Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi Internasional di Kawasan Asia Timur

  Kebangkitan China dalam Kerjasama Ekonomi

Internasional di Kawasan Asia Timur

  1 Dewa Ayu Putu Eva Wishanti Abstract

  East Asian economic characteristics that involve the role of the state as well as

the development of the industry, has been relatively creates confidence in the market so

that the flow of capital, goods, and services began to lead to the region since the late

20th century. The excess of the advance of China as the new political economic power

is also growing wider market in Southeast Asia. The emergence of China as the

dominant country in the world political economy are not purely derived from the ability

of domestic governance, but also factor disclosure strategy in East Asian economies led

by the extractive industry transformation towards manufacturing industry. This

expansion translates into core industry sectors in East Asia.

  This article is intended as a preliminary study on the degree of China's

industrial sector expansion in East Asia, as well as identifying the internal factors in the

expansion of China's influence. By using the approach as well as the extended

behavioralism regionalism as a tool of analysis , this article finds that China is a state

actor who is more emphasis on manufacturing and trade sectors of consumer goods as

a strategy into an economic hegemon in its own region , formerly controlled by Japan.

  Keywords; China, East Asia, economic expansion, industrial economy regionalism

  Pendahuluan Kebangkitan ekonomi China merupakan hal yang menarik untuk dikaji.

  Hal tersebut secara khusus tercermin dari kebutuhan China akan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai penanda kebangkitannya. Pada abad ke-20, China mulai mengalami berbagai revolusi yang membuat stabilitas ekonomi domestiknya bergejolak, sehingga China melalui kepemimpinan sentralistiknya berupaya memodernisasi perekonomiannya dan menghasilkan kebijakan yang pragmatis. Pada masa pasca pemerintahan Mao Zedong, China mulai tumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang terbuka bagi kerja sama internasional. Pada masa pemerintahan Deng Xiaoping setelahnya, keterbukaan ini semakin longgar, utamanya untuk merekonstruksi krisis ekonomi yang disebabkan oleh isolasi

  Penulis adalah Staf Pengajar pada Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya perdagangan pada masa Mao. Keterbukaan ini juga disertai dengan perlahan masuknya unsur demokrasi dalam tata kelola hubungan internasionalnya.

  Pada abad-21, keterbukaan ini semakin menjurus pada tujuan kebijakan ekonomi politik internasional China yang ekspansif dan hegemonik. Hu Jintao mewujudkan tujuan ini dengan mencanangkan The Peaceful Rise of China, yakni kebangkitan China yang damai, pada 22 Desember 2005 dalam dokumen

  

China Peaceful Development Road (yang dikenal dengan istilah heping fazhan

  dalam bahasa Mandarin). Oleh Amerika Serikat (AS), dalam dokumen tersebut China dipersepsikan memiliki lima strategi untuk meraih keunggulan ekonomi dalam kerangka pembangunan (The State Council Information Office, 2006 : 1- 2), yakni a) Pembangunan yang berkedamaian merupakan cara yang tidak terhindarkan dalam menuju modernisasi China; b) mempromosikan perdamaian dan pembangunan dunia seiring dengan pertumbuhan China sendiri; c) reformasi dan inovasi dalam pencarian keuntungan bersama dan pembangunan umum dengan negara-negara lain; d) pengembangan dengan bergantung pada kekuatan sendiri; serta e) membangun dunia yang harmonis dalam perdamaian yang berkesinambungan dan kesejahteraan bersama.

  China juga mulai memasuki era perdagangan multilateral setelah memasuki World Trade Organization (WTO) secara resmi pada tahun 2005. Hal ini merupakan manuver penting bagi China, karena China secara penuh telah menerapkan prinsip-prinsip ekonomi pasar. Namun pada praktiknya, China ditengarai tengah membangun keunggulan untuk menyaingi kekuatan ekonomi AS.

  Lini pertama untuk membangun persaingan itu ialah di kawasan Asia Timur, karena secara geopolitis menguntungkan bagi China, akumulasi modal AS yang cukup besar di kawasan tersebut, dan juga faktor beberapa negara penting yang menjadi aliansi AS. Untuk itu China berusaha mendefinisikan ulang tentang identitas Asia Timur seiring pula dengan kepentingan ekonominya. Hal ini tercermin dari upaya-upaya China untuk menjadi pemimpin dalam kerja sama ekonomi regional di Asia Timur pada abad ke-21 yang akan dijabarkan selanjutnya dalam artikel ini.

  Terdapat tiga karakteristik yang patut diperhatikan di Asia Timur (Yoshimatsu, 2008 : 8-9) menyebutkan, yakni a) politik great power yang mengkonstruksi kerangka kerja dinamika regional di Asia Timur, yang sebelumnya didirikan oleh AS melalui perang Pasifik; b) negara-negara besar Asia Timur memiliki ketahanan yang kuat terhadap kedaulatannya masing- masing dalam ranah sosial budaya, sehingga menghambat terbentuknya identitas regional (Pempel, 2005 : 257 dalam Yoshimatsu, 2008); serta c) superioritas negara dalam mengontrol masyarakat dan komunitas di dalamnya. Hal yang tersirat dari karakteristik tersebut ialah bahwa Asia Timur merupakan suatu kawasan yang memiliki relasi langsung dengan kepentingan AS, dan hubungan tersebut difasilitasi oleh negara. Implikasi dari karakteristik tersebut secara langsung dari segi globalisasi ekonomi ialah pertumbuhan pasar uang dan transaksi keuangan yang secara simultan juga memberi dampak pada restrukturisasi produksi transnasional dalam skala global. Bagi negara, akan sangat menguntungkan apabila dapat memanfaatkan kedekatan geografis dengan negara-negara besar di sekitarnya, karena akan mengurangi biaya perdagangan dan pembangunan. Namun tidak selalu demikian dengan aliansi politik yang relatif sulit dibangun, khususnya karena faktor karakteristik yang telah dibahas sebelumnya. Untuk itu, sangat wajar jika China memiliki beberapa strategi integrasi ekonomi yang memberi warna politik baru dalam pembentukan Asia Timur dari kacamatanya sendiri sebagai suatu cara untuk mempromosikan kebangkitan China ini.

  Urgensi Kepemimpinan China di Asia Timur

  Asia Timur merupakan kawasan yang sangat luas secara geografis dan beragam secara demografis dan ideologis. Definisi mengenai kawasan Asia Timur sangat beragam, baik secara geografis maupun definisi sosial politiknya. Terdapat beberapa pemahaman mengenai kewilayahan Asia Timur dalam artikel ini; yakni hanya China, Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan; hingga perluasan area yang juga melingkupi wilayah Rusia bagian timur, Korea Utara, dan Asia Tenggara dalam ASEAN +3. Artikel ini menggunakan pemahaman yang disebut terakhir, karena kedekatan hubungan geo-ekonomi dengan wilayah sekelilingnya. Terlebih lagi, konsep tersebut akan membuka kerja sama ekonomi yang lebih bervariasi.

  Terdapat beberapa peluang strategi kerja sama ekonomi yang telah terbangun sebelumnya di Asia Timur. Peluang-peluang ini juga mencerminkan opsi-opsi politik yang memiliki konsekuensi bagi sektor ekonomi. Pasca Perang Dingin, kerja sama ekonomi Asia Timur banyak diwarnai dengan kerangka regionalisme. Regionalisme tersebut terbangun dalam konteks bahwa keberadaan negara tertentu berperan sebagai inti dari kerjasama yang masih mengarahkan strategi pembangunan yang berbasis pada negara pemegang posisi terkuat sebagai pengendali (Grimes, 2009 : 107).

  Terdapat beberapa pendapat mengenai konsep Asia Timur, misalnya sejatinya konsep Asia Timur sebagai suatu kawasan merupakan pemikiran yang relatif baru, demikian juga dengan kepemimpinan di kawasan tersebut. Konsep

  

East Asia Economic Caucus (EAEC) yang dicetuskan Mahathir Mohammad

  pada era 1990-an, Perdana Menteri Malaysia ketika itu, gagal dalam realisasi (Terada, 2003 : 255-256) .

  EAEC mengarahkan kerja sama ekonomi Asia Timur yang dimotori oleh Jepang, karena Jepang sebagai negara anggota G7 dan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Karena orientasi politik luar negerinya yang koheren dengan AS, usulan Mahathir menjadi tidak berjalan, walaupun Malaysia sangat membutuhkan tampilnya Jepang karena kesamaan orientasi kebijakan ekonomi kedua negara. Jepang juga enggan untuk kembali memimpin secara politik atau militer di Asia Timur, utamanya karena faktor sejarah Perang Pasifik yang secara politis tidak akan menguntungkan bagi Jepang. Jepang banyak mengarahkan kepentingannya dalam sektor ekonomi dan teknologi inovasi.

  Integrasi Asia Timur harus dimulai dengan menganggap bahwa Asia Timur adalah sebuah pabrik Factory Asia, yang setiap sub-wilayahnya berfungsi baik sehingga menghasilkan produk yang bermutu. Namun Asia Timur menghadapi kerentanan dalam pandangan tersebut, jika meninjau beberapa faktor (Baldwin, 2008 : 449-478) yakni, (a) daya saing tiap negara yang hanya akan meningkat jika perdagangan intra-regional di Asia Timur juga meningkat; (b) masing-masing negara tidak dapat memotong tarif perdagangan secara unilateral karena terikat dengan peraturan WTO; (c) tidak hadirnya sebuah manajemen tingkat atas selain dalam kerangka WTO, yang nantinya dapat mencegah konflik perdagangan menyebar ke seluruh kawasan.

  Gagasan mengenai ASEAN+3 tersusun berdasarkan konteks tatanan resistensi tehadap resiko krisis. ASEAN+3 diharap mampu menjadikan dirinya wadah bagi pertukaran budaya, bisnis, dan bahkan praktik diplomasi ekonomi dan diplomasi komersial. Pasca krisis Asia 1997-1998, Chiang Mai Initiatives (CMI) muncul sebagai alternatif menghadapi gelombang krisis yang mungkin akan menyerang kembali, dalam kerangka kerja ASEAN+3 tahun 2000. Kerja sama ini baru diperbarui menjadi Chiang Mai International Initiatives (CMII) pada 2010 (Peterson Institute of International Economics, 2011). CMI adalah usulan kerja sama currency swap atau pertukaran mata uang dalam konteks finansial, terutama mengenai cadangan devisa suatu negara. Jika mata uang suatu negara sedang lemah karena krisis, maka mekanisme konversi mata uang dalam cadangan devisa ini menjadi pilihan yang bijak untuk tidak mengurangi kuantitas nilai cadangan devisa. Melalui salah satu contoh tersebut, masalah finansial merupakan masalah makro-ekonomi yang tak terhindarkan lagi untuk dipertimbangkan kala menghadapi krisis.

  Terdapat wacana pembentukan East Asian Economic Community (EAEC), yang sekiranya diprediksikan akan terjadi pada tahun 2050. Kerangka

  

East Asian Economic Caucus terdahulu yang hanya berbasiskan negara-negara

  Asia Timur, lebih menguntungkan bagi negara-negara kecil. Pasalnya, jika harus membentuk sebuah kerja sama regional, bentuk East Asian Cooperation akan lebih diutamakan, karena lebih bernuansa “Asia” daripada “Pasifik” yang diusung oleh APEC. Karena agenda liberalisasi ekonomi yang dikemukakannya, tentu akan berujung pada pembukaan pasar bebas yang luas. Sementara jika AS dan Kanada juga telah tergabung dalam North American Free Trade Area (NAFTA) yang telah mantap sebagai suatu pasar bebas regional. Hal tersebut akan mungkin menjadikan posisi tawar negara Asia Timur lain menjadi tersubordinasi.

  Keempat peluang tersebut merupakan peluang bagi China untuk mengembangkan dominasi di Asia Timur, karena secara perlahan China menjadi tolok ukur kebijakan luar negeri sektor ekonomi di kawasan. Uni Eropa (UE) dan AS diramalkan akan tetap menjadi pasar terbesar, namun China akan mampu mengimbangi Jerman pada dekade berikut dalam gross domestic

  

products (GDP) nominal nya. Salah satu indikator GDP ialah kemampuan suatu

  negara meraup keuntungan perdagangan.Grafik di bawah ini merupakan cerminan perkembangan GDP pada 2020.

  Grafik 1. Prediksi Pembagian GDP Nominal Dunia tahun 2020 Sumber : WEO, 2007 dan Winters & Yusuf, 2007 dalam Baldwin & Carpenter, 2008

  Dalam sektor keamanan regional, China masih terbelenggu beberapa konflik teritorial yang cukup mengakar dengan negara-negara tetangganya, namun melihat beberapa peluang di atas, China tetap berdiri sebagai entitas yang masuk dalam perhitungan utama. China harus memperluas pasarnya secara konstan untuk memperoleh pengaruh politik. Fungsi perluasan pasar ini dijalankan di Asia Tenggara dengan meyakinkan negara-negara ASEAN untuk mengikuti pola perdagangannya dengan strategi diplomasi regional dan dorongan berupa insentif ekonomi (China Report 48, 3, 2012: 317 –326) seperti yang terjadi dalam kerangka ASEAN China Free Trade Area (ACFTA). Namun hal ini bukan berarti wilayah di sekitar China mulai berorientasi sinosentris dalam perdagangan. Dengan masih kuatnya kepentingan ekonomi AS di Asia Timur, akan sangat sulit bagi China untuk mempertahankan pasar yang telah didapatnya. Untuk itulah, China perlu mengeluarkan banyak inisiatif multilateral untuk membendung skenario multilateral AS di kawasan.

  Status Ekonomi-Politik China di Kawasan Asia Timur

  Kebijakan luar negeri China di abad ke-21 lebih mengemukakan prinsip non konfrontasi namun tetap proaktif. Hal tersebut ditujukan untuk mencitrakan China yang tidak agresif dan dapat bekerja sama dengan mudah. Prinsip tersebut merupakan refleksi dari kepentingan domestik China dan Partai Komunis China (PKC) melalui internal balancing dan soft balancing American Power. China menitikberatkan pembangunan ekonomi sebagai upaya membendung unipolaritas AS pasca Perang Dingin. Selain itu, penting bagi PKC untuk mempertahankan legitimasinya melalui politik kesejahteraan setelah komunisme mulai luntur di China (Wang, 2010 : 557-558).

  Pembangunan ekonomi merupakan langkah mundur perlahan dari kebijakan ekonomi terkendali, dimana negara mengatur pasar, dan pasar mengatur badan-badan usaha. Kebijakan ini terwujud dalam penyelenggaraan perdagangan, investasi, dan zona khusus perusahaan di provinsi-provinsi pesisir (Hasan, 2008 : 580-587). Namun terdapat beberapa kondisi yang harus diperhatikan perkembangannya sebagai barometer ambisi China untuk mengejar posisi sentral di sektor ekonomi Asia Timur.

  Pertama, China yang sedang bangkit juga mengejar strategi institusional

  dan multilateral di luar kawasannya untuk mendesain kembali keteraturan orderdi bidang ekonomi-politik. Kerja sama multilateral tersebut menempatkan pemerintah Beijing sebagai titik sentralnya, misalnya

  China –Africa Cooperation, the China

  • –Caribbean Economy and Trade Cooperation Forum,

  dan juga China

  • –Arab Nations Cooperation Forum. Sebagai pendukung

  pengaruh, China bahkan terlibat dalam pemberian konsultasi politik pada

  

Andean Community , Rio Group, dan MERCOSUR. Terlihat bahwa China lebih

  memilih untuk membuka kerja sama baru daripada mengandalkan yang telah terbangun (Sohn, 2012:77-82). Hal ini juga mencerminkan mentalitas great

  

power dan exceptionalism China sebagai negara yang melihat negara lain

  beroperasi dibawah pengaruhnya, sehingga segala kebijakan luar negerinya pun betul-betul diarahkan ke dalam negeri (Zhang, 2013:306-323).

  Sementara itu, China melihat wilayah Asia sebagai saluran strategis untuk merangkul masyarakat internasional, dengan prinsip hexie yazhou yakni “Asia yang Harmonis” baik secara multilateral, sub-regional, maupun bilateral. China membidik Asia Selatan, Asia Tengah dan wilayah timur laut Asia, dengan menawarkan konsep kesejahteraan bersama di kawasan dengan pendekatan bilateral (Hwang dan Chen, 2010:109-110).

  Kedua, China juga memainkan peranan penting dalam stabilitas

  perdagangan dan finansial pasca krisis ekonomi global tahun 2008. Cadangan devisanya yang besar memudahkan China bermanuver dalam hal ini. Pilihan antara China dan Asia Timur untuk kerja sama kawasan ialah dengan mengukuhkan new regionalism (Pangestu dan Gooptu, 2003:107). Beberapa alasan yang dikemukakan antara lain a) motivasi negara-negara Asia Timur untuk tidak terlarut dalam krisis finansial, b) negara-negara Asia Timur cenderung ingin bekerja sama lebih erat dengan China, c) kepentingan bisnis masing-masing negara untuk lebih terintegrasi ke pasar internasional, dan d) pergerakan ekonomi skala sedang berkembang untuk meningkatkan daya saing. Sementara itu, China lebih memilih untuk bermain aman dalam setiap gelaran

  

East Asia Summit karena masalah keanggotaan East Asia Community (EAC),

  dimana negara-negara seperti India, Australia, dan Pasifik selalu terlihat dibendung oleh China dalam upaya mereka untuk dimasukkan menjadi anggota.

  Pasca krisis ekonomi global seputaran 2007-2008, negara anggota G3 yakni Uni Eropa, Jepang, dan AS mengalami perlambatan ekonomi. Padahal pertumbuhan ekonomi agregat di Asia Timur saja telah mencapai rata-rata 8% per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi dunia hanya 4% per tahun pada 2010 (UNESCAP, 2011). Momentum perlambatan ekonomi AS juga merupakan peluang besar bagi China untuk menumbuhkan kepercayaan Korea Selatan dan Jepang sebagai sekutu utama di kawasan.

  Ketiga , Pasca krisis finansial global, China juga mendapat kepercayaan

  yang lebih baik untuk menanamkan modal asing, demikian pula dengan jumlah investasi asing yang masuk ke dalam negeri (World Investment Report, 2013). Berikut ini sebaran aliran investasi asing langsung di kawasan Asia Timur.

  Tabel 1. Sebaran Aliran Investasi Asing di Antara Ekonomi Kawasan Asia Timur (2012) Sumber : United Nations Conference on Trade and Development, 2013

  Manuver China untuk menarik investasi pasca krisis perlu dicermati sebagai upaya untuk menjadi hegemon ekonomi-politik di kawasan, bukan hanya sebagai aksi profit-taking belaka, China memberikan pinjaman lunak kepada negara-negara Asia Tenggara, sementara AS masih bersikukuh mempertahankan kebijakan neoliberalnya untuk mendevaluasi mata uangnya. Kepemimpinan China didominasi oleh soft-power utamanya sejak 1990-an, dengan menampilkan kebijakan luar negeri yang merangkul dan lebih konstruktif (Sohn, 2010:504-505).

  Keempat , rivalitas China-Jepang dalam mendominasi kawasan Asia

  Timur. Jepang sebagai perpanjangan kepentingan AS sangat mendominasi dalam hal perkembangan teknologi, perindustrian, dan bantuan pembangunan di kawasan ini pasca Perang Dingin. Terkait titik sentral dominasi tersebut, Kroeber (2006) menyebutkan bahwa China merintis posisi dominan di periode

  

post-communist emerging market di era Deng Xiaoping. Selain itu China juga

  mengadopsi model East Asian Developmental State dengan meniru karakter kunci dari pembangunan di Jepang pada tahun 1950-1960-an dan Korea pada tahun 1970an. Kedua negara itu utamanya menerapkan kebijakan transformasi industri. Situasi ekonomi di Asia Timur selama kurang lebih 20 tahun belakangan, di mana pola kerja sama ekonomi industrial dipimpin oleh Jepang. Selama itu pula Jepang bertindak sebagai aktor terdepan dalam formasi V atau

  

the flying geese formation dalam pola pembangunan. Namun, hal tersebut

  menjadi kurang relevan di era kontemporer, karena China perlahan muncul sebagai aktor strategis baru. Secara bertahap, pola interaksi antar wilayah industri di Asia Timur menjadi berubah, fokusnya adalah pada kebangkitan wilayah pantai China dalam mengarahkan ekonomi regional.

  ASEAN dan Asia Tenggara menjadi medan perebutan pasar antara kedua negara, sehingga ASEAN juga menjadi prioritas politik luar negeri China. Pada tahun 2000, ACFTA diimplementasikan, dan satu dekade kemudian, China telah menyumbangkan jumlah simpanan yang sama dengan Jepang (38,4 juta Dolar AS) kepada Asian Currency Crisis Fund (120 milyar Dolar AS) di bawah

  

Chiang Mai Initiative Multilateralisation Agreement . China juga berupaya

menyeimbangkan posisi tawar dengan Jepang di berbagai forum multilateral.

  Tabel di bawah ini berusaha menunjukkan kecenderungan tersebut.

  Tabel 2. Keanggotaan China dan Jepang dalam Organisasi Internasional/Multilateral

  Sumber : Yang, 2010

  

Proyeksi Strategi Ekonomi Multilateral China di Asia Timur

  Dalam mempertimbangkan kesesuaian bentuk kerja sama, maka sangat penting untuk melihat kembali kompleksitas suatu kawasan. Regionalisme, harusnya menjadi sebuah bentuk kerja sama yang mencerminkan persamaan identitas dan persamaan nasib, serta diikuti dengan pembentukan institusi yang mencerminkan collective action. Namun, para aktor (terutama negara) di Asia Timur terkesan lebih melihat ke arah mana konstelasi politik global akan mengarah. Melihat kondisi tersebut, integrasi Asia Timur masih dalam bentuk regionalisme terbuka atau open regionalism, dimana belum terdapat kesepakatan yang mengikat dalam hal teknis maupun substansial. Asia Timur juga masih dalam tahap pencarian bentuk kerja sama regional yang sesuai. Ketidakpastian ini nampaknya dimanfaatkan secara afirmatif oleh China, dengan menampilkan beberapa inisitaif yang menguntungkan negara tersebut.

  Pertama, krisis ekonomi membawa banyak negara bersikap pragmatis

  dan lebih proteksionis terhadap ekonominya, namun kawasan Asia Timur justru mulai berbenah untuk membentuk “monetary regionalism” (Dieter dan Higgot, 2002). Hal tersebut juga dapat ditentang dengan berbagai argumen, namun perlu untuk melihat celah perkembangan lain yang terdapat di dalamnya, dan apa saja faktor penggeraknya. Namun China juga tetap berupaya mengamankan kepemimpinannya di sektor keuangan dan investasi. Wakil Menteri Keuangan China, Zhu Guangyao, menegaskan bahwa China mendukung terbentuknya

  

Asian Infrastructure Investment Bank, serta menyatakan niatan politik untuk

  membangun infrastrukturnya di negara berkembang di Asia Timur (Xinhua, Oktober 2013).

  China memiliki lembaga yang tergabung dalam tiga serangkai formulator kebijakan finansialnya seperti kebanyakan negara lain; yakni sektor perbankan, sektor asuransi, dan komisi regulasi sekuritas. Namun standar kebijakan keuangan China tidak berdasar pada neraca pembayaran foreign direct

  

investment (FDI) yang umum, sehingga laporan investasi China tidak seluruhnya

mencerminkan arus investasi riilnya (UNCTAD, 2007).

  Grafis 2. Arus FDI menuju China (1990-2005) Sumber : UNCTAD, 2007

  Inisiatif China untuk mengembangkan kerja sama regional di bawah pengaruhnya akan memerlukan struktur finansial yang kuat, terlebih lagi pertumbuhan ekonomi sebagai strategi sentralnya. Sebelumnya, jumlah FDI yang masuk ke dalam negeri terbanyak diraih oleh Jepang, dimana China merespon secara reaktif pada masa pemerintahan Deng Xiaoping tanpa strategi tertentu dengan kebijakan Open Door Policy-nya. Hingga 2008, China telah mampu menjadi negara dengan perekonomian yang didorong oleh produksi dan mengalami pertumbuhan GDP sebesar 10% (Wang, 2011:200-201). Menariknya, China juga menjadi anggota WTO, namun lebih memilih menjalankan kerja sama ekonomi regional daripada multilateral karena mempertimbangkan stagnasi WTO yang berkepanjangan (Zhang, 2010).

  Strategi investasi tersebut juga disokong oleh kebijakan China menginternasionalisasi mata uang Yuan Renminbi (RMB). Hal ini dibuktikan dengan konsistensi China untuk tidak mendevaluasi RMB pasca krisis Asia tahun 1997-1998 yang lalu, dimana nilai tukar RMB relatif stabil. Pengaruhnya, negara-negara Asia Timur mampu memberikan kepercayaan yang lebih dalam berinvestasi, utamanya investasi modal. Hal ini dilakukan untuk mengikis kepercayaan bahwa China ialah sebuah ancaman, sekaligus menumbuhkan sektor keuangan China seperti terlihat pada Grafik 2 di atas.

  Tidak jelas mengapa China terkesan kurang transparan dalam pemaparan nilai investasi riilnya, namun justru anggaran pertahanan China yang meningkat dapat diketahui dengan estimasi dalam berbagai rilis yang mengarah pada peningkatan yang tajam. Kecenderungan yang dapat diamati ialah bahwa negara-negara di kawasan Asia Timur mengalami China Shock karena pertumbuhan ekonomi dan militernya yang berbasis nilai-nilai.

  Kedua, inisiatif industri dan perdagangan. Kebanyakan dari seluruh

  bentuk rezim kerja sama regional memiliki kekuatan dominan yang mengarahkan prospek kerja sama itu sendiri, baik dari aktor negara maupun poros aliansi tertentu. Kekuatan dominan tersebut akan relatif memengaruhi peta persaingan, konflik, dan pola-pola interaksi antar aktor di dalamnya secara umum. Demikian pula dengan wilayah Asia Timur, yang menitikberatkan peran China yang sangat signifikan dalam menentukan pola hubungan antara delapan wilayah ekonomi inti di Asia Timur. Kedelapan wilayah tersebut terdapat di negara China (Zhujiang, Changjiang, Jing-Jin-Ji); Jepang (Kanto, Chubu, Kinki); dan Korea Selatan (Seoul dan wilayah Yeongnam).

  Grafis 2. Delapan Wilayah Inti Industri Asia Timur Sumber : Kim, 2010 Kim mengutip Akamatsu (1961) bahwa transfer teknologi dapat terjadi dari impor produk yang dilakukan oleh negara-negara kurang berkembang dari negara maju. Sedangkan Vernon (1966) memfokuskan bahwa industri hanya berkembang di negara maju yang berpendapatan tinggi, yang berkembang karena ekspornya meningkat. Namun terdapat kekurangan dalam konsep tersebut, yang meminggirkan realita bahwa perdagangan saat ini terbingkai dalam globalisasi ekonomi, yang melibatkan kerja sama multilateral. Kim mempertegasnya dengan mengutip Bernard dan Ravenhill (1995) bahwa terlah terbentuk jaringan produksi global yang melampaui batas-batas negara, sehingga strategi kerja sama perlu bergeser dari inter-state menjadi inter-region. Kim menyimpulkan, terdapat 3 level difusi sektor industri sebagai salah satu inti aktivitas ekonomi di Asia Timur, yakni domestik, supranasional, dan inter-

  regional relations .

  Kedelapan wilayah tersebut terpencar dalam tiga negara : China, Jepang, dan Korea Selatan. Jika melihat angka pendapatan bersih domestik regional/ (GDRP), daerah Kanto di Jepang unggul jauh.

  gross regional domestic product

  Namun hal tersebut diukur dengan indikator nilai tukar mata uang. Di sisi lain, jika diukur menggunakan ukuran daya beli masyarakat, Jepang disaingi secara ketat oleh China. Padahal selama beberapa dekade Jepang telah merajai sektor jaringan industri dan perdagangan di Asia Timur laut dan Asia Tenggara. Tulisan ini juga memetakan bahwa sejak tahun 1980an China mulai sukses berkecimpung di produksi manufaktur mengalahkan Jepang, namun Jepang masih unggul di sektor jasa, dan bersama Korea, Jepang terdepan dalam sektor finansial. Pada 2007, terdapat klasifikasi landscape ekonomi, yakni besar (Kanto), sedang (Changjiang, Zhujiang termasuk Hong Kong), dan 5 daerah sisanya yang termasuk memiliki pengaruh ekonomi kecil. Ukuran besar kecilnya skala ekonomi dilihat dari persen sumbangan mereka terhadap agregat GDRP.

  Namun terdapat perkiraan bahwa pada tahun 2020, akan terdapat pergeseran klasifikasi di atas, landscape ekonomi besar adalah Kanto dan Changjiang, ekonomi sedang hanya Zhujiang, dan sisanya tergolong skala terkecil. Terlihat bahwa China sangat dominan dan semakin mengecilkan peran wilayah lain. Untuk itu China hampir dapat dipastikan akan mengontrol kawasan ini melalui industri. Negara lain hanya dapat melakukan pembaharuan- pembaharuan dalam bidang teknologi dan teknik, namun hanya untuk menyesuaikan diri dengan gerakan-gerakan China. Untuk sekedar mampu menyamai nampaknya relatif berat bagi Korea dan Jepang, terlebih lagi jika hendak melewati kemajuan China.

  Perluasan pengaruh politik di luar kawasan Asia Timur dapat dipandang sebagai faktor penarik investasi. Strategi lain untuk meningkatkan keunggulan China di Asia Timur adalah dengan ikut menerapkan pengelompokan sektor industri atau cluster, yang melibatkan pemerintah lokal dan nasional. Di Jepang, terdapat pengelompokan wilayah industri yang kuat dan terspesialisasi, dengan fokus industri automobil, mengejar transformasi industri berteknologi tinggi termasuk robot, luar angkasa, dan nano teknologi. Sementara Korea, berkutat dalam teknologi informasi, perkapalan, dan lingkungan. China merespon dengan membangun cluster dalam automobil, petrokimia, permesinan, elektronik, baja, pakaian, tekstil dan makanan. Pemerintah China berencana menjadikan Beijing sebagai pusat politik, keuangan, dan teknologi industri; beserta perangkat industri lain yang berbasis pengetahuan.

  Sementara itu, China berkembang menjadi mitra dagang teratas bagi kebanyakan negara Asia Timur, dan kebanyakan hubungan dagang tersebut digerakkan oleh delapan wilayah ekonomi inti di Asia Timur. Antara 2000-2007, volume perdagangan Korea dan Jepang ke China makin meningkat, dan sekali lagi berpusat pada kedelapan wilayah inti ekonomi itu. Namun bagi China, Korea dan Jepang menjadi kurang diprioritaskan sebagai mitra dagang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wilayah pantai China merupakan aktor terpenting dalam hubungan antar regional industri di Asia Timur, dan menjadi penghubung inti setiap hubungan inter-regional domestik di kawasan.

  China juga menjadi aktor penting dalam kerja sama ekonomi Selatan- Selatan. Bukan hanya di wilayah Asia namun juga Amerika Latin, China membuat konstelasi perdagangan dan regionalisme tidak lagi dibatasi oleh faktor geografis, yang juga disebut the new geography of trade (UNCTAD, 2005) yang dicirikan oleh a) naiknya pangsa pasar negara-negara berkembang dalam perdagangan dunia; b) perdagangan komoditi dan manufaktur dan kerja sama ekonomi untuk mencapai critical mass atau kemampuan untuk berproduksi secara berkelanjutan, serta c) perubahan nuansa interdependensi Utara-Selatan dan persyaratan kerjasama.

  Penerapan strategi open regionalism juga menjadi ciri pendekatan pemerintah China dalam merangkul kawasan (Carl, 2001 dalam Jilberto dan Hogenboom, 2007:324). Pendekatan ini juga dilakukan di kawasan Asia Timur, sehingga upaya-upaya politik China menjadi lebih fleksibel, mengingat China juga memiliki berbagai problem keamanan regional serta sengketa teritorial yang mampu memberi konsekuensi negatif jika Asia Timur berada dalam regionalisme tertutup.

  Dalam bingkai perdagangan, China sangat konsisten dalam berekspansi baik antar sub regional maupun hubungan langsung dari kota ke kota. Terdapat dua poin unik dalam hubungan regional ini. Pertama adalah Jepang, yang mengintensifkan perdagangan antar sub regional domestik Jepang dengan area Kinki sebagai pusatnya. Hal ini tidak dilakukan di China maupun Korea. Sedangkan yang kedua, Korea tidak dalam posisi memperluas pengaruh terhadap wilayah lain, serta sangat pasif dalam menerima pengaruh wilayah lain. Pemerintah China sendiri dikatakan tidak terlalu terpengaruh apakah Jepang dan Korea intens berdagang ke negaranya. Wilayah Jing-Jin-Ji dan Chanjiang adalah dua area pesisir China yang sangat berpengaruh di kawasan, karena mampu meminimalisasi resiko bisnis dengan menjalin banyak kerja sama industrial.

  Kesimpulan

  Dari Grafik 1 di atas, dengan asumsi bahwa pada 2020 ekonomi China akan menjadi pemimpin di Asia Timur, menarik untuk melihat bagaimana China akan mencapainya daripada capaian China pada 2020. Pertumbuhan ekonomi China akan semakin pesat di masa depan, karena kawasan pesisir China mendominasi keseimbangan kekuatan (power balance) di Asia Timur. Akan terjadi restrukturisasi dan penyesuaian terhadap segala pergerakan kawasan ekonomi pesisir China sebagai motor ekonomi-politik di kawasan Asia Timur. Penyesuaian tersebut juga akan terasa berat di sisi Chubu, Seoul, dan Yeongnam yang mengharuskan reposisi dan mengkondisikan wilayah mereka untuk aktivitas ekonomi trans-border.

  Namun memasuki abad ke-21, pergerakan globalisasi, perjanjian perdagagan bebas, serta aktivitas transnasionalisme dalam politik global berperan signifikan dalam membentuk perilaku para aktor di dalamnya, terutama para pengambil keputusan. Untuk itu, Kim memberi spekulasi bahwa pemenang dalam persaingan ekonomi regional ini adalah para aktor yang memiliki “bakat” atau talent, serta teknologi. Hal tersebut dirasanya lebih penting bagi pertumbuhan ekonomi daripada sekedar memerhatikan pembagian kerja atau division of labor .

  China memang menjadi aktor yang tangguh dalam bidang ekonomi dengan meminimalisasi biaya produksi dan segala macam efisiensi yang terkait. Sejak tahun 1978 pada masa pemerintahan Deng Xiaoping, China mulai terbuka bagi perdagangan luar negeri yang tidak ekslusif walaupun hanya dalam beberapa konteks. Hal tersebut kemudian diikuti oleh doktrin politik luar negeri yang dicanangkan pada tahun 2000-an untuk

  The Peaceful Rise of China

  memberi kesan pada dunia bahwa China bukan berdiri sebagai ancaman, melainkan sebagai mitra negara-negara di dunia. Dengan mengedepankan soft

  

power diplomacy , China mengembangkan konsep negara yang bersahabat dan

turut bertanggung jawab terhadap perdamaian dunia.

  Kesimpulan mengenai artikel ini dapat dimulai dari analisa situasional kontemporer. Menilik keadaan politik terkini di Asia Timur dan sekitarnya, berkembangnya China menyebabkan terjadinya dominasi dan hubungan luar negeri yang asimetrik antar negara di Asia Timur, bahkan di belahan dunia lain. Perilaku aktor lain di dalam kerangka delapan wilayah ekonomi regional inti, sangat ditentukan oleh kebijakan yang diambil China. Pertanyaan besarnya adalah, apakah dominasi ekonomi China akan semakin mengintegrasikan kawasan Asia Timur, ataukah sebaliknya. Hal ini bisa menjadi paradoks yang rentan berbalik pada China setiap waktu, jika tidak diimbangi dengan kalkulasi perilaku di bidang keamanan regional yang diharapkan tidak agresif.

  Aspek-aspek mengenai unggulnya China tak terbantahkan dalam tulisan tersebut, namun pada kenyataannya negara-negara terbesar di Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan seakan terabsorpsi, selain karena krisis ekonomi global dan bencana alam telah merenggut kemajuan ekonomi mereka.

  Intensitas perdagangan di wilayah Asia Timur cukup besar sejalan dengan naiknya popularitas China di dunia. Tak pelak jika China menjadi sentra dari perumusan kebijakan luar negeri berbagai negara. Pola interaksi dan kerja sama di Asia Timur telah dalam kendali China. Dominasi wilayah zona industri inti ini menjadikan konstelasi ekonomi-politik di Asia Timur menjadi statis, karena kekurangan warna kompetisi terutama dalam menghadapi daya saing China.

  China memang fleksibel dalam pembangunan ekonomi dengan mekanisme penyesuaian dirinya yang sangat cepat. Hal tersebut berarti transformasi ekonomi juga mengalami penguatan. Namun berkaitan dengan ekonomi-politik, cerminan sikap bandwagoning Jepang dan Korea dari artikel ini mencerminkan kuatnya politik luar negeri China dalam bidang ekonomi, terutama industri dan perdagangan.

  Unifikasi regional dalam bidang ekonomi-politik nampaknya memiliki kemungkinan, hanya apabila jika China mengarahkan dominasi ekonominya ini kepada integrasi kawasan. Bentuk yang cukup sesuai dengan cita-cita politik seperti ini ialah regionalisasi, yang didefinisikan sebagai ekspresi meningkatnya transaksi komersial dan transaksi-transaksi lain yang dilakukan oleh manusia. Sedangkan regionalisme kurang cocok dijadikan tujuan integrasi, jika tidak hendak menafikan kemungkinan akan diwujudkan. Regionalisme merupakan bentuk integrasi yang lebih canggih lagi, di mana terdapat perasaan persamaan identitas dan persamaan nasib, serta diikuti dengan pembentukan institusi yang mencerminkan collective action.

  Sedangkan, dapat dikatakan bahwa karakteristik dari dominasi wilayah pesisir China pada awalnya adalah suatu bentuk interdependence, dimana China sangat membutuhkan pasar untuk produknya yang seringkali dihasilkan secara massal. Sementara Jepang dan Korea juga perlu mengurangi ongkos produksi di dalam negeri untuk bertahan dari kelesuan ekonomi yang belakangan menimpa ekonomi global. Tidak mengherankan bila kemudian China juga tidak terlalu berfokus untuk memasarkan produk industrinya ke Korea dan Jepang, serta mulai beralih ke negara-negara berkembang yang lain, karena pasar yang ditarget akan lebih luas. Dengan fenomena seperti itu, hubungan

  

interdependence antar kawasan industri di kawasan Asia Timur dapat berubah

  menjadi dependence Korea dan Jepang yang kemudian mendudukkan China sebagai dominator.

  Jika situasi dependence Korea dan Jepang tersebut terus berlangsung, hal tersebut tentunya akan berpengaruh terhadap integrasi kawasan Asia Timur. Secara logis, implementasi kebijakan integrasi, baik secara utuh maupun sektoral, akan mengorbankan sebagian kedaulatan dari suatu negara. Tidak mengherankan jika China nantinya akan enggan menyetarakan posisi tawarnya untuk mengembangkan integrasi di bidang ekonomi ini sendiri. Namun, di sisi lain, dengan adanya dominasi, integrasi tersebut dapat saja terlaksana, dengan syarat Korea dan Jepang rela menyesuaikan sebagian visi ekonominya di bawah kendali China. Dengan sikap politik yang lebih akomodatif, akan lebih menguntungkan bagi Jepang dan Korea untuk bekerja sama, daripada misalnya menyiapkan strategi hambatan perdagangan yang merugikan dan konfliktual. Namun, Jepang dan Korea hendaknya juga memerhatikan kompensasi politik yang akan didapatkan, agar tetap tercipta stabilitas ekonomi di dalam negeri masing-masing.

  Pada akhirnya, hubungan kerja sama ekonomi di Asia Timur diwarnai oleh kompetisi yang kentara namun tidak transparan dalam praktek-prakteknya, seperti perlombaan target pasar di luar kawasan seperti JI-EPA, CAFTA, ASEAN+3 dan lainnya. Terdapat pula indikasi perasaan terancam akan naiknya popularitas China. Secara fungsional, jika kepercayaan politik belum terbentuk diantara ketiga negara tersebut, akan sangat sulit membawa Asia Timur ke dalam sebuah komunitas internasional yang terintegrasi, setidaknya dalam koordinasi G-to-G atau antar pemerintahan.

  DAFTAR PUSTAKA Buku

Evans, Paul. 2005. Between Regionalism and Regionalization : Policy Networks and

The Nascent East Asian Institutional Identity . Dalam Pempel, T. J. (eds).

  Remapping East Asia The Construction of A Region. New Jersey : Cornell University Press

Jacob, Jabin T. 2012. China report :China in Southeast Asia: The Search for a Chinese

Model of International Relations . Sagepub online

  

Kim, Won Bae. 2010. The Rise Of Coastal China And Inter-Regional Relations Among

Core Economic Regions Of East Asia . Springer-Verlag.

UNCTAD. 2005. World Investment Report 2005: Transnational Corporations and the

Internationalization of R&D . New York and Geneva: United Nations.

Yoshimatsu, Hidetaka. 2008. The Political Economy of Regionalism in East Asia

  Integrative Explanation for Dynamics and Challenges. New York : Palgrave MacMillan

  Jurnal

Baldwin, Richard E. 2008. Managing The Noodle Bowl: The Fragility Of East Asian

  Regionalism . The Singapore Economic Review, Vol. 53, No. 3

Hasan, Rumy. 2008. Reflections on the Impact upon China's Polity from the Retreat

of State Capitalism . Jurnal Critical Sociology. Crit Sociol 2008 34: 575.

  

Hwang, Jaeho dan Chen Dongxiao. 2010. China's Harmonious Asia Strategy. Jurnal

International Area Studies Review 2010 13: 105

Jilberto, Alex E. Fernández dan Barbara Hogenboom. 2007. Developing Regions Facing

  

China in a Neoliberalized World. Journal of Developing Societies. 23: 305

Lee, Jae-Seung. 2002. Building an East Asian Economic Community. Jurnal Les Etudes

du CERI, no.87, Mei 2002. Centre d’etudeset de Recherces Internationales. Paris

  : Sciences Po.

Sohn, Injoo. 2012. After Renaissance: China's Multilateral Offensive in the Developing

  World . European Journal of International Relations Sage Publication http://ejt.sagepub.com/content/18/1/77 Terada. Takashi. 2003.

  Constructing an ‘East Asian’ Concept and Growing Regional Identity: from EAEC to ASEAN+3. Jurnal The Pacific Review , Vol. 16 No. 2.

  

Wang, Yuan Kang. 2010. China's response to Unipolar World : The Strategic Logic of

Peaceful Development. Journal of Asian and African Studies vol 45 http://jas.sagepub.com/content/45/5/554

Wang, Yuzhu. 2011. China, Economic Regionalism, and East Asian Integration.

  Japanese Journal of Political Science 12 (2) 195

  • –212

    Yang, Jian. 2010. Japan's Decline Relative to China: Scenarios and Implications for

  East Asia . Jurnal Political Science. Vol 62 : 146

Zhang, Feng. 2013. The Rise of Chinese Exceptionalism in International Relations.

European Journal of International Relations.

  

Zhang, Yunling. 2010. East Asian Cooperation Need Innovations, Guoji Jingji Pinglun

(International Economic Review), 1: 29

  • –37. UNCTAD Investment Brief. Number 2, 2007

  Website Kroeber, Arthur.

  China’s Industrial and Foreign Trade Policies: What Are They and How Successful Have They Been?. 2006. Halaman 1 website :

diakses pada

  2 Oktober 2011. Pukul 17.25

Pangestu, Mari dan Sudarshan Gooptu. 2003. New Regionalism, Options for China and

East Asia. Jurnal East Asia Integrates : A Trade Policy Agenda for Shared Growth . 2003. World Bank Site Source Publications.

  

The Chiang Mai Initiatives. Institute for International Economics.

White Paper on China's Peaceful Development Road. China Report 2006 42: 215.

  Sagepubonline