Tinjauan Yuridis Mengenai Kebijakan Daftar Negatif Investasi Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia.

(1)

TINJA INVEST

Diajukan

AUAN YUR TASI DALA

n Untuk M

TR RIDIS ME AM KEGIA Melengkapi T Mempero RISANTO B H FA UNIVERS NGENAI K ATAN PEN SKRIP Tugas-Tug oleh Gelar Oleh BONIFAST 050200 ILMU HU HUKUM EK AKULTAS SITAS SUM MEDA 2010 KEBIJAKA NANAMAN PSI

as dan Mem Sarjana H h : TO SIMAN 0307 UKUM KONOMI HUKUM MATERA U AN 0 AN DAFTA N MODAL D

menuhi Per ukum NJUNTAK UTARA AR NEGAT DI INDON rsyaratan U TIF NESIA Untuk


(2)

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

TRISANTO BONIFASTO SIMANJUNTAK 050200307

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI Disetujui oleh :

Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H NIP: 195603291986011001

Dosen Pembimbimg I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. NIP: 19590511986011001 NIP: 197302202002121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat serta syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala kasih karunia dan penyertaan-Nya sepanjang waktu sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan baik. Adapun tujuan penulisan skripsi ini dilakukan adalah untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat dan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini, yang telah membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan sekaligus sebagai dosen penasehat akademik penulis yang dengan sabar membimbing penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbimg, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

6. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh kerelaan telah membagikan ilmunya kepada penulis sejak pertama kali penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Orangtuaku tercinta, Ayahanda (alm.) Drs. T.U. Simanjuntak dan Ibunda (almh.) R.J br. Siregar, yang dengan penuh kasih sayang dan kesabaran telah membesarkan penulis dari kecil sampai saat ini, yang tanpa doa kalian penulis tidak dapat menyelesaikan semua ini.

8. Kedua abangku, Johannes Ellington Simanjuntak, Harlantik P. Simanjuntak serta kakak perempuanku tersayang, Mellya F. Simanjuntak, yang penuh cinta kasih bersama-sama saling menopang, mengingatkan dan saling mendoakan satu sama lain.

9. Sahabat-sahabat sejati di gank O, Frico Fernandes Purba, Daniel Zagoto, dan Fulgensius Fredo Ando Dido Purba, makasih buat


(5)

wejangan-wejangannya selama ini, saya janji bakal berubah menjadi pribadi yang lebih baek dan tangguh seperti kalian.

10.Adik-adik periku tersayang, Gishela Agustina Hutagalung, Christina Grace Hutauruk, Dea Laura Panjaitan, Christy Cechilya Sinaga dan Fitri Manurung, sangat bersyukur saya bisa mengenal kalian. Walaupun kalian nakal-nakal, kalian tetap menjadi berkat bagi hidup saya, tetaplah saling menopang satu sama lain dan bisa memberi kemuliaan bagi Dia melalui hidup kalian.

Penulis telah berusaha dengan segala kemampuan yang dimiliki dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun penulis menyadari bahwa pasti ada kekurangan-kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu, penulis minta maaf dan mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum ketenagakerjaan, baik bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain.

Medan, Agustus 2010

Penulis Trisanto Bonifasto S


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

ABSTRAKSI...vi

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang...1

B.Perumusan Masalah...8

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan...9

D.Keaslian Penulisan...10

E.Tinjauan Kepustakaan...11

F. Metode Penulisan...14

G.Sistematika Penulisan...16

BAB II : POKOK-POKOK PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING SECARA LANGSUNG (FOREIGN DIRECT INVESTMENT) DI INDONESIA A.Pengertian, Bentuk-Bentuk dan Manfaat Penanaman Modal Asing Secara Langsung (Foreign Direct Investment) di Indonesia 1. Pengertian Penanaman Modal Asing Secara Langsung (Foreign Direct Investment)……….18

2. Bentuk-Bentuk Penanaman Modal Asing Secara Langsung...20

3. Manfaat Penanaman Modal Asing Secara Langsung………...25


(7)

C.Bidang Usaha………..31

D.Perizinan………..35

E.Fasilitas………...62

F. Hak dan Kewajiban Penanam Modal………..64

G.Penyelesaian Sengketa……….67

BAB III : KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI (DNI) DI INDONESIA A.Dasar Hukum dan Perkembangan 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi.……..………79

2. Perkembangan Daftar Negatif Investasi……...………81

B.Tujuan Daftar Negatif Investasi di Indonesia……….83

C.Bentuk-Bentuk Persyaratan dalam Daftar Negatif Investasai………84

D.Penerapan Daftar Negatif Investasi di Bidang Pasar Modal………..86

BAB IV : HUBUNGAN KETENTUAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DENGAN KESEPAKATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.Prinsip-Prinsip Pokok Kesepakatan Perdagangan Internasional...91

B.Kesepakatan Perdagangan Internasional Terkait dengan Kegiatan Investasi 1. Agreement on Trade related Investment Measures (Agreement on TRIMs)……….95


(8)

2. General Agreement on Trade in Services (GATS)………...97

3. Domestic Regulations………...99

C. Hubungan Ketentuan Daftar Negatif Investasi dengan Kesepakatan Perdagangan Internasional………...100

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...107 B. Saran...109

DAFTAR PUSTAKA


(9)

ABSTRAKSI

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum * Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum **

Trisanto Bonifasto S ***

Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), diharapkan akan dapat meningkatkan jumlah investasi yang ditanamkan oleh para investor khususnya investor asing di Indonesia. Karena selain memberikan kemudahan-kemudahan, serta fasilitas. UUPM ini juga menjamin adanya perlakuan yang sama antara investor asing dan domestik sebagai prinsip dasar dalam penyusunan kebijakan penanaman modal di Indonesia dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Adapun salah satu bentuk usaha pemerintah dalam menjaga kepentingan nasional dapat dilihat dari diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang lebih dikenal dengan Daftar Negatif Investasi (DNI).

Dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia dapat dikatakan bahwa Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan acuan pertama kali dan terpenting bagi calon investor, baik investor asing maupun investor domestik sebelum melakukan penanaman modal, karena Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan suatu daftar yang mengatur mengenai bidang-bidang usaha apa saja yang terbuka untuk penanaman modal dan bidang-bidang usaha apa saja yang tertutup bagi penanaman modal.

Karena demikian kompleksnya hubungan antara kebijakan Daftar Negatif Investasi dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia, maka penulis memilih materi penulisan dan pembahasan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Mengenai Kebijakan Daftar Negatif Investasi Dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia”. Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan penanaman modal asing secara langsung di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, apakah kebijakan daftar negatif investasi dapat diberlakukan terhadap penanaman modal asing melalui pasar modal dan apakah kebijakan daftar negatif investasi tidak bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional, merupakan pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, maka metode yang digunakan penulis yaitu dengan metode penelitian hukum normatif terhadap berbagai sumber bacaan.

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis


(10)

ABSTRAKSI

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum * Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum **

Trisanto Bonifasto S ***

Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), diharapkan akan dapat meningkatkan jumlah investasi yang ditanamkan oleh para investor khususnya investor asing di Indonesia. Karena selain memberikan kemudahan-kemudahan, serta fasilitas. UUPM ini juga menjamin adanya perlakuan yang sama antara investor asing dan domestik sebagai prinsip dasar dalam penyusunan kebijakan penanaman modal di Indonesia dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Adapun salah satu bentuk usaha pemerintah dalam menjaga kepentingan nasional dapat dilihat dari diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang lebih dikenal dengan Daftar Negatif Investasi (DNI).

Dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia dapat dikatakan bahwa Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan acuan pertama kali dan terpenting bagi calon investor, baik investor asing maupun investor domestik sebelum melakukan penanaman modal, karena Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan suatu daftar yang mengatur mengenai bidang-bidang usaha apa saja yang terbuka untuk penanaman modal dan bidang-bidang usaha apa saja yang tertutup bagi penanaman modal.

Karena demikian kompleksnya hubungan antara kebijakan Daftar Negatif Investasi dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia, maka penulis memilih materi penulisan dan pembahasan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Mengenai Kebijakan Daftar Negatif Investasi Dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia”. Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan penanaman modal asing secara langsung di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, apakah kebijakan daftar negatif investasi dapat diberlakukan terhadap penanaman modal asing melalui pasar modal dan apakah kebijakan daftar negatif investasi tidak bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional, merupakan pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, maka metode yang digunakan penulis yaitu dengan metode penelitian hukum normatif terhadap berbagai sumber bacaan.

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia membutuhkan dana yang besar guna melaksanakan pembangunan nasional. Kebutuhan dana yang besar tersebut diperlukan guna mengejar ketertinggalan pembangunan dari negara-negara maju baik yang ada di kawasan regional maupun kawasan global. Adapun salah satu sumber dana utama guna memenuhi kebutuhan dana yang cukup besar dalam melaksanakan pembangunan nasional tersebut diperoleh melalui kegiatan penanaman modal atau investasi.

Mengingat akan begitu besarnya peran penanaman modal atau investasi bagi pembangunan nasional, maka sudah sewajarnya penanaman modal atau investasi mendapat perhatian khusus dari pemerintah dan menjadi bagian yang penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional. Sebab dengan adanya kegiatan penanaman modal atau investasi Indonesia dapat mengolah segala potensi ekonomi yang ada menjadi kekuatan ekonomi riil.

Bagi negara-negara berkembang, untuk bisa mendatangkan investor setidak-tidaknya dibutuhkan tiga syarat, yaitu pertama, ada economic opportunity (investasi mampu memberi keuntungan secara ekonomis bagi investor); kedua, political


(12)

stability (investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik); ketiga, legal certainty

atau kepastian hukum.1

Dari ketiga faktor diatas dapat dikatakan bahwa faktor kepastian hukum (legal

certainty) merupakan faktor yang paling sering dijadikan dasar pertimbangan utama

bagi para investor dalam mengambil keputusan untuk melakukan kegiatan penanaman modal atau investasi di suatu negara. Hal ini dikarenakan investor mempunyai kepentingan serta tujuan dalam menanamkan modalnya dan dalam usaha mempertahankan kepentingan serta tujuan tersebut instrumen hukum adalah alatnya. Adapun yang dimaksud dengan hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaedah-kaedah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tentang tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi.2 Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya

non-yuridis dan berkembang karena ransangan dari luar hukum. Faktor-faktor di luar

hukum itulah yang membuat hukum itu dinamis.3

Pembangunan instrumen hukum penanamam modal atau investasi di Indonesia sebenarnya telah dimulai sejak tahun 1967 yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA)

1Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 48.

2Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2003), hal. 40.


(13)

serta Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN).

Penggairahan iklim penanaman modal atau investasi pun tidak hanya berhenti disitu saja, hal ini dapat dilihat dari dilengkapi dan disempurnakannya kedua undang-undang di atas. Adapun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA (UU PMA), sedangkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang PMDN telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang PMDN (UU PMDN).

Semenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 jo. Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang PMA (UU PMA) dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 jo. Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang PMDN (UU PMDN), dapat dikatakan kegiatan penanaman modal atau investasi di Indonesia cenderung meningkat dari waktu ke waktu.

Di dalam perkembangan hukum di Indonesia Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (UU PMDN) kini tidak berdiri secara sendiri-sendiri lagi. Pada saat ini pengaturan mengenai penanaman modal atau investasi telah diatur dalam sebuah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM), yang disahkan pada tanggal 26 April 2007.


(14)

Adapun dasar pertimbangan yang digunakan oleh pemerintah dalam menyusun undang-undang tersebut secara singkat adalah sebagai berikut:4

1. Pertimbangan Filosofis

Bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu dilaksanakan pembangunan ekonomi berkelanjutan dengan berlandaskan demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuan bernegara;

2. Pertimbangan Politik

Bahwa sesuai dengan amanat yang tercantum dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor: XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, kebijakan penanaman modal selayaknya selalu mendasari ekonomi kerakyatan yang melibatkan pengembangan bagi usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi;

3. Pertimbangan Ekonomi

Bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri;

4. Pertimbangan Yuridis

4Undang-Undang Penanaman Modal, UU No. 25 Tahun 2007, LN. No. 67 Tahun 2007, Bagian Menimbang.


(15)

Bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Undang Nomor 12 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri perlu diganti karena tidak sesuai lagi dengan kebutuhan percepatan perkembangan perekonomian dan pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang penanaman modal.

Selain dasar pertimbangan yang ada di atas, patut untuk diketahui pula bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga tidak dapat dipisahkan dari keanggotaan Indonesia di Wold Trade Organization (WTO), dimana Indonesia telah meratifikasi kesepakatan pendirian WTO melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 yang mewajibkan Indonesia untuk mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal dengan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam WTO.

Sejak diundangkan, undang-undang ini telah menimbulkan perbedaan pandangan yang cukup signifikan dan cenderung bertolak belakang. Pandangan pertama menganggap undang-undang ini sangat berpihak kepada investor asing dengan adanya jaminan perlakuan yang sama antara investor asing dan domestik.


(16)

Pandangan ini mengarah kepada suatu pendapat yang menganggap bahwa undang-undang ini tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Pandangan kedua, menganggap undang-undang ini merupakan salah satu solusi yang tepat mengatasi problema penanaman modal di Indonesia. Undang-undang ini juga dikatakan telah disesuaikan dengan perubahan perekonomian global yang semakin terbuka dan tanpa batas serta telah memenuhi kewajiban internasional Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional.5

Apabila dipahami secara cermat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebenarnya dibangun di atas pendekatan yang sama dengan undang-undang penanaman modal di negara sedang berkembang pada umumnya. Dimana selain memberi kesempatan yang lebih luas kepada investor asing dengan menjamin adanya perlakuan yang sama antara penanam modal asing (PMA) dan penanam modal dalam negeri (PMDN), undang-undang ini juga membuka ruang yang luas bagi pemerintah untuk menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu kepada penanaman modal asing (PMA) untuk menjaga kepentingan nasional.

Adapun salah satu bentuk usaha pemerintah dalam menjaga kepentingan nasional dapat dilihat dalam penerapan syarat penanaman modal melalui penetapan bidang usaha. Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal disebutkan:6

5Mahmul Siregar, “UUPM dan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam Kegiatan Penanaman Modal”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 26/No. 4/Tahun 2007.


(17)

1. Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan;

2. Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah: a. Produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan

b. Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan Undang-Undang.

3. Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.

4. Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.

5. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk pemerintah.

Sebagai tindak lanjut dari Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden


(18)

Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang lebih dikenal dengan Daftar Negatif Investasi (DNI). Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 ini merupakan peraturan pengganti dari Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup Dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal yang telah dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Berkaitan dengan pengaturan Daftar Negatif Investasi (DNI), sebagai tindak lanjut dari Pasal 12 ayat (4) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah juga telah mengeluarkan pengaturan mengenai kriteria dan persyaratan bidang usaha yakni Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (Perpres Nomor 76 Tahun 2007).

Dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia dapat dikatakan bahwa Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan acuan pertama kali dan terpenting bagi calon penanam modal, baik penanam modal asing (PMA) atau penanam modal dalam negeri (PMDN) untuk mengetahui apakah bidang usaha yang mereka inginkan


(19)

terbuka atau tertutup bagi kegiatan penanaman modal sebelum melakukan kegiatan penanaman modal.

Melihat akan begitu besarnya peranan dan pengaruh dari diberlakukannya Daftar Negatif Investasi (DNI) dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia terutama dalam menghadapi era perdagangan global. Maka penulis tertarik untuk mengangkatnya dalam bentuk skripsi dengan judul: “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang sebagaimana telah diuraikan diatas, maka perlu dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct

investment) dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman

Modal?

2. Apakah kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat diberlakukan terhadap penanaman modal asing melalui pasar modal?

3. Apakah kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional?


(20)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui pengaturan penanaman modal asing secara langsung (foreign

direct investment) dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal.

b. Untuk mengetahui bahwa kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak dapat diberlakukan terhadap kegiatan penanaman modal asing yang dilakukan secara tidak langsung;

c. Untuk mengetahui bahwa kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional yang ada;

2. Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Secara Teoritis

Secara teoritis pembahasan terhadap masalah-masalah yang akan dibahas akan menimbulkan pemahaman dan pengertian baru bagi pembaca tentang kegiatan penyelenggaraan penanaman modal setelah keluarnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Dan Bidang Usaha yang


(21)

Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang selanjutnya disebut dengan Daftar Negatif Investasi (DNI).

b. Manfaat secara praktis

Pembahasan ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pembaca baik kalangan akademisi maupun para pelaku usaha di bidang ekonomi, baik pelaku usaha nasional maupun pelaku usaha transnasional mengingat pemberlakuan perundang-undangan dan hukum yang mendukung jaminan usaha merupakan faktor yang mempengaruhi pelaku usaha untuk menanamkan investasinya7, yang tampak melalui kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka memenuhi komitmennya untuk menciptakan suasana investasi yang kondusif bagi pelaku investasi juga kenyamanan dan keamanan masyarakat melaksanakan dan menikmati manfaat kegiatan investasi penanaman modal di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini yang berjudul: “TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA” merupakan hasil pemikiran penulis sendiri tanpa adanya penjiplakan dari hasil karya orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu dan judul skripsi ini belum pernah ditulis di Fakultas Hukum

7Soedjono Dirdjosisworo, Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 226.


(22)

Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis, terutama secara ilmiah atau secara akademik.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kebijakan pemerintah yang dimaksud dalam penulisan skripsi ini adalah sumber hukum yang dalam hal ini mengenai bidang investasi yang ada di Indonesia, yang terangkum menjadi keseluruhan peraturan perundang-undangan investasi di Indonesia, yang berkreteriakan sebagai berikut:8

1.peraturan perundang-undangan yang merupakan latar belakang peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal;

2.peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur kegiatan penanaman modal:

3.peraturan perundang-undangan yang mengatur materi penanaman modal;

4.peraturan perundang-undangan yang secara langsung dan tidak langsung menunjang dan memberi fasilitas pada penyeleggaraan penanaman modal;

5.peraturan perundang-undangan lainnya yang karena bentuk, sifat, ruang, lingkupnya tidak termasuk kriteria di atas, akan tetapi berpengaruh kepada pelaksanaan kegiatan penanaman modal.

Lebih lanjut mengenai apa-apa saja yang termasuk kebijakan pemerintah tersebut, antara lain berupa: Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan/

8Sumantoro, Peranan Perusahaan Multinasional Dalam Pembangunan Negara yang Sedang


(23)

Instruksi Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Keputusan Bank Indonesia, dan Surat Edaran.9

Yang dimaksud dengan modal (capital) adalah uang yang dipakai untuk investasi.10 Modal juga dapat diartikan sebagai uang atau benda yang ditanamkan dalam suatu usaha yang produktif dan selanjutnya merupakan peranan penting ketika bank mengadakan analisis kredit terhadap nasabahnya.11

Modal adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.12

Adapun yang dimaksud dengan penanaman modal dalam ensiklopedia ekonomi keuangan perdagangan, dijelaskan istilah investasi, penanaman modal digunakan untuk “Penggunaan atau pemakaian sumber-sumber ekonomi untuk produksi barang-barang produsen atau barang-barang produsen atau barang-barang konsumen. Dalam arti yang semata-mata bercorak keuangan, investment mungkin berarti penempatan dana-dana kapital dalam suatu perusahaan dalam jangka waktu yang relatif panjang, supaya memperoleh suatu hasil yang teratur dan maksimum keamanan.13

9Ibid.

10Kunarjo, Glosarium Ekonomi Keuangan dan Pembangunan, (Jakarta: UI Press, 2003), hal. 205.

11Aliminsyah Padji, Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan, (Bandung: Yrama Widya, 2003), hal. 427.

12Undang-Undang Penanaman Modal, op. cit., Psl. 1 angka 7.


(24)

Penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.14

Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.15

Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.16

Penanam modal adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.17

Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.18

Penanam modal asing adalah adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.19

14Undang-Undang Penanaman Modal, op. cit., Psl. 1 angka 1. 15Ibid., Psl. 1 angka 2.

16Ibid., Psl. 1 angka 3. 17Ibid., Psl. 1 angka 4. 18Ibid., Psl. 1 angka 5.


(25)

Pasar modal adalah kegiatan yang berkenaan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan.20

Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan suatu daftar yang mengatur mengenai bidang-bidang usaha apa saja yang terbuka untuk penanaman modal dan bidang-bidang usaha apa saja yang tertutup bagi penanaman modal.21

F. Metode Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian berupa: 

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif atau kepustakaan. Penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan adalah suatu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau sekunder belaka.

2. Jenis Data

Berhubung karena metode penelitian adalah penelitian yuridis normatif maka data-data yang dipergunakan adalah data-data sekunder yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka, yang mencakup:

19Ibid., Psl. 1 angka 6.

20Undang-Undang Pasar Modal, UU No. 8 Tahun 1995, LN. No. 64 Tahun 1995, TLN No. 3608, Psl. 1 angka 13.

21Sujud Margono, Hukum Investasi Asing di Indonesia, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2008), hal. 25.


(26)

i. Bahan hukum primer yaitu: bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat di masyarakat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang, yakni:

a. Undang-Undang Dasar Negara Repulik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;

d. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal;

e. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal;

f. Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal; g. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha

yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal;

h. Dan peraturan-peraturan lainnya yang ada dalam pembahasan.

ii. Bahan hukum sekunder yaitu: bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Dimana bahan hukum tersebut memberikan informasi atau hal-hal yang berkaitan dengan isi bahan hukum primer dan implementasinya, seperti buku-buku, hasil seminar, jurnal hukum, karya ilmiah, artikel majalah maupun koran serta artikel-artikel yang di dapat di internet.


(27)

iii. Bahan hukum tersier yaitu: bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, dan bibliografi yang terkait dengan pembahasan penelitian ini.22

3. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan bahan, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah dirumuskan menurut sumber dan hierarkinya untuk diuji. Kemudian dipelajari dengan cara membaca, menafsirkan, membandingkan serta menterjemahkan dari berbagai sumber yang berhubungan dengan Daftar Negatif Investasi (DNI) dalam Penanaman Modal. 4. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), peraturan perundang-undangan dan buku hukum kemudian dianalisis secara kualitatif dimana penulis menggunakan metode deduktif (umum ke khusus) yakni berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan buku-buku hukum yang berkaitan kemudian dijadikan pedoman untuk mengambil kesimpulan yang bersifat khusus. G. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka diperlukan adanya penulisan yang teratur, yang terbagi dalam lima bab yang saling berkaitan satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

22Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 13.


(28)

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II : Bab ini akan menguraikan pokok-pokok pengaturan penanaman modal langsung (direct investment) di Indonesia. Seperti; pengertian, bentuk-bentuk dan manfaat penanaman modal langsung, asas dan tujuan penanaman modal langsung, bidang usaha, perizinan, fasilitas, hak dan kewajiban, serta penyelesaian sengketa.

BAB III : Bab ini akan menjabarkan kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) di Indonesia, seperti: dasar hukum dan perkembangan, tujuan Daftar Negatif Investasi, bentuk-bentuk persyaratan dalam Daftar Negatif Investasi, serta penerapannya di bidang pasar modal.

BAB IV : Bab ini akan menguraikan hubungan antara kebijakan Daftar Negatif Investasi dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional yang ada dalam Worl Trade Organization (WTO). BAB V : Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang

berisi kesimpulan dan saran-saran mengenai permasalahan yang telah dibahas.


(29)

BAB II

POKOK-POKOK PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING SECARA LANGSUNG (FOREIGN DIRECT INVESTMENT) DI INDONESIA A. Pengertian, Bentuk-bentuk dan Manfaat Penanaman Modal Asing Secara

Langsung (Foreign Direct Investment) di Indonesia

1. Pengertian penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment)

Dikalangan masyarakat, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (portfolio investment), sedangkan kata penanaman modal lebih mempunyai konotasi kepada investasi langsung. Penanaman modal baik langsung atau tidak langsung memiliki unsur-unsur, adanya motif untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan nilai modalnya.23

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebenarnya sudah membedakan secara tegas antara investasi langsung (direct

investment) dan investasi tidak langsung (portfolio investment). Hal ini dapat dilihat

dalam penjelasan Pasal 2 undang-undang tersebut, dimana dikatakan: “yang dimaksud dengan penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.”

23Ida Bagus Rahmdi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di


(30)

Investasi secara langsung selalu dikaitkan adanya keterlibatan secara langsung dari pemilik modal dalam kegiatan pengelolaan modal.24 Dalam penanaman modal secara langsung, pihak investor langsung terlibat dalam kegiatan pengelolaan usaha dan bertanggung jawab secara langsung apabila terjadi suatu kerugian.25

Penanaman modal asing secara langsung menurut Organization For

Economic Cooperation (OEEC) memberikan rumusan bahwa direct investment is meant acquisition of sufficient interest in an under taking to ensure its control by the investor (suatu bentuk penanaman modal asing dimana penanam modal diberi

keleluasaan penguasaan dan penyelenggaraan pimpinan dalam perusahaan dimana modalnya ditanam, dalam arti bahwa penanam modal mempunyai penguasaan atas modalnya).26

Penanaman modal asing secara langsung juga memberikan pengertian bahwa bagi pemodal asing yang ingin menanamkan modalnya secara langsung, maka secara fisik pemodal asing hadir dalam menjalankan usahanya. Dengan hadirnya atau tepatnya dengan didirikannya badan usaha yang berstatus sebagai penanaman modal asing , maka badan usaha tersebut harus tunduk pada ketentuan hukum di Indonesia.

24Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal: Tinjauan terhadap Pemberlakuan UU

No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Jakarta: PT. Raharja Grafindo Persada, 2007), hal.

12.

25N. Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia Dalam Menghadapi Era

Global, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hal. 11.

26Hulaman Panjaitan dan Anner Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing, (Jakarta: CV. Indhill Co, 2008), hal. 41.


(31)

Pengertian yang agak luas dari foriegn direct investment terdapat pada

Encyclopedia of Public International Law yang merumuskan foreign direct investment sebagai berikut:

“ A transfer of funds or materials from one country (called capital exporting

country) to another country (called host country) in return for a direct participation in the earnings of that enterprise.”27

Menurut Munir Fuady, penanaman modal asing secara langsung dilihat dalam arti sempit. Yang dimaksudkan adalah model penanaman asing yang dilakukan dengan mana pihak asing atau perusahaan asing membeli langsung (tanpa lewat pasar modal) saham perusahaan nasional atau mendirikan perusahaan baru, baik lewat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau lewat departemen lain.28

2. Bentuk-bentuk penanaman modal asing secara langsung

Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan secara jelas tentang bentuk hukum perusahaan penanaman modal asing. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas. Secara lengkap, bunyi Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal:

27Sentosa Sembiring, op. cit., hal. 3.

28Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 67.


(32)

“penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”29

Unsur yang melekat dalam ketentuan ini meliputi:30

1. bentuk hukum dari perusahaan penanaman modal asing adalah perseroan terbatas (PT);

2. didasarkan pada hukum Indonesia;

3. berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia.

Penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak asing/perorangan atau badan hukum ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing atau dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional.

Menurut Ismail Suny ada 3 (tiga) macam kerjasama antara modal asing dengan modal nasional berdasarkan undang-undang penanaman modal asing No. 1 Tahun 1967 yaitu joint venture, joint enterprise dan kontrak karya.31 Dalam hal joint

venture para pihak tidak membentuk badan hukum yang baru, akan tetapi kerjasama

semata-mata bersifat kontraktuil, sedangkan dalam joint enterprise terjadi penggabungan modal asing dengan modal nasional ke dalam satu badan hukum Indonesia dan dalam kontrak kerja pihak asing membentuk suatu badan hukum

29Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 174.

30Ibid.

31Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman


(33)

Indonesia dan badan hukum Indonesia ini bekerjasama dengan badan hukum (nasional) Indonesia yang lain.

i. Joint Venture

Joint venture merupakan kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka (contractual). Misalnya bentuk kerjasama antara Van Sickle Associates Inc.,(suatu badan hukum yang berkedudukan di Delaware, AmerikaSerikat) dengan PT

Kalimantan Plywood Factory (suatu badan hukum Indonesia) untuk bersama-sama

mengolah kayu di Kalimantan Selatan. Kerjasama ini juga biasa disebut dengan “Contract of Cooperation” yang tidak membentuk suatu badan hukum Indonesia seperti yang dipersyaratkan dalam Pasal 3 UU PMA.32

Dalam masalah joint venture ada kendala dalam memperoleh know-how yang disebabkan karena pengusaha Indonesia sendiri terlalu status oriented yang tidak terlalu mengerjakan atau memikirkan apa-apa kecuali membubuhi tanda tangannya daripada menjadi managing director dan yang kedua adalah pihak asing tidak rela melepaskan segala rahasia perusahaannya, juga tidak pada partnernya sehingga

managing director nya selalu ada ditangan pihak asing.33

32Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 61.

33Sunarjati Hartono, Masalah-Masalah Dalam Joint Venture antara Modal Asing dan Modal


(34)

Berbagai macam corak atau variasi dari joint venture yang ditemukan dalam praktik aplikasi penanaman modal asing dikemukakan sebagai berikut:34

a. Technical Assistance (service) Contract : suatu bentuk kerjasama yang dilakukan

antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang bersangkut paut dengan skill atau cara kerja (method) misalnya; suatu perusahaan modal nasional yang ingin memajukan atau meningkatkan produksinya. Membutuhkan suatu peralatan baru disertai cara kerja atau metode kerja. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan (diperlukan) technical assistance dari perusahaan modal asing di luar negeri dengan cara pembayaran sejumlah uang tertentu yang dapat diambilkan dari penjualan produksi perusahaan yang bersangkutan.

b. Franchise and brand-use Agreement : suatu bentuk usaha kerjasama yang

digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti: Coca-Cola, Pepsi-Coca-Cola, Van Houten, Mc’ Donalds, Kentucky Fried Chicken, dan sebagainya.

c. Management Contract: suatu bentuk usaha kerjasama antara pihak modal asing

dengan modal nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan khusunya dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu perusahaan nasional. Misalnya yang lazim dipergunakan dalam pembuatan maupun pengelolaan hotel yang bertaraf internasional oleh pihak Indonesia


(35)

diserahkan kepada swasta luar negeri seperti; Hilton International Hotel, Mandarin International Hotel, dan sebagainya.

d. Build, Operation, and Transfer (B.O.T) : suatu bentuk kerjasama yang relatif baru

dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerjasama antara para pihak, dimana suatu objek dibangun, dikelola, atau dioperasikan selama jangka waktu tertentu diserahkan kepada pemilik asli.

ii. Joint Enterprise

Joint enterprise merupakan suatu kerjasama antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri dengan membentuk suatu perusahaan atau badan hukum baru sesuai dengan yang diisyaratkan dalam Pasal 3 UU PMA. Joint

Enterprise merupakan suatu perusahaan terbatas, yang modalnya terdiri dari modal

dalam nilai rupiah maupun dengan modal yang dinyatakan dalam valuta asing.35

iii. Kontrak Karya

Pengertian kontrak karya (contract of work) sebagai suatu bentuk usaha kerjasama antara penanaman modal asing dengan modal nasional terjadi apabila penanam modal asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan perjanjian kerja sama dengan suatu badan hukum yang mempergunakan modal nasional. Bentuk kerjasama kontrak karya ini hanya terdapat dalam perjanjian kerja sama antara badan hukum milik negara (BUMN) seperti; Kontrak karya antara


(36)

PN. Pertamina dengan PT. Caltex International Petroleum yang berkedudukan di Amerika Serikat.36

Disamping ketiga bentuk kerjasama di atas masih terdapat bentuk kerjasama yang lain seperti production sharing, management contract, penanaman modal asing dengan disc-rupiah dan kredit untuk proyek (barang modal).37

3. Manfaat penanaman modal asing secara langsung

Keberadaan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct

investment) tidak dapat dipungkiri telah memberi banyak manfaat bagi negara

penerima modal (host country), begitu pula bagi investor maupun bagi negara asal (home country).

Bagi negara penerima modal (host country) keberadaaan investasi yang ditanamkan oleh investor, khususnya penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment), ternyata telah memberikan dampak positif atau manfaat di dalam pembangunan.

Terlepas dari pendapat pro dan kontra terhadap kehadiran investasi asing, namun secara teoritis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu negara mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier effect). Manfaat yang dimaksud, yakni kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan

36Ibid., hal. 63-64.


(37)

baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari sektor pajak, adanya alih teknologi (transfer of

technology) maupun alih pengetahuan (transfer of know how). Dilihat dari sudut

pandang ini terlihat bahwa, kehadiran investor cukup berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara, khususnya pembangunan ekonomi di daerah dimana FDI menjalankan aktifitasnya.38

Arti pentingya kehadiran investor asing dikemukakan Gunarto Suhardi:39 “investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena langsung lebih permanen. Selain itu investasi langsung:

a. memberikan kesempatan kerja bagi penduduk;

b. mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal;

c. memberikan residu baik berupa peralatan maupun alih teknologi;

d. apabila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal disamping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara;

e. lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing;

f. memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan.”

38Hendrik Budi Untung, op. cit., hal. 41-42. 39Ibid., hal. 42.


(38)

John W. Head mengemukakan tujuh keuntungan investasi, khususnya investasi asing. Ketujuh investasi asing itu adalah:40

1. menciptakan lowongan kerja bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat meningkatkan penghasilan dan standar hidup mereka;

2. menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat berbagi dari pendapatan perusahaan-perusahaan baru; 3. meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendapatkan penghasilan

tambahan dari luar yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan bagi kepentingan penduduknya;

4. menghasilkan pengalihan teknis dan pengetahuan yang dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan industri lain;

5. memperluas potensi keswasembadaan negara tuan rumah dengan memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor;

6. menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, demi kepentingan penduduk negara tuan rumah;

7. membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, agar lebih baik pemanfaatanya dari semula.

Bagi investor/penanam modal atau yang dalam hal ini Perusahaan Multinasional, manfaat dari kegiatan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment) yang mereka lakukan pada dasarnya sama dengan alasan mereka untuk melakukan investasi secara langsung tersebut.


(39)

Adapun alasan-alasan suatu Perusahaan Multinasional melakukan investasi secara langsung ke luar negeri, antara lain:41

1. alasan kedekatan dengan sumber bahan baku;

2. untuk menghindari Daftar Negatif Investasi (DNI) di negara asal; 3. karena alasan upah buruh yang murah;

4. mencari pasar yang baru; 5. untuk mendapatkan royalti;

6. untuk mendapatkan insentif investasi di negara tujuan; 7. untuk menghindari penurunan nilai mata uang;

8. karena alasan status tertentu suatu negara dalam Perdagangan Internasional. Sementara bagi negara asal (home country) manfaat dari kegiatan penanaman modal secara langsung (foriegn direct investment) pada dasarnya sama juga dengan motif mereka untuk melakukan investasi secara langsung.

Adapun motivasi dari negara maju untuk berinvestasi dapat dikemukakan secara analogi dari hasil penelitian Edward K.Y. Chen sebagai berikut:42

1. Lower cost and rent; 2. Lower labour cost; 3. Diversification of risk;

4. To make fuller use of the technical and production know-how developed or adopted by investee;

41Mahmul Siregar, Hukum Investasi (Bahan Kuliah), Medan, 27 Januari 2009. 42Hendrik Budi Untung, op. cit., hal. 30.


(40)

5. To avoid or reduce the pressure of competition from other corporation in investee countries;

6. To make use outdated machinery used in the investee corporation 7. Higher rates of profits;

8. Avalability of higher levels of technology; 9. Lower capability;

10. Defending the existing market by directly investing there; 11.To build up a vertically integrated structure;

12.To circumvent tariffs and quotas imposed by develop countries;

13.Establishing a subsidiary overseas is similar to investing in financial market overseas;

14.Availability of technical and skilled labour force; 15.Availibility of management manpowert;

16.To open up new markets by directly investing there; 17.Availability of raw materials and or intermediate products.

B. Asas dan Tujuan Penanaman Modal

Sejalan dengan tujuan, pembaharuan dan pembentukan Undang-Undang Penanaman Modal, di dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007


(41)

tentang Penanaman Modal telah ditentukan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:43

1. Kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam kegiatan penanaman modal.

2. Keterbukaan, yaitu asas yang terbuka atas hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

3. Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, yaitu asas perlakuan pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari negara asing lainnya.

5. Kebersamaan, yaitu asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 6. Efisiensi berkeadilan, yaitu asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal

dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.


(42)

7. Berkelanjutan, yaitu asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun untuk masa dating.

8. Berwawasan lingkungan, yaitu asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

9. Kemandirian, yaitu asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.

10.Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, yaitu asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah, dalam kesatuan ekonomi nasional.

Selain memuat asas-asas dalam penyelenggaraan penanaman modal, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal juga memuat mengenai tujuan dari penyelenggaraan penanaman modal.

Tujuan penyelenggaran penanaman modal, antara lain untuk:44 a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;

b. Menciptakan lapangan kerja;

c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;


(43)

e. Meningkatkan kapasitas dan kemapuan teknologi nasional; f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan

h. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal tersebut hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain dengan perbaikan koordinasi antara instansi pemerintah pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha.

C. Bidang Usaha

Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan tiga golongan bidang usaha. Ketiga golongan bidang usaha itu, meliputi:45

1. bidang usaha terbuka; 2. bidang usaha tetutup;dan

3. bidang usaha terbuka dengan persyaratan.


(44)

Bidang usaha yang terbuka merupakan bidang usaha yang diperkenankan untuk ditanamkan investasi, baik oleh investor asing maupun investor domestik.46 Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal.47

Di dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan daftar bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal, baik untuk investasi domestik maupun investasi asing, yang meliputi:48

1) Produksi senjata; 2) Mesiu;

3) Alat peledak; 4) Peralatan perang;

5) Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

Penjabaran lebih lanjut dari perintah Pasal 12 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Lampiran I

46Ibid.

47Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.


(45)

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 telah diatur rinci tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup.

Ada dua puluh daftar bidang usaha yang tertutup, baik untuk investasi domestik maupun investasi asing. Kedua puluh daftar bidang usaha yang tertutup untuk investasi yaitu:49

1) Budidaya Ganja

2) Penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix I Convention on

International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

3) Pemanfaatan (pengambilan) koral/karang dari alam untuk bahan bangunan/kapur/kalsium dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati (recent death coral) dari alam.

4) Industri minuman mengandung alkohol (minuman keras, anggur, dan minuman mengandung malt)

5) Industri pembuat chlor alkali dengan proses merkuri

6) Industri bahan kimia yang dapat merusak lingkungan seperti: a. halon dan lainnya

b. penta chlorophenol, dichloro diphenyl trichloro elhane (DDT), dieldrin, chlordane, carbon tetra, chloride, methyl chloroform, methyl bromide, chloro fluoro carbon (CFC)

49Lampiran I Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.


(46)

7) Industri bahan kimia schedule I konvensi senjata kimia (sarin, soman, tabun

mustard, levisite, ricine, saxitoxin, VX, dll.)

8) Penyediaan dan penyelenggaraan terminal darat 9) Penyelenggaraan dan pengoperasian jembatan timbang 10)Penyelenggaraan pengujian tipe kendaraan bermotor 11)Penyelenggaraan pengujian berkala kendaraan bermotor 12)Telekomunikasi/sarana bantu navigasi pelayaran

13)Vassel Traffic Information System (VTIS)

14)Jasa pemanduan lalu lintas udara

15)Manejemen dan Penyelenggaraan Stasiun Monitoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit

16)Museum pemerintah

17)Peninggalan sejarah dan purbakala (candi, keratin, prasasti, bangunan kuno, dsb) 18)Pemukiman/lingkungan adat

19)Monumen

20)Perjudian/Kasino.

Daftar bidang usaha yang tertutup dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan daftar bidang usaha yang dinyatakan tertutup dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007, dimana pada Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 terdapat 23 bidang usaha yang


(47)

dinyatakan terutup. Hal ini dikarenakan terdapat tiga bidang usaha yang dikeluarkan dari daftar bidang usaha yang tertutup, yakni:

1. Objek ziarah, seperti: tempat peribadatan, petilasan, dan makam; 2. Lembaga penyiaran publik radio dan televisi;

3. Industri siklamat dan sakarin.

Bidang usaha yang tertutup dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan non komersial seperti, penelitian dan pengembangan dan mendapat persetujuan dari sektor yang bertanggung jawab atas pembinaan bidang usaha tersebut.50

Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu,dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.51 Daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan ini telah ditentukan dalam Lampiran II Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

50Salim H.S. dan Budi Sutrisno, op. cit., hal. 56.

51Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.


(48)

D. Perizinan

Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.52

Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.53 Izin sebagaimana dimaksud diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu.54

Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.55

52Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

53Undang-Undang Penanaman Modal, op. cit., Pasal 25 ayat (4). 54Ibid., Pasal 25 ayat (5).

55Pasal 1 angka 4 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.


(49)

PTSP di bidang penanaman modal bertujuan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal, dengan cara mempercepat, menyederhanakan pelayanan, dan meringankan atau menghilangkan biaya pengurusan perizinan dan nonperizinan.56

Ruang lingkup PTSP di bidang penanaman modal mencakup pelayanan untuk semua jenis perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal yang diperlukan untuk melakukan kegiatan penanaman modal.57

PTSP di bidang penanaman modal diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.58

Penyelenggaraan PTSP di bidang penanaman modal oleh pemerintah dilaksanakan oleh BKPM.59

Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal:60

a. Kepala BKPM mendapat Pendelegasian atau Pelimpahan Wewenang dari Menteri Teknis/Kepala LPND yang memiliki kewenangan Perizinan dan

56Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

57Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

58Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

59Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

60Pasal 7 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.


(50)

Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal; dan

b. Menteri Teknis/Kepala LPND, Gubernur atau Bupati/Walikota yang mengeluarkan Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal dapat menunjuk Penghubung dengan BKPM.

Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal terdiri atas:61

a. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi; b. Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang meliputi:

1. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi; 2. Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas

tinggi pada skala nasional;

3. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;

4. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;

61Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.


(51)

5. Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan 6. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah

menurut undang-undang.

Kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Kewenangan BKPM telah ditentukan dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ditentukan bahwa koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Koordinasi kebijakan penanaman modal, meliputi koordinasi:62

1. antar instansi pemerintah;

2. antar instansi pemerintah dengan Bank Indonesia; 3. antar instansi pemerintah dengan pemerintah daerah; dan 4. koordinasi antar pemerintah daerah.

Tugas dan fungsi BKPM ditentukan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Tugas dan fungsi BKPM adalah:63

62Salim H. S. dan Budi Sutrisno, op. cit., hal. 230. 63Ibid., hal. 230-231.


(52)

1. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal;

2. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal;

3. menetapkan norma, standar dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;

4. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dan memberdayakan badan usaha;

5. menyusun peta penanaman modal Indonesia; 6. mempromosikan penanaman modal;

7. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;

8. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;

9. mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia;

10.mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu; dan

11.melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(53)

Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.64

Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal oleh pemerintah provinsi dilaksanakan oleh PDPPM.65 Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, Gubernur memberikan Pendelegasian Wewenang pemberian Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal yang menjadi urusan pemerintah provinsi kepada kepala PDPPM.66

Urusan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, meliputi:67

a. urusan pemerintah provinsi di bidang Penanaman Modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintah daerah provinsi; dan

b. urusan pemerintah di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang

64Pasal 10 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

65Pasal 11 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

66Pasal 11 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

67Pasal 11 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.


(54)

Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal yang diberikan Pelimpahan Wewenang kepada Gubernur.

Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal oleh pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan oleh PDKPM.68 Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, Bupati/Walikota memberikan Pendelegasian Wewenang pemberian Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal yang menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota kepada kepala PDKPM.69

Urusan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada Pasal 12 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal, meliputi:70

a. urusan pemerintah kabupaten/kota di bidang Penanaman Modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintah kabupaten/kota; dan

b. urusan pemerintah di bidang Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang

68Pasal 12 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

69Pasal 12 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

70Pasal 12 ayat (3) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.


(55)

Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal yang diberikan Penugasan kepada pemerintah kabupaten/kota.

Jenis perizinan penanaman modal, antara lain:71 a. Pendaftaran Penanaman Modal;

b. Izin Prinsip Penanaman Modal;

c. Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal; d. Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal;

e. Izin Usaha, Izin Usaha Perluasan, Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (merger) dan Izin Usaha Perubahan;

f. Izin Lokasi;

g. Persetujuan Pemanfaatan Ruang; h. Izin Mendirikan Bangunan (IMB); i. Izin Gangguan (UUG/HO);

j. Surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah; k. Tanda Daftar Perusahaan (TDP);

l. Hak atas tanah;

m. Izin-izin lainnya dalam rangka pelaksanaan penanaman modal.

Pendaftaran penanaman modal, yang selanjutnya disebut pendaftaran adalah bentuk persetujuan awal pemerintah sebagai dasar memulai rencana penanaman

71Pasal 13 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.


(56)

modal.72 Permohonan pendaftaran penanaman modal adalah permohonan yang disampaikan oleh penanam modal untuk mendapatkan persetujuan awal pemerintah sebagai dasar memulai rencana penanaman modal.73 Permohonan pendaftaran disampaikan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, PTSD PDKPM sesuai kewenangannya.74

Permohonan pendaftaran dapat diajukan oleh:75

a. pemerintah negara lain dan/atau warga negara asing dan/atau badan usaha asing b. pemerintah negara lain dan/atau warga negara asing dan/atau badan usaha asing

bersama dengan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; c. perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha Indonesia lainnya. Permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal, dengan menggunakan formulir pendaftaran, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, dalam bentuk hardcopy atau softcopy berdasarkan investor module BKPM, dengan dilengkapi persyaratan bukti diri pemohon:76 

72Pasal 1 angka 10 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.

73Pasal 1 angka 9 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.

74Pasal 33 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.

75Pasal 33 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.

76Pasal 33 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman


(57)

a. surat dari instansi pemerintah negara yang bersangkutan atau surat yang dikeluarkan oleh kedutaan besar/kantor perwakilan negara yang bersangkutan di Indonesia untuk pemohon adalah negara lain;

b. rekaman paspor yang masih berlaku untuk pemohon adalah perseorangan asing; c. rekaman Anggaran Dasar (Article of Association) dalam bahasa Inggris atau

terjemahannya dalam bahasa Indonesia dari penterjemah tersumpah untuk pemohon adalah untuk badan usaha asing;

d. rekaman KTP yang masih berlaku untuk pemohon adalah perseorangan Indonesia;

e. rekaman Akta Pendirian perusahaan dan perubahannya beserta pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM untuk pemohon adalah badan usaha Indonesia;

f. rekaman NPWP baik untuk pemohon adalah perseorangan Indonesia maupun badan usaha Indonesia;

g. permohonan pendaftaran ditandatangani di atas materai cukup oleh seluruh pemohon (bila perusahaan belum berbadan hukum) atau oleh direksi perusahaan (bila perusahaan sudah berbadan hukum);

h. Surat kuasa asli bermaterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan secara langsung oleh pemohon/direksi perusahaan;

i. ketentuan tentang surat kuasa sebagaimana dimaksud pada butir h diatur dalam Pasal 63 peraturan ini.


(58)

Pendaftaran diterbitkan dalam 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.77

Izin prinsip penanaman modal, yang selanjutnya disebut izin prinsip adalah izin untuk memulai kegiatan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal.78 Permohonan izin prinsip penanaman modal adalah permohonan yang disampaikan oleh perusahaan untuk mendapatkan izin dari pemerintah dalam memulai kegiatan penanaman modal.79

Permohonan izin prinsip bagi perusahaan penanaman modal asing yang bidang usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal disampaikan ke PTSP BKPM dengan menggunakan formulir izin prinsip, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dalam bentuk hardcopy atau softcopy berdasarkan investor

module BKPM.80

Permohonan izin prinsip sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009

77Pasal 33 ayat (4) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman.

78Pasal 1 angka 14 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.

79Pasal 1 angka 13 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal.

80Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman.


(59)

tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal dilengkapi persyaratan sebagai berikut:81

a. bukti diri pemohon

1. Pendaftaran bagi badan usaha yang telah melakukan pendaftaran; 2. Rekaman akta pendirian perusahaan dan perubahannya;

3. Rekaman pengesahan anggaran dasar perusahaan dari Mentri Hukum dan HAM;

4. Rekamanan nomor pokok wajib pajak (NPWP). b. keterangan rencana kegiatan, berupa:

1. uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi dengan diagram ulir (flow chart);

2. uraian kegiatan usaha sektor jasa.

c. rekomendasi dari instansi pemerintah terkait, bila dipersyaratkan;

d. permohonan izin prinsip disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM; e. permohonan yang secara tidak langsung disampaikan oleh direksi perusahaan

PTSP BKPM harus dilampiri surat kuasa asli;

f. ketentuan tentang surat kuasa sebagaiman dimaksud pada butir e diatur dalam Pasal 63 peraturan ini.

Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang

81Pasal 34 ayat (2) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman.


(60)

Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal, diterbitkan izin prinsip dengan tembusan kepada:82

a. Menteri Dalam Negeri; b. Menteri Keuangan;

c. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia u.p. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum;

d. Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan; e. Menteri Negara Lingkungan Hidup [bagi perusahaan yang diwajibkan AMDAL

atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)];

f. Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (bagi bidang usaha yang diwajibkan bermitra);

g. Gubernur Bank Indonesia;

h. Kepala Badan Pertanahan Nasional (bagi penanaman modal yang akan memiliki lahan);

i. Duta Besar Republik Indonesia di negara asal penanam modal asing; j. Direktur Jenderal Pajak;

k. Direktur Jenderal Bea dan Cukai;

l. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan; m. Gubernur yang bersangkutan;

82Pasal 34 ayat (3) Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman.


(1)

Negatif Investasi (DNI) merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan hanya berlaku terhadap kegiatan penanaman modal asing yang dilakukan secara langsung (foreign direct investment). Hal tersebut telah dipertegas pula dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

3. Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan tidak bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional, seperti TRIMs, GATS, dan Domestic Regulations. Karena tidak ada satu pun ketentuan yang ada dalam World Trade Organization (WTO) yang melarang pemerintah host country untuk menerapkan pembatasan bidang usaha dalam kebijakan penanaman modalnya. Selain itu, persyaratan-persyaratan yang termuat dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) juga tidak bertentangan dengan Article III dan XI GATT dan Agreement on TRIMs sama sekali tidak melarang persyaratan penanaman modal seperti kewajiban joint venture, pembatasan pemilikan saham asing, kemitraan dengan UKMK, alih teknologi serta persyaratan-persyaratan lainnya yang berkenaan dengan upaya melindungi lingkungan hidup seperti persyaratan yang ada di dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Persyaratan-persyaratan yang termuat dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) termasuk kategori pada fase entry appropal (perusahaan belum berdiri) dan penerapan persyaratan yang demikian


(2)

Domestic Regulations, Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan telah sesuai dengan apa yang diatur Article VI: 4 GATS.

B. Saran

Dalam hubungan dengan pembahasan skripsi tentang Tinjauan Yuridis Mengenai Kebijakan Daftar Negatif Investasi Dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia, dengan ini disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Di dalam penciptaan iklim penanaman modal yang berdaya saing hendaknya pemerintah Indonesia juga tetap memperhatikan kepentingan nasional melalui kebijakan-kebijakan penanaman modal yang diterbitkannya;

2. Selain itu pemerintah juga hendaknya harus secara cermat dan jelas menjelaskan makna dari aturan hukum yang ada agar tidak terjadi perbedaan penafsiran, sehingga dengan demikian kepastian hukum dapat terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Adolf, Huala. 2005. Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

_________, 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1999. Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia. Bandung: Mandar Maju.

Fuady, Munir. 2008. Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis di Era Global. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Hartono, Sunarjati. 1974. Masalah-Masalah Dalam Joint Venture antara Modal Asing dan Modal Indonesia. Bandung: Alumni.

Hendrik Budi Untung. 2010. Hukum Investasi. Jakarta: Sinar Grafika.

Ilmar, Aminuddin. 2004. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Prenada Media

_________, 2004. Hukum Penanaman Modal. Jakarta: Kencana.

Ida Bagus Rahmadi Supancana. 2006. Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.


(4)

K. Harjono, Dhaniswara. 2007. Hukum Penanaman Modal: Tinjauan terhadap Pemberlakuan UU. No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jakarta: PT Raharja Grafindo Persada.

Margono, Sujud. 2008. Hukum Investasi Asing di Indonesia. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri.

Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Nasution, Asmin. 2008. Transparansi Dalam Penanaman Modal. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Padji, Aliminsyah. 2003. Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan. Bandung: Yrama Widya.

Panjaitan, Hulaman dan Anner Sianipar. 2008. Hukum Penanaman Modal Asing. Jakarta: CV Indhill Co.

Rakhmawati, N. Rosyidah. 2003. Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia Dalam Menghadapi Era Global. Malang: Bayumedia Publishing

Salim HS dan Budi Sutrisno. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sembiring, Sentosa. 2007. Hukum Investasi. Bandung: Nuansa Aulia.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


(5)

Sumantoro. 1998. Peranan Perusahaan Multinasional Dalam Pembangunan Negara yang Sedang Berkembang dan Implikasinya di Indonesia. Bandung: Alumni. Sunny, Ismail dan Rochmat Rudiro. 1998. Tinjauan dan Pembahasan

Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri. Jakarta: Pradjna Paramita.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 Tentang Kritria dan Persayaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal


(6)

Bidang-C. Internet

http://www.Bismar Nasty/Wordpress.com. “Prinsip Keterbukaan, Pengelolaan Perusahaan yang Baik dan Persyaratan Hukum di Pasar Modal”, Februari 10, 2008.

http://www.detikinet.com/09/06/2008/indosat-dijual-ke-qatar, 8 Juni 2010.

http://www.detiksport.com/13/10/2008/qatar-masih-ingin-kuasai-penuh-indosat, 7 Juni 2010.

D. Sumber lainnya

Siregar, Mahmul, “UUPM dan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam Kegiatan Penanaman Modal”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 26/No. 4/Tahun 2007.

Rajagukguk, Erman, “Perpres DNI dan Dampaknya Terhadap Kepemilikan Asing Atas Saham Emiten”. Jurnal Hukum dan Pasar Modal. Agustus-Desember 2008.