Tinjauan Yuridis Mengenai Kebijakan Daftar Negatif Investasi Dalam Kegiatan Penanaman Modal Di Indonesia.

(1)

DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Adolf, Huala. 2005. Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

_________, 2005. Hukum Perdagangan Internasional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1999. Hukum Perusahaan Mengenai Penanaman Modal di Indonesia.Bandung: Mandar Maju.

Fuady, Munir. 2008. Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis di Era Global.

Bandung: PT Citra Aditya Bakti.

Hartono, Sunarjati. 1974. Masalah-Masalah Dalam Joint Venture antara Modal Asing dan Modal Indonesia. Bandung: Alumni.

Hendrik Budi Untung. 2010. Hukum Investasi. Jakarta: Sinar Grafika.

Ilmar, Aminuddin. 2004. Hukum Penanaman Modal di Indonesia. Jakarta: Prenada Media

_________, 2004. Hukum Penanaman Modal. Jakarta: Kencana.

Ida Bagus Rahmadi Supancana. 2006. Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.


(2)

K. Harjono, Dhaniswara. 2007. Hukum Penanaman Modal: Tinjauan terhadap Pemberlakuan UU. No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Jakarta: PT Raharja Grafindo Persada.

Margono, Sujud. 2008. Hukum Investasi Asing di Indonesia. Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri.

Mertokusumo, Sudikno. 2003. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Nasution, Asmin. 2008. Transparansi Dalam Penanaman Modal. Medan: Pustaka Bangsa Press.

Padji, Aliminsyah. 2003. Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan. Bandung: Yrama Widya.

Panjaitan, Hulaman dan Anner Sianipar. 2008. Hukum Penanaman Modal Asing. Jakarta: CV Indhill Co.

Rakhmawati, N. Rosyidah. 2003. Hukum Penanaman Modal Asing di Indonesia Dalam Menghadapi Era Global. Malang: Bayumedia Publishing

Salim HS dan Budi Sutrisno. 2008. Hukum Investasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sembiring, Sentosa. 2007. Hukum Investasi. Bandung: Nuansa Aulia.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. 2006. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


(3)

Sumantoro. 1998. Peranan Perusahaan Multinasional Dalam Pembangunan Negara yang Sedang Berkembang dan Implikasinya di Indonesia. Bandung: Alumni. Sunny, Ismail dan Rochmat Rudiro. 1998. Tinjauan dan Pembahasan

Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri. Jakarta: Pradjna Paramita.

B. Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 Tentang Pasar Modal

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 Tentang Kritria dan Persayaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1987 tentang Daftar Skala Proritas Bidang-Bidang Usaha Penanaman Modal


(4)

C. Internet

http://www.Bismar Nasty/Wordpress.com. “Prinsip Keterbukaan, Pengelolaan Perusahaan yang Baik dan Persyaratan Hukum di Pasar Modal”, Februari 10, 2008.

http://www.detikinet.com/09/06/2008/indosat-dijual-ke-qatar, 8 Juni 2010.

http://www.detiksport.com/13/10/2008/qatar-masih-ingin-kuasai-penuh-indosat, 7 Juni 2010.

D. Sumber lainnya

Siregar, Mahmul, “UUPM dan Penyelesaian Sengketa Perdagangan Internasional dalam Kegiatan Penanaman Modal”. Jurnal Hukum Bisnis. Volume 26/No. 4/Tahun 2007.

Rajagukguk, Erman, “Perpres DNI dan Dampaknya Terhadap Kepemilikan Asing Atas Saham Emiten”. Jurnal Hukum dan Pasar Modal. Agustus-Desember 2008.


(5)

BAB III

KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DI INDONESIA A. Dasar Hukum dan Perkembangan

1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI)

Adapun dasar hukum dari kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) di Indonesia, antara lain:

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3502);

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);

4. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);


(6)

5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

6. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3718);

8. Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal;

9. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal;

10.Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal;

11. Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.


(7)

2. Perkembangan Daftar Negatif Investasi (DNI)

Sebelum memutuskan untuk melakukan investasi atau penanaman modal di suatu negara, biasanya para investor akan memperhatikan beberapa hal guna meminimalisasi resiko dalam berinvestasi. Salah satunya adalah melalui transparansi, yaitu kejelasan mengenai peraturan perundang-undangan, prosedur administrasi yang berlaku serta kebijakan investasi di negara penerima modal (host country).

Tujuan transparansi atau keterbukaan adalah membuka ketertutupan informasi, agar tidak menimbulkan ketidakpastian bagi investor. Ketidakpastian dapat mengakibatkan investor sulit untuk mengambil keputusan untuk berinvestasi.129 Sebagai wujud pelaksanaan prinsip keterbukaan (transparansi) yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (1) huruf (b) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007, pemerintah telah mengeluarkan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal yang ditetapkan pada tanggal 25 Mei 2010. Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 menggantikan Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 dan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 yang telah dinyatakan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku sejak berlakunya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 ini.

129Bismar Nasution, “Prinsip Keterbukaan, Pengelolaan Perusahaan yang Baik dan

Persyaratan Hukum di Pasar Modal”, (Februari 10, 2008), dapat diakses di http://www.Bismar


(8)

Daftar Negatif Investasi (DNI) yang ada sekarang dahulu disebut Daftar Skala Prioritas (DSP), Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan hasil perubahan Daftar Skala Prioritas (DSP) yang dilakukan dalam rangka penyederhanaan.

Daftar Skala Prioritas Bidang-bidang Usaha Penanaman Modal, terdiri dari:130

a. Daftar Skala Prioritas Bidang Usaha Penanaman Modal Asing;

b. Daftar Skala Prioritas Bidang Usaha Penanaman Modal Dalam Negeri; c. Daftar Bidang Usaha di luar Undang-undang Penanaman Modal Asing dan

Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri; d. Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup.

Pada tahun 1998, Daftar Negatif Investasi (DNI) diatur dalam Keppres Nomor 96 Tahun 1998 dan Keppres Nomor 99 Tahun 1998, kemudian kedua peraturan tersebut diubah dengan Keppres Nomor 96 Tahun 2000, Keppres Nomor 96 Tahun 2000 kemudian diubah lagi dengan Keppres Nomor 118 Tahun 2000. Dan pada tahun 2007 Daftar Negatif Investasi (DNI) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanamaan Modal (Perpres No. 77 Tahun 2007) dan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang Perubahan Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan (Perpres No. 111 Tahun 2007). Dan pada saat ini Daftar Negatif Investasi (DNI) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010.

130Pasal 1 ayat (1), Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1987 tentang Daftar Skala Proritas Bidang-Bidang Usaha Penanaman Modal.


(9)

Berkaitan dengan pengaturan Daftar Negatif Investasi (DNI), pemerintah sebelumnya telah mengeluarkan pengaturan mengenai kriteria dan persyaratan bidang usaha yakni Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (Perpres Nomor 76 Tahun 2007).

B. Tujuan Daftar Negatif Investasi di Indonesia

Adapun tujuan dari ketentuan Daftar Negatif Investasi, dapat dilihat dalam Pasal 3 Perpres Nomor 76 Tahun 2007:

1. meletakkan landasan hukum yang pasti bagi penyusunan peraturan yang terkait dengan penanaman modal;

2. menjamin transparansi dalam proses penyusunan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;

3. memberikan pedoman dalam menyusun dan menetapkan bidang usaha tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan;

4. memberikan pedoman dalam melakukan pengkajian ulang atas daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyratan;


(10)

5. memberikan pedoman apabila terjadi perbedaan penafsiran atas daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan.131

C. Bentuk-Bentuk Persyaratan dalam Daftar Negatif Investasi

Dalam Pasal 12 Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 disebutkan mengenai persyaratan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Adapun bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan terdiri dari:132

1. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan dan pengembangan terhadap UMKMK.

2. Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan.

3. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan kepemilikan modal. 4. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi tertentu. 5. Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan perizinan khusus.

Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan perlindungan dan pengembangan terhadap UMKMK hanya dapat dilakukan berdasarkan pertimbangan kewajaran dan kelayakan ekonomi untuk melindungi UMKMK.133

Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan merupakan usaha yang dilakukan dalam bentuk kerjasama antara UMKMK dengan usaha besar disertai

131Pasal 3, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan

Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

132Pasal 12, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

133


(11)

pembinaan dan pengembangan oleh usaha besar dengan memerhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Bidang usaha yang terbuka dengan kemitraan dapat dilakukan dengan pola:

1. inti plasma; 2. sub kontraktor; 3. dagang umum; 4. keagenan; dan 5. bentuk lainnya.134

Bidang usaha yang terbuka berdasarkan kepemilikan modal adalah berkaitan dengan memberikan batasan kepemilikan modal bagi penanam modal asing. Sebagai contoh, misalnya investor asing yang ingin menanamkan modalnya di bidang jasa pengeboran minyak dan gas bumi di lepas pantai di luar kawasan Indonesia bagian timur, maka modal yang harus disiapkan oleh mereka adalah maksimum 95%, sementara investasi sebesar 5% diberikan kesempatan kepada investor domestik untuk menanamkan investasinya di bidang tersebut.135

Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan lokasi tertentu adalah bidang usaha yang diperkenankan untuk ditanamkan pada suatu lokasi atau tempat-tempat tertentu. Ini erat kaitannya pembatasan wilayah administratif untuk penanaman modal. Misalnya, investor asing yang ingin menanamkan modalnya pada

134

Ibid., hal. 44-45.

135Ibid


(12)

jasa pelayanan penunjang kesehatan (penyewaan peralatan medik), maka jasa pelayanan tersebut hanya dapat dilakukan di Ibukota Propinsi di Indonesia.136

Bidang usaha yang terbuka berdasarkan persyaratan perizinan khusus dapat berupa rekomendasi dari instansi atau lembaga pemerintah atau non pemerintah yang memiliki kewenangan pengawasan terhadap suatu bidang usaha termasuk merujuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang menetapkan monopoli atau harus bekerjasama dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dalam bidang usaha tersebut. Misalnya, investor asing ingin menanamkan modalnya di bidang pertambangan mineral radio aktif, maka kegiatan usaha itu harus mendapat rekomendasi dari BATAN dan bekerjasama dengan BATAN.137

D. Penerapan Daftar Negatif Investasi di Bidang Pasar Modal

Daftar Negatif Investasi (DNI) pernah diterapkan di bidang pasar modal. Salah satu contoh dari penerapan Daftar Negatif Investasi (DNI) di bidang pasar modal dapat dilihat pada terganjalnya niat Qatar Telekom (Qtel) untuk menambah kepemilikan sahamnya di PT. Indosat Tbk melalui pasar modal dengan melakukan proses penawaran tender sisa saham PT. Indosat Tbk yang berada di tangan publik. Dalam siaran pers yang dikutip detikINET, Senin (9/6/2008) Qtel mengumumkan telah membeli 40,8% saham Indosat melalui akuisisi Asia ikMobile

136

Ibid.

137Ibid


(13)

Holdings Pte. Ltd (AMH). Dalam struktur STT, AMH adalah pemilik Indonesia Communications Limited (ICL) yang tercatat sebagai pemegang saham Indosat.138 Pada tanggal 22 Juni 2008, Qatar Telekom (Qtel) secara tidak langsung mengambil alih 2,17 miliar saham seri B atau 40,81% saham PT. Indosat Tbk yang dikuasai Indonesia Communications Limited (ICLM) dan Indonesia Communication Pte Ltd (ICLS). Pengambilalihan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian jual beli (PJB) pada tanggal 6 Juni 2008 antara Qatar Telekom dan Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd (STT). Qatar Telekom mengakuisisi saham PT. Indosat Tbk pada harga Rp. 7.388 per saham dengan total dana US$ 1,8 Miliiar (Rp. 16, 65 Triliun). Langkah Qtel untuk menguasai Indosat ternyata tidak hanya berhenti disitu saja. Qtel yang sebelumnya telah membeli 40,8% saham Indosat yang dimiliki Singapore Technology Telemedia (STT) berencana untuk menggelar tender offer

untuk seluruh saham publik. Namun Qtel terganjal aturan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang mensyaratkan perusahaan telekomunikasi hanya boleh dimiliki asing maksimal 49%.139 karena PT. Indosat Tbk memenuhi kriteria sektor usaha jaringan tetap berbasis kabel maupun berbasis radio, dengan teknologi circuit switched atau

packet switched. Batasan maksimal asing ini termuat dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang Daftar bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang

138

Indosat Dijual ke Qatar, “http://www.detikinet.com/09/06/2008/indosat-dijual-ke-qatar, 8 Juni 2010.

139

Qatar Masih Ingin Kuasai Penuh indosat, “http://www.detiksport.com/13/10/2008/qatar-masih-ingin-kuasai-penuh-indosat, 7 Juni 2010.


(14)

Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal dalam bagian C tentang kepemilikan modal No. 44.

Sejak diundangkannya Undang-Undang nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, terdapat ketentuan yang terkait secara langsung maupun tidak langsung terhadap kepemilikan asing dalam hubungannya dengan saham asing di emiten pasar modal. Ketentuan tersebut yaitu:140

1. Ketentuan Terkait Langsung

a. Pasal 12 ayat (1) huruf (c) Perpres Nomor 76 Tahun 2007 Jo. Pasal 2 ayat (1) Perpres Nomor 77 Tahun 2007. Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan yaitu bidang usaha yang tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK (Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi), bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Lebih lanjut, dalam ayat (4) Pasal 12 Perpres Nomor 76 Tahun 2007 disebutkan lagi bahwa bidang usaha sebagaiman dimaksud pada ayat (1) huruf (c) memberikan batasan kepemilikan modal bagi penanam modal;

b. Pasal 5 Perpres Nomor 111 Tahun 2007, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dan Pasl 2 Peraturan Presiden ini (yaitu mengenai bidang usaha yang

140

Jurnal Hukum dan Pasar Modal, Prof Erman Rajagukguk, Perpres DNI dan Dampaknya Terhadap Kepemilikan Asing Atas Saham Emiten, Agustus-Desember 2008, hal. 115-118.


(15)

tertutup dan syarat bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan) tidak berlaku bagi penanam modal yang telah disetujui pada bidang usaha tertentu sebelum Peraturan Presiden ini ditetapkan, sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan, dan perubahannya apabila ada;

c. Pasal 33 Undang-Undang Penanaman Modal. Penanam Modal dalam negeri dan penanam modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk perseroan terbatas dilarang membuat perjanjian dan/atau pernyataan yang menegaskan bahwa kepemilikan saham dalam perseroan terbatas untuk dan atas nama orang lain (ayat (1) ). Dalam hal penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing membuat perjanjian dan/atau pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perjanjian dan/atau pernyataan itu dinyatakan batal demi hukum.

2. Ketentuan Tidak Terkait Langsung

a. Penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Penanaman Modal. Dalam ketentuan ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “penanaman modal di semua sektor wilayah Negara Republik Indonesia” adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.

b. Pasal 2 ayat (3) Perpres Nomor 77 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa persyaratan mengenai bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum


(16)

Indonesia bagi penanam modal (khususnya penanaman modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia).

Dari ketentuan yang tidak terkait langsung yaitu Pasal 2 beserta penjelasannya di Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Pasal 2 ayat (3) Perpres Nomor 77 Tahun 2007, pada hakikatnya Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak berlaku terhadap penguasaan asing atas saham-saham emiten di pasar modal. Alasannya saham-saham emiten bukan termasuk penanaman modal langsung akan tetapi bersifat tidak langsung.

Pada akhirnya berkaitan dengan permasalahan diterapkannya Daftar Negatif Investasi di bidang pasar modal, Qatar Telekom (Qtel) sesuai dengan peraturan yang ada boleh saja membeli saham PT. Indosat Tbk melalui pasar modal. Karena Qatar Telekom (Qtel) tidak tunduk pada ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 serta Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 tentang DNI sebagai peraturan pelaksananya, akan tetapi tunduk pada peraturan Pasar Modal mengingat metode yang dilakukan Qatar Telekom (Qtel) merupakan investasi portofolio atau investasi tidak langsung.

Dan kini setelah lahirnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Pesyaratan Di Bidang Penanaman Modal, telah semakin jelas bahwa Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak berlaku bagi penanaman modal tidak langsung atau portofolio


(17)

yang transaksinya dilakukan melalui pasar modal dalam negeri. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010.


(18)

BAB IV

HUBUNGAN KETENTUAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DENGAN KESEPAKATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Prinsip-Prinsip Pokok Kesepakatan Perdagangan Internasional

Dalam upaya negara-negara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dewasa ini negara-negara cenderung membentuk blok-blok perdagangan baik bilateral, regional maupun multilateral. Lahirnya kecenderungan tersebut tidak terlepas dari kesadaran negara-negara bahwa kegiatan perdagangan merupakan salah satu instrumen pembangunan ekonomi suatu negara. Dengan kecenderungan seperti ini maka peran hukum perdagangan internasional pun semakin dibutuhkan adanya. Salah satu sumber hukum yang penting dalam hukum perdagangan internasional adalah Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade atau GATT).141

Tujuan hukum perdagangan internasional sebenarnya tidak berbeda dengan tujuan GATT (General Agreement on Tarrifs and Trade, 1947) yang termuat dalam

Preambule-nya.142

Tujuan utama GATT dapat tampak dengan jelas pada preambule-nya. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT:143

1) meningkatkan taraf hidup umat manusia;

141

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 97.

142

Ibid., hal. 21.

143Ibid


(19)

2) meningkatkan kesempatan kerja;

3) meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia; dan 4) meningkatkan produksi dan tukar-menukar barang.

Di dalam usaha untuk mencapai tujuan-tujuannya, GATT berpedoman pada lima prinsip utama. Prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:144

1. Prinsip Most Favoured Nation

Prinsip Most Favoured Nation (MFN) ini termuat dalam Pasal 1 GATT. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.

Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT. Oleh karena itu, suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prinsip ini tampak dalam Pasal 4 perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPs) dan tercantum pula dalam Pasal 2 perjanjian mengenai jasa (GATS).

Pendek kata, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan semua negara menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan. Jadi, berdasarkan prinsip itu, suatu negara anggota pada pokoknya dapat menuntut untuk diperlakukan sama terhadap produk impor dan ekspornya di negara-negara anggota

144Ibid


(20)

lain. Namun demikian, ada beberapa pengecualian terhadap prinsip ini khususnya dalam menyangkut kepentingan negara yang sedang berkembang.

Pengecualian tersebut sebagian ada yang ditetapkan dalam pasal-pasal GATT itu sendiri dan sebagian lagi ada yang ditetapkan dalam putusan-putusan dalam konfrensi-konfrensi GATT melalui suatu penanggalan (waiver) dan prinsip-prinsip GATT berdasarkan Pasal XXV.

2. Prinsip National Treatment

Prinsip National Treatment terdapat dalam Pasal III GATT. Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri. Prinsip ini sifatnya berlaku luas. Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak dan pungutan-pungutan lainnya. Ia berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan (hukum) yang mempengaruhi penjualan, pembelian pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri. Prinsip ini juga memberikan perlindungan terhadap proteksionisme sebagai akibat upaya-upaya atau kebijakan administratif atau legislatif.

3. Prinsip Larangan Retriksi (Pembatasan) Kuantitatif

Ketentuan dasar GATT adalah larangan retriksi kuantitatif yang merupakan rintangan terbesar dalam GATT. Retriksi kuantitatif terhadap ekspor dan impor dalam bentuk apapun (misalnya penetapan kuota impor atau ekspor, pengawasan pembayaran produk-produk impor atau ekspor), pada umumya dilarang (Pasal IX).


(21)

Hal ini disebabkan karena praktik yang demikian mengganggu praktik perdagangan yang normal.

4. Prinsip Perlindungan melalui Tarif

Pada prinsipnya GATT hanya memperkenankan tindakan proteksi terhadap industri domestik melalui tarif (menaikkan tingkat tarif bea masuk) dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures).

Perlindungan melalui tarif ini menunjukkan dengan jelas tingkat perlindungan yang diberikan dan masih memungkinkan adanya kompetisi yang sehat. Sebagai kebijakan untuk mengatur masuknya barang ekspor dari luar negeri, pengenaan tarif ini masih diperbolehkan dalam GATT. Negara-negara GATT umumnya banyak menggunakan cara ini untuk melindungi industri dalam negerinya dan juga untuk menarik pemasukan bagi negara yang bersangkutan.

Meskipun diperbolehkan, penggunaan tarif ini tetap tunduk pada ketentuan-ketentuan GATT. Misalnya saja, pengenaan tarif tersebut sifatnya tidak boleh diskriminatif dan tunduk pada komitmen tarifnya kepada GATT/WTO.

5. Prinsip Resiprositas

Prinsip ini merupakan prinsip fundamental dalam GATT. Prinsip ini tampak pada preambule GATT dan berlaku dalam perundingan-perundingan tarif yang didasarkan atas timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak.


(22)

Sekitar dua pertiga negara-negara anggota GATT/WTO adalah negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan ekonominya. Untuk membantu pembangunan mereka, pada tahun 1965, suatu bagian baru yaitu

Part IV yang memuat 3 Pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII) tersebut dimaksudkan untuk mendorong negara-negara industri dalam membantu pertumbuhan ekonomi negara yang sedang berkembang.

Bagian IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. Bagian ini juga melarang negara-negara maju untuk membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor negara-negara-negara-negara berkembang. Negara-negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdagangan negara-negara yang sedang berkembang.

B. Kesepakatan Perdagangan Internasional Terkait dengan Kegiatan Investasi Meskipun WTO tidak mengatur secara komprehensif kesepakatan bidang penanaman modal, akan tetapi terdapat setidaknya dua kesepakatan yang terkait langsung dengan peraturan penanaman modal, yakni Agreement on Trade Related Investment Measures dan Agreement on Trade in Service, yang kemudian menghasilkan kesepakatan Domestic Regulations.145

145Asmin Nasution, Transparansi Dalam Penanaman Modal, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 15


(23)

1. Agreement on Trade Related Invesment Measures (Agreement on TRIMs) Pada prinsipnya kesepakatan ini mengatur larangan performance requirement

yang tidak konsisten dengan Article XI GATT (quantitative restriction) dalam peraturan penanaman modal. Agreement on TRIMs tidak mengatur dengan tegas bentuk performance requirement yang tidak konsisten dengan Article III dan Article

XI GATT. Direktur Jenderal GATT kemudian merumuskan illustrative list dari

agreement berisi bentuk-bentuk performance requirement yang tidak konsisten dengan Article III.4 dan XI.1 GATT sebagai berikut:146

1. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan perlakuan sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal III.4 GATT 1994:

a. pembelian atau penggunaan produk-produk yang berasal dari dalam negeri atau dari sumber dalam negeri lainnya dirinci menurut produk-produk tertentu, volume atau nilai barang produk, atau menurut perbandingan dari volume atau nilai produksi lokal; atau

b. pembelian atau penggunaan produk impor oleh perusahaan dibatasi sampai jumlah tertentu dikaitkan dengan volume atau nilai produksi lokal yang diekspor.

2. Persyaratan penanaman modal yang tidak sejalan dengan keharusan penghapusan pembatasan kuantitatif, sebagaimana diatur dalam Pasal XI ayat (1) GATT 1994:

146


(24)

a. impor produk yang dipakai dalam proses produksi atau terkait dengan produksi lokalnya secara umum atau senilai produk yang diekspor oleh perusahaan yang bersangkutan;

b. impor produk yang dipakai dalam atau terkait produksi lokal dengan membatasi aksesnya terhadap devisa luar negeri sampai jumlah yang terkait dengan dengan devisa yang dimasukkan oleh perusahaan yang bersangkutan; c. ekspor atau penjualan untuk ekspor apakah dirinci menurut produk-produk

khusus, menurut volume atau nilai produk-produk atau menurut perbandingan volume atau nilai dari produksi lokal perusahaan yang bersangkutan”.

Agreement on TRIMs tidak melarang semua bentuk performance requirement

yang dipersyaratkkan dalam penanaman modal, tetapi hanya bentuk-bentuk persyaratan tertentu saja yang dapat menghambat perdagangan barang internasional.

Performance requirement lain seperti persyaratan tenaga kerja, bidang usaha, komposisi kepemilikan saham asing, alih teknologi, insentif investasi, divestasi, dan nasionalisasi belum tersentuh oleh agreement tersebut.147

2. General Agreement on Trade in Services (GATS)

GATS terkait dengan peraturan penanaman modal, karena salah satu modus perdagangan jasa dilakukan dengan cara kehadiran komersial (commercial presence) pemasok jasa ke negara host country. GATS tidak secara tegas menyebutkan bentuk-bentuk kebijakan penanaman modal yang bertentangan dengan prinsip perlakuan

147Ibid


(25)

nasional. Article II GATS menetapkan bahwa setiap negara anggota harus dengan segera dan tanpa syarat memberikan perlakuan yang tidak berbeda (no less favourable) kepada jasa-jasa dari negara lain dibandingkan dengan perlakuan yang diberikan kepada pemasok jasa dari negara lainnya.148

Komitmen liberalisasi penanaman modal sektor jasa dalam sistem GATT bersifat progresif. Pengakuan terhadap kewajiban perlakuan nasional tidak menyebabkan negara-negara wajib memberikan perlakuan terhadap pemasok jasa asing identik dengan perlakuan yang mereka berikan kepada pemasok jasa domestik. Karena perlakuan sama ini tidak berlaku secara luas, akan tetapi pada sektor-sektor usaha beserta syarat-syarat yang dalam daftar komitmen positive list. Penerapan kewajiban perlakuan sama terhadap pemasok jasa dari semua negara berdasarkan

most favoured nation dan national treatment, masih dimungkinkan untuk menyimpang berdasarkan Article II, Excemption GATS, dengan ketentuan harus dimuat dalam Specific of Commitment (SoC) dan berlaku dalam jangka waktu paling lama 10 Tahun dan direview setiap 5 tahun.149

Dengan demikian, komitmen yang diterapkan secara awal ditentukan secara bertahap masing-masing negara dalam positive list dan negara tersebut menentukan sejauh mana keterbukaan yang akan diberikan yang dilakukan melalui proses negoisasi. Apabila suatu negara telah membuka suatu sektor, maka prinsip MFN harus diberlakukan. Dengan pendekatan ini sebenarnya dalam keadaan-keadaan

148

Ibid., hal. 122.

149Ibid


(26)

tertentu masih dapat dilakukan perbedaan antara pelaku penanaman modal asing dengan lokal/nasional.150

3. Domestic Regulations

Domestic Regulations adalah peraturan perundang-undangan nasional yang berisikan antara lain ketentuan-ketentuan umum GATS, untuk mengatur ketentuan-ketentuan administratif maupun prosedural terkait sektor-sektor jasa yang telah dinyatakan dalam Specific of Commitment. Domestic Regulations juga dapat memuat ketentuan-ketentuan tentang Qualifications Requirements and Procedures, Technical Standard dan Licensing Procedure and Requirement.151

Negara-negara anggota World Trade Organization (WTO) menyadari bahwa

Domestic Regulations tersebut dapat saja muncul atau dipergunakan sebagai hambatan-hambatan dalam perdagangan jasa. Oleh karena itu, dalam Article VI: 4 GATS menetapkan bahwa untuk menjamin agar tindakan yang terkait dengan persyaratan dan prosedur, standar lisensi dan persyaratan perijinan bukan digunakan sebagai hambatan perdagangan. Dewan Perdagangan Jasa harus, melalui lembaga-lembaga tertentu yang mungkin dibentuk, menetapkan ketentuan-ketentuan (disiplin)

150Ibid

.

151Bismar Nasution, “Penerapan Good Governance Dalam Menyambut Domestic

Regulations WTO”, Disampaikan pada Acara Diskusi Mengenai Domestic Regulations-WTO, yang diadakan oleh Bank Indonesia, tanggal 21 Juni 2007, Jakarta, hal. 1-2.


(27)

yang diperlukan. Ketentuan-ketentuan tersebut ditujukan untk memastikan bahwa peryaratan-persyaratan yang ditentukan oleh suatu negara-negara peserta:152

a. Didasarkan pada kriteria yang objektif dan transparan, misalnya kesanggupan dan kemampuan untuk menyediakan jasa;

b. Tidak lebih berat daripada yang semestinya untuk menjamin kualitas jasa-jasa; c. Dalam hal prosedur perijinan, bukan merupakan hambatan dalam supply

jasa-jasa.

C. Hubungan Ketentuan Daftar Negatif Investasi dengan Kesepakatan Perdagangan Internasional

Suatu perjanjian perdagangan internasional mengikat berdasarkan kesepakatan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu, sebagaimana halnya perjanjian internasional pada umumnya, perjanjian perdagangan internasional pun hanya akan mengikat suatu negara apabila negara tersebut sepakat untuk menandatangani dan meratifikasinya.153

Masuknya Indonesia sebagai anggota WTO berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1994 membawa konsekwensi hukum berupa kewajiban untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan kesepakatan-kesepakatan WTO

152

Ibid., hal. 2.

153


(28)

yang telah diratifikasi dan menjamin bahwa peraturan perundang-undangan nasional yang telah disesuaikan tersebut dapat dilaksanakan.154

Meskipun WTO tidak mengatur secara komprehensif kesepakatan bidang penanaman modal, akan tetapi terdapat setidaknya dua kesepakatan yang terkait langsung dengan peraturan penanaman modal, yakni Agreement on Trade Related Measures dan Agreement on Trade in Services yang kemudian menghasilkan kesepakatan Domestic Regulations.155

Terkait kedua agreement tersebut, maka yang perlu diperhatikan adalah ketentuan mengenai syarat-syarat penanaman modal yang diterapkan oleh Pemerintah Indonesia dalam berbagai peraturan penanaman modal. Jangan sampai syarat-syarat penanaman modal tersebut bertentangan dengan Agreement on TRIMs, GATS serta

Domestic Regulations.156

Indonesia pada saat ini telah memiliki sebuah undang-undang penanaman modal yang baru dengan diundangkannya UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) pada tanggal 29 Maret 2007. UU ini disusun dengan memperhatikan perubahan perekonomian global dan keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional, sehingga perlu didorong terciptanya iklim penanaman modal yang kondusif, promotif, memberikan kepastian hukum, keadilan dan efisien dengan tetap mengacu pada kepentingan ekonomi nasional. Setidaknya ada tiga hal penting yang diperintahkan dalam konsideran UU ini, yakni: (1). tujuan

154Asmin Nasution, op. cit., hal. 14-15. 155

Ibid., hal. 15.

156Ibid


(29)

yang ingin dicapai dalam penataan penanaman modal adalah kepentingan ekonomi nasional, (2). terciptanya iklim penanaman modal yang kondusif dan berkepastian hukum, (3). harmonisasi peraturan penanaman modal dengan perubahan perekonomian global dan kewajiban internasional Indonesia dalam berbagai kerjasama internasional dengan tetap mengacu kepada kedaulatan politik dan ekonomi nasional.157

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dibangun atas pendekatan yang sama dengan undang-undang penanaman modal di negara sedang berkembang pada umumnya. Undang-Undang ini memberi kesempatan yang lebih luas kepada investor asing (sebagian besar orang menyebutnya “sangat liberal”) dan menjamin adanya perlakuan sama antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Artinya, undang-undang ini tetap membuka ruang yang luas bagi pemerintah untuk menetapkan persyaratan-persyaratan tertentu kepada penanaman modal asing untuk menjaga kepentingan nasional. Landasan filosofis dari UU ini juga menegaskan bahwa pelaksanaan penanaman modal tetap menjunjung tinggi kedaulatan politik Negara Kesatuan Republik Indonesia .158

Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal perlakuan sama bagi penanam modal asing (PMA) dan penanam modal dalam negeri (PMDN) dijadikan sebagai kebijakan dasar penanaman modal di Indonesia. Hal

157Hendrik Budi Untung, op. cit., hal. 112. 158

Mahmul Siregar, “UUPM dan Penyelesaian Sengketa PerdaganganInternasional dalam Kegiatan Penanaman Modal”, Jurnal Hukum Bisnis. Volume 26/No. 4/Tahun 2007.


(30)

tersebut dapat kita lihat dalam Pasal 4 ayat (2), dimana dikatakan: “Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah memberi perlakuan sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.”159

Namun apabila dicermati secara menyeluruh sebenarnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tidaklah memberikan perlakuan yang benar-benar sama antara PMA dan PMDN. Hal tersebut dapat kita lihat dalam penerapan syarat penanaman modal dalam hal bidang usaha.

Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, disebutkan:160

1. Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

2. Bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal asing adalah: a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan

b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

3. Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan

159

Undang-Undang Penanaman Modal, op. cit., Psl. 4 ayat (2).

160Ibid


(31)

berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.

4. Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden.

5. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah.

Sebagai tindak lanjut terhadap Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (Perpres Nomor 36 Tahun 2010) yang selanjutnya disebut dengan Daftar Negatif Investasi (DNI).

Berkaitan dengan pengaturan DNI, pemerintah juga telah mengeluarkan pengaturan mengenai kriteria dan persyaratan bidang usaha yaitu Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha


(32)

yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal (Perpres Nomor 76 Tahun 2007).

Adapun hubungan ketentuan Daftar Negatif Investasi (DNI) yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dengan kesepakatan perdagangan internasional, yakni terletak pada kewajiban Indonesia untuk menyesuaikan setiap peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam WTO. Dimana dengan adanya kewajiban tersebut maka persyaratan-persyaratan yang ada dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) harus lah sesuai dan tidak boleh bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan yang ada dalam WTO.

Apabila dilihat kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional yang ada dalam WTO tidak ada satu ketentuan pun yang melarang pemerintah negara penerima modal (host country) untuk menerapkan pembatasan bidang usaha dalam kebijakan penanaman modalnya. Yang perlu mendapat perhatian adalah persyaratan-persyaratan dalam bidang usaha yang dibuka untuk penanaman modal tidak boleh melanggar komitmen liberalisasi yang disetujui oleh pemerintah negara penerima modal (host country) dalam rangka persetujuan WTO.

Dan bila dilihat persyaratan yang ada dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) yang dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 dan dalam Peraturan Presiden yang sebelumnya yakni Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 111 Tahun 2007 dapat dikatakan bahwa persyaratan- persyaratan ada


(33)

di dalamnya secara umum masih harmonis dengan ketentuan-ketentuan perdagangan internasional yang ada, baik itu TRIMs, GATS, dan Domestic Regulations.

Agreement on TRIMs melarang performance requirement yang tidak konsisten dengan Article III dan XI GATT. Tetapi tidak melarang persyaratan penanaman modal lainnya seperti kewajiban joint venture, pembatasan pemilikan saham asing, kemitraan dengan UKMK, alih teknologi dan persyaratan-persyaratan berkenaan dengan upaya melindungi lingkungan hidup. Persyaratan-persyaratan yang demikian termasuk pada non-cross border issues yang pelaksanaannya tergantung pada kebutuhan pembangunan ekonomi negara host country.161

Sedangkan menurut GATS pemberlakuan persyaratan yang dilakukan oleh

host country pada fase entryappropal (perusahaan belum berdiri) tidak bertentangan dengan GATS, oleh karena itu kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan tidaklah bertentangan, karena pemberlakuan persyaratan yang ada dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) dilakukan pada saat perusahaan belum berdiri.

Dan dalam hubungannya dengan Domestic Regulations, Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan tidak bertentangan. Karena Daftar Negatif Investasi tidak bertentangan dengan apa yang diatur dalam Article VI: 4 GATS.

161


(34)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dapat dikatakan merupakan suatu kemajuan besar dalam kegiatan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment) di Indonesia. Berbagai pengaturan penting yang terkait erat dengan upaya peningkatan investasi asing dari sisi pemerintah dan kepastian berinvestasi dari sisi penanam modal/ investor, seperti; bentuk badan usaha dalam melaksanakan penanaman modal, asas dan tujuan penanaman modal, bidang usaha yang boleh dimasukin bagi kegiatan penanaman modal asing, perizinan, pemberian fasilitas, hak dan kewajiban penanam modal, serta cara penyelesaian sengketa telah diatur di dalamnya. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 juga memuat kebijakan dasar yang menjamin pemberian perlakuan yang sama bagi penanam modal asing (PMA) dan penanam modal dalam negeri (PMDN).

2. Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) tidak dapat diberlakukan terhadap penanaman modal asing yang dilakukan melalui Pasar Modal, karena Daftar


(35)

Negatif Investasi (DNI) merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan hanya berlaku terhadap kegiatan penanaman modal asing yang dilakukan secara langsung (foreign direct investment). Hal tersebut telah dipertegas pula dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan Di Bidang Penanaman Modal.

3. Kebijakan Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan tidak bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional, seperti TRIMs,

GATS, dan Domestic Regulations. Karena tidak ada satu pun ketentuan yang ada dalam World Trade Organization (WTO) yang melarang pemerintah host country

untuk menerapkan pembatasan bidang usaha dalam kebijakan penanaman modalnya. Selain itu, persyaratan-persyaratan yang termuat dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) juga tidak bertentangan dengan Article III dan XI GATT dan

Agreement on TRIMs sama sekali tidak melarang persyaratan penanaman modal seperti kewajiban joint venture, pembatasan pemilikan saham asing, kemitraan dengan UKMK, alih teknologi serta persyaratan-persyaratan lainnya yang berkenaan dengan upaya melindungi lingkungan hidup seperti persyaratan yang ada di dalam Daftar Negatif Investasi (DNI). Persyaratan-persyaratan yang termuat dalam Daftar Negatif Investasi (DNI) termasuk kategori pada fase entry appropal (perusahaan belum berdiri) dan penerapan persyaratan yang demikian sama sekali tidak bertentangan dengan GATS. Dan dalam hubungannya dengan


(36)

Domestic Regulations, Daftar Negatif Investasi (DNI) dapat dikatakan telah sesuai dengan apa yang diatur Article VI: 4 GATS.

B. Saran

Dalam hubungan dengan pembahasan skripsi tentang Tinjauan Yuridis Mengenai Kebijakan Daftar Negatif Investasi Dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia, dengan ini disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Di dalam penciptaan iklim penanaman modal yang berdaya saing hendaknya pemerintah Indonesia juga tetap memperhatikan kepentingan nasional melalui kebijakan-kebijakan penanaman modal yang diterbitkannya;

2. Selain itu pemerintah juga hendaknya harus secara cermat dan jelas menjelaskan makna dari aturan hukum yang ada agar tidak terjadi perbedaan penafsiran, sehingga dengan demikian kepastian hukum dapat terlaksana sesuai dengan apa yang diharapkan.


(37)

BAB II

POKOK-POKOK PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING SECARA LANGSUNG (FOREIGN DIRECT INVESTMENT) DI INDONESIA A. Pengertian, Bentuk-bentuk dan Manfaat Penanaman Modal Asing Secara

Langsung (Foreign Direct Investment) di Indonesia

1. Pengertian penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment)

Dikalangan masyarakat, kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (portfolio investment), sedangkan kata penanaman modal lebih mempunyai konotasi kepada investasi langsung. Penanaman modal baik langsung atau tidak langsung memiliki unsur-unsur, adanya motif untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan nilai modalnya.23

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal sebenarnya sudah membedakan secara tegas antara investasi langsung (direct investment) dan investasi tidak langsung (portfolio investment). Hal ini dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 2 undang-undang tersebut, dimana dikatakan: “yang dimaksud dengan penanaman modal di semua sektor di wilayah negara Republik Indonesia adalah penanaman modal langsung dan tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio.

23

Ida Bagus Rahmdi Supancana, Kerangka Hukum dan Kebijakan Investasi Langsung di Indonesia,(Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2006), hal. 1.


(38)

Investasi secara langsung selalu dikaitkan adanya keterlibatan secara langsung dari pemilik modal dalam kegiatan pengelolaan modal.24 Dalam penanaman modal secara langsung, pihak investor langsung terlibat dalam kegiatan pengelolaan usaha dan bertanggung jawab secara langsung apabila terjadi suatu kerugian.25

Penanaman modal asing secara langsung menurut Organization For Economic Cooperation (OEEC) memberikan rumusan bahwa direct investment is meant acquisition of sufficient interest in an under taking to ensure its control bythe investor (suatu bentuk penanaman modal asing dimana penanam modal diberi keleluasaan penguasaan dan penyelenggaraan pimpinan dalam perusahaan dimana modalnya ditanam, dalam arti bahwa penanam modal mempunyai penguasaan atas modalnya).26

Penanaman modal asing secara langsung juga memberikan pengertian bahwa bagi pemodal asing yang ingin menanamkan modalnya secara langsung, maka secara fisik pemodal asing hadir dalam menjalankan usahanya. Dengan hadirnya atau tepatnya dengan didirikannya badan usaha yang berstatus sebagai penanaman modal asing , maka badan usaha tersebut harus tunduk pada ketentuan hukum di Indonesia.

24Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal: Tinjauan terhadap Pemberlakuan UU

No.25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, (Jakarta: PT. Raharja Grafindo Persada, 2007), hal. 12.

25

N. Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modaldi Indonesia DalamMenghadapi Era Global, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hal. 11.

26

Hulaman Panjaitan dan Anner Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing, (Jakarta: CV. Indhill Co, 2008), hal. 41.


(39)

Pengertian yang agak luas dari foriegn direct investment terdapat pada

Encyclopedia of Public International Law yang merumuskan foreign direct investment sebagai berikut:

A transfer of funds or materials from one country (called capital exporting country) to another country (called host country) in return for a direct participation in the earnings of that enterprise.”27

Menurut Munir Fuady, penanaman modal asing secara langsung dilihat dalam arti sempit. Yang dimaksudkan adalah model penanaman asing yang dilakukan dengan mana pihak asing atau perusahaan asing membeli langsung (tanpa lewat pasar modal) saham perusahaan nasional atau mendirikan perusahaan baru, baik lewat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atau lewat departemen lain.28

2. Bentuk-bentuk penanaman modal asing secara langsung

Dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan secara jelas tentang bentuk hukum perusahaan penanaman modal asing. Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas. Secara lengkap, bunyi Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman modal:

27Sentosa Sembiring, op. cit., hal. 3. 28

Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis: Menata Bisnis Modern di Era Global, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), hal. 67.


(40)

“penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.”29

Unsur yang melekat dalam ketentuan ini meliputi:30

1. bentuk hukum dari perusahaan penanaman modal asing adalah perseroan terbatas (PT);

2. didasarkan pada hukum Indonesia;

3. berkedudukan di wilayah Negara Republik Indonesia.

Penanaman modal asing di Indonesia dapat dilakukan oleh pihak asing/perorangan atau badan hukum ke dalam suatu perusahaan yang seratus persen diusahakan oleh pihak asing atau dengan menggabungkan modal asing itu dengan modal nasional.

Menurut Ismail Suny ada 3 (tiga) macam kerjasama antara modal asing dengan modal nasional berdasarkan undang-undang penanaman modal asing No. 1 Tahun 1967 yaitu joint venture, joint enterprise dan kontrak karya.31 Dalam hal joint venture para pihak tidak membentuk badan hukum yang baru, akan tetapi kerjasama semata-mata bersifat kontraktuil, sedangkan dalam joint enterprise terjadi penggabungan modal asing dengan modal nasional ke dalam satu badan hukum Indonesia dan dalam kontrak kerja pihak asing membentuk suatu badan hukum

29

Salim H. S. dan Budi Sutrisno, Hukum Investasi di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hal. 174.

30Ibid. 31

Ismail Suny dan Rochmat Rudiro, Tinjauan dan Pembahasan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Kredit Luar Negeri, (Jakarta: Pradjna Paramita, 1998), hal. 108.


(41)

Indonesia dan badan hukum Indonesia ini bekerjasama dengan badan hukum (nasional) Indonesia yang lain.

i. Joint Venture

Joint venture merupakan kerjasama antara pemilik modal asing dengan pemilik modal nasional semata-mata berdasarkan suatu perjanjian belaka (contractual). Misalnya bentuk kerjasama antara Van Sickle Associates Inc.,(suatu badan hukum yang berkedudukan di Delaware, AmerikaSerikat) dengan PT

Kalimantan Plywood Factory (suatu badan hukum Indonesia) untuk bersama-sama mengolah kayu di Kalimantan Selatan. Kerjasama ini juga biasa disebut dengan “Contract of Cooperation” yang tidak membentuk suatu badan hukum Indonesia seperti yang dipersyaratkan dalam Pasal 3 UU PMA.32

Dalam masalah joint venture ada kendala dalam memperoleh know-how yang disebabkan karena pengusaha Indonesia sendiri terlalu status oriented yang tidak terlalu mengerjakan atau memikirkan apa-apa kecuali membubuhi tanda tangannya daripada menjadi managing director dan yang kedua adalah pihak asing tidak rela melepaskan segala rahasia perusahaannya, juga tidak pada partnernya sehingga

managing director nya selalu ada ditangan pihak asing.33

32

Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 61.

33

Sunarjati Hartono, Masalah-Masalah Dalam Joint Venture antara Modal Asing dan Modal Indonesia, (Bandung: Alumni, 1974), hal. 14-15.


(42)

Berbagai macam corak atau variasi dari joint venture yang ditemukan dalam praktik aplikasi penanaman modal asing dikemukakan sebagai berikut:34

a. Technical Assistance (service) Contract : suatu bentuk kerjasama yang dilakukan antara pihak modal asing dengan modal nasional sepanjang yang bersangkut paut dengan skill atau cara kerja (method) misalnya; suatu perusahaan modal nasional yang ingin memajukan atau meningkatkan produksinya. Membutuhkan suatu peralatan baru disertai cara kerja atau metode kerja. Dalam hal demikian, maka dibutuhkan (diperlukan) technical assistance dari perusahaan modal asing di luar negeri dengan cara pembayaran sejumlah uang tertentu yang dapat diambilkan dari penjualan produksi perusahaan yang bersangkutan.

b. Franchise and brand-use Agreement : suatu bentuk usaha kerjasama yang digunakan, apabila suatu perusahaan nasional atau dalam negeri hendak memproduksi suatu barang yang telah mempunyai merek terkenal seperti: Coca-Cola, Pepsi-Coca-Cola, Van Houten, Mc’ Donalds, Kentucky Fried Chicken, dan sebagainya.

c. Management Contract: suatu bentuk usaha kerjasama antara pihak modal asing dengan modal nasional menyangkut pengelolaan suatu perusahaan khusunya dalam hal pengelolaan manajemen oleh pihak modal asing terhadap suatu perusahaan nasional. Misalnya yang lazim dipergunakan dalam pembuatan maupun pengelolaan hotel yang bertaraf internasional oleh pihak Indonesia

34


(43)

diserahkan kepada swasta luar negeri seperti; Hilton International Hotel, Mandarin International Hotel, dan sebagainya.

d. Build, Operation, and Transfer (B.O.T) : suatu bentuk kerjasama yang relatif baru dikenal yang pada pokoknya merupakan suatu kerjasama antara para pihak, dimana suatu objek dibangun, dikelola, atau dioperasikan selama jangka waktu tertentu diserahkan kepada pemilik asli.

ii. Joint Enterprise

Joint enterprise merupakan suatu kerjasama antara penanaman modal asing dengan penanaman modal dalam negeri dengan membentuk suatu perusahaan atau badan hukum baru sesuai dengan yang diisyaratkan dalam Pasal 3 UU PMA. Joint Enterprise merupakan suatu perusahaan terbatas, yang modalnya terdiri dari modal dalam nilai rupiah maupun dengan modal yang dinyatakan dalam valuta asing.35

iii. Kontrak Karya

Pengertian kontrak karya (contract of work) sebagai suatu bentuk usaha kerjasama antara penanaman modal asing dengan modal nasional terjadi apabila penanam modal asing membentuk badan hukum Indonesia dan badan hukum ini mengadakan perjanjian kerja sama dengan suatu badan hukum yang mempergunakan modal nasional. Bentuk kerjasama kontrak karya ini hanya terdapat dalam perjanjian kerja sama antara badan hukum milik negara (BUMN) seperti; Kontrak karya antara

35Ibid


(44)

PN. Pertamina dengan PT. Caltex International Petroleum yang berkedudukan di Amerika Serikat.36

Disamping ketiga bentuk kerjasama di atas masih terdapat bentuk kerjasama yang lain seperti production sharing, management contract, penanaman modal asing dengan disc-rupiah dan kredit untuk proyek (barang modal).37

3. Manfaat penanaman modal asing secara langsung

Keberadaan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment) tidak dapat dipungkiri telah memberi banyak manfaat bagi negara penerima modal (host country), begitu pula bagi investor maupun bagi negara asal (home country).

Bagi negara penerima modal (host country) keberadaaan investasi yang ditanamkan oleh investor, khususnya penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment), ternyata telah memberikan dampak positif atau manfaat di dalam pembangunan.

Terlepas dari pendapat pro dan kontra terhadap kehadiran investasi asing, namun secara teoritis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu negara mempunyai manfaat yang cukup luas (multiplier effect). Manfaat yang dimaksud, yakni kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima modal, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan

36

Ibid., hal. 63-64.

37


(45)

baku, menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah penghasilan negara dari sektor pajak, adanya alih teknologi (transfer of technology) maupun alih pengetahuan (transfer of know how). Dilihat dari sudut pandang ini terlihat bahwa, kehadiran investor cukup berperan dalam pembangunan ekonomi suatu negara, khususnya pembangunan ekonomi di daerah dimana FDI menjalankan aktifitasnya.38

Arti pentingya kehadiran investor asing dikemukakan Gunarto Suhardi:39 “investasi langsung lebih baik jika dibandingkan dengan investasi portofolio, karena langsung lebih permanen. Selain itu investasi langsung:

a. memberikan kesempatan kerja bagi penduduk;

b. mempunyai kekuatan penggandaan dalam ekonomi lokal;

c. memberikan residu baik berupa peralatan maupun alih teknologi;

d. apabila produksi diekspor memberikan jalan atau jalur pemasaran yang dapat dirunut oleh pengusaha lokal disamping seketika memberikan tambahan devisa dan pajak bagi negara;

e. lebih tahan terhadap fluktuasi bunga dan valuta asing;

f. memberikan perlindungan politik dan keamanan wilayah karena bila investor berasal dari negara kuat niscaya bantuan keamanan juga akan diberikan.”

38

Hendrik Budi Untung, op. cit., hal. 41-42.

39Ibid


(46)

John W. Head mengemukakan tujuh keuntungan investasi, khususnya investasi asing. Ketujuh investasi asing itu adalah:40

1. menciptakan lowongan kerja bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat meningkatkan penghasilan dan standar hidup mereka;

2. menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka dapat berbagi dari pendapatan perusahaan-perusahaan baru; 3. meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendapatkan penghasilan

tambahan dari luar yang dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan bagi kepentingan penduduknya;

4. menghasilkan pengalihan teknis dan pengetahuan yang dapat digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan industri lain;

5. memperluas potensi keswasembadaan negara tuan rumah dengan memproduksi barang setempat untuk menggantikan barang impor;

6. menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan, demi kepentingan penduduk negara tuan rumah;

7. membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia, agar lebih baik pemanfaatanya dari semula.

Bagi investor/penanam modal atau yang dalam hal ini Perusahaan Multinasional, manfaat dari kegiatan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment) yang mereka lakukan pada dasarnya sama dengan alasan mereka untuk melakukan investasi secara langsung tersebut.

40


(47)

Adapun alasan-alasan suatu Perusahaan Multinasional melakukan investasi secara langsung ke luar negeri, antara lain:41

1. alasan kedekatan dengan sumber bahan baku;

2. untuk menghindari Daftar Negatif Investasi (DNI) di negara asal; 3. karena alasan upah buruh yang murah;

4. mencari pasar yang baru; 5. untuk mendapatkan royalti;

6. untuk mendapatkan insentif investasi di negara tujuan; 7. untuk menghindari penurunan nilai mata uang;

8. karena alasan status tertentu suatu negara dalam Perdagangan Internasional. Sementara bagi negara asal (home country) manfaat dari kegiatan penanaman modal secara langsung (foriegn direct investment) pada dasarnya sama juga dengan motif mereka untuk melakukan investasi secara langsung.

Adapun motivasi dari negara maju untuk berinvestasi dapat dikemukakan secara analogi dari hasil penelitian Edward K.Y. Chen sebagai berikut:42

1. Lower cost and rent; 2. Lower labour cost; 3. Diversification of risk;

4. To make fuller use of the technical and production know-how developed or adopted by investee;

41

Mahmul Siregar, Hukum Investasi (Bahan Kuliah), Medan, 27 Januari 2009.

42


(48)

5. To avoid or reduce the pressure of competition from other corporation in investee countries;

6. To make use outdated machinery used in the investee corporation 7. Higher rates of profits;

8. Avalability of higher levels of technology; 9. Lower capability;

10. Defending the existing market by directly investing there; 11.To build up a vertically integrated structure;

12.To circumvent tariffs and quotas imposed by develop countries;

13.Establishing a subsidiary overseas is similar to investing in financial market overseas;

14.Availability of technical and skilled labour force; 15.Availibility of management manpowert;

16.To open up new markets by directly investing there; 17.Availability of raw materials and or intermediate products.

B. Asas dan Tujuan Penanaman Modal

Sejalan dengan tujuan, pembaharuan dan pembentukan Undang-Undang Penanaman Modal, di dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007


(49)

tentang Penanaman Modal telah ditentukan bahwa penanaman modal diselenggarakan berdasarkan asas-asas sebagai berikut:43

1. Kepastian hukum, yaitu asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam kegiatan penanaman modal.

2. Keterbukaan, yaitu asas yang terbuka atas hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

3. Akuntabilitas, yaitu asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir penyelenggaraan penanaman modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

4. Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara, yaitu asas perlakuan pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari negara asing lainnya.

5. Kebersamaan, yaitu asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 6. Efisiensi berkeadilan, yaitu asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal

dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing.

43


(50)

7. Berkelanjutan, yaitu asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun untuk masa dating.

8. Berwawasan lingkungan, yaitu asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memperhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

9. Kemandirian, yaitu asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.

10.Keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, yaitu asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah, dalam kesatuan ekonomi nasional.

Selain memuat asas-asas dalam penyelenggaraan penanaman modal, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal juga memuat mengenai tujuan dari penyelenggaraan penanaman modal.

Tujuan penyelenggaran penanaman modal, antara lain untuk:44 a. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;

b. Menciptakan lapangan kerja;

c. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;

d. Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;

44Undang-Undang Penanaman Modal


(51)

e. Meningkatkan kapasitas dan kemapuan teknologi nasional; f. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;

g. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan

h. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal tersebut hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain dengan perbaikan koordinasi antara instansi pemerintah pusat dan daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha.

C. Bidang Usaha

Dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan tiga golongan bidang usaha. Ketiga golongan bidang usaha itu, meliputi:45

1. bidang usaha terbuka; 2. bidang usaha tetutup;dan

3. bidang usaha terbuka dengan persyaratan.

45


(52)

Bidang usaha yang terbuka merupakan bidang usaha yang diperkenankan untuk ditanamkan investasi, baik oleh investor asing maupun investor domestik.46 Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal.47

Di dalam Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah ditentukan daftar bidang usaha yang tertutup bagi penanaman modal, baik untuk investasi domestik maupun investasi asing, yang meliputi:48

1) Produksi senjata; 2) Mesiu;

3) Alat peledak; 4) Peralatan perang;

5) Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang.

Penjabaran lebih lanjut dari perintah Pasal 12 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal telah dituangkan dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam Lampiran I

46Ibid

.

47

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

48


(53)

Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 telah diatur rinci tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup.

Ada dua puluh daftar bidang usaha yang tertutup, baik untuk investasi domestik maupun investasi asing. Kedua puluh daftar bidang usaha yang tertutup untuk investasi yaitu:49

1) Budidaya Ganja

2) Penangkapan spesies ikan yang tercantum dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)

3) Pemanfaatan (pengambilan) koral/karang dari alam untuk bahan bangunan/kapur/kalsium dan souvenir/perhiasan, serta koral hidup atau koral mati (recent death coral) dari alam.

4) Industri minuman mengandung alkohol (minuman keras, anggur, dan minuman mengandung malt)

5) Industri pembuat chlor alkali dengan proses merkuri

6) Industri bahan kimia yang dapat merusak lingkungan seperti: a. halon dan lainnya

b. penta chlorophenol, dichloro diphenyl trichloro elhane (DDT), dieldrin, chlordane, carbon tetra, chloride, methyl chloroform, methyl bromide, chloro fluoro carbon (CFC)

49

Lampiran I Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010, tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.


(54)

7) Industri bahan kimia schedule I konvensi senjata kimia (sarin, soman, tabun mustard, levisite, ricine, saxitoxin, VX, dll.)

8) Penyediaan dan penyelenggaraan terminal darat 9) Penyelenggaraan dan pengoperasian jembatan timbang 10)Penyelenggaraan pengujian tipe kendaraan bermotor 11)Penyelenggaraan pengujian berkala kendaraan bermotor 12)Telekomunikasi/sarana bantu navigasi pelayaran

13)Vassel Traffic Information System (VTIS)

14)Jasa pemanduan lalu lintas udara

15)Manejemen dan Penyelenggaraan Stasiun Monitoring Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit

16)Museum pemerintah

17)Peninggalan sejarah dan purbakala (candi, keratin, prasasti, bangunan kuno, dsb) 18)Pemukiman/lingkungan adat

19)Monumen

20)Perjudian/Kasino.

Daftar bidang usaha yang tertutup dalam Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 ini jauh lebih sedikit bila dibandingkan dengan daftar bidang usaha yang dinyatakan tertutup dalam Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007, dimana pada Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2007 terdapat 23 bidang usaha yang


(55)

dinyatakan terutup. Hal ini dikarenakan terdapat tiga bidang usaha yang dikeluarkan dari daftar bidang usaha yang tertutup, yakni:

1. Objek ziarah, seperti: tempat peribadatan, petilasan, dan makam; 2. Lembaga penyiaran publik radio dan televisi;

3. Industri siklamat dan sakarin.

Bidang usaha yang tertutup dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan non komersial seperti, penelitian dan pengembangan dan mendapat persetujuan dari sektor yang bertanggung jawab atas pembinaan bidang usaha tersebut.50

Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu,dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus.51 Daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan ini telah ditentukan dalam Lampiran II Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

50

Salim H.S. dan Budi Sutrisno, op. cit., hal. 56.

51Pasal 2 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha

yang Tertutup dan Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.


(56)

D. Perizinan

Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.52

Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki kewenangan, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang.53 Izin sebagaimana dimaksud diperoleh melalui pelayanan terpadu satu pintu.54

Pelayanan Terpadu Satu Pintu, yang selanjutnya disingkat PTSP adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan nonperizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.55

52Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

53

Undang-Undang Penanaman Modal, op. cit., Pasal 25 ayat (4).

54Ibid., Pasal 25 ayat (5).

55Pasal 1 angka 4 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.


(57)

PTSP di bidang penanaman modal bertujuan untuk membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal, dengan cara mempercepat, menyederhanakan pelayanan, dan meringankan atau menghilangkan biaya pengurusan perizinan dan nonperizinan.56

Ruang lingkup PTSP di bidang penanaman modal mencakup pelayanan untuk semua jenis perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal yang diperlukan untuk melakukan kegiatan penanaman modal.57

PTSP di bidang penanaman modal diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.58

Penyelenggaraan PTSP di bidang penanaman modal oleh pemerintah dilaksanakan oleh BKPM.59

Dalam menyelenggarakan PTSP di bidang penanaman modal sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal:60

a. Kepala BKPM mendapat Pendelegasian atau Pelimpahan Wewenang dari Menteri Teknis/Kepala LPND yang memiliki kewenangan Perizinan dan

56Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

57Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

58Pasal 6 Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

59Pasal 7 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.

60Pasal 7 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.


(58)

Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal; dan

b. Menteri Teknis/Kepala LPND, Gubernur atau Bupati/Walikota yang mengeluarkan Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal dapat menunjuk Penghubung dengan BKPM.

Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal terdiri atas:61

a. Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi; b. Urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang meliputi:

1. Penanaman modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat resiko kerusakan lingkungan yang tinggi; 2. Penanaman modal pada bidang industri yang merupakan prioritas

tinggi pada skala nasional;

3. Penanaman modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi;

4. Penanaman modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional;

61Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal.


(59)

5. Penanaman modal asing dan penanam modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan 6. Bidang penanaman modal lain yang menjadi urusan pemerintah

menurut undang-undang.

Kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Kewenangan BKPM telah ditentukan dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal ditentukan bahwa koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Koordinasi kebijakan penanaman modal, meliputi koordinasi:62

1. antar instansi pemerintah;

2. antar instansi pemerintah dengan Bank Indonesia; 3. antar instansi pemerintah dengan pemerintah daerah; dan 4. koordinasi antar pemerintah daerah.

Tugas dan fungsi BKPM ditentukan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Tugas dan fungsi BKPM adalah:63

62Salim H. S. dan Budi Sutrisno, op. cit., hal. 230.

63Ibid


(60)

1. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal;

2. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal;

3. menetapkan norma, standar dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal;

4. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dan memberdayakan badan usaha;

5. menyusun peta penanaman modal Indonesia; 6. mempromosikan penanaman modal;

7. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal;

8. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;

9. mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia;

10.mengoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu; dan

11.melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


(1)

4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II dalam penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktu untuk membimbimg, mengarahkan dan memeriksa skripsi ini agar menjadi lebih baik.

6. Seluruh staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh kerelaan telah membagikan ilmunya kepada penulis sejak pertama kali penulis menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Orangtuaku tercinta, Ayahanda (alm.) Drs. T.U. Simanjuntak dan Ibunda (almh.) R.J br. Siregar, yang dengan penuh kasih sayang dan kesabaran telah membesarkan penulis dari kecil sampai saat ini, yang tanpa doa kalian penulis tidak dapat menyelesaikan semua ini.

8. Kedua abangku, Johannes Ellington Simanjuntak, Harlantik P. Simanjuntak serta kakak perempuanku tersayang, Mellya F. Simanjuntak, yang penuh cinta kasih bersama-sama saling menopang, mengingatkan dan saling mendoakan satu sama lain.

9. Sahabat-sahabat sejati di gank O, Frico Fernandes Purba, Daniel Zagoto, dan Fulgensius Fredo Ando Dido Purba, makasih buat


(2)

wejangan-wejangannya selama ini, saya janji bakal berubah menjadi pribadi yang lebih baek dan tangguh seperti kalian.

10.Adik-adik periku tersayang, Gishela Agustina Hutagalung, Christina Grace Hutauruk, Dea Laura Panjaitan, Christy Cechilya Sinaga dan Fitri Manurung, sangat bersyukur saya bisa mengenal kalian. Walaupun kalian nakal-nakal, kalian tetap menjadi berkat bagi hidup saya, tetaplah saling menopang satu sama lain dan bisa memberi kemuliaan bagi Dia melalui hidup kalian.

Penulis telah berusaha dengan segala kemampuan yang dimiliki dalam penyelesaian penulisan skripsi ini, namun penulis menyadari bahwa pasti ada kekurangan-kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Untuk itu, penulis minta maaf dan mengharapkan saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan pengetahuan ilmu hukum khususnya hukum ketenagakerjaan, baik bagi penulis sendiri maupun bagi orang lain.

Medan, Agustus 2010

Penulis Trisanto Bonifasto S


(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

ABSTRAKSI...vi

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang...1

B.Perumusan Masalah...8

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan...9

D.Keaslian Penulisan...10

E.Tinjauan Kepustakaan...11

F. Metode Penulisan...14

G.Sistematika Penulisan...16

BAB II : POKOK-POKOK PENGATURAN PENANAMAN MODAL ASING SECARA LANGSUNG (FOREIGN DIRECT INVESTMENT) DI INDONESIA A.Pengertian, Bentuk-Bentuk dan Manfaat Penanaman Modal Asing Secara Langsung (Foreign Direct Investment) di Indonesia 1. Pengertian Penanaman Modal Asing Secara Langsung (Foreign Direct Investment)……….18

2. Bentuk-Bentuk Penanaman Modal Asing Secara Langsung...20

3. Manfaat Penanaman Modal Asing Secara Langsung………...25


(4)

C.Bidang Usaha………..31

D.Perizinan………..35

E.Fasilitas………...62

F. Hak dan Kewajiban Penanam Modal………..64

G.Penyelesaian Sengketa……….67

BAB III : KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI (DNI) DI INDONESIA A.Dasar Hukum dan Perkembangan 1. Dasar Hukum Kebijakan Daftar Negatif Investasi.……..………79

2. Perkembangan Daftar Negatif Investasi……...………81

B.Tujuan Daftar Negatif Investasi di Indonesia……….83

C.Bentuk-Bentuk Persyaratan dalam Daftar Negatif Investasai………84

D.Penerapan Daftar Negatif Investasi di Bidang Pasar Modal………..86

BAB IV : HUBUNGAN KETENTUAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DENGAN KESEPAKATAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.Prinsip-Prinsip Pokok Kesepakatan Perdagangan Internasional...91

B.Kesepakatan Perdagangan Internasional Terkait dengan Kegiatan Investasi 1. Agreement on Trade related Investment Measures (Agreement on TRIMs)……….95


(5)

2. General Agreement on Trade in Services (GATS)………...97

3. Domestic Regulations………...99

C. Hubungan Ketentuan Daftar Negatif Investasi dengan Kesepakatan Perdagangan Internasional………...100

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan...107 B. Saran...109

DAFTAR PUSTAKA


(6)

ABSTRAKSI

TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KEBIJAKAN DAFTAR NEGATIF INVESTASI DALAM KEGIATAN PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum * Dr. Mahmul Siregar, SH., M.Hum **

Trisanto Bonifasto S ***

Lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), diharapkan akan dapat meningkatkan jumlah investasi yang ditanamkan oleh para investor khususnya investor asing di Indonesia. Karena selain memberikan kemudahan-kemudahan, serta fasilitas. UUPM ini juga menjamin adanya perlakuan yang sama antara investor asing dan domestik sebagai prinsip dasar dalam penyusunan kebijakan penanaman modal di Indonesia dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Adapun salah satu bentuk usaha pemerintah dalam menjaga kepentingan nasional dapat dilihat dari diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka Dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal atau yang lebih dikenal dengan Daftar Negatif Investasi (DNI).

Dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia dapat dikatakan bahwa Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan acuan pertama kali dan terpenting bagi calon investor, baik investor asing maupun investor domestik sebelum melakukan penanaman modal, karena Daftar Negatif Investasi (DNI) merupakan suatu daftar yang mengatur mengenai bidang-bidang usaha apa saja yang terbuka untuk penanaman modal dan bidang-bidang usaha apa saja yang tertutup bagi penanaman modal.

Karena demikian kompleksnya hubungan antara kebijakan Daftar Negatif Investasi dalam kegiatan penanaman modal di Indonesia, maka penulis memilih materi penulisan dan pembahasan skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis Mengenai Kebijakan Daftar Negatif Investasi Dalam Kegiatan Penanaman Modal di Indonesia”. Adapun permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana pengaturan penanaman modal asing secara langsung di Indonesia dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, apakah kebijakan daftar negatif investasi dapat diberlakukan terhadap penanaman modal asing melalui pasar modal dan apakah kebijakan daftar negatif investasi tidak bertentangan dengan kesepakatan-kesepakatan perdagangan internasional, merupakan pembahasan dalam penulisan skripsi ini.

Untuk melengkapi penulisan skripsi ini, agar tujuan dapat lebih terarah dan dapat dipertanggungjawabkan, maka metode yang digunakan penulis yaitu dengan metode penelitian hukum normatif terhadap berbagai sumber bacaan.

* Dosen Pembimbing I ** Dosen Pembimbing II *** Penulis