KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG TEMPE ”BOSOK” SEBAGAI BUMBU MASAK PADA VARIASI SUHU PENGERINGAN

KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG TEMPE ”BOSOK” SEBAGAI BUMBU MASAK PADA VARIASI SUHU PENGERINGAN

Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Teknologi Pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Program Studi Teknologi Hasil Pertanian

Oleh : Lorenzia Ajeng Pradipta

H 0607019

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

commit to user

ii

commit to user

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kajian Karakteristik Fisikokimia Dan Sensori Tepung Tempe ”Bosok” Sebagai Bumbu Masak Pada Variasi Suhu Pengeringan”. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai gelar Sarjana Strata (S-1) pada program studi Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Bambang Pujiasmanto, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ir. Bambang Sigit Amanto, MSi selaku Ketua Jurusan Teknologi Hasil Pertanian.

3. Ir. M. A. Martina Andriani, MS selaku Pembimbing Utama Skripsi yang telah memberi bimbingan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Ir. Nur Her Riyadi Parnanto, MS selaku Pembimbing Pendamping Skripsi dan Pembimbing Akademik yang memberi masukan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

5. Edhi Nurhartadi, STP, MP selaku Dosen Penguji Skripsi.

6. Sri Liswardani, STP, Pak Slameto, Pak Giyo, Pak Joko, terima kasih banyak atas segala bantuannya selama penelitian.

7. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh staff Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas segala bantuan selama masa perkulihan penulis.

8. Skripsi ini, saya persembahkan kepada orang tua saya “Bapak dan Mamah” yang telah mendidik, merawat dan menyekolahkan saya sehingga saya dapat lulus menjadi Sarjana (S1). Terima kasih bapak dan mamah atas segala ketulusan dan pengorbanan kalian untuk selalu mendukung, menyemangati dan mendoakanku sampai skripsi ini dapat terselesaikan.

commit to user

iv

9. Adikku ”Radia Wulan Maulida” yang telah menemani dan menjadi sahabat dalam segala hal serta memberikan support dan doa sampai skripsi ini selesai.

10. Keluarga besar Eyang Sutimo dan Eyang Sugiyo Hartowiratmo, serta Trah Eyang Resosemitan yang telah memberikan dukungan dan doa.

11. Grazie alla mia amata in futuro ”wello” yang telah menemani, memberi nasehat, pelajaran, semangat, doa, dan dukungan dari awal hingga akhir. Thanks for your love.

12. Special thanks for Agustina Kristiyanti ”my twins” yang telah menjadi partner yang setia dalam membantu dan menemani dari awal penelitian sampai terselesaikannya skripsi ini. Terimakasih ”my twins”.

13. Terimakasih buat Vita, Aini, Anjar, Elysa, Bong, Ambar, Ucok, Ivan, Fycka, Ana, Arin, Eni, Nora, Galuh, Candra, Beny, Mb’ Lukluk, dan Kartiko yang telah menjadi teman dan sahabat sharing dalam kegembiraan dan kesedihan, selalu menorehkan cerita dan kenangan yang tidak terlupakan, selalu membantu dalam segala hal, selalu memberikan semangat, doa, dan dukungan dari awal perkuliahan, selama menempuh kuliah, akhir perkuliahan, penelitian, dan penyusunan skripsi.

14. Teman-teman ”VORTEX 07” yang telah berjuang bersama dan memberi kenangan-kenangan terindah bagi penulis.

15. Terimakasih buat AD2236CS, L645, K530i, N3315, T-Flash E153, R230 yang telah senantiasa menemani, memperlancar, dan membantu penulis dari awal kuliah hingga akhirnya dapat menyelesaikan skripsi.

16. Semua pihak yang telah membantu kelancaran penyusunan skripsi ini dan memberi dukungan, doa serta semangat bagi penulis untuk terus berjuang.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Surakarta, Juni 2012

Penulis

commit to user

vii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi Dalam 100 gram Kedelai dan Tempe ........ 6 Tabel 2.2 Analisis Proksimat Tempe Kedelai Kering dan Tempe Kedelai

“Bosok” Kering ........................................................................... 9 Tabel 3.1

Metode Analisis Sifat Fisik Tepung Tempe “Bosok” ................. 21 Tabel 3.2

Metode Analisis Sifat Kimia Tepung Tempe “Bosok” ............... 21

Tabel 3.3 Rancangan Penelitian Acak Lengkap Satu Faktor ...................... 24 Tabel 4.1

Karakteristik Kimia Tepung Tempe “Bosok” ............................. 26 Tabel 4.2

Karakteristik Fisik Tepung Tempe “Bosok” ............................... 35 Tabel 4.3

Karakteristik Sensori Tepung Tempe “Bosok” ........................... 40

commit to user

viii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Tempe Kedelai ............................................................................ 5 Gambar 2.2 Tempe “Bosok” ........................................................................... 8 Gambar 3.1 Diagram Alir Pembuatan Tempe Standard Operating Procedure

(SOP) ........................................................................................... 22

Gambar 3.2 Diagram Alir Rancangan Penelitian Tepung Tempe “Bosok” ... 23 Gambar 4.1 Kadar Air Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu

Pengeringan ................................................................................. 26 Gambar 4.2 Kadar Abu Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu Pengeringan ................................................................................. 28

Gambar 4.3 Kadar Lemak Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu

Pengeringan ................................................................................. 29 Gambar 4.4 Kadar Protein Terlarut Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu Pengeringan ........................................................... 30 Gambar 4.5 Kadar Gula Reduksi Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu Pengeringan ........................................................... 31 Gambar 4.6 Kadar Aktivitas Antioksidan Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu Pengeringan .................................................. 33 Gambar 4.7 Rendemen Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu Pengeringan ................................................................................. 36 Gambar 4.8 Bulk Density Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu Pengeringan ................................................................................. 37 Gambar 4.9 Kelarutan Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu Pengeringan ................................................................................. 38

Gambar 4.10 Daya Serap Air Tepung Tempe “Bosok” Pada Variasi Suhu Pengeringan ....................................................................... 39

commit to user

ix

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Metode Analisis Sifat Fisikokimia .............................................. 49

A. Analisis Kadar Air ................................................................ 50

B. Analisis Kadar Abu ............................................................... 50

C. Analisis Kadar Lemak ........................................................... 51

D. Analisis Protein Terlarut ....................................................... 51

E. Analisis Gula Reduksi ........................................................... 52

F. Analisis Aktivitas Antioksidan ............................................. 53

G. Analisis Kelarutan Tepung.................................................... 53

H. Analisis Bulk Density ............................................................ 54

I. Analisis Daya Serap Air ........................................................ 54

Lampiran 2. Data Hasil Pengamatan ............................................................... 55 Lampiran 3. Analisis SPSS Sifat Fisikokimia dan Sensori ............................. 66 Lampiran 4. Borang Penilaian Karakteristik Sensori ...................................... 74 Lampiran 5. Dokumentasi Penelitian .............................................................. 75

commit to user

KAJIAN KARAKTERISTIK FISIKOKIMIA DAN SENSORI TEPUNG TEMPE ”BOSOK” SEBAGAI BUMBU MASAK PADA VARIASI SUHU PENGERINGAN

Lorenzia Ajeng Pradipta

(H0607019)

RINGKASAN

Tempe “bosok” merupakan tempe kedelai segar yang fermentasinya diperpanjang selama 3-5 hari sehingga menjadi “bosok”. Tempe “bosok” digunakan sebagai penyedap untuk membuat masakan oleh masyarakat Jawa khususnya Jawa Tengah. Pada umumnya, tempe “bosok” dijual dan dikonsumsi dalam bentuk tempe “bosok” segar. Jika fermentasi tempe “bosok” dilanjutkan terlalu lama, maka tempe “bosok” menjadi berbahaya untuk dikonsumsi. Oleh karena itu diperlukan suatu teknologi untuk memperpanjang umur simpan dan mempermudah penggunaannya yaitu dengan menjadikan tepung tempe “bosok” melalui proses pengeringan menggunakan berbagai suhu pengering. Pembuatan tempe “bosok” mengacu pada Standard Operating Procedure (SOP) Tempe Overripe, tempe kedelai diinkubasi pada inkubator dengan menggunakan suhu terkendali 30°C selama 5 hari atau 120 jam (tempe overripe 1).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik fisik (bulk density, kelarutan tepung, dan daya serap air), kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein terlarut, kadar lemak, kadar gula reduksi dan aktivitas antioksidan), dan sensori tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak dengan variasi suhu pengeringan. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui suhu pengeringan yang efektif dalam menghasilkan karakteristik fisikokimia dan karakteristik sensori yang disukai. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan satu faktor yaitu berbagai variasi suhu pengeringan pada suhu 55°C, 60°C, dan 65°C.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tepung tempe “bosok” pada suhu pengeringan 60°C mempunyai karakteristik fisik dan kimia yang efektif serta karakteristik sensori yang disukai panelis. Tepung tempe “bosok” dengan suhu

pengeringan 60°C menghasilkan rendemen 28,10%, bulk density 0,53 g/cm 3 ,

kelarutan tepung 99,9972%, daya serap air 1,96 ml/g, kadar air 8,45%, kadar abu 4,03%, kadar lemak 6,73%, kadar protein terlarut 4,55%, kadar gula reduksi 2,07%, dan aktivitas antioksidan sebesar 32,09%. Karakteristik sensori tepung tempe “bosok” dengan suhu pengeringan 60°C yang disukai panelis adalah tepung tempe “bosok” yang memiliki warna coklat, aroma khas tempe “bosok” yang tidak terlalu menyengat, dan tekstur yang halus dan kering.

Kata kunci : Tempe “bosok”, tepung tempe “bosok”, suhu pengeringan, karakteristik fisik, kimia, sensori

commit to user

xi

STUDY OF PHYSICOCHEMICAL AND SENSORY CHARACTERISTICS TEMPE “BOSOK” FLOUR AS FOOD SEASONING ON DRYING TEMPERATURE VARIATION

Lorenzia Ajeng Pradipta

(H0607019)

SUMMARY

Tempe “bosok” is a fresh soybean tempe fermentation was extended for 3-

5 days to become overripe. Tempe “bosok” is used as food seasoning to make some food by the Java community, especially in Central Java. Generally, tempe “bosok” is sold and consumed in the form of tempe “bosok” fresh. If the fermentation tempe “bosok” continued too long, tempe “bosok” to be dangerous for consumption. Therefore need a technology to extend shelf life and facilitate its use is to make tempe “bosok” flour through a process of drying using different drying temperatures. Making tempe “bosok” refers to the Standard Operating Procedure (SOP) Tempe Overripe , soybean tempe were incubated in an incubator with controlled temperature of 30°C for 5 days or 120 hours (tempe overripe 1).

This study aims to determine the physical characteristics (bulk density, solubility, and water absorption), chemical (moisture content, ash content, soluble protein content, fat content, reducing sugar content and antioxidant activity), and sensory tempe “bosok” flour as food seasoning with drying temperature variations. In addition, this study also purpose to determine the effectiveness of drying temperature during process to produce the physicochemical and sensory characteristics are preferred. This research used Completely Randomized Design (CRD) with one factor, that are variety of drying temperature at 55°C, 60°C, and 65°C.

The results showed that the tempe “bosok” flour on the drying temperature of 60°C is more effective to produce the physical and chemical characteristics and preferred characteristics of the sensory panelists. Tempe “bosok” flour with the drying temperature of 60°C results in 28,10% yield, 0,53

g/cm 3 bulk density, 99,9972% starch solubility, 1,96 ml/g water absorption, 8,45% water content, 4,03% ash content, 6,73% fat content, 4,55% soluble protein content, 2,07% reducing sugar content, and 32,09% antioxidant activity. Sensory characteristics tempe “bosok” flour with the drying temperature of 60°C. The preferred panelists are tempe “bosok” flour that has a brown color, typical aroma tempe “bosok” is not too oppressive, and the texture is smooth and dry.

Key words: Tempe “bosok”, tempe “bosok” flour, drying temperature, characteristics of physical, chemical, and sensory

commit to user

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tempe merupakan makanan tradisional hasil proses fermentasi yang dikonsumsi oleh hampir semua lapisan masyarakat. Tempe dapat dibuat dari berbagai macam bahan, tetapi tempe yang disukai dan dikenal oleh masyarakat pada umumnya yaitu tempe kedelai (Kasmidjo, 1990). Proses fermentasi merupakan tahap terpenting dalam proses pembuatan tempe karena terjadi penguraian senyawa-senyawa dalam kedelai yang menjadi lebih kecil sehingga dapat dicerna oleh tubuh dengan mudah. Fermentasi pada tempe jika dibiarkan secara terus-menerus untuk waktu yang lama pada suhu ruang dapat disebut sebagai tempe overripe atau tempe “bosok” (Kiriakidis S, 2005). Fermentasi yang terus berlanjut akan terjadi peningkatan ammonia yang semakin bertambah, pada permukaan tempe akan terbentuk lapisan hitam dan terdapat bintik-bintik hitam.

Pembuatan tempe kedelai khas budaya pulau Jawa dan tidak banyak dilakukan di pulau-pulau lainnya. Seperti halnya juga tempe ”bosok” yang dibuat dan digemari oleh masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Jawa Tengah. Tempe “bosok” yaitu tempe kedelai segar yang diperpanjang masa fermentasinya sehingga menjadi “bosok” dengan berwarna beludru kehitam-hitaman (Aminah, 1996). Tempe “bosok” sangat digemari oleh masyarakat Jawa karena memiliki rasa dan aroma yang khas. Tempe “bosok” sering digunakan untuk membuat masakan, sebagai penyedap masakan, yang dapat membuat masakan lebih sedap dan dapat meningkatkan cita rasa.

Bumbu masak merupakan substansi dengan aroma yang kuat dan rasa yang tajam dan digunakan untuk meningkatkan cita rasa makanan (Odebunmi, 2006). Biasanya zat pembangkit cita rasa yang sering digunakan dalam bahan tambahan pangan masih berasal dari senyawa sintetik yang dapat menghasilkan aroma dan flavor khas. Senyawa-senyawa

commit to user

sintetik untuk meningkatkan cita rasa tersebut jika digunakan secara berlebihan akan memberikan efek yang tidak baik bagi kesehatan, maka diperlukan adanya pengembangan pembangkit cita rasa yang alami, yang lebih aman bagi kesehatan. Oleh karena itu, bumbu masak yang berbahan baku dari tempe “bosok” dapat dijadikan sebagai bahan pembangkit cita rasa alami yang dapat memberikan rasa dan flavor yang khas.

Dalam perkembangannya di masyarakat tempe “bosok” masih dijual atau dikonsumsi dalam bentuk basah atau tempe “bosok” yang difermentasi dari tempe segar. Jika tempe “bosok” fermentasinya dilanjutkan terlalu lama, maka tempe “bosok” akan menjadi berbahaya jika dikonsumsi. Menurut penelitian Andriani (2011), tempe “bosok” yang sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) yaitu tempe “bosok” yang diinkubasi dengan menggunakan inkubator pada suhu 30°C dengan waktu inkubasi 120 jam (tempe overripe 1). Habibi (2011) menyatakan bahwa tempe “bosok” yang disukai oleh konsumen yaitu tempe yang mengalami 5 hari fermentasi (120 jam) atau tempe yang mengalami perpanjangan fermentasi selama 3 hari setelah tempe jadi atau disebut juga tempe overripe 1. Mengingat manfaat yang begitu besar dari tempe “bosok” yang digunakan sebagai bumbu penyedap masakan maka diperlukan suatu teknologi untuk pengembangannya. Teknologi untuk mengembangkan tempe “bosok” untuk memperpanjang umur simpan dan mempermudah penggunaannya yaitu dengan teknik pengeringan. Tempe “bosok” dikeringkan dan ditepungkan sehingga menghasilkan tempe “bosok” yang lebih awet dan mudah untuk digunakan sebagai bumbu penyedap masakan. Proses pengeringan dan penepungan dalam pembuatan tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak untuk mempermudahkan penggunaan tempe “bosok” sebagai bumbu masak dan memperpanjang umur simpan tempe “bosok” sebagai bumbu masak.

Dalam pembuatan tempe “bosok” tersebut dibuat dalam bentuk kering, yaitu dalam bentuk tepung. Proses pembuatan menjadi tepung dilakukan melalui beberapa proses yaitu pengeringan, penepungan, dan

commit to user

pengayakan. Selama proses tersebut akan terjadi perubahan sifat-sifat bahan pangan. Pada proses pengeringan akan terjadi perubahan sifat bahan pangan dari bahan pangan yang masih segar dengan kadar air yang cukup tinggi menjadi bahan pangan dengan kadar air yang rendah sehingga dapat memperpanjang umur simpan bahan pangan.

Suhu pengeringan yang digunakan selama proses pengeringan tempe “bosok” diduga berpengaruh terhadap karakteristik kimia maupun fisik tepung tempe “bosok” yang dihasilkan. Suhu pengeringan diduga dapat menyebabkan perubahan senyawa yang terdapat dalam bahan pangan (Muchtadi, 2008) sehingga akan berpengaruh pada komponen kimia tepung tempe “bosok” yang dihasilkan. Karakteristik kimia maupun fisik tepung tempe “bosok” yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh proses pembuatannya yaitu pengeringan.

Pada penelitian ini dilakukan pembuatan tempe sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Tempe Overripe Andriani (2011) dengan lama fermentasi 5 hari (120 jam) atau tempe overripe 1. Tempe yang sudah menjadi “bosok” dengan lama fermentasi 5 hari kemudian dikeringkan dengan menggunakan variasi suhu pengeringan. Tempe “bosok” yang sudah dikeringkan, ditepungkan menjadi tepung tempe “bosok” kemudian ditentukan karakteristik kimia, fisik, dan sensorinya sebagai bumbu masak melalui panelis. Panelis yang digunakan adalah masyarakat Surakarta yang sering menggunakan tempe “bosok” yang meliputi pembuat dan penjual sambal tumpang.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka pada penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah karakteristik fisik (rendemen, bulk density, kelarutan tepung, dan daya serap air) tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan?

commit to user

2. Bagaimanakah karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein terlarut, kadar lemak, kadar gula reduksi dan antioksidan) tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan?

3. Bagaimanakah karakteristik sensori yang disukai dari tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan?

4. Perlakuan suhu pengeringan manakah yang efektif dalam menghasilkan karakteristik fisikokimia dan karakteristik sensori yang disukai?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui karakteristik fisik (rendemen, bulk density, kelarutan tepung, dan daya serap air) tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan.

2. Mengetahui karakteristik kimia (kadar air, kadar abu, kadar protein terlarut, kadar lemak, kadar gula reduksi dan antioksidan) tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan.

3. Mengetahui karakteristik sensori yang disukai dari tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak pada variasi suhu pengeringan.

4. Mengetahui suhu pengeringan yang efektif dalam menghasilkan karakteristik fisikokimia dan karakteristik sensori yang disukai.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi pengaruh suhu pengeringan terhadap karakteristik fisikokimia dan sensoris tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak.

2. Memberikan informasi makanan tradisional dapat dikembangkan sebagai bumbu masak.

3. Menghasilkan tepung tempe “bosok” sebagai bumbu masak dengan karakteristik fisikokimia dan sensori yang disukai.

commit to user

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

1. Tempe Kedelai

Tempe adalah sumber protein yang penting bagi pola makanan di Indonesia, terbuat dari kedelai. Pembuatan tempe kedelai dilakukan sebagai berikut kedelai kering dicuci, direndam semalam pada suhu 25°C esok paginya kulit dikeluarkan dan air rendam dibuang. Kedelai kemudian dimasak selama 30 menit. Sesudah itu didinginkan, diinokulasikan dengan spora Rhizopus oligosporus, R. oryzae, diletakkan dalam panci yang dangkal dan diinkubasikan pada suhu 30°C selama 20-24 jam. Dalam waktu itu kedelai terbungkus sempurna oleh miselia putih dari jamur. Kemudian tempe siap untuk dikonsumsi (Muchtadi, 2008). Tempe biasanya dibungkus menggunakan daun pisang, tempe yang siap dikonsumsi mempunyai warna putih seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tempe Kedelai

Selama proses fermentasi kedelai menjadi tempe terjadi banyak perubahan fisik, biokimia, dan mikrobiologi sehingga tempe menjadi lebih bergizi dan berfungsi sebagai makanan sehat. Komposisi gizi tempe baik kadar protein, lemak dan karbohidratnya tidak banyak berubah dibandingkan dengan kedelai. Namun, karena adanya enzim pencernaan

commit to user

yang dihasilkan oleh kapang tempe maka protein, lemak dan karbohidrat pada tempe menjadi mudah dicerna di dalam tubuh dibandingkan yang terdapat dalam kedelai. Secara kimiawi hal ini bisa dilihat dari meningkatnya kadar padatan terlarut, nitrogen terlarut, asam amino bebas, asam lemak bebas, nilai cerna, nilai efisiensi protein, serta skor proteinnya (Astawan, 2004). Tetapi menurut Widianarko (2002) dalam Astuti (2009) secara kuantitatif nilai gizi tempe sedikit lebih rendah daripada kedelai seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Kandungan Zat Gizi Dalam 100 gram Kedelai dan Tempe

Zat Gizi

Komposisi Zat Gizi 100 gram Kedelai

Tempe Energi

381 kal

201 kal Protein

Hidrat arang

155 mg Fosfor

682 mg

326 mg Besi

34 mkg Vitamin A

0 SI

0 SI

Vitamin B

0,52 mg

0,19 mg Vitamin C

Sumber : Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia Depkes RI Dir. Bin Gizi

Masyarakat dan Puslitbang Gizi, 1991. Tempe yang baik harus memenuhi syarat mutu secara fisik dan kimiawi. Menurut Kasmidjo (1990), tempe memiliki mutu fisik dengan ciri-ciri sebagai berikut :

a. Warna Putih Adanya warna putih karena miselia kapang yang tumbuh pada permukaan biji kedelai.

b. Tekstur Tempe Kompak Miselia-miselia kapang yang menghubungkan antara biji-biji kedelai juga menyebabkan tekstur tempe menjadi kompak. Kompak atau

commit to user

tidaknya tekstur tempe diketahui dengan lebat tidaknya miselia yang tumbuh pada permukaan tempe. Apabila miselia tampak lebat hal ini menunjukkan bahwa tekstur tempe telah membentuk masa yang kompak.

c. Aroma dan Rasa Tempe Khas Terbentuk aroma dan rasa yang khas pada tempe disebabkan terjadinya degradasi komponen-komponen dalam tempe selama berlangsungnya proses fermentasi.

2. Tempe “Bosok”

Salah satu bumbu masak untuk masakan Jawa adalah tempe “bosok”. Tempe sebenarnya termasuk kedelai yang sudah berjamur tetapi tidak beracun. Bila tempe yang sudah jadi dibiarkan sehari menjadi tempe semangit atau baunya agak sangit. Sementara orang lebih menyukai tempe semangit ini untuk dimasak walau kurang enak terasa bagi yang belum biasa. Tempe yang sudah jadi dibiarkan 3-5 hari menjadi tempe “bosok”. Di pasar juga dijual tempe “bosok” itu sebagai bumbu beberapa masakan Jawa. Walau bosok tetapi salah satu bumbu itu memberikan aroma dan rasa yang khas pada masakan. Barangkali hanya di Jawa khususnya Solo dan sekitarnya yang menggunakan tempe “bosok” tersebut sebagai bumbu. Berbeda juga dengan sambal tumpang yang 30% berbahan baku tempe “bosok” (Elfarid, 2007).

Tempe yang dibiarkan pada suhu ruang untuk waktu yang lebih lama, diklasifikasikan sebagai tempe overripe . Fermentasi ini menyebabkan tingkatan ammonia menjadi bertambah, dengan sporulasi yang terbentuk lapisan hitam dan terdapat bintik-bintik hitam pada permukaan tempe. Tempe overripe atau tempe “bosok” sering digunakan untuk membuat masakan tertentu, seperti potongan kubus kecil tempe “bosok” direbus dengan choko dan sayuran segar dimasak dalam santan, disertai dengan nasi dan mungkin dapat juga disertai dengan sambal kacang. Makanan seperti ini merupakan makanan yang mempunyai kandungan protein yang tinggi (Kiriakidis S, 2005).

commit to user

Di Indonesia, tempe yang dapat digunakan terdiri dari empat tahapan yang berbeda dalam proses fermentasi. Biasanya, tempe digunakan ketika tempe sudah matang, tetapi tempe yang setelah matang dan memiliki aroma seperti Camembert cheese dan lembut juga sangat popular. Tempe yang pertama disebut dengan Premature tempe merupakan tempe kedelai yang dipindahkan dari inkubator 4 sampai 6 jam lebih awal sebelum miselia terbentuk secara utuh dan biasanya disebut dengan Mendoan. Tempe yang kedua yaitu Mature tempe atau tempe yang sudah jadi merupakan tempe kedelai yang dipindahkan dari incubator 24 sampai 48 jam setelah inokulasi. Tempe yang ketiga disebut dengan Slightly overripe tempe atau tempe semangit merupakan tempe kedelai yang digunakan 2 atau 3 hari setelah mencapai tingkat kematangan. Tempe yang keempat disebut dengan Overripe tempe atau tempe “bosok” merupakan tempe kedelai yang digunakan 3 atau 5 hari setelah mencapai tingkat kematangan dan disimpan pada suhu ruang. Tempe “bosok” seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.2 memiliki permukaan yang cokelat, aroma yang khas seperti Camembert cheese, dan teksturnya lembut (Akiko, 1983).

Gambar 2.2 Tempe “Bosok”

Tempe “bosok” memiliki sifat fisik dengan ciri-ciri antara lain: memiliki tekstur permukaan yang berwarna cokelat, terdapat bercak hitam pada permukaan tempe, adanya bau amoniak atau alkohol (Astawan, 2004). Habibi (2011) menjelaskan bahwa karakteristik sensori tempe overripe 1 yang menurut konsumen paling tepat digunakan sebagai bumbu

commit to user

masak mempunyai ciri-ciri antara lain kenampakan agak layu berwarna kecoklatan, tekstur keset, halus, kering, lunak, serta memiliki aroma leteng; menyengat seperti amoniak, dan cemplang; berbau harum dan sedap. Selain itu tempe overripe 1 merupakan tempe yang dibusukkan selama 3 hari dan belum ada ulatnya. Menurut Aminah (1996) hasil analisis kimiawi proximate principle pada kedua macam tempe kedelai terjadi peningkatan yang dapat ditunjukkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Analisis Proksimat Tempe Kedelai Kering dan Tempe Kedelai

Bosok Kering Bahan

Mineral (g)

Karbohidrat by diff. (g) Tempe Kedelai Kering

1,73 45,62 Tempe Kedelai

Bosok Kering

2,20 47,39 Sumber : Aminah, 1996

Tempe “bosok” bukanlah tempe “bosok” yang gagal dalam pembuatannya, melainkan tempe segar yang fermentasinya sengaja diperpanjang lebih lanjut antara 1-3 hari sehingga diperoleh tempe yang seakan-akan menjadi “bosok”. Tempe “bosok” tidak berbahaya bila dimakan, jika proses peragiannya tidak berlanjut terlalu lama. Nilai gizinya masih cukup baik. Tempe “bosok” sangat disukai ibu-ibu sebagai bahan bumbu masakan. Sayuran yang dimasak dengan tambahan tempe “bosok” sebagai bumbu, rasanya menjadi lebih sedap dan dapat menambah nafsu makan (Sarwono, 2000).

Tempe “bosok” merupakan tempe kedelai yang telah mengalami proses fermentasi lanjut. Kandungan gizi tempe “bosok” tidak jauh beda dengan kandungan gizi tempe kedelai (Siswani, 2009). Menurut Aminah (1996), tempe “bosok” adalah tempe kedele biasa yang mengalami perpanjangan masa fermentasi, merupakan makanan kesukaan khusus masyarakat Jawa Tengah. Tempe kedele segar yang diperpanjang masa fermentasinya sehingga menjadi busuk dengan berwarna beludru kehitam- hitaman. Tempe kedele “bosok” diperoleh dengan memperpanjang masa

commit to user

fermentasi tempe kedele selama 3 X 24 jam, pada suhu kamar (28–35°C) sampai terlihat jamur mulai berwarna hitam dan berbau khas tempe “bosok”.

3. Pengeringan

Pengeringan terjadi melalui penguapan cairan dengan pemberian panas ke bahan pangan basah. Panas dapat melalui konveksi (pengering langsung), konduksi (pengering sentuh atau tak langsung), dan radiasi dengan menempatkan bahan pangan basah dalam medan elektromagnetik gelombang mikro. Pengeringan dapat menyebabkan penurunan mutu fisik maupun kimia. Perubahan fisik yang mungkin terjadi meliputi pengkerutan, penggumpalan, kristalisasi, dan transisi gelas. Pada beberapa kasus, dapat terjadi reaksi kimia atau biokimia yang diinginkan atau tidak diinginkan, yang menyebabkan perubahan warna, tekstur, aroma atau sifat lain padatan yang dihasilkan (Tambunan, 2001).

Suatu bahan pangan dapat diperpanjang daya tahan atau umur simpannya dengan cara sebagian air dalam bahan harus dihilangkan dengan berbagai cara tergantung dari jenis bahan. Umumnya dilakukan pengeringan, baik dengan penjemuran atau dengan alat pengering buatan. Pada pengeringan bahan makanan ini, terdapat 2 tingkat kecepatan penghilangan air. Pada awal pengeringan, kecepatan jumlah air yang hilang per satuan waktu tetap, kemudian akan terjadi penurunan kecepatan penghilangan air per satuan waktu (Winarno, 2004).

Proses pengeringan merupakan proses perpindahan panas dari sebuah permukaan bahan sehingga kandungan air pada permukaan bahan berkurang. Perpindahan panas dapat terjadi karena adanya perbedaan temperatur yang signifikan antara dua permukaan. Semakin tinggi suhu pengeringan maka semakin besar kadar air yang teruapkan. Laju pengeringan menunjukkan semakin lama waktu pengeringan, laju pengeringan akan semakin turun dan mendekati konstan (Arlin, 2010).

Proses pengeringan dapat dilakukan dengan menggunakan alat pengering (artificial drying), atau dapat juga dilakukan dengan cara

commit to user

menjemur di bawah sinar matahari (sun drying). Jenis alat pengering dapat sangat bervariasi, tergantung bahan yang akan dikeringkan, serta tujuan pengeringan. Berikut ini disampaikan berbagai jenis alat pengering yang terdapat di masyarakat, yaitu : kiln dryer, cabinet dryer, continuous dryer, air lift dryer , spray dryer, drum dryer, vacuum dryer, dan sebagainya. Proses pengeringan menggunakan alat mempunyai keuntungan karena suhu dan aliran udara dapat diatur, sehingga waktu pengeringan dapat ditentukan. Komposisi udara dapat mempengaruhi proses pengeringan. Udara di sekitar bahan pangan yang dikeringkan dibedakan menjadi dua macam, yaitu udara kering dan udara basah. Udara kering jika kandungan uap airnya rendah, sedangkan udara basah jika kandungan uap airnya tinggi. Bila udara kering berada di atas permukaan bahan pangan yang akan dikeringkan, maka akan terjadi penguapan bahan pangan dengan cepat. Semakin kering udara maka semakin cepat terjadinya pengeringan (Winarno, 2007).

4. Tepung Bumbu Masak

Bumbu masak mempunyai bau yang kuat dan tajam biasanya digunakan untuk meningkatkan dan menyesuaikan cita rasa makanan. Bumbu masak biasanya berasal dari rempah-rempah yang biasanya digunakan sebagai penguat cita rasa, aroma, dan kenampakan makanan. Bumbu masak juga dapat meningkatkan selera makan (Odebunmi, 2010).

Menurut SNI (1998) tepung bumbu masak adalah bahan makanan berupa tepung yang digunakan sebagai penambah rasa masakan dengan atau tanpa penambahan bahan lain dan bahan makanan yang diizinkan. Persyaratan mutu untuk tepung bumbu antara lain mempunyai bau dan rasa yang khas, kadar air maksimum 12%, bahan tambahan seperti pengawet dan pewarna.

5. Analisis Karakteristik Kimia

Zat makanan yang berupa karbohidrat, protein, lemak, air, dan abu dari suatu bahan makanan sangat penting bagi tubuh manusia. Karbohidrat merupakan sumber kalori utama, dimana setiap manusia membutuhkan

commit to user

kalori sebagai sumber energi yang utama. Protein juga zat makanan yang sangat penting bagi tubuh, karena protein selain berfungsi sebagai bahan bakar dalam tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Demikian juga dengan lemak yang merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh. Kadar abu yang berkaitan dengan mineral suatu bahan makanan juga salah satu zat yang penting dalam tubuh. Kandungan air dalam bahan sangat berpengaruh terhadap konsistensi bahan pangan, keawetan suatu bahan pangan mempunyai hubungan erat dengan kadar air yang dikandungnya (Winarno, 2004).

Kandungan air dalam bahan makanan mempengaruhi daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba yang dinyatakan dengan Aw, yaitu jumlah air bebas yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Penetapan kandungan air dapat dilakukan dengan beberapa cara. Hal ini tergantung pada sifat bahannya. Pada umumnya penentuan kadar air dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 105-110°C selama 3 jam atau sampai berat konstan. Penentuan kadar air juga dapat dilakukan dengan cara destilasi dengan pelarut tertentu, biasanya digunakan untuk bahan-bahan yang mempunyai kadar air yang tinggi dan mempunyai senyawa-senyawa yang mudah menguap (volatile) (Winarno, 2004).

Lemak dalam biji kedelai merupakan senyawa cadangan energi yang terdiri dari trigliserida dengan sedikit fosfolipida (termasuk lesitin), dan senyawa-senyawa derivat trigliserida seperti senyawa zat warna, sterol, dan tokoferol. Kadar lemak kedelai akan mengalami penurunan akibat fermentasinya menjadi tempe. Wegenknecht dalam Kasmidjo (1990) menyatakan bahwa lebih dari sepertiga lemak netral dari kedelai terhidrolisis oleh enzim lipase selama 3 hari fermentasi oleh Rhizophus oligosporus pada suhu 37°C. Menurut peneliti lainnya dalam Kasmidjo (1990) menyatakan setelah 48 jam fermentasi tempe 20% lemak akan terhidrolisis.

commit to user

Proses pembuatan tempe satu-satunya cara untuk mengubah kedelai menjadi mudah dicerna. Dengan membuat tempe, kadar protein yang larut dalam air akan meningkat akibat aktivitas enzim proteolitik (Van Veen dan Schaefer, 1950 dalam Kasmidjo, 1990). Bahan padat terlarut, nitrogen terlarut dan asam amino terlarut (dinyatakan sebagai nilai formol) tempe meningkat sebesar berturut-turut 40%, 23%, dan 25%, jika biji kedelai yang telah direndam dan direbus digiling dahulu sebelum difermentasi oleh jamur tempe (Kuswanto, 1978 dalam Kasmidjo, 1990).

Protein merupakan salah satu kelompok bahan makronutrien. Tidak seperti makronutrien lemak dan karbohidrat, protein berperan lebih penting pada dalam pembentukan biomolekul daripada sebagai sumber energi (Sudarmadji dkk, 2007). Protein terdiri dari unsur-unsur oksigen, karbon, hidrogen, dan nitrogen. Nilai mutu protein tergantung pada kandungan asam aminonya yang merupakan bagian terkecil dari protein (Muchtadi, 2008).

Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan (Sudarmadji dkk, 2007). Tempe mengandung mineral makro dan mikro dalam jumlah yang cukup. Kapang tempe dapat menghasilkan enzim fitase yang akan menguraikan asam fitat (yang mengikat beberapa mineral) menjadi fosfor dan inositol, dengan terurainya asam fitat, mineral-mineral tertentu (seperti besi, kalsium, magnesium, dan zink) menjadi lebih tersedia untuk dimanfaatkan tubuh.

Di dalam tempe ditemukan suatu zat antioksidan dalam bentuk isoflavon. Seperti halnya vitamin C, E, dan karotenoid, isoflavon juga merupakan antioksidan yang sangat dibutuhkan tubuh untuk menghentikan reaksi pembentukan radikal bebas. Dalam kedelai terdapat tiga jenis isoflavon, yaitu daidzein, glisitein, dan genistein. Pada tempe, di samping ketiga jenis isoflavon tersebut juga terdapat antioksidan faktor II (6,7,4 trihidroksi isoflavon) yang mempunyai sifat antioksidan paling kuat

commit to user

dibandingkan dengan isoflavon dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium (Astawan, 2003). Selama proses fermentasi terjadi peningkatan antioksidan yang dijelaskan oleh Ralston (2005) dalam Siswani (2009), kecap yang dibuat dari tempe busuk memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan yang dibuat dari kedelai, karena mengandung kadar isoflavon, seperti genestein yang jauh lebih tinggi daripada kedelai dan tempe jadi. Hal ini disebabkan adanya proses biosintesis dari flavonoid menjadi isoflavon selama proses fermentasi oleh ragi tempe.

Senyawa antioksidan adalah senyawa yang berperanan untuk menghambat proses autooksidasi dalam minyak atau lemak. Antioksidan hanya berfungsi sebagai penghambat reaksi oksidasi dan tidak dapat menghentikan sama sekali proses autooksidasi pada lemak sehingga pada akhir proses ketengikan akan selalu terjadi (Ketaren, 1986). Astawan (2003) menjelaskan bahwa di dalam tubuh, antioksidan berfungsi untuk menghentikan reaksi radikal bebas. Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan, sehingga sangat reaktif dan dapat menyebabkan tumor, kanker, penuaan, dan kematian sel. Radikal bebas dapat berasal dari makanan sehari-hari yang kita makan atau reaksi yang terjadi di dalam tubuh. Adanya antioksidan dalam makanan akan mencegah terbentuknya radikal bebas tersebut.

6. Analisis Karakteristik Fisik

Densitas merupakan salah satu sifat fisik bahan pangan. Sebagian besar partikel makanan memiliki densitas padat sekitar 1,4-1,5 g/cm 3 . Densitas produk berbentuk bubuk (food powder) dipengaruhi oleh komposisinya. Densitas kamba (Bulk density) adalah massa partikel yang menempati suatu unit volume tertentu. Densitas kamba ditentukan oleh berat wadah yang diketahui volumenya dan merupakan hasil pembagian dari berat bubuk dengan volume wadah. Porositas merupakan bagian yang

commit to user

tidak ditempati oleh partikel atau bahan padatan. Bubuk bersifat compressible sehingga densitas kambanya diberi sifat-sifat tambahan, seperti loose bulk density, tapped bulk density (setelah getaran), atau densitas yang kompak/ compact density (densitas setelah dimampatkan). Nilai densitas dari berbagai makanan berbentuk bubuk umumnya antara

0,3-0,8 g/cm 3 . Hal ini menunjukkan bahwa makanan berbentuk bubuk memiliki porositas yang tinggi, yaitu sekitar 40-80%. Perubahan densitas kamba dapat menyebabkan perubahan dari sifat-sifat bubuk (Wirakartakusumah, 1992).

Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempatinya dan dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba menunjukkan porositas dari suatu bahan. Perhitungan densitas kamba ini sangat penting, selain dalam hal konsumsi terutama juga dalam hal pengemasan dan penyimpanan. Makanan dengan densitas kamba yang tinggi menunjukkan kepadatan produk ruang yang kecil (Agustina, 2008).

Daya serap air atau Wettability adalah waktu yang dibutuhkan oleh sampel tepung dalam menyerap air. Kualitas tepung yang dihasilkan salah satunya ditentukan oleh daya dispersi yang dimilikinya. Semakin besar daya dispersi bahan pangan maka semakin mudah larut tanpa harus dilakukan pengadukan (Agustina, 2008). Menurut Barbosa-Canovas dan Vega-Mercado (1996) dalam Agustina (2008) menjelaskan bahwa terdapat beberapa sifat fungsional dari bahan yang dikeringkan, yaitu 1) wettability, merupakan kemampuan tepung untuk menyerap air. Sifat ini dipengaruhi oleh proses aglomerasi, jumlah yang terserap, adanya partikel non- aglomerat; 2) sinkability, merupakan kemampuan tepung untuk tenggelam setelah dibasahi air. Sifat ini dipengaruhi oleh densitas partikel; 3) solubility , merupakan kecepatan untuk melarut atau disebut juga dengan total kelarutan. Sifat ini dipengaruhi oleh daya pengembangan dan adanya flek; 4) dispersibility, merupakan kemampuan tepung untuk

commit to user

terdistribusi seluruhnya pada air tanpa membentuk gumpalan. Sifat ini dipengaruhi oleh ukuran partikel dan keberadaan aglomerat.

7. Organoleptik

Mutu bahan pangan baik dalam bentuk mentah maupun bentuk pangan jadi sangat ditentukan oleh penilaian indera konsumen. Penilaian tersebut sebagai uji organoleptik atau uji indera (sensory evaluation). Pengujian organoleptik merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk. Pengujian organoleptik mempunyai peranan penting dalam penerapan mutu. Metode ini disepakati sebagai metode pengujian yang praktis dalam menentukan kecepatan dan ketepatan (Embrio, 2011).

Dalam pengujian inderawi dikenal beberapa tipe pengujian. Cara klasifikasi untuk tipe-tipe pengujian bermacam-macam. Cara klasifikasi yang paling banyak dikenal adalah pengelompokan tipe pengujian menjadi uji pembedaan kesukaan (preference test) dan uji pembedaan (difference test ). Uji kesukaan umumnya digunakan untuk menilai atau memperhitungkan reaksi konsumen terhadap sampel yang diujikan. Uji kesukaan pada dasarnya merupakan pengujian yang panelisnya mengemukakan responnya yang berupa senang atau tidaknya terhadap sifat bahan yang diuji. Pada pengujian ini dilakukan oleh panelis yang belum terlatih (Kartika dkk, 1988).

commit to user

B. Kerangka Berpikir

C. Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah variasi suhu pengeringan diduga akan mempengaruhi karakteristik fisikokimia dan sensori tepung tempe “bosok”.

Tempe kedelai makanan

fermentasi.

Tempe “bosok” makanan fermentasi yang

dapat digunakan sebagai bumbu masak.

Pengeringan dapat memperpanjang

umur simpan tempe “bosok”.

Mengkaji karakteristik fisikokimia

dan sensori tepung tempe “bosok”

dengan variasi suhu pengeringan.

Tempe “bosok” dibuat menjadi

tepung tempe “bosok”

commit to user

18

BAB III METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Sentra Industri Kecil Tempe Desa Manang, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Laboratorium Rekayasa Proses Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, dan Laboratorium Pangan dan Gizi Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari 2012 sampai dengan Maret 2012.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini berupa tempe “bosok” overripe 1. Tempe dibuat di UKM Sentra Industri Kecil Tempe Desa Manang, Kecamatan Grogol, Kabupaten. Sukoharjo, Jawa Tengah seperti yang sudah dibakukan oleh Standard Operating Procedure (SOP) Andriani (2011). Kedelai yang digunakan sesuai dengan Standard Operating Procedure (SOP) Andriani (2011) yaitu kedelai kuning (Glycine max) dengan merk GCU USA Soy Beans No. 1 dari Amerika (impor) dan ragi yang digunakan merupakan inokulum yang diproduksi LIPI dengan merk RAPRIMA. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan untuk analisis antara lain:

a. Analisis Protein Terlarut : Lowry A, Lowry B, Standar BSA, aquadest.

b. Analisis Gula Reduksi : Arsenomolibdat, aquadest, Nelson.

c. Analisis Kadar Lemak : Petroleum eter dan kertas saring.

d. Analisis Antioksidan : DPPH (Diphenyl picrylhydrazyl) dan metanol.

e. Analisis Kelarutan Tepung dan Daya Serap Air : aquadest dan kertas saring.

commit to user

2. Alat Alat yang digunakan dalam pembuatan tepung tempe “bosok” yaitu inkubator, cabinet dryer dengan 3 macam suhu (55°C, 60 °C, dan 65°C), dan mesin penepungan dengan ayakan 80 mesh. Sedangkan alat- alat yang digunakan untuk analisis antara lain :

a. Analisis Kadar Air : gelas krus/botol timbang dan oven.

b. Analisis Protein Terlarut : tabung reaksi, pipet volume, erlenmeyer, labu ukur, dan spektrofotometer UV mini 1240 Shimadzu.

c. Analisis Gula Reduksi : tabung reaksi, pipet volume, erlenmeyer, labu ukur, dan spektrofotometer UV mini 1240 Shimadzu.

d. Analisis Kadar Lemak : alat ekstraksi soxhlet, saringan timbel, alat kondensor, botol timbang, dan oven.

e. Analisis Kadar Abu : krus porselen, kompor, dan tanur abu.

f. Analisis Aktivitas Antioksidan : spektrofotometer UV mini 1240 Shimadzu, kuvet, pipet volume 5 ml dan 1 ml, tabung reaksi dan vortex.

g. Analisis Bulk Density : timbangan, jangka sorong, dan wadah kuboid kecil.

h. Analisis Kelarutan Tepung: oven, desikator, beker glass, corong, dan erlenmeyer.

i. Analisis Daya Serap Air: gelas ukur 10 ml, corong, beker glass, dan erlenmeyer.

j. Uji Organoleptik: plastik dan borang.

C. Tahap Penelitian

1. Persiapan Alat dan Bahan Tahap penelitian yang pertama yaitu menyiapkan peralatan dan bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan tempe, peralatan dan bahan yang digunakan untuk pembuatan tepung tempe, serta bahan-bahan yang digunakan untuk pengujian sampel atau analisis.

commit to user

2. Pembuatan Tempe “Bosok” Tahap penelitian yang kedua yaitu pembuatan tempe mengacu pada Standard Operating Procedure (SOP) Andriani (2011) yang sudah dibakukan oleh UKM di Sentra Industri Kecil Tempe sehingga metode pembuatannya berdasarkan dari pengrajin tempe yang sudah dibakukan. Secara umum metode pembuatan tempe adalah kedelai disortasi, kedelai kemudian dicuci sampai bersih, lalu direbus selama antara 25 menit ± 2. Kedelai yang telah direbus tadi kemudian direndam ± 15 jam. Setelah perendaman, kulit kedelai dikupas dan dicuci atau direbus lagi selama 25 menit ± 2. Setelah didinginkan dan ditiriskan, kemudian diberi laru/ragi/inokulum, dicampur secara merata, dan dibungkus menggunakan daun. Tempe yang telah dibungkus kemudian diinkubasi pada inkubator dengan menggunakan suhu terkendali 30°C (Andriani, 2011) inkubasi tempe dilakukan selama 5 hari (tempe “bosok” overripe 1) untuk menjadikan “bosok” yang disukai menurut konsumen mengacu pada penelitian Habibi (2011).

3. Pengeringan Tahap penelitian yang ketiga yaitu pengeringan tempe “bosok” overripe 1 , proses pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air dalam tempe “bosok”. Proses pengeringan ini dilakukan dengan variasi suhu pengeringan yaitu suhu 55°C, 60°C, dan 65°C.

4. Penepungan Tahap penelitian yang keempat yaitu proses penepungan. Proses penepungan dilakukan menggunakan mesin penepung. Selanjutnya tepung diayak menggunakan ayakan 80 mesh.

5. Analisa Fisikokimia Tepung Tempe “Bosok” Berikut ini merupakan beberapa analisis yang dilakukan pada tepung tempe “bosok” yang meliputi karakteristik fisikokimia yang terkandung di dalam tepung tempe “bosok” di antaranya adalah :

commit to user

a. Sifat Fisik Tepung Tempe “Bosok” Tabel 3.1 Metode Analisis Sifat Fisik Tepung Tempe “Bosok”

No Macam Analisis

2 Bulk Density

Pengujian Sederhana (Tien R Muchtadi, 1992)

3 Kelarutan Tepung

Pengujian Sederhana (Dedi Fardiaz, 1992)

4 Daya Serap Air

Pengujian Sederhana (Dedi Fardiaz, 1992 dalam Prabowo, 2010)