HUBUNGAN ANTARA BAYI BERAT LAHIR RENDAH

HUBUNGAN ANTARA BAYI BERAT LAHIR RENDAH DENGAN KEJADIAN IKTERUS, HIPOGLIKEMI DAN INFEKSI NEONATORUM DI RSUP NTB TAHUN 2012 SINOPSIS TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan

Mencapai Derajat S-2

Oleh : Rosa Mutianingsih KEPADA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Upaya untuk meningkatkan kualitas manusia dimulai sejak janin dalam kandungan dan sangat tergantung kepada kesehatan ibu termasuk kesehatan reproduksinya. Pembangunan kesehatan di Indonesia dewasa ini masih diwarnai oleh rawannya derajat kesehatan ibu dan anak, terutama pada kelompok yang paling rawan yaitu ibu hamil, ibu bersalin

dan bayi pada masa perintal. 1 Semua angka kematian bayi dan anak hasil SDKI 2012 lebih

rendah dari hasil SDKI 2007. Untuk periode lima tahun sebelum survei, angka kematian bayi hasil SDKI 2012 adalah 32 kematian per 1.000 kelahiran hidup dan kematian balita adalah 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Sama dengan pola SDKI 2007, lebih dari tiga perempat dari semua kematian balita terjadi dalam tahun pertama kehidupan anak

dan mayoritas kematian bayi terjadi pada periode neonatus. 2

Penyebab langsung kematian bayi di Indonesia diantaranya disebabkan oleh Asfiksia (44-46%), infeksi ( 24 – 25 % ), BBLR (15 –

20%), trauma persalinan (2 – 7% ), dan cacat bawaan ( 1-3 % ). 3 Data Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012

memperlihatkan angka kematian bayi di NTB 57 per 1.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih dari angka nasional, sebab rata-rata secara

nasional 34 kematian bayi. 2 Jumlah kematian bayi di NTB mengalami penurunan dari tahun

2008 sampai 2012. Tahun 2008 jumlah kematian bayi berada pada 2008 sampai 2012. Tahun 2008 jumlah kematian bayi berada pada

bayi menurun menjadi 1.058 kasus. 4 Berdasarkan data di Dinas Kesehatan Provinsi NTB tahun 2012

angka kematian bayi sebanyak 1058 kasus, dimana yang menjadi penyebab kematian bayi secara langsung antara lain BBLR 47%, asfiksia

20%, infeksi 5%, cacat bawaan 11%, dan lain-lain 17%. 4 Berdasarkan data di RSUP NTB, diketahui data kasus neonatal di

ruang NICU RSUP NTB sebagai berikut jumlah bayi yang masuk NICU tahun 2012 yaitu 2193 kasus diantaranya yang mengalami BBLR 26%, ikterus 9%, hipoglikemi 0,8% dan yang mengalami infeksi neonatorum 1,8%. 5

Kematian perinatal yang disebabkan oleh bayi BBLR 8 kali lebih besar dari bayi normal. Angka kematian sering disebabkan komplikasi neonatal seperti, asfiksia, aspirasi, pneumonia, perdarahan intracranial, hipoglikemia, infeksi dan ikterus. BBLR dibagi menjadi 2 yaitu BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan. BBLR kurang bulan atau prematur lebih mudah terkena komplikasi karena alat tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi matur. Oleh sebab itu, bayi prematur mengalami lebih banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus. Makin pendek masa kehamilannya makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya komplikasi dan makin tingginya angka kematiannya. Sedangkan BBLR cukup bulan memiliki kemampuan untuk bertahan hidup lebih baik dari pada bayi prematur karena alat tubuh sudah terbentuk sempurna. Sehingga ada penurunan pada kematian bayi yang lahir setelah usia 36 minggu tanpa memandang Kematian perinatal yang disebabkan oleh bayi BBLR 8 kali lebih besar dari bayi normal. Angka kematian sering disebabkan komplikasi neonatal seperti, asfiksia, aspirasi, pneumonia, perdarahan intracranial, hipoglikemia, infeksi dan ikterus. BBLR dibagi menjadi 2 yaitu BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan. BBLR kurang bulan atau prematur lebih mudah terkena komplikasi karena alat tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi matur. Oleh sebab itu, bayi prematur mengalami lebih banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus. Makin pendek masa kehamilannya makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan akibat makin mudahnya komplikasi dan makin tingginya angka kematiannya. Sedangkan BBLR cukup bulan memiliki kemampuan untuk bertahan hidup lebih baik dari pada bayi prematur karena alat tubuh sudah terbentuk sempurna. Sehingga ada penurunan pada kematian bayi yang lahir setelah usia 36 minggu tanpa memandang

(4,5 pon). 6,7 Masalah-masalah yang dapat terjadi pada bayi BBLR yang cukup

bulan (aterm) yaitu asfiksia perinatal, hipoglikemia, polisitemia- hiperviskositas, hipotermi, dan dismorfologi. Sedangkan masalah- masalah yang lazim terjadi pada bayi BBLR kurang bulan (prematur) yaitu displasia bronkopulmorial, apnea, duktus arteriosus paten, bradikardi, hiperbilirubin, perdarahan subkutan, fungsi saluran pencernaan jelek, hipokalsemia, hipoglikemia, hiperglikemia, hipotermia, perdarahan intraventrikular,

hipernatremia, dan hiperkalsemia. 7

hipotonia,

hiponatremia,

Bayi BBLR kurang bulan mengalami peningkatan risiko terhadap infeksi karena cadangan imunologlobulin maternal menurun, kemampuan untuk membentuk antibodi rusak dan sistem integumen rusak (kulit tipis dan kapiler rentan), hipoglikemia karena bayi prematur dan yang mengalami hambatan pertumbuhan memiliki simpanan glikogen yang lebih rendah sehingga tidak dapat memobilisasi glukosa secepat bayi aterm normal selama periode segera setelah lahir dan bayi prematur memiliki respons hormon dan enzim yang imatur, dan hiperbilirubin disebabkan oleh faktor kematangan hepar, hingga konjugasi bilirubin indirek menjadi direk belum sempurna. Ikterus dapat diperberat oleh polisetemia, memar hemolisias dan infeksi karena hiperbilirubin dapat menyebabkan kernikterus maka warna kulit bayi harus sering Bayi BBLR kurang bulan mengalami peningkatan risiko terhadap infeksi karena cadangan imunologlobulin maternal menurun, kemampuan untuk membentuk antibodi rusak dan sistem integumen rusak (kulit tipis dan kapiler rentan), hipoglikemia karena bayi prematur dan yang mengalami hambatan pertumbuhan memiliki simpanan glikogen yang lebih rendah sehingga tidak dapat memobilisasi glukosa secepat bayi aterm normal selama periode segera setelah lahir dan bayi prematur memiliki respons hormon dan enzim yang imatur, dan hiperbilirubin disebabkan oleh faktor kematangan hepar, hingga konjugasi bilirubin indirek menjadi direk belum sempurna. Ikterus dapat diperberat oleh polisetemia, memar hemolisias dan infeksi karena hiperbilirubin dapat menyebabkan kernikterus maka warna kulit bayi harus sering

Sedangkan pada bayi BBLR cukup bulan lebih rentan mengalami hipoglikemia karena cadangan glikogen telah ada pada awal trimester ketiga dan, akibat perubahan transpor nutrien melalui plasenta selama masa ini, bayi yang tumbuh secara asimetris mengalami penurunan cadangan glikogen pada hati dan otot skeletal. Otak bayi yang lebih besar proporsinya daripada masa tubuh dan kecendrungan terhadap polisitemia meningkatkan kebutuhan energi dan karena otak dan sel darah merah adalah pengguna glukosa obligatorik, faktor ini dapat meningkatkan kebutuhan glukosa. Dan bayi BBLR cukup bulan dapat mengalami

hiperbilirubinemia disebabkan gangguan pertumbuhan hepar. 8 Menurut penelitian yang dilakukan oleh Tutiek Herlina, dkk di

RSUD Dr. Harjono Ponorogo pada tahun 2012 tentang Hubungan Antara Berat Bayi Lahir dengan Kadar Bilirubin Bayi Baru Lahir, menyatakan bahwa dari 88 berat bayi lahir tidak normal, 72 bayi (81,8%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal, dan 16 bayi (18,2%) mempunyai kadar bilirubin normal, sedangkan dari 47 berat bayi normal, 40 bayi (85,1%) mempunyai kadar bilirubin normal, dan 7 bayi (14,9%) mempunyai kadar bilirubin tidak normal sehingga dapat disimpulkan bahwa berat bayi lahir berhubungan dengan kadar bilirubin. Menurut penelitian Hany Aly, MD; dkk yang dilakukan di NICU the George Wash-ington University Hospital pada tahun januari 2001 sampai desember 2003 tentang infeksi aliran darah dapat dicegah pada bayi prematur. Menyatakan bahwa insiden terjadinya infeksi pada bayi berat badan lahir rendah yaitu 25,4 % dan pada bayi berat badan lahir sangat rendah yaitu 46,7% pada tahun 2001. Dan angka kejadian infeksi nosokomial menjadi menurun pada tahun

2003 menjadi 2,2% pada bayi berat lahir rendah dan 5,6% pada bayi berat badan lahir sangat rendah karena menerapkan sistem pengobatan yang tertutup dan steril. Dan penelitian yang dilakukan oleh Abdelwaheb Mejri, dkk pada tahun 2010 tentang Hipoglykemi pada bayi baru lahir cukup bulan dengan berat badan dibawah persentil 10, menyatakan bahwa pada bayi yang berat lahir normal (2500 – 2900 gram) insiden terjadinya hipoglikemia adalah 22% dari 85 kasus dan pada bayi BBLR (< 2500 gram) akan mengalami hipoglikemia yaitu 28% dari 102 kasus. Sehingga dapat disimpulkan bawah tidak ada perbedaan signifikan dalam kejadian hipoglikemia antara bayi berat lahir normal dengan bayi BBLR. 9,

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas peneliti ingin mempelajari “Apakah ada hubungan antara Bayi Berat Lahir Rendah dengan kejadian Ikterus, hipoglikemia dan infeksi di RSUP NTB tahun 2012 ? ”

C. Tujuan

1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan antara Bayi Berat Lahir Rendah dengan kejadian Ikterus, hipoglikemia dan infeksi neonatorum di RSUP NTB tahun 2012.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi kejadian Bayi Berat Badan Lahir Rendah di RSUP NTB tahun 2012

b. Mengidentifikasi kejadian Ikterus pada berat badan lahir rendah di RSUP NTB tahun 2012 b. Mengidentifikasi kejadian Ikterus pada berat badan lahir rendah di RSUP NTB tahun 2012

d. Mengidentifikasi kejadian infeksi neonatorum pada berat badan lahir rendah di RSUP NTB tahun 2012

e. Menganalisis hubungan antara Berat Badan Lahir Rendah dengan kejadian Ikterus di RSUP NTB tahun 2012

f. Menganalisis hubungan antara Berat Badan Lahir Rendah dengan kejadian hipoglikemi di RSUP NTB tahun 2012

g. Menganalisis hubungan antara Berat Badan Lahir Rendah dengan kejadian infeksi neonatorum di RSUP NTB tahun 2012

h. Menganalisis pengaruh antara bayi berat badan lahir rendah dengan kejadian ikterus di RSUP NTB tahun 2012

i. Menganalisis pengaruh antara bayi berat badan lahir rendah dengan kejadian hipoglikemi di RSUP NTB tahun 2012 j. Menganalisis pengaruh antara bayi berat badan lahir rendah dengan kejadian infeksi neonatorum di RSUP NTB tahun 2012

D. Manfaat Penelitian

1. Untuk Peneliti

Dapat menambah dan meningkatkan pengetahuan, khasanah ilmu dan pengalaman peneliti sehingga dapat diaplikasikan dalam bidang pendidikan kesehatan khususnya yang berkaitan antara BBLR, ikterus, hipoglikemi dan infeksi pada neonatus.

2. Untuk Masyarakat

Membuka wawasan ibu pada khususnya dan masyarakat pada umumnya tentang pentingnya menjaga kesehatan pada saat hamil dan melakukan pemeriksaan ANC secara rutin untuk mencegah komplikasi.

3. Untuk Institusi Pendidikan

Sebagai bahan referensi dan pengembangan ilmu pengetahuan bagi mahasiswa kebidanan

4. Untuk Rumah Sakit Umum Provinsi NTB

Sebagai bahan masukan dalam suatu kebijakan untuk mengatasi dan menurunkan angka kejadian kematian bayi yang disebabkan oleh BBLR, ikterus, hipoglikemi dan infeksi neonatorum.

5. Untuk Peneliti Lain

Dapat disempurnakan untuk penelitian selanjutnya guna menambah pengetahuan dan pengalaman dalam riset kebidanan yang hubungannya dengan kesehatan khususnya yang berkaitan antara BBLR, ikterus, hipoglikemi dan infeksi pada neonatus

E. Keaslian Penelitian

Tabel 1.1. Keaslian Penelitian

Peneliti Judul

Hasil Penelitian Penelitian

Metode penelititan

Ita Dwi Hubungan Desain yang digunakan Dari hasil penelitian Agustinin Anatara Bayi bersifat analitik dengan didapatkan bahwa dari gsih

Berat

21 responden sebagian Rendah

Lahir penelitian cross sectional.

besar (71,43%) bayi dengan

Populasi

penelitian

adalah seluruh bayi berat berat lahir rendah dan Kejadian

lahir rendah, di RSUD Ibnu sebagian besar Ikterus

Sina Gresik sebanyak 22 (66,67%) mengalami Neonatorum di bayi.

sampel ikterus neonatorum. RSUD

Dengan

IBNU sebanyak 21 bayi dengan Hasil uji Mann- Gresik.

teknik

simple

random Whitney dan

sampling.

didapatkan ρ = 0,008 dan α = 0,05, berarti ρ < α maka Hο ditolak yang

berarti ada hubungan antara bayi berat

lahir rendah dengan

kejadian ikterus neonatorum di RSUD

Ibnu Sina Gresik

Anna Hubungan

Hasil analisis bivariat Salehan antara

Penelitian ini merupakan

menunjukkan bahwa Badan

Berat penelitian observasional

antar variabel yang dengan

Lahir dengan desain

diteliti secara statistik Kejadian

crosssectional.Sebagai

menunjukkan tidak ada Infeksi (Diare bayi dengan

kelompok kasus adalah

hubungan yang &

Infeksi berat lahir rendah (<2500 bermakna.Dengan kata Saluran

gr) yang lahir di RSUP lain bahwa secara Persafasan

Semarang statistik kaitan antara Akut)

Kariadi

Pada danberusia 1-12 bulan saat berat lahir dengan jenis Bayi Usia 1-12 penelitian

dilakukan. infeksi(Diare,nilai Bulan di RSUP Sedangkan

kelompok p:0,749;ISPA nilai Kariadi

bukankasus adalah bayi p:0,342) durasi Semarang

dengan berat lahir nomal sakit(Diare:nilai 2001

(>2500 gr) yang lahir di p:0,723;ISPA,nilai RSUP

SMG p:1,000) dan episode dandiambil secar purposive sakit

Kariadi

(diare,nilai

dengan

matching

jenis p:0,548;ISPA;nilai

kelamin

dan

bulan p:0,376) pada bayi usia

kelahiran.Besar

sampel 1-12 bulan tidak ada adalah total populasi kasus hubungan

yang yang ditemukanyaitu 20 signifikan.Hal

ini bayi lahir hidup, bukan disebabkan

banyak kembar dan tinggal di faktor

pengganggu

kota (konsumsi,bayi,pengeta Semarang.Dalam hal ini huan kesehatan dan satu

wilayah

yang gizi ibu ,sosek dan menggunakan satu yang lingkungan) yang tidak bukan

kasus

sehingga dianalisis sehingga jumlah sampel bukan kasus hasil

kasus

penelitian

sama dengan jumlah

menunjukkann tidak

kasus.Analisis daqta

ada hubungan yang dilakukandengan uji statistik signifikan secara X2(Chi

statistik.

Square)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Berat Bayi Lahir Rendah

1. Definisi

BBLR telah didefinisikan oleh WHO sebagai bayi lahir dengan berat kurang dari 2500 gram. 16

Dalam kebidanan digolongkan menjadi 2 (dua) yaitu BBLR dengan masa gestasi < 37 minggu (premature), dan BBLR dengan masa gestasi ≥ 37 minggu (dismatur). BBLR dapat merupakan akibat masa kehamilan kurang dari 37minggu dengan berat yang sesuai, bayi yang beratnya kurang dari berat yang semestinya menurut masa kehamilan kecil masa kehamilan (KMK), atau karena kombinasi

keduanya. 15 Berkaitan dengan penanganan dan harapan hidupnya, bayi berat lahir

rendah dibedakan menjadi:

a. Bayi berat bayi lahir rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir (BBL) dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram.

b. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) / Very Low Birth Weight Infant adalah BBL dengan berat lahir kurang dari 1500 gram sampai 1000 gram.

c. Bayi berat lahir amat sangat rendah / BBLASR / Very Very Low Birth Weiqht infant / extremely low birth weight infant adalah BBL dengan berat lahir kurang dari 1000 gram.

Pembagian BBLR berdasarkan penyesuaian umur kehamilan:.

a. Bayi kurang bulan (BKB) adalah BBL dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu (<259 hari).

b. Bayi imatura dalah BBL dengan usia kehamilan < 28 minggu

c. Bayi Cukup Bulan (BCB)BBL dengan usia kehamilan 37-42 minggu

d. Bayi Lebih Bulan (BLB)BBL dengan usia kehamilan > 42 minggu

2. Pengelompokan Berdasarkan BBL dan Usia Kehamilan

BBLR berdasarkan berat lahir dan umur kehamilan dapat dikelompokkan menjadi:

a. BBLR, BCB, SMKberat bayi lahir rendah, bayi cukup bulan, sesuai masa kehamilan

b. BBLR, BKB, KMK berat bayi lahir rendah, bayi kurang bulan, kecil masa kehamilan

c. BBLR, BKB, BMK berat bayi lahir rendah, bayi kurang bulan, besar masa kehamilan

d. BBLR, BCB, KMKB berat bayi lahir rendah, bayi cukup bulan, kecill masa kehamilan

e. BBLR, BLB, KMK berat bayi lahir rendah, bayi lebih bulan, kecil masa kehamilan.

3. Etiologi

Faktor faktor penyebab terjadinya BBLR dengan BKB yaitu :

a. Status sosial ekonomi yang rendah, diukur berdasarkan pendapatan keluarga, tingkat pendidikan, tempat tinggal, status sosial dan pekerjaan / jabatan.

b. Ras (kulit hitam). Dan data penelitian menunjukkan angka kelahiran prematur lebih dua kali lipat dan pada ibu-ibu kulit putih yang merupakan seperti dan seluruh BKB b. Ras (kulit hitam). Dan data penelitian menunjukkan angka kelahiran prematur lebih dua kali lipat dan pada ibu-ibu kulit putih yang merupakan seperti dan seluruh BKB

d. Aktifitas ibu. Adanya stres fisik yang lama mungkin berhubungan dengan gangguan pertumbuhan intra uterin dan prematuritas. Tetapi kondisi ini tidak bermakna pada ibu-ibu dan kelompok sosial ekonomi lebih tinggi dimana perawatan kesehatannya termasuk baik.

e. Ibu menderita penyakit akut/kronis (DM, thyroid, ginjal, jantung, paru-paru, PEB/PE, otoimun, trombositopenia, akan melahirkan lebih dini.

f. Kehamilan multipel, sekitar setengah dari semua kasus akan melahirkan BKB. Dibandingkan kelahiran singletons, pada kelahiran multipel, kematian perinatal / neonatalnya lebih tinggi, terutama yang disebabkan prematuritas.

g. Kehamilan sebelumnya jelek. Jika kelahiran pertama prematur merupakan prediksi terbaik bahwa kelahiran ke 2 adalah prematur.

h. Faktor-faktor kebidanan. Sebagai kontribusi kelahiran prematur dari faktor obstetrik adalah malfomasi uterus trauma uterus, plasenta previa, solutio plasenta, servix inkompetent, ibu-ibu yang terpapar diethyistilbestrol, ketuban pecah sebelum waktu / dini dan amnionitis

i. Faktor janin seperti erythroblastosis fetalis, gawat janin ataupun IUGR. j. Kelahiran dini oleh sebab lain misalnya kesalahan menentukan usia kehamilan. Faktor faktor penyebab terjadinya BBLR dengan KMK yaitu :

1. Faktor ibu.

a. Genetik

b. Usia

c. Ras

d. Diluar pernikahan

e. Ketinggian (> 1500 cm)

f. Sebelumnya BBLR

g. Penyakit kronis

h. Faktor yang rnempengaruhi dan oksigenasi plasenta. penyakit jantung

i. Penyakit ginjal j. Hipertensi / HDK / REB k. Merokok l. Kelainan eritrosit (sickle cell anemia / hemoglobinopathie) m. Penyakit paru-paru n. Penyakit collagen vaskuler DM (clas D,E,F,R) o. Lebih bulan p. Kehamilan multipel q. Anomali rahim r. Penyakit vaskuler ibu s. Antibodi anti fosfolipid

2. Lesi plasenta

a. Sekunder terhadap penyakit

b. Kembar

c. Malformasi

d. Tumor

3. Faktor janin

a. Konstitusi, normal ukuran bayi kecil genetik

b. Chromosom abnormal

c. Infeksi kongenital (TORCH)

d. Rubela 60% bayi KMK

e. CMV : 40% bayi KMK

f. Malformasi

g. Kembar

4. Karakteristik/pemeriksaan Fisik

a. Berat kurang dari 2500 gram

b. Panjang kurang dari 45 cm

c. Lingkar dada kurang dari 30 cm.

d. Lingkar kepala kurang dari 33cm.

e. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu

f. Kepala relatif lebih besar

g. Kulit tipis transparan, rambut lanugo banyak,lemak kulit kurang.

h. Otot hipotonik lemah.

i. Pernafasan tidak teratur dapat terjadi apnu atau gagal nafas. j. Ekstrimitas,: paha abduksi, sendi lutut atau kaki fleksi-lurus. k. Kepala mampu tegak. l. Pernafasan sekitar 45 sampai 50 kali per menit. m. Frekuwensi nadi 100-140 kali per menit.

5. Patofisiologi Terjadinya BBLR

BBLR merupakan keadaan dimana bayi baru lahir mengalami berat badan kurang dari normal. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu dari ibu dan janin sendiri seorang ibu yang memiliki BBLR merupakan keadaan dimana bayi baru lahir mengalami berat badan kurang dari normal. Hal ini dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu dari ibu dan janin sendiri seorang ibu yang memiliki

Faktor janin sangat mempengaruhi kemugkinan berat badan lahir bayi dimana jika ada gangguan pada fungsi plasenta, liquor amni, tali pusat dan fungsi organ tubuh janin akan mengakibatkan penerimaan terhadap kebutuhan yang diperoleh dari ibu tidak optimal sehingga mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan organ menjadi terhambat yang akan mengakibatkan bayi lahir dengan berat badan rendah. selain itu juga bayi-bayi yang lahir pada usia kehamilan preterm juga akan lahir dengan berat badan rendah.

6. Komplikasi BBLR

Komplikasi lansung yang terjadi pada bayi berat lahir rendah antara lain: Hypotermia, hypoglikemia, gangguan cairan dan elektrolit, hyperbilirubinemia (ikterus), sindrom gawat nafas, paten duktus arteriosus, infeksi, perdarahan intravaskuler, Apnea of prematury,

anemia . 11

7. Diagnosa BBLR

Diagnosa BBLR dengan menentukan usia kehamilan berdasarkan

a. Perhitungan HPHT (hari pertama haid terakhir).

Untuk perhitungan HPHT harus ingat betul tanggal dari pertama menstruasi misalnya HPHTnya 1-4-2000, maka hari persangkaan lahirnya dapat dihitung dengan rumus

HPHS : 1-04-2000 +7-3+1HPLB: 8-01-2001

b. Maturitas fisik dan neurologis bayi paska natal dengan skor Dubowitz, Ballard maupun simplifed Dubowitz.

Baik berdasarkan HPHT maupun skor Dubowitz dan modifikasinya. jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu (< 259 hari) disebut bayi kurang bulan (BKB).Diagnosis BBLR, apabila BL (berat lahir) < 2500 gram / 2499 gram).

8. Upaya Pencegahan

a. Melakukan ANC yang baik

b. Meningkatkan gizi masyarakat

c. Tingkat penerimaan gerakan KB

d. Anjurkan ibu untuk lebih banyak istirahat, bila kehamilan mendekati aterm atau istirahat baring bila terjadi keadaan yang menyimpang peraturan normal kehamilan.

e. Tingkat kerjasama dengan dukun beranak yang masih mendapat kepercayaan masyarakat.

B. Ikterus Neonatorum

1. Definisi

Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan

a. Ikterus Fisiologis Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus “fisiologis” dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.

Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10.

Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium.

IkterusFisiologis memiliki karakteristik sebagai berikut:

1) Timbul pada hari kedua – ketiga

2) Terjadi selama 4-5 hari pada bayi normal dan 7 hari pada bayi prematur

3) Kadar bilirubin indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan

4) Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg % perhari

5) Kadar bilirubin direk kurang dari 1 mg %

6) Ikterushilang pada 10 hari pertama

7) Tidak terdeteksi secara klinis setelah 14 hari. Atau dengan kata lain tidak ditemukan dasar patologis.

b. Ikterus Patologis Ikterus patologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus. Ikterus patologis dalam 24 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. Jadi, ikterus neonatorum dini biasanya disebabkan oleh penyakit hemolitik.

1) Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik:

2) Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan

3) Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam

4) Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)

5) Ikterus yang disertai oleh:

6) Berat lahir <2000 gram

7) Masa gestasi 36 minggu

8) Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)

9) Infeksi

10) Trauma lahir pada kepala

11) Hipoglikemia, hiperkarbia

12) Hiperosmolaritas darah

13) Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada NKB).

c. Kernicterus Bahaya hiperbilirubinemia adalah kernikterus, yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, talamus, nukleus subtalamus hipokampus, nukleus merah dan nukleus di dasar ventrikel IV.Secara klinis pada awalnya tidak jelas, dapat berupa mata berputar, letargi, kejang, tak mau menghisap, malas minum, tonus otot meningkat, leher kaku, dan opistotonus.Bila berlanjut dapat terjadi spasme otot, opistotonus, kejang, atetosis yang disertai ketegangan otot.Dapat ditemukan ketulian pada nada tinggi, gangguan bicara dan retardasi mental.

2. Metabolisme Bilirubin

Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :

a. Produksi Sebagian besar bilirubin terbentuk sebagai akibat degradasi

retikuloendotelial (RES).Tingkat penghancuran hemoglobin ini pada neonatus lebih tinggi dari pada bayi yang lebih tua.Satu gram hemoglobin dapat menghasilkan 35 mg bilirubin indirek. Bilirubin indirek yaitu bilirubin yang bereaksi tidak langsung dengan zat warna diazo (reaksi hymans van den bergh), yang bersifat tidak larut dalam air tetapi larut dalam lemak.

b. Transportasi Bilirubin indirek kemudian diikat oleh albumin sel parenkim hepar mempunyai cara yang selektif dan efektif mengambil bilirubin dari plasma. Bilirubin ditransfer melalui membran sel ke dalam hepatosit sedangkan albumin tidak. Didalam sel, bilirubin akan terikat terutama pada ligandin, glutation S-transferase B) dan sebagian kecil pada(protein glutation S-transferase lain dan protein Z. Proses ini merupakan proses dua arah, tergantung dari konsentrasi dan afinitas albumin dalam plasma dan ligandin dalam hepatosit. Sebagian besar bilirubin yang masuk hepatosit di konjugasi dan di ekskresi ke dalam empedu.

c. Konjugasi Dalam sel hepar bilirubin kemudian dikonjugasi menjadi bilirubin diglukosonide.Walaupun ada sebagian kecil dalam bentuk monoglukoronide.Glukoronil

merubah bentuk monoglukoronide menjadi diglukoronide. Pertama-tama yaitu

transferase transferase

Sintesis dan ekskresi diglokoronode terjadi di membran kanilikulus.Isomer bilirubin yang dapat membentuk ikatan hidrogen seperti bilirubin natural IX dapat diekskresikan langsung kedalam empedu tanpa konjugasi.Misalnya isomer yang terjadi sesudah terapi sinar (isomer foto).

d. Ekskresi Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus.Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi.Siklus ini disebut siklus enterohepatis.Pada neonatus karena aktivitas enzim B glukoronidase yang meningkat, bilirubin direk banyak yang tidak dirubah menjadi urobilin. Jumlah bilirubin yang terhidrolisa menjadi bilirubin indirek meningkat dan tereabsorpsi sehingga siklus enterohepatis pun meningkat.

e. Metabolisme bilirubin pada janin dan neonates Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi.Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya.Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%.Hal ini menunjukkan

bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus.Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.

Gambar 2.1 Metabolisme Bilirubin

3. Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :

a. Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar.

c. Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar.Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole.Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

d. Gangguan dalam ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar.Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu. Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm, yang menyusu, memperlihatkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang cukup berarti antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai konsentrasi maksimal sebesar 10-27 mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka terus disusui, hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan menurun dan kemudian akan menetap selama 3-10 minggu dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar bilirubin serum akan menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari. Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan cepat, setelah itu mereka dapat menyusu kembali, tanpa disertai timbulnya kembali hiperbilirubinemia dengan kadar tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain dan kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu mengandung 5 -diol dan asam lemak rantai panjang,, 2-pregnan-3  tak-teresterifikasi, yang secara kompetitif menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase, pada kira-kira 70% bayi yang disusuinya. Pada ibu lainnya, susu yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan dari hubungan yang sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia tak-terkonjugasi, yang diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu pada ibu.

4. Patofisiologi

Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan.Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik.

Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik.

Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak.Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak.Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari

20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung

5. Manifestasi Klinis

Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). Caranya dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat- tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.

Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:

1) Dehidrasi

2) Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah- muntah)

3) Pucat

4) Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.

5) Trauma lahir

6) Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.

7) Pletorik (penumpukan darah)

8) Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK

9) Letargik dan gejala sepsis lainnya

10) Petekiae (bintik merah di kulit)

11) Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis

12) Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)

13) Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati

14) Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)

15) Omfalitis (peradangan umbilikus)

16) Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)

17) Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)

18) Feses dempul disertai urin warna coklat

19) Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi. 3

Penentuan kadar bilirubin secara nonlab bisa dilakukan dengan cara Kramer sesuai gambar dan tabel berikut : 4

Gambar 2.2. Pembagian ikterus menurut Kramer 4

Tabel 2.1. Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah ikterus menurut Kramer

Daerah Penjelasan Kadar bilirubin ikterus

(mg/dL) Prematur

Aterm

1 Kepala dan leher 4–8 4–8

2 Dada sampai pusat

3 Pusat bagian bawah sampai lutut

4 Lutut sampai pergelangan kaki dan

11 – 18 bahu sampai pergelangan tangan

5 Kaki dan tangan termasuk telapak kaki > 10 > 15 dan telapak tangan

6. Diagnosis

a. Anamnesis

Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubinemia pada bayi.Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya.Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan

diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.

b. Pemeriksaan Fisik

Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat.Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian.Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut. WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:

1) Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa 1) Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa

2) Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.

3) Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.

Tabel 2.2.Klasifikasi Ikterus

Tanya dan Lihat

Tanda / Gejala

Klasifikasi

Mulai kapan ikterus?

Ikterus segera setelah lahir

Ikterus patologis Bayinya kurang bulan?

Daerah mana yang ikterus?

Ikterus pada 2 hari pertama

Ikterus pada usia > 14 hari

Warna tinja?

Ikterus lutut/ siku/ lebih Bayi kurang bulan Tinja pucat Bilirubin total > 15 mg/dL Ikterus usia 3-13 hari

Ikterus fisiologis

Tanda patologis (-) Bilirubin total 13 – 15 mg/dL Tidak ikterus

Normal

Bilirubin total 1 – 12 mg/dL

(Dikutip dari Depkes RI. Klasifikasi Ikterus Fisiologis dan Ikterus Patologis. Dalam : Buku Bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode Tepat Guna untuk Paramedis, Bidan dan Dokter. Depkes RI, 2001)

Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa hari kemudian.Ikterus yang tampak pun sangat tergantung kepada penyebab ikterus itu sendiri.Pada

bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit terlihat agak kehijauan.Perbedaan ini dapat terlihat pada penderita ikterus berat, tetapi hal ini kadang-kadang sulit dipastikan secara klinis karena sangat dipengaruhi warna kulit. Penilaian akan lebih sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar. Selain kuning, penderita sering hanya memperlihatkan gejala minimal misalnya tampak lemah dan nafsu minum berkurang. Keadaan lain yang mungkin menyertai ikterus adalah anemia, petekie, pembesaran lien dan hepar, perdarahan tertutup, gangguan nafas, gangguan sirkulasi, atau gangguan syaraf. Keadaan tadi biasanya ditemukan pada ikterus berat atau hiperbilirubinemia berat.

c. Pendekatan Menentukan Kemungkinan Penyebab

Menetapkan penyebab ikterus tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal, sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya. Pendekatan yang dapat memenuhi kebutuhan itu yaitu menggunakan saat timbulnya ikterus seperti yang dikemukakan oleh Harper dan Yoon 1974, yaitu :

1) Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama

Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut :

a) Inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.

b) Infeksi intrauterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang-kadang bakteri).

c) Kadang-kadang oleh defisiensi G-6-PD. Pemeriksaan yang perlu diperhatikan yaitu :

a) Kadar bilirubin serum berkala

b) Darah tepi lengkap

c) Golongan darah ibu dan bayi

d) Uji coombs

e) Pemeriksaan penyaring defisiensi enzim G-6-PD, biakan darah atau biopsi hepar bila perlu.

2) Ikterus yang timbul 24- 72 jam sesudah lahir

a) Biasanya ikterus fisiologis

b) Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam.

c) Defisiensi enzim G-6-PD juga mungkin

d) Polisitemia

e) Hemolisis

tertutup (perdarahan subaponeurosis, perdarahan hepar subkapsuler dan lain- lain).

perdarahan

f) Hipoksia.

g) Sferositosis, eliptositosis dan lain-lain.

h) Dehidrasi asidosis.

i) Defisiensi enzim eritrosit lainnya.

Pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah bila keadaan bayi baik dan peningkatan ikterus tidak cepat, dapat dilakukan pemeriksaan daerah tepi, pemeriksaan kadar bilirubin berkala, pemeriksaan penyaring enzim G-6-PD dan pemeriksaan lainnya bila perlu.

3) Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama

a) Biasanya karena infeksi (sepsis).

b) Dehidrasi asidosis.

c) Difisiensi enzim G-6-PD.

d) Pengaruh obat.

e) Sindrom Criggler-Najjar.

f) Sindrom Gilbert.

4) Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya

a) Biasanya karena obstruksi.

b) Hipotiroidisme.

c) “breast milk jaundice”

d) Infeksi.

e) Neonatal hepatitis.

f) Galaktosemia.

g) Lain-lain. Pemeriksaan yang perlu dilakukan :

a) Pemeriksaan bilirubin (direk dan indirek) berkala.

b) Pemeriksaan darah tepi.

c) Pemeriksaan penyaring G-6-PD.

d) Biakan darah, biopsi hepar bila ada indikasi.

e) Pemeriksaan lainnya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab.

7. Penatalaksanaan

Strategi mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia meliputi; pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi dan transfusi tukar.

Strategi pencegahan hiperbirubinemia

1) Pencegahan primer

a) Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali per hari untuk beberapa hari pertama.

b) Tidak memberikan

tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

cairan

2) Pencegahan sekunder

a) Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringanserum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa.

i. Jika golongan darah ibu tidak diketahui atau Rh negatif, di lakukan pemeriksaan antibodi direk (tes coombs), golongan darah dan tipe Rh darah tali pusat bayi.

ii. Jika golongan darah ibu O, Rh positif, terdapat pilihan untuk dilakukan tes golongan darah dan tes coombs pada darah tali pusat bayi, tetapi hal itu tidak diperlukan jikan dilakukan pengawasan, penilaian terhadap resiko sebelum keluar RS dan tindak lanjut yang memadai.

b) Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8-12 jam.

3) Evaluasi laboratorium

a) Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan pada setiap bayi

yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir.

b) Pengukuran kadar bilirubin harus dilakukan jika tampak ikterus yang berlebihan.

c) Semua kadar bilirubin harus diintrepretasikan sesuai dengan umur bayi dalam jam.

4) Penyebab kuning

a) Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugas

i harus dilakukan analisis dan kultur urin

b) Bayi sakit dan ikterus pada umur atau lebih dari 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk untuk mengidentifikasi adanya kolestatis.

c) Jika kadar

meningkat, dilakukan evaluasi tambahan mencari penyebab kolestatis.

bilirubin

direk

d) Pemeriksaan kadar G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon fototerapi buruk.

5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan Setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat.

6) Pengelolaan bayi dengan ikterus yang mendapat ASI

a) Observasi semua fese awal bayi, pertimbangkan untuk meran

gsang pengeluaran jika feses keluar dalam waktu 24 jam

b) Segera mulai menyusui

sesering mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi yang jarang walaupun total waktu yang diberikan sama.

dan

beri

c) Tidak dianjurkan pemberian air, dektrosa, atau formula pengganti.

d) Observasi berat badan, BAK, dan BAB yang berhubungan de ngan pola menyusui

e) Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dL, tingkatkan pemberia n minum, rangsang pengeluaran atau produksi ASI dengan cara memompa, dan menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP.

f) Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat diatas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.

a. Mengatasi hiperbilirubinemia (farmakologi)

Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai ‘enzyme inducer’ sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan Mempercepat proses konjugasi, misalnya dengan pemberian fenobarbital. Obat ini bekerja sebagai ‘enzyme inducer’ sehingga konjugasi dapat dipercepat. Pengobatan

Memberikan substrat yang kurang untuk transportasi atau konjugasi.Contohnya yaitu pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas.Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 ml/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum tranfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan tranfusi tukar. Pemberian glukosa perlu untuk konjugasi hepar sebagai sumber energi.

Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi. Walaupun fototerapi dapat menurunkan kadar bilirubin dengan cepat, cara ini tidak dapat menggantikan tranfusi tukar pada proses hemolisis berat. Fototerapi dapat digunakan untuk pra dan pasca-tranfusi tukar.

b. Fototerapi