Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan: Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani

BAB II Ekoteologi dan Revolusi Hijau

Allah menulis FirmanNya tidak hanya di Alkitab. Tapi juga di pohon-pohon, bunga-bunga, awan dan bintang-bintang.

Marthin Luther

1483-1546

2. Ekoteologi

Istilah ekoteologi atau yang biasa disebut juga dengan Teologi Lingkungan, sebenarnya adalah sebuah pemahaman yang merupakan gabungan antara pokok- pokok pemikiran dari ilmu Ekologi, suatu cabang dalam ilmu Biologi dan Teologi. Ketika Ekologi ini dibicarakan dalam kaitannya dengan Teologi, maka seringkali bahasan ini sangat berhubungan erat dengan masalah moral. Permasalahan ekologi memang umumnya terkait dengan krisis moral dalam usaha memahami ciri saling ketergantungan antara manusia dengan lingkungan hidup. Ini menyangkut cara

tentang bagaimanakah seharusnya manusia bersikap terhadap lingkungannya. 1 Munculnya pemikiran tentang ekoteologi ini menunjukkan adanya kesadaran umum dalam diri manusia bahwa selama ini telah terjadi kesalahan berkenaan dengan sikap

dasar manusia terhadap lingkungan hidup. 2

Ekoteologi berasal dari kata ekologi dan teologi. Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh Haeckel, seorang ahli ilmu hayat dalam pertengahan dasawarsa 1860-

1 William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 31 2 William Chang, Moral Lingkungan Hidup, . . . 31-32 1 William Chang, Moral Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 31 2 William Chang, Moral Lingkungan Hidup, . . . 31-32

tangga makhluk hidup. 3 Istilah teologi dalam bahasa Yunani adalah theologia. Istilah ini berasal dari gabungan dua kata theos yang berarti Allah dan logos yang berarti logika. Jadi, teologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan beragama. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ekoteologi merupakan ilmu yang mempelajari interrelasi antara Tuhan dengan alam semesta demi terciptanya keseimbangan dan pola relasi yang saling menghargai antara manusia dengan alam.

Jika dilihat dari sudut pandang agama maka dapat dikatakan bahwa agama hampir tidak pernah menyinggung aspek ekologi, padahal lingkungan adalah masalah yang sangat mendasar dalam kehidupan kita. Hans Kung menegaskan bahwa agama yang baik adalah agama yang menjaga dan melestarikan, bukan menghancurkan dan memusnahkan kemanusiaan. Corak teologi yang hanya mengurus Tuhan belaka dan melupakan persoalan bumi, tidak akan bertahan lama. Masa depan agama akan ditentukan sejauh mana ia bermanfaat untuk kehidupan manusia di bumi. Ekoteologi menandai babak baru dalam relasi antara teologi dan ekologi. Paradigma ekoteologi telah mulai diadopsi oleh masyarakat dunia sejak tahun 1970-an, namun mulai populer di akhir abad ke-20. Konferensi Stockholm di Swedia yang digelar pada 1972 menjadi tonggak diterimanya paradigma ekoteologi. Ekoteologi muncul sebagai

3 Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan (Jakarta:Djambatan,1991), 19.

reaksi terhadap penafsiran Alkitab yang membenarkan tindakan pengeksploitasian alam secara semena-mena oleh manusia sehingga berdampak pada krisis ekologi.

Era 60-an dan 70-an dianggap sebagai masa lahirnya kesadaran ekologis manusia. Sebab pada tahun-tahun inilah mulai terjadinya krisis ekologis di seluruh dunia dan terjadinya eksploitasi alam yang besar-besaran. 4 Oleh sebab itulah kritik- kritik berkenaan dengan sikap dan tingkah laku manusia terhadap alam mulai bermunculan. Bahkan kritik-kritik yang bermunculan tersebut ternyata juga diarahkan kepada gereja dan kekristenan, yang dianggap sebagai biang keladi kerusakan alam yang selama ini telah terjadi. Seorang yang paling terkenal berkenaan dengan kritiknya terhadap gereja dan kekristenan tersebut adalah Lynn Townsend White, Jr., dengan tulisannya berjudul The Historical Roots of Our Ecologic Crisis. Dalam artikelnya ini, White menunjukkan bahwa pada saat ini, ketika teknologi telah berkembang dengan pesat, memungkinkan manusia untuk menghancurkan dan mengeksploitasi lingkungan secara habis-habisan. Ia menunjukkan bahwa mentalitas Revolusi Industri, yang menganggap bumi hanyalah sumber daya untuk konsumsi manusia, itu sesungguhnya jauh lebih tua dari aktualitas mesin, yang ternyata berakar dari kekristenan abad pertengahan. Menurut White, apa yang telah dilakukan orang terhadap alam itu sangat tergantung dari apa yang sedang manusia pikirkan tentang

diri mereka sendiri dalam kaitannya dengan segala hal di lingkungan mereka. 5

4 A. Sunarko dan A. Eddy Kristiyanto, Menyapa Bumi Menyembah Hyang Ilahi (Yogyakarta : Kanisius, 2008), 138

5 http://www.bookrags.com/wiki/Lynn_Townsend_White,_Jr ., Diunduh pada tgl. 15 Juni 2017. Pkl. 16.27WIB

2.1 Manusia, Alam dan Lingkungan

Douglas John Hall seorang teolog berkebangsaan Kanada memberikan tiga paradigma utama berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam yakni: pertama, manusia di atas alam. Kedua, manusia di dalam alam dan ketiga, manusia bersama

alam. 6

1. Paradigma hubungan manusia di atas alam mau menjelaskan bahwa manusia itu sebagai penguasa alam semesta. Pemikiran atau pandangan ini sebenarnya merupakan pandangan tradisional yang masih dipegang teguh oleh manusia, sehingga dengan adanya pandangan ini manusia bertindak seenaknya demi mensejahterakan kehidupannya tanpa mau memperlakukan alam sebagai teman.

2. Paradigma hubungan manusia di dalam alam, mau menjelaskan bahwa manusia adalah satu di antara banyaknya makhluk hidup lain yang berada di dalam alam

3. Paradigma hubungan manusia bersama alam, mau menjelaskan bahwa manusia hidup bersama dengan alam memperlakukan alam tidak sesuka hati tetapi menjadikan alam sebagai ciptaan yang juga mempunyai tempat di

dalam karya penciptaan Allah. 7

Eka Darmaputera juga mengemukakan tiga hal mengenai hubungan manusia dengan alam yaitu: Pertama, orang memandang alam sebagai ruang kuasa-kuasa yang

6 Doglas John Hall, The Steward a Biblical Symbol Come of Age dalam buku Polifonik Bukan Monofonik karangan Dr. Ebenhaizer I. Nuban Timo (salatiga: satya Wacana, 2015), 102

7 Makalah disampaikan Pdt Ebenheizer I. Nuban Timo dalam kegiatan diskusi kampus antara UKSW dan UIN yang mengusung tema: Embbeding Eco-Spirituality upaya mencari titik temu

Agama-agama Melaksanakan Mandat Merawat Bumi, di UKSW pada tanggal 06 Juni 2017 Agama-agama Melaksanakan Mandat Merawat Bumi, di UKSW pada tanggal 06 Juni 2017

hubungan yang selaras. 8 Hal ini ditinjau dari pandangan masyarakat tradisional. Malcolm Brownlee melihat hubungan manusia dengan alam pada era modern di mana manusia berusaha menguasai dan menggunakan alam seperti pada pandangan kedua di atas. Perkembangan ilmu teknologi menjadikan alam bukan lagi sesuatu yang

sakral, melainkan sebagai obyek penelitian untuk diselidiki dan digarap. 9 Pandangan Kristen tentang hubungan manusia dengan alam di mana pada satu segi manusia merupakan bagian dari alam yang adalah sama ciptaan Tuhan, namun di pihak lain manusia diciptakan berbeda dari makhluk hidup lainnya. Seharusnya sikap manusia terhadap alam ialah sep erti dalam Kejadian 2: 15 “TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.” Karena itu sikap yang tepat ialah manusia perlu untuk

menghargai alam. Dari ketiga paradigma mengenai hubungan manusia dengan alam, tidak dapat dipungkiri bahwa paradigma pertama masih menjadi paradigma favorit bagi manusia sebagai umat Allah, sebagai ciptaan yang diberikan mandat penuh untuk menguasai alam ciptaan. Namun paradigma ketiga merupakan paradigma yang

8 Eka Darmaputera, Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society (Ph. D, dissertation, Boston College and Andover Newton Theological School, Newton Center,

Massachusetts, 1982) 263-264. 9 Brownlee Malcolm, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan. (Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2001) 152-156.

sebenarnya diharapkan oleh Allah bahwa manusia sebaiknya hidup bersama dengan alam bahkan bukan saja dengan alam tetapi dengan semua ciptaan yang ada.

2.2 Kesetaraan Manusia dan Alam

Dalam kehidupan masyarakat yang masih tradisional manusia dan alam sederajat tingkatannya, artinya bahwa mereka berasal dari satu sumber dan sama-sama diciptakan. Hubungan tersebut pada akhirnya merupakan sebuah hubungan kontinuitas, bahwa tidak dapat dipungkiri ketika di dalam alam manusia hanyalah bagian terkecil yang ikut berpartisipasi di dalamnya. Manusia berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupannya bersama alam, dengan cara menyesuaikan diri dengan musim pertanian dan tidak berani menganggu lingkungan kecuali melalui proses ritual. Pada waktu itu, alam dianggap sebagai sesuatu yang sakral, yang dapat berperilaku kejam apalagi diperlakukan dengan sembarangan. Inilah yang terjadi

dalam kehidupan masyarakat tradisional. 10 Konsep masyarakat tradisional ini sudah mulai hilang di beberapa tempat, alam tidak lagi setara dengan manusia, alam tidak lagi menjadi yang ditakutkan sebaliknya alam menjadi yang tertindas dan menderita. Manusia tidak lagi memedulikan keberadaan alam.

2.3 Manusia Menguasai dan Mengksploitasi Alam

Perkembangan teknologi yang semakin maju memungkinkan manusia dapat mengubah lingkungan alamnya dengan sesuka hati mengubah lingkungan alamiah menjadi lingkungan buatan demi dan untuk mempertahankan kehidupannya. Makin tinggi kebudayaan manusia makin beragam kebutuhannya, akan tetapi kebutuhan

10 Robert P. Borong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.2, 2000). 26 10 Robert P. Borong, Etika Bumi Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, cet.2, 2000). 26

penting mengapa eksploitasi terhadap lingkungan semakin marak terjadi. 11 Perubahan-perubahan yang dilakukan oleh manusia sebagai yang sudah berpengetahuan tinggi mengakibatkan alam menjadi tidak ramah dan rusak.

2.4 Alam Menguasai dan Mengeksploitasi Manusia

Pada akhirnya, ini bukan lagi manusia yang mengusai alam ataupun manusia setara dengan alam, sebaliknya alam yang menguasai dan mengeksploitasi manusia. Manusia dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat menghancurkan alam, tetapi harus diingat bahwa secara tidak sadar alam yang mengeksploitasi dan merusak manusia. Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana alam memberikan keindahannya baik di darat maupun di laut, binatang-binatang yang memiliki keunikkan tersendiri membuat manusia semakin merasa bahwa alam terlalu indah untuk tidak dinikmati. Hal ini berkaitan dengan psikologi manusia modern. Eric Fromm, dalam bukunya yang berjudul Fear of Freedom, menulis tentang bagaimana psikologis manusia juga menjadi faktor mengapa manusia menjadi brutal dan berlaku sewenang-wenang terhadap alam. Pada intinya bahwa manusia sendiri

11 Robert P. Borong, Etika Bumi Baru, . . . 31-33 11 Robert P. Borong, Etika Bumi Baru, . . . 31-33

setara dengan manusia. 12 Artinya bahwa alam menyimpan kekuatannya sendiri yang seringkali tidak dapat diketahui oleh manusia atau bahkan oleh alat secanggih apapun yang diciptakan oleh manusia.

2.5 Pendamaian dengan Alam Semesta

Pendamaian yang dilakukan oleh Allah pada hakikatnya tidak hanya berfokus pada pendamaian kepada manusia yang telah berbuat salah, akan tetapi juga diarahkan kepada alam semesta. Dalam kisah penciptaan, alam semesta adalah tempat di mana manusia pertama itu hidup. Alam semesta diciptakan dengan begitu

sempurna dan ditata oleh Allah agar manusia dapat hidup dengan sebaik-baiknya. 13 Pada awalnya hubungan manusia dengan alam adalah hubungan yang begitu ramah, seperti ibu dan anak atau bahkan sebagai sahabat karib. Ketika manusia jatuh dalam dosa alam seketika menjadi tidak ramah lagi. Ada jembatan yang membuat manusia tidak lagi dapat dengan bebas memasuki taman Eden yang telah dijadikan sebagai tempat tinggal manusia yang begitu sempurna dalam pandangan Allah.

Tidak sampai di situ bahwa pada akhirnya dengan semakin majunya zaman, teknologi, dan ilmu pengetahuan modern yang semakin berkembang mengakibatkan seorang professor Biologi dari Ausralia bernama Charles Birch 14 mengatakan bahwa

12 Eric Fromm, Fear Of Freedom (London/Melbourne: 1964), 154. 13 Lihat Kejadian 1:1-31 14 Andreas A. Yewangoe, Pendamaian (Jorjakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 184 12 Eric Fromm, Fear Of Freedom (London/Melbourne: 1964), 154. 13 Lihat Kejadian 1:1-31 14 Andreas A. Yewangoe, Pendamaian (Jorjakarta: BPK Gunung Mulia, 1983), 184

Pendamaian yang dimaksud seperti yang dijelaskan Yewangoe dalam bukunya tentang Pendamaian, 15 yakni ada bagian-bagian dari ayat Alkitab yang paling tidak berusaha mengajak umat manusia untuk menghormati alam semesta dalam hal ini penghormatan terhadap tanah, misalnya kebiasaan Tahun Sabat dan Tahun Yobel menurut Imamat 25, yaitu: pertama, membiarkan tanah (yang sudah diusahakan) tetap tinggal kosong sehingga orang-orang miskin, orang-orang asing dan binatang- binatang dapat menikmati apa yang tumbuh sendiri tanpa usaha manusia. Kedua, penghapusan hutang-hutang yang dibuat selama enam tahun dan pemulihan segala hak milik yang dijual selama enam tahun kepada pemiliknya yang mula-mula, dan ketiga, pembebasan dari segala hamba-hamba yang dibeli dalam enam tahun sebelumnya.

Terkadang pendamaian dengan alam semesta sering dimaknai dalam konsep pendamaian yang begitu rumit. Padahal, pendamaian dengan alam semesta dapat dilakukan oleh setiap umat manusia dalam konteks yang sederhana, seperti misalnya sebagai petani harus mampu menjaga tanah dari penggunaan pupuk kimia yang

terlalu berlebihan .

15 Yewangoe, . . . 206

2.6 Teologi Penciptaan

Upaya pendasaran teologi terhadap lingkungan hidup mengalami perjalanan yang panjang. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan pendapat dari para teolog. Beberapa teolog memandang Kejadian 1:26-28 sebagai dasar teologi dari hubungan manusia dan lingkungan hidupnya. Terhadap teks ini, ada beberapa catatan penting yang harus diperhatikan supaya teks ini tidak dijadikan sebagai dasar untuk upaya pengrusakan lingkungan hidup secara tidak bertanggung jawab. Pertama, kata “berkuasa” perlu dimengerti berdasarkan konteks terdekat Kejadian 1. Artinya kata tersebut dipahami dalam kaitan dengan konsep tentang berkat (ayat 28a) dan pembagian antara manusia dan binatang tanpa adanya saling membunuh. Kata “berkuasa” (raddah) di sini tidak boleh dimengerti sebagai kesewenang-wenangan atau perlakuan keras dan kasar, melainkan lebih sebagai tugas untuk memelihara dan mengurus. Hal tersebut sesuai pula dengan Raja atau Gembala Timur Tengah Kuno yang memang bertugas

mengatur dan mengupayakan agar rakyatnya hidup dalam damai dan sejahtera. 16

Berikutnya, kata “menaklukkan” (kabbas) tidak boleh dimengerti secara negatif tetapi harus dimengerti secara positif (mengolah dan mengerjakan). Jika Kejadian 1 dimengerti seperti ini, maka kejadian 1 tidak bisa dijadikan dasar untuk membenarkan tindakan eksploitasi alam secara tidak bertanggung jawab. Manusia berdasarkan Kejadian 1 harus lebih dilihat sebagai wakil Allah, wazir atau kalifah

yang bertanggung jawab atas bumi dan segala makhluknya. 17 Lebih lanjut, Jurgen

16 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi: Perhatian pada Lingkungan (Kanisius. 2008:Yogyakarta), 33.

17 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi, . . . 34

Moltmann menyampaikan kritik terhadap upaya penafsiran ulang Kejadian 1 karena menurutnya masih terlalu antroposentris. Memang sudah ditegaskan bahwa tugas manusia adalah memelihara dan bukan merusak alam. Namun demikian, pusat perhatian tetap diberikan kepada manusia. Dunia dilihat sebagai milik manusia. Karena itu, Moltmann menegaskan bahwa mahkota karya penciptaan sebenarnya bukan manusia melainkan sabat, yaitu kegembiraan Allah atas segala karya ciptaan-

Nya sendiri yang baik. 18

Dalam perspektif hubungan antara sains dan iman serta teologi, Moltmann menegaskan bahwa teologi penciptaan perlu memandang dunia sungguh sebagai ciptaan Allah. Hanya dengan demikian ciri antroposentris pandangan kristiani tentang realitas dapat direlatifkan. Konsep tersebut memuat empat unsur berikut: pertama, sebagai ciptaan dunia ini bukan sesuatu yang ilahi dan karena itu tidak perlu disembah, dunia juga bukan sesuatu yang jahat pada dirinya sendiri, sehingga tidak perlu ditakuti. Kedua, bila dunia dipahami sebagai ciptaan maka relasi dikotomis subjek-objek dalam sains dapat diatasi. Baik realitas yang merupakan objek sains maupun manusia dengan subjektivitasnya adalah ciptaan Allah. Akal budi dan kehendak manusia juga bersifat kontingen dan karena itu tidak boleh dimutlakkan. Ketiga, Allah adalah pencipta surga dan bumi, segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Realitas yang diketahui manusia (melalui sains) tidaklah mutlak melainkan hanyalah sebagian saja dari realitas. Bahkan, manusia sendiri sebagai subjek sains hanyalah bagian dari ciptaan yang kelihatan. Penegasan bahwa dunia

18 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi, . . . 35 18 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi, . . . 35

Teks Roma 8:19-21 lebih dekat dengan keprihatinan yang hidup dalam masyarakat kontemporer, masyarakat yang mengalami dunianya dengan penuh kekhawatiran, tetapi sekaligus dengan harapan, karena seluruh makhluk telah ditakhlukkan kepada kesia-siaan tetapi dalam pengharapan, karena makhluk itu sendiri juga akan dimerdekakan dari perbudakan kebinasaan dan masuk ke dalam kemuliaan anak-anak Allah. Moltman menekankan Sabat sebagai akhir dan puncak

dari penciptaan (bukan penciptaan manusia). 19 Pemikiran Moltman ini didukung oleh pendapat Robert P. Borrong yang mengatakan bahwa kita perlu memelihara lingkungan hidup kita sebagai ungkapan syukur pada Allah Sang Pencipta yang telah mengaruniakan lingkungan dengan segala kekayaan di dalamnya untuk menopang hidup kita dan yang membuat hidup kita aman dan nyaman. Hal tersebut sebagai tanda syukur kita atas pembaruan dan penebusan yang telah dilakukan Allah melalui

19 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi, . . . 36 19 Adrianus Sunarko, Menyapa Bumi, Menyembah Hyang Ilahi, . . . 36

ibadah kita kepada Allah. 20

Lebih lanjut Fred Van Dyke, dalam bukunya Beetwen Earth and Heaven, mengemukakan bahwa kita perlu memahami kembali lingkungan sebagai anugerah penciptaan atau creation dari Allah kepada manusia sebagai bagian dari tradisi sejarah kekristenan yang harus diketahui dan dimaknai kembali. Sejarah tradisi tentang penciptaan tersebut merupakan landasan dasar kita dalam memahami makna dan value atau nilai-nilai yang mengarahkan orang percaya untuk dapat bertanggungjawab dengan alam ciptaan Allah. Tanpa sejarah dari tradisi-tradisi kekristenan ini, orang percaya tidak akan tahu di mana posisinya sekarang berada

dalam membahas tentang masalah masalah lingkungan. 21

Fred Van Dyke mencoba menghubungkan antara apa yang dipercayai dalam iman Kristen lewat tradisi-tradisi yang ada dan memandang lingkungan sebagai bagian dari pelayanan, karena ini merupakan bagian dari pengajaran gereja, baik teologinya, sejarah dan praktik kehidupan orang percaya di masa lalu dan terhadap keprihatinannya saat ini, sebagai bentuk pelayanan gereja yang mewujudkan misi Allah di dunia lewat lingkungan melalui komunitas gereja itu sendiri terhadap

dunia. 22 Artinya bahwa ada hubungan antara kepercayaan dan tradisi dalam memandang lingkungan, sehingga harus ada tindakan yang dilakukan bukan hanya

20 Robert P. Borrong. Etika Lingkungan hidup dari perspektif teologi Kristen. Jurnal pelita zaman ; Yayasan Pengembangan Pelayanan Kristen Pelita Zaman, volume 13 No. 1 (1998).

21 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection (Santa Barbara California: Praeger, 2010), Vii-Viii.

22 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection, . . . 20-23 22 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection, . . . 20-23

perubahan iklim yang berkaitan dengan aktivitas manusia. 23

3. Pandangan para Ekoteolog

Dalam bagian ini penulis mencoba memasukkan beberapa pemikiran dari para ekoteolog berkaitan dengan pandangan mereka tentang ekologi dan manusia. 24

3.1 Lynn White Jr

Tulisannya yang paling terkenal adalah The Historical Roots of Our Ecological Crisis, mengemukakan bahwa permasalahan lingkungan sebenarnya berkaitan dengan paham Yahudi Kristiani akan Allah Pencipta dalam kitab Kejadian pasal 1, di mana ajaran Kekristenan tentang manusia sebagai makhluk yang diberikan kuasa untuk bertanggungjawab atas segala ciptaan yang Allah ciptakan. Selain itu, krisis lingkungan hidup juga disebabkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sebenarnya jauh sebelum White mengemukakan pandangannya, sudah ada terlebih dahulu seorang ilmuan bernama Harvey Cox’s yang berpendapat bahwa ada kaitan

antara sekularisasi dengan paham penciptaan dalam Alkitab di mana ada pemisahan alam dari Allah dan membedakan manusia dari alam. 25 White begitu mengecam ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal dari Barat yang mengubah karakter

23 Fred Van Dyke, Heaven and Earth Christian Perspective on Environmental Protection, . . . 2

24 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan (Jogjakarta: Kanisius, 2008), 29-44

25 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan, . . . 29-30 25 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan, . . . 29-30

 Teknologi dan Ilmu Pengetahuan dari Tradisi Barat White melihat bahwa pengaruh atau tradisi dari Barat yang terdiri dari teknologi

dan ilmu pengetahuan menjadi salah satu pemicu kerusakan lingkungan. Negara- negara maju seperti Cina, Jepang, dan Nigeria mengakui bahwa teknologi yang mereka kembangkan menjadi sukses itu karena pengaruh teknologi yang berasal dari Barat. Pada akhir abad ke-15, keunggulan teknologi di Eropa sedemikian rupa sehingga negara-negara kecil yang saling bermusuhan bisa mengalahkan seluruh dunia, menaklukkan, menjarah, dan mengkloning. Lambang keunggulan teknologi ini adalah kenyataan bahwa Portugal, salah satu negara bagian yang paling lemah di negara Barat, dapat berubah menjadi nyonya di Hindia Timur dan juga bahwa teknologi Vasco da Gama dan Albuquerque dibangun dengan empirisme murni,

sedikit sekali mendapat dukungan atau inspirasi dari ilmu pengetahuan. 27

Dalam pemahaman Vernakular sekarang ini, ilmu pengetahuan modern seharusnya dimulai pada tahun 1543. Ketika Copernicus dan Vesalius menerbitkan karya besar mereka, tradisi sains Barat yang khas, sebenarnya dimulai pada abad ke-

11 dengan sejumlah besar terjemahan karya ilmiah Arab dan Yunani di Latin. Ilmu

26 Lynn White, The Historical RootsOf Our Ecologic Crisis (New York: Harper and Row, 1974), 2

27 White, . ., 2 27 White, . ., 2

diklaim atau dicurigai tanpa menguji asumsi dan perkembangan abad pertengahan. 28 Eksploisitas sains dan teknologi berakar pada pandangan antroposentris tradisi Yudeo-Kristiani yang menganggap bahwa manusia dan alam adalah dua hal yang berbeda. Posisi yang berbeda ini meletakkan manusia lebih tinggi dari alam, oleh karenanya manusia berhak menguasai alam tersebut. Argumentasi White kemudian menekankan bahwa penyebab makin massif, dramatis, serta kompleksnya kerusakan lingkungan adalah ketika cara pandang yang antroposentris itu kemudian didukung oleh berbagai penemuan dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang terbukti

lebih banyak bersifat destruktif terhadap alam. 29

 Pandangan Abad Pertengahan tentang Manusia dan Alam Sampai saat ini, pertanian merupakan hal yang utama dalam kehidupan masyarakat dunia, bahkan dalam masyarakat yang sudah "maju". Oleh karenanya,

setiap perubahan metode pengolahan tanah sangat penting. Awalnya pembajakan tanah hanya dilakukan oleh binatang, yakni oleh dua ekor lembu, biasanya hanya membantu menggaruk tanah agar lebih mudah ketika hendak ditanam. Namun demikian, seiring dengan berjalannya waktu, proses ini mengalami perubahan, misalnya: di tanah yang cukup terang dan iklim semi kering di Timur Dekat dan Mediterania, kegiatan bertani yang tradisional ini bekerja dengan baik, tetapi bajak

28 White, . ., 3 29 Lynn White, Jr., The Historical Roots of Our Ecological Crisis, dalam Jurnal Science, (New York: Harvard University Center, Vol.155 No.3767, 1967), 1205

seperti itu akan tidak sesuai dengan iklim basah dan tanah yang sering lengket di Eropa Utara. Pada bagian akhir abad ke-7 setelah Kristus, bagaimanapun, beberapa petani Eropa Utara menggunakan jenis bajak yang sama sekali baru, dilengkapi pisau vertikal untuk memotong garis alur, bagian horizontal untuk diiris di bawah pohon, dan papan cetakan untuk membaliknya. Gesekan bajak ini dengan tanah begitu besar sehingga biasanya tidak dibutuhkan dua melainkan delapan ekor lembu. Pada awalnya, hal ini memang membantu mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun demikian, sistem bertani yang dilakukan bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sebaliknya hanya kepada bagaimana teknologi baru membantu masyarakat agar tidak perlu lagi bersusah payah. Hubungan manusia dengan tanah sangat berubah. Dahulu memang manusia bagian dari alam namun sekarang manusia adalah pengeksploitasi alam. Di tempat lain di dunia ini, para petani mengembangkan penerapan pertanian yang serupa. Pertanyaan White adalah apakah kebetulan bahwa teknologi modern, dengan kekejaman terhadap alam, sebagian besar telah dihasilkan

oleh keturunan petani-petani kecil di Eropa utara ini? 30

Selanjutnya White memberikan pertanyaan pada satu sisi, yakni: “Apa pendapat orang Kristen tentang hubungan mereka dengan lingkungan? ” Sementara banyak mitologi dunia memberikan cerita tentang penciptaan, mitologi Yunani-Romawi sama sekali tidak koheren dalam hal ini. Seperti Aristoteles, para intelektual Barat kuno menyangkal bahwa dunia yang terlihat memiliki awal. Memang, gagasan tentang sebuah permulaan tidak mungkin dilakukan dalam kerangka gagasan siklus

30 White, . . . 4

waktu mereka. Sebaliknya, agama Kristen yang diwarisi dari Yudaisme tidak hanya merupakan konsep waktu yang tidak berulang dan linier namun juga merupakan kisah penciptaan yang mencolok. Secara bertahap, Tuhan yang penuh kasih dan telah menciptakan terang dan kegelapan, tubuh surgawi, bumi dan semua tanaman, hewan, burung, dan ikannya. Akhirnya, Tuhan telah menciptakan Adam dan Hawa menjaga manusia agar tidak kesepian. Manusia menamai semua binatang sehingga menciptakan dominasinya atas mereka. Tuhan merencanakan semua ini secara eksplisit untuk keuntungan dan peraturan manusia; tidak ada barang dalam penciptaan fisik yang memiliki tujuan untuk tidak melayani kebutuhan manusia dan walaupun tubuh manusia terbuat dari tanah liat, dia bukan hanya bagian dari alam; dia diciptakan menurut gambar Allah. Apa yang dapat kita lakukan berkaitan dengan ekologi tergantung pada gagasan kita tentang hubungan manusia-alam. Ilmu dan teknologi tidak akan mengeluarkan kita dari krisis ekologi saat ini sampai kita

menemukan agama baru, atau memikirkan kembali pemikiran lama kita. 31

3.2 Sallie McFague

Sallie McFague, satu-satunya teolog perempuan yang berbicara tentang pentingnya membangun teologi Kristen yang ramah kepada alam, mengusung model yang keempat, yaitu teologi kenosis. Teologi kenosis adalah teologi yang difokuskan pada kisah inkarnasi Yesus Kristus ke dalam dunia. Teologi yang dikembangkan oleh McFague ini tidak memandang Allah sebagai Pencipta yang terpisah dari dunia dan

31 White, . . . 6 31 White, . . . 6

diidentifikasi lewat ciptaanNya. Berbeda dengan White, McFague memandang bahwa alam semesta sebagai tubuh dari roh Ilahi (the body of God), baginya ada hubungan yang saling berkaitan antara manusia dengan makhluk hidup lain yang ada di dalam dunia ini. Metafor roh oleh McFague dipilih di atas self, mind, heart, will, soul, hikmat dan logos sehingga baginya metafor ini akan sangat eksklusif jika dikaitkan dengan manusia. Kiasan roh dimaksudkan bahwa mungkin saja Allah tidak pertama-

tama dipandang sebagai sumber dan pemberi daya. 34 Dalam eko-teologi Mcfague, Allah yang telah hadir dalam Yesus Kristus adalah Allah pencipta, pecinta dan pemelihara. 35 Mcfague dan The Body Of God yang menjadi kekhasan ekoteologinya intinya mau menegaskan bahwa manusia dan alam semesta adalah juga merupakan bagian dari tubuh Allah yang saling membutuhkan satu sama lainnya. Sebagai satu kesatuan tentunya manusia dan alam semesta diberikan oleh Allah “roh” agar mampu

hidup secara berdampingan dan tidak saling melukai.

32 Sallie McFague, Blessed are the Consumers: Climate Change and the Practice of Restraint . (Fortress Press: Kindle Edition, 2013), 173

33 Sallie McFague, . . , 171-172 34 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan. , , , 35 35 Sallie McFague, Models of God: Theology for an Ecological, Nuclear Age, (Philadelphia: Fortress Press, 1987).

3.3 Denis Edwards

Pandangannya mengenai kehadiran Roh yang menghidupkan alam semesta. Roh yang begitu konkrit hadir sebagai nafas kehidupan yang tidak saja diberikan kepada manusia tetapi kepada ciptaan yang lain. Di samping itu, ekoteologi Edwards bertujuan untuk memulihkan keanekaragaman ciptaan yang berkelimpahan sebagai ekspresi diri yang ilahi, tetapi serentak menghindari pandangan romantisme yang buta akan pergulatan, penderitaan dan kematian dalam ciptaan. Roh adalah kehadiran Allah dalam ciptaan itu sendiri dan kehadiran ciptaan dalam kehidupan ilahi (hubungan timbal balik), yang dipahami sebagai daya penciptaan yang terus menerus memberi kehidupan dalam segala keterbatasan, roh yang juga menciptakan segalanya dan mengantarnya kepada persekutuan dengan Allah merupakan dasar hubungan satu sama lain di antara makhluk hidup yang lainnya. Di dalam roh segala makhluk adalah bagian dari manusia dan manusia adalah bagian dari ciptaan yang lainnya. Hubungan yang sangat erat dan intim setiap makhluk dengan Allah melalui Roh yang menghidupkan, menyatukan dan mendorong semuanya kepada penggenapan dan juga menjadi peringatan bagi manusia yang sekarang dalam posisi dapat meniadakan sekian banyak makhluk ciptaan, menjadi peringatan untuk lebih menghormati

martabat dan kehidupan seluruh ciptaan. 36

Edwards, melihat peristiwa penciptaan sebagai proses yang masih terus menerus berlangsung dengan pengawalan dari Roh Allah sendiri. Roh Kudus berfungsi di dalam dunia sebagai yang menyertai ciptaan dan merangkul ciptaan menuju sebuah

36 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan. , , ,39-41 36 J. Sudarminta & S.P. Lili Tjahjadi, Dunia, manusia dan Tuhan. , , ,39-41

3.4 Aldo Leopold (1887-1948)

Seorang Ekoteolog yang berasal dari Amerika Utara, menulis tentang Etika Tanah. Leopold menulis tentang bagaimana kepedulian tidak saja ditujukan kepada manusia tetapi juga kepada tanaman, hewan, air dan tanah. Menurut Leopold, sebuah tindakan pantas dikatakan baik apabila jika tindakan itu melestarikan ciptaan. Selain Leopold, ada beberapa ekoteolog yang berasal dari Amerika Utara seperti Arne Naess dengan tulisannya tentang Deep Ecology yang menyusun sebuah platform dan memberikan penegasan bahwa manusia maupun ciptaan lainnya (nonhuman) memiliki nilai intrinsik; keanekaragaman hayati yang memiliki nilai pada dirinya sendiri. Naess menegaskan bahwa demi memperbaiki lingkungan hidup, perlu dilakukan pengubahan kebijakan dalam bidang ekonomi, teknologi dan stuktur-

struktur ideologis. 37

3.5 John B. Cobb

Tulisan Cobb yang terkenal yakni is it to late? A Theology of Ecology, mengungkapkan bahwa lingkungan hidup telah mengalami kerusakan yang menurut

37 Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Teologi Ramah Lingkungan: Sekilas tentang Ekoteologi Kristiani (Jogjakarta: Kanisius, 2015), 53-54 37 Al. Purwa Hadiwardoyo, MSF, Teologi Ramah Lingkungan: Sekilas tentang Ekoteologi Kristiani (Jogjakarta: Kanisius, 2015), 53-54

baik perubahan dalam pola pikir maupun tingkah laku yang mempengaruhi orang lain. 38 Banyak yang menganggap bahwa kerusakan lingkungan hanya dapat diatasi dengan teknologi canggih, tetapi banyak orang juga lupa bahwa tidak semua teknologi canggih dapat menyelesaikan semua permasalahan lingkungan, sebaliknya teknologi canggih cenderung menjadikan alam sebagai objek untuk dirombak. Kerusakan lingkungan hanya dapat diatasi jika ada perubahan visi dan misi tentang alam, tentang posisi manusia yang cenderung antroposentisme. Lebih lanjut Coob mengajak umat manusia agar belajar dari masyarakat primitif dan budaya Timur, yakni orang Indian di mana mereka melihat manusia sebagai bagian integral dari alam. Kalau pandangan orang Israel yang agak memisahkan manusia dari ciptaan- ciptaan nonhuman, pandangan Cina sebaliknya. Namun demikian, pandangan Cina kuno tidak lagi dapat diamalkan lagi oleh masyarakat dewasa ini yang menandakan bahwa masyarakat primitif juga memiliki kelemahan di mana mereka sering merasa bersalah saat menggunakan alam untuk kepentingan mereka dan budaya Timur sering cenderung pasif, kurang aktif, kreatif sehingga di satu pihak pandangan barat juga dapat dikombinasikan dengan kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat, dipihak

38 Hadiwardoyo, . . . 40 38 Hadiwardoyo, . . . 40

3.6 Simone Morandini

Morandini dalam bukunya yang berjudul Theologia ed Ecologia yang diterbitkan, mengungkapkan bahwa sejak tahun 1960 sudah ada kesadaran akan rusaknya lingkungan hidup. Menanggapi rusaknya lingkungan hidup, Perserikatan Bangsa- bangsa menyelenggarakan Konferensi tentang lingkungan hidup di Stckholm. Sementara, para teolog Kristen tidak tinggal diam, mereka juga berusaha keras bagaimana caranya agar dapat mengembangkan ekoteologinya dan menyanggah Lynn White seorang teolog yang mati-matian menyalahkan narasi alkitab dalam Kejadian 1 tentang manusia dan segala mandat yang diberikan oleh Allah sebagai

seorang penguasa alam semesta. 40

3.7 Leonardo Boff

Seorang Ekoteolog Amerika Serikat dalam pandangannya tentang lingkungan, Boff membela semua makhluk yang tertindas baik manusia maupun alam. Menurutnya, manusia hanya boleh menggunakan alam sejauh hal itu sungguh perlu hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yakni sandang, pangan dan papan, ia begitu mengecam antroposentrisme dan androsentrisme. Boff menawarkan agar nafsu kekuasaan diganti dengan hormat terhadap kehidupan, namun demikian Boff

39 Hadiwardoyo, . . . 43-44 40 Hadiwardoyo, . . . 80-81 39 Hadiwardoyo, . . . 43-44 40 Hadiwardoyo, . . . 80-81

dibandingkan keadilan bagi ciptaan-ciptaan nonhuman. 41

4. Revolusi Hijau 42 Revolusi hijau atau revolusi agrarian yaitu suatu perubahan cara bercocok tanam dari cara tradisional berubah ke cara modern untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Definisi lain menyebutkan revolusi hijau adalah revolusi produksi biji- bijian dari penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari varietas gandum, padi, jagung yang membawa dampak tingginya hasil panen. Tujuan revolusi hijau adalah meningkatkan produktivitas pertanian dengan cara penelitian dan eksperimen bibit unggul. Selain itu juga bahwa Revolusi hijau adalah perpanjangan tangan dari kemajuan ilmu pengetahuan di bidang pemuliaan tanaman. Gagasan revolusi hijau sebenarnya dimulai dari hasil penelitian Norman Borlaug, peneliti dari Amerika Serikat yang bekerja di Meksiko. Pada tahun 1960-an, Borlaug merakit varietas gandum yang responsif terhadap pupuk namun hasilnya belum memuaskan. Kemudian Borlaug menyilangkan varietas gandum lokal Meksiko dengan varietas asal Jepang yang pendek (dwarfi) untuk menghasilkan tanaman yang dapat memanfaatkan pupuk lebih efisien. Varietas gandum temuannya kala itu mampu mengatasi kelaparan di negara-negara sedang berkembang pada tahun 1960-an. Varietas gandum ajaib tersebut dikembangkan secara luas oleh petani Meksiko, India, dan Pakistan. Pada tahun 1970, Borlaug menerima hadiah Nobel di Bidang pangan.

41 Hadiwardoyo, . . . 55 42 https://herydotus.wordpress.com/2012/01/25/revolusi-hijau-revolusi-agraria/ , diunduh pada tanggal 25 Februari 2017, Pkl. 15.40WIB

Keberhasilan Borlaug dalam merakit varietas gandum menarik perhatian para peneliti di International Rice Research Institute (IRRI) yang kemudian berhasil pula

menciptakan padi ajaib IRS dan IR8. Inilah tonggak sejarah revolusi hijau. 43

Revolusi hijau tidak terlepas dari berbagai kritikan, terutama dari pakar lingkungan, ekonomi, maupun sosial. Kritikan tersebut berkaitan dengan terjadinya degradasi lingkungan akibat penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan, perlunya irigasi karena penggunaan air yang lebih banyak, menurunnya biodiversitas akibat hilangnya berbagai varietas lokal, patahnya berbagai ketahanan genetik terhadap hama dan penyakit, teknologi yang hanya dinikmati oleh petani berpendapatan tinggi karena lebih mampu mengadakan input untuk memperoleh hasil tinggi dari varietas unggul

baru yang diintroduksikan. 44 Artinya revolusi hijau mendatangkan beberapa hal yang merugikan kehidupan petani dan juga lingkungan. Lingkungan hidup menjadi rusak seperti yang tercantum dalam UU No 32 tahun 2009 tentang kriteria kerusakan lingkungan yang mencakup ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap

melestarikan fungsinya. 45

4.1 Latar Belakang Munculnya Revolusi hijau

Gagasan tentang revolusi hijau bermula dari hasil penelitian dan tulisan Thomas Robert Malthus (1766 –1834) yang berpendapat bahwa “Kemiskinan dan kemelaratan

43 Sriani Sujiprihati dan Muhamad Syukur, Pemuliaan Tanaman dalam Merevolusi Revolusi Hijau (Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB), 264

44 PC Kesavan & MS Swaminathan, From Green Revolution to Evergreen Revolution: Pathways and Terminologies. (Current Sci. 91:2, 2006), 145- 146.

45 http://www.unhas.ac.id/pplh/wpcontent/uploads/2012/12/UU_2009_32PPLH_1.pdf http://e-journal.uajy.ac.id/2999/3/2TA12223.pdf , diunduh pada Rabu, 13 Desember 2017, Pkl.

07.04WIB 07.04WIB

mencari dan meneliti bibit unggul dalam bidang pertanian. 46

Pemerintah Indonesia sangat antusias menyambut penemuan teknologi baru melalui program Revolusi Hijau. Kebijakan Revolusi Hijau dilatar belakangi oleh suatu kelangkaan beras di pasaran yang terjadi di kota-kota besar ini merupakan salah satu masalah yang belum teratasi sejak kemerdekaan Indonesia diumumkan. Kebijakan ini bertujuan untuk menyebarluaskan cara-cara bertani yang baik. Namun, kurangnya dana dan tenaga ahli, serta kegagalan panen pada 1955 menyebabkan program ini gagal. Revolusi Hijau merupakan usaha pemerintah era Presiden Soeharto untuk meningkatkan produksi pertanian. Hal ini direalisasikan oleh pemerintah melalui intensifikasi pertanian dengan memperkenalkan cara-cara bertani yang dianggap efektif untuk meningkatkan produksi pertanian, khususnya beras bagi Indonesia. Melalui program Revolusi Hijau ini produktifitas di bidang pertanian mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hanya dalam kurun waktu 14 tahun pelaksanaannya, produksi padi di Indonesia bisa dipompa dari 1,8 ton per hektar

46 Thomas Malthus, An Essay on the Principle of Population: An Essay on the Principle of Population, as it Affects the Future Improvement of Society with Remarks on the Speculations of Mr.

Godwin, M. Condorcet, and Other Writer ( London: Printed for J. J ohnson, in St. Paul’s Church-Yard, 1798), 6-13 Godwin, M. Condorcet, and Other Writer ( London: Printed for J. J ohnson, in St. Paul’s Church-Yard, 1798), 6-13

4.2 Perkembangan Revolusi Hijau

Revolusi hijau dimulai sejak berakhirnya PD I yang berakibat hancurnya lahan pertanian. Penelitian disponsori oleh Ford and Rockefeller Foundation di Meksiko, Filipina, India, dan Pakistan. IMWIC atau International Maize and Wheat Improvement Centre merupakan pusat penelitian di Meksiko. Sedangkan di Filipina, IRRI atau International Rice Research Institute berhasil mengembangkan bibit padi baru yang produktif yang disebut padi ajaib atau padi IR-8. Pada tahun 1970 dibentuk CGIAR atau Consultative Group for International Agriculture Research yang bertujuan untuk memberikan bantuan kepada berbagai pusat penelitian

international. 48 Pada tahun 1970 juga, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia mendapatkan hadiah nobel karena gagasannya mencetuskan revolusi hijau dengan mencari jenis tanaman biji-bijian yang bentuknya cocok untuk mengubah energi surya menjadi karbohidrat pada tanah yang diolah menjadi subur dengan tanaman yang tahan terhadap hama penyakit. Upaya meningkatkan produktivitas pertanian antara lain dengan cara sebagai berikut: Pertama, pembukaan areal pertanian dengan pengolahan tanah. Kedua, mekanisme pertanian dengan penggunaan alat-alat pertanian modern seperti bajak dan mesin penggiling. Ketiga, penggunaan pupuk-pupuk baru. Keempat, penggunaan metode yang tepat untuk

47 Khudori, Ironi Negeri Beras. (Yogyakarta: Insis Press, 2008), 10. 48 John Pontius, Awal Pengembangan Revolusi Hijau (Prisma, No.2 Tahun XXIV, 1995), 62 47 Khudori, Ironi Negeri Beras. (Yogyakarta: Insis Press, 2008), 10. 48 John Pontius, Awal Pengembangan Revolusi Hijau (Prisma, No.2 Tahun XXIV, 1995), 62

herbisida, dan fungisida. 49

Perkembangan Revolusi Hijau juga berpengaruh terhadap kehidupan pertanian di Indonesia. Upaya peningkatan produktivitas pertanian Indonesia dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:

1. Intensifikasi Pertanian yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan menerapkan formula pancausaha tani (pengolahan tanah, pemilihan bibit unggul, pemupukan, irigasi, dan pemberantasan hama).

2. Ekstensifikasi Pertanian yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan memperluas lahan pertanian, biasanya di luar Pulau Jawa.

3. Diversifikasi Pertanian yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan cara penganekaragaman tanaman, misal dengan sistem tumpang sari (di antara lahan sawah ditanami kacang panjang, jagung, dan sebagainya).

4. Rehabilitasi pertanian yaitu upaya peningkatan produksi pertanian dengan cara pemulihan kemampuan daya produktivitas sumber daya pertanian

yang sudah kritis. 50

49 Sumarno (Profesor Riset pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan), Teknologi Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan Masa Depan. Makalah ini disampaikan

pada Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Pertanian, Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor, 14-15 September 2006. Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 No. 2 -2007, 136

50 Revolusi Hijau, Perkembangan Teknologi dan industrialisasi serta Ekonomi masyarakat Indonesia pada Masa Orde Baru dalam :

https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uac =8&ved=0ah UKEwicvtHx2ujVAhUUR48KHeXlDBYQFgg4MAI&url=https%3A%2%2Fcenterformunawareducat ion.files.wordpress.com%2F2013%2F06%2Frevolusi-hijau-perkembangan-tekonologi-dan-

4.3 Bahaya Masuknya Revolusi Hijau Peningkatan produksi pangan secara drastis akibat penemuan varietas baru hasil pemuliaan tanaman dengan produktivitas tinggi, habitus kerdil, dan responsif terhadap pupuk N tinggi menandai terjadinya revolusi hijau. Revolusi hijau ini di Indonesia pernah membawa keberhasilan pencapaian swasembada pangan pada tahun 1984. Contoh varietas padi hasil revolusi hijau di Indonesia dimulai antara lain dengan padi IR atau PB tahun 1960-an. Pemuliaan padi pada masa permulaan revolusi hijau di Indonesia bertujuan untuk menghasilkan padi dengan hasil tinggi (high yielding varieties —HYV) dengan ideotype:

1. Berdaun tebal, pendek, dan tegak,

2. Malai pendek dan kuat,

3. Anakan banyak, anakan produktif tinggi,

4. Respons terhadap pemupukan N tinggi,

5. Indeks panen tinggi. 51 Meskipun revolusi hijau menyebabkan peningkatan produksi pangan banyak negara berkembang, tanpa diikuti dengan pengelolaan dan perluasan lahan yang memadai, revolusi hijau juga dianggap banyak membawa dampak negatif. Dampak negatif revolusi hijau itu tidak hanya pada sektor pertanian saja, melainkan juga melimbas ke lingkungan hidup (ekosistem secara luas), kelestarian alam dan makhluk

perkembangan industrialisasi-serta-ekonomi-masyarakat-indonesia-pada-masa- orba.doc&usg=AFQjCNH1GjH6brldxVe-ptDrSQJQKiDh7w, diunduh pada tgl. 21 Agustus 2017, Pkl. 23.16WIB

51 Pandangan Mengenai Revolusi Hijau Lestari (Evergreen Revolution) G.A. Wattimena, anggota DGB, IPB dalam:

http://novelgro.com/assets/brochure/Pandangan_Mengenai_Revolusi_Hijau_Lestari.pdf , diunduh pada tgl, 21 Agustus 2017, Pkl. 23.24WIB

hidup, serta paradigma budaya pertanian itu sendiri. Ditinjau dari peningkatan produktivitas dan produksi pertanian, khususnya bahan pangan, revolusi hijau merupakan jawaban bagi pembangunan pertanian abad XX, selain itu masuknya revolusi hijau mengakibatkan sebagian masyarakat tani berperilaku secara instan artinya bahwa tidak mau bersabar menunggu hasil panen, juga mengubah pola perilaku masyarakat dalam hal mengolah lahan pertanian. Dampak lain yang ditimbulkan akibat masuknya revolusi hijau yakni: pertama, petani bergantung pada sarana berasal dari luar usaha tani yang harus dibeli. Kedua, petani terbiasa dengan hutang untuk menyediakan sarana produksi, ketiga apabila terjadi kegagalan panen akan berakibat kerugian yang besar bagi petani. Keempat, musim tanam dan panen yang bersamaan dalam satu wilayah luas menjadikan harga jual menjadi jatuh pada saat panen. Kelima, usaha produksi padi menjadi usaha bisnis, dalam arti hasil panen gabah seluruhnya dijual, tidak lagi diperuntukkan bagi persediaan pangan keluarga setahun. Keenam, petani padi menjadi pembeli beras guna kebutuhan pangan sehari- hari. Ketujuh, perbedaan luas pemilikan lahan antar petani membentuk senjang ekonomi-sosial yang menjadi lebih kentara dan Kedelapan, timbul anggapan bahwa

Revolusi Hijau hanya menguntungkan petani yang lahannya luas. 52 Banyak negara yang sedang berkembang terlepas dari ancaman kelaparan. Lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan tanaman pangan, seperti IRRI di Filipina, berperan besar dalam upaya penghindaran kelaparan dunia, yang merupakan

52 Sumarno, Teknologi Revolusi Hijau Lestari untuk Ketahanan Pangan Nasional di Masa

Depan , Iptek Tanaman Pangan Vol. 2 No. 2 – 2007. Makalah ini disampaikan pada Seminar Nasional Sumber Daya Lahan Pertanian, Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian. Bogor, 14-15 September 2006.

Dokumen yang terkait

BAB II KAJIAN PUSTAKA - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan I

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan IPA pada Siswa Kelas 4 Se

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan IPA pada Siswa Kelas 4 Se

0 0 23

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan IPA pada Siswa Kelas 4 Se

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perbedaan Pengaruh antara Penerapan Pendekatan Saintifik Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dan Model Think Pair and Share terhadap Hasil Belajar Muatan IPA pada Siswa Kelas 4 Se

0 0 95

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Terapi Antiretroviral (ARV) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

0 0 18

31 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Terapi Antiretroviral (ARV) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

0 1 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan Terapi Antiretroviral (ARV) pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di RSUD Dr. M. Haulussy Ambon

0 0 72

Dukungan Keluarga Terhadap Pengobatan TB Paru pada Anak di Balai Kesehatan Masyarakat Ambarawa Tugas Akhir - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Dukungan Keluarga terhadap Pengobatan TB Paru pada Anak di Balai Kesehatan Masyaraka

0 0 37

BAB I Revolusi Hijau dan Kerusakan Lingkungan (Tinjauan Ekoteologi terhadap Pandangan Masyarakat Desa Kotabes, Kecamatan Amarasi- NTT tentang Pengaruh Revolusi Hijau dalam Bertani) 1.1 Latar Belakang - Institutional Repository | Satya Wacana Christian Uni

0 0 22