Tinjauan Yuridis Kepemilikan Saham Asing Dalam Penanaman Modal Patungan Di Indonesia

(1)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Asyhadie, Zaeni, Hukum Bisnis, Jakarta:Rajawali Pers, 2005.

Badudu J.S dan A.F Elly Erawati, Kamus Hukum Ekonomi Indonesia Inggris, Jakarta: ELIPS, 1996.

Ginting Budiman, Hukum Investasi Perlindungan Hukum Pemegang Saham Minoritas dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing, Medan: Pustaka Bangsa, 2007.

Hartono, Sunaryati, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1970.

Harjono, Dhaniswara K, Hukum Penanaman Modal, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007.

Ilmar, Aminuddin, Hukum Penanaman Modal D Indonesia, Jakarta: Kencana Media Group, 2007.

Margono, Sujud, Hukum Investasi Asing Di Indonesia, Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2008.

Rochmat R dan Ismail Sunny, Tinjauan dan Pembahasan UUPMA dan Kredit Luar Negeri, Jakarta: Pradnya Paramitha, 1967.


(2)

Radjagukguk, Erman, Hukum Investasi di Indonesia, Jakarta: FH UI, 2005.

Sembiring, Sentosa, Hukum Investasi, Bandung : Nuansa Aulia, 2007.

Sembiring, Sentosa, Hukum Perusahaan tentang perseroan Terbatas, Bandung: Nuansa Aulia, 2008.

Sianipar A.M dan Hulman Pandjaitan, Hukum Penanaman Modal Asing, Jakarta: IHC, 2008..

Siregar, Mahmul, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multirateral, Medan, 2005

Soekanto, Soerdjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:UI Press, 1987.

Sumantoro, Aspek-Aspek Pengembangan Dunia Usaha Indonesia, Bandung: Bina Cipta, 1977.

Sutrisno Budi dan Salim HS, Hukum Investasi Di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2008.

PERUNDANG-UNDANGAN

UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2001 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing


(3)

Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Bidang Uaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

Keputusan Presiden no. 52 tahun 1976 tentang Pasar Modal.

MODUL

Budiman Ginting dan Mahmul Siregar, Pengantar Hukum Investasi (Penanaman Modal),Medan : FH USU, 2009.

INTERNET

www. scribd.com, Erman Suparman, Perjanjian Internasional sebagai Model Hukum bagi Pengaturan Masyarakat Global, diakses tanggal 5 Juli 2010.

Modal Asing, diakses tanggal 5 Juli 2010.

Medizton.wordpress.com, Joint Venture, diakses tanggal 5 Agustus 2010.


(4)

Divestasi Saham Asing, diakses tanggal 6 November.

Fumarolla.Wordpress.com, Joint Venture Di Indonesia, diakses tanggal 23 Agustus 2010.

http;//www.bkpmd.go.id, diakses tanggal 3 Oktober 2010.

Anggraan Dasar Joint Venture Company, diakses tanggal 15 Agustus 2010.


(5)

BAB III

KEPEMILIKAN SAHAM ASING PADA PENANAMAN

MODAL PERUSAHAAN

A. Bentuk- Bentuk Kerjasama Modal

Dalam era globalisasi atau lebih sering dikenal dengan era liberalisasi perdagangan dan investasi, kehadiran bentuk kerjasama dalam menjalankan suatu usaha sangat dibutuhkan. Hal ini dimaksudkan untuk kelanggengan dan kelangsungan suatu usaha.

Perkembangan kerjasama pihak asing dengan negara Indonesia baik dengan pihak pemerintah maupun dengan pihak swasta pada akhir-akhir ini berkembang pesat, perkembangan bentuk kerjasama ini bukan lagi terbatas pada bentuk kerjasama dagang akan tetapi telah berkembang dalam bentuk penanaman modal, baik untuk sektor jasa, perdagangan dan sektor industri. Hal ini tidaklah terlepas dari usaha-usaha pemerintah dalam rangka memperpendek jarak antara negara-negara sedang berkembang, khususnya Indonesia dengan negara-negara yang sudah maju lainnya.37

37

Hulman Panjaitan & Anner Mangatur Sianipar, op cit, hal.130-131.


(6)

Bentuk kerjasama yang dimungkinkan dapat dilakukan dalam berbagai bentuk seperti joint venture, joint enterprise, kontrak karya, production sharing, penanaman modal dengan DICS Rupiah, penanamaan modal dengan kredit investasi, portfolio investment yang masing-masing bentuk kerjasama tersebut mempunyai perbedaan, keunggulan dan kekuarangannya dalam kaitannnya dengan para partner kerjasama serta negara Indonesia sebagai negera penerima modal asing. .

1. Joint Venture

Joint venture adalah suatu unit terpisah yang melibatkan dua atau lebih peserta aktif sebagai mitra. Kadang-kadang juga disebut sebagai aliansi strategis, yang meliputi berbagai mitra, termasuk organisasi nirlaba, sektor bisnis dan umum. Dari sudut ekonomi, joint venture adalah suatu persetujuan diantara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerjasama dalam suatu kegiatan. Sering kali, suatu joint venture dilakukan apabila perusahaan-perusahaan itu melalui teknologi yang saling melengkapi ingin menciptakan barang atau jasa yang akan saling memperkuat posisi masing-masing. Sunaryati Hartono merumuskan joint venture

merupakan kerjasama antara pemilik pemodal asing dengan pemilik modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka (contractueel).38

Berbagai macam corak atau variasi dari joint venture yang diketemukan dalam praktik aplikasi penanaman modal asing, sebagai berikut:

38


(7)

a. Technical Assistance (service) Contract: suatu bentuk kerja sama yang dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang bersangkut paut dengan skill atau cara kerja (method) misalnya: suatu perusahaan modal nasional yang ingin memajukan atau meningkatkan produksinya. Membutuhkan suatu peralatan baru disertai cara kerja atau metode kerja. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan technical assistance dari perusahaan modal asing luar diluar negeri dengan cara pembayaran dalam bentuk royalti yakni pembayaran sejumlah uang tertentu yang dapat diambilkan dari penjualan produksi perusahaan yang bersangkutan.

b. Franchise and brand-use Agreement : suatu bentuk usaha kerja sama yang digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti Coca Cola, Pepsi-Cola, Van Houten, Mc’Donalds, Kentucky Fried Chicken,dan sebagainya.

c. Build, Operation and Transfer (BOT): suatu kerja sama yang relatif masih baru dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerja sama antara para pihak dimana suatu obyek dibangun, dikelola atau dioperasikan selama jangka waktu tertentu diserahkan kepada pemilik asli. Misalnya : pihak swasta nasional mempunyai gedung atau bangunan mengadakan kerja sama dengan pihak luar negeri untuk membangun suatu Department Store ataupun Hotel dimana biaya pembangunan, perencanaan, pelaksanaan operasinya


(8)

dilaksanakan oleh pihak asing dengan jangka waktu sesuai kerja sama lalu kemudian diserahkan kepada pihak nasional.

2. Joint-Enterprise

Joint-enterprise adalah suatu perusahaan yang berbentuk badan hukum antara pemilik modal asing dan pemilik modal nasional. Joint enterpise

merupakan suatu perusahaan terbatas yang modalnya terdiri dari modal dalam nilai rupiah maupun modal yang dinyatakan dalam valuta asing. Dengan perkataan lain, kerjasama dalam bentuk joint enterprise adalah suatu bentuk kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional yang dituangkan dalam badan hukum Indonesia yang bertujuan menjalankan kegiatan usaha di wilayah tujuan investasi. 39

39 Ibid, hal 147.

Pada permulaan berlakunya UU No. 1 Tahun 1967, tampaknya bentuk usaha kerja sama ini yang paling dikehendaki oleh para pihak khususnya penanaman modal asing. Alasan yang mendasari adalah:

a. Setiap usaha di Indonesia memerlukan rupiah untuk pembayaran barang-barang yang lebih murah dan mudah diperoleh di Indonesia. juga untuk pembayaran gaji pegawai dan lain-lain pengeluaran dibutuhkan rupiah oleh penanaman modal asing.


(9)

b. Penanaman modal asing tidak perlu menanamkan modal dalam bentuk valuta asing, tetapi modal asing dapat berbentuk mesin-mesin atau lain hasil produksi penanaman modal asing itu. Sehingga penanaman modal asing di Indonesia oleh penanam modal asing itu telah menghasilkan efek yang menguntungkan, yaitu bahwa tidak hanya dapat membayangkan dapat memperoleh keuntungan dalam masa yang akan datang, akan tetapi pada saat ia diizinkan memasukkan mesin-mesinnya (barang modal) ke Indonesia dengan bebas bea masuk, maka ia pun telah mengekspor barang-barangnya ke luar negeri tanpa membayar pajak impor untuk itu.

c. Dengan bekerja sama dengan pengusaha nasional, apalagi yang telah berpengalaman, maka penanam modal asing itu dapat mengecilkan resiko seminimal mungkin, sehingga sebenarnya penanaman modalnya di Indonesia lebih merupakan pemberian kredit daripada penanaman modal asing yang langsung (direct investment).40

Pengertian kontrak karya (contract of work) sebagai suatu bentuk usaha kerja sama antara penanaman modal asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan perjanjian kerja sama dengan suatu badan 3. Kontrak Karya

40 Aminuddin Ilmar,


(10)

hukum yang mempergunakan modal nasional.41

Ditinjau dari segi penanaman modal asing sendiri, maka cara tersebut sering lebih memuaskan, oleh karena masing-masing pihak dengan demikian dapat mengadakan pembukuan dan kebijaksanaan yang terpisah. Kesulitan-kesulitan yang dihadapi di dalam suatu perusahaan campuran, berhubung dengan perbedaan pembukuan dalam rupiah dan pembukuan dalam valuta asing atau berhubung dengan perbedaan pendapat mengenai manajemen perusahaan dengan demikian lebih mudah dapat dihindari. Menurut Sunaryati Hartono

Bentuk kerja sama kontrak karya ini hanya terdapat dalam perjanjian kerja sama antara Badan Hukum Milik Negara (BUMN) seperti: Kontrak Karya antara PN, Pertamina dengan PT.Caltex Pacific Indonesia yang merupakan anak perusahaan dari Caltex International Petroleum yang berkedudukan di Amerika Serikat.

42

41

Ismail Suny dan Rudioro Rochmat, Tinjauan dan Pembahasan UUPMA dan Kredit Luar Negeri, (Jakarta: Pradnya Parmitha, 1967), hal.108.

42

Sunaryati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional dalam Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia, (Bandung: Bina Cipta, 1970), hal. 140.

oleh karena negara tidak menjadi pemilik daripada bumi dan air dan kekayaan alam Indonesia, akan tetapi hanya mempunyai hak untuk menguasai saja. Oleh sebab itu, perusahaan negara (BUMN) juga hanya paling banyak dapat mengadakan perjanjian dengan pihak lain (asing) untuk mengerjakan pengolahan (eksploitasi dan eksploirasi) untuk dan atas nama perusahaan negara tersebut. Perjanjian semacam itu disebutnya dengan nama kontrak karya, yang memberi tugas dan kewajiban (dan karena itu hak) kepada pihak lain untuk menggali dan mengolah


(11)

tanah yang menjadi kuasa pertambangan perusahaan tersebut. Adapun besarnya imbalan tergantung dari hasil perjanjian kontrak karya tersebut.

Adanya berbagai bentuk dan corak kontrak karya dalam kerja sama antara modal asing dengan modal nasional disebabkan adanya beberapa pertimbangan diantaranya keleluasaan pihak asing untuk melakukan perjanjian kerja sama dengan perusahaan negara (BUMN) yang sudah terjamin kepercayaannya oleh karena ditopang dengan unsur negara didalamnya, penguasaan dimulai dari manajemen sampai kepada pemasaran tetap berada di tangan penanaman modal asing.43

Menurut Sunaryati Hartono 4. Production Sharing

44

43

Aminuddin Ilmar, op cit, hal. 65.

44 Sunaryati Hartono,

op cit, hal. 145.

cara dengan production sharing ini sebelum UU Nomor 1 Tahun 1967, yaitu dengan terhapusnya UU Penanaman Modal Asing tahun 1965 oleh UU No. 16 Tahun 1965 boleh dikatakan merupakan satu-satunya cara yang terpenting dilakukan oleh perusahaan-perusahaan negara. Karena penanaman modal asing sudah dilarang dengan UU No. 16 Tahun 1965 itu, maka untuk memenuhi kebutuhan akan modal dan alat perlengkapan dari luar negeri, dipikirkan orang suatu bentuk kredit yang dinamakan production sharing


(12)

Dinamakan suatu production sharing atau bagi hasil, oleh karena kredit yang diperoleh dari pihak asing ini beserta bunganya akan dikembalikan dalam bentuk hasil produksi perusahaan yang bersangkutan yang biasanya dikaitkan dengan suatu ketentuan mengenai kewajiban perusahaan Indonesia untuk mengekspor hasilnya kepada negara pemberi kredit. Dengan kata lain, bahwa production sharing adalah suatu perjanjian kerja sama kredit antara modal asing dengan pihak Indonesia untuk mengekspor hasilnya kepada negara pemberi kredit.45

Dibandingkan denga kerjasama production sharing, maka penanaman modal asing dengan DICS-Rupiah ini merupakan suatu bentuk campuran atau variasi antara kredit dengan penanaman modal. Jika pada production sharing

suatu perusahaan (nasional) Indonesia memperoleh modal asing dalam bentuk kredit, maka penanaman modal asing dengan DISC-Rupiah ini kredit modal asing yang telah harus dikembalikan kepada kreditornya oleh pihak Indonesia dengan adanya ketentuan Instruksi Presidium Kabinet nomor 28/EK/IN/5/1967 yang pada prinsipnya menyatakan bahwa tagihan-tagihan para kreditor asing yang menyangkut utang-utang yang tidak dijamin oleh pemerintah asing dapat diubah menjadi penanaman modal asing di Indonesia. Kebijakan tersebut dinamakan dengan Debt Investment Conversation Scheme (DISC), oleh sebab itu pelunasan utang-utang tersebut diatas, yang semula diperhitungkan berdasarkan valuta asing 5. Penanaman Modal dengan DICS-Rupiah

45Aminuddin Ilmar


(13)

tetapi dibayar dengan rupiah terjadi dengan DISC-Rupiah yang merupakan Kertas Pembendaharaan Negara berbunga 3 % setahun. Menurut Ismail Sunny, apabila kreditornya sendiri yang menggunakan DISC-Rupiah, maka akan dicatat sebagai modal adalah jumlah utang Republik Indonesia yang telah dihapuskan dengan pembayaran berupa DISC, pencatatan mana dilakukan dengan valuta asing.46

Adanya penanaman modal dengan menggunakan kredit investasi adalah merupakan kebijaksanaan pemerintah pada tahun 1970 dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Ekonomi, Keuangan dan Industri Nomor 21/MENKUIN/4/1970. Dimana di dalam bidang penanaman modal tidak dapat dipisahkan dengan tegas, oleh karena kredit luar negeri dapat menjadi penanaman modal asing di dalam negeri. Dalam kenyataannya tampak bahwa kredit luar negeri investasi menjadi modal nasional yang setelah bergabung dengan modal asing dalam joint venture dapat digolongkan menjadi penanaman modal asing meskipun jalan yang ditempuh sangat berbelit-belit. Dalam praktek penanaman modal dengan kredit investasi ini banyak dilakukan oleh para pemodal dalam negeri untuk membiayai setiap proyeknya yang ada di Indonesia.

6. Penanaman Modal dengan Kredit Investasi

47

46

Ibid, hal. 66-67.

47


(14)

7. Portfolio Investment

Portfolio Investment merupakan penanaman modal yang dilakukan melalui pembelian saham atau efek suatu perusahaan yang sudah berdiri, melalui bursa saham atau bursa efek. Pembelian saham dapat dilakukan melalui bursa baik melalui penawaran umum maupun melalui penempatan modal pihak ketiga dalam perusahaan (strategic partner atau direct placement)48

Dengan terjadinya perubahan struktur politik dan ekonomi di berbagai bagian dunia, serta meluasnya globalisasi perekonomian dunia, banyak negara yang dulunya sangat tertutup bagi penanaman modal asing, sekarang telah membuka kesempatan yang sebesar-besarnya kepada modal asing dalam rangka meningkatkan kesempatan kerja, pertumbuhan dan memperluas kegiatan ekonominya. Keadaan tersebut telah menimbulkan persaingan yang semakin tajam dalam penanaman modal asing untuk peningkatan dan perluasan investasi. Perubahan di berbagai belahan dunia dimaksud berlangsung dengan cepat, sehingga mendorong banyak negara melakukan efisiensi perekonomiannya agar kelangsungan peningkatan dan perluasan investasi serta peningkatan produktivitas dapat terjamin. Keadaan ini telah menimbulkan persaingan yang sangat tajam dalam perdagangan dunia. Keadaan seperti diatas berlangsung bersamaan dengan

.

B. Pembatasan Kepemilikan Saham Pihak Asing

48.Budiman Ginting dan Mahmul Siregar,


(15)

upaya bangsa Indonesia lebih meningkatkan dan memperluas kegiatan ekonomi serta memperbaharui pembangunan nasionalnya dengan memberikan peranan yang yang semakin besar kepada masyarakat dan dunia usaha dalam pembiayaan pembangunan. Untuk mendorong partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam meningkatkan daya saing dalam investasi dan perdagangan dunia serta alih teknologi, kemampuan managerial dan modal agar semakin mampu meningkatkan investasi, pertumbuhan dan perluasan kegiatan ekonomi di berbagai daerah, maka dipandang perlu memberikan perangsang yang lebih menarik terhadap penanaman modal asing. Guna mencapai sasaran dimaksud, maka dipandang perlu melakukan penyempurnaan terhadap ketentuan pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing. 49

Sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing yang merupakan salah satu bagian dari kelengkapan Undang-undang Penanaman Modal Asing, kegiatan penanaman modal di Indonesia, khususnya penanaman modal asing, telah cukup berkembang dengan baik dan mampu memberikan kontribusi dalam mendukung pembangunan nasional. Namun demikian sejak pertengahan tahun 1997 di berbagai negara telah terjadi perubahan keadaan ke arah kemunduran perekonomian yang disebut sebagai krisis ekonomi, yang terjadi pula di Negara Indonesia. Dalam rangka mempercepat pemulihan perekonomian nasional Indonesia akibat krisis tersebut,

49

Penjelasan Umun pada Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.


(16)

diperlukan langkah kebijakan reformasi, khususnya kebijakan dibidang penanaman modal untuk meningkatkan dan memperluas kegiatan ekonomi serta memperbaharui pembangunan nasional dengan memberikan peranan yang semakin besar kepada masyarakat dan dunia usaha dalam pembiayaan pembangunan nasional. Tampaknya pemerintah menyadari bahwa perkembangan dunia bisnis khususnya dalam menarik investasi semakin kompetitif. Untuk itu pada tahun 2001 pemerintah pun kembali menyesuaikan ketentuan penanaman modal asing, yakni dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing (PP No.83/2001). Dalam pertimbangan dikeluarkannya PP 83/2001 disebutkan, bahwa dalam rangka lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan ekonomi dan pembangunan nasional pada umumnya, diperlukan langkah-langkah untuk lebih mengembangkan iklim usaha yang semakin mantap dan lebih menjamin kelangsungan penanaman modal asing. Sehubungan dengan hal inilah maka dipandang perlu menyempurnakan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.

Jadi disini terlihat bahwa, pemerintah menyadari ketentuan investasi yang masih berlaku saat ini perlu segera disesuaikan dengan perkembangan dunia bisnis. Hal ini tercermin dari apa yang dijabarkan dalam Pasal 2 PP No. 83 Tahun 2001 sebagai berikut :


(17)

a. Patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga negara Indonesiadan atau badan hukum Indonesia; atau

b. langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan atau badan hukum asing.

(2) Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal asing ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya.

Dari ketentuan diatas dapat kita ketahui bahwa ada 2 bentuk perusahaan modal asing yaitu perusahaan yang sahamnya dimiliki oleh asing murni dan patungan antara asing dan dalam negeri.

Selanjutnya dalam Pasal 6 PP No. 83 Tahun 2001 disebutkan:

(1) Saham peserta Indonesia dalam perusahaan yang didirikan sebagai mana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a sekurang-kurangnya 5 % (lima per seratus) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian.

(2) Penjualan lebih lanjut saham perusahaan diatas jumlah sebagaimana dimakud dalam ayat (1), dapat dilakukan kepada warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia yang modal sahamnya dimiliki warga negara Indonesia melalui pemilikan langsung sesuai kesepakatan para pihak dan atau pasar modal dalam negeri.

Pada dasarnya investasi asing dapat saja berupa 100% kepemilikan saham pada perusahaan asing. Namun, bila tidak beroperasi lebih dari 15 tahun, kepemilikan sahamnya harus dijual kepada perusahaan Indonesia atau dengan


(18)

merger bisnis dengan pertukaran saham domestik secara langsung atau tidak langsung.50 Hanya saja mengatur hal demikian harus tetap memmperhatikan keterkaitannya dengan peraturan lain yang terkait. UUD 1945 pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) merupakan dasar pembatasan penguasaan saham pihak asing. Oleh karena itu terhadap sektor-sektor usaha yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak tetap harus dikuasai oleh negara. Ketentuan mengenai ini, diatur dalam Pasal 12 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu bidang usaha yang tertutup bagi PMA. Dengan demikian pada sektor-sektor usaha tersebut tidak diperkenankan PMA dengan penguasaan penuh. Mengijinkan pihak asing pada sektor usaha ini dengan penguasaan penuh, dengan mempergunakan alasan perlakuan sama, adalah tindakan melawan konstitusi. 51

Indonesianisasi saham atau divestasi saham adalah pelepasan, pembebasan, pengurangan modal. Disebut juga divestment yaitu kebijakan terhadap perusahaan yang seluruh sahamnya dimiliki oleh investor asing untuk secara bertahap tetapi pasti mengalihkan saham-sahamnya itu kepada mitra bisnis lokal atau proses yang mengakibatkan pengalihan saham dari peserta asing kepada C. Ketentuan Indonesianisasi Saham Pihak Asing

50

Salim Hs & Budi Sutrisno, op cit, ha.l 205.

51

Mahmul Siregar, Perdagangan Internasional dan Penanaman Modal: Studi Kesiapan Indonesia dalam Perjanjian Investasi Multilateral, (Medan: 2005), hal. 414.


(19)

peserta nasional, baik melalui penjualan secara langsung maupun jual beli saham di pasar modal. Dapat berarti pula sebagai tindakan perusahaan memecah konsentrasi atau pemupukan modal sahamnya sebagai akibat dari larangan terjadinya monopolisasi.52

Melalui pasal 18 UU No.1 Tahun 1967 ditentukan bahwa jangka waktu ijin penanaman modal asing tersebut tidak boleh melebihi 30 tahun, yang menurut Pasal 3 PP No.83 Tahun 2001, perhitungan jangka waktu 30 tahun tersebut dihitung dari saat usaha penanaman modal asing tersebut berproduksi secara komersil. Setelah batas waktu ijin penanaman modal asing berakhir, maka pihak asing harus mengalihkan jumlah sahamnya kepada negara atau pihak swasta yang dipercayakan dengan menjualnya dalam bentuk saham. Dengan demikian, pengelolaan badan usaha setelah 30 tahun berikutnya akan dikelola pihak negara atau pihak swasta nasional tanpa pihak asing. Dalam pengalihan sahamnya setelah batas waktu ijin berakhir tidaklah semudah yang dibayangkan. Kenyataannya adalah berbeda, terbukti dari banyaknya sengketa antara pihak yang diakibatkan oleh pengalihan saham sebagai suatu proses Indonesianisasi saham dimaksud.53

Erman Radjagukguk, mengemukakan bahwa menjelang 10 tahun dikeluarkannya kebijaksanaan Indonesianisasi, tidak banyak dapat diketahui berapa jumlah perusahaan yang sudah melaksanakan pengalihan saham sehingga partner nasional menjadi pemegang saham mayoritas atau sedikitnya memiliki

52

Divestasi Saham Asing, hal.1, diakses tanggal 6 November

2010.

53 Hulman Panjaitan & Anner Mangatur Sianipar,


(20)

51% dari saham dalam perusahaan joint venture. Kesulitan utama yang dihadapi pengusaha adalah dana untuk membeli saham-saham dari partner asing mereka. Semula partner lokal mengharapkan bahwa dari keuntungan yang diperoleh perusahaan joint venture, bagian mereka akan dapat digunakan untuk membeli saham-saham tersebut. Namun sememtara perusahaan telah menghadapi perkembangan yang semula tidak diharapkan, dalam arti belum dapat memperoleh keuntungan sebagaimana yang diharapkan. 54

Ketentuan program Indonesianisasi tanggal 22 Januari 1974 diatas, kemudian dijabarkan lebih lanjut dengan Surat Edaran No.

Kebijaksanaan mengenai program Indonesianisasi saham berawal dari dicetuskannya hasil sidang Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional, tanggal 22 januari 1974 yang berisi mengenai pokok-pokok kebijaksanaan sebagai berikut:

1. Peningkatan partisipasi nasional dalam perusahaan PMA menuju posisi mayoritas.

2. Peningkatan penggunaan tenaga kerja Indonesia dalam perusahaan-perusahaan PMA serta keharusan menyelenggarakan pendidikan bagi tenaga Indonesia.

3. Peningkatan partisipasi golongan pribumi baik dalam perusahaan PMA maupun PMDN.

54


(21)

B.1195/A/BKM/X/1974 tanggal 11 Oktober 1974, yang menguraikan lebih terperinci mengenai kebijaksanaan tersebut, sebagai berikut:

1. Bagi proyek-proyek yang memakan waktu maksimum 3 tahun dalam periode pembangunan proyeknya, kenaikan saham nasional mayoritas, minimum 51 %, dalam waktu 10 tahun terhitung mulai tanggal Izin Usaha Proyek yang dikeluarkan oleh Departemen Teknis.

2. Bagi proyek-proyek yang memakan waktu lebih dari 3 tahun dalam pembangunan proyeknya, kenaikan saham nasional mayoritas, minimumnya 51 % dalam jangka 10 tahun terhitung mulai tanggal pertengahan antara tanggal Izin Usaha Proyek yang dikeluarkan oleh Departemen Teknis dan tanggal mulai berproduksi secara komersil.

3. Bagi proyek-proyek yang Persetujuan Sementara keluar sebelum tanggal 21 September 1974, kenaikan saham nasional menjadi mayoritas, minimum 51% dan masa 10 tahun, terhitung tetap mulai tanggal pengesahan P.T oleh Departemen Kehakiman seperti yang telah berlaku sebelum petunjuk Presiden tanggal 21 September 1974.

4. Bagi proyek-proyek yang belum keluar Persetujuan Sementara sesudah tanggal 21 September 1974, berlaku ketentuan diktum 1 dan diktum 2 diatas untuk kenaikan saham nasional menjadi mayoritas, minimum 5%.

Selanjutnya BKPM mengeluarkan kembali Surat Edaran No. B-109/A/BKPM/II/1975 tanggal 21 Februari 1975, yang memberikan penjelasan terhadap Surat Edaran terdahulu. Lalu pada tanggal 1 Juli 1981, BKPM


(22)

mengeluarkan pedoman intern tentang peningkatan saham nasional, yang menghubungkannya dengan pengembangan Pasar Modal dan Koperasi. Dalam perkembangan selanjutnya, melalui Keputusan Ketua BKPM No. 12/SK/1986, tanggal 4 Juni 1986 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Nasional dalam perusahaan penanaman modal asing ditetapkan bahwa perusahaan penanaman modal asing harus berbentuk usaha patungan atau joint venture dengan penyertaan modal nasional kurangnya 20% dan meningkat menjadi sekurang-kurangnya 51 % dalam waktu sepuluh tahun sejak dimulainya produksi komersil perusahaan. Ketentuan yang mengharuskan investor asing mendirikan usaha patungan dengan pengiusaha nasional (Indonesia) pada waktu mendirikan perusahaan PMA melunak, pada saat Indonesia hendak mengembangkan kawasan pulau Batam sebagai kawasan ekonomi. Pemerintah Indonesia mengijinkan perusahaan penanaman modal asing di pulau Batam, 100% sahamnya dimiliki oleh pihak asing serta pengaturan yang terdapat dalam PP No.83 Tahun 2001.55

Dasar hukum Indonesianisasi saham dalam perusahaan penanaman modal asing adalah berkaitan dengan kepemilikan saham dalam perusahaan yang bersangkutan. Kepemilikan saham dalam perusahaan penanaman modal asing dapat dimiliki baik oleh peserta asing maupun oleh peserta nasional, yang dalam bidang-bidang usaha tertentu merupakan suatu keharusan, walaupun dalam bidang usaha lain dimungkinkan adanya penanaman modal asing 100% atau secara

55


(23)

penguasaan penuh (secara langsung). Ketentuan mengenai hal tersebut dapat ditemukan dalam PP No. 83 Tahun 2001, yang dalam pasal 2 menyebutkan :

(1) Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk:

a. Patungan antara modal asing dengan modal yang dimiliki warga negara Indonesia dan atau badan hukum Indonesia;

b. Langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan/atau badan hukum asing;

(2) Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal asing ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan badan hukum Indonesia meliputi badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi dan perusahaan nasional lainnya.

Berikut ini akan diuraikan proses Indonesianisasi saham yang pernah berlangsung baik kepada partner lokal dalam joint venture yang bersangkutan maupun melalui pasar modal, yaitu:56

Pembatasan-pembatasan mengenai besarnya kepemilikan saham dalam suatu perusahaan penanaman modal asing, umumnya diatur dalam anggaran dasar atau dalam joint venture agreement, yang biasanya menentukan pengalihan saham dalam jangka waktu tertentu. Jika dalam jangka waktu tertentu partner dalam 1. Pengalihan saham kepada partner.

56


(24)

perusahaan tidak bersedia membeli saham yang ditawarkan, maka saham tersebut dapat dengan bebas ditawarkan kepada pihak ketiga. Pengalihan saham dalam penanaman modal asing harus mendapat persetujuan dari partner dalam perusahaan yang bersangkutan baru kemudian melaporkannya kepada BPKM untuk mendapatkan ijin. PP No 83 tahun 2001 telah merubah ketentuan Indonesianisasi/ divestasi dari PP yang terdahulu, dengan menetapkan bahwa untuk usaha patungan penjualan lebih lanjut saham asing dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak atau melalui pasar modal dalam negeri. Kesepakatan para pihak dimaksud dalam hal ini menyangkut masalah waktu dan besarnya perimbangan saham, seperti ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 6 PP No 83 Tahun 2001. Jangka waktu yang pasti dalam Indonesianisasi/ divestasi saham asing hanya diperkenalkan oleh PP No. 83 Tahun 2001 bagi PMA yang 100% yakni dalam waktu paling lama 15 tahun sejak produksi komersial. Berapa jumlah saham yang wajib dialihkan diserahkan kepada kesepakatan para pihak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) dari Surat Keputusan Menteri Negara Penggerak Dana Investasi / Ketua BKPM No. 15/SK/1994 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing sebagai berikut57

“ (1)Perusahaan penanaman modal asing yang seluruh (100%) modal sahamnya dimiliki oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing, wajib menjual sebahagian sahamnya kepada warga negara Indonesia dan/atau

:

57 Mahmul Siregar,


(25)

badan hukum Indonesia dalam jangka waktu paling lama lima belas tahun sejak berproduksi komersial sebagaimana tercantum dalam Ijin Usaha Tetapnya.

(2)Modal saham yang disetor dan ditempatkan yang dijual kepada Pihak Indonesia sebagaimana domaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan para pihak. “

Salah satu contoh pengalihan saham kepada partner adalah PT. International Timber Corporation Indonesia (ITCI). PT. International Timber Corporation Indonesia (ITCI) adalah suatu perusahaan joint venture antara Weyerhaeuser, perusahaan Amerika yang berpusat di Tacoma dengan PT. All Truba Inter, sebuah perusahaan Indonesia. Weyerhaeuser memiliki 65 % penyertaan dalam joint venture ketika didirikan tahun 1971. Partner asing dalam kerjasama ini pada tahap permulaan menanamkan modal sebesar US $ 35 juta dari pusatnya di Amerika dan menanamkan kembali US $ 5 juta dollar setiap tahun dari keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha di Indonesia. Lokal partner mengandalkan Hak Pengusaha Hutan (HPH) yang dimilikinya sebagai penyertaan.

Tahun 1981, Weyerhaeuser mengundurkan diri dari Indonesia dengan alasan yang tidak jelas. Besar kemungkinan disebabkan alasan ekonomis dan perselisihan antara para partner dalam joint venture. Kemungkinan tersebut adalah:

1. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk membatasi ekspor kayu gelondongan bahkan kemudian melarangnya untuk melindungi hutan dan mendorong


(26)

industri perkayuan di dalam negeri. Mr. Weyerhaeuser menyatakan di Hongkong bahwa keputusan ini akan memengaruhi usaha perusahaannya.

2. Telah terjadi perselisihan antara Weyerhaeuser dan partnernya PT. All Truba Inter, sehubungan dengan perjanjian pengalihan saham.

Pada tahun 1975, pemerintah Indonesia mengumumkan kebijaksanaan baru di bidang kehutanan bahwa antara lain di dalam perusahaan joint venture,

HPH harus berada di tangan perusahaan nasional. Disamping itu, setelah 10 tahun, 51 % dari saham perusahaan yang bersangkutan harus berada di tangan pengusaha nasional. Namun, menurut keterangan J.M. Joenes, Presiden Direktur PT. Tri Usaha Bakti “Weyerhaeuser tidak mau mengakui ketentuan baru ini”. Hal ini dikarenakan, partner lokal tidak menerima dividen antara tahun 1971-1974 karena PT. All Truba Inter harus membayar kembali hutang-hutangnya sebesar $1juta setiap tahun ditambah bungan 8,5 % setahun, jika mendapat keuntungan. Pada waktu Weyerhaeurser memiliki 65 % dari saham, partner asing tersebut siap untuk menjual seluruh sahamnya seharga $ 420.000 per satu persen saham. Namun, partner lokal tidak mempunyai dana baik untuk membeli seluruh saham yang ditawarkan tersebut maupun membayar hutangnya. Pada tahun 1981, BKPM menegaskan lagi kebijaksanaan agar partner Indonesia harus menjadi pemegang saham mayoritas. Kebijaksanaan ini menempatkan PT. All Truba Inter dalam posisi yang sulit. J.M. Joenes menambahkan, bahwa sejak tahun 1971 sampai pada saat terakhir, PT.All Truba Inter tidak pernah ikut dalam manajemen joint venture tersebut dan J.M. Joenes mengatakan, “Partner Indonesia merasa seperti partner yang tidur”.


(27)

Pada bulan September 1980, Weyerhaeurser menjual 25 % sahamnya dalam perusahaan joint venture tersebut kepada Bapindo, dengan demikian partner asing hanya memiliki 40 % sisanya. Akhirnya pada bulan Oktober 1981, Bapindo membeli seluruh sisa saham tersebut seharga $5 juta. Menurut J.M. Joenes, saham-saham tersebut akan dapt dibeli kembali oleh PT. All Truba Inter dalam jangka waktu tidak lebih dari 8 tahun. Jika PT. All Truba Inter tidak membelinya dalam jangka waktu tersebut, Bapindo berhak menawarkannya kepada pihak lain.

2. Pengalihan saham kepada masyarakat

Salah satu kemungkinan lainnya bagi partner asing, untuk mengalihkan sahamnya dalam rangka Indonesianisasi adalah melalui pasar modal, dengan menjual saham-saham tersebut pada masyarakat luas atau go public. Pada tahun 1976, pemerintah Indonesia menghidupkan kembali pasar modal dalam usaha menarik masyarakat untuk ikut mengadakan investasi di sektor perindustrian. Ini juga bertujuan untuk mencegah masyarakat menanamkan usahanya pada usaha-usaha spekulatif lainnya, seperti mempergunakannya untuk membeli emas, tanah, saham asing. Pemerintah mengatakan pula bahwa tujuan dari pasar modal antara lain untuk menciptakan pemerataan pendapatan.58

58 Kepres No. 52 Tahun 1976 tentang Pasar Modal.

Selanjutnya pemerintah mendirikan PT. Danareksa untuk membantu mereka yang mempunyai dana terbatas, sehingga mampu membeli saham. Perusahaan ini membeli saham-saham perusahaan go public dan kemudian memecahkannya dalam bentuk Sertifikat


(28)

Danareksa dan kemudian menjualnya pada masyarakat. Di samping itu, PT. Danareksa mendapat izin dari Menteri keuangan untuk ikut menjadi perantara dan anggota bursa agar ia dapat melakukan usaha-usaha yang dianggap perlu untuk menjaga stabilitas harga saham. Usahanya mengendalikan harga saham, dengan membeli atau melepas saham suatu perusahaan, karena dianggap menghambat tumbuhnya bursa. Karena bursa sering di intervensi, maka kurs saham suatu perusahaan yang muncul dianggap sering tidak menampilkan keadaan perusahaan itu sendiri. Bank Dunia menganjurkan agar PT. Danareksa secara bertahap mengurangi peranannya sebagai stabilisator. Sementara investor asing menganggap bahwa menjual saham melalui pasar modal adalah sarana yang baik untuk memberikan identitas nasional pada perusahaan mereka. Lagipula mengalihkan saham kepada masyarakat luas membawa manfaat lain, yaitu masyarakat tidak akan mengambil bagian dalam manajemen dan cenderung pula untuk tidak hadir dalam RUPS. Contoh perusahaan PMA yang mengalihkan sahamnya melalui pasar modal yaitu PT. Goodyear Indonesia.

PT. Goodyear Indonesia adalah anak perusahaan dari Goodyear Tire & Rubber Company, Akron, Ohio, Amerika Serikat. Goodyear didirikan di Amerika Serikat tahun 1898. Perusahaan ini mulai beroperasi di Surabaya di bawah nama NV.The Goodyear Tire & Rubber Company Limited tahun 1917, kemudian membangun pabriknya di Bogor tahun 1935, yang menjadi pabrik ban yang pertama di Indonesia. Perusahaan ini diambil alih oleh Jepang selama perang dunia II dan dikembalikan kepada pemiliknya pada tahun 1946. Sejak itu perusahaan mengalami pembaruan dan perluasan beberapa kali. Pada Maret 1965


(29)

pemerintah Indonesia dibawah Presiden Soekarno mengambil alih Goodyear dan dikembalikan lagi tahun 1967, ketika Goodyear diundang kembali untuk memegang perusahaan tersebut di bawah UU No.1 tahun 1967. Pada 25 Juli 1978, nama perusahaan ini diubah menjadi PT. Goodyear Indonesia. Perusahaan terutama berusaha dalam memproduksi bermacam-macam ban dengan merek dagang Goodyear sesuai dengan ketentuan pemerintah, hasil produksinya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dimana Goodyear menguasai 40 % dari pasar. Disamping itu dalam jumlah kecil, Goodyear juga melakukan penjualan keluar negeri.

Pada tahun 1979, BKPM telah memberikan persetujuan untuk perluasan usaha bagi Goodyear dan yang kedua tahun 1980 atas pertimbangan bahwa diperkirakan permintaan akan ban bertambah 11 % setiap tahunnya. Bersamaan dengan izin perluasan yang diberikan, pemerintah meminta kepada Goodyear untuk menawarkan sahamnya kepada masyarakat Indonesia. walaupun Goodyear berkewajiban go public, namun pemerintah tetap mengijinkan pemegang saham asal, yaitu Goodyear Tire & Rubber Company, Ohio sebagai pemegang saham mayoritas, dengan demikian mengontrol tetap jalannya perusahaan. Pada tanggal 20 September 1980, Goodyaer jemudina memenuhi persyaratan agar dapat menjual sahamnya kepada publik. PT. Goodyear Indonesia atas nama Goodyear Tire & Rubber Company, Ohio dalam hal ini menawarkan 15 % dari seluruh jumlah saham kepada masyarakat Indonesia, sementara 85 % lainnya tetap ditangan Goodyear Tire & Rubber Company. Dalam periode 24 November sampai Desember 1980, perusahaan ini untuk pertama kali menawarkan sahamnya


(30)

yang berjumlah 6.150.000 lembar (tercatat Rp.1000,- tiap lembar) dengan harga Rp. 1250,- per saham.


(31)

BAB IV

ASPEK HUKUM PENANAMAN MODAL PATUNGAN

DI INDONESIA

A. Dasar Hukum Perjanjian Usaha Patungan

Berbicara mengenai penanaman modal asing berarti terkait dengan dua atau lebih sistem hukum yang berbeda yang dianut oleh investor dan hukum Indonesia yang dianut oleh pemodal nasional. Untuk itu, perlu dipahami mengenai aspek-aspek hukum dalam kerja sama usaha yang dilakukan dalam penanaman modal asing. Dalam memacu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia, kita masih menghadapi berbagai tantangan dan hambatan antara lain pada bidang permodalan, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta manajemen. Salah satu usaha untuk mengatasinya ialah dengan penanaman modal asing yang pada dasarnya berbentuk joint venture (kerjasama patungan).

Ketentuan mengenai kerjasama patungan tidak dicantumkan dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Namun didalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dinyatakan bahwa:

Penanaman modal asing adalah kegiatan menanamkan modal untuk melaksanakan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanaman modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanaman modal dalam negeri.


(32)

Perjanjian joint venture (perjanjian usaha patungan) dalam rangka penanaman modal asing di Indonesia adalah langkah awal untuk membentuk sebuah perusahaan patungan (joint venture company) yang diharuskan bagi investor asing yang merencanakan berinvestasi di Indonesia. Para pihak yang ada dalam perjanjian joint venture, menetapkan klausa untuk membuat perusahaan

joint venture dengan status perseroan, klausa tersebut mengatur segi permodalan, peran para pihak, nama, tempat dan jangka waktu berdirinya perusahaan, serta klausa-klausa lain sehingga perusahaan yang diharapkan dapat terbentuk. Ketentuan tersebut merupakan syarat yang ditegaskan pasal 5 ayat 2 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dinyatakan bahwa :

“Penanaman Modal Asing wajib dalam bentuk Perseroan Terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan oleh undang-undang.”

Pembentukan perseroan terbatas sebagai sebuah badan hukum tunduk pada hukum perusahaan (company law), yaitu Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Pada dasarnya perusahaan joint venture didirikan atas adanya perjanjian antara investor asing dan nasional. Mengadakan perjanjian joint venture

merupakan langkah awal dalam membentuk perusahaan joint venture, sehingga perusahaan joint venture dapat dikatakan berdiri atau lahir atas dasar perjanjian. Umumnya perusahaan joint venture dimulai dengan suatu perjanjian patungan yang dibuat antara pemegang saham menjelang perusahaan joint venture itu


(33)

berdiri, dengan memperhatikan aspek tanggung jawab para pihak, adanya efisiensi dalam operasi usaha, adanya keuntungan yang nyata, adanya hubungan yang adil diantara para pihak. Dalam perjanjian joint venture berisikan hak dan kewajiban para pihak, kesepakatan para pihak tentang kepemilikan modal, saham, peningkatan kepemilikan saham penyertaan, keuangan, kepengurusan, teknologi dan tenaga ahli, penyelesaian sengketa yang mungkin akan terjadi, dan berakhirnya perjanjian joint venture. Dalam rancangan suatu perjanjian joint venture, substansi perjanjiannya harus dibuat secara lengkap dan akurat, jangan sampai terjadi kekosongan hukum karena akan sangat merugikan pihak lokal/Indonesia dimana pihak asing selalu mencari-cari kelemahan pihak lokal/Indonesia.

Pengusaha asing dan pengusaha lokal membentuk suatu perusahaan baru yang disebut perusahaan joint venture dimana mereka menjadi pemegang saham yang besarnya sesuai dengan kesepakatan bersama. Landasan pembentukan perusahaan joint venture tersebut adalah perjanjian joint venture dan ketentuan umum perjanjian tersebut diatur didalam Kitab Undang-Undang HukumPerdata (KUHPerdata). Dalam rangka menjalankan kegiatan penanaman modal asing di Indonesia tidak diatur secara khusus dalam KUHPerdata. Namun keabsahannya tetap didasarkan pada pasal 1338 KUHPerdata tentang asas kebebasan berkontrak. Dan sebagai batasan dalam asas kebebasan berkontrak adalah berdasarkan pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya suatu perjanjian, yaitu:


(34)

b. Kecakapan bertindak dalam hukum;

c. Adanya hal tertentu;

d. Adanya suatu sebab yang halal.

Dasar hukum lain dari penanam modal kerjasama patungan tersebut berkaitan dengan konsekuensi atau akibat hukumnya bagi para pihak. Dalam kerja sama patungan akan semakin nyata apabila dihadapkan dengan penggabungan usaha dalam bentuk merger. Penggabungan ini selalu dibarengi dengan timbulnya Perseroan Terbatas (PT) baru, sedangkan perseroan-perseroan yang lama serentak menghentikan eksistensinya. 59

Joint venture (kerjasama patungan)merupakan suatu pengertian yang luas. Tidak saja mencakup suatu kerja sama dimana masing-masing pihak melakukan penyertaan modal (equity joint ventures) tetapi juga bentuk-bentuk kerja sama lainnya yang lebih longgar, bersifat kurang permanen serta tidak harus melibatkan

Dasar hukum yang juga terkait dengan penanaman kerja sama patungan adalah permasalahan yang bersumber pada perbedaan kebiasaan dan perundang-undangan antar negara, masalah pergerakan modal, barang-barang dan jasa-jasa pada tingkat internasional sampai pada perbedaan politik, ekonomi, moneter masing-masing negara asal dari perusahaan-perusahaan yang mengadakan kerjasama tersebut.

59

Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal 159.


(35)

partisipasi modal. Yang pertama mengarah kepada terbentuknya suatu badan hukum, sedangkan pola yang kedua perwujudannya tampak dalam berbagai kontrak kerjasama (contractual joint ventures) dalam bidang manajemen (management contract), pemberian lisensi (license agreement), dan sebagainya. Friedman membedakan adanya 2 macam joint venture, yaitu:

1. Joint venture yang tidak melaksanakan penggabungan modal, sehingga hanya terbatas pada know-how, yang mencakup bidang tertentu. Know-how disini mencakup pada Technical service agreement, franchise and brand use agreement, construction and other job performance contracts, management contracts and rental agreements. Penggabungan know-how ke dalam joint venture biasanya merupakan babak pertama menuju kerjasama yang lebih permanen, yang pada saatnya akan beralih pada kerjasama berdasarkan penggabungan modal.

2. Equity joint venture ditandai oleh partisipasi modal. Untuk membedakan jenis pertama dan jenis kedua , Friedman menggunakan istilah joint venture untuk yang pertama dan equity joint venture untuk jenis yang kedua.

Apa yang dirumuskan Friedman diatas, ternyata berbeda dengan pengertian joint venture sehari-hari, karena partisipasi suatu perusahaan dalam perusahaan lain mudah digolongkan pada joint venture. Dalam, pengetian sehari-hari, joint venture merupakan suatu perusahaan baru yang didirikan bersama-sama oleh beberapa perusahaan yang berdiri sendiri dengan menggabungkan potensi usaha termasuk know how dan modal dalam perbandingan yang telah ditetapkan menurut perjanjian kontrak yang telah disepakati bersama.60

1. Waktunya terbatas;

Joint venture merupakan kerjasama diantara dua orang atau lebih atau badan usaha yang memiliki karakteristik sebagai berikut:

60 Hulman Pandjaitan & Anner Mangatur Sianipar,


(36)

2. Masing-masing pihak dapat menyerahkan kontribusi baik berupa uang atau barang

3. Keuntungan atau kerugian dibagi sama

4. Untuk pihak-pihak yang berjasa diperhitungkan terlebih dahulu bunga modal, komisi, bonus dan lain-lain.

5. Pimpinan usaha Joint Venture disebut “managing partner” yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan pembukuan dan menyajikan laporan keuangan.61

61

Kepemilikan atas investasi dalam usaha patungan dapat dilakukan secara bervariasi. Pada umumnya kepemilikan mayoritas ada pada pihak asing, dan kepemilikan minoritas ada di tangan pihak nasional. Kepemilikan dapat juga ditentukan seimbang, dapat pula 100 % pemilikan dipegang oleh salah satu partner, sedangkan partner yang lain mempunyai hak opsi untuk mendapatkan sebagian atau keseluruhan saham. Adapun kebijaksanaan untuk menentukan persentase kepemilikan tersebut diatas, sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Partisipasi dalam keuntungan dan pertumbuhan usahanya.


(37)

c. Kapasitas usaha pemegang saham, yang menyangkut misalnya baik tentang pengangkatan direktur dan distribusi aset maupun mengenai perubahan objek perusahaan, serta perubahan struktur modal.

d. Kepatuhan pada kebijaksanaan domestik tentang penanaman modal asing dari negara mitra lokal. 62

Penanaman modal dapat dilakukan melalui penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing. Pada penanaman modal asing, telah dijabarkan dalam Pasal 1 butir 3, penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal negeri. Sedangkan pengertian modal asing dijabarkan dalam Pasal 1 butir 8, modal asing adalah

Namun, PP No.83 Tahun 2001 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing telah menetapkan mengenai komposisi mengenai pemilikan saham yang wajib dimiliki oleh warga negara atau badan hukum Indonesia dalam usaha joint venture

tepatnya pada Pasal 6 ayat (1) yaitu pemilikan saham peserta Indonesia pada saat pendirian usaha joint venture minimal 5 % dari seluruh modal setor perusahaan pada saat pendirian.

B. Bentuk Badan Usaha Patungan

62

Fumarolla. Wordpress.com/2009/Joint-Venture di Indonesia/, di akses tanggal 23 Agustus 2010.


(38)

modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa yang dimaksud penanaman modal dalam hal ini adalah dilakukan secara langsung (direct investment) dalam arti mendirikan suatu badan usaha. Pengertian penanaman modal secara langsung berarti penanam modal (investor) membentuk suatu badan usaha atau perusahaan di indonesia. Wujud dari bentuk badan usaha yang dimaksud, dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 5 Undang-Undang No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yaitu:

(1) Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(2) Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang

(3) Dalam bentuk perseroan terbatas dilakukan dengan :

a. mengambil bagian saham pada saat pendirian perseroan terbatas ; b. membeli saham;dan

c.melakukan cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan.

Apa yang dijabarkan dalam ketentuan diatas, untuk badan usaha yang berstatus sebagai penanaman modal asing, pembentuk undang-undang memasyarakatkan badan usahanya berbentuk hukum Perseroan Terbatas (PT). Apa alasan mengapa harus berbentuk PT tidak dijelaskan dalam undang-undang penanam modal. Hanya saja, bila dicermati lebih dalam apa alasannya berbentuk PT, tampaknya hal ini ada kaitannya dengan eksistensi PT sebagai subyek hukum


(39)

yang mandiri. Artinya PT dapat menggugat dan digugat di Pengadilan. Berkaitan dengan pranata hukum PT, dalam kepustakaan hukum perusahaan disebutkan, PT sebagai badan usaha yang berbadan hukum, mempunyai ciri tersendiri jika dibandingkan dengan badan usaha lainnya yakni PT mempunyai kekayaan sendiri terlepas dari pemilik (pemegang sahamnya); berhak menuntut dan dituntut di pengadilan. Secara normatif badan usaha yang berbentuk PT diatur dalam Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Dalam undang-undang ini disebutkan PT adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian.63

Bagi penanam modal yang menggunakan jalur Penanaman Modal Asing, UUPM dengan tegas mengemukakan harus berbentuk Perseroan Terbatas(PT). Dari penjelasan tersebut, dapat dikemukakan, apapun bentuk badan usaha yang dipilih oleh para calon investor, satu hal yang pasti kegiatan yang dilakukan oleh investor dalam menjalankan usahanya dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia. Hal ini membawa konsekuensi hukum, segala aktivitas yang dilakukan oleh investor harus mengacu kepada norma-norma hukum yang berlaku di wilayah Republik Indonesia. Dalam hal ini dirasakan betapa pentingnya harmonisasi antara satu peraturan dengan peraturan lainnya agar tidak saling berbenturan. Dilihat dari sudut pandang ini adalah beralasan, jika berbagai pihak mengharapkan undang-undang penanaman modal dijadikan sebagai ketentuan hukum yang khusus (les specialis) dalam bidang penanaman modal.

63

Sentosa Sembiring, Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas, (Bandung:Nuansa Aulia, 2008), hal. 4.


(40)

Untuk mendirikan badan usaha berbentuk PT, menurut UU No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), harus memenuhi syarat tertentu. Tepatnya dalam Pasal 7 UUPT dijelaskan sebagai berikut: Ayat (1) Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya dalam Ayat (4) dikemukakan: Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan. Untuk mendapatkan pengesahan status PT sebagai badan hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, pendiri harus mengajukan permohonan. Dalam permohonan tersebut, sekurang-kurangnya harus memuat:

a. nama dan tempat kedudukan perseroan;

b. jangka waktu berdirinya Perseroan;

c. maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan ;

d. jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor;

e. alamat lengkap Perseroan.64

Pada penanaman modal asing ada ketentuan khusus yang mengatur tentang permodalan dan ataupun kepemilikan saham, hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing . Peraturan ini kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah No.83 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas


(41)

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Dalam Pasal 1 PP No. 20/1994 dikemukakan: Persetujuan penanaman modal asing yang diberikan dalam rangka mendirikan perusahaan penanaman modal asing yang berbentuk Perseroan Terbatas menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Dari ketentuan PP No.20/1994 tersebut, dapat diketahui peluang bagi investor asing dalam menjalankan usaha di Indonesia semakin terbuka.

C. Prosedur Pendirian Usaha Patungan

Untuk melaksanakan usaha dalam bentuk kerjasama patungan di Indonesia, sesuai dengan Pasal 12 Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 57/SK/2004 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing, harus melalui prosedur pengajuan permohonan antara lain:65

a. Calon penanam modal yang berminat untuk menanamkan modalnya dalam bentuk kerja sama patungan mempelajari lebih dahulu daftar skala prioritas penanaman modal yang berlaku dan mengadakan penelitian yang cukup mengenai bidang usaha terbuka, lokasi, proyek, tingkat priorotas dan ketentuan-ketentuan lain yang berlaku.

65 Salim HS dan Budi Sutrisno


(42)

b. Apabila permohonan tersebut sesuai dengan peraturan Perundang-undangan dan ketentuan persyaratan yang berlaku, calon tersebut mengajukan letter of intent kepada Deputi bidang penilaian dan perijinan BKPM.

c. Deputi bidang penilaian dan perijinan setelah meneliti letter of intent tersebut. Kemudian meneruskan kepada ketua BKPM untuk mendapatkan keputusan.

d. Keputusan BKPM tersebut segera diberitahukan kepada calon penanam modal yang bersangkutan dan apabila BKPM menyetujui permohonan penanaman modal tersebut, maka calon penanam modal segera mengajukan usulan proyek secara lengkap kepada BKPM dengan mengisi formulir dan melampirkan, antara lain:

1. Daftar kebutuhan tenaga kerja

2. Rencana lokasi penanaman modal

3. Ketentuan-ketentuan lain yang diperlukan.

e. Setelah permohonan tersebut dibahas dan dipertimbangkan dalam rapat koordinator BKPM, maka ketua BKPM kemudian menyampaikan hasil pertimbangannya dalam bentuk surat rekomendasi kepada Presiden untuk mendapatkan persetujuan.

f. Jika Presiden menyetujui permohonan tersebut, maka Deputi bidang penilaian dan perijinan menyelenggarakan penyusunan pemberian perijinan penanaman modal yang telah disetujui pemerintah sesuai dengan pelimpahan wewenang


(43)

menteri-menteri yang bersangkutan dan menyampaikan kepada calon penanam modal yang bersangkuta.

Adapun prosedur pengajuan permohonan penanaman modal asing di daerah dimana daerah telah diberi kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri atau otonomi daerah adalah sebagai berikut:66

a. Proses produksi yang dilengkapi dengan bagan Alir Proses serta mencantumkan jenis bahan baku/penolong bagi industri pengolahan.

1. Bagi peserta asing :

a. Fotokopi akte pendirian perusahaan dan perubahannya beserta terjemahannya dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris.

b. Warga negara asing melampirkan fotokopi paspor lengkap yang masih berlaku.

2. Bagi perusahaan penanam modal asing:

a. Fotokopi akte pendirian perusahaan yang telah disahkan oleh Departemen Hukum dan Ham serta perubahannya.

b. Fotokopi izin usaha tetap (IUT).

c. Fotokopi NPWP/PPKP.

3. Uraian teknis:


(44)

b. Uraian kegiatan usaha bagi bidang usaha jasa.

4. Naskah atau rancangan perjanjian usaha patungan antara peserta Indonesia dengan peserta asing dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, ditandatangani oleh semua peserta patungan.

5. Bagi PMA yang 100 % modalnya dimiliki oleh badan hukum asing dan/atau warga negara asing tidak diperlukan rancangan perjanjian usaha patungan.

6. Persyaratan dan/atau ketentuan sektoral tertentu yang dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan yang masih berlaku.

Setelah itu, untuk mendapatkan Surat Persetujuan Penanaman Modal Asing, investor asing harus melampirkan beberapa persyaratan, yaitu:

1. Perizinan tenaga kerja asing

2. Perizinan pertanahan

3. Perizinan lingkungan hidup dan izin daerah

4. Perizinan fasilitas

5. Pengesahan akte pendirian perusahaan.

Setelah prosedur tersebut dapat diselesaikan, barulah pemohon penanaman modal dalam bentuk kerjasama patungan itu melaksanakan kegiatannya dari Indonesia. Dengan adanya pengaturan-pengaturan diatas, maka penanaman modal khususnya penanaman modal asing di Indonesia yang akan melaksanakan


(45)

usahanya diharuskan untuk melakukan kerjasama patungan dengan modal nasional.

Pokok-pokok yang dicakup dalam perjanjian kerja sama patungan dengan modal asing diwujudkan dalam klausula yang dirumuskan menurut sistem hukum perjanjian yang berlaku. Pada dasarnya ada tujuh pokok materi yang dicakup dalam perjanjian kerja sama patungan dengan modal asing yaitu mengatur:67

3. Direksi dan manajemen perusahaan patungan.

1. Pembentukan badan hukum perusahaan patungan, yaitu didalamnya mengatur mengenai:

a. Peserta dalam kerja sama patungan.

b. Jenis kerja sama patungan.

c. Yurisdiksi yang dipakai, yang biasanya dikaitkan dengan pengaturan hukum dan tersedianya perangsang dan fasilitas administratif.

d.Ketentuan-ketentuan yang dicakup dalam dokumen pembentukan perusahaan patungan, masalah perlindungan dan jaminan pelaksanaan kerja sama patungan tersebut.

e. Nama badan hukum perusahaan patungan tersebut.

2. Pemilikan dan struktur modal.

67 Sumantoro,


(46)

4. Mengenai pengelolaan keuangan atau keuntungan perusahaan.

5. Dalam hal ada penggantian peserta karena mengundurkan diri, perlu dirumuskan bagaimana mendapatkan peserta penggantinya.

6. Pengaturan mengenai pemasaran dan jasa-jasa teknis.

7. Untuk menyelesaikan sengketa jika timbul, maka beberapa cara penyelesaian tersebut perlu dirumuskan cara-cara mana yang harus diambil.

Ketujuh pengaturan perjanjian kerja sama patungan tersebut merupakan pola pokok-pokok saja. Dalam prakteknya, ada perjanjian kerja sama patungan yang sangat sophisticated yang menyebutkan ketentuan, isinya secara terperinci, serta mempunyai beberapa kaitan dengan perjanjian atau kontrak lainnya, seperti lisensi paten, kontrak manajemen, pinjaman kredit, dan sebagainya.

Secara jelas tidak ada ketentuan yang mengatur format baku dari anggaran dasar Perseroan Terbatas, para pihak dalam suatu perjanjian untuk mendirikan badan hukum perseroan terbatas diberikan kebebasan untuk membuat anggaran dasar dan menentukan isinya. Namun jika merujuk pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, maka anggaran dasar suatu perseroan memuat hal-hal berikut:68

68

Muharyanto, Kedudukan Joint Venture Agreement dan Anggaran Dasar Joint Venture Company,

1. Nama dan tempat kedudukan perseroan


(47)

Perseroan sebagai sebuah badan hukum (legal entity) menyandang hak dan kewajiban hukum dan diakui secara hukum. Oleh karena itu badan hukum perseroan terbatas adalah subjek hukum yang memiliki kemandirian secara hukum, memiliki harta yang terpisah dari para pendirinya, anggota atau penanam modal perusahaan tersebut. Sebagai subjek hukum, Perseroan dikenal melalui sebuah nama dan kedudukannya yang jelas. Perseroan yang baru akan dibentuk, tidak diperbolehkan memakai sebuah nama yang telah digunakan oleh pihak lain.

2. Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan

Badan hukum perseroan dibentuk dengan tujuan tertentu, yaitu mencapai tujuan bisnis yang direncanakan, tujuan bisnis akan menunjukkan karakteristik perseroan tersebut karena erat kaitannya dengan peraturan yang berlaku. Maksud dan tujuan merupakan usaha pokok Perseroan. Perseroan yang bertujuan menjadi Perseroan Terbuka (Tbk), maka peraturan pasar modal menjadi pedoman bagi perseroan tersebut untuk bertindak atau melakukan kegiatannya, begitu juga dengan perusahaan yang bertujuan menjalankan investasi yang masuk dalam daftar investasi khusus, maka perseroan sebagai badan hukum akan banyak mendasari kegiatannya dengan peraturan dan undang-undang khusus yang mengatur bidang investasi tersebut.

Di dalam sebuah joint venture agreement untuk mendirikan joint venture company, para pihak menyatakan dengan jelas tujuan dari kegiatan usaha patungan yang akan dijalankan, dan kemudian tujuan dari kegiatan yang


(48)

dijanjikan dalam kontrak tersebut dapat dituangkan dalam sebuah anggaran dasar sebagai sistem manajemen perseroan terbatas (joint venture company).

D. Ketentuan Pengalihan Hak Atas Saham

Saham dalam sebuah perusahaan dapat dialihkan (transfer) tanpa mengubah kepemilikan hukum dan bisnis dasar perusahaan. Bagaimanapun, penjualan saham dalam sebuah perusahaan patungan adalah umum dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan dan pembatasan yang diperlukan. Tidak semua pengalihan saham dapat dilakukan begitu saja oleh satu pihak, melainkan harus memenuhi ketentuan-ketentuan dan pembatasan yang disepakati. Pengalihan saham secara langsung akan mengakibatkan berubahnya komposisi kepemilikan saham didalam perusahaan (internal transfer), maka ketentuan yang sudah ada tidak akan banyak mengalami perubahan, itupun masih tergantung dari jumlah saham yang dialihkan. Jika jumlah saham yang dialihkan mempengaruhi dan menyebabkan penggantian kontrol perusahaan, maka akan merubah perjanjian sebelumnya.69

Namun jika pengalihan saham tersebut dialihkan kepada pihak diluar perusahaan (external transfer), maka hal tersebut menyebabkan masuknya investor baru ke perusahaan. Ketentuan masuknya investor baru atau pemegang saham baru biasanya melalui proses yang sangat ketat. Hampir semua perjanjian

69


(49)

usaha patungan (joint venture agreement) mengandung ketentuan yang membatasai pengalihan saham. Pendekatan yang dapat diambil dalam pembatasan pengalihan saham diantaranya:

1. Pengalihan saham tidak diperbolehkan tanpa persetujuan para pihak.

2. Pengalihan saham tidak boleh dilakukan dalam periode tertentu, misalnya selama 3 tahun pertama.

3. Pengalihan saham kepada pihak lain diperbolehkan dengan persyaratan bahwa pemegang saham baru menyetujui ketentuan-ketentuan bisnis joint venture company yang telah ditetapkan sebelumnya.

4. Dalam banyak ketentuan joint venture company yang terdiri banyak pihak, para pihak diberikan hak untuk dapat membeli kembali saham-saham yang ada terutama saham yang akan dialihkan sebelum dijual kepada pihak lain, saham tersebut harus ditawarkan kepada pemegang saham lainnya terlebih dahulu dengan harga yang telah ditetapkan dan disetujui. 70

Para pihak perlu menentukan dan mengenal cara-cara yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah utama yang timbul dan mampu untuk mencari jalan keluarnya (problem solving), termasuk pada saat E. Penyelesaian Sengketa

70


(50)

tidak ada titik temu antara para pihak ketika pengambilan sebuah keputusan dalam sebuah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau rapat-rapat Dewan Direksi. Penyelesaian sengketa ini, setidaknya harus mempersiapkan hal-hal sebagai berikut:

1. Suatu kewajiban bagi para pihak dalam joint venture company untuk mencari dan memecahkan masalah dengan mengerahkan orang-orang terbaik, paling senior dan berpengalaman di perusahaan mereka, serta berwenang mengambil keputusan.

2. Salah satu pihak dapat meminta penyelesaian sengketa diajukan melalui mediasi, atau bentuk lain dari Alternative Dispute Resolution (ADR), tetapi bukan merupakan suatu kewajiban bagi para pihak untuk terlibat dalam prosedur ADR kecuali memang telah disepakati.

3. Penyelesaian melalui pengadilan umum atau pengadilan arbitrase yang telah disetujui terlebih dahulu di dalam joint venture agreement, penyelesaian sengketa yang diambil pada jalur pengadilan ini bersifat final dan mengikat.71

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu menjadi pilihan utama dalam joint venture agreement international. Proses yang dilalui saat penyelesaian masalah bersifat sangat private, lebih fleksibel dibandingkan badan peradilan lainnya. Jika para pihak berasal dari negara yang menandatangani konvensi New York tahun 1958 dapat mengajukan proses sengketa melalui arbitrase

71


(51)

internasional. Sebagai penerapan prinsip kebebasan berkontrak, para pihak memiliki kebebasan dalam menentukan dan memilih forum penyelesaian sengketa. Jika badan arbitrase telah dipilih, maka ketentuan dalam perjanjian harus dinyatakan secara tegas di peradilan arbitrase mana yang akan dipilih. Ada banyak pilihan yang dapat menjadi alternatif, seperti UNCITRAL, International Chamber of Commerces (ICC), Formely London Court of International Arbitration (LCIA), Hongkong International Arbitration Center, Singapore International Arbitration Centre, Vienna Arbitration Centre, Netherland Arbitration Institute, Arbitration Institute of Stockholm Chamber of Commerce, atau lembaga arbitrase internasional lainnya.

Pada saat perjajanjian antara para pihak dibuat, penting sekali untuk menentukan hal-hal yang berkaitan dengan:

1. Pilihan hukum (choice of law), para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interprestasi kontrak tersebut.

2. Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan atau forum yang berlaku jika terjadi sengketa diantara para pihak.

3. Pilihan domisili (choice of domicille), dalam hal ini para pihak melakukan penunjukan dimanakah domisili hukum para pihak tersebut.

Ketika para pihak melakukan pilihan hukum, pilihan forum, dan pilihan domisili, maka pilihan tersebut harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek untung dan ruginya secara matang. Jika para pihak tidak memilih pilihan hukum, forum


(52)

dan domisili maka akan menimbulkan persoalan yuridis yang serius. Apabila terjadi perselisihan atau sengketa diantara para pihak tersebut, akan menyebabkan terjadinya benturan kepentingan dan benturan kekuasaan hukum.72

Pemilihan tempat arbitrase sangat penting, karena berkaitan dengan penerapan prosedur dan aturan lembaga arbitrase yang dipilih. Pihak internasional lebih memilih tempat arbitrase yang dirasakan lebih netral. Jarang sekali pihak asing mau memilih Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) untuk menyelesaikan sengketa. Hal tersebut berangkat dari kekhawatiran tidak adanya netralitas dalam proses pengambilan keputusan.

72


(53)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu selanjutnya terhadap permasalahan penelitian dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengaturan penanaman modal asing secara langsung (direct investment) di Indonesia saat ini diatur dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Undang-undang ini menggantikan dua undang-undang yang berlaku sebelumnya yaitu UU No.1 Tahun 1967 dan UU No. 6 tahun 1968 yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan perjanjian-perjanjian Internasional yang telah diratifikasi. UU No. 25 tahun 2007 telah membuka pintu yang lebar bagi investasi langsung di Indonesia. hal ini terlihat dari semakin luasnya bidang-bidang penanaman modal yang dibuka bagi kegiatan penanaman modal, penyederhanaan syarat dan prosedur serta banyaknya fasilitas penanaman modal yang disediakan. Pada sisi lain, UU No.25 Tahun 2007 juga menetapkan kewajiban dan tanggung jawab penanam modal sehingga dapat diminimalisir dampak negatif yang mungkin timbul dari kegiatan penanaman modal.

2. Pada prinsipnya keberadaan modal asing adalah sebagai unsur pelengkap dalam pembiayaan pembangunan nasional. Oleh karena itu, beberapa peraturan


(54)

perUndang-undangan di bidang penanaman modal membatasi kepemilikan saham asing pada bidang-bidang usaha tertentu. Pembatasan kepemilikan ssaham asing diatur dalam PP NO. 83 Tahun 2001 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal. Disamping itu, pembatasan pemilikan saham asing untuk bidang-bidang usaha tertentu diatur dalam kebijakan daftar negatif investasi sebagaimana terakhir kali diatur dalam Peraturan Presiden No.36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

3. Penanaman modal asing di Indonesia harus dilakukan dalam bentuk usaha patungan (joint venture) khususnya terhadap bidang usaha yang dibatasi kepemilikan saham asing. Pembentukan perusahaan penanaman modal patungan didasarkan pada Perjanjian Pembentukan Usaha Patungan (Joint Venture Agreement) yang disepakati para pihak. Joint Venture Agreement

tersebut tidak boleh bertentangan dengan UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan peraturan pelaksanaannya. Joint Venture Agreement

tersebut akan menjadi dasar pembuatan Anggaran Dasar perusahaan patungan yang didirikan. Oleh karena itu, selain tunduk pada ketentuan UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, joint venture company tersebut juga harus tunduk pada UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


(55)

B. Saran-Saran

1. Dengan lahirnya UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal maka diharapkan perkembangan pengaturan penanaman modal di Indonesia menjadi lebih baik. Kehadiran investor sangat dibutuhkan dalam mengelola potensi ekonomi. Kehadiran investor ini diharapkan dapat memberikan dampak positif, selain membuka lapangan pekerjaan, juga dapat menggerakkan roda perekonomian.

2. Ketentuan kepemilikan saham asing pada perusahaan penanaman modal di Indonesia telah diatur dalam PP No. 83 tahun 2001 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing. Namun, pada PP No 83/2001 harusnya dikemukakan secara limitatif bidang-bidang usaha apa saja yang tidak dapat dimasuki secara penuh. Bidang-bidang-bidang inilah yang sering disebut menyangkut hajat hidup orang banyak dan penting bagi negara. Sedangkan pada UUPMA secara limitatif dikemukakan bidang-bidang usaha apa yang tidak dimasuiki PMA dan bidang-bidang usaha apa saja yang tidak dapat dimasuki secara penuh.

3. Perlu diadakan peninjauan kembali aspek-aspek pengaturan Perundang-undangan dan ketentuan pelaksanaan kerja sama patungan. Aspek-aspek yang perlu ditinjau yaitu: Peraturan-peraturan yang belum ada ketentuan-ketentuan pelaksanaannya sehingga mengakibatkan kurang atau tidak efektif, peraturan-peraturan yang kurang jelas yang akan menimbulkan penafsiran-penafsiran yang berbeda-beda, peraturan yang sudah tidak memadai untuk dipakai dan


(56)

kebutuhan dewasa ini sehingga perlu diperbaharui, masalah-masalah yang belum ada pengaturannya sama sekali, masalah pengaturan yang teknis sifatnya, seperti pengaturan di bidang tanah, pengaturan di bidang modal dan sebagainya.Yang menjadi perhatian adalah meneliti peraturan-peraturan yang perlu disempurnakan, dihapuskan atau diperbaiki sehingga dapat diciptakan iklim pengaturan yang jelas, lengkap dan memberikan kepastian hukum.


(57)

BAB II

ASPEK HUKUM PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

A. Perkembangan Hukum Penanaman Modal di Indonesia

Tahun 1996 kiranya dapat dijadikan tahun yang cukup penting dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, karena dalam kurun waktu sejak kemerdekaan Republik Indonesia hingga memasuki tahun 1966, terjadi berbagai gejolak sehingga pembangunan nasional agak terabaikan. Untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa (founding fathers) dirasakan perlu pembangunan secara menyeluruh. Namun, untuk melaksanakan pembangunan tersebut membutuhkan dana yang tidak sedikit. Jika hanya mengandalkan modal dalam negeri, tentu tidak memadai. Oleh karena itu, timbul pemikiran untuk mencari modal dari luar negeri sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi masalah kebutuhan dana dalam melaksanakan pembangunan yang dimaksud, yakni dengan mengundang investor asing. Hanya saja, jika pilihannya mengundang investor asing, maka diperlukan landasan hukum formal yang mengatur masalah investasi asing.27

Erman Radjagukguk, mengemukakan bahwa pemerintah orde baru dibawah pimpinan presiden Soeharto menyadari sejak semula bahwa bantuan asing baik berupa bantuan teknik maupun modal bukan merupakan faktor yang

27 Sentosa Sembiring,


(58)

menentukan berhasilnya pembangunan ekonomi Indonesia. Namun peranan bantuan tersebut dalam masa transisi untuk memulihkan lagi ekonomi Indonesia telah diakui sebagai hal yang sangat penting. Di bawah pemerintahan presiden Soekarno, ekonomi Indonesia seakan-akan hendak mengalami keruntuhan. Indonesia tidak mampu membayar hutang luar negerinya yang pada waktu berjumlah lebih dari 2 bilyon dollar. Laju inflasi sekitar 20-30 % perbulan. Pada tahun 1966, pemerintah Indonesia mengadakan pendekatan baru dalam kebijaksanaan ekonomi, antara lain mengundang kembali masuknya modal asing. Undang-undang yang baru tentang penanaman modal asing diundangkan pada tahun 1967, yaitu UU No.1 tahun 1967, Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2818. Dalam rangka pengaturan hal-hal tersebut, dikeluarkanlah UU No.1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang sekaligus mengatur hak dan kewajiban para investor asing, memberikan jaminan kepastian hukum dan jaminan kepastian berusaha, sehingga dapat meyakinkan para investor asing tentang nasib modal yang akan ditanamkannya di Indonesia.28

Perkembangan selanjutnya, lahirlah UU No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Modal dalam negeri diartikan sebagai sumber produktif dari Masyarakat Indonesia yang dapat digunakan bagi pembangunan ekonomi pada umumnya. Modal dalam negeri adalah modal yang merupakan bagian dari kekayaan masyarakat Indonesia, termasuk hak-hak dan benda-benda Lalu mengalami perubahan dan penambahan yang diatur dalam UU No.11 Tahun 1970.

28

Hulman Pandjaitan & Anner Mangatur Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing.( Jakarta: IHC, 2008)), hal.7.


(59)

(bergerak dan tidak bergerak), yang dapat disisihkan /disediakan untuk menjalankan suatu usaha perusahaan. Yang dimaksud dengan penanaman modal dalam negeri adalah penggunaan modal tersebut bagi usaha-usaha yang mendorong pembangunan ekonomi pada umumnya. Penanaman tersebut dapat dilakukan secara langsung, yakni melalui pembelian obligasi-obligasi, surat-surat kertas pembendaharaan negara, emisi-emisi lainnya (saham-saham) yang dikeluarkan oleh perusahaan, serta deposito dan tabungan yang berjangka sekurang-kurangnya 1 (satu)tahun.29

Perkembangan selanjutnya dapat dilihat dengan dikeluarkannya PP Nomor 17 Tahun 1992 yang antara lain mengatur mengenai penanaman modal asing di kawasan Bagian Timur. Dalam usaha untuk lebih menarik minat dan meningkatkan peran penanaman modal asing dalam pembangunan di bidang ekonomi, semakin dirasakan perlu adanya berbagai kebijakan dan langkah-langkah untuk mewujudkan iklim yang memadai bagi usaha penanaman modal asing di Indonesia. Salah satu diantaranya adalah pengaturan yang jelas dan mampu memberi kepastian hukum mengenai pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing tersebut. Hal inilah yang melatarbelakangi pembentukan Peraturan Pemerintahan ini.

Lalu, UU ini mengalami perubahan dan perubahan yang diatur oleh UU No. 12 Tahun 1970.

30

29

Undang-Undang No.6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, Penjelesan Umum alinea pertama.

30

Undang-Undang No.17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham Dalam Perusahaan Modal Asing, alinea pertama.


(60)

Perkembangan selanjutnya setelah PP No 17 Tahun 1992 adalah dengan dikeluarkannya PP Nomor 24 Tahun 1994. PP ini memberikan kemungkinan bagi investor asing untuk memiliki 100 % saham dari perusahaan asing serta membuka peluang untuk berusaha pada bidang-bidang sebelumnya tertutup sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1967.31

Setelah menanti cukup lama, akhirnya ketentuan investasi yang selama empat puluh tahun diatur dalam dua undang-undang, yakni: Pertama, Undang-Undang Nomor 1 tahun 1976 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) dan yang

Kedua, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), Undang-undang penanaman modal dinyatakan berlaku sejak diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2007 Nomor 67 pada tanggal 26 April 2007. Tampak

PP ini dikeluarkan dengan tujuan untuk memberi rangsangan yang lebih menarik terhadap penanaman modal. Rangsangan ini sangat diperlukan untuk mendorong partisipasi masyarakat dan dunia usaha dalam meningkatkan daya saing dalam investasi dan perdagangan serta alih teknologi, kemampuan managerial dan modal agar semakin mampu meningkatkan investasi, pertumbuhan dan perluasan kegiatan ekonomi di berbagai daerah. Peraturan ini kemudian diubah dengan PP No. 83 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas PP No. 20 Tahun 1994 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.

31 Http: //


(61)

bahwa pembahasan terhadap pembaharuan ketentuan investasi memakan waktu relatif cukup lama. Hal ini dapat dimaklumi, sebab ruh yang terkandung dalam undang-undang penanaman modal menganut paham liberal tampaknya belum sepenuhnya dapat diterima oleh berbagai pihak yang mempunyai perhatian terhadap pengaturan hukum investasi dirangkum dalam semangat yang ada dalam UUPM yang ada saat ini. Adanya paham liberal dalam undang-undang penanaman modal ini dapat disimpulkan, dari perlakuan yang diberikan oleh pemerintah kepada penanam modal. Dalam undang-undang ini tidak dibedakan perlakuan terhadap penanam modal asing dengan penanam modal dalam negeri.32

32 Sentosa Sembiring,

op cit, hal. 126

Lahirnya UUPM tidak dapat dilepaskan dari perkembangan masyarakat khususnya komunitas pebisnis yang demikian dinamis, baik dalam negeri maupun di dunia internasional, terlebih lagi era masa kini yang lebih dikenal sebagai era globalisasi, arus perputaran modal pun demikian cepat dari satu tempat ke tempat lain. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan umum UUPM, tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usha yang kondusif di bidang ketengakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan adanya perbaikan berbagai faktor


(62)

penunjang tersebut, diharapkan penanam modal akan tertarik untuk menanamkan modalnya. 33

c. Asas akuntabilitas. Adapun maksud asas ini adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat B. Asas, Tujuan dan Kebijakan Dasar Penanaman Modal di Indonesia

1. Asas dalam Penanaman Modal di Indonesia

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, telah dicantumkan sejumlah asas yang menjiwai norma yang ada dalam undang-undang penanaman modal. Tepatnya dalam Pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya disebutkan sejumlah asas dalam penanaman modal, yakni :

a. Asas kepastian hukum. Adapun maksud asas ini adalah asas dalam negara meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal;

b. Asas keterbukaan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal;

33


(63)

sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

d. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. Adapun maksud asas ini adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya; e. Asas kebersamaan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang mendorong

peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat;

f. Asas efisiensi berkeadilan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efesiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya asing;

g. Asas berkelanjutan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang;

h. Asas berwawasan lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan asas ini adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup;


(1)

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak M. Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah banyak membantu dan membimbing Penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktu dan sabar untuk membimbing dan memberi banyak masukan-masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

8. Ibu Nurmalawaty, SH, MH, selaku dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bantuan, arahan, serta bimbingan selama masa perkuliahan.

9. Seluruh staff pengajar dan pegawai administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mencurahkan ilmunya dan membantu Penulis selama masa perkuliahan.


(2)

10. Teristimewa persembahan kepada kedua orang tuaku tercinta: H. Syamsul Bahri Harahap, SH, M.Hum dan Hj. Adelinda Lubis, SH. Terima kasih atas cinta dan kasih sayangnya yang tak terbatas, doa-doa yang tak pernah putus, perhatian yang luar biasa, motivasi yang selalu membangun, dukungan moril serta materi yang tidak akan mungkin terbalaskan. “Mira sayang papa mama”. 11. Saudara-saudara ku, terima kasih atas dukungan dan bantuan kalian selama

ini. Dan untuk kakak ipar ku, terima kasih atas dukungan dan selalu memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini.

12. Abangda Amanda Putra Lubis, SH. Terima kasih telah banyak meluangkan waktu, motivasi yang luar biasa, bantuan serta bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini.

13. Sahabat-sahabatku tersayang : Dinda, Desy, Dyah, Resy, Omar. Terima kasih atas bantuan, dukungan, motivasi, berbagi suka dan duka bersama, serta selalu ada di sisiku dalam segala hal dari awal perkuliahan sampai pada proses penyelesaian skripsi ini. Masa masa ini tidak akan terlupakan. I love u guys!!.

14. Semua teman-teman angkatan 2007, Winda, Dinni, Rina, Andra, Naldi, Wilmart, Dani, dan semua teman-teman seagkatan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.


(3)

16. Seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan namanya satu persatu.

Akhir kata, dengan segala kerendahan hati, Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan berfikir bagi setiap orang yang membaca. Semoga Allah SWT, selalu memberikan Rahmat Karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Medan, November 2010 Penulis


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... v

ABSTRAK... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah... 11

C. Tujuan Penulisan... 11

D.Manfaat Penulisan... 12

E. Keaslian Penulisan... 13

F. Tinjauan Pustaka... 14

G. Metode Penelitian... 21

H. Sistematika Penulisan... 24

BAB II ASPEK HUKUM PENANAM MODAL DI INDONESIA A. Perkembangan Hukum Penanaman Modal di Indonesia... 27

B. Asas, Tujuan dan Kebijakan Dasar Penanaman Modal di Indonesia... 32

C. Bidang Usaha Penanaman Modal... 37 D. Hak, Kewajiban dan Tanggung Jawab Penanaman


(5)

E. Fasilitas Penanaman Modal... 67

BAB III KEPEMILIKAN SAHAM ASING PADA PERUSAHAAN PENANAMAN MODAL A. Bentuk-bentuk Kerjasama Modal... 76

B. Pembatasan Kepemilikan Saham oleh Pihak Asing... 85

C. Ketentuan Indonesianisasi Saham Pihak Asing... 89

BAB IV ASPEK HUKUM PENANAMAN MODAL PATUNGAN DI INDONESIA A. Dasar Hukum Perjanjian Usaha Patungan... 102

B. Bentuk Badan Usaha Patungan... 108

C. Prosedur Pendirian Usaha Patungan... 112

D. Ketentuan Pengalihan Hak Atas Saham... 119

E. Penyelesaian Sengketa... 120

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan... 124

B. Saran... 127 DAFTAR PUSTAKA


(6)

TINJAUAN YURIDIS KEPEMILIKAN SAHAM ASING DALAM PENANAMAN MODAL PATUNGAN DI INDONESIA

Prof.Dr. Bismar Nasution, SH, MH *) Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum *)

Mira Ulva Sari Hrp ***)

ABSTRAK

Indonesia membutuhkan modal asing melalui kegiatan penanaman modal secara langsung. Selain sebagai sumber pembiayaan pembangunan ekonomi nasional, kehadiran penanaman modal asing juga memberi manfaat yang banyak bagi perekenomian nasional. Namun, meskipun demikian kebutuhan tersebut tidak menyebabkan pemerintah memberikan kebebasan yang seluas-luasnyabagi penanaman modal asing. Salah satu persyaratan yang ditetapkan peraturan perUndang-undangan adalah ada pembatasan kepemilikan saham asing.

Untuk menjawab permasalahan penelitian terkait aspek hukum kepemilikan saham asing pada perusahaan penanaman modal, maka dipergunakan penelitian hukum normatif. Data utama yang dipergunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dikumpulkan melalui studi pustaka dan dianalisis secara kualitatif.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa peraturan perUndang-undangan di bidang penanaman modal di Indonesia membatasi kepemilikan saham asing pada perusahaan penanaman modal patungan (joint venture company). Pengaturan pembatasan dalam PP No. 83 Tahun 2001 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka Penanaman Modal dan peraturan tentang Daftar Negatif Investasi sesuai Perpres RI No.36 Tahun 2010. Pembatasan pemilikan saham asing ini sesuai dengan fungsi modal asing sebagai unsur pelengkap dalam pembiayaan pembangunan nasional. Unsur utama adalah modal nasional.

Kata kunci: Penanaman Modal Asing, Kepemilikan Saham Asing.

*) Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing I **) Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Dosen Pembimbing II ***) Mahasiswa Fakultas Hukum Sumatera Utara