Metode Penelitian : Penelitian bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN INSOMNIA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN DOKTER UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

SKRIPSI Untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Novita Dwi Cahyanti G.0008142

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011

commit to user

ABSTRAK

Novita Dwi Cahyanti, G0008142, 2011. Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Insomnia pada Mahasiswa Pendidikan Dokter, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Surakarta.

Tujuan Penelitian : untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Metode Penelitian : Penelitian bersifat deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Subyek penelitian adalah seluruh mahasiswa pendidikan dokter preklinik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sampel yang digunakan sebanyak 361 orang dari 628 mahasiswa preklinik pendidikan dokter angkatan 2008 hingga 2010 Universitas Sebelas Maret Surakarta. Sampel diambil secara total sampling setelah diseleksi dengan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu melalui screening test, dan tes L-MMPI. Teknik pengumpulan data menggunakan skala pengukuran TMAS, dan skala IRS yang diberikan langsung pada subyek. Data tingkat kecemasan dan insomnia yang diperoleh dianalisis menggunakan uji koefisien kontingensi dengan program SPSS 16.0 for Windows karena terdapat distribusi data yang tidak normal.

Hasil Penelitian : Hasil analisis data menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa program studi pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta(C = 0,016; p > 0,05).

Simpulan Penelitian : Tidak terdapat hubungan yang bermakna tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa program pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Kata kunci : kecemasan, insomnia, mahasiswa pendidikan dokter

1 Fakultas Kedokeran Universitas Sebelas Maret Surakarta 2,4 SMF Kedokteran Jiwa RSUD. Dr. Moewardi Surakarta

3 SMF THT RSUD. Dr. Moewardi Surakarta

5 Departemen Biologi Fakultas Kedokeran Universitas Sebelas Maret Surakarta

commit to user

ABSTRACT

Novita Dwi Cahyanti, G0008142, 2011. Level of Anxiety Differences between Insomnia collegian medical, Sebelas Maret University, Surakarta.

Objective: to determine whether there is any difference in the degrees of anxiety with insomnia medical collegian, Sebelas Maret University Surakarta.

Methods: The study is descriptive analytic with cross sectional approach. The subjects are collegian medical, Medical Faculty Sebelas Maret University Surakarta. 361 people from 628 student faculty preclinical medical student at 2008 until 2010. The sample was taken in total sampling methods after being selected based on specific inclusive and exclusive criterion through screening test, and L-MMPI test. The data collection techniques used was TMAS anxiety scale and Insomnia Rating Scale that was provided directly to the subject. The degrees of anxiety data and insomnia data was analyzed by unpaired test using SPSS 16.0 for Windows with Coefficient Contingency.

Results: The result of data analysis shows that there are no correlation of anxiety with insomnia what the medical faculty Sebelas Maret University Surakarta (C = 0,016; p > 0,05).

Conclusion: There are no correlation in the degrees of anxiety with insomnia medical collegian, medical faculty Sebelas Maret University Surakarta.

Key words : anxiety, insomnia, medical collegian

1 Faculty of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta, Indonesia 2,4 SMF Psychical Medicine, Hospital Dr. Moewardi, Surakarta, Indonesia

3 SMF THT, Hospital. Dr. Moewardi, Surakarta, Indonesia

5 Departement of Biology, Faculty of Medicine, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia

commit to user

H. Rancangan Penelitian .............................................................

33

I. Instrumen Penelitian .............................................................. 34 J. Cara Kerja .............................................................................

34 K. Teknik Analisis Data ............................................................

36

BAB IV HASIL PENELITIAN .............................................................

37

BAB V PEMBAHASAN ......................................................................

45

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan ..............................................................................

51

B. Saran ....................................................................................

51

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

commit to user

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Deskripsi Populasi Sumber Responden Penelitian Berdasar Jumlah.. 38

Tabel 2. Deskripsi Responden Penelitian Gugur.........................................

39

Tabel 3. Data Demografi Responden...........................................................

39

Tabel 4. Data Responden Berdasar Klasifikasi Kecemasan......................... 40 Tabel 5. Data Responden Berdasar Klasifikasi Insomnia............................. 40 Tabel 6. Data Demografi dengan Kecemasan............................................... 41 Tabel 7. Hasil Normalitas Data..................................................................... 41 Tabel 8. Data Responden Insomnia dengan Berbagai Derajat Kecemasan... 42 Tabel 9. Uji Normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov................................. 43 Tabel 10. Perhitungan Analisis Statistik.......................................................... 43

commit to user

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran ...................................................

29

Gambar 2. Skema Rancangan Penelitian ..................................................

34

commit to user

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Lembar Persetujuan dan Formulir Biodata Responden Lampiran 2. Kuesioner L-MMPI Lampiran 3. Kuesioner TMAS Lampiran 4. Kuesioner IRS Lampiran 5. Data Hasil Penelitian Lampiran 6. Hasil Statistik dan Hasil Uji Hipotesis

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kecemasan merupakan keadaan psikiatri yang paling sering ditemukan di seluruh dunia maupun dalam praktek psikiatri. Pengalaman kecemasan memiliki dua komponen kesadaran sensasi fisiologis dan kesadaran bahwa ia gugup atau takut. National Comorbidity Study melaporkan bahwa prevalensi kecemasan 17,7% dalam 12 bulan. Juga diketahui bahwa prevalensi kecemasan seumur hidup pada perempuan 30,5%, dan laki-laki 19,2%. Kecemasan bersifat kompleks dan misterius (Sadock, 2010). Kecemasan bisa berupa perasaan gelisah yang bersifat subjektif, sejumlah perilaku (tampak khawatir dan gelisah), atau respon fisiologis yang bersumber di otak dan tercermin dalam bentuk denyut jantung yang meningkat dan otot yang tegang. Tanda gangguan kecemasan menyeluruh adalah ketegangan otot, agitasi mental, rawan mengalami keletihan, iritabilitas, dan gangguan tidur (Barlow dan Durand, 2006).

Salah satu tanda gangguan kecemasan menyeluruh yang disebutkan di atas, yaitu gangguan tidur. Pemakaian istilah insomnia sangatlah longgar dipakai dalam menerangkan gangguan tidur. Gejala insomnia baru diketahui setelah diadakan anamnesis yang lebih rinci. Terjadinya insomnia merupakan sindrom gangguan tidur pada kecemasan (Nasution, 2007). Insomnia yang dialami oleh orang yang cemas adalah sulit masuk tidur, mimpi yang menakutkan, sering terkejut saat bangun, dan tidur tidak nyenyak (Maramis, 2005). Gejala awal sindrom kecemasan dapat dikenali dengan memperhatikan

commit to user

keluhan somatis pasien kecemasan, yaitu gangguan masuk tidur (Mudjaddid, 2007). Sedangkan, menurut Sadock tahun 2010 menyatakan bahwa suatu periode singkat insomnia paling sering disebabkan kecemasan yang merupakan gejala sisa suatu pengalaman yang mencetuskan kecemasan dan respon asosiatif, seperti ujian yang akan berlangsung (Sadock, 2010). Pengalaman hidup (life experiences) di lingkungan dengan tingkat stres yang tinggi menyebabkan individu menjadi mudah cemas (Fricchione, 2004).

Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa insomnia sebagai gejala awal ataupun gejala sisa dari pengalaman yang mencetuskan kecemasan, tidur merupakan kebutuhan bagi setiap orang. Tidur memilik fungsi homeostatik yang bersifat menyegarkan dan penting untuk termoregulasi normal dan penyimpanan energi. Tidur merupakan suatu keadaan berulang, teratur, mudah reversible yang ditandai dengan keadaan relatif tidak bergerak dan tingginya peningkatan ambang respon terhadap stimulus eksternal dibandingkan keadaan terjaga yang tergantung pada ritme intrinsik sistem retikular atau siklus bangun tidur-bangun (Sadock, 2010 dan Ginsberg, 2008). Jadi, tidur merupakan keadaan fisiologis dan dibutuhkan oleh setiap makluk hidup.

Penulis berminat mengetahui hubungan tingkat kecemasan dan insomnia pada mahasiswa oleh karena adanya perbedaan pendapat juga banyaknya misteri tentang terjadinya kecemasan dan insomnia. Pemilihan populasi penelitiannya adalah program pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan alasan tingginya stresor selama masa pendidikan. Pengalaman hidup (life experiences) di lingkungan dengan tingkat stres yang tinggi menyebabkan individu menjadi mudah cemas (Fricchione, 2004). Hal

commit to user

ini akan meningkatkan kemungkinan terjadinya kecemasan ataupun insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter untuk mencapai target nilai minimal B. Dan juga, adanya hasil penelitian insiden insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret tahun 1998 sekitar 30 % (Saraswati, 1998). Penelitian lain diketahui bahwa tidak ada perbedaan signifikan insiden insomnia pada mahasiswa maupun mahasiswi pendidikan dokter fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta (Hatmitasari, 2005). Penelitian tentang hubungan tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter fakultas kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta belum pernah diteliti. Oleh karena itu, penulis ingin sekali membuktikan adanya hubungan tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter.

B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan Umum : Penelitian ini berusaha untuk mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tujuan Khusus :

1. Mengetahui tingkat kecemasan mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret

2. Mengetahui banyaknya kejadian insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret

commit to user

3. Mengidentifikasi jenis insomnia yang ditemukan saat penelitian pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret

D. Manfaat Penelitian

Manfaat Teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah tentang hubungan tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut tentang insomnia, dan kecemasan. Manfaat Praktis

1. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan deteksi kecemasan dan insomnia pada mahasiswa di Surakarta

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai sumber informasi dalam menyikapi dan menangulangi kecemasan dan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter fakultas kedokteran

commit to user

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Kecemasan

a. Definisi Kecemasan

1) Keadaan tegang yang berlebihan tidak pada tempatnya yang ditandai perasaan khawatir, tidak menentu, atau takut (Maramis, 2009).

2) Sinyal adanya bahaya pada ketidaksadaran (Sadock, 2010).

3) Respon terhadap suatu ancaman yang sumbernya tidak diketahui, internal, samar-samar, dan konfliktual (Kaplan, Sadock, dan Grebb, 1997).

4) Cemas yang terus-menerus atau suasana hati cemas yang tidak dapat dikaitkan atau tidak proporsional terhadap rangsang psikososial, stresor, atau peristiwa (Murtagh, 2003).

5) Suasana perasaan yang ditandai gejala-gejala jasmaniah, seperti insomnia.

b. Epidemiologi Kecemasan

National Comorbidity Study melaporkan bahwa satu di antara empat orang yang memenuhi kriteria, sedikitnya satu orang mengalami anxietas. Angka prevalensi kecemasan yang diteliti

selama 12 bulan sebesar 17,7 %. Perempuan (prevalensi seumur hidup 30,5 %) lebih cenderung mengalami anxietas daripada laki- laki(prevalensi seumur hidup 19, 2%). Sebuah meta-analisis terhadap 46 studi menemukan bahwa sekitar 17% orang suatu saat

commit to user

pernah mengalami kecemasan (Pinel, 2009). Prevalensi ansietas cenderung menurun dengan meningkatnya status sosial ekonomi (Sadock, 2010). Sekitar dua pertiga individu penderita kecemasan menyeluruh adalah perempuan, baik dalam sampel klinis maupun dalam studi-studi epidemiologi (Barlow dan Durand, 2006). Prevalensi kecemasan di pelayanan kesehatan primer adalah ansietas menyeluruh adalah 7,9 %, dan panik atau agorofobia 2,6 %. Perkiraan prevalensi kecemasan di masyarakat (per1000 orang) adalah ansietas menyeluruh 30, panik atau agorofobia 20, fobia sosial 30, fobia sederhana 45, dan obsesif compulsif (yang tidak terkomorbid dengan anxietas lain) 10 (Maramis, 2009). Pengertian dari istilah kecemasan di atas, yaitu :

1) Ansietas menyeluruh adalah kecemasan berlebihan dialami hampir sepanjang hari yang berlangsung selama sedikitnya enam bulan (Sadock, 2010)

2) Panik adalah serangan panik tidak terduga dan spontan yang terdiri atas periode rasa takut intens sampai sedikit serangan selama satu tahun (Sadock, 2010)

3) Agorofobia adalah rasa takut sendirian di tempat umum atau tempat sulit untuk keluar (Sadock, 2010)

4) Fobia sosial adalah rasa takut yang kuat dan menetap akan situasi yang menimbulkan rasa malu (Sadock, 2010).

5) Obsesif kompulsif adalah pikiran atau sensasi berulang untuk melakukan perilaku yang disadari, dan standar secara berulang (Sadock, 2010).

commit to user

c. Etiologi Kecemasan

Kontribusi ilmu psikologis, ilmu biologis, studi pencitraan otak, studi genetik, pertimbangan neuroanatomis menyumbang teori tentang penyebab anxiety. Teori tersebut memiliki kegunaan dalam terapi anxiety. Teori tersebut, yaitu :

1) Teori ilmi psikologis: Teori psikoanalitik, teori perilaku- kognitif, dan teori eksistensial.

2) Teori ilmu biologi: Sistem saraf otonom, neurotransmitter, norepinefrin, serotonin, GABA, dan aplysia.

3) Pertimbangan Neuroanatomis: System limbic, dan korteks serebri (Sadock,2010).

Terjadinya kecemasan juga dipengaruhi oleh faktor-faktor, yaitu :

1) Faktor biologis: kerentanan yang diturunkan untuk mengalami kecemasan dan aktivitas sirkuit–sirkuit otak, neurotransmitter, dan sistem neurohormonal tertentu (Barlow dan Durand, 2006). Faktor keturunan: orang tua yang menderita gangguan neurotik cenderung mewariskan sifat tersebut yang nantinya menghambat perkembangan kepribadian anak (Maramis, 2005 dan Fricchione, 2004).

2) Faktor perilaku: perilaku menghindar terhadap berbagai situasi.

3) Faktor emosional kognitif : sensitivitas meningkat terhadap situasi atau orang-orang yang dipersepsikan sebagai ancaman (Barlow dan Durand, 2006).

4) Pengalaman hidup (life experiences) di lingkungan dengan tingkat stres yang tinggi menyebabkan individu menjadi mudah

commit to user

cemas, misal kekerasan, kejahatan, kemiskinan, hinaan, dan stres (Fricchione, 2004).

5) Obat-obatan: obat simpatomimetik, seperti amfetamin, kokain, dan kafein juga obat serotonergik (LSD, MDMA), kortikosteroid, gingseng, rokok, dan alkohol dapat menyebabkan sindrom kecemasan akut maupun kronis (Sadock, 1997).

6) Keadaan medis: gangguan kecemasan yang disebabkan oleh keadaan medis biasanya dialami pada usia 35 tahun (Frechione, 2004). Gangguan yang sering disertai kecemasan adalah gangguan neurologis, gangguan endokrin, gangguan

kardiovaskuler, defisiensi vitamin B 12 , hipoglikemi, dan

depresi (Sadock, 1997).

7) Pasca kejadian trauma: perpisahan selama masa anak-anak dapat mempengaruhi sistem saraf yang sedang berkambang sehingga anak rentan terhadap kecemasan pada masa dewasanya, misal kejadian kematian, maupun riwayat perpisahan orang tua. Kejadian traumatik lain, seperti bencana alam, peperangan, dan kecelakaan dapat menyebabkan stres dan gejala kecemasan (Sadock, 1997 dan Yehuda, 2002)

8)

Faktor sosial: dukungan sosial mengurangi reaksi fisik dan emosional terhadap pemicu kecemasan atau stres. Kurangnya dukungan sosial mengintensifkan gejala (Barlow dan Durand, 2006).

commit to user

9)

Faktor-faktor psikologis: kegelisahan, ketakutan, perasaan bersalah, dan perasaan cemas atau stres sebagai antisipasi terhadap peristiwa-peristiwa yang akan datang (Semiun, 2010a).

d. Jenis-jenis Kecemasan

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi

4 teks revisi yang biasa disebut DSM-IV-TR (Sadock, 2010). Klasifikasi gangguan kecemasan menurut DSM-IV-TR, yaitu kecemasan umum, kecemasan berhubungan dengan kondisi medis, serangan panik, panik dengan atau tanpa agoraphobia (rasa takut sendirian di tempat umum atau tempat sulit untuk keluar), agoraphobia dengan atau tanpa riwayat panik, spesifik phobia, phobia sosial, obsesi kompulsif, post-traumatic stress disorder, dan stres akut (Sadock, 2010 dan Murtagh, 2003).

Berikut respon fisik, kognitif, dan emosional berdasar tingkat kecemasan, yaitu : Tingkat Anxietas

Respon Fisik

Respon Kognitif

Respon Emosional

Ringan 1. Tegang otot ringan

2. Rileks dan sedikit gelisah

3. Penuh perhatian

4. Rajin

a. Tenang, percaya diri

b. Sedikit rasa gatal

c. Waspada banyak hal

d. Tingkat

belajar

optimal

1) Perilaku otomatis

2) Sedikit tidak sabar

3) Terstimulasi

4) Tenang

commit to user

Sedang 1. Tegang otot sedang

3. Pupil dilatasi dan mulai berkeringat

4. Suara bergetar, nada suara tinggi

5. Tegang

6. Sering berkemih, pola tidur berubah

a. Tidak

perhatian

secara selektif

b. Fokus stimulus meningkat

c. Perhatian turun

d. Penyelesaian masalah menurun

1) Tidak nyaman

2) Mudah tersinggung

3) Tidak sabar

Berat

1. Tegang otot yang berat

2. Hiperventilasi

3. Kontak mata buruk

4. Keringat banyak

5. Bicara cepat, nada tinggi

a. Sulit berpikir

b. Penyelesaian masalah buruk

c. Egosentris

d. Tidak

mampu

mempertimbangkan informasi

e. Preokupasi dengan pikiran sendiri

1) Sangat cemas

5) Merasa tidak adekuat

6) Menarik diri

7) Penyalahan

8) Ingin bebas Panik

1. Flight, fight, atau freeze

2. Ketegangan

otot

sangat berat

3. Agitasi motorik kasar

a. Pikiran tidak logis, terganggu

b. Pribadi kacau

c. Tidak dapat menyelesai

1) Merasa terbebani

2) Merasa tidak mampu atau tidak berdaya

3) Lepas kendali

4) Mengamuk, putus asa

commit to user

4. Pupil dilatasi, tanda vital

meningkat

kemudian menurun

5. Tidak dapat tidur

6. Hormon

stres

neurotransmitter turun

7. Mulut menganga

kan masalah

d. Fokus pada pikiran sendiri

e. Tidak rasional

f. Sulit memahami stimulus eksternal

g. Halusinasi, ilusi, dan waham dapat terjadi

5) Marah, sangat takut

e. Patofisiologi

Kecemasan adalah respon dari persepsi terancam yang diterima oleh sistem saraf pusat akibat adanya rangsangan berupa pengalaman masa lalu dan faktor genetik. Rangsang tersebut dipersepsikan oleh panca indra, diteruskan dan direspon oleh sistem saraf pusat melibatkan, yaitu Cortex cerebri diteruskan ke Limbic system lalu ke Reticular Activating system kemudian ke Hypothalamus yang memberikan impuls kepada kelenjar adrenal, selanjutnya memacu sistem saraf otonom melalui mediator yang lain. Kecemasan menyeluruh menunjukkan adanya gangguan reseptor serotonin, yaitu 5 HT-1A. Sistem limbic terletak diensefalon, terdiri atas hipokampus, girus singuli, dan nukleus amigdala yang merupakan sentrum integrasi emosi (Mudjadid, 2007).

commit to user

f. Gejala Kecemasan

Ciri-ciri fisik kecemasan

Ciri-ciri behavioural kecemasan

Ciri-ciri kognitif kecemasan

Gelisah, gugup, gemetar, sensasi pita ketat di dahi, banyak

berkeringat,

pening, mulut

sulit bicara, sulit nafas, nafas pendek, jantung berdebar kencang, suara bergetar, jari atau anggota badan menjadi dingin, pusing, merasa cemas atau mati rasa, panas dingin, diare, wajah terasa merah, dan mudah marah

Perilaku menghindar, perilaku melekat atau dependent, dan perilaku terguncang

keyakinan suatu yang mengerikan akan terjadi, terpaku atau lebih sensitif terhadap sensasi tubuh, takut hilang kontrol, pikiran yang aneh-aneh,

dan sulit

konsentrasi

(Nevid, 2005)

g. Kriteria Diagnosis

Kecemasan umum memiliki kriteria, yaitu memiliki tiga atau lebih dari sifat lekas marah, gelisah, tegang, mudah lelah, kesulitan konsentrasi atau pikiran kosong, ketegangan, dan insomnia. Diagnosis berdasar riwayat pasien penting dengan saksama mendengar yang dikatakan pasien, kecuali pasien dengan gangguan organik distimulasi dengan sejarah (Murtagh, 2003).

commit to user

Fitur-fitur kecemasan menyeluruh berdasar kriteria DSM-IV-TR meliputi, yaitu :

1) Kecemasan dan kekhawatiran eksesif selama enam bulan atau lebih, tentang sejumlah kejadian atau aktivitas

2) Kesulitan dalam mengontrol kekhawatiran

3) Menunjukkan minimal tiga di antara gejala-gejala, yaitu :

a) Kegelisahan atau perasaan tegang

b) Menjadi mudah lelah

c) Sulit berkonsentrasi

d) Iritabilitas

e) Ketegangan otot, juga insomnia

4) Distres atau hendaya yang signifikan

5) Kecemasan tidak terbatas pada sebuah isu tertentu (Barlow dan Durand, 2006).

h. Penatalaksanaan

Persamaan semua penatalaksanaan dengan pendekatan psikologis adalah mendorong pasien untuk menghadapi sumber kecemasan. Di bawah ini contoh penatalaksaan berdasar beberapa teori, yaitu :

1) Perspektif biologis terfokus pada penggunaan obat-obatan untuk meredam simptom kecemasan.

2) Teori psikodinamis lebih menjajaki sumber kecemasan yang berasal dari keadaan sekarang, dan mendorong pasien mengembangkan tingkah yang adaptif.

commit to user

3) Pendekatan humanistik bertujuan untuk memahami orang, dan mengekspresikan

bakat serta perasaannya yang

sesungguhnya.

4) Penggunaan obat dapat menyebabkan ketergantungan, sindrom putus obat, dan masalah potensial oleh karena itu dikombinasikan dengan terapi kognitif-behavioural (Nevid, 2005).

2. Insomnia

a. Definisi Insomnia

1) Kesulitan memulai dan mempertahankan tidur. Keluhan insomnia paling lazim ditemui bersifat sementara atau menetap. Insomnia melibatkan dua masalah yang kadang dapat dipisahkan, tetapi sering berkaitan, yaitu tegangan somatisasi serta ansietas, dan respon asosiatif yang dipelajari (Sadock, 2010).

2) Keadaan sulit tidur, sulit mempertahankan tidur, sering bangun ketika tidur, dan bangun tidur terlalu dini (Lumbantobing, 2004).

3) Seseorang secara terus-menerus mengalami kesulitan tidur atau bangun lebih cepat. Ini mungkin muncul sporadic sebagai akibat reaksi terhadap perasaan yang meluap-luap atau gangguan emosional, atau mungkin sebagai ciri khas tidur seseorang yang menetap (Semiun, 2010b).

4) Kesulitan tertidur, kesulitan tetap tidur, kesulitan memulai tidur, atau bangun lebih awal. Pada banyak kasus, hal ini terjadi oleh karena masalah pribadi masa lalu, namun kadang ter jadi tanpa alasan (Murtagh, 2001).

commit to user

5) Gangguan tidur atau perubahan tidur nyata dapat dilihat pada pola tidur (Ibrahim, 2004).

b. Epidemiologi (Prevalensi dan Insiden Insomnia) Prevalensi perkiraan menunjukkan bahwa sekitar sepertiga dari populasi (Morin,Bootzin, & Buysse dkk., 2006). Mereka yang tidur secara inadekuat ternyata 10 % hingga 20 % menderita insomnia kronik (Dracup dan Bryan, 2000). Insomnia biasanya terjadi pada perempuan, setengah baya dan orang yang lebih tua, dewasa, pekerja shift,dan pasien dengan gangguan medis atau kejiwaan (Morin,Bootzin,Buysse dkk., 2006). Menurut penelitian insiden insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret sekitar 30 % (Saraswati, 1998). Insiden insomnia pada mahasiswa dan mahasiswi pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (Hatmitasari, 2005).

Studi menunjukkan insomnia meningkatkan morbiditas, hendaya fungsional, dan penggunaan pelayanan kesehatan. Studi tahun 2002 pada lebih dari satu juta laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa orang yang tidur lebih dari 8,5 jam atau kurang dari 3,5 jam setiap malam memiliki angka mortalitas 15 % lebih besar daripada orang yang tidur selama 7 jam setiap malam (Sadock, 2010).

c. Etiologi Berbagai penyebab insomnia yang jika ditangani dengan baik dapat mengatasi insomnia tanpa perawatan medis menggunakan obat- obatan hipnotik. Penyebab insomnia, yaitu :

commit to user

1) Faktor lingkungan: kebisingan, suhu yang ekstrem, dan ventilasi yang buruk.

2) Lifestyle factor, seperti shift kerja dan stres yang dialami seseorang

3) Penyakit: asma tidak terkontrol, penyakit paru ostruksi kronis, gagal jantung, hipertiroidisme, demensia, skizofrenia, kecemasan, dan depresi atau gejala menopause.

4) Obat-obatan, termasuk symphatomimetics inhibitor reuptake serotonin selective, beta blocker, hormon tiroid, kortikosteroid, kafein, teofilin, dan alkohol.

5) Obat yang secara tidak langsung menyebabkan insomnia adalah pemberian diuretik pada malam hari, dan terjadinya hipoglikemia atau insulin setelah batuk terus-menerus karena efek angitension- converting enzyme inhibitor.

6) Efek putus obat yaitu nikotin, alkohol, antidepresan, hipnotik, opioid, ganja, ekstasi, amfetamin, dan MDMA (3,4 methylenedioxymethamfetamine ) atau ekstasi (Randall dan Karen, 2003). Selain itu, faktor lain yang erat kaitannya dengan insomnia adalah depresi, kecemasan, stres, lingkungan yang menyulitkan tidur, perokok berat, dan tidur siang hari (Lumbantobing, 2004).

d. Pengaturan Tidur Sebenarnya pusat pengendalian tidur tidak sederhana, melainkan terdapat sejumlah sistem kecil terutama pada batang otak akan saling mengaktifkan dan menghambat satu sama lain. Pencegahan sintesis serotonin atau penghancuran nukleus rafe dorsalis batang otak mengurangi waktu tidur yang cukup lama. Sintesis dan pelapasan

commit to user

serotonin dipengaruhi oleh tersedianya L-triptofan. Ingesti sejumlah besar L-triptofan sebesar satu gram hingga lima belas gram dapat menimbulkan pengurangan waktu tidur pada tahap tidur REM atau Rapid Eye Movement (Sadock, 2010).

Norepinefrin yang badan selnya terdapat pada lokus serelous memainkan peranan penting mengendalikan pola tidur yang normal. Obat yang memanipulasi peningkatan noradrenergik menimbulkan pengurangan nyata tahap tidur REM dan peningkatan keadaan terjaga. Asetilkolin otak terlibat dalam produksi REM. Pasien depresi memiliki gangguan nyata pada tahap tidur REM. Sekresi melatonin dihambat oleh cahaya terang dengan kadar terendah melatonin pada siang hari. Nukleus suprachiasmaticus sebagai tempat memacu pola sirkardian dengan mengatur sekresi melatonin serta kerja otak pada siklus bangun dan tidur selama 24 jam. Dopamin memiliki efek menyiagakan. Obat yang cenderung meningkatkan dopamin otak akan meningkatkan waktu tidur orang tersebut (Sadock, 2010).

e. Psikofisiologi Tidur Tidur merupakan keadaan normal yang ditandai oleh perubahan kesadaran. Lamanya tidur tergantung pada ritme intrinsik sistem retikular atau siklus bangun tidur (Ginsberg, 2008). EEG (electroencephalogram),

EOG

(electrooculogram),

EMG (electromiogram) merupakan alat standar mengukur psikofiologis tidur (Pinel, 2009). Tidur terdiri atas tahap nonrapid eye movement dan rapid eye movement . Tahap tidur nonrapid eye movement merupakan tahap tentram dibandingkan keadaan terjaga. Dan, tidur rapid eye movement

commit to user

merupakan tahap yang relatif lebih aktif dibandingkan tahap terjaga. Tahap tidur rapid eye movement disebut sebagai tahap tidur yang bersifat paradoks, dan desinkronisasi. Tahap tidur REM disebut sebagai tahap tidur paradoks karena aktivitas otaknya meningkat namun orang tersebut dalam keadaan tertidur. Hal ini terjadi karena aktivitas otak tidak disalurkan ke tempat yang membuat orang tersebut terjaga. Dan, tahap tidur REM juga disebut sebagai tahap desinkronisasi karena pada tahap ini terdapat pola gelombang dan frekuensi seperti pada keadaan terjaga atau aktif namun tidak ada letupan neuron meskipun aktivitas otak jelas (Guyton, 2007).

Pola tidur berubah selama rentang hidup seseorang. Distribusi tahap tidur non rapid eye movement pada dewasa muda sebesar 75 %. Distribusi tahap tidur non rapid eye movement relatif konstan walaupun pengurangan terjadi pada tidur gelombang pendek dan tahap tidur REM pada orang yang lebih tua. Gelombang alfa sebesar 8 hingga 12 Hz terjadi ketika seseorang mulai menutup mata dan ketika orang bersiap tidur (Sadock, 2010). Tahap tidur dipantau dengan EEG, yaitu :

1) Tahap tidur NREM terdiri dari atas tahap satu hingga empat. Tahap tidur NREM merupakan keadaan tentram dibandingkan keadaan terjaga. Denyut jantung melambat lima sampai sepuluh menit dibandingkan keadaan terjaga dan sangat teratur. Tekanan darah cenderung rendah dengan variasi dari menit ke menit. Aliran darah berkurang ke sebagian besar jaringan termasuk aliran darah ke otak

commit to user

sedikit berkurang. Terdapat gerakan involunter dan episodik

(Sadock, 2010).

2) Tidur NREM tahap satu: sinyal tinggi, frekuensi rendah yang mirip tetapi lebih lamban dibanding keadaan bangun.

3) Tidur NREM tahap dua: amplitudo sedikit tinggi, dan frekuensi yang lebih rendah. Gambaran K complexe dan sleep spindles khas pada tahap dua.

4) Tidur NREM tahap tiga: gelombang delta merupakan gelombang paling besar dan lamban dengan frekuensi 1-12 Hz.

5) Tidur NREM tahap empat: predominasi gelombang delta dan bertahan dalam waktu tertentu dan kembali ke tahap satu dengan ditandai dengan emergency stage I pada EEG. Emergency stage I merupakan nama lain dari REM sleep, sedang tahap tidur satu hingga empat disebut tahap tidur NREM (Pinel, 2009).

6) Tahap tidur REM: menunjukkan keadaan tidak teratur. Pada tahap tidur REM semuanya lebih tinggi daripada tahap tidur NREM dan saat terjaga, yaitu denyut jantung, pernafasan, dan tekanan darah. Penggunakan oksigen otak meningkat, dan meningkatnya respon ventilasi karena meningkatnya kadar karbon dioksida pada tahap tidur REM. Ciri khas tidur REM mengalami mimpi yang abstrak dan aneh (Sadock, 2010).

f. Jenis-jenis Insomnia Kategori insomnia menurut DSM-TR-IV adalah gangguan tidur primer, gangguan tidur yang berkaitan dengan gangguan jiwa lain, dan

commit to user

gangguan tidur lainnya berkaitan dengan keadaan medis umum atau dicetuskan oleh zat, seperti obat-obatan (Sadock, 2010).

Penggolongan insomnia berdasar waktu terjadinya, yaitu :

1) Initial Insomnia: kesulitan memulai tidur

2) Middle Insomnia: keadaan seringnya terbangun di tengah malam dan kesulitan untuk tidur kembali

3) Late Insomnia: keadaan seringnya bangun terlalu pagi dan tidak dapat tidur kembali (Ibrahim, 2004). Penggolongan insomnia berdasar berat-ringannya insomnia, yaitu :

a) Mild Insomnia: kesulitan memulai dan mempertahankan tidur,

tanpa atau sedikit mengalami penurunan kualitas hidup.

b) Moderate Insomnia: kesulitan memulai dan mempertahankan

tidur hampir sepanjang malam.

c) Severe Insomnia: kesulitan memulai dan mempertahankan tidur

di sepanjang malam dan setiap hari (Dohrmaji, 2006). Berikut kategori insomnia menurut DSM-TR-IV, yaitu :

a) Insomnia primer: insomnia, narkolepsi, hipersomnia kronik, mimpi buruk, pickwickia, dan kleine-levin.

b) Insomnia sekunder: insomnia pada pasien skizofrenia, depresi, alkoholisme, sindrom uremia, gravida, sindrom postpartum.

c) Parasomnia: berjalan waktu tidur, enuresis nokturnal, bicara waktu tidur, bruksisme, dan juktasio kapitis nocturnal.

d) Insomnia bermodifikasi: hal yang dapat menyebabkan insomnia, yaitu perubahan fisiologis, gangguan kardiovaskuler, gangguan respirasi, kondisi neuromuskuler, serta kondisi medis lain, seperti

commit to user

mikrofilasis brancofti, fluktuasi konsentrasi gula darah pasien diabetes melitus, ulkus duodeni, hipnalgia, proktalgia nocturnal, dan sebagainya (Nasution, 2007).

g. Gejala Insomnia Gejala utama yang menandai sebagian besar insomnia: insomnia, parasomnia, hipersomnia, dan gangguan jadwal tidur-bangun. Gejala ini sering tumpang tindih (Sadock, 2010). Gejala klinis insomnia, yaitu tidak mampu untuk tertidur atau sukar untuk tidur terus, termasuk bangun pagi-pagi buta. Gejala EEG pada insomnia, yaitu butuh waktu yang lama untuk terbangun dari tidur, perlu waktu tidur yang singkat, dan tahap tidur REM yang bertambah lama (Maramis, 2009). Insomnia lebih lazim terjadi pada perempuan daripada laki-laki. Setelah jelas penyebab insomnia adalah anxietas sebagai akar psikologis maka terapi psikiatrik anxietas, seperti psikoterapi individual, psikoterapi kelompok, atau psikoterapi keluarga sering meredakan insomnia (Sadock, 2010).

h. Kriteria Diagnosis Sesuai petunjuk buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas PPDGI-III, kriteria insomnia adalah

a) untuk mendiagnosis pasti insomnia, yaitu :

1) Keluhan adanya kesulitan masuk tidur, mempertahankan tidur, atau kualitas tidur yang buruk.

2) Gangguan tidur terjadi minimal tiga kali dalam seminggu selama minimal satu bulan.

commit to user

3) Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli berlebihan oleh karena tidak bisa tidur di malam hari, dan efek tidak bisa tidur di malam hari terasa di sepangjang hari.

4) Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang cukup berat, dan mempengaruhi fungsi sosial serta pekerjaaan.

b) Adanya gejala gangguan jiwa lain, seperti depresi, anxietas, atau obsesi kompulsif tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan.

c) Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan, oleh karena variasi individual. Lama gangguan yang tidak memenuhi kriteria di atas, seperti transient insomnia tidak didiagnosis di sini, tetapi dimasukkan reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian dan termasuk dalam jenis gangguan F43.2 (Maslim, 2003).

i. Penatalaksanaan Perlakuan terhadap pasien insomnia sebagai perawatan psikologis yang didukung oleh bukti empiris, yaitu terapi kontrol stimulus (stimulus control therapy ), pembatasan tidur (sleep restriction), dan terapi kognitif- perilaku (cognitif-behavioural therapy), niat paradoksal, dan relaksasi (Morin,Bootzin, & Buysse dkk., 2006).

3. Sistem Belajar Berdasar Masalah (Problem Based Learning)

Problem Based Learning (PBL) adalah lingkungan belajar yang menggunakan masalah sebagai media pembelajaran. Sebelum belajar mempelajari suatu hal, seseorang diharuskan mengidentifikasi masalah, baik yang dihadapi secara nyata maupun kasus. Masalah diajukan

commit to user

sedemikian rupa sehingga menemukan kebutuhan belajar yang diperlukan agar dapat memecahkan masalah tersebut. Bahan pembelajaran ini akan memandu mahasiswa mulai dari memahami konsep sampai menerapkan metode Problem Based Learning dalam team work. Penerapan metode ini merupakan bentuk implementasi team learning dan personal mastery menuju teroganisisasinya proses pembelajaran (Pusdiklat, 2004).

4. L-MMPI (Lie Minnesota Multiphasic Personality Inventory) L-MMPI adalah skala validitas yang berfungsi mengidentifikasi

hasil yang mungkin invalid karena kesalahan atau ketidakjujuran subjek penelitian (Azwar, 2009). Tujuan tes ini adalah memberikan gambaran secara akurat tentang dimensi kepribadian dan psikopatologi yang penting dalam klinik psikiatri. Tes ini mulai berkembang di Indonesia mulai 1972. Terdapat 2 jenis skala, yaitu skala validitas dan skala klinis. Skala validitas, seperti skala ? atau skala “tidak tahu”, skala L, skala F, dan skala K. Skala klinis, seperti skala 1 sampai dengan skala O. Skala L (Lie scale) berisi 15 butir pertanyaan yang berisi kekurangan-kekurangan kecil yang terdpat pada setiap orang, dan setiap orang tersebut rela mengakuinya (Semiun, 2010b). Skala L dibuat untuk mengidentifikasi seseorang tersebut jujur atau berpura-pura dalam menjawab sehingga ia berusaha untuk menampakkan hal yang terlihat lebih baik daripada yang sebenarnya (Wortman, 2004).

Skala L-MMPI berisi 15 butir pertanyaan untuk dijawab responden dengan “ya” atau “tidak”. Jawaban “ya” bila sesuai dengan perasaan dan keadaan responden, dan jawaban “tidak” bila tidak sesuai dengan dengan perasaan atau keadaan responden (Azwar, 2009). Skor tinggi ≥ 10 menandakan subjek berusaha menampakkan diri sebaik mungkin dihadapan

commit to user

orang lain, dan berusaha menyembunyikan kekurangan tentang dirinya. Hal ini menjadikan responden mengisi L-MMPI dengan tidak jujur atau banyak berbohong. Orang yang mendapat skor rendah termasuk orang yang tegang, kurang mawas diri. Dan berpendirian agak kaku (Semiun, 2010b). Nilai batas skala adalah 10, artinya responden menjawab “tidak” sebanyak ≥ 10. Data responden dinyatakan invalid bila memiliki skor ≥ 10.

5. Taylor Manifest Anxiety Scale (TMAS) Tingkat kecemasan adalah cemas ringan, sedang, berat. TMAS

mengukur tingkat kecemasan subjek penelitian. Tes ini berisi 50 pernyataan dan jawabannya harus memperhatikan hal berikut ini, yaitu :

a. Butir-butir pernyataan yang sesuai untuk kecemasan atau favorable,

b. Butir-butir penyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan atau unfavorable. Pasien dapat mengerjakan sendiri secara praktis dalam waktu relatif singkat (Sudiyanto, 2003). Kuesioner TMAS adalah instrumen pengukur kecemasan. Kuesioner TMAS berisi 50 butir pertanyaan yang dapat dijawab responden dengan jawaban “ya” atau “tidak” sesuai keadaan dirinya dengan memberi tanda (V) pada kolom jawaban ya atau tidak. Pernyataan favourable yang dijawab dengan jawaban “ya” diberi nilai 1 dan jawaban “tidak” diberi nilai 0. Sedangkan, pertanyaan unfavourable berlaku nilai 1 untuk jawaban “tidak” dan bernilai 0 untuk jawaban “tidak”. Jumlah skor TMAS ≤ 21dinyatakan tidak cemas, dan > 21 dinyatakan tidak cemas (Azwar, 2009).

commit to user

TMAS berisi 50 pertanyaan dan interpretasi jawaban ya atau tidak terhadap jawaban terhadap pertanyaan unfavourable maupun favourable, yaitu :

1) Butir-butir pertanyaan yang sesuai pada keadaan kecemasan atau pertanyaan favourable, yaitu nomor 2, 5, 6, 7, 8, 10, 11, 13, 14, 16, 17,

19, 21, 22, 23, 24, 26, 27, 28, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 37, 39, 40, 41, 42,

45, 46, 47, 48, dan 49 (35 butir).

2) Butir-butir pernyataan yang tidak sesuai untuk kecemasan atau unfavourable, yaitu nomor 1, 3, 4, 9, 12, 15, 18, 20, 25, 29, 35, 38, 43,

44, dan 50 total pertanyaan unfavourable (Sudiyanto, 2003).

Suatu skala atau instrumen pengukur dapat dikatakan mempunyai validitas yang tinggi bila instrumen tersebut dijalankan sesuai fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud pengukuran. Kuesioner TMAS memilki derajat validitas yang cukup tinggi bila dijawab dengan jujur dan teliti oleh responden (Azwar, 2009). Kriteria tingkat cemas berdasar score TMAS sebagai berikut, yaitu :

a) Score TMAS ≤ 21(0-< 50 % nilai TMAS) tidak cemas

b) Score TMAS 22-25(50 % nilai TMAS) cemas ringan

c) Score TMAS 26-.38(51 %-75 % nilai TMAS) cemas sedang

d) Score TMAS 39-50(> 75 %-100 % nilai TMAS) cemas berat (Stuart, dan Sunden, 1998).

6. Insomnia Rating Scale

Alat ukur untuk insomnia adalah Insomnia Rating Scale yang telah dibakukan oleh KSBJ(Kelompok Studi Psikiatri Biologi Jakarta). Insomnia Rating Scale terdiri atas 8 keluhan insomnia yang dianggap cukup untuk

commit to user

mewakili semua keluhan insomnia(Yul Iskandar,1985). Derajat insomnia menurut KSPBJ adalah a)

No Insomnia

<8

b)

Mild Insomnia

8-12

c)

Moderate Insomnia 13-18

d)

Severe Insomnia >18 (Yul Iskandar, 1985)

7. Hubungan Kecemasan dengan Insomnia pada Mahasiswa Pendidikan Dokter Universitas Sebelas Maret

Salah satu keluhan yang sering didengar adalah insomnia (Maramis, 2009) dan hasil meta-analisis menemukan bahwa sekitar 17 % orang pernah mengalami kecemasan (Sadock, 2010). Suatu periode singkat insomnia paling sering disebabkan oleh kecemasan. Insomnia terjadi karena gejala sisa suatu pengalaman yang mencetuskan kecemasan (Sadock, 2010), sedangkan ada juga yang menyebutkan bahwa gejala awal sindrom kecemasan dapat dikenali dengan memperhatikan keluhan psikis dan somatis. Gejala somatis kecemasan adalah initial insomnia atau gangguan masuk tidur (Mudjadid, 2007). Sekitar dua pertiga individu penderita kecemasan menyeluruh adalah perempuan, baik dalam sampel klinis maupun dalam epidemiologi (Barlow dan Durand, 2006).

Perilaku coping adaptif yang efektif akan mencegah timbulnya kecemasan. Semua kecemasan dikaitkan dengan perasaan cemas, dan berbagai reaksi stres psikologis, misalnya takikardi, hipertensi, mual, sulit nafas, dan insomnia (Pinel, 2009). Penelitian tahun 1998 pada mahasiswa pendidikan dokter didapatkan angka kejadian insomnia sekitar 30 %. Dan, penelitian tahun 2005 diketahui tidak ada perbedaan signifikan angka

commit to user

kejadian insomnia pada mahasiswa dan mahasiswi pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret (Hatmitasari, 2005).

Orang yang mengalami stresor psikososial tidak semua mengalami kecemasan. Orang dengan kepribadian pencemas (vulnerable) lebih rentan atau lebih berisiko untuk mengalami kecemasan. Perkembangan kepribadian dimulai sejak bayi hingga usia 18 tahun dan tergantung dari psiko-edukatif dari orang tua di rumah, pendidikan di sekolah, pengaruh pergaulan sosial, serta pengalaman hidup. Seorang menjadi pencemas lebih dipengaruhi oleh proses imitasi dan identifikasi dirinya terhadap orang tuanya, daripada pengaruh keturunan. Seseorang dapat mengalami kecemasan ketika mendapat stresor psikososial ataupun bahkan tanpa stresor psikososial juga dapat menunjukkan manifestasi kecemasan (Hawari, 2008). Tipe kepribadian pencemas adalah

a. Cemas, khawatir, bimbang, ragu, dan tidak tenang

b. Memandang masa depan dengan rasa khawatir

c. Kurang percaya diri, atau gugup apabila tampil di muka umum

d. Tidak mudah mengalah, atau suka “ngotot”

e. Gerakan sering serba salah, tidak tenang bila duduk, dan gelisah

f. Sering mengeluh ini, itu dan khawatir berlebihan tentang penyakit

g. Mudah tersinggung, membesar-besarkan masalah yang kecil (mendramatisasi)

h. Sering diliputi rasa bimbang atau ragu dalam mengambil keputusan

commit to user

i. Mengemukakan sesusatu atau pendapat sering diulang-ulang j. Jika emosi sering bertindak histeris (Hawari, 2008)

commit to user

B. Kerangka Pemikiran

Tidak ada inhibisi nuclei

pengaktivasi retikular

Umpan balik +

Umpan balik +

siaga

menghilang

aktivasi pusat tidur

*REM beta

-paradoksikal 1

-desinkronisasi 2

* Tahap NREM

1, 2 ,3, dan 4

Gelombang delta interaksi retikulotalamus dan sumber piramidokortikal

Lifestyle Obat-obatan

Efek Putus

*Standar nilai B untuk BLOK, field lab, dan skill lab *Waktu kuliah singkat

Psikologis: *Perilaku –Kognitif: Kesalahan pemrosesan informasi tanda bahaya *Psikoanalitik Gejala konflik yang tidak disadari dan tidak terselesaikan

System saraf perifer

Rangsang korteks serebri

Abnormalitas agonis reseptor serotonin 5HT-1A

Hambat pembentukan serotonin

Kecemasan

Respon ansietas sistem

saraf

pusat

Manifestasi perifer

Saraf otonom

Varian polimorfik:lebih sedikit transporter serotonin

neuroanatomis

Meningkat jaras aktivitas septohipokam pus

commit to user

Keterangan ---- Tidak diteliti ___ Diteliti

1. bersifat paradoks, seseorang dapat tertidur walaupun aktivitas otaknya meningkat. Hal ini terjadi karena aktivitas otak tidak disalurkan ke tempat yang membuat orang tersebut terjaga

2. pola gelombang yang tidak teratur dengan frekuensi tinggi menunjukkan adanya desinkronisasi seperti pada keadaan aktif dan terbangun. Tidur REM sering disebut tidur desinkonisasi karena tidak ada letupan neuron meskipun aktivitas otak jelas.

3. subtansi yang menumpik di cairan cerebrospinal dan urin dari hewan uji yang terjaga. Bila substansi pencetus tidur ini disuntikkan akn menyebabkan tidur dalam beberapa jam

4. substansi yang diisolasi dari darah hewan uji yang tidur berefek serupa dengan muramil peptida

C. Hipotesis

Ada hubungan positif antara tingkat kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa pendidikan dokter Universitas Sebelas Maret Surakarta.xb

commit to user

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan cara penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional (Nursalam, 2008).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta (FK UNS) pada bulan Maret hingga April 2011.

C. Populasi Penelitian

Populasi target penelitian adalah Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2008 (208 mahasiswa), angkatan 2009 (213 mahasiswa), dan angkatan 2010 (207 mahasiswa). Jumlah total populasi penelitian adalah 628 mahasiswa.

D. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta angkatan 2008, 2009, dan 2010 dengan kriteria, yaitu :

1. Kriteria Inklusi

a. Mahasiswa bersedia menjadi responden penelitian

b. Aktif dalam perkuliahan minimal 3 bulan berturut-turut (Januari- Maret 2011)

c. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan

d. Score L-MMPI < 10

commit to user

2. Kriteria Eksklusi

a. Menderita penyakit berat atau gangguan jiwa berat

b. Mengalami kecelakaan atau kematian anggota keluarga ≤ 3 bulan Penentuan besar sampel menurut rumus Slovin sebagai berikut :

1+N ε 2

ukuran sampel

N= Ukuran populasi

ε= Tingkat kekeliruan pengambilan sampel yang dapat ditoleransi

E. Teknik Pengambilan Sampel

Total sampling , yaitu seluruh mahasiswa preklinik Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta preklinik.

F. Identifikasi Variabel

1. Variabel Bebas Tingkat kecemasan (cemas dan tidak cemas)

2. Variabel Terikat Kecenderungan insomnia (insomnia dan tidak insomnia)

3. Variabel luar

a. Faktor intrinsik: Penyakit medis, gangguan psikologis, genetik (kecenderungan genetik), dan irama biologis

b. Faktor ekstrinsik. Kondisi kamar, penerangan, suhu lingkungan, rutinitas harian, dan kebiasaan

n=

commit to user

G. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas adalah tingkat kecemasan dari skor TMAS responden. Alat ukur adalah TMAS. Cut-off-point score TMAS adalah > 21 berarti cemas, dan score T-MAS ≤ 21 dinyatakan tidak cemas (Azwar, 2009). Klasifikasi tidak cemas (tidak cemas dan cemas ringan, yaitu skor TMAS 0-25) dan cemas (cemas sedang dan berat, yaitu skor TMAS 26-50). Pada kasus cemas ringan tidak diperlukan penanganan dan pada cemas sedang dan berat perlu penanganan. Cemas ringan masih merupakan keadaan wajar dan situasional. Skala ukur variabel nominal

2. Variabel terikat atau variabel dependen adalah kecenderungan insomnia. Alat ukur adalah IRS. Kecenderungan insomnia diklasifikasikan sebagai berikut, yaitu insomnia (insomnia moderate dan severe, yaitu skor IRS 13-24) dan tidak insomnia (tidak insomnia dan insomnia mild, yaitu skor IRS 0-12) diukur dengan kuesioner Insomnia Rating Scale, dan skala ukur variabel nominal.

commit to user

H. Rancangan Penelitian

I. Instrumen Penelitian

1. Data mahasiswa pendidikan dokter berisi Nomor Induk Mahasiswa dan nama mahasiswa pada tiap angkatan 2008, 2009, dan 2010.

2. Kuesioner L-MMPI

3. Kuesioner TMAS

4. Kuesioner Insomnia Rating Scale

J. Cara Kerja

1. Meminta izin penelitian