian. Selektif
dalam konteks ini berarti petani tetap menerima masukan teknologi
baru, akan tetapi tetap menyesuaikan dengan praktik-praktik tradisional yang sudah mereka yakini tetap menjaga keseimbangan antara
hubungan dengan kehidupan saat ini dan kehidupan niskala. Hal ini
karena Bali memiliki keterkaitan yang sangat kuat antara kepercayaan
terhadap Agama Hindu dengan budaya Bali. Jadi walaupun berbagai
195
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
kebudayaan menggempur Bali sejak tahun 1980-an, akan tetapi
beberapa daerah sampai hari ini masih melakukan praktik tradisional
dan masih setia dengan praktik-praktik ritual sehari-hari maupun
yang berkaitan dengan pertanian.
Pengaruh modernisasi berupa industri pariwisata yang sangat
kuat dan terus menerus, ternyata tidak menyebabkan masyarakat
Hindu di Bali keluar dari pakem budaya Hindu Bali akan tetapi justru
masyarakat Bali masih tetap melaksanakan praktik tradisional seperti
misalnya masih eksisnya organisasi pembagian air tradisional yaitu
Subak. Walaupun di satu sisi dengan berkembangnya industri pariwisata menyebabkan lahan pertanian semakin menyempit karena terdesak dengan alih fungsi sebagai insfrastruktur pariwisata, akan tetapi
subak sebagai organisiasi yang berkaitan langsung dengan pengelolaan
lahan sawah tetap menggeliat. Salah satunya karena ternyata masyarakat Bali dan pemerintah tersadar bahwa di tengah terjepitnya kehidupan sebagai petani, ternyata kehidupan ini memiliki daya tahan yang
lebih kuat dibandingkan dengan perekonomian yang hanya menggantungkan perekonomian pada industri pariwisata. Salah satu bukti
bahwa sektor pertanian merupakan penyangga perkembangan industri
pariwisata adalah kejadian bom Bali pada tahun 2002. Dari pengalaman
ini akhirnya masyarakat Bali dan pemerintah disadarkan bahwa
industri pariwisata tanpa dukungan sektor pertanian adalah sangat
rapuh. Hal tersebut sebenarnya sudah banyak dibuktikan oleh beberapa kelompok masyarakat yang melakukan praktik pertanian sebagai
dasar pengembangan industri pariwisata yaitu dengan mengembangkan
wisata alam seperti salah satunya adalah kawasan Catur Angga yang
mengembangkan industri pariwisata pada keindahan pemandangan
sawah bertingkat yang selama ini dikoordinir oleh kelompok masyarakat (adat ) setempat.
Seperti dijelaskan dan digambar dalam bab empat, Gambar 7,
dimana kedudukan subak dalam kelembagaan desa dan adat di desa
Mengesta, lebih menguatkan bahwa sebenarnya subak adalah bagian
dari adat. Walaupun dalam kenyataannya sering terjadi negosiasi dalam
pelaksanaan kegiatan antara kelembagaan-kelembagaan tersebut. Hal
196
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
ini sesuai dengan konsep desa kala patra dari komunitas Hindu di Bali.
Konsep ini menjelaskan tentang adanya kelenturan dan fleksibilitas
dalam segala pelaksanaan kehidupan termasuk kegiatan-kegiatan
budaya dan ritual.
Dengan sedemikian kuatnya peran subak dalam melestarikan
pertanian di Bali dan dengan adanya struktur dan awig-awig subak
yang dapat mengikat baik ke dalam organisasi subak maupun ke luar
organisasi maka sangat tepat dikatakan bahwa subak merupakan satu
elemen yang berfungsi sebagai pelestari pertanian di Bali dan juga
penyumbang kelestarian ketahanan hayati dan ketahanan pangan bagi
masyarakat pedesaan di Bali. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya
konsep keseimbangan Tri Hita Karana yang menjadi filosofi organisasi
subak. Konsep ini akan selalu diterapkan oleh subak dalam setiap
kegiatannya. Windia (2010) dan Sutawan (2008) menekankan adanya
empat elemen subak yang harus selalu dilestarikan adalah adanya lahan
pertanian (sawah), organisasi, anggota dan pura subak. Dengan adanya
elemen ini maka subak memiliki peran dalam pelestarian ketahanan
pangan dan hayati. Apalagi bila dikaitkan dengan adanya pura subak
yang sangat berkaitan erat dengan konsep keseimbangan Tri Hita
Karana dalam menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang
Pencipta.
Seperti yang dijelaskan oleh Geertz (1992) tentang hubungan
dengan Tuhan akan divisualisasikan dalam agama Hindu yang dianut
semua anggota subak. Selanjutnya Agama Hindu di Bali tidak terpisahkan dengan adat dan budaya yang sangat mengikat kehidupan
masyarakat di Bali. Hal ini juga menjadi penekanan Surata (2009) yang
menyatakan hampir setiap pengambilan keputusan di tingkat komunitas di Bali kepemimpinan lokal (adat) lebih berpengaruh dibandingkan dengan pemerintah. Ini merupakan satu kekuatan bagi lembaga
tradisional seperti organisasi subak untuk berperan sebagai penerus
kebijakan pemerintah yang mengarahkan pada kebijakan pencapaian
ketahanan pangan dan ketahanan hayati di tingkat komunitas.
Bukti lainnya yang menunjukkan organisasi tradisional memiliki
kekuatan dalam menggerakkan masyarakat pedesaan di Bali adalah
197
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
bagaimana subak mampu lebih berperan sebagai penengah konflik
antar masyarakat dalam hal pembagian air di lahan pertanian demikian
juga dengan konflik lainnya yang berkaitan dengan kelembagaan
tradisional. Ada pengalaman menarik yang dialami pemerintah Bali
khususnya Dinas Pekerjaan Umum dalam menangani konflik pembagian air. Konflik tersebut merupakan dampak dari adanya bantuan
saluran irigasi teknis kepada subak dari pemerintah, yang menyebabkan terjadi perubahan dalam aturan pembagian air. Konflik ini akhirnya mampu diselesaikan dengan baik oleh subak. Kejadian ini membuktikan bagaimana kelembagaan tradisional lebih memiliki kekuatan
dalam mengatasi masalah dibandingkan dengan kelembagaan dinas.
Sehingga bagi masyarakat pedesaan di Bali pelestarian cara-cara lokal
(kearifan lokal) dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat sangat
diperlukan.
Subak ternyata memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan
dalam mentransfer kebijakan pemerintah terutama dalam kebijakankebijakan pertanian. Hal ini telah dibuktikan dengan bagaimana
kuatnya pengaruh subak pada saat dimulainya teknologi modern yang
dikenal dengan revolusi hijau. Pemerintah pada saat itu seolah memanfaatkan organisasi subak dalam mempercepat kesuksesan programprogram revolusi hijau. Pemerintah pada masa itu memanfaatkan
pengurus subak dalam mentransfer atau meneruskan teknologi revolusi
hijau kepada masyarakat petani di pedesaan. Walaupun sebenarnya ada
perlawanan dari anggota subak akan tetapi karena yang diberikan
wewenang adalah kepala subak (pekaseh) yang memiliki kekuasaan
dalam menjalankan awig-awig subak maka semua anggota subak
memiliki kewajiban untuk melaksanakan kebijakan revolusi hijau
pada masa itu.
Di sisi lain pada saat terjadinya transformasi pertanian organik
pun ternyata petani inovator yang juga warga Subak Wongaya Betan,
akhirnya mampu meneruskan teknologi pertanian organik kepada
seluruh warga subak. Pada saat ini praktik pertanian organik sudah
menjadi salah satu awig-awig subak di Wongaya Betan, sehingga
melaksanakan pertanian organik merupakan kewajiban anggota subak
198
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
di Wongaya Betan. Pengusulan Kawasan Catur Angga sebagai kawasan
budaya dunia (world heritage) pun sebenarnya berkaitan dengan
keberhasilan subak di kawasan ini (termasuk Subak Wongaya Betan)
dalam menjaga kelestarian lingkungan dan wilayah pertanian
(terutama pemandangan sawah bertingkatnya).
Seperti dalam bab 4 disebutkan bahwa paling tidak ada 15 subak
yang berada dalam kawasan budaya dunia tersebut. Hal ini menimbulkan konsekuensi yang sangat berat bagi subak-subak di kawasan itu.
Dengan adanya penetapan sebagai kawasan budaya dunia (world
heritage) maka di satu sisi ada kebanggaan dari masyarakat setempat
dan juga warga Bali, akan tetapi di sisi lainnya masyarakat merasa akan
ada konsekuensi moral dan ekonomis yang harus mereka hadapi.
Sehingga masyarakat yang nantinya akan berada pada kawasan budaya
dunia memerlukan dukungan dan perhatian pemerintah baik berupa
sosialisasi dan pendampingan secara terus menerus dalam mempertahankan prestasi yang telah dicapai. Misalnya saja dukungan kebijakan dan aturan pemerintah yang tegas tentang bagaimana kontribusi
yang akan diberikan kepada wilayah subak yang termasuk dalam
kawasan world heritage tersebut.
Beberapa realitas tersebut menunjukkan bahwa subak merupakan salah satu elemen yang mampu mempertahankan budaya pertanian di Bali. Hal ini juga diperkuat dengan adanya perhatian dan
aturan pemerintah (dalam bab 4) bahwa subak memang telah diakui
keberadaannya sebagai organisasi tradisional yang selain berperan
dalam pengorganisasian air bagi petani padi tetapi juga mampu berperan sangat relevan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam
meneruskan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik kebijakan pertanian
maupun kebijakan-kebijakan lainnya. Mengingat posisi subak dalam
struktur desa di Bali berada di bawah struktur desa dinas dan desa adat,
akan tetapi kalau melihat kewenangan dan otoritas subak maka subak
merupakan organisasi yang mandiri. Akan tetapi sering memiliki peran
yang sangat penting dalam keputusan dan kegiatan desa adat dan desa
Dinas (Gambar 3 dalam bab 4).
199
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
Oleh karena kekuatan dan peran penting dari subak dalam
organisasi pemerintahan desa di Bali maka memberdayakan elemen
subak, fungsi subak dan awig-awig subak dalam percepatan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan dan hayati di Bali sangat penting.
Pemberdayaan ini mendorong percepatan pencapaian dan pelestarian
ketahanan pangan dan hayati serta penyelamatan lingkungan di Bali.
Sehingga subak dapat dikatakan sebagai unsur pelestarian pertanian,
sebagai modal kolektif dalam pencapaian ketahanan pangan dan
ketahanan hayati.
Keterkaitan Ritual dengan Ketahanan Pangan dan Ketahanan
Hayati
Dalam bahasan ini ketahanan pangan dan ketahanan hayati akan
dibahas dalam satu kesatuan, karena penulis menganggap bahwa antara
ketahanan pangan dan ketahanan hayati merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan. Istilah ketahanan pangan yang menjadi wacana pemerintah adalah kemampuan masyarakat petani menghasilkan pangan
terutama beras, dan tersedianya akses bagi masyarakat untuk membeli
pangan (Sujono, 2009). Ketercapaian ketahanan pangan akan secara
otomatis menghasilkan katahanan hayati dalam lingkungannya, karena
menurut Surata (2009) ketahanan hayati adalah lestarinya sumbersumber hayati yang sangat terkait dengan kehidupan manusia
termasuk sumber pangan. Dalam setiap usaha pencapaian ketahanan
pangan melalui kecukupan produksi pangan, maka ketahanan hayati
yang meliputi kelestarian makhluk hidup disekitar area produksi
pangan harus juga mendapat perhatian untuk pelestariannya.
Dalam konteks ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Subak
Wongaya Betan terlihat bahwa dengan kembalinya anggota subak pada
praktek organik, maka beberapa hewan sawah seperti capung, belut,
dan ular sawah sudah terlihat lagi di areal persawahan Subak Wongaya
Betan (Wiguna, 2008). Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan
dengan proses pencapaian ketahanan pangan dengan ketahanan hayati.
Di samping itu konsep kelestarian lahan pertanian juga sangat terkait
dengan kelestarian sumberdaya alam dan ketahanan hayati. Seperti
200
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
yang dikemukakan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan (2007) 7
bahwa dengan tercapainya ketahanan hayati maka akan mendorong
ketahanan pangan secara berkelanjutan.
Konteks katahanan pangan dan hayati di tingkat subak sebenarnya sudah terimplikasi pada beberapa ritual yang ditujukan kepada
alam 8 . Dengan adanya ritual kepada alam, kepercayaan dan keyakinan
masyarakat tentang perlunya menjaga kelestarian alam dan lahan
pertanian akan muncul dengan sendirinya sehingga akan mengikat
setiap gerak individu untuk melaksanakan ritual-ritual tersebut.
Bagaimana implementasi ritual dengan ketahanan pangan dan hayati di
Subak Wongaya Betan akan dilandasi dengan kepercayaan akan konsep
suci leteh (cemar) umat Hindu di Bali.
Konsep Suci dan Leteh (cemar) sebagai Dasar Ketahanan Pangan
dan Hayati
Konsep ketahanan pangan bagi masyarakat adalah tersedianya
bahan pangan (beras), adanya kemampuan dan akses masyarakat untuk
membeli, dan juga tidak adanya ketergantungan pangan masyarakat.
Berbicara masalah ketahanan pangan tidak akan terlepas dari pertanian, karena sampai saat ini pertanian adalah satu-satunya sumber
pangan masyarakat. Kalau memang pemerintah ingin mempertahankan
ketahanan pangan masyarakat maka setidaknya ada keinginan dan
tindakan nyata pemerintah melindungi usaha pertanian. Usaha pertanian akan berhasil apabila beberapa sara
Sumber Daya Perempuan dalam
Ritual Subak
Pengantar
Dari bahasan bab-bab empiris sebelumnya, pada bab sintesa ini
saya membahas tentang bagaimana perempuan memiliki peran yang
sentral dalam pelaksanaan ritual-ritual subak. Sebagai salah satu daerah
dengan budaya dan adat yang masih kuat, maka perempuan Bali sering
dihadapkan pada isu-isu ketidak setaraan gender. Walaupun dari
penggalian data di lapangan maka isu kesetaraan gender terutama pada
pelaksanaan ritual subak tidak sepenuhnya terbukti. Justru dalam
pelaksanaan ritual subak akses bagi perempuan sangat terbuka,
terutama akses akan pengambilan keputusan. Hal ini dapat dibuktikan
pada saat anggota perempuan harus memutuskan semua persiapan
ritual sampai dengan pelaksanaannya, tanpa campur tangan anggota
subak laki-laki. Peran masing-masing gender dalam hal ini adalah khas.
Jadi dalam studi ini kesetaraan gender lebih berkaitan dengan budaya,
sehingga terkadang perempuan memaknainya sebagai suatu kewajiban.
Ritual sebagai salah satu unsur yang terkait dengan pura subak
juga berperan penting dalam setiap gerak langkah subak. Kondisi
dilematis antara pelestarian kearifan lokal (revitalisasi pertanian) dan
perkembangan Bali sebagai daerah wisata memberikan dampak secara
menyeluruh (multiplier effects) pada keberadaan subak dengan
kegiatan ritualnya. Permasalahan yang dihadapi umat Hindu di Bali
tentang bagaimana keefektifan pelaksaaan ritual baik secara individu
maupun kolektif dan perubahan pada elemen subak yang lain seperti
177
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
luasan lahan pertanian, mobilitas anggota subak serta sarana irigasi
yang tidak terhindarkan akibat adanya pengaruh perkembangan pulau
Bali sebagai daerah pariwisata menjadi sesuatu yang perlu dipikirkan
pemecahannya. Yang menjadi menarik adalah di tengah perubahanperubahan yang terjadi maka subak masih tetap melaksanakan kegiatan
ritual yang berkaitan dengan kegiatan di lahan pertanian. Situasi
seperti ini oleh (Nordholt dalam Harris et al, 2004) disebut dengan
konsep "changing continuities" menggambarkan apa yang 'tetap
bertahan' dalam ‘perubahan’ sebagai-mana terjadi dalam sebuah proses
perkembangan. Elemen lain seperti lahan pertanian, anggota subak dan
sistem irigasi boleh berubah (seperti telah dikemukakan dalam bab
empiris), akan tetapi ritual yang berkaitan dengan elemen pura subak
tetap bertahan.
Walaupun sangat sulit untuk menjelaskan secara logis makna
dari setiap pelaksanaan ritual tersebut, akan tetapi realitasnya ritual
tersebut menjadi spirit yang mampu menjamin keajegan pertanian dan
produksi pangan di Subak Wongaya Betan. Di samping itu adanya
kepercayaan dan keyakinan akan agama Hindu yang dianut anggota
subak, maka ritual seperti sebuah habitus bagi anggota subak. Sehingga
subak akan merasakan kehilangan identitas apabila tidak melaksanakan
ritual dalam pengusahaan lahan pertanian mereka. Konsep habitus
yang dikemukakan Bourdieu (1990) yang menyatakan bahwa akan ada
keterkaitan antara praktik, habitus dan ranah (practice, habitus and
field), pemaknaan realitas kehidupan (Berger and Luckman, 2006), dan
spiritualitas (Zohar and Marshall, 2004) merupakan beberapa konsep
yang saling mendukung dalam menjelaskan fenomena ritual di lahan
pertanian yang tetap diajegkan oleh subak dalam rangka menjamin
ketahanan pangan dan katahanan hayati di Subak Wongaya Betan.
Peran Ritual dalam Kehidupan Masyarakat Hindu di Bali
Dalam pemahaman umat Hindu di Bali Ritual atau Upacara
merupakan bagian dari tiga filosofi Agama Hindu yaitu Tattwa, Etika
dan Upakara (ritual). Dalam pelaksanaannya memang diakui dari
ketiga filosofi tersebut aspek ritual masih menempati posisi terbanyak
178
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
dilakukan Umat Hindu di Bali. Hal ini diduga karena memang dari sisi
penghayatan tentang ajaran agama Hindu maka masyarakat di Bali
masih memilih melaksanakan filosofi ritual dalam mengungkapkan
rasa Bhakti kehadapan Sang Pencipta. Walaupun aspek Tattwa dan
Etika tetap menjadi dasar dalam setiap tindakan umat. Karena dalam
pelaksanaannya ketiga filosofi ini akan berjalan bersamaan, walaupun
memang porsi penekanannya berbeda sesuai dengan penghayatan
masing-masing individu atau kelompok.
Ada pengertian yang ambigu (mendua) tentang manfaat ritual
dalam pelaksanaannya. Dari persepsi suci baan banten, suci baan
kenehe, yang memiliki arti kesucian bisa diraih dengan banten
(sesajen), dan kesucian juga dapat diraih dengan perasaan (kenehe)
tanpa banten (tanpa ritual) maka kesucian atau kebahagiaan hidup
sebenarnya dapat diraih baik melalui perasaan suci, maupun bisa
dicapai melalui pelaksanaan ritual yang menggunakan sesajen sebagai
perangkatnya. Berger and Luckman (1990) menyikapi ambigusitas dari
ritual dan menyatakan adanya pengertian yang mendua dari manfaat
ritual mendorong banyak keraguan dengan fungsi dan manfaat dari
ritual terutama dikalangan generasi muda, yang mulai merasakan
adanya keterbatasan waktu karena tuntutan pekerjaan terutama
disektor pariwisata. Golongan yang lebih memberikan penekanan pada
konsep suci baan kenehe (meraih kesucian tanpa melalui pelaksanaan
ritual) biasanya akan lebih memilih penekanan pada filosofi etika
dibandingkan dengan kerepotan melaksanakan ritual yang tentu saja
harus disertai dengan persiapan pembuatan sesajen, sehingga sering ada
persepsi bahwa pelaksanaan ritual pada agama Hindu sebenarnya
merupakan implikasi dari budaya dan adat di Bali. Hal ini sebenarnya
sudah diamati oleh Geertz (1992) bahwa agama Hindu di Bali memang
tidak dapat dipisahkan dari adat, budaya dan seni yang sudah mengakar
pada masyarakat Bali.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa masyarakat Hindu di Bali
termasuk subak masih memposisikan ritual sebagai cara yang terbaik
untuk mengekspresikan ketaatan dan kepercayaan terhadap Tuhan.
Sehingga ritual adalah sesuatu yang mutlak dan menjadi spirit bagi
179
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
masyarakat untuk tetap mempertahankan kawasan suci sebagai refleksi
tempat berstananya (tempat tinggal) Ida Sang Hyang Widhi Wasa
dengan segala manifestasiNya.
Sebagai agama yang diakui oleh Negara maka ritual dalam agama
Hindu akan berbeda dengan ritual suku yang masih eksis di beberapa
daerah (misalnya seperti Marapu di Sumba 1 dan Sedulur Sikep di
Sukalila) 2 . Ritual dalam agama Hindu memiliki legitimasi sehingga
dalam pelaksanaannya mendapat dukungan penuh dari pemerintah,
sehingga pengakuan akan ritual-ritual dalam agama Hindu lebih
mempermudah untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah dan
lebih mempermudah menggunakannya sebagai modal pemberdayaan
masyarakat dalam hal ini dalam menjamin ketahanan pangan dan
ketahanan hayati khususnya untuk Bali. Fenomena ini yang kemudian
menimbulkan penguatan pada kebalian orang Bali (identitas orang Bali
sebagai umat Hindu dan anggota adat). Aspek kebalian ini juga diteliti
oleh Yulianto (2011) pada komunitas masyarakat Bali Nuraga di
Lampung. Akan tetapi Yulianto belum secara eksplisit membahas
tentang manfaat dari kebertahanan kebalian komunitas Bali Nuraga
terhadap peran serta komunitas tersebut dalam mendukung pembangunan. Padahal sebenarnya banyak aspek dari kebalian yang dipertahankan oleh komunitas Bali Nuraga yang dapat diarahkan menjadi sebuah partisipasi dalam pembangunan berkelanjutan.
Penelitian ini membuktikan keterkaitan yang sangat erat antara
masyarakat Hindu Bali dengan konsep Tri Hita Karana yang menghormati keseimbangan hubungan antara manusia dengan Sang Pencipta, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Di samping
itu masih eksisnya kearifan lokal (subak) yang secara intensif dan
berkelanjutan melaksanakan kepercayaan dan keyakinannya untuk
menghormati alam dalam rangka menjamin ketahanan pangan dan
ketahanan hayati. Demikian juga dengan adanya kawasan suci termasuk pura subak yang harus dipelihara dan disungsung oleh anggota
subak dengan mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana untuk
1
2
Marapu hasil penelitian Palekahelu, (2010)
Sedulur Sikep hasil penelitian Samiyono, D (2010)
180
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
menjamin ketahanan pangan dan hayati. Selain itu adanya pengakuan
dunia terhadap keberhasilan subak dalam menjaga kelestarian budaya
dan lingkungan dengan adanya pengakuan wilayah ini sebagai kawasan
budaya dunia (culture heritage) yang lebih menguatkan wilayah ini
sebagai model pemberdayaan masyarakat dalam rangka penjaminan
ketahanan pangan dan ketahanan hayati seperti disajikan dalam
Gambar 1.
Sumber Daya Perempuan sebuah Kekuatan dalam Mendukung
Ketahanan Pangan dan Hayati di Bali
Dalam mengimplemtasikan konsep harmonisasi Tri Hita Karana
ternyata peran perempuan sangatlah besar. Malahan pada beberapa
kegiatan seperti persiapan dan pelaksanaan ritual peran tersebut sangat
dominan. Seperti telah dipaparkan pada bab enam bahwa perempuan
sebagai bagian dari subak sangat menentukan pelaksanaan ritual
pertanian yang berkaitan dengan awig-awig subak. Walaupun terkadang ritual yang dilakukan secara personal sebagai bagian dari keluarga
Hindupun menjadi tanggung jawab perempuan. Kegiatan ritual yang
dilakukan sangat intensif dan merupakan realitas kehidupan perempuan sebagai individu maupun sebagai bagian dari anggota subak. Hal
ini bila dikaitkan dengan adanya pura yang harus disungsung 3 sebagai
bagian keluarga Hindu dan anggota subak yang termasuk dalam desa
Adat, maka dapat dikatakan bahwa ritual sebagai realitas kehidupan
perempuan dan Subak Wongaya Betan. Sebagai anggota desa Adat ada
Pura Kahyangan Tiga yang harus disungsung, sedangkan sebagai bagian
dari anggota Subak Wongaya Betan mereka memiliki pura subak yang
harus disungsung.
Walaupun sering perempuan dikatakan masih menghadapi ketidak setaraan dalam setiap perannya, akan tetapi dalam hal penentuan
kegiatan ritual dalam keluarga dan subak, ternyata perempuan memiliki otoritas. Jadi pada saat akan melakukan kegiatan ritual di subak
ternyata yang menentukan hari pelaksanaan ritual adalah sangkep
Nyungsung adalah bentuk kata kerja dari sungsung yang berarti melakukan persembahyangan wajib di pura tersebut.
3
181
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
(rapat) krama istri subak. Setelah diperoleh kesepakatan antar krama
istri, baru kemudian disiarkan kepada seluruh anggota subak yang
lainnya (dijelaskan dengan lebih detail pada bab enam). Jadi fakta ini
menunjukkan bahwa dalam komunitas Hindu dan juga subak ternyata
ketimpangan peran yang selalu didengungkan dialami oleh perempuan
tidak terjadi. Pengambilan keputusan dalam beberapa kegiatan dapat
dilakukan oleh krama istri. Dalam pelaksanaan ritual di komunitas
Hindu di Bali termasuk subak, tidak terjadi ketimpangan peran gender.
Malahan dari hasil wawancara dan observasi di lapangan, ternyata banyak sekali kewenangan yang dimiliki oleh krama istri.
Misalnya saja anggota perempuan Subak Wongaya Betan memiliki
peran khusus dalam mengatur organisasi pengolah teh dan kopi beras
merah organik KTT Kuntum Sari. Seperti diketahui Subak Wongaya
Betan mengusahakan pertanian beras organik dan pengolahan limbah
ternak sapi. Dalam pelaksanaan usaha ini memang anggota secara
struktural adalah anggota subak pria, akan tetapi dalam pelaksanaan
kegiatan seperti pemasaran produk dan pemeliharaan jaringan dengan
pihak pembeli dilakukan oleh anggota subak perempuan. Salah satunya
adalah Ibu Kadek Rusmini selaku Ketua Kelompok Kuntum Mekar.
Dari fenomena ini dapat dilihat bahwa Subak Wongaya Betan tidak
memposisikan perempuan sebagai anggota kelas dua, tetapi subak
memberikan kewenangan yang sama kepada perempuan. Hal ini juga
dibuktikan dengan tidak adanya pembatasan peran gender dalam awigawig subak yang menjadi kaki dan tangan dari organisasi subak,
sekaligus akan mematahkan pendapat bahwa pada masyarakat dengan
adat dan budaya yang masih berlaku kuat, biasanya perempuan ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan pria. Terbukti di Bali terutama dalam organisasi tradisional subak ketimpangan
posisi ini tidak ditunjukkan baik dalam bentuk peraturan maupun
implikasinya di lapangan.
Perlu mendapat perhatian pemerintah terutama yang berkaitan
dengan pemberdayaan masyarakat pedesaan dan Dinas Pertanian
terkait dengan ruang lingkup subak untuk lebih memperhatikan
pemberdayaan perempuan sebagai aset yang memiliki potensi yang
182
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
sama dengan petani pria. Untuk ke depannya tidak akan terdengar lagi
slogan-slogan bahwa ”petani itu selalu dianalogikan dengan pria’. Hal
ini untuk lebih memberikan pemberdayaan yang lebih merata dalam
konteks gender. Hasil penelitian yang dilakukan Griya (1985) di Subak
Rejasa juga menghasilkan kenyataan bahwa etos kerja merupakan
prinsip kehidupan petani. Dengan prinsip ini maka petani sebagai
anggota subak akan terus berusaha untuk bekerja. Prinsip kehidupan
petani berupa etos kerja berlaku baik bagi petani pria maupun perempuan. Karena memang secara normatif jenis-jenis pekerjaan yang
dilakukan adalah spesifik gender. Walaupun memang pada kasus di
Subak Wongaya Betan, masa kini banyak pekerjaan petani pria diambil
alih oleh petani perempuan.
Inti dari bahasan sub bab ini adalah perempuan merupakan
sumber daya yang mampu mendukung pencapaian ketahanan pangan
dan hayati. Hal ini sangat relevan dikedepankan karena semua aspek
yang berkaitan dengan pelestarian budaya, lingkungan, ketahanan
pangan dan ketahanan hayati hampir semuanya mendapat sentuhan
pemikiran perempuan. Misalnya saja dari peran perempuan dalam
keluarga, dalam subak dan dalam masyarakat adat yang ditempatkan
pada posisi-posisi strategis. Jadi pada kenyataannya masyarakat Hindu
dan subak di Bali menganut kehidupan berprinsip etos kerja spesifik
gender.
Hubungan Sebab Akibat (Karmapala) sebagai Buffer
Kepercayaan dan keyakinan akan adanya reinkarnasi (roh tidak
pernah mati akan tetapi akan kembali menjelma pada kehidupan
berikutnya) juga merupakan satu kekuatan yang melekat sebagai
identitas Umat Hindu di Bali. Keterkaitan keyakinan reinkarnasi ini
akan terimplikasi pada keyakinan dan kepercayaan adanya Karmapala
(pahala dan sanksi) bagi umat Hindu yang melakukan perbuatan baik
dan buruk (bertentangan dengan aturan agama Hindu). Fenomena ini
akan sangat terkait dengan adanya sanksi moral, sosial dan spiritual
pada setiap gerak kehidupan umat Hindu di Bali. Dari makna kata
karmapala yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti karma
183
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
adalah perbuatan dan pala adalah buah atau pahala atas perbuatan yang
dilakukan maka setiap gerak gerik umat Hindu akan selalu terikat
dengan konsep karmapala ini. Pandit (2005: 112-122) menyatakan
sesuai dengan kepercayaan Hindu bahwa manusia menciptakan nasib
sendiri, melalui pikiran dan perbuatan masing-masing individu,
sehingga ada petikan dari tulisannya yaitu ”apa yang engkau tanam,
itulah yang akan engkau tuai”.
Perbuatan manusia tidak terjadi begitu saja tanpa akibat, akan
tetapi diyakini oleh umat Hindu bahwa perbuatan akan selalu bersifat
dinamis. Yang lebih menguatkan dan meyakinkan umat terhadap
konsep ini adalah bahwa segala karmapala yang dihadapi akan berpengaruh pada keturunan berikutnya. Jadi kalau generasi saat ini
berbuat maka dengan adanya kepercayaan dan keyakinan reinkarnasi
maka generasi berikut akan mewarisi semua pahala generasi sebelumnya. Jadi konsep-konsep yang diyakini oleh umat Hindu di Bali dari Tri
Hita Karana, Karmapala dan juga Reinkarnasi merupakan spirit bagi
umat Hindu untuk berbuat yang terbaik dalam setiap fase kehidupannya. Konsep ini memang merupakan konsep yang dianut oleh agamaagama kuno seperti halnya juga Buddha, yang mungkin agak berbeda
dengan sanksi hukuman dan pahala pada agama modern (Islam dan
Kristen) yang mungkin tidak akan diwariskan kepada generasi
berikutnya.
Menyimak fakta di lapangan maka sebenarnya kehidupan
menurut pandangan hidup masyarakat Hindu termasuk petani di Bali
ditentukan oleh dua hal yaitu nasib dan perbuatan. Hal ini memiliki
makna bahwa kehidupan petani memiliki dua dimensi yaitu niskala
(berhubungan dengan kepercayaan terhadap Tuhan dan hal-hal yang
diluar batas dunia nyata), dan sekala yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan dunia nyata. Sebenarnya konsep ini pun sangat terkait
dengan filosofi Tri Hita Karana yang masih terimplementasi dengan
baik pada seluruh aras kehidupan masyarakat petani. Ini tampak pada
kehidupan petani yang bersifat religius dan juga realistis, bahwa dalam
setiap sendi kehidupan petani akan muncul aktivitas dan kreativitas di
samping juga kekuatan supranatural. Kenyataan ini merupakan suatu
184
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
hubungan yang sangat kuat di tengah semakin ditinggalkannya beberapa kearifan lokal yang sebenarnya masih mengakar di masyarakat
petani. Dalam setiap kehidupan petani akan selalu dilandasi dengan
keyakinan dan kepercayaan bahwa apa yang diperbuat saat ini akan
mendatangkan sesuatu yang bersifat causa prima (sebab akibat).
Keyakinan ini sebenarnya merupakan kekuatan untuk tetap menjaga
setiap perbuatan dalam kehidupan nyata.
Sesuai dengan tema pada bagian ini yaitu karmapala sebagai
buffer (penyangga) segala perbuatan umat Hindu untuk selalu berpegang pada konsep keseimbangan Tri Hita Karana dan keyakinan
akan karmapala, maka sangat mungkin konsep-konsep ini menjadi
sebuah modal tetap bertahannya cara-cara berkehidupan secara
tradisional yaitu kehidupan berpegang pada praktek kearifan lokal
menuju ketahanan pangan dan ketahanan hayati.
Praktik Kearifan Lokal Modal Kearifan Lingkungan
Pengertian kearifan lokal yang masih dipraktikkan di daerah
penelitian adalah kepercayaan lokal dan praktik tradisional yang masih
dilakukan sejak jaman nenek moyang sampai saat ini. Jadi nilai kearifan
lokal merupakan nilai warisan leluhur yang masih dipercaya dan
diyakini oleh masyarakat sehingga tetap dilaksanakan sampai saat ini.
Kalau menyimak kearifan lokal yang dibahas oleh Gerung (2008) yang
akan merekonstruksi kebudayaan, maka kearifan lokal yang masih
eksis di Bali memang merupakan bagian dari budaya Bali dan bahkan
agama yang dianut masyarakat Bali. Jadi kearifan lokal adalah bagian
dari kebudayaan karena secara tidak langsung apabila kearifan lokal
sudah memiliki nilai dan menjadi norma bagi masyarakat sekitar maka
kearifan lokal tersebut akan dapat disebut sebagai kebudayaan. Seperti
misalnya kepercayaan dan keyakinan umat Hindu di Bali akan adanya
azab apabila salah satu ritual yang harus dilaksanakan dilanggar oleh
penganut Hindu. Kepercayaan dan keyakinan inilah yang mendorong
begitu kuatnya keterikatan umat Hindu di Bali termasuk subak untuk
melaksanakan ritual-ritual yang telah ditetapkan pada penanggalan
185
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
Hindu termasuk ritual-ritual di lahan pertanian yang dilakukan oleh
anggota subak.
Palekahelu (2010) sebenarnya juga membahas tentang praktik
tradisional Marapu di Sumba yang disebut dengan kepercayaan lokal,
yang dipercaya oleh masyarakat sebagai kekuatan dalam mempertahankan ketersediaan pangan pada masyarakat Wunga. Akan tetapi
praktik Marapu hanya berdasarkan kepada agama suku yang tidak
mendapatkan legitimasi dari negara, sehingga tidak memiliki kekuatan
mengikat terhadap pemerintah. Berbeda halnya dengan ritual yang
menjadi kepercayaan lokal masyarakat Hindu di Bali yang merupakan
implementasi dari agama Hindu yang diakui pemerintah sebagai agama
negara. Keuntungan dari ritual yang dipraktikkan oleh agama Hindu
adalah adanya dukungan dari pemerintah terhadap praktik-praktik
yang dilaksanakan, sehingga akan mempermudah melegalisasi praktikpraktik agama negara untuk dijadikan pedoman dalam pelaksanaan
pembangunan. Dengan kata lain bahwa ritual maupun praktik tradisional yang dilaksanakan subak akan lebih mudah mendapatkan
legitimasi sebagai salah satu modal mempercepat pembangunan melalui
penjaminan ketahanan pangan dan hayati. Karena seperti penjelasan
Triguna (2006) bahwa kearifan lokal adalah modal sosial dalam kearifan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya alam sebagai basis
dalam pemenuhan kehidupan manusia. Sehingga dengan praktikpraktik kearifan lokal maka kegiatan-kegiatan pemenuhan kebutuhan
dasar manusia baik berupa sandang, pangan dan papan selalu akan
mengacu pada pelestarian sumberdaya alam yang merupakan asas dasar
dari pembangunan berkelanjutan.
Ritual sebagai Media Penghayatan Religiositas dan Modal Sosial
Pada beberapa penjelasan bab terdahulu memang ritual mendatangkan berbagai tanggapan baik dari umat non-Hindu bahkan dari
Umat Hindu sendiri. Banyak yang menilai ritual yang dilakukan
demikian intensif oleh umat Hindu tidak masuk akal, hanya hura-hura,
pemborosan dan tanpa makna yang jelas. Berbagai pandangan ini
memang akhirnya menjadi tantangan bagi umat Hindu untuk men186
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
jelaskan dan meyakinkan diri bahwa berbagai pandangan tersebut
tidak semuanya benar. Pertama yang perlu dipahami bahwa ritual yang
dilakukan umat Hindu memiliki tujuan dan maksud tertentu yang
dipercaya dan diyakini oleh umat yang melaksanakannya. Kedua
adalah keyakinan para pelaksana ritual akan arti ritual yang dilaksanakan sangatlah penting karena dengan kayakinan penuh maka akan
muncul kesadaran untuk melaksanakan ritual dengan tulus ikhlas
sesuai dengan makna sebenarnya (dalam istilah Hindu bagian Tattwa).
Pandit (2005: 123-127) menyatakan ritualisme yang dilakukan
oleh umat Hindu sebenarnya dimaksudkan sebagai alat pemula dalam
menjalankan kehidupan spiritual. Dalam Hindu ritualisme dianggap
mampu menciptakan lingkungan yang suci, yang mendorong timbulnya rasa pengabdian bagi umat ke hadapan Sang Pencipta. Walaupun
memang pernah disinggung bahwa ritual sebenarnya bukan merupakan keharusan untuk dilakukan oleh Umat Hindu. Akan tetapi dari
hasil penelitian Geertz (1992) tentang Kebudayaan dan Agama maka
bagi umat Hindu di Bali agama, budaya dan seni adalah saling mendukung dan menguatkan. Sehingga bagi umat Hindu di Bali ritualisme
sudah terikat dalam budaya kehidupan masyarakat Hindu Bali. Pada
kenyataannya memang setiap ritual keagamaan yang dilakukan memiliki dasar filsafat (dasar keilmuan), tidak ada ritual yang dilakukan atas
dasar dogma (hanya mengikuti yang sudah dilaksanakan oleh pendahulu tanpa pemahaman yang jelas). Fenomena ini juga dapat dibuktikan dalam serangkaian ritual yang dilakukan oleh subak di daerah
penelitian. Misalnya, ritual yang mengawali kegiatan pertanian di
sawah yaitu mendak toya (mapag toya) merupakan satu ritual yang
dimaksudkan untuk menjemput air dari sumber air yang terletak di
hulu subak. Dalam pelaksanaan ritual ini maka seluruh anggota subak
(laki-laki) akan melakukan pembersihan di sekitar sumber air, memperbaiki saluran air menuju masing-masing sawah anggota subak.
Dari kegiatan ini terlihat arti yang sangat dalam bahwa subak
harus selalu menjaga dan memelihara sumber air agar tetap mampu
menyediakan air bagi sawah anggota subak. Di sisi lain adalah bahwa
masih ada hubungan yang baik antara anggota subak dalam memikir-
187
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
kan kepentingan bersama. Dalam rangka persiapan sesajen untuk ritual
juga terlihat adanya kebersamaan diantara anggota subak perempuan
yaitu dalam mempersiapkan sesajen (pada bab 7 sudah dipaparkan
dengan lebih jelas tentang proses persiapan sesajen), sehingga dalam
setiap kegiatan ritual di samping terjadi penggalangan kebersamaan
juga terjadi penghayatan religiositas bagi anggota subak. Kalau dilihat
dari realitas ini maka sangat jelas terlihat bahwa ada usaha
pemeliharaan modal sosial dalam aktivitas ritual yang dilaksanakan.
Gambar 23
Sumber air Subak Wongaya Betan
(Sumber: Dokumentasi Martiningsih, 2010)
Seperti dijelaskan juga dalam Pandit (2005) bahwa ritual keagamaan Hindu sebenarnya juga membantu dalam perkembangan dan
peningkatan kualitas moral. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
persembahan materi (sesajen) yang dilakukan dengan ketulusan hati
188
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
dan pengabdian sehingga ritual akan mengarahkan manusia Hindu
untuk melayani diri sendiri. Sangatlah tepat apabila ritual Hindu
sebenarnya merupakan habitus 4 bagi umat Hindu di Bali karena
dengan pelaksanaan ritual maka akan mengarahkan individu maupun
komunitas kepada penyucian ego. Kebajikan yang terdapat dalam
individu akan jauh lebih mulia dan berarti untuk perkembangan
individu, yang akan mengarahkan perubahan sosial yang lebih bermartabat. Perubahan sosial yang terjadi disini dalam konteks perubahan yang mengarah pada manusia sebagai individu yang lebih menghargai lingkungan. Konsep pemujaan kehadapan Sang Pencipta melalui
ritual merupakan alat efektif mengejar keyakinan akan konsep Tri Hita
Karana, Karmapala dan Reinkarnasi, juga merupakan spirit bagi umat
Hindu untuk selalu meningkatkan kualitas diri dalam menghormati
sesama ciptaan Tuhan yang dipercaya mengandung atman.
Dalam kaitannya dengan intensitas ritual yang dilakukan di
Subak Wongaya Betan, dan bagaimana keyakinan anggotanya akan
fungsi dan kebermanfaatan dari ritual yang dilakukan maka dapat
dikatakan bahwa “ritual sebagai realitas kehidupan Subak Wongaya
Betan”. Memang secara realita anggota subak merasa harus dan yakin
bahwa ritual sangat penting dilaksanakan dalam rangka memohon
keberhasilan pertanian mereka. Namun jika pendekatannya dari sisi
identitas maka ritual merupakan identitas subak di Bali. Dari kemampuan Subak Wongaya Betan dalam menerima inovasi dan memanfaatkan teknologi moderen, maka identitas Subak Wongaya Betan
terbentuk secara terbuka (Nordolt, 2007). Dari bahasan ini dapat
dikatakan bahwa ritual adalah identitas petani Hindu di Bali dan
penghayatan pribadi terimplikasi dalam penghayatan komunitas, sesuai
dengan konsep habitus yang dikemukakan oleh Bourdieu (1990: 2003).
Gambar 24 menunjukkan diagram proses habitualisasi individu
perempuan terhadap ritual yang berdasarkan kesadaran dilakukan
4 Menurut Bourdieu, 2003: 5-8) praktik individual dan kolektif akan dibangun berdasarkan pengalaman individual dan kolektif sehingga pengalaman akan menjadi penentu
arah kehidupan selanjutnya. Pada pelaksanaan ritual umat Hindu, selain sebagai arah
kehidupan juga mampu sebagai penyucian ego dan ambisi sehingga individu mampu
bersikap lebih bijak.
189
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
sehingga terjadi keberlanjutan dalam pelaksanaannya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Strisno dan Putranto (2005) yang membahas tentang
teori modal Bourdieu bahwa dengan keterikatan individu maupun
masyarakat dengan budaya maka praktik-praktik budaya yang dilakukan oleh statu individu maupun komunitas akan memiliki keterikatan
emosional dengan pelaksananya. Hal ini akan berimplikasi pada ketergantungan untuk tetap melaksanakan kegiatan tersebut. Oleh karena
pelaksanaan ritual di subak dilakukan berdasarkan tuntunan agama
Hindu sehingga semua pelaksanaannya dilakukan dengan berdasarkan
pada kesadaran pelaksananya. Bertitik tolak dari Gambar 20 pada bab
enam, maka pemaknaan individu perempuan akan ritual akan dimulai
dengan terbentuknya kesadaran, kemudian dengan adanya keterikatan
emosional akan ritual tersebut karena berkaitan denga keyakinan
veragama dan kepercayaan terhadap Tuhan maka keberlanjutan akan
praktik tersebut akan terbentuk. Dari proses ini kalau menyimak
pendapat Luckman and Burger (1999) bahwa sesuatu yang sudah
menjadi kegiatan sehari-hari (the reality of life) suatu individu akan
mendorong terjadinya pemaknaan akan praktik-praktik yang dilakukan. Pemaknaan ini akan membentuk habitus dalam anggota subak
akan pelaksanaan ritual, dimulai dengan terbentuknya kesadaran akan
keberlanjutan kehidupan karena anugrah Tuhan yang kemudian dimplikasikan dengan pelaksanaan ritual yang berlanjut. Berfiloisofi pada
konsep Tri Hita Karana, maka pelaksanaan ritual harus menjaga keberlanjutan keseimbangan ke 3 hubungan termasuk dengan pelestarian
pertanian dan lingkungan.
190
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
Ritual
Anggota
subak
Praktek/
internalisasi
kesadaran
keberlanjutan
Habitus
habitualisasi
Gambar 24
Proses habitualisasi (pembentukan habitus) ritual
pada tingkat individu anggota subak
Kawasan Suci sebagai Identitas Hindu di Bali
Seperti telah disinggung pada bahasan terdahulu (bab empat)
tentang empat elemen subak dan fungsi subak maka yang berkaitan
khusus dengan konsep pertama Tri Hita Karana adalah hubungan
keseimbangan dengan Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa). Berkaitan
dengan hubungan keseimbangan ini maka subak yang didasari oleh
kepercayaan dan keyakinan Hindu maka ritual adalah salah satu fungsi
subak dalam mengimplementasikan salah satu konsep Tri Hita Karana.
Implementasi ini juga berhubungan erat dengan elemen subak yaitu
adanya pura subak (Water Temple). Dalam kepercayaan dan keyakinan
agama Hindu di Bali maka konsep Tri Hita Karana akan diaktualisasi
oleh umat Hindu dengan melakukan persembahan berupa sesajen
melalui kegiatan ritual. Kegiatan ritual dalam kepercayaan Hindu
(Krisnu, 1991) merupakan salah satu dari tiga dasar filosofi Hindu di
Bali (tattwa, etika dan upacara/ritual). Sebagai umat Hindu maka
masyarakat di Bali akan melakukan ritual baik secara personal di
191
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
rumah tangga masing-masing, juga ritual kolektif yang berkaitan
dengan kegiatan keluarga besar (klan) adanya pura kawitan, adat
(adanya pura Kahyangan Tiga) maupun dalam lingkup organisasi
seperti juga dalam subak (pura Subak).
Semua jenis kawasan suci (pura) tersebut di atas menjadi
tanggung jawab individu dan komunitas dalam pemeliharaannya
maupun dalam pelaksanaan ritual-ritualnya, sehingga akan selalu ada
keterkaitan antara pura-pura tersebut dengan pelaksanaan ritual.
Kawasan suci ini bagi umat Hindu di Bali memiliki kekuatan untuk
tetap dilestarikan, sehingga kawasan suci sebenarnya juga merupakan
identitas orang Hindu di Bali. Pada saat individu tersebut sebagai
sebuah anggota klan maka dia akan merepresentasikan diri sebagai
warga dari klan tertentu dengan mengikuti pelaksanaan ritual pada
pura kawitan klan tersebut. Sedangkan pada saat yang berbeda ketika
individu tersebut berperan sebagai anggota adat, maka dia akan
mempresentasikan identitas dari desa adat tempat individu tersebut
bergabung, demikian juga pada saat individu tersebut berperan dalam
subak sebagai anggota subak, maka identitas sebagai anggota subak
tertentu akan muncul pada individu itu. Identitas seorang Hindu di
Bali dapat diketahui juga dari lokasi kawasan sucinya. Dengan adanya
keterkaitan antara identitas individu dengan kawasan suci maka akan
terbentuk kekuatan untuk tetap mempertahankan identitas dengan
tetap mempertahankan kawasan suci mereka. Konsep menjadikan
kawasan suci sebagai identitas akan mampu memperkuat pelestarian
kawasan suci itu sendiri dan lingkungan sekitarnya. Hal ini juga akan
terjadi pada pura subak, dimana anggota subak (Subak Wongaya Betan)
masih secara intensif melaksanakan ritual pada masing-masing tahapan
kegiatan di lahan pertanian, baik secara personal maupun kolektif.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kesadaran individu terkadang lebih berpengaruh dibandingkan dengan kesadaran kelompok.
Kesadaran personal dari tiap anggota subak akan terlihat dari ketakutan
setiap anggota dengan sanksi yang tidak terlihat terhadap kehidupan
mereka, sedangkan untuk kegiatan ritual kolektif selain karena
kesadaran personal juga akibat adanya awig-awig yang mengikat setiap
anggota subak. Ketika anggota subak melakukan pelanggaran maka
192
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
mereka harus menanggung sanksi finansial disamping sanksi moral dan
ritual.
Seperti telah dijelaskan bahwa subak memiliki awig-awig yang
berkaitan dengan Tri Hita Karana yaitu awig-awig-parhyangan, awigawig-palemahan dan awig-awig pawongan (dijelaskan pada bab 4).
Oleh karena awig-awig sangat mengikat anggota subak, maka konsep
Tri Hita Karana yang terimplementasi salah satunya melalui kegiatan
ritual, menjadikan ritual merupakan suatu kewajiban tetap bagi
anggota subak. Walaupun dari hasil wawancara di lapangan ternyata
ritual sebenarnya juga merupakan sesuatu yang melekat sebagai sebuah
kesadaran dari individu.
Jadi sebenarnya kesadaran pribadi lebih memiliki kekuatan
mendorong fenomena ritual yang khas dilakukan oleh umat Hindu
anggota subak. Seperti pemikiran Bourdieu (1990) tentang fenomena
sosial bahwa yang mendasari adalah aktivitas individu, yang kemudian
menjadi kesadaran kolektif sehingga mampu menghasilkan sebuah
fenomena sosial. Fenomena sosial yang terjadi di antara umat Hindu di
Bali adalah fenomena bahwa masyarakat tidak mampu terlepas dari
pelaksanaan ritual, yang hampir dilakukan dalam setiap tindak kehidupannya. Apalagi dalam pandangan Hindu, individu adalah atman 5
(Pandit 2005) yang berada dalam tubuh manusia, hewan maupun
tumbuhan. Dengan kepercayaan bahwa dalam setiap individu baik
manusia, hewan dan tumbuhan berstana atman, maka secara tidak
langsung akan terjadi hubungan saling menghormati dalam setiap individu tersebut. Hal ini yang akan menguatkan bahwa modal religius 6
(agama) dan modal budaya akan mendorong munculnya modal
spiritual pada masyarakat Hindu di Bali.
5 Atman adalah sebutan bagi Ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan) yang berada dalam
diri setiap manusia atau bisa juga disebut dengan roh yang dalam kepercayaan Hindu
bersifat kekal abadi.
6 Religiositas dan spiritualitas adalah sesuatu yang memiliki pengertian yang berbeda
(Zohar and Marshall, 2004). Hal ini disebabkan karena nilai-nilai religiositas selalu bisa
dikaitkan dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi nilai-nilai spiritual terkadang tidak
berhubungan langsung dengan kegiatan keagamaan, akan tetapi mampu di kenali melalui peruabahan-perubahan yang terjadi dalam individu atau masyarakat.
193
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
Kaitannya dengan masyarakat petani yang tergabung dalam
organisasi subak, maka di Bali subak merupakan elemen penting dalam
pelestarian pertanian, ketahanan pangan dan lingkungan (hayati)
(Sirtha, 1996: Sutawan, 2008; Wiguna dan Surata, 2008). Di samping
itu adanya keyakinan dan kepercayaan terhadap konsep Tri Hita
Karana mendukung adanya spirit harmonisasi antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan lingkungan. Harmonisasi ini sangat melekat pada masyarakat Hindu di Bali
temasuk warga subak. Seperti yang teramati dari beberapa praktik di
lapangan yaitu pada kegiatan ritual yang menyebabkan terjadinya
resiprositas antara Tuhan, manusia dan lingkungan. Harmonisasi juga
mendorong adanya kegiatan perluasan dan pemeliharaan jejaring baik
antara anggota dalam Subak Wongaya Betan (bonding), jejaring antara
subak di satu wilayah dengan subak wilayah lainnya melalui ritual
pertanian seperti mendak toya, nangluk merana (briging), dan juga
jejaring antara subak dengan pemerintah (linking). Perluasan dan
pemeliharaan jejaring ini tentu saja masih dalam keterkaitannya
dengan katahanan pangan dan hayati, melalui pelestarian pertanian
dan lingkungan.
Menyimak pemikiran Berger dan Luckman (2006) bahwa realitas
kehidupan manusia adalah merupakan refleksi dari pemaknaan manusia terhadap segala sesuatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan
mereka. Kalau dikaitkan dengan keterikatan manusia Hindu dengan
ritual yang merupakan ungkapan rasa syukur, rasa terimakasih dan
malahan rasa bersalah terhadap Tuhan, manusia dan lingkungan maka
ritual tidak mungkin dipisahkan dengan umat Hindu di Bali. Dalam
setiap gerak langkah umat Hindu dan juga anggota subak yang
terefleksi dari awig-awig subak maka ritual dapat dikatakan sebagai
habitus bagi masyarakat Hindu di Bali termasuk bagi anggota subak.
Walaupun banyak yang mempertanyakan relevansi pelaksanaan
ritual dengan realitas kehidupan masyarakat petani, akan tetapi akhirnya disadari bahwa sangat sulit mencari penjelasan yang logis. Dalam
melaksanakan kegiatan ritual melekat kepercayaan, sugesti, keyakinan,
kewajiban, rasa syukur, kepasrahan, persembahan sehingga akan
194
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
tercermin hubungan yang sangat kompleks antara individu-individu
dalam organisasi subak. Kalau dicermati tentang sanksi yang akan
mereka tanggung kalau melanggar awig-awig parahyangan, maka
biasanya anggota subak sebagai individu akan merasa lebih takut akan
sanksi moral dan sanksi ritual yang diyakini diberikan oleh Sang
pencipta, dibandingkan dengan sanksi moral dan sanksi finansial yang
dikenakan oleh awig-awig subak. Menariknya lagi bahwa sanksi moral
dan sanksi finansial akan lengkap terbayar kalau sudah dilaksanakan
sanksi ritual untuk menebus kesalahan yang dilakukan oleh masingmasing anggota baik sebagai anggota subak maupun sebagai personal di
rumah tangga mereka masing-masing. Dari fenomena ini dapat katakan
bahwa ritual merupakan spirit dalam rangka penghormatan terhadap
Sang Pencipta, memanusiakan manusia dan alam lingkungan.
Ritual Berperan Penting dalam Subak (Elemen Pelestarian
Budaya Pertanian)
Pada bab-bab sebelumnya telah disinggung tentang budaya Bali
yang sangat identik dengan budaya pertanian (Geertz, 1973; 1983)
menjelaskan bagaimana perbedaan perkembangan pertanian yang
terjadi di Pulau Jawa dan Bali, khususnya di kota Tabanan. Selanjutnya
dijelaskan sampai saat ini pertanian di Bali masih mampu melestarikan
praktik-praktik tradisional yang telah dilakukan petani-petani di Bali
beberapa tahun lalu. Berbeda halnya dengan praktik pertanian di Pulau
Jawa (Geertz, 1989) yang hampir meninggalkan semua warisan
praktik-praktik tradisional yang juga pernah dikenal oleh petani-petani
di Pulau ini. Fenomena ini menunjukkan bahwa petani di Bali lebih
mampu menjaga warisan leluhur dan lebih selektif dalam menerima
inovasi baru yang berkaitan dengan praktik-praktik pertanian. Selektif
dalam konteks ini berarti petani tetap menerima masukan teknologi
baru, akan tetapi tetap menyesuaikan dengan praktik-praktik tradisional yang sudah mereka yakini tetap menjaga keseimbangan antara
hubungan dengan kehidupan saat ini dan kehidupan niskala. Hal ini
karena Bali memiliki keterkaitan yang sangat kuat antara kepercayaan
terhadap Agama Hindu dengan budaya Bali. Jadi walaupun berbagai
195
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
kebudayaan menggempur Bali sejak tahun 1980-an, akan tetapi
beberapa daerah sampai hari ini masih melakukan praktik tradisional
dan masih setia dengan praktik-praktik ritual sehari-hari maupun
yang berkaitan dengan pertanian.
Pengaruh modernisasi berupa industri pariwisata yang sangat
kuat dan terus menerus, ternyata tidak menyebabkan masyarakat
Hindu di Bali keluar dari pakem budaya Hindu Bali akan tetapi justru
masyarakat Bali masih tetap melaksanakan praktik tradisional seperti
misalnya masih eksisnya organisasi pembagian air tradisional yaitu
Subak. Walaupun di satu sisi dengan berkembangnya industri pariwisata menyebabkan lahan pertanian semakin menyempit karena terdesak dengan alih fungsi sebagai insfrastruktur pariwisata, akan tetapi
subak sebagai organisiasi yang berkaitan langsung dengan pengelolaan
lahan sawah tetap menggeliat. Salah satunya karena ternyata masyarakat Bali dan pemerintah tersadar bahwa di tengah terjepitnya kehidupan sebagai petani, ternyata kehidupan ini memiliki daya tahan yang
lebih kuat dibandingkan dengan perekonomian yang hanya menggantungkan perekonomian pada industri pariwisata. Salah satu bukti
bahwa sektor pertanian merupakan penyangga perkembangan industri
pariwisata adalah kejadian bom Bali pada tahun 2002. Dari pengalaman
ini akhirnya masyarakat Bali dan pemerintah disadarkan bahwa
industri pariwisata tanpa dukungan sektor pertanian adalah sangat
rapuh. Hal tersebut sebenarnya sudah banyak dibuktikan oleh beberapa kelompok masyarakat yang melakukan praktik pertanian sebagai
dasar pengembangan industri pariwisata yaitu dengan mengembangkan
wisata alam seperti salah satunya adalah kawasan Catur Angga yang
mengembangkan industri pariwisata pada keindahan pemandangan
sawah bertingkat yang selama ini dikoordinir oleh kelompok masyarakat (adat ) setempat.
Seperti dijelaskan dan digambar dalam bab empat, Gambar 7,
dimana kedudukan subak dalam kelembagaan desa dan adat di desa
Mengesta, lebih menguatkan bahwa sebenarnya subak adalah bagian
dari adat. Walaupun dalam kenyataannya sering terjadi negosiasi dalam
pelaksanaan kegiatan antara kelembagaan-kelembagaan tersebut. Hal
196
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
ini sesuai dengan konsep desa kala patra dari komunitas Hindu di Bali.
Konsep ini menjelaskan tentang adanya kelenturan dan fleksibilitas
dalam segala pelaksanaan kehidupan termasuk kegiatan-kegiatan
budaya dan ritual.
Dengan sedemikian kuatnya peran subak dalam melestarikan
pertanian di Bali dan dengan adanya struktur dan awig-awig subak
yang dapat mengikat baik ke dalam organisasi subak maupun ke luar
organisasi maka sangat tepat dikatakan bahwa subak merupakan satu
elemen yang berfungsi sebagai pelestari pertanian di Bali dan juga
penyumbang kelestarian ketahanan hayati dan ketahanan pangan bagi
masyarakat pedesaan di Bali. Hal ini juga dikuatkan dengan adanya
konsep keseimbangan Tri Hita Karana yang menjadi filosofi organisasi
subak. Konsep ini akan selalu diterapkan oleh subak dalam setiap
kegiatannya. Windia (2010) dan Sutawan (2008) menekankan adanya
empat elemen subak yang harus selalu dilestarikan adalah adanya lahan
pertanian (sawah), organisasi, anggota dan pura subak. Dengan adanya
elemen ini maka subak memiliki peran dalam pelestarian ketahanan
pangan dan hayati. Apalagi bila dikaitkan dengan adanya pura subak
yang sangat berkaitan erat dengan konsep keseimbangan Tri Hita
Karana dalam menjaga hubungan yang harmonis dengan Sang
Pencipta.
Seperti yang dijelaskan oleh Geertz (1992) tentang hubungan
dengan Tuhan akan divisualisasikan dalam agama Hindu yang dianut
semua anggota subak. Selanjutnya Agama Hindu di Bali tidak terpisahkan dengan adat dan budaya yang sangat mengikat kehidupan
masyarakat di Bali. Hal ini juga menjadi penekanan Surata (2009) yang
menyatakan hampir setiap pengambilan keputusan di tingkat komunitas di Bali kepemimpinan lokal (adat) lebih berpengaruh dibandingkan dengan pemerintah. Ini merupakan satu kekuatan bagi lembaga
tradisional seperti organisasi subak untuk berperan sebagai penerus
kebijakan pemerintah yang mengarahkan pada kebijakan pencapaian
ketahanan pangan dan ketahanan hayati di tingkat komunitas.
Bukti lainnya yang menunjukkan organisasi tradisional memiliki
kekuatan dalam menggerakkan masyarakat pedesaan di Bali adalah
197
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
bagaimana subak mampu lebih berperan sebagai penengah konflik
antar masyarakat dalam hal pembagian air di lahan pertanian demikian
juga dengan konflik lainnya yang berkaitan dengan kelembagaan
tradisional. Ada pengalaman menarik yang dialami pemerintah Bali
khususnya Dinas Pekerjaan Umum dalam menangani konflik pembagian air. Konflik tersebut merupakan dampak dari adanya bantuan
saluran irigasi teknis kepada subak dari pemerintah, yang menyebabkan terjadi perubahan dalam aturan pembagian air. Konflik ini akhirnya mampu diselesaikan dengan baik oleh subak. Kejadian ini membuktikan bagaimana kelembagaan tradisional lebih memiliki kekuatan
dalam mengatasi masalah dibandingkan dengan kelembagaan dinas.
Sehingga bagi masyarakat pedesaan di Bali pelestarian cara-cara lokal
(kearifan lokal) dalam beberapa aspek kehidupan masyarakat sangat
diperlukan.
Subak ternyata memiliki kekuatan yang harus diperhitungkan
dalam mentransfer kebijakan pemerintah terutama dalam kebijakankebijakan pertanian. Hal ini telah dibuktikan dengan bagaimana
kuatnya pengaruh subak pada saat dimulainya teknologi modern yang
dikenal dengan revolusi hijau. Pemerintah pada saat itu seolah memanfaatkan organisasi subak dalam mempercepat kesuksesan programprogram revolusi hijau. Pemerintah pada masa itu memanfaatkan
pengurus subak dalam mentransfer atau meneruskan teknologi revolusi
hijau kepada masyarakat petani di pedesaan. Walaupun sebenarnya ada
perlawanan dari anggota subak akan tetapi karena yang diberikan
wewenang adalah kepala subak (pekaseh) yang memiliki kekuasaan
dalam menjalankan awig-awig subak maka semua anggota subak
memiliki kewajiban untuk melaksanakan kebijakan revolusi hijau
pada masa itu.
Di sisi lain pada saat terjadinya transformasi pertanian organik
pun ternyata petani inovator yang juga warga Subak Wongaya Betan,
akhirnya mampu meneruskan teknologi pertanian organik kepada
seluruh warga subak. Pada saat ini praktik pertanian organik sudah
menjadi salah satu awig-awig subak di Wongaya Betan, sehingga
melaksanakan pertanian organik merupakan kewajiban anggota subak
198
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
di Wongaya Betan. Pengusulan Kawasan Catur Angga sebagai kawasan
budaya dunia (world heritage) pun sebenarnya berkaitan dengan
keberhasilan subak di kawasan ini (termasuk Subak Wongaya Betan)
dalam menjaga kelestarian lingkungan dan wilayah pertanian
(terutama pemandangan sawah bertingkatnya).
Seperti dalam bab 4 disebutkan bahwa paling tidak ada 15 subak
yang berada dalam kawasan budaya dunia tersebut. Hal ini menimbulkan konsekuensi yang sangat berat bagi subak-subak di kawasan itu.
Dengan adanya penetapan sebagai kawasan budaya dunia (world
heritage) maka di satu sisi ada kebanggaan dari masyarakat setempat
dan juga warga Bali, akan tetapi di sisi lainnya masyarakat merasa akan
ada konsekuensi moral dan ekonomis yang harus mereka hadapi.
Sehingga masyarakat yang nantinya akan berada pada kawasan budaya
dunia memerlukan dukungan dan perhatian pemerintah baik berupa
sosialisasi dan pendampingan secara terus menerus dalam mempertahankan prestasi yang telah dicapai. Misalnya saja dukungan kebijakan dan aturan pemerintah yang tegas tentang bagaimana kontribusi
yang akan diberikan kepada wilayah subak yang termasuk dalam
kawasan world heritage tersebut.
Beberapa realitas tersebut menunjukkan bahwa subak merupakan salah satu elemen yang mampu mempertahankan budaya pertanian di Bali. Hal ini juga diperkuat dengan adanya perhatian dan
aturan pemerintah (dalam bab 4) bahwa subak memang telah diakui
keberadaannya sebagai organisasi tradisional yang selain berperan
dalam pengorganisasian air bagi petani padi tetapi juga mampu berperan sangat relevan sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam
meneruskan kebijakan-kebijakan pemerintah, baik kebijakan pertanian
maupun kebijakan-kebijakan lainnya. Mengingat posisi subak dalam
struktur desa di Bali berada di bawah struktur desa dinas dan desa adat,
akan tetapi kalau melihat kewenangan dan otoritas subak maka subak
merupakan organisasi yang mandiri. Akan tetapi sering memiliki peran
yang sangat penting dalam keputusan dan kegiatan desa adat dan desa
Dinas (Gambar 3 dalam bab 4).
199
Perempuan Bali dalam Ritual Subak
Oleh karena kekuatan dan peran penting dari subak dalam
organisasi pemerintahan desa di Bali maka memberdayakan elemen
subak, fungsi subak dan awig-awig subak dalam percepatan pelaksanaan kebijakan ketahanan pangan dan hayati di Bali sangat penting.
Pemberdayaan ini mendorong percepatan pencapaian dan pelestarian
ketahanan pangan dan hayati serta penyelamatan lingkungan di Bali.
Sehingga subak dapat dikatakan sebagai unsur pelestarian pertanian,
sebagai modal kolektif dalam pencapaian ketahanan pangan dan
ketahanan hayati.
Keterkaitan Ritual dengan Ketahanan Pangan dan Ketahanan
Hayati
Dalam bahasan ini ketahanan pangan dan ketahanan hayati akan
dibahas dalam satu kesatuan, karena penulis menganggap bahwa antara
ketahanan pangan dan ketahanan hayati merupakan dua hal yang tidak
terpisahkan. Istilah ketahanan pangan yang menjadi wacana pemerintah adalah kemampuan masyarakat petani menghasilkan pangan
terutama beras, dan tersedianya akses bagi masyarakat untuk membeli
pangan (Sujono, 2009). Ketercapaian ketahanan pangan akan secara
otomatis menghasilkan katahanan hayati dalam lingkungannya, karena
menurut Surata (2009) ketahanan hayati adalah lestarinya sumbersumber hayati yang sangat terkait dengan kehidupan manusia
termasuk sumber pangan. Dalam setiap usaha pencapaian ketahanan
pangan melalui kecukupan produksi pangan, maka ketahanan hayati
yang meliputi kelestarian makhluk hidup disekitar area produksi
pangan harus juga mendapat perhatian untuk pelestariannya.
Dalam konteks ketahanan pangan dan ketahanan hayati di Subak
Wongaya Betan terlihat bahwa dengan kembalinya anggota subak pada
praktek organik, maka beberapa hewan sawah seperti capung, belut,
dan ular sawah sudah terlihat lagi di areal persawahan Subak Wongaya
Betan (Wiguna, 2008). Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan
dengan proses pencapaian ketahanan pangan dengan ketahanan hayati.
Di samping itu konsep kelestarian lahan pertanian juga sangat terkait
dengan kelestarian sumberdaya alam dan ketahanan hayati. Seperti
200
Sumber Daya Perempuan dalam Ritual Subak
yang dikemukakan oleh Menteri Perikanan dan Kelautan (2007) 7
bahwa dengan tercapainya ketahanan hayati maka akan mendorong
ketahanan pangan secara berkelanjutan.
Konteks katahanan pangan dan hayati di tingkat subak sebenarnya sudah terimplikasi pada beberapa ritual yang ditujukan kepada
alam 8 . Dengan adanya ritual kepada alam, kepercayaan dan keyakinan
masyarakat tentang perlunya menjaga kelestarian alam dan lahan
pertanian akan muncul dengan sendirinya sehingga akan mengikat
setiap gerak individu untuk melaksanakan ritual-ritual tersebut.
Bagaimana implementasi ritual dengan ketahanan pangan dan hayati di
Subak Wongaya Betan akan dilandasi dengan kepercayaan akan konsep
suci leteh (cemar) umat Hindu di Bali.
Konsep Suci dan Leteh (cemar) sebagai Dasar Ketahanan Pangan
dan Hayati
Konsep ketahanan pangan bagi masyarakat adalah tersedianya
bahan pangan (beras), adanya kemampuan dan akses masyarakat untuk
membeli, dan juga tidak adanya ketergantungan pangan masyarakat.
Berbicara masalah ketahanan pangan tidak akan terlepas dari pertanian, karena sampai saat ini pertanian adalah satu-satunya sumber
pangan masyarakat. Kalau memang pemerintah ingin mempertahankan
ketahanan pangan masyarakat maka setidaknya ada keinginan dan
tindakan nyata pemerintah melindungi usaha pertanian. Usaha pertanian akan berhasil apabila beberapa sara