PERAN ETIKA POLITIK DI INDONESIA DALAM M

PERAN ETIKA POLITIK DI INDONESIA DALAM MEMINIMALISASI TINDAK PIDANA KORUPSI KARANGAN ILMIAH

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mengikuti Ujian Tingkat Mu‟alimin/Aliah

Oleh Afni Fauziah NIS. 1011.10.073

Program Ilmu Pengetahuan Sosial PESANTREN PERSATUAN ISLAM TAROGONG

GARUT 1432-1433 H / 2012-2013

LEMBAR PERSETUJUAN PERAN ETIKA POLITIK DI INDONESIA DALAM MEMINIMALISASI TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh Afni Fauziah NIS. 1011.10.73

Disetujui dan disahkan oleh:

Pembimbing, Wali Kelas,

Heri Mulyadi, S.HI Entang Taurina

Diketahui, Mudirul „am Mudir

Mu‟allimin PPI Tarogong, PPI Tarogong,

H.M Iqbal Santoso Drs. Saeful Hayat

LEMBAR PENGESAHAN PERAN ETIKA POLITIK DI INDONESIA DALAM MEMINIMALISASI TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

Afni Fauziah

NIS. 1011.10.73

Karya Ilmiah Santri ini telah diajukan tanggal…………………………………

Penguji I Penguji II

Diketahui

Mudir Mu‟allimin PPI Tarogong

Drs. Saeful Hayat

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa kaya ilmiah santri ini benar-benar merupakan buah pemikiran saya sendiri, dan jika karya ini telah ada atau karya orang lain maka saya bersedia untuk mendapatkan sanksi. Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Garut, Januari 2013

Afni Fauziah

BIODATA PENULIS

Nama

: Afni Fauziah

Tempat/Tgl. Lahir

: Garut, 04 April 1996

Alamat : Kp. Sindang Sari, Ds. Tanjung Kamuning Kec. Tarogong

Kaler Kab. Garut

Nama Orang Tua

Ayah

: Rudi Kristian

Ibu

: Ranti Komalasari

Pekerjaan Orang Tua

Ayah

: Wiraswasta

Ibu : Ibu Rumah Tangga

Riwayat Pendidikan :

- TK/RA Mathlaul-Ulum 2001

- SDN Tanjung Kamuning I 2007

- MTs Persis Tarogong 2010

- MA Persis Tarogong

Motto

“sekecil apapun celah yang kau temukan dalam hidupmu, genggam itu ! berlarilah, Tuhan pasti

menghampirimu”

Afni Fauziah

KATA PENGANTAR

Bismillahirramaanirrahiim.

Sega puji dan syukur sudah selayaknya kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mengizinkan penulis untuk bisa menyusun karya ilmiah ini dengan lancar sehingga karenaNya penulis dapat menyeleaikan penyusunan karya ilmiah ini dengan judul “PERAN ETIKA POLITIK DI INDONESIA DALAM MEMINIMALISASI TINDAK PIDANA KORUPSI ”.

Banyak kekurangan yang penulis berikan terhadap penyusunan karya ini, dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan dan wawasan, serta waktu yang cukup singkat. Oleh karena itu penulis siap untuk diberi kritik dan saran yang insyaallah membangun dan akan menjadikan penulis lebih cermat lagi dalam menyusun karya-karya lain di masa yang akan datang.

Penulis sepenuhnya sadar, tanpa dukungan dan dorongan dari orang-orang di sekitar penulis tidak bisa mewujudkan karya ilmiah ini. Tak lupa penulis ucapkan banyak terima kasih yang setinggi-tingginya kepada :

1. Ust. H. Mohammad Iqbal Santoso, selaku Pimpinan Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut yang telah memberikan banyak nasehat kepada penulis.

2. Ust. Saeful Hayat, selaku Mudir Mu‟allimin Pesantren Persatuan Islam Tarogong Garut yang telah memberikan motivasi dan semangat kepada penulis.

3. Ust. Heri Mulyadi, selaku pembimbing yang telah sabar membimbing serta memberikan koreksi kepada penulis dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

4. Usth. Enung Jubaedah, S.Pd dan Usth. Elsa Shofiati, M.Ag, selaku biro karya tulis yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun karya ilmiah ini.

5. Usth. Entang Taurina, S.Pd, selaku wali kelas XII IPS 2 yang selalu membimbing dan menasehati penulis.

6. Para Asatidz dan Asatidzah yang telah menginspirasi dan telah memberikan nasehat serta bimbingan kepada penulis.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang telah memberikan do‟a restu serta dorongan yang dapat memotivasi penulis dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini.

8. Kakak serta adik-adik yang telah memberikan semangat dan dukungan serta telah menghibur penulis dalam penyusunan karya tulis ilmiah ini, sehingga dengan adanya mereka kami tak terlalu jenuh dalam penyusunan.

9. Terima kasih untuk teman-teman yang telah mendukung atas lancarnya penyelesaian karya ilmiah ini, khususnya kepada Tsani, Tria, Gina O dan teman-teman lain yang tidak tersebutkan namanya.

10. Semua adik kelas dan teman sejawat di Mu‟allimin, serta pihak-pihak yang tidak tersebutkan namanya yang telah banyak membantu dalam penyelesaian karya tulis ilmiah ini.

ii

Itulah kiranya yang dapat penulis sampaikan, semoga apa yang telah disusun dalam karya ilmiah ini tidak semata-mata hanya demi kepentingan persyaratan kelulusan saja, akan tetapi bisa bermanfaat untuk masyarakat pada umumnya. Aamiin. Jazaakumullahu khairan katsiiraan.

Garut, Januari 2013

Penulis Afni Fauziah

iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perang terhadap korupsi merupakan fokus yang sangat signifikan dalam suatu negara berdasarkan hukum, bahkan merupakan tolok ukur keberhasilan suatu pemerintahan. Salah satu unsur yang sangat penting dari penegakan hukum dalam suatu negara adalah perang terhadap korupsi, karena korupsi merupakan penyakit kanker yang imun, meluas, permanen dan merusak semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk perekonomian serta penataan ruang wilayah.

Di Indonesia Korupsi dikenal dengan istilah KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Korupsi sudah menjadi wabah penyakit yang menular di setiap aparat negara dari tingkat yang paling rendah hingga tingkatan yang paling tinggi. Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Penyebab utamanya karena gaji pegawai negeri di bawah standar hidup sehari-hari dan sistem pengawasan yang lemah. Baik disadari atau tidak telah terciptanya kondisi dimana gaji satu bulan hanya cukup untuk satu atau dua minggu. Disamping itu juga, lemahnya sistem pengawasan yang ada memberi kesempatan untuk melakukan korupsi. Sehingga hal ini mendorong para pegawai negeri untuk mencari tambahan dengan memanfaatkan fasilitas publik untuk kepentingan pribadi walau dengan cara melawan hukum.

Asep Rahmat Fajar. 2012. Pemantau Peradilan. [on line]. Tersedia: http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_con tent&view=article&id=242&Itemid=242(01 November 2012)

“Sebagai suatu sistem, kinerja pengadilan sekarang ini berada pada titik nadir yang cukup mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut untuk melakukan berbagai perbaikan signifikan bagi terciptanya suatu sistem pengadilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat. Secara praktek, teori pengadilan yang mempunyai asas sederhana, cepat, dan biaya ringan di satu sisi dan terciptanya suatu peradilan yang bersih, transparan dan mengedepankan nilai-nilai keadilan disisi lain terlihat sudah sangat sulit untuk diterapkan dan ditemui dalam lembaga dan aparat pengadilan yang ada saat ini. Banyak laporan yang menyebutkan bahwa pengadilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir melawan ketidakadilan ternyata tidak berdaya apa-apa. Dalam hal ini kriteria buruknya pelayanan lembaga peradilan dapat dilihat dan diukur dari lambatnya proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap suatu kasus, banyaknya persyaratan administratif yang harus ditempuh saat pendaftaran perkara di pengadilan, banyaknya pungutan di luar biaya administrasi resmi sampai kepada prosedur penetapan putusan pengadilan yang dianggap tidak transparan oleh publik serta pelaksanaan eksekusi yang penuh dengan permasalahan. Hal tersebut di atas menyebabkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pengadilan semakin menipis dari hari ke hari. Sedangkan di sisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga pengadilan dan kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen dan mandiri dalam menjalankan kinerja serta mengeluarkan putusan-putusannya. Selain maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses penyelesaian perkara, adanya campur tangan pihak eksekutif dalam proses peradilan menjadi salah satu indikasi ketidakmandirian lembaga pengadilan. Intervensi pihak eksternal kepada kekuasaan kehakiman atau yudikatif (dalam hal ini terutama oleh kekuasaan negara lainnya seperti eksekutif dan legislatif) akhirnya menjadi suatu masalah yang sangat serius untuk dipikirkan pemecahannya, terutama setelah terdapat beberapa indikasi yang memperlihatkan bahwa suatu putusan pengadilan yang “aneh-aneh”. Putusan tersebut biasanya terjadi dalam kasus-kasus yang melibatkan negara (baik itu pejabat, lembaga ataupun keuangan negara/korupsi). Sehingga disini akhirnya ungkapan politisasi terhadap berbagai kasus yang ada di pengadilan menjadi suatu hal yang tak dapat dihindari untuk diakui. ”

Sementara telah dijelaskan dalam Al-Quran bahwa korupsi itu termasuk kepada mencuri. Dan mencuri adalah salah satu perbuatan tercela juga terdapat sanksi bagi orang yang melakukannya QS.Al- Maidah:38-39

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Maka barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha

Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Maidah:38-39)

Dengan itu, penulis merasa perlu memberitakan informasi seputar etika politik dan penulis juga tertarik untuk membahasnya lebih rinci yaitu

dengan menyusun sebuah karangan ilmiah yang berjudul: “PERAN ETIKA POLITIK DI INDONESIA DALAM MEMINIMALISASI TINDAK PIDANA KORUPSI”

B. Rumusan Masalah

Agar pembahasan ini terarah, penulis membatasi permasalahannya sebagai berikut:

1. Apa Pengertian Etika Politik, Norma, dan Moral?

2. Apa Pengertian Korupsi?

3. Bagaimana Etika Politik Dapat Meminimalisasi Tindak Pidana Korupsi?

C. Tujuan Penulisan

Agar pembahasan ini terarah, penulis membatasi permasalahannya sebagai berikut:

1. Untuk Mengetahui Pengertian Etika Politik, Norma, dan Moral

2. Untuk Mengetahui Pengertian Korupsi

3. Untuk Mengetahui Bagaimana Etika Politik Dapat Meminimalisasi Tindak Pidana Korupsi

D. Metode dan Teknik Penulisan

Metode yang berdasarkan pengumpulan buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan karangan ilmiah. Dalam rangka penyusunan data, penulis menggunakan teknik penulisan studi kepustakaan (Library Research). Dengan cara membahas, menguraikan permasalahan tersebut dari hasil membaca, menganalisa yang ada sangkut pautnya dengan permasalahan tersebut.

E. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan terarah, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I : Pendahuluan, yang meliputi: Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan, Sistematika Penulisan. BAB II : Analisis Teoritis, yang meliputi: Pengertian Etika Politik, Norma, dan Moral, Pengertian Korupsi.

BAB

III : Pembahasan, yang meliputi: Bagaimana Etika Politik Dapat Meminimalisasi Tindak Pidana Korupsi. BAB IV : Penutup, yangt meliputi: Kesimpulan dan Saran

BAB II ANALISIS TEORITIS

A. Pengertian Etika Politik, Moral, dan Norma

1. Pengertian Etika Politik

Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia.

Etika sendiri di bagi ke dalam etika umum dan etika khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam pelbagai lingkungan hidupnya. Ada berbagai bidang etika khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi, dan etika pendidikan. Etika sosial jauh lebih luas dari etika individual karena hampir semua kewajiban manusia bergandengan dengan kenyataan bahwa ia merupakan mahluk sosial.

Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antarmanusia. Etika berkaitan dengan norma moral yaitu, norma untuk mengukur betulsalahnya tindakan manusia sebagai manusia. Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggungjawab. Tugas etika politik membantu agar Dengan bertolak dari martabat manusia sebagai pribadi yang sosial, etika sosial membahas norma-norma moral yang seharusnya menentukan sikap dan tindakan antarmanusia. Etika berkaitan dengan norma moral yaitu, norma untuk mengukur betulsalahnya tindakan manusia sebagai manusia. Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggungjawab. Tugas etika politik membantu agar

Berikut pendapat para ahli mengenai etika politik :

a. Drs. O.P. Simorangkir : etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik.

b. Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat : etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal.

c. Drs. H. Burhanudin Salam : etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

2. Pengertian Norma

Norma adalah aturan yang berlaku di kehidupan bermasyarakat. Aturan yang bertujuan untuk mencapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan sentosa. Namun masih ada segelintir orang yang masih melanggar norma-norma dalam masyarakat, itu dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pendidikan, ekonomi dan lain-lain. Norma terdiri dari beberapa macam/jenis, antara lain yaitu :

a. Norma Agama

b. Norma Kesusilaan

c. Norma Kesopanan

d. Norma Kebiasaan (Habit)

e. Norma Hukum

(Herawati,2012:1)

3. Pengertian Moral

Istilah moral berasal dari bahasa Latin. Bentuk tunggal kata „moral‟ yaitu mos. Sedangkan bentuk jamaknya yaitu mores yang masing-masing mempunyai arti yang sama yaitu kebiasaan, adat. Bila kita membandingkan dengan arti kata „etika‟, maka secara etimologis, kata „etika‟ sama dengan kata „moral‟ karena kedua kata tersebut sama-sama

mempunyai arti yaitu kebiasaan, adat. Dengan kata lain, maka rumusan arti kata „moral‟ adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi

pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Sedangkan yang membedakan hanya bahasa asalnya saja yaitu „etika‟ dari bahasa Yunani dan „moral‟ dari bahasa Latin. Jadi bila kita

mengatakan bahwa perbuatan pengedar narkotika itu tidak bermoral, maka kita menganggap perbuatan orang itu melanggar nilai-nilai dan norma- norma etis yang berlaku dalam masyarakat, artinya orang tersebut berpegang pada nilai-nilai dan norma-norma yang tidak baik. (Herawati, 2012:1)

B. Pengertian Korupsi

Korupsi berasal dari kata bahasa Inggris corruption; dalam bahasa Belanda disebut korruptie, dalam kata Latin disebut corruption. Secara harfiah, korupsi berarti „jahat‟ atau „buruk‟. Atau dengan kata lain, tindak pidana korupsi merupakan suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, rusak, atau jahat. Istilah korupsi berkembang sesuai dengan kondisi zaman.

Berdasarkan UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, beberapa perbuatan yang tergolong korupsi dan karenanya dapat dikenai hukuman, antara lain, sebagai berikut:

a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang bisa merugikan keuangan dan perekonomian negara;

c. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi;

d. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi.

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 di atas, selanjutnya dapat ditentukan beberapa ciri perbuatan korupsi secara lebih terperinci sebagai berikut:s

a. Pegawai negeri atau bukan pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga atau membiarkan uang atau surat berharga itu diambil atau digelapkan orang lain atau membantu dalam perbuatan tersebut;

b. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kakuasaan yang berhubungan dengan jabatannya;

c. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bermaksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum;

d. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan;

e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang saat menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran pegawai negeri atau penyelenggara yang lain secara melawan hukum. (Sugiyarto, 2009:24)

BAB III PEMBAHASAN

A. Peran Etika Politik dalam Meminimalisasi Tindak Pidana Korupsi

Dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, serta berkesinambungan perlu ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi khususnya. Pada era reformasi ini, masyarakat menghendaki agar upaya pemberantasan korupsi makin ditingkatkan. Hal ini karena korupsi telah terbukti menimbulkan kerugian yang sangat besar pada rakyat, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, etika politik sangat dibutuhkan dalam suatu negara.

Filisof Immanuel Kant pernah menyindir, ada dua watak binatang terselip di setiap insan politik: merpati dan ular. Politisi memiliki watak merpati yang lembut dan penuh kemuliaan dalam memperjuangkan idealisme. Tetapi ia juga mempunyai watak ular yang licik dan jahat serta selalu berupaya untuk memangsa merpati. Celakanya, yang sering menonjol adalah watak ulat dibandingkan watak merpatinya.

Etika, atau filsafat moral (Telchman, 1998) bertujuan untuk menerangkan kebaikan dan kejahatan. Etika politik dengan demikian, memiliki tujuan menjelaskan mana tingkah laku politik yang baik dan sebaliknya. Standar baik dalam konteks politik adalah bagaimana politik diarahkan untuk memajukan kepentingan umum. Apabila politik sedah mengarah pada kepentingan pribadi dan golongan tertentu, itu etika politik yang buruk. Sayangnya, itulah yang terjadi di negeri ini.

Ketidakjelasan secara etis tindakan politik di negeri ini membuat keadaan publik mengalami kehancuran. Keadaban publik yang hancur inilah yang seringkali merusak wajah hukum, budaya, pendidikan, dan agama. Rusaknya sendi-sendi ini membuat wajah masa depan bangsa ini kabur. Sebuah kekaburan yang disebabkan karena etika tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik.

Publik hanya disuguhi hal yang menyenangkan dan bersifat indrawi belaka. Inilah yang membuat publik terajari agar menerapkan orientasi hidup untuk mencari gampangnya saja. Keadaban kita sungguh-sungguh kehilangan daya untuk memperbarui dirinya. Etika politik yang berpijak pada Pancasila hancur karena politik identik dengan uang. Uang menjadi penentu segala- galanya dalam ruang publik sehingga berakibat pada korupsi yang marak terjadi di Indonesia.

Di masa reformasi yang serba boleh ini, kemunduran etika politik para elite dalam setiap jejak perjalanannya membuat bangsa ini semakin ambruk. Kemunduran ini salahsatunya ditandai dengan menonjolnya sikap pragmatisme dalam perilaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja. Yang ada hanyalah kebersamaan fatamorgana. Seolah-olah kepentingan bersama, padahal itu hanyalah kepentingan-kepentingan kelompok yang terkoleksi. Prinsip menerima kebenaran pendapat lain sudah mati dan tertimbun oleh arogansi untuk menguasai kelompok lain.

Etika politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan untuk menampung tindakan- Etika politik yang bersifat umum dan dibangun melalui karakteristik masyarakat bersangkutan amat diperlukan untuk menampung tindakan-

C. Proses Penindakan Terhadap Tindak Pidana Korupsi

Jika dilihat berdasarkan motif perbuatannya, korupsi itu terdiri dari empat macam, yaitu:

1. Corruption by Greed, motif ini terkait dengan keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi.

2. Corruption by Opportunities, motif ini terkait dengan sistem yang memberi lubang terjadinya korupsi.

3. Corruption by Need, motif ini berhubungan dengan sikap mental yg tidak pernah cukup, penuh sikap konsumerisme dan selalu sarat kebutuhan yg tidak pernah usai.

4. Corruption by Exposures, motif ini berkaitan dengan hukuman para pelaku korupsi yg rendah. Mengenai 30 jenis korupsi dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20

Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dijabarkan dalam 13 pasal, korupsi dikelompokkan menjadi tujuh kelompok, yakni:

1. Merugikan keuangan negara;

2. Suap-menyuap;

3. Penggelapan dalam jabatan;

4. Pemerasan;

5. Perbuatan curang;

6. Benturan kepentingan dalam pengadaan; 7. gratifikasi.

Thomas Hobbes mengakui, kodrat manusia adalah jahat dan destruktif. Manusia adalah leviathan. Sosok iblis (buruk -ed) ada dalam diri manusia, terwujud dalam perilaku koruptif, tamak, dan jahat kepada rakyat. Namun, kodrat buruk tidak berarti tidak bisa diatasi.

Maka, solusi Hobbes adalah menyandera karakter iblis (buruk - ed) pada diri manusia dengan rasio. Rasio mampu mengendalikan karakter leviathan. Jika rasio senantiasa digunakan untuk mengevaluasi tindakan, perilaku korupsi bisa dicegah. Karena itu, budaya rasionalitas (menggunakan akal sehat) harus terus disuntikkan kepada politisi. Terus memikirkan dan mengevaluasi tindakan dengan akal sehat. Masyarakat juga harus terus mengingatkan politisi (dan siapapun juga - ed) akan pentingnya akal sehat dalam perilaku politik (bermasyarakat - ed).

Socrates juga mengatakan bahwa hidup yang tidak dipikirkan adalah hidup yang tidak layak untuk dijalani. Perilaku koruptif, entah apa pun jabatan kita, adalah perbuatan amat nista sehingga tidak layak untuk dijalani.

Pemerintah berupaya mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Salah satu langkah yang dilakukan, para penyelenggara negara perlu dan berkewajiban mengumumkan dan melaporkan harta kekayaan sebelum dan sesudah memangku jabatan. Langkah itu bertujuan mewujudkan penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme serta perbuatan tercela lainnya. Seluruh fungsi pemerintah harus mengacu kepada prinsif keterbukaan dan dapat dipertanggungjawabkan.

Mengenai berbagai macam persoalan korupsi, telah diatur Undang-undang No 28 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsional, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas. (Eko Wijayanto, 2008:6)

Banyaknya korupsi di negara ini disebabkan karena di kalangan para elite yang menjabat negara cenderung tidak memiliki etika. Etika memandang manusia dari segi dalam. Orang yang etis tidak mungkin munafik, sebab yang bersikap etis pasti orang yang sungguh-sungguh baik. Oleh karena itu para pejabat negara seharusnya dapat memegang teguh dan melaksanakan prinsip- prinsip dasar etika politik, diantaranya:

1. Pluralisme Maksudnya adalah menerima kesediaan pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa bersama warga masyarakat 1. Pluralisme Maksudnya adalah menerima kesediaan pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa bersama warga masyarakat

2. Hak Asasi Manusia Jaminan hak-hak asasi manusia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia dan sebaliknya. Kemanusiaan yang adil dan beradab juga menolak kekerasan, dan pelanggaran hak-hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan.

3. Solidaritas Bangsa Solidaritas mengatakan bahwa kita tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain. Sosialitas manusia berkembang secara melingkar (keluarga, kampong, kelompok etnis, kelompok agama, rasa kebangsaan). Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing. Solidaritas itu dilanggar dengan kasar oleh korupsi. Korupsi bagaikan kanker yang menggerogoti kejujuran, tanggungjawab, sikap objektif orang yang korup. Korupsi membuat mustahil orang mencapai suatu lingkatan itu.

4. Demokrasi

Prinsip demokrasi yang bermakna dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, hendaknya dapat menyadarkan kalangan elite yang menjabat untuk bersikap peduli terhadap rakyatnya.

5. Keadilan Sosial Keadilan merupakan norma yang paling dasar dalam kehidupan

masyarakat. Maksud baik apapun kandas apabila melanggar keadilan. Dalam kenyataan keadilan diusahakan dengan membongkar ketidakadilan- ketidakadilan yang ada dalam masyarakat, yaitu yang bersifat structural. Artinya, ketidakadilan tidak pertama-tama terletak dalam sikap kurang adil orang-orang tertentu (misalnya para pemimpin), melainkan dalam struktur- struktur politik, ekonomi, soaial, budaya, ideologis. Ketidakadilan yang paling mendominasi saat ini misalnya korupsi.

Dengan para elite negara memiliki prinsip-prinsip dasar etika politik tersebut, sedikit demi sedikit tindak pidana korupsi di dalam suatu negara akan berkurang karena kesadaran dari diri masing-masing akan pentingnya sebuah kesatuan negara.

D. Strategi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

Dikutip dari Strategi Nasional Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi (Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014) bahwa pemberantasan korupsi telah manjadi fokus utama Pemerintah Indonesia pasca reformasi. Berbagai upaya telah di tempuh, baik untuk mencegah maupun memberantas tindak pidana korupsi (tipikor) secara serentak oleh pemegang kekuasaan eksekutif, legislatif, serta yudikatif.

Presiden juga telah menerbitkan sejumlah intruksi dan arahan untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi (PPK), misalnya Intruksi Presiden (Inpres) No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Melalui Inpres ini, Presiden mengamanatkan berbagai langkah strategis, diantaranya berupa Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009.

Pemberantasan korupsi di Indonesia telah menarik perhatian dunia internasional. Indonesia, melalui Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2006, telah meratifikasi United Nations Convention against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, UNCAC) 2003. Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang dikaji oleh Negara Peserta lainnya dalam skema UNCAC di tahun 2011. Hasil kajiannya menunjukkan bahwa, sejumlah penyesuaian perlu segera dilakukan untuk memenuhi klausul-klausul di dalam UNCAC, khususnya bidang kriminalisasi dan peraturan perundang-undangan.

Pada bulan Mei 2011, Presiden memaklumatkan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 yang diteruskan dengan Inpres No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012, yaitu pada bulan Desember 2011. Maklumat tersebut dibuat demi menjawab target 2014 yaitu pemerintah menargetkan 5,0 untuk IPK, serta penyelesaian 100 persen rekomendasi hasil review pelaksanaan Bab III dan Bab IV UNCAC sebagai alat ukur keberhasilan pemberantasan korupsinya. Bahkan dalam jangka panjang akan disusun suatu Sistem Integritas Nasional untuk melengkapi ukuran Pada bulan Mei 2011, Presiden memaklumatkan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 yang diteruskan dengan Inpres No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012, yaitu pada bulan Desember 2011. Maklumat tersebut dibuat demi menjawab target 2014 yaitu pemerintah menargetkan 5,0 untuk IPK, serta penyelesaian 100 persen rekomendasi hasil review pelaksanaan Bab III dan Bab IV UNCAC sebagai alat ukur keberhasilan pemberantasan korupsinya. Bahkan dalam jangka panjang akan disusun suatu Sistem Integritas Nasional untuk melengkapi ukuran

Stranas PPK diharapkan dapat melanjutkan, mengonsolidasi, dan menyempurnakan apapun upaya dan kebijakan pemberantasan korupsi agar berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan, keberlangsungan pembangunan, serta terkonsolidasikannya demokrasi. Dalam jangka pendek (tahunan), jangka menengah (hingga tahun 2014), maupun panjang (hingga tahun 2025), stranas PPK itu penting untuk mengarahkan langkah-langkah pemberantasan korupsi agar ditempuh secara lebih bertahap- berkesinambungan.

Penyusunan Stranas PPK ditempuh melalui konsultasi publik dan diskusi kelompok terfokus yang didalamnya melibatkan elemen pemerintah hingga masyarakat madani secara aktif. Diantaranya visi dan misi stranas PPK :

1. Visi stranas PPK terjejak dalam dua jangka waktu:

a. Visi Jangka Panjang (2012-2025): “Terwujudnya kehidupan bangsa yang bersih dari korupsi dengan didukung nilai budaya yang

berintegritas.” berintegritas.”

Visi tersebut akan di wujudkan dalam segenap tiga pilar PKK, yakni pemerintahan dalam arti luas, masyarakat madani, dan dunia usaha.

2. Misi Stranas PPK, berikut:

a. Membangun dan memantapkan sistem, mekanisme, kapasitas pencegahan, dan penindakan korupsi yang terpadu secara nasional.

b. Melakukan reformasi peraturan perundang-undangan nasional yang mendukung pencegahan dan penindakan korupsi secara konsisten, terkonsolidasi, dan tersistematis.

c. Membangun dan mengonsolidasikan sistem dan mekanisme penyelamatan aset hasil korupsi melalui kerja sama nasional dan internasional secara efektif.

d. Membangun dan menginternalisasi budaya anti korupsi pada tata kepemerintahan dan masyarakat.

e. Mengenbangkan dan mempublikasikan system pelaporan kinerja implementasi Stranas PPK secara terintegrasi.

Sasaran utama Stranas PPK adalah menurunkan tingkat korupsi serta mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera dan bebas korupsi. Indikator keberhasilannya adalah:

a. Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi a. Peningkatan Indeks Persepsi Korupsi

c. Peningkatan indeks Sistem Integritas Nasional, yang merupakan suatu system yang sedang dibangun sebagai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia secara holistik dengan mengkolaborasikan semua pilar.

Untuk masing-masing strategi, indicator keberhasilannya adalah:

a. Peningkatan Indeks Pencegahan Korupsi, yang angkanya diperoleh dari sub indicator Control of Corruption Index dan peringkat Ease of Doing Business;

b. Peningkatan Indeks Penegakan Hukun Tipikor, yang angkanya diperoleh dari penghitungan persentase penyelesaian di setiap tahap proses penegakan hukum terkait kasus Tipikor, mulai dari tahap penyelesaian pengaduan Tipikor hingga penyelesaian eksekusi putusan pengadilan Tipikor;

c. Persentase penyelesaian rekomendasi hasil review UNCAC terkait peraturan perundang-undangan (hasil pelaksanaan review Bab III dan IV);

d. Persentase penyelamatan asset hasil Tipikor dan persentase tingkat keberhasilan (success rate) kerja sama internasional, yang dilihat dari persentase keberhasilan pelaksanaan mutual legal assistance in criminal matters (MLA) dan Ekstradisi terkait Tipikor, baik yang dimintakan kepada negara lain maupun yang diterima dari negara lain.

e. Peningkatan Indeks Perilaku Anti Korupsi; serta e. Peningkatan Indeks Perilaku Anti Korupsi; serta

Perbaikan pada setiap strategi diyakini akan berpengaruh terhadap membaiknya indikator hasil utama stranas PPK, dan keenam strategi tersebut selaras dengan upaya pencapaian indikator hasil utama (Key Result Indicator) Stranas PPK, yaitu: (1) Indeks Persepsi Korupsi; (2) Kesesuaian regulasi Indonesia dengan ketentuan UNCAC; dan (3) Indeks Sistem Integritas Nasional.

1. Strategi 1: Pencegahan

Berbagai pendekatan telah dijalankan pemerintah Indonesia untuk memberantas tindak pidana korupsi, tetapi dalam kenyataannya praktik tipikor masih banyak terjadi bahkan hampir di setiap lapisan masyarakat. Keterbukaan informasi merupakan hak yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Bahkan, hal ini telah dijamin oleh UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang masih harus dilaksanakan secara menyeluruh dan berkualitas. Salah satu informasi yang paling penting untuk dibuka adalah mengenai perencanaan dan realisasi anggaran untuk mengawal bersihnya perencanaan dan realisasi anggaran instansi pemerintahan.

Selain itu, masalah lain yang telah di temukan adalah belum memadainya mekanisme pemberian reward and punishment bagi pelayanan public, minimnya integritas, sistem karir, dan penggajian yang belum sepenuhnya berbasis kinerja, serta belum tersusunnya manajemen kinerja dan standar pelayanan minimal. Pencegahan sangat mempengaruhi persepsi public pada tipikor. Hal ini dimungkinkan karena eratnya kaitan bidang-bidang pencegahan dengan pelayanan public yang langsung bersentuhan dengan masyarakat dan pelaku usaha.

Dalam skala internasional pun pencegahan dilakukan oleh berbagai institusi, salah satunya melalui survei Indeks Persepsi Korupsi yang menilai persepsi masyarakat terhadap keberadaan korupsi berdasarkan gabungan beberapa survei dari berbagai lembaga. Dalam survei ini Indonesia masih menempati posisi yang masih rendah kendati ada kecenderungan peningkatan angka. IPK Indonesia ada pada peringkat ke-100 dari 183 negara dengan skor 3,0 pada tahun 2011. (naik sekitar 0,2 dibandingkan IPK tahun 2010 atau 1,0 sejak tahun 2004).

Menurut GBC (Global Corruption Barometer) tahun 2010, sebagian responden menyatakan pernah melakukan suap mencapai angka 18 persen. Semakin tinggi indeks di suatu institusi, maka institusi tersebut kian dipersepsikan terkorup.

Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan. Namun, persepsi masyarakat masih mencerminkan adanya kelemahan, terutama menyangkut regulasi perizinan di daerah yang meninggalkan sekian celah bagi korupsi. Oleh karena Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan. Namun, persepsi masyarakat masih mencerminkan adanya kelemahan, terutama menyangkut regulasi perizinan di daerah yang meninggalkan sekian celah bagi korupsi. Oleh karena

Adanya pencegahan dimaksudkan untuk mempersempit peluang terjadinya tipikor pada tata kepemerintahan dan masyarakat menyangkut pelayanan publik maupun penanganan perkara yang bersih dari korupsi.

Tetapi banyak juga tantangan yang harus dihadapi: belum tuntasnya reformasi birokrasi yang menyeluruh, masih minimnya badan publik yang menerapkan keterbukaan informasi menyangkut administrasi dan pelayanan publik, layanan terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah oleh badan publik masih belum sepenuhnya menerapkan peraturan presiden, terbatasnya pelibatan masyarakat dalam pengawasan pengelolaan keuangan negara, rendahnya penanganan pengaduan masyarakat dan pelaporan, proses prizinan yang masih tertutup.

Indikator keberhasilannya adalah terwujudnya layanan publik dan penanganan tipikor yang transparan, akuntabel, dan bersih dari korupsi untuk mempersempit peluang terjadinya tipikor sesuai tujuan dari strategi ini, keberhasilannya diukur dari Indeks Pencegahan Korupsi.

2. Strategi 2: Penegakan Hukum

Dalam kurun lima tahun terakhir, tidak sedikit kasus korupsi yang menyangkut penyelenggara negara diproses hingga ke tingkat pengadilan.

Kementerian Dalam Negeri mencatat, sejak tahun 2004-20111, Presiden telah menandatangani ijin pemeriksaan tipikor setidaknya terhadap 168 Gubernur dan Bupati/Walikota yang tersangkut perkara tipikor. Masih banyak kasus korupsi yang belum tertuntaskan meski telah menyedot perhatian khalayak luas. Penegakan hukum yang tidak konsisten dengan hukum positif yang berlaku berpengaruh pada melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum beserta aparaturnya. Melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum cenderung mengiring masyarakat pada pola keidupan yang tidak mempercayai hukum sebagai sarana penyelesaian konflik. Mereka cenderung menyelesaikan konfliknya dengan cara sendiri- sendiri. Pada akhirnya pihak lain memanfaatkan penegakan hukum untuk kepentingannya sendiri yang berdampak kepada kerugian di pihak lainnya.

Ketidakpuasan masyarakat terhadap lembaga hukum lambat-laun menguat. Hal ini, dapat menjadi hambatan tersendiri tatkala dilakukannya upaya perbaikan dalam rangka penguatan penegakan hukum di Indonesia.

Penegakan hukum perlu didukung oleh kerangka regulasi yang memadai demi menjamin proses penegakan hukum yang bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat, tidak larinya tersangka koruptor, hingga terselamatkannya aset negara yang dikorupsinya. Pengawasan terhadap lembaga, aparatur, maupun unsur-unsur profesi yang terkait dengan penegakan hukum, juga perlu diperkuat dengan partisipasi masyarakat, baik selaku pelapor maupun saksi.

Disamping upaya pencegahan korupsi, sudah selayaknya jika penegakan hukum ditempatkan sebagai pilar kedua Stranas PPK.

Tujuan adanya penegakan hukum adalah untuk penuntasan kasus tipikor secara konsisten dan sesuai hukum positif yang berlaku demi memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan.

Tantangan yang harus dihadapi: tipikor semakin marak, melemahnya tingkat kepercayaan di tengah masyarakat yang melahirkan ketidakpuasan terhadap lembaga hukum beserta aparaturnya, peratutan perundang-undangan masih banyak yang tumpang-tindih, pengawasan yang masih lemah, partisipasi masyarakat masih belum didukung oleh keterjaminan mereka atas perlindungan hukum yang sepatutnya diterima.

Indikator keberhasilannya yaitu perlu dilakukan suatu upaya menyeluruh dan sistematis untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terkait penegakan hukum yang adil dan transparan. Proses penegakan hukum ini, dimulai dari proses pengaduan, penyelidikan, penuntutan hingga eksekusi tuntutan. Dalam pelaksanaannya, strategi ini memerlukan dukungan dan koordinasi yang baik dari lembaga terkait penegakan hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan Mahkamah Agung.

3. Strategi 3: Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan

Salah satu kendala dalam PPK, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yaitu masih terdapat tumpang-tindih dan inkonsistensi antar peraturan perundang-undangan, serta masih terdapat peraturan-peraturan yang membuka peluang bagi berlangsungnya tipikor hingga absennya pengaturan sehingga menghambat PPK. Peraturan perundang-undangan merupakan factor Salah satu kendala dalam PPK, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, yaitu masih terdapat tumpang-tindih dan inkonsistensi antar peraturan perundang-undangan, serta masih terdapat peraturan-peraturan yang membuka peluang bagi berlangsungnya tipikor hingga absennya pengaturan sehingga menghambat PPK. Peraturan perundang-undangan merupakan factor

Langkah-langkah akomodatif dalam penyusunan maupun revisi peraturan perundang-undangan Indonesia dalam rangka harmonisasi perlu dilakukan agar PPK dapat terlaksana di atas landasan hukum yang memadai. Melalui strategi ini fondasi yang kuat bagi pencegahan dan pemberantasan yang berkesinambungan atas tipikor dapat terwujud.

Tujuan adanya harmonisasi peraturan terundang-undangan adalah untuk menyusun dan merevisi peraturan perundang-undangan anti korupsi di bidang tipikor maupun di bidang strategis lain yang membuka potensi korupsi agar tercipta tatanan regulasi yang harmonis dan memadai bagi PPK, tercapainya kesesuaian antara ketentuan-ketentuan di dalam UNCAC dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

Tantangan yang harus dihadapi: peraturan perundang-undangan pada sector-sektor lain yang membuka peluang korupsi masih belum teridentifikasi secara komprehensif, ketentuan-ketentuan UNCAC banyak yang masih belum terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, peraturan perundang-undangan terkait penegakan hukum dan penanganan perkara dalam system peradilan harus diperbaiki dan disempurnakan.

Indikator keberhasilannya terletak pada perbaikan kondisi inkonsistensi peraturan perundang-undangan di Indonesia agar dapat memberi dasar hukum yang memadai bagi PPK. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian antara peraturan perundang-undangan anti korupsi Indonesia dengan aturan UNCAC, termasuk persentase penyelesaian rekomendasi-rekomendasinya.

4. Kerja Sama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Tipikor

Penanganan tipikor tidak hanya memerlukan kerjasama dalam negeri saja melainkan juga memerlukan kerjasama internasional. Misalnya ketika tersangka, bukti, atau aset hasil tipikor berada di luar negeri. Dalam hal itu, kerja sama internasional sangat diperlukan demi penanganan tipikor yang juga sejalan dengan ketentuan UNCAC. Caranya dapat dilakukan dengan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dalam hal pencarian orang(melalui ekstradisi), barang bukti, dan pengenbalian asset.

Sejauh ini, Indonesia masih menemui banyak kendala dalam hal kerjasama internasional untuk penanganan tipikor. Hal itu disebabkan karena proses hukum di dalam negeri dengan permohonan kerjasama yang dimintakan kepada negara asing seringkali tidak sejalan, kapasitas sumber daya manusia yang perlu diperhatikan, serta upaya-upaya ekstradisi dari negara lain belum menemukan titik keberhasilan dengan hambatan yang serupa.

Mengenai penyelamatan aset, baik di dalam maupun luar negeri, diperlukan mekanisme pencegahan pemindahan aset (transfer of assets) dan pengembaliannya dengan memperhatikan ketentuan UNCAC. Pemanfaatan Mengenai penyelamatan aset, baik di dalam maupun luar negeri, diperlukan mekanisme pencegahan pemindahan aset (transfer of assets) dan pengembaliannya dengan memperhatikan ketentuan UNCAC. Pemanfaatan

Dalam hubungannya dengan UNCAC, Indonesia belum memiliki peraturan yang cukup untuk menangani permintaan dari negara lain, termasuk permintaan penyitaan/perampasan aset. Indonesia juga belum memiliki peraturan tentang penyitaan (perampasan) aset tanpa adanya putusan pengadilan dari suatu kasus korupsi (confiscation without a criminal conviction).

Tujuan adanya kerja sama internasional adalah untuk meningkatkan pengembalian aset untuk mengganti kerugian negara yang ditempuh melalui peningkatan kerja sama internasional dalam rangka PPK, khususnya pengajuan bantuan timbal-balik masalah pidana, peningkatan koordinasi intensif antar lembaga penegak hukum, serta peningkatan kapasitas aparat lembaga penegak hukum.

Tantangan yang harus dihadapi: masih rendahnya tingkat kesuksesan pengembalian aset, masih rendahnya tingkat kesuksesan permintaan ekstradisi dari negara lain, masih lemahnya informasi jalur keuangan, belum optimalnya koordinasi anter lembaga penegak hukum dan kapasitasnya dalam menangani kerja sama internasional, mekanisme internal dalam proses pengembalian aset dapat berjalan lebih optimal, peraturan perundang-undangan Indonesia belum Tantangan yang harus dihadapi: masih rendahnya tingkat kesuksesan pengembalian aset, masih rendahnya tingkat kesuksesan permintaan ekstradisi dari negara lain, masih lemahnya informasi jalur keuangan, belum optimalnya koordinasi anter lembaga penegak hukum dan kapasitasnya dalam menangani kerja sama internasional, mekanisme internal dalam proses pengembalian aset dapat berjalan lebih optimal, peraturan perundang-undangan Indonesia belum

Indikator keberhasilannya diukur berdasarkan 2 (dua) ukuran, yaitu persentase tingkat keberhasilan kerja sama internasional dalam bidang tipikor dan persentase penyelamatan hasil tipikor.

Dalam hal penyelamatan aset, ukuran keberhasilannya tercermin dari persentase penyelamatan aset hasil tipikor yang berasal dari dalam atau luar negeri sesuai putusan pengadilan. Penyelamatan aset tersebut diukur dari realisasi pengembaliann aset tipikor yang disetor ke kas negara dibandingkan dengan total aset yang dirampas untuk negara berdasarkan putusan pengadilan.

Strategi ini memerlukan dukungan dari lembaga terkait penegakan hukum, termasuk Kepolisian, Kejaksaan, KPK, Mahkamah Agung, PPATK serta Otoritas Pusat di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

5. Strategi 5: Pendidikan Agama dan Budaya Anti Korupsi

Meskipun kejujuran merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia, namun praktik korupsi yang jelas bertentangan dengan nial tersebut masih sering kerjadi. Salah satu penyebanya patut diduga karena rendahnya efek jera dari pelaku korupsi yang turut mendukung maraknya praktik korupsi.

Dalam budaya organisasi modern, suatu sistem nilai yang bersifat universal harus ditegakkan dalam organisasi, baik di lingkungan pemerintahan maupun swasta. Masyarakat perlu diubah pola pikirnya agar terbebas dari nilai-nilai koruptif, juga diperlukan perilaku aktif dari masyarakat untuk Dalam budaya organisasi modern, suatu sistem nilai yang bersifat universal harus ditegakkan dalam organisasi, baik di lingkungan pemerintahan maupun swasta. Masyarakat perlu diubah pola pikirnya agar terbebas dari nilai-nilai koruptif, juga diperlukan perilaku aktif dari masyarakat untuk

Pengembangan sikap yang anti korupsi perlu dikembangkan melalui berbagai macam kampanye sehingga dapat mempengaruhi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam upaya pemberantasan korupsi. Salah satu jalannya adalah melalui pendidikan dan internalisasi budaya anti korupsi di lingkungan.

Gerakan sosial anti korupsi perlu dikembangkan dalam sistem budaya lokal. Dengan demikian, selain terciptanya pemahaman terhadap perilaku yang berbau koruptif, pembangunan karekter bangsa yang anti korupsi juga diharapkan akan memperkuat gerakan anti korupsi beserta sanksi sosialnya.

Tujuan adanya pendidikan dan budaya anti korupsi adalah untuk memperkuat setiap individu dalam mengambil keputusan yang etis, juga untuk menciptakan budaya zero tolerance terhadap korupsi.

Tantangan yang harus dihadapi: masih adanya sikap permisif di masyarakat terhadap pelaku tipikor, absennya strategi komunikasi dalam pendidikan budaya anti korupsi, belum terintegrasinya pendidikan anti korupsi ke dalam kurikulum sekolah maupun perguruan tinggi.

Indikator keberhasilannya yaitu terwujudnya masyarakat dengan budaya integritas dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Anti Korupsi. Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya anti korupsi semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.

6. Mekanisme Pelaporan Pelaksanaan Pemberantasan Korupsi