Analisis hukum acara Pidana Islam dan hukum acara pidana di Indonesia terhadap kekuatan pembuktian saksi testimonium de auditu: studi direktori putusan nomor 08/pid.b/2013/pn-gs.

(1)

ANALISIS HUKUM ACARA PIDANA ISLAM DAN HUKUM ACARA

PIDANA DI INDONESIA TERHADAP KEKUATAN PEMBUKTIAN

SAKSI

TESTIMONIUM DE AUDITU

(Studi Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS)

SKRIPSI

Oleh

Tarwiyah Tul Khoirunnisa NIM. C73213100

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum Publik Islam Program Studi Hukum Pidana Islam Surabaya


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

vii ABSTRAK

Skripsi ini adalah hasil penelitian kepustakaan yang berjudul ANALISIS HUKUM ACARA PIDANA ISLAM DAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA TERHADAP KESAKSIAN TESTIMONIUM DE AUDITU (Studi Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS tentang Pembunuhan Berencana). Penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam putusan nomor 08/PID.B/2013/PN-GS dan bagaimana tinjauan hukum acara pidana Islam dan hukum acara pidana di Indonesia terhadap kesaksian testimonium de auditu.

Pendekatan yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah pendekatan kualitatif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumentasi dan pustaka. Data yang berhasil dikumpulkan selanjutnya disusun dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif.

Hasil penelitian menjelaskan bahwa dalam hukum acara pidana di Indonesia kesaksian testimonium de auditu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Namun tidak serta merta keterangan saksi de auditu dilarang, karena kesaksian de auditu dapat dipergunakan sebagai petunjuk. Dengan syarat bahwa keterangan tersebut tidak bertentangan dengan keterangan saksi yang lain dan alat bukti lainnya. Seperti dalam Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS dimana keterangan saksi de auditu dijadikan dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut, padahal keterangan saksi de auditu dalam putusan tersebut bertentangan dengan keterangan saksi lainnya. Dalam hukum acara pidana Islam, kesaksian de auditu disebut dengan saksi istifadhoh, dimana para ulama sepakat untuk tidak menggunakan kesaksian de auditu dalam perkara pidana. Kesaksian de auditu hanya boleh digunakan ketika menyangkut permasalahan perdata saja.

Sejalan dengan kesimpulan di atas, maka penulis memberi saran sebagai berikut: Hakim haruslah lebih jeli ketika menggunakan kesaksian de auditu dalam memutus suatu perkara. Tidak serta merta pula hakim mengenyampingkan keterangan saksi lainnya dan hanya mempertimbangkan kesaksian de auditu. Akan lebih baik jika hakim mengutamakan keterangan saksi yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana. Hakim haruslah mempertimbangkan dengan hati-hati berbagai hal yang berkaitan dengan kasus pidana tersebut. Karena sekecil apapun hal yang berkaitan dengan kasus pidana tersebut, pasti akan memberikan dampak terhadap hukuman terdakwa.


(7)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

x

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TRANSLITERASI ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 9

C. Rumusan Masalah ... 10

D. Kajian Pustaka ... ... 10

E. Tujuan Penelitian ... 14

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15

G. Definisi Operasional ... 15

H. Metode Penelitian ... 17

I. Sistematika Pembahasan ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM KESAKSIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA ISLAM DAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA ... 21


(8)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xi

A. Kesaksian dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia ... 21

1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti ... 21

2. Pengertian dan Landasan Hukum Kesaksian ... 23

3. Syarat-syarat Saksi ... 25

4. Larangan Menjadi Saksi ... 28

5. Jenis-jenis Saksi ... 30

B. Kesaksian dalam Hukum Acara Pidana Islam ... 34

1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti ... 34

2. Pengertian dan Landasan Hukum Kesaksian ... 40

3. Syarat-syarat Saksi ... 41

4. Larangan Menjadi Saksi ... 42

5. Jenis-jenis Saksi ... 43

BAB III KESAKSIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM DIREKTORI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI GUNUNGSITOLI NOMOR 08/PID.B/2013/PN-GS TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA ... 47

A. Deskripsi Kasus dalam Direktori Putusan Pengadilan Negeri Gunungsitoli Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS ... 47

B. Landasan Hukum Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS ... 56

C. Pertimbangan Hukum yang dipakai oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gunungsitoli ... 59

D. Amar Putusan Hakim ... 61

BAB IV ANALISIS HUKUM ACARA PIDANA ISLAM DAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA TERHADAP KESAKSIAN TESTIMONIUM DE AUDITU DALAM DIREKTORI PUTUSAN NOMOR 08/PID.B/2013/PN-GS TENTANG PEMBUNUHAN BERENCANA ... 63


(9)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xii

A. Analisis Dasar Hukum dan Pertimbangan Hakim dalam

Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS ... 63

B. Analisis Hukum Acara Pidana di Indonesia terhadap Kesaksian Testimonium de Auditu dalam Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS ... 74

C. Analisis Hukum Acara Pidana Islam terhadap Kesaksian Testimonium de Auditu dalam Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS ... 79

BAB V PENUTUP ... 82

A. Kesimpulan ... 82

B. Saran ... 84

DAFTAR PUSTAKA ... 85


(10)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum acara pidana mengatur cara-cara bagaimana negara menggunakan haknya untuk melakukan penghukuman dalam perkara-perkara yang terjadi. Dalam hukum acara pidana mengatur tentang pembuktian dan perihal alat-alat bukti, salah satunya adalah keterangan saksi. Keterangan saksi merupakan alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam satu pasal saja yaitu Pasal 185 KUHAP yang antara lain menjelaskan tentang pengertian keterangan saksi, kemudian tentang kekuatan pembuktiannya dan lain sebagainya. Adapun dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, dinyatakan bahwa alat bukti yang sah terdiri dari:1

a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa.

1

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), 31.


(11)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

Definisi saksi dan keterangan saksi secara tegas diatur dalam KUHAP. Berdasarkan Pasal 1 Butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. sementara itu, Pasal 1 Butir 27 KUHAP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Menjadi saksi dalam persidangan di pengadilan merupakan kewajiban setiap warga negara. Kekecualian menjadi saksi yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi. Hal ini diatur dalam Pasal 168 KUHAP, antara lain:2

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau kebawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

2

Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana, (Yogyakarta: Liberty Offset, 1988), 49.


(12)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Disamping karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi. Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah ialah:3

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin. b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Mengingat bahwa anak yang belum lima belas tahun demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan. Karena keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.

Keterangan saksi yang dapat bernilai sebagai alat bukti adalah keterangan saksi yang di lakukan didepan sidang pengadilan terhadap sebuah tindak pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Adapun keterangan saksi yang di peroleh dari orang lain yang di dalam ilmu hukum acara pidana disebut testimonium de auditu. Dalam Pasal 185 Ayat (5) KUHAP dinyatakan

3


(13)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 Ayat (1) dikatakan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Dengan demikian, keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah.Menurut Andi Hamzah, sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan bahwa kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka kesaksian de auditu patut tidak dipakai di Indonesia pula.4

Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan pendapat bahwa hakim dilarang memakai sebagai alat bukti keterangan saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik bahkan sudah semestinya, akan tetapi harus diperhatikan bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan dari orang lain itu, dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.5

Kesaksian dalam hukum acara perdata Islam dikenal dengan sebutansyahadat, menurut bahasa antara lain:

4

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), 265.

5


(14)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

1. Pernyataan atau pemberitaan yang pasti.

2. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung.

3. Mengetahui sesuatu secara pasti, mengalami dan melihatnya.

Sedangkan menurut syarak kesaksian adalah pemberitaan yang pasti yaitu ucapan yang keluar yang diperoleh dengan penyaksian langsung atau dari pengetahuan yang diperoleh dari orang lain karena beritanya telah tersebar. Menurut istilah fuqoha, bayyinah dengan syahadat itu sama artinya yaitu kesaksian, tetapi Ibnu Qayyim mengartikan bayyinah dengan segala yang dapat menjelaskan perkara.6

Memberikan kesaksian asal hukumnya fardu kifayah, artinya jika dua orang telah memberikan kesaksian maka semua orang telah gugur kewajibannya. Dan jika semua orang menolak tidak ada yang mau untuk menjadi saksi maka berdosa semuanya, karena maksud kesaksian itu adalah untuk memelihara hak.

Hukumnya dapat beralih menjadi fardu ain jika tidak ada lagi orang lain selain mereka berdua yang mengetahui suatu kasus itu. terhadap saksi seperti ini, jika menolak untuk menjadi saksi, maka boleh dipanggil paksa. Kewajiban untuk menjadi saksi didasarkan kepada firman Allah Swt Q.S. Albaqarah (2) 282 yang berbunyi:

....ا عداماَِأُ د ُشلاَ أيَا

6

Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 73.


(15)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan apabila mereka dipanggil.

ه ْلَقٌَمِثَ َهنِأَفَا متْ يَنم َةدا شلاا متْ تَا ....

Dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksisan. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.

Berdasarkan ayat di atas, barang siapa yang enggan menjadi saksi dan dalam kesaksiannya menyembunyikan kebenaran/hak, maka Allah mengecamnya dengan memberikan dosa kepadanya.

Seseorang yang hendak memberikan kesaksian harus dapat memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:7

1. Dewasa. 2. Berakal.

3. Mengetahui apa yang disaksikan. 4. Beragama islam.

5. Adil.

6. Saksi itu harus dapat melihat. 7. Saksi itu harus dapat berbicara.

Selain hal-hal di atas, saksi itu harus memiliki ingatan yang baik, bebas dari tuduhan negatif (tidak ada permusuhan), dan tidak adanya paksaan dari berbagai pihak. Sifat-sifat yang harus dimiliki seorang saksi agar kesaksiannya dapat diterima dihadapan majelis hakim secara rinci tidak dijelaskan dalam

7


(16)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

hukum Islam. Untuk mendapatkan keyakinan hakim terhadap suatu peristiwa dan kejadiannya itu haruslah seorang saksi melihat dan mengalami sendiri peristiwa tersebut.

Dalam hukum Islam yang dapat dipertimbangkan kesaksiannya yaitu kesaksian itu harus datang dari satu orang laki-laki dan dua orang perempuan, atau satu orang saksi tetapi harus didukung dengan alat bukti lainnya. Kecuali dalam hal yang diperkenankan menggunakan saksi Istifadhoh.

Saksi istifadhoh (berita tersebar) ialah berita yang mencapai derajat antara berita mutawatir dan berita orang perorangan, yaitu berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan dikalangan manusia (masyhur). Saksi istifadhoh merupakan satu cara dari cara-cara pengetahuan yang meniadakan kecurigaan tentang seorang saksi dan hakim dan ia lebih kuat dari kesaksian saksi dua orang laki-laki yang diterima kesaksiannya.8

Dalam hukum acara Islam berbagai macam pendapat mengenai saksi istifadhoh, antara lain yaitu pendapat dari Imam Syafii mengemukakan bahwa bahwa saksi istifadhoh itu hanya dapat dipergunakan dalam hal yang berhubungan dengan pernikahan, nasab, kematian, memerdekakan budak, perwalian dan tentang hak milik yang dipersengketakan. Begitu juga dengan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa saksi istifadhoh itu dapat dipergunakan

8

Anshoruddin dan Adnan Qohar, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 344.


(17)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

hanya dalam lima hal yaitu: pernikahan, persetubuhan, nasab, kematian, dan diangkatnya seseorang menjadi hakim dalam suatu wilayah.9

Dalam hukum acara pidana di Indonesia maupun dalam hukum acara pidana Islam kesaksian testimonium de auditu bukanlah alat bukti yang kuat dan tidak dapat dijadikan sumber utama hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Namun dalam praktiknya pada beberapa perkara pidana sering kali hakim memutus perkara dengan mempertimbangkan saksi testimonium de auditu sebagai alat bukti utama. Seperti dalam Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS tentang pembunuhan berencana. Adapun perkara tersebut yaitu terdakwa atas nama Yusman Telaumbauna bersama dengan Rusulia Hia (di sidangkan terpisah), Mosi (DPO), Ama Pasti Hia (DPO), dan Jeni (DPO) pada hari selasa tanggal 24 april 2012 bertempat di Dusun III Hiliwaoyo Desa Gunung Tua Kecamatan Tugala Oyo Kabupaten Nias Utara telah melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan, dengan sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain yaitu korban atas nama Kolimarinus Zega, Jimmi Trio Girsang, dan Rugun Haloho. Bahwa dalam putusan tersebut terdakwa Yusman hanya perantara yang memperkenalkan saksi Rusulia Hia dengan korban Jimmi Girsang. Bahwa terdakwa Yusman tidak turut serta merencanakan pembunuhan terhadap para korban. Adapun yang merencanakan pembunuhan adalah Mosi (DPO), Ama Pasti Hia (DPO), dan Jeni (DPO). Bahwa terdakwa Yusman juga tidak membunuh para korban, melainkan terdakwa

9


(18)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

Yusman hanya bertugas membuang mayat korban karena paksaan dari salah satu pelaku. Bahwa dalam Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS ada sebelas (11) saksi yang diajukan di persidangan. Dari ke sebelas saksi yang diajukan hanya satu saksi yang melihat dan mendengar secara langsung peristiwa pidana tersebut. Sedangkan sepuluh saksi lainnya tidak melihat secara langsung peristiwa pidana tersebut melainkan hanya mendengar cerita dari orang lain maupun mengetahui dari kabar berita. Terlebih lagi dari kesepuluh saksi testimonium de auditu tersebut tiga diantaranya tidak hadir untuk memberikan kesaksian di pengadilan tanpa adanya alasan yang jelas. Bahwa dalam Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS hakim memutus bahwa terdakwa Yusman Telaumbanua dengan Pasal 340 KUHP yaitu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama dan menjatuhkan pidana mati terhadap terdakwa.

Berdasarkan dari latar belakang diatas maka penulis bermaksud untuk menulis penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Acara Pidana Islam dan Hukum Acara Pidana di Indonesia terhadap Kekuatan

Pembuktian Saksi Testimonium De Auditu (Studi Direktori Putusan Nomor

08/PID.B/2013/PN-GS)”.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan dari latar belakang yang telah penulis jabarkan diatas, dapat diidentifikasi permasalahan, diantaranya:


(19)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

1. Kekuatan pembuktian saksi testimonium de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia.

2. Kekuatan pembuktian saksi testimonium de auditu dalam hukum acara pidana Islam.

3. Kekuatan keterangan saksi yang tidak hadir secara langsung dalam memberikan keterangan di pengadilan tanpa alasan yang jelas.

4. Pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara dengan saksi testimonium de auditu.

Berdasarkan dari identifikasi masalah diatas, penulis memberikan pembatasan masalah dengan menitik beratkan serta memfokuskan pembahasan mengenai kekuatan pembuktian saksi testimonium de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam dengan Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS tentang pembunuhan berencana yang berkaitan dengan kesaksian testimonium de auditu.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah dan pembatasannya, maka dapat dirumuskan dalam permasalahan ini sebagai berikut:

1. Bagaimana pertimbangan hukum hakim terhadap kesaksian testimonium de auditudalam Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS?

2. Bagaimana analisis hukum acara pidana di Indonesia terhadap saksi testimonium de auditu dalam Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS?


(20)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

3. Bagamana analisis hukum acara pidana Islam terhadap saksi testimonium de auditu dalam Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS?

D. Kajian Pustaka

Kajian kepustakaan yang membahas mengenai kekuatan pembuktian testimonium de auditu bisa dikatakan cukup banyak, untuk memperlancar dan mempermudah penelitian ini penulis akan mempergunakan beberapa buku referensi penelitian yang membahas mengenai kekuatan pembuktian testimonium de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam. Teori dan Hukum Pembuktian merupakan salah satu buku yang membahas mengenai kesaksian testimonium de auditu. Buku karangan dari Eddy O.S. Hiariej ini menjelaskan tentang segala hal yang berhubungan dengan pembuktian. Dalam buku ini, Eddy O.S. Hiariej berpendapat bahwa keterangan saksi testimonium de auditu tidak dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah karena saksi tidak melihat serta mendengar secara langsung suatu peristiwa pidana tersebut.10

Selain itu, Djoko Prakoso juga menulis buku yang berjudul Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian dalam Proses Pidana. Dalam buku ini ia merangkan secara jelas mengenai pengertian, sifat dan asas-asas hukum acara pidana. Selain itu adapun pembahasan mengenai aturan-aturan umum pembuktian menurut

10


(21)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

KUHAP, keterangan saksi, hingga pembahasan mengenai peranan barang bukti dalam proses pidana.11

Adapun yang berbentuk skripsi diantaranya yang ditulis oleh Moch.Sulton, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2009 dengan judul “Studi Komparatif Antara Konsep Kesaksian Istifadah Dalam Hukum Acara Perdata Islam Dengan Konsep Kesaksian De Auditu Dalam Hukum Acara Positif” dalam skripsi ini membahas mengenai persamaan dan perbedaan antara kesaksian istifadloh dengan kesaksian de auditu, membahas mengenai ketentuan jumlah saksi yang harus dihadirkan, dan membahas mengenai pertimbangan hakim dalam memutus perkara dengan kesaksian de auditu.12

Skripsi karya Agus Suhadak, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2009 dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Konsep Syahadah Al-istifadah Kaitannya dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004” dalam skripsi ini membahas tentang persyaratan persaksian sebagai alat bukti, kemuadian analisis tentang ketentuan persyaratan persaksian dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 hubungannya dengan konsep Syahadah Al-Istifadah.13

11

Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana, (Yogyakarta: Liberty Offset, 1988).

12

Moch.Sulton, “Studi Komparatif Antara Konsep Kesaksian Istifadah Dalam Hukum Acara Perdata Islam Dengan Konsep Kesaksian De Auditu Dalam Hukum Acara Positif” (Skripsi—UIN Su nan Ampel, Surabaya, 2009).

13

Agus Suhadak, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Konsep Syahadah Al-istifadah Kaitannya dengan


(22)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

Artikel yang ditulis oleh Fathur Rizqi tahun 2013 dengan judul “Kekuatan Pembuktian Kesaksian Testimonium De Auditu dalam Perkara Perdata” yang di dalamnya membahas mengenai kekuatan pembuktian testimonium de auditu dalam hukum acara perdata dan membahas mengenai kesaksian testimonium de auditu pada perkara perdata (perkawinan).14

Skripsi dari Ellen Johan Setya, Fakultas Hukum Universitas Jember tahun

2014 dengan judul “Kajian Hukum Kekuatan Alat Bukti Saksi Testimonium De

Auditu Dalam Perkara Perdata (Studi Putusan Pengadilan Agama Lumajang Nomor 1176/Pdt.G/Verzet/2006/PA.Lmj)” dalam skripsi ini menjabarkan mengenai syarat-syarat menjadi saksi dalam persidangan, membahas mengenai kekuatan saksi testimonium de auditu dalam perkara perdata dan analisis tentang

putusan hakim dalam memutus perkara Nomor

1176/Pdt.G/Verzet/2006/PA.Lmj.15

Skripsi karya Yulyanti Yuni, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Antasari Banjarmasin tahun 2015. Adapun judul skripsi tersebut yaitu “Alat Bukti Saksi Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perceraian (Studi Terhadap Pendapat Hukum Pengadilan Agama di Provinsi Kalimantan Selatan)” dalam skripsi ini memuat tentang pendapat hakim pengadilan agama di provinsi

14

Fathur Rizqi, “Kekuatan Pembuktian Kesaksian Testimonium De Auditudalam Perkara Perdata”, http://www.fathurrizqi.com/2013/10/kekuatan-pembuktian-kesaksian.html?m=1 , Diakses pada 28 Desember 2016.

15

Ellen Johan, “Kajian Hukum Kekuatan Alat Bukti Saksi Testimonium De Auditu Dalam Perkara

Perdata (Studi Putusan Pengadilan Agama Lumajang Nomor 1176/Pdt.G/Verzet/2006/PA.Lmj)” (Skripsi—Universitas Jember, 2014).


(23)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

Kalimantan Selatan mengenai alat bukti saksi testimonium de auditu dalam perkara perceraian.16

Jurnal karangan dari Yanels Garsione Diamanik tahun 2015 dengan judul “Keterangan Saksi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif

Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia” yang di dalamnya memuat

mengenai analisis putusan hakim dengan pembuktian saksi testimonium de auditu dalam beberapa perkara pidana. Di antaranya yaitu dalam Putusan Nomor 430K/Pid/2006 dalam kasus perbuatan cabul, dan Putusan Nomor 65/PUU-VIII/2010 dalam kasus korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum.17 Dari beberapa buku serta karya tulis ilmiah diatas, penulis belum menemukan karya tulis yang berkaitan dengan pembuktian kesaksian testimonium de auditu dalam pandangan hukum acara pidana Islam dan hukum acara pidana di Indonesia yang terkait dengan tindak pidana pembunuhan berencana. Oleh sebab itu, penulis akan meneliti lebih dalam mengenai masalah ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Hukum Acara Pidana Islam dan Hukum Acara Pidana di Indonesia terhadap Kekuatan Pembuktian Saksi Testimonium De Auditu. (Studi Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS)”

16

Yulyanti Yuni, “Alat Bukti Saksi Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perceraian (Studi

Terhadap Pendapat Hukum Pengadilan Agama di Provinsi Kalimantan Selatan)” (Skripsi—IAIN

Antasari, Banjarmasin, 2015).

17

Yanels Damanik, “Keterangan Saksi Testimonium De Auditu Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif

Pembaharuan Hukum Acara Pidana Indonesia”,

http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1321, Diakses pada 25 November 2016.


(24)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah hal-hal tertentu yang hendak dicapai dalam suatu penelitian. Tujuan penelitihan akan memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian. Adapun tujuan dari peneliti yaitu:

1. Untuk mengetahui tentang kekuatan pembuktian saksitestimonium de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia.

2. Untuk mengetahui tentang kekuatan pembuktian saksitestimonium de auditu dalam hukum acara pidana Islam.

3. Menganalisis putusan dan pertimbangan hukum hakim tentang alat bukti saksi testimonium de auditu dalam Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS tentang pembunuhan berencana.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Suatu penelitian tentutnya dapat diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini yaitu:

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dalam dunia kepustakaan tentang kajian kekuatan pembuktian saksitestimonium de auditu.


(25)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

3. Penelitian ini dapat diharapkan dapat mengembangkan penalaran, pola pikir dinamis dan untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang telah diperoleh.

4. Penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan tambahan masukan dan pengetahuan kepada pihak-pihak terkait dengan masalah yang sedang diteliti.

G. Definisi Operasional

Penulis akan menjabarkan mengenai pengertian atas beberapa istilah umum yang terkait dengan permasalahan. Adapun istilah-istilah tersebut yaitu:

1. Hukum acara pidana Islam disebut dengan fikih murafa’ah yaitu

ketentuan-ketentuan yang ditunjukkan kepada masyarakat dalam usahanya mencari

kebenaran dan keadilan bila terjadi “pelanggaran” atas suatu ketentuan

hukum materiil, hukum acara meliputi ketentuan-ketentuan tentang cara bagaimana orang harus menyelesaikan masalah dan mendapatkan keadilan dari hukum, apabila kepentingan atau haknya dilanggar oleh orang lain dan sebaliknya, bagaimana cara mempertahankan apabila dituntut oleh orang lain.18

18


(26)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

2. Hukum acara pidana di Indonesia adalah aturan-aturan hukum, yang menguasai cara pemeriksaan perkara pidana di muka hakim di Indonesia.19 3. Kekuatan pembuktian adalah kekuatan suatu alat bukti untuk meyakinkan

hakim agar ia dapat menemukan dan menetapkan terwujudnya kebenaran yang sesungguhnya dalam putusannya.

4. Saksi Testimonium de auditu yaitu berdasarkan Pasal 1 Angka 26 KUHAP saksi diartikan sebagai orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang perkara pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri.20 Sedangkan Testimonium de auditu adalah keterangan saksi yang mendengar orang lain menceritakan atau mengatakan sesuatu tentang peristiwa pidana. Dengan kata lain saksi testimonium de auditu ini tidak melihat sendiri, tidak mendengar sendiri, dan tidak mengalami sendiri tentang suatu peristiwa pidana.21 Sedangkan dalam hukum acara pidana islam keterangan saksi testimonium de auditu disebut dengan saksi istifadlah yang berarti berita yang mencapai derajat antara berita mutawatir dan berita orang perorangan, yaitu berita yang sudah menyebar dan menjadi pembicaraan.22 Jadi yang dimaksud dengan saksi testimonium de auditu adalah seseorang yang memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan

19

Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama...,153.

20

Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian..., 100.

21

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia..., 264.

22


(27)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

peradilan tentang perkara pidana yang tidak ia dengar sendiri, tidak ia lihat sendiri, dan tidak ia alami sendiri melainkan hanya mendengar cerita peristiwa pidana tersebut dari cerita orang maupun kabar berita.

H. Metode Penelitian

1. Data yang dikumpulkan

Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini:

a. Data yang berkaitan dengan putusan hakim yaitu Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS.

b. Data yang berkaitan dengan kesaksiantestimonium de auditu menurut hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam.

2. Sumber data a. Sumber primer

Data primer merupakan sumber data utama, yaitu data yang langsung memberikan informasi kepada pengumpul data. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan sumber primer yaitu Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS.

b. Sumber sekunder

Sumber sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang sudah ada. Dalam penelitian ini adapun sumber sekunder yaitu buku-buku yang berkaitan dengan alat bukti dan pembuktian dalam hukum acara pidana di


(28)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

Indonesia dan hukum acara pidana Islam. Selain dari buku-buku tersebut penulis juga mengumpulkan data dari jurnal-jurnal yang berkaitan dengan kesaksian testimonium de auditu.

3. Teknik pengumpulan data

Teknik pengumpulan data ada 2, yaitu:

a. Dokumentasi, yaitu dengan mempelajari isi dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan Perkara Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS tentang tindak pidana pembunuhan berencana yang berkaitan dengan kesaksian testimonium de auditu.

b. Pustaka, yaitu dengan cara menggali data untuk menelaah literatur-literatur maupun buku-buku yang berkaitan dengan kesaksian testimonium de auditu.

4. Teknik pengolahan data

Setelah data berhasil dikumpulkan, kemudian dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode sebagai berikut:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali data-data secara cermat tentang kelengkapan, relevansi serta hal yang perlu dikoreksi dari data yang telah dihimpun yang berkaitan dengan keabsahan saksi testimonium de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam. b. Organizing, yaitu menyusun dan mensistematika data-data tersebut

sedemikian rupa sehingga menghasilkan bahan untuk dijadikan struktur deskripsi.


(29)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

c. Analizing, yaitu melakukan analisis deskriptif pertimbangan hukum hakim dalam Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS tentang pembunuhan berencana yang terkait dengan saksi testimonium de auditu.

5. Teknik analisis data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif analisis dengan pola pikir deduktif. Dimana penulis akan mendeskripsikan fakta-fakta secara nyata dan apa adanya sesuai dengan obyek kajian dalam penelitian untuk memperoleh data yang sedetail mungkin dengan memaparkan data yang diperoleh secara umum untuk ditarik kesimpulan secara khusus dengan melakukan pembacaan dan analisis data terhadap sumber-sumber data yang diperoleh.

I. Sistematika Pembahasan

Sistematika merupakan suatu penjabaran secara deskriptif tentang hal-hal yang akan ditulis, yang secara garis besar terdiri dari bagian awal, bagian isi, dan bagian akhir. Dalam penelitian ini, penulis membuat sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, identifikasi dan batasan masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.


(30)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

Bab kedua merupakan landasan teori yang akan memaparkan tentang tinjauan umum kesaksian dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam. Dalam bab ini berisi tentang pengertian dan landasan hukum terkait kesaksian, syarat-syarat menjadi saksi, serta larangan menjadi saksi dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam.

Bab ketiga ini memaparkan tentang temuan data tentang pembunuhan berencana yang berkaitan dengan kesaksian testimonium de auditu. Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang kronologi perkara serta pertimbangan hukum hakim dalam memutus perkara pembunuhan berencana yang berkaitan dengan kesaksian testimonium de auditu.

Bab keempat penulis akan menjelaskan mengenai hasil analisis terhadap Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS tentang pembunuhan berencana yang berkaitan dengan kesaksian testimonium de auditu. Hal tersebut akan dijelaskan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam.

Bab kelima merupakan bab terakhir berupa kesimpulan yang merupakan jawaban dari pokok masalah yang telah dianalisis pada bab-bab sebelumnya. Dan dalam bab ini juga berisikan saran-saran yang berguna untuk kemajuan ilmu hukum baik hukum positif maupun hukum Islam.


(31)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KESAKSIAN DALAM HUKUM ACARA PIDANA ISLAM DAN HUKUM ACARA PIDANA DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Kesaksian dalam Hukum Acara Pidana di Indonesia

1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti

Pembuktian berasal dari kata “bukti” artinya sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Adapun pembuktian yaitu proses perbuatan atau cara membuktikan sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Demikian pula pengertian membuktikan yang berarti memperlihatkan bukti, meyakinkan dengan bukti.1

J.C.T. Simorangkir berpendapat bahwa pembuktian adalah usaha dari yang berwenang untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang bertujuan agar supaya dapat dipakai oleh hakim sebagai bahan untuk memberikan keputusan seperti perkara tersebut.2

Dalam membuktikan suatu perkara diperlukan adanya alat bukti. Adapun yang dimaksud dengan alat bukti yaitu sesuatu hal (barang dan bukan orang) yang ditentukan oleh undang-undang yang dapat dipergunakan untuk memperkuat dakwaan, tuntutan atau gugatan maupun guna menolak dakwaan,

1

Andi Sofyan dan Abd.Asis, Hukum Acara Pidana “Suatu Pengantar”, (Jakarta: Kencana, 2014),230.

2


(32)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

tuntutan atau gugatan.3 Sedangkan R. Atang Ranomiharjo berpendapat bahwa alat-alat bukti (yang sah) adalah alat-alat yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, di mana alat-alat tersebut dapat digunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.4

Jenis-jenis alat bukti sangat tergantung pada hukum acara yang dipergunakan, misalnya apakah hukum acara pidana atau hukum acara perdata atau tata usaha negara. Macam-macam alat bukti dalam hukum acara pidana dapat dilihat dari ketentuan Pasal 184 Ayat (1) KUHAP, bahwa yang termasuk alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.5

a. Keterangan saksi, merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.

b. Keterangan ahli, adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

c. Surat, ialah suatu alat bukti yang berupa tulisan yang dibuat atas kekuatan sumpah jabatan atau surat yang dikualifikasikan dengan sumpah yakni berita

3

Koesparmono Irsan dan Armansyah, Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana, (Bekasi: Gramata Publishing, 2016),173.

4

Andi Sofyan dan Abd.Asis,Hukum Acara Pidana “Suatu Pengantar”..., 231.

5


(33)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh kewenangan pejabat umum.

d. Petunjuk, merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara satu yang lain maupun dengan tindak pidana sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

e. Keterangan terdakwa, merupakan urutan terakhir dalam Pasal 184 Ayat (1) KUHAP. Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan disidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

2. Pengertian dan Landasan Hukum Kesaksian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, saksi memiliki enam pengertian. Pertama, saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian. Kedua, saksi adalah orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya agar suatu ketika apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi. Ketiga, saksi adalah orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa. Keempat, saksi adalah keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui. Kelima, saksi diartikan sebagai bukti kebenaran. Keenam, saksi adalah orang yang dapat


(34)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tertentu suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialami sendiri.6

Berdasarkan Pasal 1 Angka 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Sedangkan dalam Pasal 1 Angka 27 KUHAP yang dimaksud dengan keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu.7 Dalam Buku Keempat KUHPerdata perihal Pembuktian dan Daluwarsa, tidak ada definisi mengenai apa yang dimaksudkan dengan saksi. Pasal 1895 sampai dengan Pasal 1914 KUHPerdata yang mengatur tentang saksi hanya memberikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan saksi.

R.Soesilo berpendapat bahwa yang dimaksud dengan kesaksian adalah suatu keterangan di muka hakim dengan sumpah, tentang hal-hal mengenai kejadian tertentu yang ia dengar, ia lihat, dan ia alami sendiri.8 Sedangkan menurut Sudikno Mertokusumo yang dimaksud dengan kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan tentang peristiwa dengan

6

Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (PT. Gelora Aksara Pratama, 2012),56.

7

Andi Sofyan dan Abd.Asis, Hukum Acara Pidana “Suatu Pengantar”...,238.

8

R. Soesilo, Hukum Acara Pidana “Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana Menurut KUHAP Bagi


(35)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan dilarang atau tidak diperbolehkan oleh Undang-undang yang dipanggil di pengadilan.9

3. Syarat-syarat Menjadi Saksi

Alat bukti keterangan saksi pada umumnya merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara pidana. Hampir semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar pada pemeriksaan keterangan saksi. Paling sedikit disamping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih selalu diperlukan pembuktian bukti keterangan saksi. Kekuatan pembuktian (degree of evidence) keterangan saksi agar dapat dianggap sah sebagai alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian harus dipenuhi aturan-aturan sebagai berikut:10

a. Harus mengucapkan sumpah atau janji

Hal ini diatur dalam Pasal 160 Ayat (3) KUHAP “Sebelum memberikan

keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing bahwa ia memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya”.

Apabila saksi enggan atau menolak mengucapkan sumpah atau janji, maka dapat dikenakan sandera. Penyanderaan ditetapkan berdasarkan penetapan hakim ketua sidang. Penyanderaan dalam hal seperti ini paling lama empat belas hari (Pasal 161 KUHAP). Keterangan saksi atau ahli yang tidak

9

Andi Sofyan dan Abd.Asis, Hukum Acara Pidana “Suatu Pengantar”..., 239.

10

Koesparmono Irsan dan Armansyah, Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana, (Bekasi: Gramata Publishing, 2016),226.


(36)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

b. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai bukti

Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai sebagai alat bukti ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan pada Pasal 1 Angka 27 KUHAP, yaitu yang saksi lihat sendiri, yang saksi dengar sendiri, yang saksi alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dari penegasan bunyi Pasal 1 Angka 27 KUHAP dihubungkan dengan bunyi penjelasan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP yang isinya bahwa keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu.

Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikirannya sendiri harus dikesampingkan dari pembuktian guna membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat atau mempunyai warna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.

c. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan

Keterangan saksi yang diberikan di luar sidang pengadilan tidak dapat dijadikan alat bukti. Sehingga hakim tidak dapat menjatuhkan putusan terhadap terdakwa berdasarkan pada keterangan saksi yang disampaikan di luar sidang pengadilan.


(37)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

d. Cara menilai kebenaran keterangan saksi

Menurut Pasal 185 Ayat (6) KUHAP, hakim diingatkan bahwa dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan:

1) Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan dengan saksi yang lain 2) Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.

e. Nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi

Mengenai nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi harus dilihat pertama-tama sah tidaknya keterangan saksi sebagai alat bukti. Manakala ditinjau dari segi ini, keterangan saksi yang diberikan di muka sidang pengadilan dikelompokkan menjadi dua, yaitu saksi yang menolak disumpah dan karena hubungan keluarga.

1) Saksi yang menolak disumpah, keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji tidak dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.

2) Karena hubungan keluarga, Kekecualian menjadi saksi yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi.


(38)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

Adapun Syaiful Bakhri mengatakan bahwa ada beberapa ketentuan pokok yang harus dipenuhi oleh seorang saksi sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, yaitu:11

1) Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji

2) Keterangan saksi yang bernilai sebagai alat bukti ialah apa yang ia lihat, ia dengar, dan alami sendiri

3) Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari hasil pemikiran bukan merupakan keterangan saksi

4) Keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan

5) Keterangan satu saksi saja tidak cukup, yaitu keterangan seorang saksi saja belum dianggap cukup sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan terdakwa.

Mengenai syarat-syarat menjadi saksi, Alfitra menambahkan bahwa keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup. Pasal 185 Ayat (2) menyatakan “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Ketentuan dalam pasal ini berasal dari asas hukum pidana Unus Testis Nullus Testis yang artinya satu orang saksi bukan merupakan saksi.12

11

Syaiful Bakhri, Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan, (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), hlm.58.

12

Alfitra, Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2011),60.


(39)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

Adapun Djoko Prakoso dalam bukunya yang berjudul Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana menyatakan bahwa aturan Unus Testis Nullus Testis bukanlah harus diartikan bahwa keterangan dari satu orang saksi tidak mempunyai kekuatan pembuktian sama sekali. Pengertian yang sebenarnya adalah bahwa keterangan seorang saksi yang berdiri sendiri saja memang tidak dapat memberikan kekuatan pembuktian yang sah, tetapi jika tidak lagi berdiri sendiridan dapat dihubungkan dengan alat bukti yang lain, maka tentu mempunyai kekuatan yang sah.13

Asas tersebut dapat disimpangi berdasarkan Pasal 185 Ayat (3) yaitu “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya. Berdasarkan sifat a contrario menurut Alfitra keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila disertai satu alat bukti lain, misalnya satu keterangan saksi ditambah keterangan terdakwa, satu keterangan saksi ditambah satu alat bukti surat.14

4. Larangan Menjadi Saksi

Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Kekecualian menjadi saksi tercantum dalam Pasal 168 KUHAP, yaitu:15

13

Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988),72.

14

Ibid , 60.

15


(40)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga.

c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

Ketentuan Pasal 168 tersebut tidak secara mutlak melarang orang-orang tersebut untuk menjadi saksi. Namun apabila orang-orang yang dikecualikan sebagai saksi tersebut menghendaki untuk memberikan kesaksian dan penuntut umum serta terdakwa menyetujuinya maka ia diperbolehkan untuk didengar keterangannya dibawah sumpah, tetapi jika tidak mendapat persetujuan maka keterangannya dilakukan tanpa sumpah.

Di samping karena hubungan kekeluargaan (sedarah atau semenda), ditentukan oleh Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat, atau jawabannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban memberi keterangan sebagai saksi. Menurut penjelasan pasal tersebut, pekerjaan atau jabatan yang menentukan adanya kewajiban menyimpan rahasia ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dijelaskan bahwa jika tidak ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan atau pekerjaan yang dimaksud, maka


(41)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

seperti ditentukan oleh ayat ini, hakim yang menentukan sah atau tidaknya alasan yang dikemukakan untuk mendapatkan kebebasan tersebut.16

Dalam Pasal 171 KUHAP ditambahkan kekecualian untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah ialah:

a. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin.

b. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut, anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatana, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psycopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan.

5. Jenis-jenis Saksi

Saksi menurut sifatnya dapat dibagi atas dua bagian, yaitu:17

a. Saksi a Charge (saksi yang memberatkan terdakwa): saksi ini adalah saksi yang telah dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dengan keterangan atau kesaksian yang diberikan akan memberatkan terdakwa, demikian menurut Pasal 160 Ayat (1) huruf c KUHAP, bahwa dalam hal ada saksi yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara

16

Ibid, 262.

17


(42)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

32

dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengarkan keterangan saksi tersebut.

b. Saksi a de Charge (saksi yang meringankan/menguntungkan terdakwa): saksi ini dipilih atau diajukan oleh penuntut umum/ terdakwa atau penasihat hukum, yang mana keterangan atau kesaksian yang diberi akan meringankan/menguntungkan terdakwa, demikian menurut Pasal 160 Ayat (1) huruf C KUHAP, bahwa dalam hal ada saksi yang menguntungkanterdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut.

Mengenai jenis-jenis saksi, Alfitra berpendapat bahwa jenis saksi dibagi menjadi empat, yaitu:18

a. Saksi a Charge, yaitu keterangan saksi dengan memberatkan terdakwa dan terdapat dalam berkas perkara serta lazim di ajukan oleh jaksa penuntut umum.

b. Saksi a de Charge, yaitu keterangan seorang saksi yang dengan sifat meringankan terdakwa atau dan lazim diajukan oleh terdakwa atau penasihat hukum.

18


(43)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

33

c. Saksi mahkota, yaitu saksi yang berasal atau diambil dari salah seorang tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana.

d. Saksi de auditu/ hearsay evidance, yaitu keterangan seorang saksi yang diperoleh dari mendengar pernyataan yang didengar oleh orang lain.Saksi testimonium de auditu atau hearsay evidence berasal dari kata hear yang berarti mendengar dan say yang berarti mengucapkan. Oleh karena itu secara harfiah istilah hearsay berarti mendengar dari ucapan (orang lain). Jadi, tidak mendengar sendiri fakta tersebut dari orang yang mengucapkan sehingga disebut juga sebagai bukti tidak langsung (second hand evidence) sebagai lawan dari bukti langsung (original evidence), karena mendengar dari ucapan orang lain, maka saksi de auditu atau hearsay ini mirip dengan “report”, “gosip” atau “rumor”. Dengan demikian, definisi kesaksian testimonium de auditu adalah sebagai keterangan-keterangan tentang kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat, atau dialami bukan oleh saksi sendiri, tetapi keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya tentang kenyataan-kenyataan tentang hal-hal yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut.19

Sementara itu, definisi yang cukup lengkap dikemukakan oleh Munir Fuady yaitu yang dimaksud dengan kesaksian tidak langsung atau de auditu

19

Abdul Karim Nasution, Masaalah Hukum Pembuktian dalam Proses pidana jilid I,II,dan III. (Jakarta: Korps Kejaksaan Republik Indonesia, 1975), hlm.55.


(44)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

34

adalah suatu kesaksian dari seseorang di muka pengadilan untuk membuktikan kebenaran suatu fakta, tetapi saksi tersebut tidak mengalami/ mendengar/ melihat sendiri fakta tersebut.20

Dalam buku Hukum Acara Pidana Indonesia, Andi Hamzah menyatakan bahwa dalam Pasal 185 Ayat (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi. Di dalam Pasal 185 Ayat (1) dikatakan bahwa dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Dengan demikian keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah.21

Selain itu, Andi Hamzah menyatakan bahwa sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya. Maka kesaksian de auditu atau hearsay evidence patut tidak dipakai di Indonesia.22

Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti kesaksian, tetapi dapat

20

Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata Cet.II, (Bandung: Citra Adityabakti, 2012), hlm.132.

21

Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia...,264

22


(45)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

35

memperkuat keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain. Berhubung dengan tidak dicantumkannya pengamatan hakim sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, maka kesaksian de auditu tidak dapat dijadikan alat bukti melalui pengamatan hakim, melainkan dapat melalui alat bukti petunjuk yang penilaian dan pertimbangannya diserahkan kepada hakim.

Adapun Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa hakim dilarang memakai sebagai alat bukti suatu keterangan saksi de auditu yaitu tentang suatu keadaan yang saksi itu hanya dengar saja terjadinya dari orang lain. Larangan semacam ini baik bahkan sudah semestinya, akan tetapi harus diperhatikan bahwa kalau ada saksi yang menerangkan telah mendengar terjadinya suatu keadaan orang lain, kesaksian semacam ini tidak selalu dapat disampingkan begitu saja. mungkin sekali hal pendengaran suatu peristiwa dari orang lain itu dapat berguna untuk penyusunan suatu rangkaian pembuktian terhadap terdakwa.23

B. Tinjauan Umum Kesaksian dalam Hukum Acara Pidana Islam

1. Pengertian Pembuktian dan Alat Bukti

Pembuktian menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata “al-bayyinah” yang artinya suatu yang menjelaskan.24 Secara etimologis berarti keterangan,

23

Ibid, 266.

24

Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2005),135.


(46)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

36

yaitu segala sesuatu yang dapat menjelaskan hak (benar). Dalam istilah teknis, berarti alat-alat bukti dalam sidang pengadilan. Secara terminologis, pembuktian berarti memberikan keterangan dengan dalil hingga meyakinkan. Dalam arti luas, pembuktian berarti memperkuat kesimpulan dengan syarat-syarat bukti yang sah, sedang dalam arti terbatas pembuktian itu hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat.25

Adapun alat-alat bukti (hujjah), ialah sesuatu yang membenarkan gugatan. Para fuqoha berpendapat bahwa alat bukti ada 7 (tujuh) macam, yaitu:26

a. Ikrar (pengakuan), yaitu pengakuan terdakwa dan merupakan alat bukti yang paling kuat. Untuk membenarkan pengakuan, maka hendaklah orang yang memberikan pengakuan itu dalam keadaan berakal, baligh, tidak dipaksa dan bukan orang yang di bawah pengampunan. Adapun contoh dari ikrar yaitu dari Hadis Riwayat Bukhary Muslim, dari Abu Hurairah: Sewaktu Rasulullah Saw di dalam masjid, telah datang seorang laki-laki kuslim. Ia berseru kepada Rasulullah Saw “ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina”. Rasulullah berpaling dari padanya orang itu berputar menghadap kearah Rasulullah dan berkata “Ya Rasulullah saya telah berzina”. Rasulullah berpaling dari padanya hingga orang itu ulangi yang demikian itu sampai empat kali. Tatkala orang itu telas saksikan (kesalahan) dirinya empat persaksian (empat kali mengaku), Rasulullah panggil ia dan bertanya

25

Ibid,136

26

Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997),136.


(47)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

37

“Apakah anda tidak gila?” orang itu menjawab tidak. Tanya Rasulullah lagi, “apakah anda sudah kawin?” orang itu menjawab sudah. Maka Rasulullah Saw bersabda “bawalah orang ini pergi dan rajamlah ia”.27

b. Syahadah (kesaksian), yaitu mengemukakan kesaksian untuk menetapkan hak atas diri orang lain. Dengan kesaksian yang cukup sesuai syarat, nyatalah kebenaran bagi hakim dan wajiblah dia memutus perkara sesuai dengan kesaksian itu. Adapun contoh dari syahadah yaitu: A memberi keterangan di depan persidangan tentang apa yang ia lihat, ia dengar, dan ia alami sendiri peristiwa pidana yang dilakukan oleh B.

c. Yamin (sumpah), yaitu suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Sumpah menurut Hukum Islam disebut al-yamin atau al-hilf. Tetapi kata al-yamin lebih umum dipakai. Sedangkan sumpah di lapangan pidana disebut qasamah.

d. Nukul (menolak sumpah), penolakan sumpah berarti pengakuan. Kalangan fukaha berbeda pendapat tentang penolakan sumpah sebagai alat bukti. Madzhab Hanafi dan Imam Ahmad menganggap penolakan sumpah merupakan alat bukti yang dapat dipergunakan sebagai dasar putusan. Pendapat lain menyatakan bahwa penolakan sumpah tidak dapat dipakai sebagai alat bukti, tetapi jika tergugat menolak gugatan penggugat maka

27


(48)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

38

penggugat yang disumpah. Kemudian jika ia mau bersumpah maka diputuskan atas dasar sumpah penggugat itu dan jika ia menolak bersumpah maka ia dikalahkan. Adapun contoh dari nukul yaitu: Abdullah bin Umar telah menjual seorang hamba seharga 800 dirham dalam keadaan sehat, kemudian pembelinya memperkarakan penjualannya kepada Umar bin Khattab, lalu Utsman berkata kepada Abdullah bin Umar “bersumpahlah bahwa kamu telah menjualnya sedang hamba itu dalam keadaan sehat”. Abdullah menolak sehingga hamba tersebut dikembalikan kepada penjualnya oleh Utsman.28

a. Qasamah (sumpah), yaitu sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan yang dilakukan oleh wali (keluarga si pembunuh) untuk membuktikan pembunuhan atas tersangka atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan. e. Keyakinan hakim, yaitu ilmu hakim yang diperoleh dari sesuatu yang tidak

berhubungan rapat dengan penggugat, tidak dibenarkan oleh Abu Hanifah untuk dasar memutuskan perkara. Tetapi Abu Yusuf dan Muhammad Ibn Al Hasan membolehkannya. Adapun keyakinan hakim yang diperoleh di celah-celah pemeriksaan perkara, maka hakim boleh memutuskan perkara dengan keyakinannya itu, terkecuali di dalam bidang pidana, dimana tidak dapat dipergunakan segala hal-hal yang meragukan. Sungguhpun demikian fukaha

28

Muhammad Salam Madzkur, al-Qadha fi al-Islam, terj.Imran A.M., (Surabaya: Bina Ilmu, 1982),94.


(49)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

39

mutaakhkhirin berpendapat bahwa hakim tidak boleh berpegang kepada ilmunya secara mutlak dalam segala rupa gugatan.

f. Bukti-bukti lainnya yang dapat dipergunakan, yaitu dapat disebut dengan alat bukti petunjuk (qarinah), berarti setiap tanda yang jelas menyertai sesuatu yang samar sehingga tanda tersebut menunjuk kepadanya.Adapun contoh dari qarinah yaitu: hamilnya seorang perempuan yang belum menikah, bau alkohol pada mulut seseorang, terbunuhnya seseorang dengan pelaku lebih dari 1 orang.

Ibnu Qayyim mengemukakan bahwa ada 26 alat bukti yang dapat dipergunakan di hadapan majelis hakim. Namun tidak semuanya diterima oleh ahli fikih. Adapun alat bukti yang disepakati oleh ulama fikih adalah sebagai berikut:29

a. Kesaksian (syahadah), pemberitaan yang benar untuk menetapkan suatu hak dengan lafal syahadah (kesaksian) di depan sidang pengadilan. Persaksian merupakan salah satu alat bukti yang penting dalam pembuktian hukum acara pidana Islam. hal ini dikarenakan persaksian dapat menjadikan pembuktian lebih obyektif karena adanya saksi yang menguatkan.

b. Ikrar (pengakuan), yaitu suatu pernyataan terdakwa yang menceritakan tentang suatu kebenaran atau mengakui kebenaran tersebut. Para Ulama sepakat tentang keabsahan pengakuan, karena pengakuan merupakan suatu

29


(50)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

40

pernyataan yang dapat menghilangjan keraguan dari orang yang menyatakan pengakuan tersebut.

c. Sumpah, suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Adapun sumpah yang dimaksud dalam hal ini yaitu merupakan sumpah dalam artian luas, sedangkan dalam hukum pidana sendiri disebut dengan qasamah.

d. Nukul (penolakan sumpah), yaitu ia (seseorang) merupakan alat bukti dan penggugat memperkuat gugatannya dengan bukti lain agar gugatannya dapat mengena kepada pihak lainnya. Kalangan fukaha berbeda pendapat tentang penolakan sumpah sebagai alat bukti.

e. Qarinah, merupakan alat bukti yang diperselisihkan oleh para ulama untuk tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan. Untuk jarimah-jarimah yang lain seperti hudud, qarinah banyak digunakan. Diperselisihkannya alat bukti qarinah sebagai alat bukti sebabnya adalah dalam banyak hal qarinah ini bukan petunjuk yang pasti melainkan masih meragukan, karena banyak kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Dalam contoh: kehamilan seorang perempuan yang tidak bersuami sebagai pertanda bahwa ia telah melakkan zina, belum bisa diterima sebagai petunjuk yang pasti karena masih ada beberapa kemungkinan yang lain, misalnya ia (perempuan tersebut)


(51)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

41

diperkosa. Oleh karena itu jumhur fukaha membatasi penggunaan qarinah ini dalam kasus-kasus yang ada nasnya, seperti qasamah.

f. Qasamah, yaitu yaitu sumpah yang diulang-ulang dalam dakwaan (tuntutan) pembunuhan yang dilakukan oleh wali (keluarga si pembunuh) untuk membuktikan pembunuhan atas tersangka atau dilakukan oleh tersangka untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan pembunuhan.

2. Pengertian dan Landasan Hukum Kesaksian

Alat bukti saksi dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi laki-laki) atau syahidah (saksi wanita) yang diambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksudkan adalah manusia hidup.30

Bayyinah dalam fuqoha sama dengan syahadah (kesaksian), tetapi Ibnu Qayyim memaknakan bayyinah dengan segala yang dapat menjelaskan perkara. Sedang syahadah adalah mengemukakan kesaksian untuk menetapkan hak atas diri orang lain. Dalam pandangan Islam, saksi termasuk hal penting dalam penegakan kebenaran dan keadilan. Karena itu Allah Swt melarang seorang saksi berlaku enggan atau menolak memberi keterangan apabila diminta. Sebagaimana dalam Q.S. Albaqarah (2): 282.

...ا عداماَِأُ د ُشلاَ أيَا

30


(52)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

42

Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.

3. Syarat-syarat Saksi

Dalam hukum acara pidana Islam persyaratan seseorang untuk menjadi saksi sangat ketat dan selektif, hal ini dikarenakan kesaksian merupakan unsur terpenting dalam persidangan yang bertujuan untuk menumbuhkan dan menguatkan keyakinan hakim dalam memutuskan perkara pidana terhadap terdakwa. Karena berhubungan tidak hanya dengan hak-hak terdakwa tetapi juga dengan hak-hak Allah Swt.

Seseorang yang hendak memberikan kesaksian menurut Abdul Karim Zaidan harus dapat memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:31

a. Dewasa b. Berakal

c. Mengetahui apa yang disaksikan d. Beraga Islam

e. Adil

f. Saksi itu harus dapat melihat g. Saksi itu harus dapat berbicara

Nashr Farid Washil, menambahkan tidak adanya paksaan. Sedangkan Sayyid Sabiq menambahkan pula bahwa saksi itu harus memiliki ingatan yang

31


(53)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

43

baik dan bebas dari tuduhan negatif (tidak ada permusuhan).32 Syarat tidak adanya paksaan bagi saksi maksudnya adalah orang yang memberikan kesaksian atas dasar intimidasi demi orang lain bisa mendorongnya untuk mempersaksikan hal yang bukan pengetahuannya. Oleh karenanya dapat mempengaruhi kepercayaan terhadap kesaksian.

4. Larangan Menjadi Saksi

Dalam hukum acara pidana Islam terkait dengan larangan seseorang menjadi saksi berhubungan dengan konsep tahammul dan ada’.33Tahammul adalah kesanggupan memelihara dan mengingat suatu peristiwa. Sedangkan Ada’ adalah kesanggupan untuk mengemukakan/melapalkan peristiwa tersebut dengan benar. Orang-orang yang secara sempurna memiliki kemampuan untuk tahammul dan ada’ adalah orang merdeka, baligh, akil dan adil. Sedangkan golongan yang tidak memiliki kemampuan untuk tahammuldan ada’ sehingga ditolak dan tidak ada nilai pembuktian sama sekali yaitu anak-anak, orang gila, orang kafir dan hamba. Permasalahan tidak diterimanya kesaksian orang kafir (non muslim) karena Alquran menghendaki bahwa kesaksian itu harus dilakukan oleh orang yang adil. Sedang orang kafir tidak termasuk dalam kategori adil.34

32

Ibid, 76.

33

Usman Hasyim, Teori Pembuktian Menurut Fiqih Jinayat Islam, (Yogyakarta: Andi Offset, 1984),14.

34

Mahmud A’is Mutawalli, Dlommatul A’dalah fil Qadla Islami, (Beirut: Dar al Kutub El Ilmiya,


(54)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

44

Sulaikin Lubis berpendapat, adapun orang-orang yang ditolak untuk menjadi saksi adalah sebagai berikut:35

a. Yang bermusuhan dengan pihak yang berperkara b. Mahram

c. Yang berkepentingan atas perkara itu d. Sakit jiwa

e. Fasik (orang yang suka menyembunyikan yang benar dan menampakkan yang salah)

f. Safih (yang lemah akal atau dibawah pengampunan).

5. Jenis-jenis Saksi

Dalam hukum acara pidana Islam, saksi dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu:36

a. Saksi satu orang laki-laki tanpa dikuatkan dengan sumpah salah satu pihak berperkara: menurut Ibnu Qayyim al Juaziyyah bahwa keterangan saksi satu orang tidak boleh dikesampingkan apabila hakim mengetahui kejujuran saksi tersebut. Hakim diperbolehkan menjatuhkan putusan berdasarkan kesaksian satu orang itu. Namun jika hakim berpemdapat perlu meneguhkan pembuktian tersebut dengan sumpah maka hal itu dapat dilaksanakan tetapi itu bukan sumpah decissoar yang imperative hakim menjatuhkan putusannya. Nabi Muhammad Saw ketika memutus perkara berdasarkan keterangan saksi satu

35

Sulaikin Lubis, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia..., 140.

36


(55)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

45

orang laki-laki dan sumpah, sumpah tidak dijadikan sebagai sumpah decissoir, melainkan sebagai sumpah supletoar yang meneguhkan keterangan saksi satu orang laki-laki itu.

b. Saksi satu orang laki-laki dikuatkan dengan sumpah: menurut Ibnu Qayyim al Jauziyyah, Allah Swt tidak mengharuskan para hakim supaya tidak menjatuhkan keputusan kecuali dengan dasar keterangan dua oirang saksi, akan tetapi Allah Swt memerintahkan yang mempersaksikannya dihadapan dua orang saksi atau satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi perempuan. Itu tidak berarti menunjukkan hakim tidak boleh menjatuhkan keputusannya berdasarkan keterangan saksi kurang dari itu. Nabi Muhammad Saw pernah menjatuhkan putusan berdasarkan keterangan satu orang saksi dan sumpah dan juga pernah hanya berdasarkan keterangan satu orang saksi semata. Ali bin Abu Tholib berkata:

َِقحْلاَِبِحَاصَِنيِميَعمٍَدِحا َلجَرَِةدَا شِبَ َ َِهّللاَُ سرَىضَف

Rasulullah Saw memutus berdasarkan keterangan satu orang saksi semata disertai sumpah penggugat.

c. Saksi non muslim: kesaksian non muslim terhadap orang Islam menurut kesepakatan fuqoha tidak diterima kesaksiannya. Sedangkan kesaksian orang Islam terhadap non muslim ada dua pendapat. Menurut ulama Hanafi boleh, sedangkan menurut fuqoha lainnya tidak boleh.

d. Saksi istifadlah (berita tersebar/ testimonium de auditu): Dalam hukum acara pidana Islam, saksi testimonium de auditu disebut dengan saksi istifadlah.


(1)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis dan dari uraian-uraian mengenai kekuatan pembuktian kesaksian de auditu dalam hukum acara pidana di Indonesia dan hukum acara pidana Islam yang telah dijelaskan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Direktori Putusan Nomor 08/PID.B/2013/PN-GS tentang Pembunuhan Berencana, atas terdakwa Yusman Telaumbanua. Dalam Putusan tersebut terdapat sebelas (11) saksi, dan hanya terdapat satu (1) saksi diantara sebelas (11) saksi tersebut yang melihat, mendengar, dan mengalamai sendiri peristiwa pidana tersebut. Sehingga sepuluh (10) saksi lainnya tergolong saksi teastimonium de auditu. Dalam memutus perkara tersebut, hakim lebih mempertimbangkan kesaksian testimoniumde auditu dan terkesan mengesampingkan keterangan saksi kunci. Dalam putusan tersebut memang hanya terdapat satu orang saksi kunci, namun tidak benar jika majelis hakim mengesampingkan keterangan dari saksi kunci. Berdasarkan Pasal 185 Ayat (3) dan pendapat dari para ahli hukum yang pada intinya menjelaskan bahwa jika saksi yang ada hanya terdiri dari satu orang saja, maka kesaksian tunggal itu dapat dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang


(2)

84

sah lainnya. Sehingga kesaksian tersebut tidak berdiri sendiri, dan telah memenuhi syarat pembuktian dalam perkara pidana yaitu pembuktian dengan dua alat bukti yang sah. Dalam hukum acara pidana Islam lebih baik menggunakan keterangan satu orang saksi yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri peristiwa pidana tersebut dari pada menggunakan saksi de auditu, asalkan satu orang saksi kunci tersebut adalah laki-laki dan memberikan kesaksian dibawah sumpah.

2. Dalam hukum acara pidana Islam saksi de auditu disebut dengan saksi istifadlah (berita tersebar). Saksi Istifadlah tidak dapat digunakan sebagai alat bukti karena dalam hukum acara pidana Islam seorang saksi yang diajukan dalam perkara pidana haruslah saksi yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri peristiwa tersebut.

3. Saksi de auditu/ hearsay evidance, yaitu keterangan seorang saksi yang diperoleh dari mendengar pernyataan yang didengar oleh orang lain. Dalam hukum acara pidana di Indonesia, keterangan saksi de auditu tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah. Hal ini didasarkan pada Pasal 185 Ayat (1) KUHAP yang isinya menerangkan bahwa keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Adapun keterangan saksi de auditu hanya boleh didengarkan saja keterangannya di depan persidangan untuk penilaian hakim dalam menyusun


(3)

85

B. Saran

Selain kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, penulis akan memberikan beberapa saran yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1. Keterangan saksi de auditu pada dasarnya bukan merupakan alat bukti yang sah dalam perkara pidana. Namun, hakim dapat mendengar keterangan saksi de auditu untuk menyusun rangkaian peristiwa pidana tersebut, dengan syarat bahwa keterangan tersebut tidak bertentangan dengan alat bukti lainnya. Maka dari itu, Hakim haruslah pandai dalam menilai keterangan saksi de auditu dalam persidangan dan seharusnya hakim mempertimbangkan terlebih dahulu keterangan dari saksi yang melihat, mendnegar, dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana.

2. Hakim dalam memutus suatu perkara haruslah mempertimbangkan dengan hati-hati berbagai hal yang berkaitan dengan kasus pidana tersebut. Karena sekecil apapun hal yang berkaitan dengan suatu peristiwa pidana itu, pasti akan memeberikan dampak terhadap hukuman terdakwa.


(4)

85

DAFTAR PUSTAKA

Agus Suhadak, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Konsep Syahadah Al-istifadah Kaitannya dengan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004” (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2009).

Al-Faruq, Asadulloh. 2009. Hukum Acara Peradilan Islam. Yogyakarta: Pustaka Yustika.

Alfitra. 2011. Hukum Pembuktian dalam Beracara Pidana, Perdata dan Korupsi di Indonesia. Jakarta: Raih Asa Sukses.

Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. 2006. Hukum Acara Peradilan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anshoruddin. 2009. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam dan Hukum Positif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anshoruddin dan Adnan Qohar. 2006. Hukum Acara Peradilan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 1997. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.

Bakhri, Syaiful. 2012. Beban Pembuktian Dalam Beberapa Praktik Peradilan. Jakarta: Gramata Publishing.

Dahlan, Abdul Aziz. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Ellen Johan, “Kajian Hukum Kekuatan Alat Bukti Saksi Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perdata (Studi Putusan Pengadilan Agama Lumajang Nomor 1176/Pdt.G/Verzet/2006/PA.Lmj)” (Skripsi—Universitas Jember, 2014).

Fathur Rizqi, “Kekuatan Pembuktian Kesaksian Testimonium De Auditu dalam Perkara Perdata”, http://www.fathurrizqi.com/2013/10/kekuatan-pembuktian-kesaksian.html?m=1 , Diakses pada 28 Desember 2016.


(5)

86

Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata Cet.II. Bandung: Citra Adityabakti.

Hamzah, Andi. 2009. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Hasyim,Usman. 1984. Teori Pembuktian Menurut Fiqih Jinayat Islam. Yogyakarta: Andi Offset.

Hiariej, Eddy O.S. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. PT. Gelora Aksara Pratama.

Irsan, Koesparmono dan Armansyah. 2016. Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam Hukum Perdata dan Hukum Pidana. Bekasi: Gramata Publishing

Lubis, Sulaikin. 2005. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Marpaung, Leden. 1995. Proses Penanganan Perkara Pidana Bagian Pertama. Jakarta: Sinar Grafika.

Madzkur, Muhammad Salam Madzkur. 1982. al-Qadha fi al-Islam, terj.Imran A.M. Surabaya: Bina Ilmu.

Mulyadi, Lilik. 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Perspektif, Teoritis dan Praktis. Bandung.

Mutawalli, Mahmud A’is. 2003. Dlommatul A’dalah fil Qadla Islami. Beirut: Dar al Kutub El Ilmiya.

Nasution, Abdul Karim. 1975. Masaalah Hukum Pembuktian dalam Proses pidana jilid I,II,dan III. Jakarta: Korps Kejaksaan Republik Indonesia. Rasyid, Roihan A. 2001. Hukum Acara Peradilan Agama Cet.VIII.

Jakarta:Rajawali Pers.

R. Soesilo. 1982. Hukum Acara Pidana “Prosedur Penyelesaian Perkara Pidana


(6)

86

Sabiq, Sayyid. 2004. Fiqih Sunnah. Mesir: Fath Alam El-Arab.

Sofyan, Andi. dan Abd.Asis. 2014. Hukum Acara Pidana “Suatu Pengantar”. Jakarta: Kencana.

Simorangkir, J.C.T. 1983. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru, 1983.

Prakoso, Djoko. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana. Yogyakarta: Liberty Offset.

Yulyanti Yuni, “Alat Bukti Saksi Testimonium De Auditu Dalam Perkara Perceraian (Studi Terhadap Pendapat Hukum Pengadilan Agama di Provinsi Kalimantan Selatan)” (Skripsi—IAIN Antasari, Banjarmasin. http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/1321, Diakses pada 25 November 2016.


Dokumen yang terkait

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

DEKONSTRUKSI HOST DALAM TALK SHOW DI TELEVISI (Analisis Semiotik Talk Show Empat Mata di Trans 7)

21 290 1

MANAJEMEN PEMROGRAMAN PADA STASIUN RADIO SWASTA (Studi Deskriptif Program Acara Garus di Radio VIS FM Banyuwangi)

29 282 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

MOTIF MAHASISWA BANYUMASAN MENYAKSIKAN TAYANGAN POJOK KAMPUNG DI JAWA POS TELEVISI (JTV)Studi Pada Anggota Paguyuban Mahasiswa Banyumasan di Malang

20 244 2

PERANAN ELIT INFORMAL DALAM PENGEMBANGAN HOME INDUSTRI TAPE (Studi di Desa Sumber Kalong Kecamatan Wonosari Kabupaten Bondowoso)

38 240 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24