WILAYAH DAN TATA RUANG wilayah

BAB 11 WILAYAH DAN TATA RUANG

Pembangunan Nasional telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian kesenjangan pembangunan antar wilayah serta antar perkotaan dan perdesaan masih terjadi. Pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah dilakukan melalui upaya: (1) pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya dalam mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan daerah terutama di wilayah luar Jawa; (2) percepatan pembangunan di wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil; (3) pengembangan wilayah perbatasan yang berorientasi ke luar (outward looking) dan berdasarkan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach); (4) pengembangan kota-kota metropolitan, besar, menengah dan kecil secara seimbang, sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang sesuai dengan sistem perkotaan nasional, dan mendukung pengembangan perdesaan; (5) peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan orientasi pada keunggulan komparatif sumber daya lokal dan didukung oleh sektor industri, jasa dan perdagangan, dengan infrastruktur yang menunjang keterkaitan perdesaan dengan pusat- pusat pertumbuhan; (6) keserasian pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, serta penatagunaan tanah; serta (7) upaya-upaya penyiapan strategi pengurangan resiko bencana yang mandiri dan berkelanjutan pada wilayah-wilayah yang memiliki karakter Pembangunan Nasional telah mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian kesenjangan pembangunan antar wilayah serta antar perkotaan dan perdesaan masih terjadi. Pengurangan ketimpangan pembangunan antarwilayah dilakukan melalui upaya: (1) pengembangan wilayah-wilayah strategis dan cepat tumbuh untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumberdaya dalam mendukung peningkatan daya saing kawasan dan produk unggulan daerah terutama di wilayah luar Jawa; (2) percepatan pembangunan di wilayah-wilayah tertinggal dan terpencil; (3) pengembangan wilayah perbatasan yang berorientasi ke luar (outward looking) dan berdasarkan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) selain menggunakan pendekatan yang bersifat keamanan (security approach); (4) pengembangan kota-kota metropolitan, besar, menengah dan kecil secara seimbang, sebagai pusat-pusat pertumbuhan yang sesuai dengan sistem perkotaan nasional, dan mendukung pengembangan perdesaan; (5) peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat perdesaan dengan orientasi pada keunggulan komparatif sumber daya lokal dan didukung oleh sektor industri, jasa dan perdagangan, dengan infrastruktur yang menunjang keterkaitan perdesaan dengan pusat- pusat pertumbuhan; (6) keserasian pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang, serta penatagunaan tanah; serta (7) upaya-upaya penyiapan strategi pengurangan resiko bencana yang mandiri dan berkelanjutan pada wilayah-wilayah yang memiliki karakter

11.1 PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Dalam rangka mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan melalui pengembangan kawasan strategis nasional bidang ekonomi (KSN Ekonomi) masih ditemukan berbagai permasalahan yaitu, permasalahan pertama, terkait dengan penyediaan peraturan perundangan yang dapat mendukung kelancaran operasional di daerah. Permasalahan kedua dalam pengembangan KSN Ekonomi adalah belum optimalnya ketersediaan payung hukum yang bersifat operasional bagi pengelolaan KSN Ekonomi yaitu: (a) untuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Keppres No. 150 Tahun 2000 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan pengelolaan KAPET secara profesional berorientasi bisnis (entrepreneurship) di daerah khususnya di era otonomi daerah, dan peran kelembagaan pengelola kawasan di daerah belum terarah karena dihadapkan pada masalah KSN Ekonomi yang merupakan kewenangan pusat, sedangkan KSN Ekonomi tersebut dilaksanakan di daerah yang otonom; (b) untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), seperti KPBPB Sabang sejak dikeluarkannya Undang-undang (UU) No. 37 Tahun 2000 hingga saat ini belum memiliki PP dan produk hukum turunan lainnya untuk mendukung implementasi dan pengelolaan KPBPB Sabang dalam hal ini terutama yang terkait dengan pelimpahan kewenangan pusat kepada Daerah (Dewan Kawasan) tentang perizinan investasi dan pengelolaan usaha; (c) untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), implementasinya masih menunggu proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan KEK dan PP tentang Lokasi KEK dan peraturan KL lainnya yang terkait dengan kebijakan insentif fiskal dan insentif nonfiskal. Permasalahan ketiga adalah kurangnya koordinasi, sinkronisasi, dan keterpaduan pelaksanaan program/kegiatan antarinstansi sektoral menyebabkan: (a) minimnya dukungan kebijakan dan alokasi anggaran yang terpadu lintas sektoral pusat hingga daerah untuk mendukung percepatan pengembangan kawasan strategis KAPET dan KPBPB; (b) Dalam rangka mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan melalui pengembangan kawasan strategis nasional bidang ekonomi (KSN Ekonomi) masih ditemukan berbagai permasalahan yaitu, permasalahan pertama, terkait dengan penyediaan peraturan perundangan yang dapat mendukung kelancaran operasional di daerah. Permasalahan kedua dalam pengembangan KSN Ekonomi adalah belum optimalnya ketersediaan payung hukum yang bersifat operasional bagi pengelolaan KSN Ekonomi yaitu: (a) untuk Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Keppres No. 150 Tahun 2000 sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan pengelolaan KAPET secara profesional berorientasi bisnis (entrepreneurship) di daerah khususnya di era otonomi daerah, dan peran kelembagaan pengelola kawasan di daerah belum terarah karena dihadapkan pada masalah KSN Ekonomi yang merupakan kewenangan pusat, sedangkan KSN Ekonomi tersebut dilaksanakan di daerah yang otonom; (b) untuk Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB), seperti KPBPB Sabang sejak dikeluarkannya Undang-undang (UU) No. 37 Tahun 2000 hingga saat ini belum memiliki PP dan produk hukum turunan lainnya untuk mendukung implementasi dan pengelolaan KPBPB Sabang dalam hal ini terutama yang terkait dengan pelimpahan kewenangan pusat kepada Daerah (Dewan Kawasan) tentang perizinan investasi dan pengelolaan usaha; (c) untuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), implementasinya masih menunggu proses penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) tentang penyelenggaraan KEK dan PP tentang Lokasi KEK dan peraturan KL lainnya yang terkait dengan kebijakan insentif fiskal dan insentif nonfiskal. Permasalahan ketiga adalah kurangnya koordinasi, sinkronisasi, dan keterpaduan pelaksanaan program/kegiatan antarinstansi sektoral menyebabkan: (a) minimnya dukungan kebijakan dan alokasi anggaran yang terpadu lintas sektoral pusat hingga daerah untuk mendukung percepatan pengembangan kawasan strategis KAPET dan KPBPB; (b)

Pembangunan kawasan perbatasan negara masih dihadapkan pada permasalahan mendasar berupa manajemen pengelolaan kawasan yang belum terintegrasi antarsektor, antardaerah, antarpusat dan daerah, ataupun antarnegara. Kegiatan pembangunan di kawasan perbatasan seringkali dihadapkan pada masalah ketidakserasian kebijakan yang menyebabkan terhambatnya kegiatan pembangunan, misalnya pembangunan ruas-ruas jalan strategis nasional di Kalimantan yang sulit direalisasikan karena terbentur oleh status kawasan hutan lindung, yang hingga saat ini belum ada solusi yang memuaskan mengenai strategi pembangunan kawasan perbatasan di Kalimantan yang sebagian besar wilayahnya berada di kawasan lindung. Masalah ini tentunya akan menjadi hambatan bagi perwujudan perbatasan sebagai halaman depan negara, dimana keterisolasiannya masih tinggi pada kawasan-kawasan perbatasan. Permasalahan lain adalah belum sinergisnya pelaksanaan kegiatan yang bersumber baik dari APBN pusat, dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dana alokasi umum, maupun dari dana alokasi khusus. Di sisi lain, pemerintah daerah masih memiliki ketergantungan yang relatif tinggi kepada Pemerintah Pusat untuk membangun sarana dan prasarana di kawasan perbatasan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah daerah. Permasalahan lain di perbatasan antarnegara adalah belum disepakatinya semua koordinat batas Indonesia dengan negara tetangga. Sampai saat ini perundingan dengan negara tetangga masih Pembangunan kawasan perbatasan negara masih dihadapkan pada permasalahan mendasar berupa manajemen pengelolaan kawasan yang belum terintegrasi antarsektor, antardaerah, antarpusat dan daerah, ataupun antarnegara. Kegiatan pembangunan di kawasan perbatasan seringkali dihadapkan pada masalah ketidakserasian kebijakan yang menyebabkan terhambatnya kegiatan pembangunan, misalnya pembangunan ruas-ruas jalan strategis nasional di Kalimantan yang sulit direalisasikan karena terbentur oleh status kawasan hutan lindung, yang hingga saat ini belum ada solusi yang memuaskan mengenai strategi pembangunan kawasan perbatasan di Kalimantan yang sebagian besar wilayahnya berada di kawasan lindung. Masalah ini tentunya akan menjadi hambatan bagi perwujudan perbatasan sebagai halaman depan negara, dimana keterisolasiannya masih tinggi pada kawasan-kawasan perbatasan. Permasalahan lain adalah belum sinergisnya pelaksanaan kegiatan yang bersumber baik dari APBN pusat, dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dana alokasi umum, maupun dari dana alokasi khusus. Di sisi lain, pemerintah daerah masih memiliki ketergantungan yang relatif tinggi kepada Pemerintah Pusat untuk membangun sarana dan prasarana di kawasan perbatasan karena keterbatasan anggaran yang dimiliki pemerintah daerah. Permasalahan lain di perbatasan antarnegara adalah belum disepakatinya semua koordinat batas Indonesia dengan negara tetangga. Sampai saat ini perundingan dengan negara tetangga masih

Untuk pembangunan daerah tertinggal, dalam periode RPJMN 2010-2014 telah ditetapkan jumlah daerah tertinggal sebanyak 183 kabupaten. Permasalahan yang dihadapi dalam proses pembangunan daerah tertinggal adalah sebagai berikut: (a) belum optimalnya pengelolaan potensi sumber daya lokal dalam pengembangan perekonomian daerah tertinggal, yang disebabkan oleh rendahnya kemampuan permodalan, penguasaan teknologi, informasi pasar dan investasi dalam pengembangan produk unggulan daerah dan rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya lokal; (b) rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan tingkat kesejahteraan masyarakat daerah tertinggal yang tercermin dari rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan angkatan kerja dan derajat kesehatan masyarakat, serta tingginya tingkat kemiskinan; (c) lemahnya koordinasi antarpelaku pembangunan di daerah tertinggal dan belum dimanfaatkannnya kerjasama antardaerah tertinggal dalam perencanaan, penganggaran dan pelaksanaan pembangunan; (d) belum optimalnya tindakan afirmatif dalam kebijakan perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, koordinasi, dan pengendalian pembangunan; (e) rendahnya aksesibilitas daerah tertinggal pada pusat-pusat pertumbuhan wilayah, khususnya pada sentra-sentra produksi dan pemasaran karena belum didukung oleh sarana dan prasarana angkutan barang dan penumpang yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tertinggal; dan (f) terbatasnya sarana dan prasarana pendukung ekonomi lainnya yang meliputi energi listrik, telekomunikasi, irigasi, dan air bersih.

Paradigma penanganan bencana mengalami perubahan yang semula terfokus pada penanganan darurat, menjadi lebih berorientasi pada pencegahan dan pengurangan resiko bencana. Masalah yang Paradigma penanganan bencana mengalami perubahan yang semula terfokus pada penanganan darurat, menjadi lebih berorientasi pada pencegahan dan pengurangan resiko bencana. Masalah yang

Tingginya tingkat urbanisasi merupakan salah satu tantangan utama dalam pembangunan perkotaan saat ini. Pada tahun 2025 diperkirakan 67,5 % dari jumlah penduduk Indonesia akan bermukim di perkotaan (Proyeksi Penduduk Indonesia 2005-2025, 2008). Tingkat urbanisasi di beberapa provinsi terutama provinsi di Jawa dan Bali bahkan sudah lebih tinggi dibandingkan tingkat urbanisasi Indonesia. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 %, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten. Tingginya perpindahan penduduk ke kota menyebabkan memadatnya penduduk dan kegiatan di kota, meluasnya wilayah permukiman ke kawasan pinggiran kota, serta terbentuknya kota-kota baru. Dalam satu dekade terakhir telah terbentuk 34 kota otonom baru di Indonesia. Perkotaan di Indonesia juga menghadapi tantangan globalisasi. Dalam menghadapi globalisasi, kota-kota di Indonesia harus memiliki daya saing di tingkat regional, nasional, ataupun internasional. Namun, saat ini daya saing Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam.

Tantangan lain yang perlu diatasi adalah ketimpangan pertumbuhan antarkota, yang perkembangan kegiatan sosial- ekonominya masih terpusat pada kota-kota tertentu saja, khususnya kota-kota besar dan kawasan metropolitan di Pulau Jawa. Pada tahun 2007, kontribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) kota-kota di Provinsi DKI Jakarta terhadap PDRB Nasional mencapai 16 % (BPS, 2007), sedangkan kota-kota di luar Pulau Jawa seperti di Provinsi Kalimantan Selatan hanya berkontribusi sebesar 0,24 % dan kota-kota di Provinsi Lampung hanya berkontribusi sebesar 0,32 %. Sementara itu, perkembangan kota-kota menengah dan kota-kota kecil berjalan lambat karena keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk pembangunan kota. Akibatnya, kota-kota kecil dan menengah tidak dapat memenuhi perannya sebagai stimulan pertumbuhan wilayah di sekitarnya untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara desa dan kota. Hal ini menandakan bahwa pembangunan kota-kota secara hirarkis belum sepenuhnya terwujud sehingga kota-kota tidak dapat berkembang secara efektif dan optimal.

Pembangunan perkotaan juga menghadapi berbagai permasalahan dalam pengelolaan internal kotanya, yaitu belum optimalnya upaya koordinasi pembangunan perkotaan baik di tingkat pusat, sektor, maupun daerah; belum jelasnya mekanisme dan terintegrasinya kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan dan metropolitan; masih terbatasnya kapasitas pemerintah kota dalam melaksanakan perencanaan dan pengelolaan pembangunan perkotaan, termasuk penerapan prinsip tata kepemerintahan yang baik; belum optimalnya upaya peningkatan peran sektor informal dan kelembagaan ekonomi dalam pengembangan ekonomi perkotaan; belum optimalnya pembangunan serta pengembangan pembiayaan penyediaan pelayanan publik di perkotaan untuk memenuhi kebutuhan penduduk perkotaan yang terus bertambah; serta rendahnya implementasi rencana tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di perkotaan, termasuk dalam perizinan pemanfaatan ruang dalam bentuk Ijin Mendirikan Bangunan (IMB).

Upaya penurunan tingkat kemiskinan, pemanfaatan modal sosial dan budaya masyarakat, serta penurunan tingkat kerawanan

sosial di perkotaan juga belum berjalan dengan optimal. Data awal tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penduduk miskin di perkotaan adalah sebesar 11,1 juta jiwa (9,87 %). Jumlah tersebut sangat besar walaupun telah mengalami penurunan bila dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 yaitu sebesar 11,9 juta jiwa (10,72 %). Selain permasalahan sosial, perkotaan juga menghadapi permasalahan pencemaran lingkungan dan dampak perubahan iklim yang semakin serius. Terlebih penanganan pencemaran lingkungan, antisipasi dampak perubahan iklim, dan mitigasi bencana belum dilaksanakan secara terintegrasi dalam pengelolaan perkotaan. Perubahan iklim akan sangat berpengaruh pada berbagai aktivitas sosial-ekonomi di wilayah perkotaan. Kenaikan curah hujan yang mengakibatkan banjir, kekeringan serta kenaikan permukaan air laut adalah hal yang sangat terkait dengan perkembangan perkotaan di masa depan. Dalam konteks ini, pembangunan perkotaan di Indonesia harus beorientasi pada antisipasi dampak perubahan iklim, mitigasi bencana, dan pengelolaan lingkungan. Pembangunan perkotaan ke depan juga perlu memperhatikan peningkatan daya saing kota baik secara regional, nasional, maupun global.

Pembangunan perdesaan merupakan suatu langkah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di perdesaan dengan menumbuhkan partisipasi aktif dari setiap individu di perdesaan dalam pembangunan dan menciptakan hubungan yang selaras antara masyarakat perdesaan dan lingkungannya. Dengan menyadari bahwa 82,31 % wilayah Indonesia adalah kawasan perdesaan (Potensi Desa, 2008) atau 75,410 desa dan sebagian besar penduduk miskin masih berada di perdesaan (19,93 juta jiwa dari 31,02 juta jiwa pada Maret tahun 2010), upaya pembangunan perdesaan merupakan sesuatu yang mutlak diperlukan.

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan perdesaan adalah: (1) belum optimalnya kebijakan dan program dari berbagai sektor yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap kehidupan masyarakat perdesaan. Salah satunya menyangkut kebijakan penguatan kapasitas, peran desa dan tata kelola kepemerintahan desa yang baik yang merupakan salah satu

prioritas pembangunan, yang hingga saat ini belum berjalan secara optimal dan perlu ditingkatkan sehingga diperlukan penyempurnaan dan penyiapan perangkat hukum yang mengatur desa; penguatan kemampuan perangkat desa ataupun anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang pada umumnya masih memiliki keterbatasan pendidikan, ataupun terkait dengan pelaksanaan fungsi dan pemahaman tentang desa; serta penyediaan dukungan penganggaran untuk desa; (2) kurang berkembangnya dan belum optimalnya mekanisme koordinasi antarpemangku kepentingan (stakeholder) termasuk pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, antarpemerintah daerah (provinsi, kabupaten/kota, dan desa), antarkementerian/lembaga (KL), dan pemerintah dengan nonpemerintah dalam pembangunan perdesaan; (3) kurang optimalnya keberpihakan dari kepemimpinan lokal, keberdayaan, peran serta, kapasitas dan kemandirian lembaga desa, masyarakat desa serta pemerintah desa, yang antara lain, ditunjukkan dengan: (a) belum optimalnya kapasitas aparat kabupaten/kota dan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya lokal; (b) kurangnya sumberdaya manusia berkualitas dalam pengembangan dan pelaksanaan teknologi perdesaan serta penerapan inovasi teknologi perdesaan untuk meningkatkan skala ekonomi masyarakat perdesaan sehingga perlu suatu upaya pembangunan terpadu melalui peningkatan peran serta masyarakat; dan (c) masih rendahnya pelayanan, penguatan dan pemantauan terhadap pengembangan perekonomian berbasis komunitas; (4) kurang optimalnya peran lembaga keuangan dan kredit mikro yang dapat memperkuat perekonomian dan modal yang dilihat dari: (a) belum optimalnya pengembangan ekonomi lokal di perdesaan yang ditandai oleh masih kurangnya akses dan pemanfaatan lembaga keuangan perdesaan seperti lembaga keuangan mikro dan kredit oleh masyarakat desa dalam upaya peningkatan kapasitas pengelolaan usaha ekonomi mikro di perdesaan; (b) kurangnya akses terhadap sarana prasarana pendukung pemasaran produksi dan distribusi barang dan jasa di perdesaan; (c) belum optimalnya pengembangan diversifikasi produk lokal nonpertanian sebagai penyangga mata pencaharian bagi masyarakat perdesaan; (d) terbatasnya akses dan pemanfaatan terhadap prasarana dan sarana ekonomi di perdesaan; (e) belum optimalnya hubungan antar daerah untuk bekerjasama menumbuhkan perekonomian masyarakat dalam

produksi, pemasaran dan distribusi produk lokal; (f) terbatasnya akses infrastruktur dan transportasi di wilayah tertinggal, terpencil, dan perbatasan; (g) belum optimalnya fungsi pasar desa karena kondisi fisik yang belum memadai dan kurang optimalnya kelembagaan pengelolaan pasar desa; dan (h) masih lemahnya tingkat investasi petani dalam meningkatkan nilai tambah hasil pertanian; (5) masih rendahnya pelayanan sarana dan prasarana di desa dan kawasan perdesaan yang ditandai oleh: (a) masih kurangnya akses dan pelayanan sarana dan prasarana sumber daya air bersih, air minum, dan permukiman yang layak dan sehat; (b) belum optimalnya fungsi sarana dan prasarana sumber daya air dalam memenuhi kebutuhan air irigasi dan air baku perdesaan serta pengendalian daya rusak air; (c) rendahnya akses dan pemanfaatan terhadap pelayanan transportasi khususnya untuk masyarakat miskin dan masyarakat yang tinggal di kawasan yang terpencil, terisolir, dan perbatasan termasuk sarana dan prasarana transportasi antarpulau kecil; (d) masih rendahnya sarana dan prasarana perdesaan untuk menunjang kehidupan sosial ekonomi masyarakat perdesaan; (e) masih belum memadainya fasilitas sistem ketenagalistrikan, jangkauan penyiaran televisi radio, layanan pos dan telekomunikasi, serta transportasi perdesaan mengingat keterbatasan kemampuan investasi terutama di daerah tertinggal; dan (f) sulitnya mencari ketersediaan energi primer non Bahan Bakar Minyak (BBM) yang ekonomis, mudah diperoleh, serta pembangkit yang mudah dikelola; dan (6) masih terbatasnya akses masyarakat perdesaan terhadap lahan ditandai oleh: (a) masyarakat perdesaan sebagian besar merupakan petani penggarap bukan pemilik lahan sehingga pendapatan yang diterima dari usaha pertanian lebih rendah dibandingkan pemilik lahan; (b) masih rendahnya tingkat sertifikasi tanah yang berakibat pada terbatasnya akses masyarakat perdesaan terhadap modal; dan (c) masih tingginya konflik pertanahan akibat aturan hukum yang mengatur pengelolaan pertanahan belum sepenuhnya memberikan jaminan kepastian hukum.

Adanya tantangan globalisasi dan otonomi daerah mengakibatkan pemerintah daerah harus selalu berusaha meningkatkan daya saing daerah. Hal ini disebabkan oleh daya saing Indonesia yang masih rendah dibandingkan dengan dengan negara Adanya tantangan globalisasi dan otonomi daerah mengakibatkan pemerintah daerah harus selalu berusaha meningkatkan daya saing daerah. Hal ini disebabkan oleh daya saing Indonesia yang masih rendah dibandingkan dengan dengan negara

Lemahnya keterkaitan ekonomi antardaerah/wilayah juga ditunjukkan dengan adanya kesenjangan ekonomi antarkabupaten dan kota, yang digambarkan dari besarnya rata-rata PDRB kota yang hampir dua kali lebih besar dari rata-rata PDRB kabupaten. Berdasarkan olahan data BPS tahun 2002-2006, kesenjangan tersebut terjadi lebih besar di Indonesia bagian barat, yaitu dengan rasio PDRB rata-rata kota terhadap kabupaten ialah 227 %, sedangkan di Indonesia bagian timur hanya sebesar 171 %. Hal ini menjelaskan bahwa di wilayah Indonesia Barat pertumbuhan ekonomi wilayah kota yang tinggi belum memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi di wilayah kabupaten sehingga terlihat adanya kesenjangan ekonomi yang besar antara wilayah kabupaten dengan wilayah kota di Indonesia bagian Barat bila dibandingkan dengan Indonesia bagian Timur. Oleh karena itu, pengembangan ekonomi lokal dan daerah sangat penting dilakukan untuk menjadi perekat keterkaitan antara kota-desa di dalam kabupaten dan propinsi, serta antara pusat-pusat pertumbuhan lokal dengan daerah belakangnya

Adapun masalah mendasar dalam pengembangan ekonomi lokal dan daerah pada tahun 2010 adalah sebagai berikut: pertama, rendahnya kapasitas tata kelola ekonomi daerah mencakup (a) dukungan peraturan dan perundangan yang berpihak dan tidak saling tumpang tindih yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik di pusat maupun di daerah, dalam upaya pengembangan ekonomi daerah masih kurang. Menurut Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) pada tahun 2008, daya tarik investasi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya faktor kepastian hukum yang berpengaruh sebesar 39 % terhadap daya tarik investasi daerah, faktor Peraturan Daerah sebesar 25 %, faktor aparatur sebesar 22 %, serta faktor keuangan daerah sebesar 14 %. Regulasi pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang saling tumpang tindih

dan bermasalah menimbulkan ketidakpastian hukum dan biaya ekonomi yang tinggi; (b) peran dan fungsi kelembagaan pengelolaan ekonomi daerah terutama di bidang permodalan dan perizinan usaha masih lemah. Kelembagaan usaha ekonomi daerah masih terkonsentrasi di wilayah Pulau Jawa dan Bali. Pada tahun 2008, 61,11 % nilai kredit usaha kecil rupiah berada di Pulau Jawa-Bali, sedangkan nilai kredit usaha kecil di Pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya sebesar ± 3 %; (c) akses pada data dan informasi potensi investasi daerah, serta penelitian pengembangan ekonomi daerah masih terbatas. Kurangnya dukungan data dan informasi menghambat pengetahuan pelaku ekonomi dalam hal produksi, pasar, teknologi, dalam upaya pengembangan ekonomi lokal dan daerah. Berdasarkan data International Academy of Chief Information Officer (IA-CIO), pada tahun 2009 e-Goverment Indonesia berada pada peringkat 23, yang masih berada di bawah Thailand (peringkat 21) dan Malaysia (peringkat 22). Ada enam kriteria yang digunakan dalam pemeringkatan itu yaitu kesiapan jaringan, pertemuan antarmuka, manajemen optimasi, portal nasional, CIO di pemerintahan, dan promosi e-Government; dan (d) efektivitas dan efisiensi pengelolaan ekonomi daerah masih kurang, disebabkan oleh belum optimalnya sistem monitoring dan evaluasi tata kelola ekonomi daerah.

Kedua, rendahnya kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan ekonomi daerah secara lintas sektor dan lintas wilayah mencakup (a) kapasitas sumber daya manusia aparatur daerah dalam mengelola ekonomi daerah secara lintas sektor masih rendah. Perhatian sumber daya manusia aparatur daerah dalam mengelola ekonomi daerah digambarkan, antara lain, melalui pengalokasian anggaran belanja/pengeluaran pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) untuk kegiatan investasi dan non-investasi, yang di tingkat provinsi, rata-rata pemerintah daerah provinsi hanya mengalokasikan anggaran untuk belanja kegiatan investasi (belanja modal) sebesar 28 % dari total belanja daerah, sisanya lebih banyak digunakan untuk kegiatan non-investasi, terutama belanja pegawai (BPS, 2007); (b) kompetensi sumberdaya manusia (SDM) pemangku kepentingan lokal/daerah (masyarakat dan pengusaha lokal/daerah) masih rendah. Pembangunan ekonomi lokal dan daerah kurang Kedua, rendahnya kapasitas sumber daya manusia dalam pengelolaan ekonomi daerah secara lintas sektor dan lintas wilayah mencakup (a) kapasitas sumber daya manusia aparatur daerah dalam mengelola ekonomi daerah secara lintas sektor masih rendah. Perhatian sumber daya manusia aparatur daerah dalam mengelola ekonomi daerah digambarkan, antara lain, melalui pengalokasian anggaran belanja/pengeluaran pemerintah daerah (provinsi dan kabupaten) untuk kegiatan investasi dan non-investasi, yang di tingkat provinsi, rata-rata pemerintah daerah provinsi hanya mengalokasikan anggaran untuk belanja kegiatan investasi (belanja modal) sebesar 28 % dari total belanja daerah, sisanya lebih banyak digunakan untuk kegiatan non-investasi, terutama belanja pegawai (BPS, 2007); (b) kompetensi sumberdaya manusia (SDM) pemangku kepentingan lokal/daerah (masyarakat dan pengusaha lokal/daerah) masih rendah. Pembangunan ekonomi lokal dan daerah kurang

Ketiga, rendahnya kapasitas lembaga dan fasilitasi dalam mendukung percepatan pengembangan ekonomi lokal dan daerah mencakup (a) fungsi lembaga-lembaga fasilitasi ekonomi daerah, baik di tingkat pusat maupun di daerah, baik dari segi kapasitas, jumlah maupun jangka waktunya kurang optimal. Hal ini terkait dengan terbatasnya fasilitasi yang diberikan, baik oleh pemerintah maupun nonpemerintah, dan kurang terintegrasinya fasilitasi yang diberikan kepada daerah dalam upaya pengembangan ekonomi lokal dan daerah; dan (b) kapasitas tenaga fasilitator pengembangan ekonomi lokal dan daerah masih terbatas, baik yang disediakan oleh pemerintah maupun oleh nonpemerintah. Beberapa program yang bersifat pemberdayaan masyarakat dan berorientasi kepada pengembangan ekonomi lokal dan daerah menyediakan tenaga fasilitator yang memiliki kemampuan/kompetensi yang terbatas di satu bidang saja, sedangkan kegiatan fasilitasi yang dibutuhkan bersifat menyeluruh, tidak terbatas di satu bidang saja. Dalam rangka pengembangan rantai nilai komoditas yang berorientasi pasar, pelaku usaha ekonomi lokal dan daerah membutuhkan pendampingan dari mulai tahap produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran.

Keempat, kurangnya kerjasama antardaerah dan kemitraan pemerintah-swasta dalam upaya pengembangan ekonomi lokal dan daerah mencakup (a) hubungan kerjasama antardaerah (lintas provinsi dan lintas kabupaten/kota) belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya perjanjian kerjasama antardaerah yang sudah ditandatangani, tetapi tidak diimplementasikan. Hal ini disebabkan, antara lain oleh (1) kurangnya dukungan legalitas dan peraturan teknis yang lengkap dalam implementasi kerjasama antardaerah yang menimbulkan keraguan dari pihak Pemerintah Daerah, baik dalam hal aspek pendanaan, kelembagaan, manajemen maupun sumber daya manusia; (2) kurangnya dukungan seluruh pemangku kepentingan dalam pembentukan dan pelaksanaan kerjasama antardaerah akibat kurangnya sosialisasi kerjasama antardaerah; (3) belum adanya lembaga mediator kerjasama antardaerah. Di lain pihak, adanya ego daerah turut menghambat terbentuknya hubungan kerjasama antardaerah; (b) kemitraan antara Pemerintah-Swasta dalam pengembangan ekonomi daerah rendah. Rendahnya kemitraan antara swasta dengan pemerintah daerah disebabkan oleh kurang kondusifnya iklim investasi di daerah dan kurangnya kesadaran pemerintah daerah untuk melibatkan swasta dalam pengembangan ekonomi daerah. Selain itu, adanya proses perizinan yang berbelit- belit membuat ikilm investasi dan usaha kurang kondusif. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, hingga awal tahun 2010 hanya 60 % daerah yang sudah melaksanakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) sebagai salah satu kegiatan dalam mempercepat proses perizinan untuk meningkatkan iklim investasi dan usaha.

Kelima, kurang meratanya pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah. Keenam, kurang bertumbuhnya pengembangan ekonomi lokal dan daerah terutama disebabkan oleh kurang meratanya pembangunan jaringan sarana prasarana pendukung kegiatan ekonomi lokal dan daerah, khususnya transportasi, energi, informasi dan telekomunikasi, serta air baku. Selain itu, kurang optimalnya jalur distribusi logistik menjadi persoalan yang mengakibatkan tersendatnya distribusi barang dan

komoditas nasional.

Permasalahan yang harus ditangani dalam penataan ruang terbagi menjadi empat bagian, yaitu: (a) belum lengkap dan serasinya peraturan perundangan yang diamanatkan yang terkait dengan UU No. 26 Tahun 2007. Sampai dengan Juli 2010, amanat UU No. 26 Tahun 2007 belum tersusun dengan lengkap termasuk di dalamnya adalah PP yang memuat: (1) kriteria dan tata cara penyusunan rencana tata ruang kawasan pertahanan; (2) penatagunaan air; (3) penatagunaan udara; (4) penatagunaan sumberdaya alam lainnya yang sangat terkait dengan peraturan sektor pengguna ruang; serta (5) belum serasinya peraturan perundangan sektoral yang terkait dengan UU No. 26 Tahun 2007; (b) belum lengkap dan detailnya data dan informasi untuk peningkatan kualitas perencanaan ruang dan untuk pemantauan pemanfaatan ruang; (c) masih terjadinya konflik pemanfaatan ruang antar sektor masih terjadi yang sebagian besar disebabkan oleh belum serasinya program pembangunan sektoral dengan rencana tata ruang wilayah juga pemekaran wilayah yang tidak didukung penataan ruang yang terencana dan kelembagaan penataan ruang yang handal; dan (d) masih belum cukup andalnya kelembagaan dan sumberdaya manusia di bidang penataan ruang untuk mendukung perencanaan dan pengendalian pemanfaatan ruang. Termasuk di dalamnya adalah mekanisme pengendalian dan keterbatasan jumlah penyelidik pegawai negeri sipil (PPNS) serta belum berfungsi-aktifnya Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) untuk mengoordinasikan perencanaan dan menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang antarsektor dan antarwilayah.

Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan data dan informasi spasial adalah belum seragamnya berbagai data dan informasi secara nasional, serta adanya tumpang tindih kegiatan survei dan pemetaan yang mengakibatkan tidak efektifnya percepatan penyediaan data dan informasi spasial. Di sisi lain pemanfaatan data dan informasi spasial yang telah tersedia kurang optimal dikarenakan masih belum memadainya infrastruktur data dan informasi spasial secara nasional. Adanya perbedaan standar teknis yang berbeda menyebabkan hasil survei dan pemetaan memiliki tingkat interoperabilitas yang rendah, serta sulit untuk digunakan Permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan data dan informasi spasial adalah belum seragamnya berbagai data dan informasi secara nasional, serta adanya tumpang tindih kegiatan survei dan pemetaan yang mengakibatkan tidak efektifnya percepatan penyediaan data dan informasi spasial. Di sisi lain pemanfaatan data dan informasi spasial yang telah tersedia kurang optimal dikarenakan masih belum memadainya infrastruktur data dan informasi spasial secara nasional. Adanya perbedaan standar teknis yang berbeda menyebabkan hasil survei dan pemetaan memiliki tingkat interoperabilitas yang rendah, serta sulit untuk digunakan

Dalam pengelolaan pertanahan, permasalahan utama yang dihadapi adalah sebagai berikut: (a) keterbatasan peta pertanahan yang hingga tahun 2009 baru mencapai kurang lebih 5 % dari total 188,99 juta hektar wilayah Indonesia sehingga pendaftaran tanah turut terkendala dan kurang terjaminnya kepastian lokasi serta hak atas tanah; (b) belum memadainya jumlah bidang tanah terdaftar. Hingga akhir tahun 2009 baru sekitar 39,68 juta bidang tanah atau 45,69% dari total sekitar 86,9 juta bidang tanah di Indonesia yang telah terdaftar. Kondisi tersebut menyebabkan belum memadainya kepastian hukum hak atas tanah, kurang terlindunginya hak-hak masyarakat atas tanah serta juga terbatasnya akses terhadap sumber- sumber permodalan; (c) ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) dapat dilihat dari masih terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat. Berdasarkan data BPS tahun 2009, sekitar 62-87 % aset ekonomi nasional yang meliputi tanah, tambak, kebun dan properti, hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 % penduduk Indonesia. Di sisi lain, rata-rata penguasaan tanah petani di Jawa saat ini diperkirakan hanya mencapai 0,2 hektar per rumah tangga pertanian. Ketimpangan tersebut tidak hanya mengurangi produktivitas dan kesejahteraan petani, tetapi juga memicu sengketa pertanahan. Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah telah dan akan terus mengambil langkah-langkah kebijakan strategis untuk mengurangi ketimpangan P4T tersebut; (d) banyaknya tanah-tanah terlantar baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan tidak hanya menyebabkan tanah menjadi tidak produktif tetapi juga tertutupnya akses masyarakat terhadap sumber produksi yang kerap berujung pada terjadinya sengketa tanah. Hingga akhir tahun 2008, telah diidentifikasi tanah yang terindikasi terlantar seluas 7,3 juta hektar. Oleh karena itu diperlukan penertiban dan pendayagunaan tanah- tanah terlantar; (e) maraknya kasus-kasus pertanahan yang disebabkan belum memadainya kepastian hukum hak atas tanah serta ketimpangan dalam P4T menyebabkan banyak terjadi konflik dan sengketa pertanahan. Pada tahun 2007 tercatat 7.491 kasus pertanahan dengan total luas 608.000 hektar dan potensi kerugian Dalam pengelolaan pertanahan, permasalahan utama yang dihadapi adalah sebagai berikut: (a) keterbatasan peta pertanahan yang hingga tahun 2009 baru mencapai kurang lebih 5 % dari total 188,99 juta hektar wilayah Indonesia sehingga pendaftaran tanah turut terkendala dan kurang terjaminnya kepastian lokasi serta hak atas tanah; (b) belum memadainya jumlah bidang tanah terdaftar. Hingga akhir tahun 2009 baru sekitar 39,68 juta bidang tanah atau 45,69% dari total sekitar 86,9 juta bidang tanah di Indonesia yang telah terdaftar. Kondisi tersebut menyebabkan belum memadainya kepastian hukum hak atas tanah, kurang terlindunginya hak-hak masyarakat atas tanah serta juga terbatasnya akses terhadap sumber- sumber permodalan; (c) ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T) dapat dilihat dari masih terkonsentrasinya pemilikan dan penguasaan tanah pada sekelompok kecil masyarakat. Berdasarkan data BPS tahun 2009, sekitar 62-87 % aset ekonomi nasional yang meliputi tanah, tambak, kebun dan properti, hanya dikuasai oleh sekitar 0,2 % penduduk Indonesia. Di sisi lain, rata-rata penguasaan tanah petani di Jawa saat ini diperkirakan hanya mencapai 0,2 hektar per rumah tangga pertanian. Ketimpangan tersebut tidak hanya mengurangi produktivitas dan kesejahteraan petani, tetapi juga memicu sengketa pertanahan. Berkenaan dengan hal tersebut, pemerintah telah dan akan terus mengambil langkah-langkah kebijakan strategis untuk mengurangi ketimpangan P4T tersebut; (d) banyaknya tanah-tanah terlantar baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan tidak hanya menyebabkan tanah menjadi tidak produktif tetapi juga tertutupnya akses masyarakat terhadap sumber produksi yang kerap berujung pada terjadinya sengketa tanah. Hingga akhir tahun 2008, telah diidentifikasi tanah yang terindikasi terlantar seluas 7,3 juta hektar. Oleh karena itu diperlukan penertiban dan pendayagunaan tanah- tanah terlantar; (e) maraknya kasus-kasus pertanahan yang disebabkan belum memadainya kepastian hukum hak atas tanah serta ketimpangan dalam P4T menyebabkan banyak terjadi konflik dan sengketa pertanahan. Pada tahun 2007 tercatat 7.491 kasus pertanahan dengan total luas 608.000 hektar dan potensi kerugian

Sementara itu, Penguatan Kapasitas Pemerintah Daerah masih menyisakan beberapa permasalahan yang dapat dibagi menjadi 5 bagian utama sesuai dengan program yang dilaksanakan. Permasalahan dalam Program Penataan Peraturan Perundang- Undangan Mengenai Desentralisasi dan Otonomi Daerah, yaitu: (a) ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan sektoral dan peraturan perundangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah; (b) masih banyak perda yang bermasalah dari sisi substansi dan proses; (c) belum rampungnya revisi UU No. 32 Tahun 2004; (d) masih belum optimalnya pelaksanaan desentralisasi di daerah-daerah yang memiliki karakteristik khusus dan istimewa karena masih ada beberapa peraturan pelaksana yang belum tersusun dan tersosialisasi. Permasalahan dalam Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah Daerah: (a) belum tersusunnya standar pelayanan minimal (SPM) oleh instansi pusat yang menangani urusan wajib; (b) belum optimalnya skema penyaluran dana dekonsentrasi dan tugas perbantuan; (c) belum optimalnya implementasi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah karena berbagai kendala teknis dan politis di daerah; (d) masih ditemukannya kelemahan dalam sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung; dan (e) belum mantapnya kelembagaan pemerintah daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Permasalahan untuk Program Peningkatan Profesionalisme Aparat Pemerintah Daerah adalah: (a) masih belum meratanya tingkat kompetensi atau kualitas dan pengelolaan atau pendayagunaan aparatur pemerintah daerah dan anggota DPRD dalam menjalankan tupoksinya, terutama di level kecamatan/kelurahan; (b) belum tersusunnya norma, standar, prosedur, dan pedoman sistem karier, sistem cuti, sistem asuransi, sistem remunerasi, serta pengelolaan aparatur pemerintah daerah; dan (c) belum rampung dan belum tersosialisasinya strategi besar (grand strategy) Penyelenggaraan Diklat. Permasalahan untuk

Program Peningkatan Kerjasama Antar-Pemerintah Daerah adalah: (a) masih belum dilihatnya potensi dan manfaat kerjasama antardaerah sebagai alternatif dalam penyelesaian konflik antardaerah, ataupun dalam upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat suatu daerah (ekonomi dan keuangan, pelayanan publik, pengelolaan sumber daya alam), dan/atau memiliki keterbatasan kapasitas untuk mewujudkannya; (b) belum ada insentif untuk mendorong daerah dalam melakukan kerjasama; (c) belum rampung dan tersosialisasikannya pelayanan administrasi terpadu di level kecamatan guna mencapai perbaikan kualitas layanan dan daya saing daerah.

Permasalahan yang terkait Program Penataan Daerah adalah: (a) belum selesainya strategi besar (grand strategy) tentang penataan daerah otonom dalam kerangka NKRI; (b) belum efektif sepenuhnya pelaksanaan PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tatacara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah karena PP No. 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah terbit setelah PP No. 78 Tahun 2007; dan (c) adanya keterbatasan dalam kemampuan keuangan negara dan keuangan daerah untuk membiayai penyediaan prasarana dan sarana pemerintahan di daerah otonom baru, termasuk pengelolaan aset daerah, penyediaan aparatur pemerintahan, dan batas wilayah. Permasalahan dalam Program Peningkatan Kapasitas Keuangan Pemerintah Daerah adalah: (a) belum optimalnya daya serap dana dan realisasi capaian fisik pelaksanaan dana perimbangan; (b) belum optimalnya perolehan pendapatan pajak dan retribusi daerah yang merupakan salah satu sumber penerimaan daerah justru pajak/retribusi yang ada mendorong biaya transaksi ekonomi tinggi; (c) belum optimalnya pemanfataan dan pengelolaan sumber-sumber alternatif penerimaan daerah seperti pinjaman daerah, aset daerah, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); (d) masih rendahnya jumlah dan kualitas SDM yang mempunyai kompetensi di bidang pengelolaan keuangan termasuk akuntansi dan juga keterbatasan dalam penguasaan teknologi informasi menjadi kendala dalam proses peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah; (e) belum optimalnya kualitas pengelolaan dan pelaporan keuangan daerah.

11.2 LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL PENTING YANG TELAH DICAPAI

Arah kebijakan pengembangan kawasan strategis ekonomi dalam RPJMN 2010-2014 adalah mendorong pembangunan kawasan strategis dan kawasan cepat tumbuh lainnya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang memiliki skala aktivitas ekonomi yang berorientasi daya saing nasional dan internasional sehingga dapat mengembangkan wilayah-wilayah tertinggal di sekitarnya dalam suatu ‘sistem wilayah pengembangan ekonomi’ yang sinergis melalui keterkaitan mata-rantai proses industri dan distribusi. Pembangunan KSN Ekonomi masih melanjutkan pengembangan 13 KAPET di 13 Provinsi (Tabel 11.1), 4 KPBPB di 2 Provinsi (Tabel

11.2) dan rencana 5 KEK yang yang lokasinya belum dapat disebutkan karena masih dalam tahap penyiapan PP turunan dari UU No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana tercantum dalam Prioritas 7 RPJMN 2010-2014 tentang Iklim Investasi dan Iklim Usaha.

TABEL 11.1

DAFTAR KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET)

No. Provinsi Lokasi KAPET dan Lingkup Wilayah

1 Aceh Banda Aceh Darussalam (Kota Sabang dan kab sekitar)

2 Nusa Bima (Kabupaten Bima, Kota Bima, dan Kabupaten Tenggara

Dompu)

Barat

3 Nusa MBAY (Kabupaten Ngada, Pulau Flores) Tenggara Timur

4 Kalimantan Khatulistiwa (Kota Singkawang, Kabupaten Barat

Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Kapuas Hulu)

5 Kalimantan DASKAKAB (Daerah Aliran Sungai Kahayan Tengah

Kapuan dan Barito - meliputi: Palangkaraya, Barito Utara, Barito Selatan, Kapuas

6 Kalimantan

Batulicin (Kab Kotabaru)

Selatan

7 Kalimantan SASAMBA (Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kab Timur

Kutai Kartanegara)

8 Sulawesi Manado-Bitung (Kota Manado, Kota Bitung, Kota Utara

Tomohon, Kabupaten Minahasa, dan Kabupaten Minahasa Utara)

9 Sulawesi PALAPAS (Palu, Donggala, Parigi Mountong, Sigi) Tengah

10 Sulawesi Pare Pare (Kab Parepare, Barru, Sidrap, Pinrang, Selatan

Enrekang)

11 Sulawesi BANK SEJAHTERA (Kota Kendari, Kabupaten Tenggara

Kolaka, Konawe, Kabupaten Pomalo)

12 Maluku Seram (Kab. Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Kabupaten Maluku Tengah)

13 Papua Teluk Cendrawasih (Kab Biak Numfor, Kab Yapen, Kab Waropen, Kab. Supiori, Kab Nabire)

Sumber: PP No. 26 Tahun 2008

TABEL 11.2 DAFTAR KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS (KPBPB)

No. Provinsi Lokasi KPBPB

1 Aceh Sabang

2 Kepulauan Batam

Riau

Bintan Karimun

Sumber: PP No. 26 Tahun 2008 Hasil sementara yang telah dicapai sampai dengan Juli 2010

untuk pembangunan KSN Ekonomi khusus untuk KAPET adalah: (a) diselenggarakannya sosialisasi, konsolidasi, Rapat Kerja antarKL dan antar Badan Pelaksana (BP) KAPET se-Indonesia untuk revitalisasi pengelolaan KAPET yang menghasilkan Raperpres tentang KAPET yang dipersiapkan oleh Tim Revitalisasi KAPET. Raperpres ini sudah disampaikan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, selaku Ketua Badan Pengembangan KAPET, pada Tahun 2009 dengan target pengesahan 2010, namun sampai saat ini belum disahkan; (b) sedang disusunnya RTR KAPET beserta Raperpres tentang RTR KAPET yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum; (c) ditegaskannya komitmen untuk mendukung KAPET: Kementerian Pekerjaan Umum melalui Program P2KAPET, Kementerian Dalam Negeri melalui Program Penguatan Kelembagaan Pemda, dan BKPM melalui program pengembangan promosi investasi, sampai saat ini belum ada bentuk dukungan dari KL lain. Untuk KPBPB telah dilakukan: (a) sosialisasi, konsolidasi, rapat antar KL terkait Badan Pengusahaan KPBPB Sabang yang menghasilkan RPP tentang Pelimpahan Kewenangan Perijinan Investasi KPBPB Sabang sejak Tahun 2009 namun Rancangan PP tersebut sampai saat ini belum disahkan, (b) pembahasan alokasi anggaran untuk pembangunan KPBPB Sabang, Batam, Bintan dan Karimun Tahun 2010 dan 2011 yang selama ini dibiayai dengan Anggaran 999 Kementerian Keuangan. Saat ini untuk pembangunan KSN Ekonomi khusus untuk KAPET adalah: (a) diselenggarakannya sosialisasi, konsolidasi, Rapat Kerja antarKL dan antar Badan Pelaksana (BP) KAPET se-Indonesia untuk revitalisasi pengelolaan KAPET yang menghasilkan Raperpres tentang KAPET yang dipersiapkan oleh Tim Revitalisasi KAPET. Raperpres ini sudah disampaikan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, selaku Ketua Badan Pengembangan KAPET, pada Tahun 2009 dengan target pengesahan 2010, namun sampai saat ini belum disahkan; (b) sedang disusunnya RTR KAPET beserta Raperpres tentang RTR KAPET yang dilaksanakan oleh Kementerian Pekerjaan Umum; (c) ditegaskannya komitmen untuk mendukung KAPET: Kementerian Pekerjaan Umum melalui Program P2KAPET, Kementerian Dalam Negeri melalui Program Penguatan Kelembagaan Pemda, dan BKPM melalui program pengembangan promosi investasi, sampai saat ini belum ada bentuk dukungan dari KL lain. Untuk KPBPB telah dilakukan: (a) sosialisasi, konsolidasi, rapat antar KL terkait Badan Pengusahaan KPBPB Sabang yang menghasilkan RPP tentang Pelimpahan Kewenangan Perijinan Investasi KPBPB Sabang sejak Tahun 2009 namun Rancangan PP tersebut sampai saat ini belum disahkan, (b) pembahasan alokasi anggaran untuk pembangunan KPBPB Sabang, Batam, Bintan dan Karimun Tahun 2010 dan 2011 yang selama ini dibiayai dengan Anggaran 999 Kementerian Keuangan. Saat ini

Arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan periode 2010—2014 adalah mempercepat pembangunan kawasan perbatasan di berbagai bidang sebagai beranda depan negara dan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga secara terintegrasi dan berwawasan lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjamin pertahanan keamanan nasional.

Hingga Juni 2010 beberapa langkah strategis yang telah dilakukan khususnya untuk meningkatkan sinergisme dan koordinasi antarsektor, pusat-daerah, serta dengan negara tetangga dalam pengelolaan kawasan perbatasan sebagai peletakan dasar membangun halaman depan Negara, antara lain, adalah (a) mengupayakan pembentukan lembaga khusus di tingkat pusat yang bertugas untuk melakukan perencanaan, koordinasi, dan evaluasi dalam pembangunan kawasan perbatasan; (b) mengintensifkan koordinasi antar sektor dalam perumusan kebijakan maupun pelaksanaan program dan kegiatan KL agar semakin berpihak kepada pembangunan kawasan perbatasan; (c) memperkuat kerjasama dengan negara tetangga di berbagai bidang. Upaya ini dilakukan melalui penerbitan Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai tindak lanjut dari UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara; (d) koordinasi penyusunan dan pelaksanaan rencana aksi percepatan pembangunan daerah tertinggal di kawasan perbatasan melalui tim pokja Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (KPDT); serta (e) pelaksanaan Hingga Juni 2010 beberapa langkah strategis yang telah dilakukan khususnya untuk meningkatkan sinergisme dan koordinasi antarsektor, pusat-daerah, serta dengan negara tetangga dalam pengelolaan kawasan perbatasan sebagai peletakan dasar membangun halaman depan Negara, antara lain, adalah (a) mengupayakan pembentukan lembaga khusus di tingkat pusat yang bertugas untuk melakukan perencanaan, koordinasi, dan evaluasi dalam pembangunan kawasan perbatasan; (b) mengintensifkan koordinasi antar sektor dalam perumusan kebijakan maupun pelaksanaan program dan kegiatan KL agar semakin berpihak kepada pembangunan kawasan perbatasan; (c) memperkuat kerjasama dengan negara tetangga di berbagai bidang. Upaya ini dilakukan melalui penerbitan Perpres No. 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) sebagai tindak lanjut dari UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara; (d) koordinasi penyusunan dan pelaksanaan rencana aksi percepatan pembangunan daerah tertinggal di kawasan perbatasan melalui tim pokja Percepatan Pembangunan Wilayah Perbatasan (P2WP) Kawasan Produksi Daerah Tertinggal (KPDT); serta (e) pelaksanaan