BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA A. Dasar Hukum dan Perkembangan - Tinjauan Yuridis Mengenai Kebijakan Daftar Negatif Investasi Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia.

  BAB III KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA A. Dasar Hukum dan Perkembangan 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) Adapun dasar hukum dari kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) di Indonesia, antara lain: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3502); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir

  dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran

  Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);

5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran

  Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); 6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

  Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (Lembaran

  Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3718); 8. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan

  Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal; 9. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal;

  10. Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal; 11. Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan

  Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

2. Perkembangan Daftar Negatif Investasi (DNI)

  Sebelum memutuskan untuk melakukan investasi atau penanaman modal di suatu negara, biasanya para investor akan memperhatikan beberapa hal guna meminimalisasi resiko dalam berinvestasi. Salah satunya adalah melalui transparansi, yaitu kejelasan mengenai peraturan perundang-undangan, prosedur administrasi yang berlaku serta kebijakan investasi di negara penerima modal (host country). Tujuan transparansi atau keterbukaan adalah membuka ketertutupan informasi, agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Ketidakpastian dapat

  129 mengakibatkan investor sulit untuk mengambil keputusan untuk berinvestasi.

  Sebagai wujud pelaksanaan prinsip keterbukaan (transparansi) yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007, pemerintah telah mengeluarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang ditetapkan pada tanggal 25 Mei 2010. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 menggantikan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 yang telah dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak berlakunya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 ini.

  129 Bismar Nasution, “Prinsip Keterbukaan, Pengelolaan Perusahaan yang Baik dan Persyaratan Hukum di Pasar Modal”, (Februari 10, 2008), dapat diakses di http://www.Bismar

  Nasty/Wordpress.com.

  Daftar Negatif Investasi (DNI) yang ada sekarang dahulu disebut Daftar Skala Prioritas (DSP), Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan hasil perubahan Daftar Skala Prioritas (DSP) yang dilakukan dalam rangka penyederhanaan.

  130

  Daftar Skala Prioritas Bidang-bidang Usaha Penanaman Modal, terdiri dari:

    a.

  Daftar Skala Prioritas Bidang Usaha Penanaman Modal Asing; b.

  Daftar Skala Prioritas Bidang Usaha Penanaman Modal Dalam Negeri; c. Daftar Bidang Usaha di luar Undang-undang Penanaman Modal Asing dan

  Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri; d. Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup.

  Pada tahun 1998, Daftar Negatif Investasi (DNI) diatur dalam Keppres Nomor

  96 Tahun 1998 dan Keppres Nomor 99 Tahun 1998, kemudian kedua peraturan tersebut diubah dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2000, Keppres Nomor 96 Tahun 2000 kemudian diubah lagi dengan Keppres Nomor 118 Tahun 2000. Dan pada tahun 2007 Daftar Negatif Investasi (DNI) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanamaan Modal (Perpres No. 77 Tahun 2007) dan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang Perubahan Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan (Perpres No. 111 Tahun 2007). Dan pada saat ini Daftar Negatif Investasi (DNI) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010. 130

Pasal 1 ayat (1), Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1987 tentang Daftar Skala Proritas Bidang-Bidang Usaha Penanaman Modal.

  Berkaitan dengan pengaturan Daftar Negatif Investasi (DNI), pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan pengaturan mengenai kriteria dan persyaratan bidang usaha yakni Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (Perpres Nomor 76 Tahun 2007).

B. Tujuan Daftar Negatif Investasi di Indonesia

  Adapun tujuan dari ketentuan Daftar Negatif Investasi, dapat dilihat dalam

  Pasal 3 Perpres Nomor 76 Tahun 2007: 1. meletakkan landasan hukum yang pasti bagi penyusunan peraturan yang terkait dengan penanaman modal;

  2. menjamin transparansi dalam proses penyusunan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;

  3. memberikan pedoman dalam menyusun dan menetapkan bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;

  4. memberikan pedoman dalam melakukan pengkajian ulang atas daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyratan;

  5. memberikan pedoman apabila terjadi perbedaan penafsiran atas daftar bidang

  131 usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.

C. Bentuk-Bentuk Persyaratan dalam Daftar Negatif Investasi

  Dalam Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 disebutkan mengenai persyaratan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Adapun bidang

  132

  usaha yang terbuka dengan persyaratan terdiri dari: 1.

  Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan dan pengembangan terhadap UMKMK.

  2. Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan.

  3. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan kepemilikan modal.

  4. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi tertentu.

  5. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan perizinan khusus. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan dan pengembangan terhadap UMKMK hanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan

  133 kewajaran dan kelayakan ekonomi untuk melindungi UMKMK.

  Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan merupakan usaha yang dilakukan dalam bentuk kerjasama antara UMKMK dengan usaha besar disertai 131

  Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. 132 Pasal 12, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. 133 Salim H.S. dan Budi Sutrisno., op. cit., hal. 44. pembinaan dan pengembangan oleh usaha besar dengan memerhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Bidang usaha yang terbuka dengan kemitraan dapat dilakukan dengan pola: 1. inti plasma; 2. sub kontraktor; 3. dagang umum; 4. keagenan; dan

  134 5.

  bentuk lainnya. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan kepemilikan modal adalah berkaitan dengan memberikan batasan kepemilikan modal bagi penanam modal asing. Sebagai contoh, misalnya investor asing yang ingin menanamkan modalnya di bidang jasa pengeboran minyak dan gas bumi di lepas pantai di luar kawasan Indonesia bagian timur, maka modal yang harus disiapkan oleh mereka adalah maksimum 95%, sementara investasi sebesar 5% diberikan kesempatan kepada investor domestik

  135 untuk menanamkan investasinya di bidang tersebut.

  Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi tertentu adalah bidang usaha yang diperkenankan untuk ditanamkan pada suatu lokasi atau tempat- tempat tertentu. Ini erat kaitannya pembatasan wilayah administratif untuk penanaman modal. Misalnya, investor asing yang ingin menanamkan modalnya pada

  134 135 Ibid ., hal. 44-45.

  Ibid ., hal. 45. jasa pelayanan penunjang kesehatan (penyewaan peralatan medik), maka jasa

  136 pelayanan tersebut hanya dapat dilakukan di Ibukota Propinsi di Indonesia.

  Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan perizinan khusus dapat berupa rekomendasi dari instansi atau lembaga pemerintah atau non pemerintah yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap suatu bidang usaha termasuk merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang menetapkan monopoli atau harus bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam bidang usaha tersebut. Misalnya, investor asing ingin menanamkan modalnya di bidang pertambangan mineral radio aktif, maka kegiatan usaha itu harus mendapat

  137 rekomendasi dari BATAN dan bekerjasama dengan BATAN.

D. Penerapan Daftar Negatif Investasi di Bidang Pasar Modal Daftar Negatif Investasi (DNI) pernah diterapkan di bidang pasar modal.

  Salah satu contoh dari penerapan Daftar Negatif Investasi (DNI) di bidang pasar modal dapat dilihat pada terganjalnya niat Qatar Telekom (Qtel) untuk menambah kepemilikan sahamnya di PT. Indosat Tbk melalui pasar modal dengan melakukan proses penawaran tender sisa saham PT. Indosat Tbk yang berada di tangan publik.

  Dalam siaran pers yang dikutip detikINET, Senin (9/6/2008) Qtel mengumumkan telah membeli 40,8% saham Indosat melalui akuisisi Asia ikMobile

  136 137 Ibid .

  Ibid ., hal. 45-46. Holdings Pte. Ltd (AMH). Dalam struktur STT, AMH adalah pemilik Indonesia

  138 Communications Limited (ICL) yang tercatat sebagai pemegang saham Indosat.

  Pada tanggal 22 Juni 2008, Qatar Telekom (Qtel) secara tidak langsung mengambil alih 2,17 miliar saham seri B atau 40,81% saham PT. Indosat Tbk yang dikuasai Indonesia Communications Limited (ICLM) dan Indonesia Communication Pte Ltd (ICLS). Pengambilalihan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian jual beli (PJB) pada tanggal 6 Juni 2008 antara Qatar Telekom dan Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT). Qatar Telekom mengakuisisi saham PT. Indosat Tbk pada harga Rp. 7.388 per saham dengan total dana US$ 1,8 Miliiar (Rp. 16, 65 Triliun).

  Langkah Qtel untuk menguasai Indosat ternyata tidak hanya berhenti disitu saja. Qtel yang sebelumnya telah membeli 40,8% saham Indosat yang dimiliki Singapore Technology Telemedia (STT) berencana untuk menggelar tender offer untuk seluruh saham publik. Namun Qtel terganjal aturan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang mensyaratkan perusahaan telekomunikasi hanya boleh dimiliki asing

  139

  maksimal 49%. karena PT. Indosat Tbk memenuhi kriteria sektor usaha jaringan tetap berbasis kabel maupun berbasis radio, dengan teknologi circuit switched atau

  packet switched.

  Batasan maksimal asing ini termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang Daftar bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang

  138 Indosat Dijual ke Qatar, “http://www.detikinet.com/09/06/2008/indosat-dijual-ke-qatar, 8 Juni 2010. 139 Qatar Masih Ingin Kuasai Penuh indosat, “http://www.detiksport.com/13/10/2008/qatar- masih-ingin-kuasai-penuh-indosat, 7 Juni 2010. Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dalam bagian C tentang kepemilikan modal No. 44.

  Sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, terdapat ketentuan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap kepemilikan asing dalam hubungannya dengan saham asing di emiten pasar modal. Ketentuan tersebut yaitu:

  140 1.

  Ketentuan Terkait Langsung a.

  Pasal 12 ayat (1) huruf (c) Perpres Nomor 76 Tahun 2007 Jo. Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 77 Tahun 2007. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan yaitu bidang usaha yang tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK (Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi), bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Lebih lanjut, dalam ayat (4) Pasal 12 Perpres Nomor 76 Tahun 2007 disebutkan lagi bahwa bidang usaha sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf (c) memberikan batasan kepemilikan modal bagi penanam modal; b.

  Pasal 5 Perpres Nomor 111 Tahun 2007, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasl 2 Peraturan Presiden ini (yaitu mengenai bidang usaha yang 140 Jurnal Hukum dan Pasar Modal, Prof Erman Rajagukguk, Perpres DNI dan Dampaknya Terhadap Kepemilikan Asing Atas Saham Emiten, Agustus-Desember 2008, hal. 115-118. tertutup dan syarat bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan) tidak berlaku bagi penanam modal yang telah disetujui pada bidang usaha tertentu sebelum Peraturan Presiden ini ditetapkan, sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan, dan perubahannya apabila ada; c.

  Pasal 33 Undang-Undang Penanaman Modal. Penanam Modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain (ayat (1) ). Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.

2. Ketentuan Tidak Terkait Langsung a.

  Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Penanaman Modal. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penanaman modal di semua sektor wilayah Negara Republik Indonesia” adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.

  b.

  Pasal 2 ayat (3) Perpres Nomor 77 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa persyaratan mengenai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum

  Indonesia bagi penanam modal (khususnya penanaman modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia).

  Dari ketentuan yang tidak terkait langsung yaitu Pasal 2 beserta penjelasannya di Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Pasal 2 ayat (3) Perpres Nomor 77 Tahun 2007, pada hakikatnya Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak berlaku terhadap penguasaan asing atas saham-saham emiten di pasar modal. Alasannya saham-saham emiten bukan termasuk penanaman modal langsung akan tetapi bersifat tidak langsung. Pada akhirnya berkaitan dengan permasalahan diterapkannya Daftar Negatif Investasi di bidang pasar modal, Qatar Telekom (Qtel) sesuai dengan peraturan yang ada boleh saja membeli saham PT. Indosat Tbk melalui pasar modal. Karena Qatar Telekom (Qtel) tidak tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 serta Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang DNI sebagai peraturan pelaksananya, akan tetapi tunduk pada peraturan Pasar Modal mengingat metode yang dilakukan Qatar Telekom (Qtel) merupakan investasi portofolio atau investasi tidak langsung.

  Dan kini setelah lahirnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Pesyaratan Di Bidang Penanaman Modal, telah semakin jelas bahwa Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak berlaku bagi penanaman modal tidak langsung atau portofolio yang transaksinya dilakukan melalui pasar modal dalam negeri. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010.

BAB IV HUBUNGAN KETENTUAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DENGAN KESEPAKATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Prinsip-Prinsip Pokok Kesepakatan Perdagangan Internasional Dalam upaya negara-negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

  dewasa ini negara-negara cenderung membentuk blok-blok perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Lahirnya kecenderungan tersebut tidak terlepas dari kesadaran negara-negara bahwa kegiatan perdagangan merupakan salah satu instrumen pembangunan ekonomi suatu negara. Dengan kecenderungan seperti ini maka peran hukum perdagangan internasional pun semakin dibutuhkan adanya. Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional adalah Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General

  141 Agreement on Tariff and Trade atau GATT).

  Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tarrifs and Trade, 1947) yang termuat dalam

  142 Preambule- nya.

  Tujuan utama GATT dapat tampak dengan jelas pada preambule-nya. Pada

  143

  pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT: 1) meningkatkan taraf hidup umat manusia; 141

  Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 97. 142 143 Ibid ., hal. 21.

  Ibid ., hal. 98.

  2) meningkatkan kesempatan kerja; 3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan 4) meningkatkan produksi dan tukar-menukar barang. Di dalam usaha untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada

  144

  lima prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut: 1.

   Prinsip Most Favoured Nation Prinsip Most Favoured Nation (MFN) ini termuat dalam Pasal 1 GATT.

  Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.

  Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT. Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prinsip ini tampak dalam

  Pasal 4 perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPs) dan tercantum pula dalam Pasal 2 perjanjian mengenai jasa (GATS). Pendek kata, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Jadi, berdasarkan prinsip itu, suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan sama terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota 144 Ibid ., hal. 108-118. lain. Namun demikian, ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini khususnya dalam menyangkut kepentingan negara yang sedang berkembang.

  Pengecualian tersebut sebagian ada yang ditetapkan dalam pasal-pasal GATT itu sendiri dan sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan dalam konfrensi-konfrensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan prinsip-prinsip GATT berdasarkan Pasal XXV.

  2. Prinsip National Treatment

  Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan, pembelian pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif.

  3. Prinsip Larangan Retriksi (Pembatasan) Kuantitatif

  Ketentuan dasar GATT adalah larangan retriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar dalam GATT. Retriksi kuantitatif terhadap ekspor dan impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk impor atau ekspor), pada umumya dilarang (Pasal IX).

  Hal ini disebabkan karena praktik yang demikian mengganggu praktik perdagangan yang normal.

  4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif

  Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures). Perlindungan melalui tarif ini menunjukkan dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Sebagai kebijakan untuk mengatur masuknya barang ekspor dari luar negeri, pengenaan tarif ini masih diperbolehkan dalam GATT. Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan.

  Meskipun diperbolehkan, penggunaan tarif ini tetap tunduk pada ketentuan- ketentuan GATT. Misalnya saja, pengenaan tarif tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT/WTO.

  5. Prinsip Resiprositas

  Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.

  6. Perlakuan Khusus Bagi Negara Sedang Berkembang

  Sekitar dua pertiga negara-negara anggota GATT/WTO adalah negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya.

  Untuk membantu pembangunan mereka, pada tahun 1965, suatu bagian baru yaitu

  Part

  IV yang memuat 3 Pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII) tersebut dimaksudkan untuk mendorong negara-negara industri dalam membantu pertumbuhan ekonomi negara yang sedang berkembang.

  Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. Bagian ini juga melarang negara- negara maju untuk membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor negara-negara berkembang. Negara-negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdagangan negara-negara yang sedang berkembang.

  B.

  

Kesepakatan Perdagangan Internasional Terkait dengan Kegiatan Investasi

  Meskipun WTO tidak mengatur secara komprehensif kesepakatan bidang penanaman modal, akan tetapi terdapat setidaknya dua kesepakatan yang terkait langsung dengan peraturan penanaman modal, yakni Agreement on Trade Related

  Investment Measures

  dan Agreement on Trade in Service, yang kemudian

  145 menghasilkan kesepakatan Domestic Regulations. 145 Asmin Nasution, Transparansi Dalam Penanaman Modal, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 15

1. Agreement on Trade Related Invesment Measures (Agreement on TRIMs)

  Pada prinsipnya kesepakatan ini mengatur larangan performance requirement yang tidak konsisten dengan Article XI GATT (quantitative restriction) dalam peraturan penanaman modal. Agreement on TRIMs tidak mengatur dengan tegas bentuk performance requirement yang tidak konsisten dengan Article III dan Article

  XI GATT. Direktur Jenderal GATT kemudian merumuskan illustrative list dari

  agreement

  berisi bentuk-bentuk performance requirement yang tidak konsisten

  146

  dengan Article III.4 dan XI.1 GATT sebagai berikut: 1.

  Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan perlakuan sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal III.4 GATT 1994: a. pembelian atau penggunaan produk-produk yang berasal dari dalam negeri atau dari sumber dalam negeri lainnya dirinci menurut produk-produk tertentu, volume atau nilai barang produk, atau menurut perbandingan dari volume atau nilai produksi lokal; atau b. pembelian atau penggunaan produk impor oleh perusahaan dibatasi sampai jumlah tertentu dikaitkan dengan volume atau nilai produksi lokal yang diekspor.

  2. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan penghapusan pembatasan kuantitatif, sebagaimana diatur dalam Pasal XI ayat (1) GATT 1994:

  146 Hendrik Budi Untung, op. cit., hal. 117-119. a. impor produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh perusahaan yang bersangkutan; b. impor produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait dengan dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan; c. ekspor atau penjualan untuk ekspor apakah dirinci menurut produk-produk khusus, menurut volume atau nilai produk-produk atau menurut perbandingan volume atau nilai dari produksi lokal perusahaan yang bersangkutan”.

  Agreement on TRIMs tidak melarang semua bentuk performance requirement yang dipersyaratkkan dalam penanaman modal, tetapi hanya bentuk-bentuk persyaratan tertentu saja yang dapat menghambat perdagangan barang internasional.

  Performance requirement

  lain seperti persyaratan tenaga kerja, bidang usaha, komposisi kepemilikan saham asing, alih teknologi, insentif investasi, divestasi, dan

  147 nasionalisasi belum tersentuh oleh agreement tersebut.

2. General Agreement on Trade in Services (GATS)

  GATS terkait dengan peraturan penanaman modal, karena salah satu modus perdagangan jasa dilakukan dengan cara kehadiran komersial (commercial presence) pemasok jasa ke negara host country. GATS tidak secara tegas menyebutkan bentuk- bentuk kebijakan penanaman modal yang bertentangan dengan prinsip perlakuan 147 Ibid ., hal. 119. nasional. Article II GATS menetapkan bahwa setiap negara anggota harus dengan segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan yang tidak berbeda (no less

  

favourable ) kepada jasa-jasa dari negara lain dibandingkan dengan perlakuan yang

148 diberikan kepada pemasok jasa dari negara lainnya.

  Komitmen liberalisasi penanaman modal sektor jasa dalam sistem GATT bersifat progresif. Pengakuan terhadap kewajiban perlakuan nasional tidak menyebabkan negara-negara wajib memberikan perlakuan terhadap pemasok jasa asing identik dengan perlakuan yang mereka berikan kepada pemasok jasa domestik.

  Karena perlakuan sama ini tidak berlaku secara luas, akan tetapi pada sektor-sektor usaha beserta syarat-syarat yang dalam daftar komitmen positive list. Penerapan kewajiban perlakuan sama terhadap pemasok jasa dari semua negara berdasarkan

  most favoured nation

  dan national treatment, masih dimungkinkan untuk menyimpang berdasarkan Article II, Excemption GATS, dengan ketentuan harus dimuat dalam Specific of Commitment (SoC) dan berlaku dalam jangka waktu paling

  

149

lama 10 Tahun dan direview setiap 5 tahun.

  Dengan demikian, komitmen yang diterapkan secara awal ditentukan secara bertahap masing-masing negara dalam positive list dan negara tersebut menentukan sejauh mana keterbukaan yang akan diberikan yang dilakukan melalui proses negoisasi. Apabila suatu negara telah membuka suatu sektor, maka prinsip MFN harus diberlakukan. Dengan pendekatan ini sebenarnya dalam keadaan-keadaan 148 149 Ibid ., hal. 122.

  Ibid ., hal. 122-123. tertentu masih dapat dilakukan perbedaan antara pelaku penanaman modal asing

  150 dengan lokal/nasional.

3. Domestic Regulations

  

Domestic Regulations adalah peraturan perundang-undangan nasional yang

  berisikan antara lain ketentuan-ketentuan umum GATS, untuk mengatur ketentuan- ketentuan administratif maupun prosedural terkait sektor-sektor jasa yang telah dinyatakan dalam Specific of Commitment. Domestic Regulations juga dapat memuat ketentuan-ketentuan tentang Qualifications Requirements and Procedures, Technical

  151 Standard dan Licensing Procedure and Requirement.

  Negara-negara anggota World Trade Organization (WTO) menyadari bahwa

  Domestic Regulations

  tersebut dapat saja muncul atau dipergunakan sebagai hambatan-hambatan dalam perdagangan jasa. Oleh karena itu, dalam Article VI: 4 GATS menetapkan bahwa untuk menjamin agar tindakan yang terkait dengan persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan perijinan bukan digunakan sebagai hambatan perdagangan. Dewan Perdagangan Jasa harus, melalui lembaga- lembaga tertentu yang mungkin dibentuk, menetapkan ketentuan-ketentuan (disiplin)

  150 . 151 Ibid

Bismar Nasution, “Penerapan Good Governance Dalam Menyambut Domestic

  Regulations WTO ”, Disampaikan pada Acara Diskusi Mengenai Domestic Regulations-WTO, yang diadakan oleh Bank Indonesia, tanggal 21 Juni 2007, Jakarta, hal. 1-2. yang diperlukan. Ketentuan-ketentuan tersebut ditujukan untk memastikan bahwa

  152

  peryaratan-persyaratan yang ditentukan oleh suatu negara-negara peserta: a.

  Didasarkan pada kriteria yang objektif dan transparan, misalnya kesanggupan dan kemampuan untuk menyediakan jasa; b.

  Tidak lebih berat daripada yang semestinya untuk menjamin kualitas jasa-jasa; c. Dalam hal prosedur perijinan, bukan merupakan hambatan dalam supply jasa- jasa.

  C.

  

Hubungan Ketentuan Daftar Negatif Investasi dengan Kesepakatan

Perdagangan Internasional

  Suatu perjanjian perdagangan internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu, sebagaimana halnya perjanjian internasional pada umumnya, perjanjian perdagangan internasional pun hanya akan mengikat suatu negara apabila negara tersebut sepakat untuk

  153 menandatangani dan meratifikasinya.

  Masuknya Indonesia sebagai anggota WTO berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1994 membawa konsekwensi hukum berupa kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan kesepakatan-kesepakatan WTO

  152 153 Ibid ., hal. 2.

  Huala Adolf, op. cit., hal. 78. yang telah diratifikasi dan menjamin bahwa peraturan perundang-undangan nasional

  154 yang telah disesuaikan tersebut dapat dilaksanakan.

  Meskipun WTO tidak mengatur secara komprehensif kesepakatan bidang penanaman modal, akan tetapi terdapat setidaknya dua kesepakatan yang terkait langsung dengan peraturan penanaman modal, yakni Agreement on Trade Related

  Measures

  dan Agreement on Trade in Services yang kemudian menghasilkan

  155 kesepakatan Domestic Regulations.

  Terkait kedua agreement tersebut, maka yang perlu diperhatikan adalah ketentuan mengenai syarat-syarat penanaman modal yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam berbagai peraturan penanaman modal. Jangan sampai syarat-syarat penanaman modal tersebut bertentangan dengan Agreement on TRIMs, GATS serta

  156 Domestic Regulations .

  Indonesia pada saat ini telah memiliki sebuah undang-undang penanaman modal yang baru dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) pada tanggal 29 Maret 2007. UU ini disusun dengan memperhatikan perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional, sehingga perlu didorong terciptanya iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap mengacu pada kepentingan ekonomi nasional. Setidaknya ada tiga hal penting yang diperintahkan dalam konsideran UU ini, yakni: (1). tujuan 154 155 Asmin Nasution, op. cit., hal. 14-15. 156 Ibid ., hal. 15.

  Ibid . yang ingin dicapai dalam penataan penanaman modal adalah kepentingan ekonomi nasional, (2). terciptanya iklim penanaman modal yang kondusif dan berkepastian hukum, (3). harmonisasi peraturan penanaman modal dengan perubahan perekonomian global dan kewajiban internasional Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional dengan tetap mengacu kepada kedaulatan politik dan

  157 ekonomi nasional.

  Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dibangun atas pendekatan yang sama dengan undang-undang penanaman modal di negara sedang berkembang pada umumnya. Undang-Undang ini memberi kesempatan yang lebih luas kepada investor asing (sebagian besar orang menyebutnya “sangat liberal”) dan menjamin adanya perlakuan sama antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

  Artinya, undang-undang ini tetap membuka ruang yang luas bagi pemerintah untuk menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu kepada penanaman modal asing untuk menjaga kepentingan nasional. Landasan filosofis dari UU ini juga menegaskan bahwa pelaksanaan penanaman modal tetap menjunjung tinggi kedaulatan politik

  158 Negara Kesatuan Republik Indonesia .

  Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal perlakuan sama bagi penanam modal asing (PMA) dan penanam modal dalam negeri (PMDN) dijadikan sebagai kebijakan dasar penanaman modal di Indonesia. Hal 157 158 Hendrik Budi Untung, op. cit., hal. 112.

  Mahmul Siregar, “UUPM dan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam Kegiatan Penanaman Modal ”, Jurnal Hukum Bisnis. Volume 26/No. 4/Tahun 2007. tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 4 ayat (2), dimana dikatakan: “Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memberi perlakuan sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal

  159

  asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.” Namun apabila dicermati secara menyeluruh sebenarnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidaklah memberikan perlakuan yang benar-benar sama antara PMA dan PMDN. Hal tersebut dapat kita lihat dalam penerapan syarat penanaman modal dalam hal bidang usaha. Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penanaman

  160

  Modal, disebutkan: 1.

  Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

2. Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah: a.

  produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang- undang.

  3. Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan

  159 160 Undang-Undang Penanaman Modal, op. cit., Psl. 4 ayat (2).

  Ibid., Psl. 12. berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.

  4. Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.

  5. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.

  Sebagai tindak lanjut terhadap Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (Perpres Nomor 36 Tahun 2010) yang selanjutnya disebut dengan Daftar Negatif Investasi (DNI).

  Berkaitan dengan pengaturan DNI, pemerintah juga telah mengeluarkan pengaturan mengenai kriteria dan persyaratan bidang usaha yaitu Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (Perpres Nomor 76 Tahun 2007).

  Adapun hubungan ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan kesepakatan perdagangan internasional, yakni terletak pada kewajiban Indonesia untuk menyesuaikan setiap peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam WTO. Dimana dengan adanya kewajiban tersebut maka persyaratan-persyaratan yang ada dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) harus lah sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan kesepakatan- kesepakatan yang ada dalam WTO.

  Apabila dilihat kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional yang ada dalam WTO tidak ada satu ketentuan pun yang melarang pemerintah negara penerima modal (host country) untuk menerapkan pembatasan bidang usaha dalam kebijakan penanaman modalnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah persyaratan- persyaratan dalam bidang usaha yang dibuka untuk penanaman modal tidak boleh melanggar komitmen liberalisasi yang disetujui oleh pemerintah negara penerima modal (host country) dalam rangka persetujuan WTO. Dan bila dilihat persyaratan yang ada dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) yang dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 dan dalam Peraturan Presiden yang sebelumnya yakni Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 111 Tahun 2007 dapat dikatakan bahwa persyaratan- persyaratan ada di dalamnya secara umum masih harmonis dengan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang ada, baik itu TRIMs, GATS, dan Domestic Regulations.

  Agreement on TRIMs melarang performance requirement yang tidak konsisten dengan Article III dan XI GATT. Tetapi tidak melarang persyaratan penanaman modal lainnya seperti kewajiban joint venture, pembatasan pemilikan saham asing, kemitraan dengan UKMK, alih teknologi dan persyaratan-persyaratan berkenaan dengan upaya melindungi lingkungan hidup. Persyaratan-persyaratan yang demikian termasuk pada non-cross border issues yang pelaksanaannya tergantung

  161 pada kebutuhan pembangunan ekonomi negara host country.

  Sedangkan menurut GATS pemberlakuan persyaratan yang dilakukan oleh

  host country

  pada fase entry appropal (perusahaan belum berdiri) tidak bertentangan dengan GATS, oleh karena itu kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan tidaklah bertentangan, karena pemberlakuan persyaratan yang ada dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) dilakukan pada saat perusahaan belum berdiri.

  Dan dalam hubungannya dengan Domestic Regulations, Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan tidak bertentangan. Karena Daftar Negatif Investasi tidak bertentangan dengan apa yang diatur dalam Article VI: 4 GATS.

  161 Mahmul Siregar, op. cit.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil

  beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1.

  Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dapat dikatakan merupakan suatu kemajuan besar dalam kegiatan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment) di Indonesia. Berbagai pengaturan penting yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi asing dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi penanam modal/ investor, seperti; bentuk badan usaha dalam melaksanakan penanaman modal, asas dan tujuan penanaman modal, bidang usaha yang boleh dimasukin bagi kegiatan penanaman modal asing, perizinan, pemberian fasilitas, hak dan kewajiban penanam modal, serta cara penyelesaian sengketa telah diatur di dalamnya. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga memuat kebijakan dasar yang menjamin pemberian perlakuan yang sama bagi penanam modal asing (PMA) dan penanam modal dalam negeri (PMDN).

  2. Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak dapat diberlakukan terhadap penanaman modal asing yang dilakukan melalui Pasar Modal, karena Daftar

  Negatif Investasi (DNI) merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan hanya berlaku terhadap kegiatan penanaman modal asing yang dilakukan secara langsung (foreign direct

  

investment ). Hal tersebut telah dipertegas pula dalam Pasal 4 Peraturan Presiden

  Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

  3. Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan tidak bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional, seperti TRIMs,

  GATS

  , dan Domestic Regulations. Karena tidak ada satu pun ketentuan yang ada dalam World Trade Organization (WTO) yang melarang pemerintah host country untuk menerapkan pembatasan bidang usaha dalam kebijakan penanaman modalnya. Selain itu, persyaratan-persyaratan yang termuat dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) juga tidak bertentangan dengan Article III dan XI GATT dan

  

Agreement on TRIMs sama sekali tidak melarang persyaratan penanaman modal

  seperti kewajiban joint venture, pembatasan pemilikan saham asing, kemitraan dengan UKMK, alih teknologi serta persyaratan-persyaratan lainnya yang berkenaan dengan upaya melindungi lingkungan hidup seperti persyaratan yang ada di dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Persyaratan-persyaratan yang termuat dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) termasuk kategori pada fase entry

  appropal (perusahaan belum berdiri) dan penerapan persyaratan yang demikian

  sama sekali tidak bertentangan dengan GATS. Dan dalam hubungannya dengan

  Domestic Regulations,

  Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan telah sesuai dengan apa yang diatur Article VI: 4 GATS.

B. Saran

  Dalam hubungan dengan pembahasan skripsi tentang Tinjauan Yuridis Mengenai Kebijakan Daftar Negatif Investasi Dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia, dengan ini disampaikan beberapa saran sebagai berikut: 1.

  Di dalam penciptaan iklim penanaman modal yang berdaya saing hendaknya pemerintah Indonesia juga tetap memperhatikan kepentingan nasional melalui kebijakan-kebijakan penanaman modal yang diterbitkannya; 2. Selain itu pemerintah juga hendaknya harus secara cermat dan jelas menjelaskan makna dari aturan hukum yang ada agar tidak terjadi perbedaan penafsiran, sehingga dengan demikian kepastian hukum dapat terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan.