Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Penggunaan Model Pembelajaran Role Playing dan Teams Games Tournaments pada Hasil Belajar IPS Siswa Kelas III SD/MI Gugus Jaka Tingkir Salatiga Tahun Ajaran 2014/2015

BAB II KAJIAN TEORI

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Ilmu Pengetahuan Sosial

2.1.1.1 Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial

  Istilah “Ilmu Pengetahuan Sosial” disingkat IPS, merupakan nama mata pelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah atau nama program studi di perguruan tinggi identik dengan istilah

  “social studies” (Sapriya, 2009: 19). Istilah IPS di sekolah dasar merupakan nama mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagai integrasi dari sejumlah konsep disiplin ilmu sosial, humaniora, sains bahkan berbagai isu dan masalah sosial kehidupan (Sapriya, 2009: 20). Materi IPS untuk jenjang sekolah dasar tidak terlihat aspek disiplin ilmu karena lebih dipentingkan adalah dimensi pedagogik dan psikologis serta karakteristik kemampuan berpikir peserta didik yang bersifat holistik (Sapriya, 2009: 20).

  IPS adalah suatu bahan kajian terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi diorganisasikan dari konsep-konsep keterampilan-keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi dan Ekonomi (Puskur, 2001: 9). Adanya mata pelajaran IPS di Sekolah Dasar para siswa diharapkan dapat memiliki pengetahuan dan wawasan tentang konsep-konsep dasar ilmu sosial dan humaniora, memiliki kepekaan dan kesadaran terhadap masalah sosial di lingkungannya, serta memiliki keterampilan mengkaji dan memecahkan masalah-masalah sosial tersebut.

  Pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pendidikan dari pada transfer konsep karena dalam pembelajaran IPS siswa diharapkan memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. IPS juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat dan dihadapkan pada berbagai permasalahan di lingkungan sekitarnya.

  Berdasarkan uraian di atas peneliti menyimpulkan bahwa pembelajaran

  IPS sebagai proses belajar yang mengintegrasikan konsep-konsep terpilih dari berbagai ilmu-ilmu sosial dan humaniora siswa agar berlangsung secara optimal.

  2.1.1.2 Pengertian Ilmu Pengetahuan Sosial

  Somantri (Sapriya, 2008:9) menyatakan IPS adalah penyederhanaan atau disiplin ilmu-ilmu sosial humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. Lalu Menurut Sapriya (2008:9), bahwa Pendidikan IPS adalah

  

penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humonaria, serta

kegiatan dasar manusia yang di organisasikan dan disajikan secara ilmiah dan

pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. Somantri (Sapriya:2008:9)

  menyatakan IPS adalah penyederhanaan atau disiplin ilmu ilmu sosial humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.

   2.1.1.3 Tujuan Pembelajaran IPS

  Hakikat tujuan mata pelajaran IPS menurut Chapin, J.R, Messick dalam Ichas Hamid Al -lamri dan Tuti Istianti (2006: 15) dapat diidentifikasi sebagai berikut: a.

  Membina pengetahuan siswa tentang pengalaman manusia dalam kehidupan bermasyarakat pada masa lalu, sekarang dan di masa yang akan datang.

  b.

  Menolong siswa untuk mengembangkan keterampilan (skill) untuk mencari dan mengolah/ memproses informasi.

  c.

  Menolong siswa untuk mengembangkan nilai/ sikap (value) demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat.

  d.

  Menyediakan kesempatan kepada siswa untuk mengambil bagian/ berperan serta dalam kehidupan sosial. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (2006: 67), mata pelajaran

  IPS bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: a.

  Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya; b.

  Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri, memecahkan masalah dan keterampilan dalam kehidupan sosial; c. Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; d.

  Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional dan global.

  Adapun National Council For The Social Studies (NCSS), sebagai organisasi para ahli Social Studies menjadi sumber rujukan selama ini merumuskan tujuan pembelajaran Pengetahuan Sosial yaitu mengembangakan siswa untuk menjadi warganegara yang memiliki pengetahuan, nilai, sikap dan ketrampilan memadai untuk berperan serta dalam kehidupan demokrasi dimana konten mata pelajarannya digali dan diseleksi berdasar sejarah dan ilmu sosial, serta dalam banyak hal termasuk humaniora dan sains dalam Ichas Hamid Al-lamri dan Tuti Istianti (2006: 15).

  Kedua tujuan utama pembelajaran Pengetahuan Sosial tersebut, tidak terpisahkan dan merupakan satu kesatuan yang terintegrasi, saling berhubungan dan saling melengkapi. Ichas Hamid Al-lamri dan Tuti Istianti (2006: 15) Pengetahuan Sosial mempunyai peran membantu dalam menyiapkan warga negara demokratis dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan dan kewarganegaraan didukung oleh penguasaan disiplin ilmu-ilmu sosial. Tujuan dari penelitian ini agar para siswa dapat memiliki pengetahuan dan wawasan tentang konsep-konsep dasar ilmu sosial dan humaniora, memiliki kepekaan dan kesadaran terhadap masalah sosial di lingkungannya, serta memiliki keterampilan mengkaji dan memecahkan masalah-masalah sosial

  Beberapa pengertian tentang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) seperti yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli di atas, maka dapat peneliti simpulkan bahwa Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) adalah salah satu mata pelajaran yang memadukan konsep-konsep dasar ilmu sosial seperti geografi,sejarah, antropologi dan psikologi untuk diajarkan pada jenjang pendidikan. Definisi kata pembelajaran dan definisi kata IPS seperti yang telah dikemukan di atas di gabung menjadi satu pengertian maka pembelajaran IPS adalah suatu upaya yang dilakukan secara sengaja oleh pendidik untuk menyampaikan ilmu pengetahuan berkaitan dengan isu-isu sosial dan kewarganegaraan untuk diajarkan disetiap jenjang pendidikan dengan menggunakan metode dan model pembelajaran efektif dan efisien.

2.1.1.4 Fungsi Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial

  Ilmu pengetahuan sosial adalah bidang studi yang mempelajari, menelaah, menganalisis gejala dan masalah sosial dan masyarakat dengan meninjau dari berbagai aspek kehidupan dan perpaduan. Untuk melaksanakan program-program IPS dengan baik, sudah sewajarnya bila guru mengetahui dengan benar fungsi dan peranan mata pelajaran IPS. Fungsi pembelajaran

  IPS menurut Ishack (Winataputra, 2007) diantaranya yaitu: a.

  Memberi bekal pengetahuan dasar, baik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi maupun diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

  b.

  Mengembangkan keterampilan dalam mengembangkan konsep- konsep IPS.

  c.

  Menanamkan sikap ilmiah dan melatih siswa dalam menggunakan metode ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapi.

  d.

  Menyadarkan siswa akan kekuatan alam dan segala keindahannya sehingga siswa terdorong untuk mencintai dan mengagungkan penciptanya.

  e.

  Memupuk daya kreatif dan inovatif siswa. f.

  Membantu siswa memahami gagasan atau informasi baru dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).

  g.

  Memupuk diri serta mengembangkan minat siswa terhadap IPS. Fungsi pembelajaran IPS dalam penelitian ini adalah untuk menanamkan sikap ilmiah dan melatih siswa dalam memecahkan masalah yang dihadapi, mengembangkan daya kreatif dan inovatif siswa serta memberi bekal pengetahuan dasar untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi.

2.1.2 Model Pembelajaran Sebuah model pembelajaran terkait dengan teori pembelajaran tertentu.

  Berdasarkan teori tersebut dikembangkan tahapan pembelajaran, sistem sosial, prinsip reaksi dan sistem pendukung untuk membantu siswa dalam membangun/mengontruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan sumber belajar. Model pembelajaran memiliki : 1) sintaks (fase pembelajaran); 2) sistem sosial; 3) prinsip reaksi; 4) sistem pendukung; dan 5) dampak. (Ridwan Abdullah Sani, 2013:97).

  Joyce dan Weil (dalam Ridwan Abdullah Sani 2013:98) membagi model pembelajaran dalam empat kelompok, yakni : 1) kelompok model pembelajaran perilaku (behavioral systems family); 2) kelompok model pembelajaran pemrosesan informasi (information proccesing family); 3) kelompok model pembelajaran interaksi sosial (social family); 4) kelompok model pembelajaran personal (personal family). Model pembelajaran ini didasarkan atas rasional teoritis yang logis, landasan pemikiran tentang apa yang dipelajari dan bagaimana cara belajar, perilaku dalam proses belajar mengajar agar pelaksanaannya berhasil. Tujuan utama menggunakan pembelajaran ini adalah : 1) membantu peserta didik bekerja bersama untuk mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah; 2) mengembangkan ketrampilan berhubungan dengan orang lain; dan 3) menyadari nilai-nilai pribadi dan sosial.

  Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tentang model pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran merupakan pola atau perilaku umum yang digunakan dalam pembelajaran yang dipakai untuk mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Untuk mencapai tujuan tersebut guru dapat memilih model atau pola pembelajaran yang sesuai dan efisien untuk diterapkan sesuai dengan komponen-komponen pembelajaran tertentu. Model pembelajaran dapat dilihat berdasarkan teori pendidikan dan teori belajar dari para ahli tertentu, mempunyai misi, dapat dijadikan pedoman untuk perbaikan pembelajaran, memiliki dampak sebagai akibat dari penerapan model pembelajaran tertentu, dan adanya prinsip-prinsip tertentu serta adanya urutan syntax atau langkah-langkah pembelajaran

2.1.3 Model Pembelajaran Kooperatif

  Pembelajaran Kooperatif adalah salah satu bentuk pembelajaran yang berdasarkan faham konstruktivis. Menurut Slavin (dalam Isjoni 2012:12) pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran dimana siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya 4-6 orang dengan struktur kelompok heterogen. Jonhson & Jonhson (dalam Isjoni 2012:17) cooperatif learning adalah mengelompokkan siswa di dalam kelas ke dalam suatu kelompok kecil agar siswa dapat bekerja sama dengan kemampuan maksimal yang mereka miliki dan mempelajari satu sama lain dalam kelompok tersebut.

  Isjoni (2012:12) mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan jumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami materi pelajaran. Sedangkan Anita Lie (2007:28) pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran gotong royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam tugas-tugas yang terstruktur.

  Isjoni (2012:13) berpendapat bahwa belajar dengan model kooperatif ini dapat diterapkan untuk memotivasi siswa agar berani mengemukakan pendapatnya, menghargai pendapat teman, dan saling memberikan pendapat

  

(sharing ideas). Selain itu dalam belajar biasanya siswa dihadapkan pada latihan

  soal-soal atau pemecahan masalah. Oleh sebab itu, pembelajaran kooperatif sangat baik untuk dilaksanakan karena siswa dapat bekerja sama dan saling tolong- menolong mengatasi tugas yang dihadapinya. Selain itu, belajar dengan model kooperatif ini tidak hanya unggul dalam membantu siswa memahami konsep yang sulit, tetapi juga sangat berguna untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, bekerja sama dan membantu teman. Dalam pembelajaran kooperatif, siswa terlibat aktif pada proses pembelajaran sehingga memberikan dampak positif terhadap kualitas interaksi dan komunikasi yang berkualitas, dapat memotivasi siswa untuk meningkatkan prestasi belajarnya.

  Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kooperatif merupakan stategi belajar dengan beberapa jumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuannya berbeda dimana dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap siswa anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu guna mencapai tujuan dalam pembelajaran tertentu. Dalam pembelajaran kooperatif ini, dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran.

  Unsur-unsur dalam pembelajaran kooperatif menurut Lungdren (dalam Isjoni 2012:13) sebagai berikut : a.

  Para siswa harus memiliki persepsi bahwa “tenggelam atau berenang sama”.

  b.

  Para siswa harus memiliki tanggung jawab terhadap siswa atau peserta didik lain dalam kelompoknya, selain tanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mempelajari materi yang dihadapi.

  c.

  Para siswa harus berpandangan bahwa mereka semua memiliki tujuan yang sama.

  d.

  Para siswa membagi tugas dan berbagi tanggung jawab diantara para anggota kelompok.

  e.

  Para siswa diberikan satu evaluasi atau penghargaan yang akan ikut berpengaruh terhadap evaluasi kelompok.

  f.

  Para siswa berbagi kepemimpinan sementara mereka memperoleh keterampilan bekerja sama selama belajar.

  g.

  Setiap siswa akan diminta mempertanggungjawabkan secara individual materi yang ditangani dalam kelompok kooperatif. Thompson (dalam Isjoni, 2012:14) mengemukakan, pembelajaran kooperatif turut menambah unsur-unsur interaksi sosial pada pembelajaran. Pembelajaran kooperatif siswa belajar bersama dalam kelompok-kelompok kecil yang saling membantu satu sama lain. Kelas disusun dalam kelompok yang terdiri dari campuran kemampuan siswa, jenis kelamin, dan suku. Hal ini bermanfaat untuk melatih siswa menerima perbedaan dan bekerja dengan tman yang berbeda latar belakangnya.

  Pembelajaran kooperatif yang diajarkan adalah keterampilan-keterampilan khusus agar dapat bekerja sama dengan baik di dalam kelompoknya, seperti menjadi pendengar yang baik, siswa diberi lembar kegiatan yang berisi pertanyaan atau tugas yang direncanakan untuk diajarkan. Selama kerja kelompok, tugas anggota kelompok adalah mencapai ketuntasan. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan, kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tuga dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan. Ridwan Abdullah Sani (2013:131) mengemukakan bahwa, terdapat 6 langkah utama dalam pembelajaran kooperatif. Keenam langkah pembelajaran kooperatif dirangkai dalam table 1 sebagai berikut:

  Tabel 1

Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif

Fase Tingkah Laku Guru

  Fase 1 Menyampaikan tujuan dan memotivasi siswa

  Guru menyampaikan tujuan pelajaran yang akan dicapai pada kegiatan pelajaran dan menekankan pentingnya topik yang dipelajari dan memotivasi siswa belajar. Fase 2 Menyajikan informasi

  Guru menyajikan informasi atau materi kepada siswa dengan jalan demonstrasi atau melalui bahan bacaan . Fase 3 Mengorganisasikan siswa dalam kelompok- kelompok belajar

  Guru menjelaskan kepada siswa bagaimana caranya membentuk kelompok belajar dan membimbing setiap kelompok agar melakukan ternsisi secara efektif dan efisien. Fase 4 Membimbing kelompok bekerja dan belajar

  Guru membimbing kelompok-kelompok belajar pada saat mereka mengerjakkan tugas mereka.

  Fase 5 Evaluasi

  Guru mengevaluasi hasil belajar tentang materi yang telah dipelajari atau masing-masing kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase 6 Memberikan penghargaan

  Guru mencari cara-cara untuk menghargai baik upaya maupun belajar individu dan kelompok.

  Menurut Wina Sanjaya (2006:249) keunggulan-keunggulan dalam pembelajaran kooperatif, berikut ini kelebihan dalam pembelajaran kooperatif antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Melalui pembelajaran kooperatif siswa tidak terlalu menggantungkan pada guru, akan tetapi dapat menambah kepercayaan kemampuan berpikir sendiri, menemukan informasi dari berbagai sumber, dan belajar dari siswa yang lain.

  2. Dapat mengembangkan kemampuan mengungkapkan idea atau gagasan dengan kata secara verbal dan membandingkannya dengan ide-ide orang lain.

  3. Membantu anak untuk respek pada orang lain dan menyadari akan segala keterbatasannya serta menerima segala perbedaan.

  4. Dapat membantu memberdayakan setiap siswa untuk lebih bertanggung jawab dalam belajar.

  5. Pembelajaran kooperatif ampuh untuk meningkatkan prestasi akademik sekaligus kemampuan sosial, termasuk mengembangkan rasa harga diri, hubungan interpersonal yang positif dengan yang lain, mengembangkan ketrampilan me-manage waktu dan sikap positif terhadap sekolah.

  6. Mengembangkan kemampuan siswa untuk menguji ide dan pemahaman sendiri, menerima umpan balik.

  7. Meningkatkan kemampuan siswa menggunakan informasi dan kemampuan belajar abstrak menjadi riil.

  8. Interaksi selama kooperatif berlangsung dapat meningkatkan motivasi dan memberikan rangsangan untuk berpikir. Selain mempunyai kelebihan, pembelajaran kooperatif juga mempunyai kelemahan yang harus dihindari, yakni adanya anggota kelompok yang tidak aktif. Ini dapat terjadi jika hanya ada satu permasalahan saja. Kelemahan ini dapat dihindari dengan cara seperti di bawah ini:

  1. Untuk memahami dan mengerti filosofis pembelajaran kooperatif memang butuh waktu. Untuk siswa yang dianggap memiliki kelebihan, contohnya mereka akan merasa terhambat oleh siswa yang dianggap kurang memiliki kemampuan.

  2. Ciri utama dari pembelajaran kooperatif adalah bahwa siswa saling membelajarkan. Jika tanpa peer teaching yang efektif maka sesuatu yang seharusnya dipelajari dan dipahami tidak akan dicapai siswa.

3. Penilaian yang diberikan didasarkan pada hasil kerja kelompok.

  Meskipun demikian guru perlu menyadari bahwa hasil yang diharapkan adalah hasil individu setiap siswa.

  4. Pengembangan kesadaran berkelompok memerlukan waktu yang panjang dan tidak mungkin dicapai dengan penerapan model pembelajaran yang tidak berkesinambungan.

  5. Selain mampu bekerja sama siswa juga harus mempunyai kepercayaan diri untuk melakukan aktivitas secara individu dan bukan hal yang mudah untuk mencapai keduanya. Berdasarkan beberapa pemaparan tentang kelebihan dan kekurangan pembelajaran kooperatif yang telah dijelaskan di atas, maka dalam menerapkan pembelajaran kooperatif guru perlu memperhatikan prinsip-prinsip, karakteristik, serta prosedur dari pembelajaran kooperatif itu sendiri dengan benar. Dengan begitu guru dapat memaksimalkan penggunaan model pembelajaran kooperatif dalam proses belajar mengajar sehingga guru dapat mengatasi kelemahan dari pembelajaran kooperatif.

2.1.4 Model Pembelajaran Role Playing (Bermain Peran)

  Husein Achmad (dalam Hidayati, 2004: 93) role playing adalah salah satu bentuk permainan pendidikan yang dipakai untuk menjelaskan peranan, sikap, tingkah laku, dan nilai dengan tujuan menghayati perasaan, sudut pandang dan cara berpikir orang lain. Menurut Sugihartono (2006: 83) model role playing adalah metode pembelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa dengan cara siswa memerankan suatu tokoh baik tokoh hidup maupun tokoh mati, sehingga siswa berlatih untuk penghayatan dan terampil memakai materi yang dipelajari

  Santoso (2011) mengatakan bahwa model role playing adalah adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Ginnot (dalam Eka, 2008) menegaskan bahwa bermain peran merupakan seperangkat prosedur yang digunakan untuk melakukan konseling dengan anak melalui penggunaan secara sistematis dari metode bermain, permainan, dan alat permainan.

  Corsini (dalam Tatiek, 1989) menyatakan bahwa bermain peran dapat digunakan sebagai alat untuk mendiagnosis dan mengerti seseorang dengan cara mengamati perilakunya waktu memerankan dengan spontan situasi-situasi atau kejadian yang terjadi dalam kehidupan yang sebenarnya. Menurut Mulyasa (2004:141) terdapat empat asumsi yang mendasari pembelajaran bermain peran untuk mengembangkan perilaku dan nilai-nilai sosial, yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut sebagai berikut:

  a. Secara implicit bermain peran mendukung situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menitikberatkan isi pelajaran pada situasi „‟di sini pada saat ini‟‟. Model ini percaya bahwa sekelompok peserta didik dimungkinkan untuk menciptakan analogy mengenai situasi kehidupan nyata. Terhadap analogy yang diwujudkan dalam bermain peran, para peserta didik dapat menampilkan respons emosional sambil belajar dari respons orang lain.

  b. Kedua, bermain peran memungkinkan para peserta didik untuk mengungkapkan perasaannya yang tidak dapat dikenal tanpa bercermin pada orang lain. Mengungkapkan perasaan untuk mengurangi beban emosional merupakan tujuan utama dari psikodrama (jenis bermain peran yang lebih menekankan pada penyembuhan). Namun demikian, terdapat perbedaan penekanan antara bermain peran dalam konteks pembelajaran dengan psikodrama. Bermain peran dalam konteks pembelajaran memandang bahwa diskusi setelah pemeranan dan pemeranan itu sendiri merupakan kegiatan utama dan integral dari pembelajaran; sedangkan dalam psikodrama, pemeranan dan keterlibatan emosional pengamat itulah yang paling utama. Perbedaan lainnya, dalam psikodrama bobot emosional lebih ditonjolkan daripada bobot intelektual, sedangkan pada bermain peran peran keduanya memegang peranan yang sangat penting dalam pembelajaran. c. Model bermain peran berasumsi bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf sadar untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Pemecahan tidak selalu datang dari orang tertentu, tetapi bisa saja muncul dari reaksi pengamat terhadap masalah yang sedang diperankan. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Dengan demikian, para peserta didik dapat belajar dari pengalaman orang lain tentang cara memecahkan masalah yang pada gilirannya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan dirinya secara optimal. Oleh sebab itu, model mengajar ini berusaha mengurangi peran guru yang teralu mendominasi pembelajaran dalam pendekatan tradisional. Model bermain peran mendorong peserta didik untuk turut aktif dalam pemecahan masalah sambil menyimak secara seksama bagaimana orang lain berbicara mengenai masalah yang sedang dihadapi.

  d. Model bermain peran berasumsi bahwa proses psikologis yang tersembunyi, berupa sikap, nilai, perasaan dan system keyakinan, dapat diangkat ke taraf sadar melalui kombinasi pemeranan secara spontan. Dengan demikian, para pserta didik dapat menguji sikap dan nilainya yang sesuai dengan orang lain, apakah sikap dan nilai yang dimilikinya perlu dipertahankan atau diubah. Tanpa bantuan orang lain, para peserta didik sulit untuk menilai sikap dan nilai yang dimilikinya.

2.1.4.1 Langkah-langkah Model Pembelajaran Role Playing

  Langkah-langkah pelaksanaan metode bermain peran (role playing) agar berhasil dengan baik menurut (Suharto, 2013: 418) yaitu:

1. Guru harus menerangkan dan memperkenalkan kepada siswa tentang teknik pelaksanaan metode bermain peran ini.

  2. Guru menunjuk beberapa siswa yang akan bermain peran dimana masing-masing akan mencari pemecahan masalah sesuai dengan perannya sementara siswa yang lain menjadi penonton dengan

  3. Guru harus memilih masalah yang urgen sehingga menarik minat siswa.

  4. Guru harus dapat menceritakan peristiwa yang akan diperankan sambil mengatur adegan yang pertama agar siswa memahami peristiwanya,

  5. Guru memberikan penjelasan kepada pemeran dengan sebaik- baiknya,agar mengetahui tugas peranannya, menguasai masalahnya dan pandai berekspresi maupun berdialog.

  6. Siswa yang tidak bermain peran menjadi penonton yang aktif, disamping mendengar dan melihat, siswa harus memberikan saran dan kritik kepada siswa yang telah bermain peran.

  7. Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan kalimat pertama dalam dialog.

  8. Setelah bermain peran mencapai situasi klimaks, maka harus dihentikan agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara umum. Sehingga para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, menilai permainan dan sebagainya. Bermain peran juga dapat dihentikan bila sedang menemui jalan buntu.

  9. Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, dilakukan tanya jawab, diskusi atau membuat karangan yang berbentuk sandiwara.

2.1.4.2 Kelebihan dan Kekurangan Model Role Playing

  Menurut (Bobby DePorter, 2000: 12) kelebihan dan kelemahan model

  Role Playing :

  a. Kelebihan Kelebihan model Role Playing melibatkan seluruh siswa berpartisipasi, mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerja sama. Siswa juga dapat belajar menggunakan bahasa dengan baik dan benar. Selain itu, kelebihan metode ini adalah, sebagai berikut:

  1. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.

  2. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.

  3. Guru dapat mengevaluasi pengalaman siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.

  4. Dapat berkesan dengan kuat dan tahan lama dalam ingatan siswa.

  Disamping merupakan pengaman yang menyenangkan yang saling untuk dilupakan

  5. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias

  6. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi 7. Dapat menghayati peristiwa yang berlangsung dengan mudah, dan dapat memetik butir-butir hikmah yang terkandung di dalamnya dengan penghayatan siswa sendiri 8. Dimungkinkan dapat meningkatkan kemampuan profesional siswa, dan dapat menumbuhkan / membuka kesempatan bagi lapangan kerja b. Kelemahan Hakekatnya sebuah ilmu yang tercipta oleh manusia tidak ada yang sempurna. Semua ilmu ada kelebihan dan kekurangan. Jika kita melihat model Role Playing dalam dalam cakupan cara dalam proses mengajar dan belajar dalam lingkup pendidikan tentunya selain kelebihan terdapat kelemahan.

  1. Model bermain peranan memelrukan waktu yang relatif panjang/banyak 2.

  Memerlukan kreativitas dan daya kreasi yang tinggi dari pihak guru maupun murid. Dan ini tidak semua guru memilikinya

  3. Kebanyakan siswa yang ditunjuk sebagai pemeran merasa malu untuk memerlukan suatu adegan tertentu

  4. Apabila pelaksanaan sosiodrama dan bermain pemeran mengalami kegagalan, bukan saja dapat memberi kesan kurang baik, tetapi sekaligus berarti tujuan pengajaran tidak tercapai 5. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui metode ini

2.1.4.3 Komponen-komponen Model Pembelajaran Role Playing

   Joyce and Weil (dalam Winataputra, 2003: 8) berpendapat bahwa model

  kreatif produktif seperti halnya model-model pembelajaran yang lain memiliki 5 komponen yang terdiri atas sintagmatik, prinsip reaksi, sistem sosial, daya dukung, dampak intruksional dan pengiring. Komponen-komponen tersebut akan dijelaskan pada uraian berikut:

2.1.4.3.1 Sintagmatik

  Menurut Winataputra (2001: 8), sintagmatik adalah tahap-tahap kegiatan dari sebuah model. Dengan mengutip dari Shaftel, Mulyasa (2003) mengemukakan tahapan pembelajaran bermain peran meliputi: 1.

  Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik.

  Menghangatkan suasana kelompok termasuk mengantarkan peserta didik terhadap masalah pembelajaran yang perlu dipelajari. Hal ini dapat dilakukan dengan mengidentifikasi masalah, menjelaskan masalah, menafsirkan cerita dan mengeksplorasi isu-isu, serta menjelaskan peran yang akan dimainkan. Tahap ini lebih banyak dimaksudkan untuk memotivasi peserta didik agar tertarik pada masalah karena itu tahap ini sangat penting dalam bermain peran dan paling menentukan keberhasilan. Bermain peran akan berhasil apabila peserta didik menaruh minat dan memperhatikan masalah yang diajukan guru.

  2. Memilih peran Memilih peran dalam pembelajaran, tahap ini peserta didik dan guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran.

  3. Menyusun tahap-tahap peran Menyusun tahap-tahap baru, pada tahap ini para pemeran menyusun garis- garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan.

  4. Menyiapkan pengamat Menyiapkan pengamat, sebaiknya pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya.

  5. Pemeranan Tahap ini para peserta didik mulai beraksi secara spontan, sesuai dengan peran masing-masing. Pemeranan dapat berhenti apabila para peserta didik telah merasa cukup, dan apa yang seharusnya mereka perankan telah dicoba lakukan. Ada kalanya para peserta didik keasyikan bermain peran sehingga tanpa disadari telah memakan waktu yang terlampau lama. Dalam hal ini guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan.

  6. Diskusi dan evaluasi Diskusi akan mudah dimulai jika pemeran dan pengamat telah terlibat dalam bermain peran, baik secara emosional maupun secara intelektual.

  Dengan melontarkan sebuah pertanyaan, para peserta didik akan segera terpancing untuk diskusi.

  7. Pemeranan ulang Pemeranan ulang, dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya.

  8. Diskusi dan evaluasi tahap dua Diskusi dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas.

  9. Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan

  Tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya.Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan.

  2.1.4.3.2 Prinsip Reaksi

  Winataputra (2001: 8-9) berpendapat bahwa sistem reaksi adalah pola kegiatan yang menggambarkan bagaimana seharusnya guru melihat dan memperlakukan para siswa, termasuk bagaimana seharusnya guru memberikan respon terhadap para siswa. Sunaryo (2011) mengemukakan bahwa di dalam model kreatif produktif, guru berperan sebagai pembimbing, pendamping, fasilitator, serta pengarah pada saat siswa sedang menjalankan setiap langkah dalam tahapan model pembelajaran. Dalam penerapan model Role Playing guru berperan sebagai motivator dan memberikan instruksi di dalam pembelajaran berlangsung

  2.1.4.3.3 Sistem Sosial

  Menurut Winataputra (2001: 8), sistem sosial adalah situasi atau suasana dan norma yang berlaku dalam model tersebut. Sunaryo (2011) mengemukakan bahwa suasana kelas pada saat pembelajaran dilaksanakan adalah suasana yang demokratis, dialogis, kooperatif dan penuh dengan tanggung jawab. Di dalam penerapan model Role Playing diharapkan dapat tercipta suasana yang demokratis

  2.1.4.3.4 Daya Dukung Winataputra (2001: 9) mengemukakan bahwa sistem pendukung adalah

  segala sarana, bahan dan alat yang diperlukan untuk melaksanakan model tersebut. Sarana yang dipergunakan di dalam model ini adalah materi dan media yang relevan dengan tujuan pembelajaran serta model yang akan dilaksanakan. Di dalam model Role Playing dalam pembelajaran IPS tentang jual beli di pasar dan di rumah alat dan bahan yang digunakan adalah uang mainan, contoh-contoh barang dan kartu peran

2.1.4.3.5 Dampak Instruksional dan Dampak Pengiring

   Dampak instruksional adalah dampak atau hasil belajar yang dicapai langsung dengan cara mengarahkan para siswa pada tujuan yang diharapkan.

  Dampak instruksional secara umum dari model ini adalah: 1.

  Mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman nyata 2. Siswa mampu mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.

  3. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias Secara khusus dampak instruksional dalam pembelajaran energi alternatif dan cara penggunaannya melalui model pembelajaran Role Playing adalah kemampuan memahami materi jual beli melalui pengalaman yang dilakukan oleh siswa sendiri dengan bermain peran.

  Dampak pengiring adalah hasil belajar lainnya yang dihasilkan oleh suatu proses pembelajaran sebagai akibat terciptanya suasana belajar yang dialami langsung oleh para siswa dengan pengarahan langsung dari guru. Dari segi dampak pengiring, melalui model pembelajaran Role Playing diharapkan dapat dibentuk kemampuan berpikir kritis dan kreatif, bertanggung jawab, yang semuanya merupakan tujuan pembelajaran jangka panjang. (http:// sertifikasiguru. unm.ac.id, 2011)

  Dampak pengiring yang secara khusus akan didapatkan oleh para siswa dalam pembelajaran IPS tentang jual beli di rumah dan sekolah dalam model pembelajaran Role Playing ini adalah kreatif, mandiri, bertanggung jawab, komunikatif dan demokratis.

  Gambar 1 Dampak instruksional dan pengiring Model Pembelajaran Role Playing Mendapatkan pengetahuan

  Sangat menarik bagi

  melalui pengalaman nyata

  siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan

  Siswa mampu mengambil penuh antusias keputusan dan berekspresi secara utuh.

  Demokratis Mandiri

  Model pembelajaran

  Role Playing

  Bertanggung Komunikatif jawab

  Kreatif Dampak Pengiring dan Dampak Instruksional dalam model pembelajaran Role

  playing dalam Pembelajaran IPS Materi Jual Beli di Rumah dan Sekolah dengan

  keterangan sebagai berikut : Dampak instruksional : Dampak pengiring :

2.1.4.4 Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran IPS Materi Jual Beli di Rumah dan Sekolah

  Pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Role Playing adalah serangkaian aktivitas belajar mengajar dengan model pembelajaran Role pembelajaran di kelas. Prosedur yang harus ditempuh dalam pelaksanaan pembelajaran berbagai energi alternatif dan cara penggunaannya dengan model pembelajaran Role Playing sebagai berikut.

  Tabel 2 Tabel Prosedur Pelaksanaan Pembelajaran IPS Materi Jual Beli di Rumah dan Sekolah dengan Model Pembelajaran Role Playing Kegiatan Guru Tahapan Pelaksanaan Kegiatan Siswa 1.

  Guru memberi semangat siswa dengan cara kegiatan apersepsi 2. Guru mendeskripsikan berbagai watak atau karakter, apa yang mereka suka, bagaimana mereka merasakan, dan apa yang harus mereka kerjakan, kemudian para peserta didik diberi kesempatan secara sukarela untuk menjadi pemeran.

  3. Guru membimbing siswa dalam tahap pemeranan

  4. Pengamat dipersiapkan secara matang dan terlibat dalam cerita yang akan dimainkan agar semua peserta didik turut mengalami dan

  1. Menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik.

  2. Memilih peran 3.

  Menyusun tahap-tahap peran

  4. Menyiapkan pengamat 5.

  Pemeranan 6. Diskusi dan evaluasi 7. Pemeranan ulang 8. Diskusi dan evaluasi tahap dua

  9. Membagi pengalaman dan mengambil kesimpulan 1.

  Menyimak guru dalam menyampaiakan motivasi 2. Bersama kelompok siswa memperhatikan arahan yang diberikan oleh guru 3. Pada tahap ini para pemeran menyusun garis-garis besar adegan yang akan dimainkan. Dalam hal ini, tidak perlu ada dialog khusus karena para peserta didik dituntut untuk bertindak dan berbicara secara spontan.

  4. Menunggu instruksi guru dalam menentukan kelompok pengamat

  5. Para peserta didik mulai beraksi secara spontan, menghayati peran yang dimainkan dan aktif mendiskusikannya.

  5. Guru mengontrol jalannya kegiatan bermain peran dan guru perlu menilai kapan bermain peran dihentikan.

  6. Guru mengarahkan siswa untuk berdiskusi dengan mengerjakan soal dan guru memberikan lembar evaluasi 7. Guru melakukan pemeranan ulang, yang dilakukan berdasarkan hasil evaluasi dan diskusi mengenai alternatif pemeranan. Mungkin ada perubahan peran watak yang dituntut. Perubahan ini memungkinkan adanya perkembangan baru dalam upaya pemecahan masalah. Setiap perubahan peran akan mempengaruhi peran lainnya.

  8. Guru melakukan diskusi sesuai dengan peran masing-masing.

  6. Bersama kelompok siswa mendiskusikan lembar kerja yang diberikan oleh guru 7. Para siswa melakukan pemeranan drama kembali, yang mungkin ada perubahan peran dari setiap kelompok 8. Bersama kelompok siswa mendiskusikan lembar kerja ke dua yang diberikan oleh guru

  9. Tahap ini para peserta didik saling mengemukakan pengalaman hidupnya dalam berhadapan dengan orang tua, guru, teman dan sebagainya. Semua pengalaman peserta didik dapat diungkap atau muncul secara spontan. dan evaluasi tahap dua, diskusi dan evaluasi pada tahap ini sama seperti pada tahap enam, hanya dimaksudkan untuk menganalisis hasil pemeranan ulang, dan pemecahan masalah pada tahap ini mungkin sudah lebih jelas.

  9. Guru melakukan refleksi dan membuat kesimpulan

2.1.4.5 Kriteria Keefektifan Model

  Sebuah kegiatan pembelajaran dikatakan efektif apabila dapat memenuhi beragam kriteria yang telah ditetapkan. Kegiatan pembelajaran yang efektif merupakan hasil dari manajemen kelas yang efektif pula. Hal ini diwujudkan oleh guru melalui beragam strategi yang dapat meningkatkan kebiasaan-kebiasaan baik dalam diri siswa misalnya disiplin, antusias, aktif, dan kreatif. Aktivitas-aktivitas pembelajaran di kelas mulai dari kegiatan awal sampai dengan akhir diharapkan mampu membantu siswa memahami materi pembelajaran yang disampaikan, misalnya menggunakan kegiatan apersepsi yang mendukung, menggunakan media yang cocok bagi materi pembelajaran tersebut, memberikan tugas-tugas mandiri.

  Manajemen kelas, aktivitas pembelajaran siswa dan cara pengelompokan siswa merupakan beberapa aspek yang terdapat di dalam komponen-komponen model pembelajaran. Joyce, Weil dan Calhoun (2009: 104-106) menyebutkan bahwa sebuah model terdiri dari komponen sintaks atau struktur suatu model, komponen prinsip reaksi atau tugas guru, komponen sistem sosial atau situasi kelas pada saat model berlangsung, daya dukung yang terdiri dari bahan dan alat hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai dan dampak pengiring sebagai akibat dari terciptanya suasana belajar dalam model tertentu. Apabila kriteria-kriteria di dalam komponen-komponen model tersebut dapat terpenuhi dengan baik maka sebuah model dapat dikatakan sebagai model pembelajaran yang efektif. Dengan kata lain, model pembelajaran Role Playing dalam penelitian ini akan berjalan dengan efektif apabila setiap kriteria dalam komponen model Role Playing dapat terpenuhi dengan baik selama proses pembelajaran berlangsung.

  Agar pembelajaran IPS materi jual beli di rumah dan di sekolah dapat mencapai hasil belajar yang maksimal, maka proses pembelajaran baik melalui model dan metode pembelajaran harus dilaksanakan dengan efektif. Terpenuhinya tiap komponen model pembelajaran yang sudah dipaparkan di atas merupakan sebuah tanda proses pembelajaran berlangsung dengan optimal. Muara dari proses pembelajaran yang optimal tersebut adalah hasil pembelajaran yang ditandai oleh ketuntasan hasil belajar siswa yang mencapai minimal dari KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Kriteria ini telah ditentukan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan. Ketuntasan hasil belajar jual beli dirumah dan di sekolah siswa yang didapatkan melalui tes evaluasi yang dilakukan pada kedua kelas eksperimen merupakan indikator keefektifan pembelajaran jual beli di rumah dan di sekolah pada penelitian ini.

2.1.5 Model Pembelajaran Teams games tournamentss (TGT)

2.1.5.1 Pengertian Model Pembelajaran Teams games tournamentss (TGT)

  Model pembelajaran TGT merupakan salah satu tipe model pembelajaran kooperatif. Slavin (2005: 163) mengemukakan TGT adalah model pembelajaran kooperatif menggunakan turnamen akademik dan menggunakan kuis-kuis, dimana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain yang kinerja akademik sebelumnya setara seperti mereka. Menurut Asma (2006: 54) model TGT adalah suatu model pembelajaran oleh guru dan diakhiri dengan memberikan sejumlah pertanyaan kepada siswa.

2.1.5.2 Langkah-langkah dalam Penggunaan Model TGT

  Ada beberapa langkah dalam penggunaan model pembelajaran TGT yang perlu diperhatikan. Langkah-langkah penggunaan model pembelajaran

  Seluruh siswa dikenai kuis, pada waktu kuis ini mereka tidak dapat saling membantu.

  Motivasi belajar siswa bertambah.

  d.

  Perilaku mengganggu terhadap siswa lain menjadi lebih kecil.

  c.

  Rasa percaya diri siswa menjadi tinggi.

  b.

  Dalam kelas kooperatif siswa memiliki kebebasan untuk berinteraksi dan menggunakan pendapatnya.

  Kelebihan: a.

  Berikut ini beberapa kelebihan dan kekurangan TGT menurut Taniredja (2012: 72 – 73).

  c.

  TGT menurut Slavin (2005: 170) sebagai berikut: a.

  Guru menyiapkan pelajaran, dan kemudian siswa bekerja di dalam tim mereka untuk memastikan bahwa seluruh anggota tim telah menguasai pelajaran tersebut.

  b.

  Siswa ditempatkan dalam tim belajar beranggotakan empat orang yang merupakan campuran menurut tingkat prestasi, jenis kelamin, dan suku.

  Rekognisi tim. Skor tim dihitung berdasarkan skor turnamen anggota tim, dan tim tersebut akan direkognisi apabila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Menurut Trianto (2010: 84) langkah-langkah pembelajaran TGT secara runtut, yaitu: a.

  d.

  Turnamen. Para siswa memainkan game akademik dalam kemampuan yang homogen.

  c.

  Belajar tim. Para siswa mengerjakan lembar kegiatan dalam tim mereka untuk menguasai materi.

  b.

  Presentasi di kelas.

2.1.5.3 Kelebihan dan kekurangan model TGT

  e.

  Pemahaman yang lebih mendalam terhadap materi pelajaran.

  f.

  Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, toleransi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru.

  g.

  Kerjasama antar siswa akan membuat interaksi belajar dalam kelas menjadi hidup dan tidak membosankan.

  Kekurangan: a.

  Sering terjadi dalam kegiatan pembelajaran tidak semua siswa ikut serta menyumbangkan pendapatnya.

  b.

  Kekurangan waktu untuk proses pembelajaran.

  c.

  Kemungkinan terjadinya kegaduhan kalau guru tidak dapat mengelola kelas.

Dokumen yang terkait

3.2. Karakteristik Subjek Penelitian dan Seting Penelitian 3.2.1. Karakteristik Subjek Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar pada Mata Pelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Belaj

0 0 12

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar pada Mata Pelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Belajar Penemuan (Discovery Learning) pada Siswa Kelas 5 Semester II SD Negeri Bergas Lor 01 Tahun Ajaran

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Peningkatan Hasil Belajar pada Mata Pelajaran Matematika dengan Menggunakan Model Belajar Penemuan (Discovery Learning) pada Siswa Kelas 5 Semester II SD Negeri Bergas Lor 01 Tahun Ajaran

0 0 88

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS Melalui Penerapan Model Make A Match Berbantuan Puzzle pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Watuagung 01 Kecamatan Tuntang

0 0 16

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS Melalui Penerapan Model Make A Match Berbantuan Puzzle pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Watuagung 01 Kecamatan

0 0 16

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Observasi Prasiklus - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS Melalui Penerapan Model Make A Match Berbantuan Puzzle pada Siswa Kelas 4 SD Negeri W

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS Melalui Penerapan Model Make A Match Berbantuan Puzzle pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Watuagung 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Semester II Tahun Ajar

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPS Melalui Penerapan Model Make A Match Berbantuan Puzzle pada Siswa Kelas 4 SD Negeri Watuagung 01 Kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang Semester II Tahun Ajar

0 0 96

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Steganografi pada Citra Digital dengan Kombinasi Penyisipan LSB dan Algoritma Steepest Ascent Hill Climbing

0 0 30

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Efektivitas Penggunaan Model Pembelajaran Role Playing dan Teams Games Tournaments pada Hasil Belajar IPS Siswa Kelas III SD/MI Gugus Jaka Tingkir Salatiga Tahun Ajaran 2014/2015

0 0 6