Mewaspadai Secondary Traumatic Stress Saat Memberi Pelayanan Konseling

  2337-6740 - 2337-6740 - 2337-6740 - 2337-6880 2337-6880 2337-6880

  ISSN Cetak:

  ISSN Cetak:

  ISSN Cetak:

  ISSN Online: http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com http://jurnal.konselingindonesia.com Volume 1 Nomor 2, Juni 2013, Hlm 8-16 Volume 1 Nomor 2, Juni 2013, Hlm 8-16 Volume 1 Nomor 2, Juni 2013, Hlm 8-16 dan dan dan

  ISSN Online:

  ISSN Online:

  Info Artikel: Diterima 04/11/2014 Direvisi 18/11/2014 Dipublikasikan 30/11/2014

  Ikatan Konselor Indonesia (IKI)

M Mewaspadai Secondary Traumatic Stress Saat

Memberi Pelayanan Konseling

  Amirah Diniaty Universitas Negeri Padang

  Abstract

Not infrequently counselo selor faced with complicated problems and traumatic atic outstanding

experienced by the client. A t. According to Figley and Stamm (in Stamm, 1999), a tra trauma counselor

can come to experience s e some of the symptoms are similar to Post Traumatic S Stress Disorder

(PTSD), which is owned b by their clients. Figley (in Richardson, 2001) defines this this situation with Secondary Traumatic Stre tress (hereinafter referred to as STS), which is somethin thing that occurs naturally, is a behavioral a l and emotional consequences as a result of knowledge abo about a traumatic

event experienced by a sig significant other. The term 'secondary' refers to the fact th t that the trauma

experienced by others, but but then experienced by the participating parties observe, ve, giving aid, or

listen to the story (Sidab abutar, 2003). This is the "price" of giving attention, c , care, and help

individuals who experienc nce trauma. Counselors need to be aware of this conditio ition. Discussion

professional is one importa rtant activity that needs to be done.

  Keyword: K onselor, Secondary T Traumatic Stress, Konseling, Klien

  Copyright © 2014 IICE - Multika ltikarya Kons (Padang - Indonesia) dan IKI - Ikatan Konselo elor Indonesia - All Rights Reserved

  Indonesian Institute for Counselin ling and Education (IICE) Multikarya Kons PENDAHULUAN

  Sukses dalam proses kon konseling tergantung pada kerjasama Antara konselor dan an klien (Kottler, Sexton &Whiston, 1994; Okun and Kantr ntrowits, 2008 in Samuel Gladding, 2012). Namun demikia ikian Samuel T Gladding (2012: 38) menyatakan kepribad adian konselor adalah hal yang sangat penting juga dala alam konseling. Seorang konselor haruslah dewasa, ramah ah dan bisa berempati. Mereka harus altruistic (peduli p li pada kepentingan orang lain) tidak mudah marah atau frus rustrasi. Auvenshine dan Noffsinger (1984) dalam Samuel T l T. Gladding ( 2012:44 ) menjelaskan konselor yang efek ektif adalah konselor yang secara emosi dewasa, stabil, il, dan objektif. Mereka memiliki kesadaran diri, mantap p dalam kesadaran tersebut serta mampu mengelola kele elebihan dan kekurangan mereka secara realistis.

  Begitu sempurna tuntutan tan bagi pribadi konselor menjadikan profesi ini tergolong ng dalam level penolong professional. Samuel T. Gladding ing (2012:45) menegaskan penolong professional adalah o h orang-orang yang telah dididik untuk membantu kegiatan tan pertolongan dalam tingkat preventif dan remedial. Penolo olong dalam tingkatan ini telah menjalani jenjeng pendidika ikan tingkat tinggi dan sudah dipersiapkan untuk menghad adapi situasi-situasi yang tidak umum.

  Salah satu situasi yang tid g tidak umum dihadapi oleh konselor adalah peristiwa tr traumatis yang dihadapi klien. Traumatis artinya adalah ke keadaan jiwa atau tingkah laku yg tidak normal sbg akibat ibat dari tekanan jiwa atau

  Keberadaan klien yang tr g trauma dan dilayani oleh konselor dalam proses konseli eling face-to-face, berarti hanya semata konselor pribadi ya i yang mengetahui persoalan yang dialami oleh klien. Kon onselor yang adalah juga manusia dengan segenap kelebiha ihan dan kekurangannya, serta hakikatnya sebagai maklu luk social membutuhkan orang lain. Profesionalisme dan n n naturalisme sebagai konselor dituntut untuk dapat mem embantu klien mengatasi traumanya tapi di sisi lain juga ha harus mampu memisahkan dirinya pribadi sebagai pemberi eri layanan. Ketika terjadi STS, apa yang harus dilakukan ko konselor? Selaku makluk social dan tenaga professional, t l, tentunya konselor tidak bias membicarakan kondisi klien lien dan dirinya pada sembarangan orang. Dalam hal ini dis i diskusi professional dan forum musyawarah guru pembimb imbing (MGP) dapat dijadikan sebagai wadah. Namun baga agaimana batasan-batasan dalam membicarakan kondisi STS STS itu di diskusi professional tersebut perlu dipahami oleh k h konselor.

  Tulisan ini berisi berupay paya mengungkap kajian teoritis dan analisis yang terjadi d di dilapangan. Bagaimana sesungguhnya STS itu terjadinya, a, akibat dan upaya penangulangannya pada konselor. Inila nilah yang menjadi tujuan penulisan makalah ini. Sehingga d a diharapkan tulisan ini dapat bermanfaat bagi konselor yan ang mengalami STS atau yang belum mengalami dapat men engatasinya dan mencegahnya dengan tepat.

  AUMATIC STRESS HAKIKAT SECONDARY TRAU

  Peristiwa yang terjadi d i dalam kehidupan klien bisa saja menimbulkan bekas m mendalam. Bekas yang dimaksud bukan saja secara fisik te ik tetapi lebih kepada psikologis. Anda mungkin pernah men engalami kejadian secara fisik seperti jatuh dari ketinggian s n semisal memanjat batang pohon, lalu mengakibatkan tub ubuh anda cacat atau kaki anda patah. Kejadian jatuh dari p i pohon bukan hanya menimbulkan bekas pada fisik Anda da yaitu kaki anda patah, tetapi juga dapat menyebabkan k ketakutan pada diri Anda akan ketinggian. Saat menaiki iki tangga atau berada di gedung tinggi lalu anda melihat ke t kebawah jantung anda berdegup kencang, kepala Anda tiba iba-tiba pusing, dan Anda bisa histeris. Anda mengalami per eristiwa traumatis.

  Lebih menarik lagi dalam lam tulisan ini saya cuplikan sebuah kisah tentang pengalam laman traumatis luar biasa yang dialami seorang ibu. Kisah in ini saya ambil dari cerita seseorang dalam media facebook ok, sebagai berikut : Cerita itu tentang (A), seo seorang ibu rumah tangga asli Boyolali tapi tinggal di sa satu kota, lulusan Institut tertentu, yang pada da 2006 lalu menggegerkan masyarakat karena membunuh uh ketiga anaknya yang masih kecil dengan ca cara membekap mereka dengan bantal sampai meninggal. al. Mungkin masih banyak yang ingat kasusny snya. Banyak yang mengira bahwa alasan pembunuhan itu itu adalah karena Bu A depresi memikirkan an masalah ekonomi dan mengkhawatirkan masa depan pan anaknya yang suram. Bu A kemudian n diputus bebas oleh pengadilan dan diperintahkan u untuk menjalani perawatan di Rumah Sakit kit Jiwa. Pak F kebetulan tergabung didalam tim psikologi gi yang memeriksa kondisi kejiwaan Bu A w waktu itu, dan cerita latar belakang kenapa Bu A me memutuskan untuk mengakhiri hidup anak2ny nya inilah yang mengundang kucuran airmata dan menega egakkan bulu roma kami semua yang mendeng ngarnya Bu A sendiri, boleh dibila ilang adalah potret sempurna dari keberadaan seorang a g anak. Dari kecil sampai lulus, prestasi akad kademiknya selalu cemerlang. Pengalaman sosialnya juga ga bagus. Intinya, dari luar dia merupakan an anak yang diidam-idamkan semua orangtua, titik. K . Ketika kemudian menikah dan menjadi seo seorang ibu, dia juga tidak beda dengan ibu-ibu lainny innya yang sangat menyayangi anak-anaknya nya, segenap jiwa dan raga. Lantas kenapa dia samp mpai memutuskan mengakhiri hidup anak-an -anaknya sendiri?? Sebelum mengungkapkan alasan yang ng berhasil digali oleh tim psikologi yang m memeriksanya, Pak F menggambarkan suasana siang itu g itu, ketika Bu A melaksanakan niat yang su sudah bulat diambilnya sejak beberapa waktu sebelumnya. ya.

  Siang itu si anak sulung N N (6 tahun) baru pulang sekolah. Mungkin sekitar dhuhur hur, ketika sehabis sholat Bu A menyambut ke t kedatangan si sulung dengan senyum dan pelukan sayan yang seperti biasa. Kemudian disiapkannya ma makan siang untuk N, ditemaninya si sulung makan siang b g bersama adiknya Fs (3 tahun, si anak tengah ah) . Si bungsu U (9 bulan) saat itu sedang tidur siang.

  Sepanjang makan siang itu itu, Bu A lebih banyak mengelus rambut anak2 dan m menciumi kepala mereka daripada hari-hari ari yang lain. Setelah selesai disuruhnya N dan Fs mandi. di. Sehabis mandi, mereka diberi pakaian yan ang nyaman dan dibedak seluruh tubuhnya sampai harum. m. Bu A kemudian menyuruh si sulung berma rmain di ruangan lain sementara dia mengantar si tengah gah tidur siang di kamar. (Aku tidak yakin y in yang mana diantara mereka yang lebih dulu diminta un untuk tidur siang, tetapi kurang lebih begitu k itu kejadiannya, satu anak diantar tidur siang dan yang lain in bermain di luar kamar).

  Bu A tak lupa mengajak si si anak membaca doa sebelum tidur, bahkan dengan lemb mbut menyanyikan beberapa lagu pengantar tid tar tidur yang diminta anaknya. Ketika kemudian dia yakin kin bahwa si anak sudah tertidur pulas, diam iambilnya bantal dan ditangkupkannya ke wajah anaknya ya tersebut….kuat- kuat….lama….cukup lama a sampai nafas si anak berhenti… Kemudian Bu A memang nggil si anak lain yang sedang bermain di luar kamar ar. “Ayo, temani saudaramu tidur siang nak nak…” Dengan kelembutan dan kasih sayang yang sama d a diantarkannya si kecil ke hangatnya tidur s r siang dan mimpi yang indah… Dan Bu A sekali lagi me mengambil bantal untuk ditangkupkan ke wa wajah si kecil… Si kecil pun kembali meregang nyawa te a tepat disamping saudara yang tanpa sepeng engetahuannya sudah lebih dulu meninggalkannya.

  Dan terakhir, si bungsu U u U, yang masih bayi dan terlelap tidur pun, kemudian m n menyusul kedua kakaknya…meregang nyaw awa didalam pelukan Bu A…

  • *** Kisah diatas sangat meng engerikan buat kita semua, tentu saja… Tetapi kalau u ada yang lebih mengerikan adalah alasan an Bu A melakukannya. Kalau melihat latar belakang pend ndidikannya, tentu hal seperti ini kurang masu asuk akal. Seharusnya Bu A sebagai seseorang yang berpe rpendidikan tinggi, lebih bisa mengatasi tekan kanan mental maupun emosi didalam dirinya. Tetapi apa y a yang dialaminya (seperti yang diceritakan n oleh Pak F di PSC) ternyata memang sangat besar, ja , jauh lebih besar daripada yang kami semu mua kira. Setelah melewati penggalian yang lama dan n dalam oleh tim psikologi, terungkap alasan san sebenarnya dibalik keputusan Bu Ani… A dari luar memang potret tret anak yang sempurna. Tetapi sangat ironis dan dramatis, tis, kecemerlangan dirinya dihadapan semua o a orang, ternyata tidak bisa dilihat oleh si Ani terpancar k r keluar dari mata ibu kandungnya sendiri. Ib Ibunda dari A, diceritakan tidak pernah merasa puas deng ngan apapun yang dicapai oleh putrinya. Da Dan sang Ibu adalah tipe wanita yang SANGAT PENGO GOMEL!! Sekeras apapun Ani berusaha mem emberikan yang terbaik dalam hidupnya, tetap saja yang d g dia dapat ketika pulang adalah omelan tida tidak puas dari ibunya. Sebanyak apapun nilai A yang dia dia dapat, begitu berhadapan dengan ibuny unya langsung menjadi tidak berarti karena akan selalu lalu dibandingkan dengan prestasi teman lain lain yang nilai A nya lebih banyak. Setinggi apapun prestasi tasi yang dicapai A, yang dilihat sang Ibu adala dalah orang lain yang berprestasi lebih tinggi lagi. Omela elan demi omelan tanda ketidakpuasan, sepe epertinya hanya itu yang Ani dapat selama dia tumbuh d h dewasa. Dan itu merupakan sebuah luka luka yang besar yang kemudian berurat akar d dalam dirinya.

  Ketika Ani menikah serta m ta melahirkan ketiga anak-anaknya, omelan-omalen tak pua puas dari sang ibu bahkan sama sekali bukanla anlah yang terburuk yang bisa terjadi… Selama mendidik putra-putr putrinya, pelan-pelan Ani belajar dan menyadari bahwa ke kebiasaan ibunya mendidik dia dulu, tanpa pa sadar seringkali dilakukannya pada anak-anaknya. S . Sekeras apapun niatnya untuk bertekad tid tidak mau meniru cara mendidik ibunya yang penuh omela elan tak puas itu, tetapi sesering itu juga ta tanpa disadarinya, itu terjadi… Anaknya tumbuh denga ngan omelan yang (walaupun tidak sebanyak ak dirinya, tetapi) mirip dengan yang selalu diterimanya ya dulu dari sang ibu… A kemudian belajar dan m menemukan bahwa luka yang ditorehkan sang ibu didalam lam hidupnya, tak mungkin terhapuskan… Le Lebih buruk lagi, kemudian dia memutuskan bahwa luk luka itu menular, menurun dan melukai an anak-anaknya juga… Luka yang kali ini dia timbulkan an sendiri…. Dia torehkan tanpa sadar keda edalam hidup anak-anak yang dicintainya… Luka yang m menyebar dengan kuat, bahkan tekad bula ulatnya yang kuat untuk menjadi ibu yang baik p pun, tak kuasa menghentikannya… Sebagai seorang ibu, A m merasa bahwa dia adalah ibu yang sudah terlanjur terla rlaknat. Terlaknat oleh luka dan kebiasaan bu buruk tak tersembuhkan yang sudah kadung ditorehkan ib ibunya dulu. Dan lebih buruk lagi, sekarang, ng, tanpa dia sadari dan bisa hentikan, dia akan mencetak 3 k 3 calon orangtua yang terlaknat juga, yaitu aitu anak-anaknya. Ani merasa nanti ketika anak2nya ya sudah menjadi orangtua, tanpa sadar me mereka pasti akan mewarisi caranya memperlakukan ana nak-anak, sekeras apapun mereka mungkin ak akan mencoba menghentikannya. Tak terbayangkan oleh A n A nasib cucu dan keturunannya, kalau luka ini akan terus rus menjalar turun kepada keturunannya. Kala Kalau omelan-omelan jahanam itu akan terus menelan k n korban, melukai hidup banyak orang kare arena tidak bisa dihentikan penularannya. Melukai bany anyak orang yang kemudian hanya akan ber berakhir sama, menjadi penyebar dan pembawa kebiasaan aan terkutuk itu… Konon, Bu A masih meng engakui betapa cintanya dia pada sang bunda… Tetapi pi pada akhirnya, sebagai seorang ibu yang ng juga sangat mencintai N, Fs dan U, Bu A memutuskan n bahwa dia tidak sanggup lagi mencin cintai anak-anaknya… Tidak dengan cara seperti itu…

  • *** Cerita di atas, kalau diti ditindaklanjuti dengan konseling misalnya Bu A adalah k h klien Anda..maka akan mungkin Anda akan memikirkan an Bu A diluar proses konseling, membayangkannya an andai saja bu A ketemu dengan Anda sebelum dia mem embunuh ke-3 anaknya. Mungkin saja itu akan menye yebabkan Anda menjadi mengalami ketakutan/trauma men enghadapi anak kandung Anda sendiri, terbayang-bayang ng kejadian yang dialami oleh bu A. Maka bahasan ini m i menyangkut tentang kejadian traumatis yang mungkin d dialami konselor dalam membantu klien yang mengalami tr i trauma.

  Bidang traumatologi (stu studi mengenai individu yang mengalami trauma) telah m mencapai perkembangan yang pesat di akhir dekade ini (Fi i (Figley, 1995). Salah satu kontribusinya adalah meningka gkatnya kesadaran bahwa seseorang akan mengalami dampa pak psikologis yang berat ketika mengalami kejadian yang ng traumatik. Oleh sebab itu, pada tahun 1980, American Ps Psychiatric Association mempublikasikan adanya diagnosis sis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam Diagnos nostic and Statistic Manual of Mental Disorder (Third ird Edition ) (DSM-III).

  Diagnosis ini melihat simtom-sim simtom yang umumnya dialami oleh individu-individu ya yang mengalami trauma sebagai gangguan psikiatris. PT PTSD merepresentasikan betapa berbahayanya pengaru aruh biopsikososial dari pengalaman traumatis.

  Konsep PTSD mendor orong penelitian-penelitian di bidang traumatologi. D Dari ratusan penelitian dilaporkan bahwa ternyata individ ividu yang tergolong mengalami trauma bukan hanya kor korban trauma itu sendiri (victims) tapi juga mencakup mere ereka yang terkena trauma secara tidak langsung (Pickett, 1 tt, 1998). Atau dengan kata lain, individu dapat mengalami tr i trauma tanpa harus secara fisik berhadapan dengan pe peristiwa traumatik atau mendapatkan ancaman bahaya sec secara langsung. Selain itu, hanya dengan mendengar tenta tentang kejadian traumatik itupun dapat berpotensi untuk mem embawa kondisi traumatik. Tidak hanya keluarga dari sese eseorang yang mengalami trauma yang rentan terhadap trau trauma sekunder, tetapi juga para pekerja kesehatan menta ntal dan orang-orang lain yang ingin menolong korban (Figle Figley, 1995).

  Hal ini dijelaskan oleh C Charles R.Figley dan B.Hudnall Stamm (Stamm, 1999), y , yang bekerja menangani klien yang trauma pada sebuah Tr Trauma Center . Ia menyadari adanya suatu efek negatif y f yang dialami oleh para konselor. Efek ini justru muncul cul karena upaya seorang konselor dalam memberikan pe perhatian dan berempati kepada klien serta dorongan yang ng kuat untuk membantu klien. Menurut Figley dan Stamm m (dalam Stamm, 1999), seorang konselor trauma bisa ik ikut mengalami beberapa simtom yang serupa dengan n Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang dimiliki o i oleh klien mereka. Figley (dalam Richardson, 2001) me mendefinisikan situasi ini dengan Secondary Traumatic Str Stress (selanjutnya disebut STS), yaitu suatu hal yang g terjadi secara natural, merupakan suatu konsekuensi ting tingkah laku dan emosi sebagai akibat dari pengetahuan me mengenai suatu peristiwa trauma yang dialami oleh significa ificant other. Istilah ‘sekunder’ mengacu pada kenyataan ba bahwa trauma itu dialami oleh orang lain, tetapi kemudia dian ikut dialami oleh pihak yang mengamati, memb mberikan bantuan, atau mendengarkan kisahnya (Sidab idabutar, 2003). Figley (1995) juga menyebut kond ondisi tersebut sebagai “reaksi secondary catastrophic str stress”, yang berarti bahwa empati terhadap pengalaman or orang lain menghasilkan ketegangan emosional (seperti kes kesedihan, kemarahan, dll). Hal ini merupakan “harga” dari ari memberikan perhatian, kepedulian, dan pertolongan pada da individu yang mengalami trauma.

  Ppenjelasan di atas seba bagai argumentasi peristiwa STS dapat terjadi pada kons nselor. Konselor sebagai tenaga professional yang memb bantu klien agar terlepas dari masalah trauma yang d dialaminya, juga dapat dijangkiti oleh STS.

  Fenomena tentang STS S juga diasosiasikan dengan “cost of caring” terhadap p penderitaan emosional orang lain (Figley dalam Rudolph, lph, Stamm, danStamm, 1997). Adanya suatu perasaan simp pati yang mendalam dan kesedihan terhadap orang lain in yang menderita, disertai dengan keinginan yang kua kuat untuk meringankan penderitaan mereka dan menghila hilangkan faktor penyebabnya menyebabkan seseorang mu mudah untuk mengalami STS (Joinson, dalam Stamm, 1999 99).

  Berdasarkan definisi di di atas, maka STS merupakan istilah yang digunakan u untuk mendeskripsikan gangguan atau rasa sakit psikolo ologis yang berkembang pada para profesional kesehatan tan mental yang bekerja dengan klien yang mengalami tr i trauma (Chrestman dalam Stamm, 1999). Meskipun n STS merupakan suatu konsekuensi yang alamiah akibat at seseorang mendampingi orang lain yang mengalami tra trauma, namun tentu saja konsekuensi ini dapat menimbulka lkan stres yang sangat berat.

  AUMATIC STRESS DAMPAK SECONDARY TRAU BAGI KONSELOR

  Para peneliti telah memb mbandingkan efek trauma klien pada pekerja kesehatan m mental dengan simtom- simtom PTSD (Conrad dan Perry erry dalam Hesse, 2002). Mereka sependapat bahwa beke ekerja dengan klien yang mengalami trauma memiliki efek ek yang tak dapat dielakkan, mengganggu, dan jangka pan panjang pada terapis, dan bahwa reaksi ini mungkin saja te a terjadi tanpa memandang suku, jenis kelamin, usia, dan dan tingkat keahlian atau profesional seseorang (Edelwich ichdan Brodsky, dalam Hesse, 2002). Beberapa peneliti eliti yakin bahwa STS dihasilkan dari proses pemaparan ran dari pengalaman traumatik yang dialami oleh orang la lain. Figley dan Stamm (Stamm, 1999) melihat bahwa pe pengalaman bekerja dengan klien yang mengalami traum uma dapat mengubah diri seorang konselor atau terapis m menjadi lebih baik atau buruk. Dengan demikian, peris eristiwa dan pengalaman traumatis klien juga mempengaruh ruhi kehidupan pribadi konselor.

  Anda mungkin pernah m membaca kisah Sybil, kisah nyata seorang gadis dengan gan 16 kepribadian yang ditulis oleh Flora Rheta Schreiber iber (1973) yang diterjemahkan oleh Sarlito W.Sarwono (19 (1984). Kisah tragis yang dialami seorang anak perempua uan bernama Sybil dibesarkan dalam lingkungan kelua luarga yang picik, serba mengharamkan, kejam, dan tidak ak memberi peluang untuk jalan keluar. Split of persona nality merupakan gejala hysteria melawan pengalaman tr traumatis yang dialaminya. Menarik dalam buku ini dic diceritakan bahwa Sybil dirawat oleh seorang psikiater ber bernama Dr. Wilbur, yang lebih kurang selama 35 tahun m merawat Sybil sehingga semua kepribadiannya kembali me i menyatu. Pada bagian cerita itu dihalaman 394 paragraf ke ke 3, penulis menemukan pernyataan sebagai berikut : “ Den engan mempertimbangkan parahnya problem-problem yan ang sedang dihadapi oleh pasiennya maupun dirinya sendiri, iri, Dr. Wilbur menyadari bahwa ia sdang menghadapi krisis isis professional.”

  Kalimat ini, penulis makn aknai bahwa terjadi STS dalam diri Dr. Wilbur. Dapat dibay ibayang, menghadapi klien yang memiliki kepribadian seban anyak 16 dengan karakteristik tingkah laku berbeda-beda, da, dan itu dilayani lebih dari 35 tahun. Ada saatnya Dr. Wilb Wilbur, mengalami stress dari peristiwa traumatis yang diala ialami kliennya.

  Terkait dengan itu menu nurut Beaton dan Murphy (dalam Cornille, 1999), individu idu yang mengalami STS umumnya menunjukkan simtom tom-simtom yang sama dengan PTSD, antara lain lain :Adanya gangguan tidur,Kemarahan, Ketakutan yang ng intense, Gangguan memory,Sensitif, Cemas, Menekan an emosi tertentu, Mimpi buruk, Kehilangan control, Depr presi, Tendensi untuk bunuh diri. Selanjutnya, efek dari ari STS itu sendiri akan mengganggu fungsi profesional in l individu.

DISKUSI PROFESIONAL: STR STRATEGI MENGATASI STS PADA KONSELOR

  Konselor perlu mewaspa spadai STS. Terkait STS kepribadian dari seorang konselo elor sangat kurisal dalam menciptakan perubahan pada klie lien dibanding kemampuan mereka dalam menguasai peng engetahuan, keahlian atau teknik (McAuliffe & Lovell, Ro Roger , 1961, dalam Samuel T. Gladding, 2012: 40). ). Konselor yang efektif bertumbuh sebagai seorang man anusia dan menolong yang lain untuk melakukan hal ya l yang sama, baik secara profesional maupun global. Deng engan kata lain, konselor yang efektif bertumbuh sebagai gai seorang manusia dan menolong yang lain untuk melak lakukan hal yang sama, baik secara personal maupun glo global. Dengan kata lain, konselor yang efektif peka terh terhadap diri mereka dan orang lain. Mereka memonito nitor prasangka mereka, mendengarkan, mencari klarifikas asi, mengeksplorasi perbedaan kultural dan rasial secara ter terbuka dan positif (Ford, Harris, & Schuerger, 1993 dalam Sa m Samuel T. Gladding, 2012: 40).

  Kemampuan konselor un untuk bekerja dari perpekstif pengalaman emosional yan yang sudah teratasi yang membuat seseorang peka terhada dap diri sendiri dan orang lain adalah karakter yang diseb isebut Rollo May sebagai penyembuh luka (May, Remen, Y , Young, & Berland, 1985 Samuel T. Gladding, 2012: 4 : 41). Hal ini merupakan fenomena paradoks. Individu yan ang pernah tersakiti dan mampu mengatasi rasa sakit ters tersebut serta memperoleh wawasan untuk diri sendiri dan du dunia akan mampu menolong orang lain yang berjuang un untuk mengatasi masalah emosionalnya (Miller, Wagner, B , Britton, & Gridley, 1998). Mereka telah merasakan apa ya yang klien rasakan. Jadi, konselor yang mempunyai peng engalaman hidup menyakitkan dan mampu menanganin ninya, biasanya mampu berkomunikasi dan bersikap jujur jur (autentik) dengan klien yang mempunyai masalah (Foste Foster, 1996 dalam Samuel T. Gladding, 2012: 41).

  Samuel T. Gladding, (201 2012: 41) menegaskan seorang konselor yang efektif memili milih dan mengatur waktu tindakan mereka secara intuitif d if dan didasarkan pada apa yang menurut hasil pengamata atan adalah yang terbaik. Akan sangat membantu apabila se selama hidupnya konselor tersebut sudah mengalami berbag bagai macam pengalaman hidup yang memungkinkan merek reka menyadari apa yang akan atau tengah dialami klien me mereka sehingga waspada dan bertindak tepat.

  Auvenshine dan Noffsin singer (1984) dalam Samuel T. Gladding,( 2012:44) men enyatakan konselor yang efektif adalah konselor yang secar cara emosi dewasa, stabil, dan objektif. Mereka memiliki ke i kesadaran diri dan matap dalam kesadaran tersebut serta ma mampu mengelola kelebihan dan kekurangan mereka secara ara realistis.

  Menghadapi pengalaman an STS yang dirasakan konselor maka sebagai individ vidu yang efektif seperti digambarkan di atas, konselor ha harus mampu mengatasi STSnya. Sebagai sebuah profesi si dan disisi lain sebagai manusia yang merupakan makhluk luk sosial, maka diperlukan orang lain sesama profesional d l dalam mengatasi persoalan STS yang dia dialami oleh konselor.

  Diskusi profesional adala alah : pembahasan masalah yang dialami oleh klien yang dih dihadiri oleh 2 orang atau lebih.Batasan yang tidak boleh dila dilampau dalam melakukan diskusi profesional adalah (1) d ) diikuti oleh orang-orang yang memahami bimbingan kons onseling, (2)tidak menyebutkan nama klien (3) tujuannya nya posititf, objektif dan ilmiah yaitu untuk kepentingan d dan kebahagiaan klien, (4) tidak membicarakan pribadi k i klien secara negatif (5) memelihara azas kerahasiaan.

  Hal yang dibahas dalam m diskusi profesional biasanya adalah masalah klien yang g sudah, akan/belum dan sedang ditangani dalam konselin ling. Jelas dalam hal ini manfaat dari diskusi profesional al yaitu : (1) menambah wawasan konselor dalam melayan ani klien, (2) membantu konselor memahami persoalan-per ersoalan yang rumit yang dialami oleh konselor dan (3) kon onselor dapat mengoreksi kesalahan-kesalahan yang dilaku ilakukannya. Dalam hal ini sekali lagi diskusi profesional men enjadi wadah bagi konselor untuk mengatasi STS yang dira irasakannya.

  Secara formal sebenarn arnya bagi konselor sekolah di Indonesia, mereka m memiliki forum MGP (musyawarah Guru Pembimbing) ing) dan diskusi profesional yang diselenggarakan period iodik seperti 1 x dalam sebulan. Legal formal bagi forum um ini adalah PP No.38 Th 1992 tentang Tenaga Kependidik idikan, bab XIII, pasal 61 aya (1) menyatakan bahwa te tenaga kependidikan dapat membentuk ikatan profesi si sebagai wadah untuk meningkatkan dan/atau menge gembangkan karir, kemampuan, kewenangan profess essional, martabat dan kesejahteraan tenaga kependidika ikan demi tercapainya tujuan pendidikan secara optimal. l. Forum atau wadah ini menjadi tempat bagi Guru Pembim bimbing/guru BK atau konselor sekolah untuk melakukan dis diskusi profesional.

  Dalam Petunjuk penye yelenggaraan MGP (1996) dijelaskan MGP adalah f forum/wadah kegiatan profesional Guru pembimbing dar dari sejumlah sekolah. Pengertian Musyawarah mencermin inkan kegiatan dari, oleh dan untuk sesama peserta dalam h hal ini Guru Pembimbing (SLTP/SMU Negeri maupun S Swasta) yang mengasuh dan bertanggungjawab melaksanak nakan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah. Tujuan an MGP adalah : a. menumbuhkembangkan kegiata iatan Guru Pembimbing untuk meningkatkan kemampuan d n dan keterampilan dalam mempersiapkan, melaksanakan, an, mengevaluasi, menganalisis dan menindaklanjuti progr gram kegiatan Bk dalam rangka meningkatkan keyakinan inan diri sebagai Guru pembimbing profesional.

  b. Menyetarakan kemampuan da dan kemahiran profesional Guru Pembimbing dalam mela elaksanakan kegiatan BK sehingga dapat menunjang us usaha peningkatan dan pemerataan mutu serta keterka rkaitan dan kesepadanan pendidikan.

  c. Mendiskusikan permasalahan y n yang dihdapi oleh Guru Pembimbing dalam melaskanaka kan tugas sehari-hari dan mencari cara penyelesaian yang ng sesuai dengan karakteristik pelayanan BK, pribadi Guru uru Pembimbing, Kondisi sekolah dan lingkungan.

  d. Membantu Guru Pembimbin bing memperoleh informasi teknis edukatif yang berk rkaitan dengan kegiatan keilmuan, teknologi, kegiatan pe pelaksanan pelayanan BK dan berbagai kebijakan e. Saling berbagi informasi dan dan pengalaman dalam rangka mengikuti perkembangan n ilmu pengetahuan dan teknologi BK f. Membantu GP dalam melatih latih diri untuk berbagai keterampilan dalam melaksana nakan layanan, kegiatan pendukung dan kegiatan penunj njang BK dengan motto BK Peduli Siswa g. Membantu GP dalam menegak akkan kode egtik profesional BK

  Berdasarkan penjelasan an di atas, dapat dilihat bahwa Konselor sekolah, per perlu melakukan diskusi profesional dengan memanfaatkan tkan forum Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) tersebu ebut. Pelaksanaan diskusi profesional secara rutin akan mem eminimalisir kondisi STS yang dialami oleh konselor.

  PENUTUP

  Secara natural, empati y ti yang dilakukan konselor pada klien yang mengalami p i peristiwa traumatis dan keinginan yang kuat untuk mem embantu memungkinkan terjadinya secondary traumatic tic stress. Konselor perlu mewaspadainya dan mengatasinya inya dengan melakukan diskusi professional. Pengalaman tra traumatis yang dirasakan konselor dan dapat diatasi, akan m n membantunya sehingga memiliki kemampuan berkomunik unikasi dan bersikap jujur (autentik) dengan klien yang mem empunyai masalah yang sama di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

  Baird,S., Jenkins, S.R. (2003). V . Vicarious Traumatization, Secondary Traumatic Stress, a s, and Burnout in Sexual Assault and Domestic Vio Violence Agency Staff. Journal Violence and Victims, vol. 1 l. 18, 71-85. Birck, A. (2001). Secondary ry Traumatization and Burnout in Professional Wo Working with Torture Survivors. Traumatology gy, vol. 7, 1-4. Cornille, T.A. & Meyers, T.W. (1 . (1999). STS Among Child Protective Service Workers: Pr Prevalence, Severity and Predictive Factors. Traum umatology, vol. 2, 71-93. Courtois,C.A. (1993). Vicarious T s Traumatization of The Therapist. NCP Clinical Newsletter tter 3, 2.

  Depdikbud dan P3KG .(1996). Petu Petunjuk Penyelenggaraan Musyawarah Guru Pembimbing.

  g. Jakarta: Depdikbud Flora Rheta Schreiber. (1984). Sy Sybil Kisah Nyata Seorang gadis dengan 16 Kepribadian (te (terjemahan oleh: Sarlito W. Sarwono). Jakarta: PT : PT. Sinar Agape press.

  Figley, C.R. (1995). Compassion ion Fatique : An Introduction . Advanced Intervention Me Methods . Florida State University Traumatology gy Institute. Figley, C.R. & Stamm, B.H. ( . (1996). Psychometric Review of Compassion Fatique ue Self Test. Available at http://www.sidran.org/d rg/digicart/products/stms.html. Hesse, A.R. (2002). Secondary T y Trauma : How Working with Trauma Survivors Affec fects Therapists. Clinical Social Work Journal, vol vol 30, 293 – 310. Jenkins, S.R., Baird, S. (2002 02). Secondary Traumatic Stress and Vicarious Trau auma : A Validational Study. Journal of Trauma matic Stress, vol. 5, 423 – 432. Lonergan, B.A. (1999). The De Development of Trauma Therapist : A Qualitative Stu Studi of the Therapist’s Perspectives and Experie riences . Colorado : Counselling Psychology. Mc.Cann, I.L & Saakvitne, K.W .W. (1995). Treating Therapists with Vicarious Traumatiz atization and Secondary

  Traumatic Stress Disorde rder. Dalam C.R. Fifley (Ed), Compassion Fatique : Secon condary Traumatic Stress Disorder from Treating th g the Traumatized . New York : Brunner/ Mazel, Publishers. rs. Pickett,G.Y. (1998). Therapist in t in Distress : An Integrative Look at Burnout, Secondary ary Traumatic Stress and Vicarious Traumatization tion . Dissertation. University of Missouri-St. Louis. Richardson, J.I. (2001). Guideboo book on Vicarious trauma : Recommended Solutions for for Anti-Violence Worker .

  Canada : Family Violenc nce Prevention Unit. Rudolph, J.M., Stamm, B.H., Sta Stamm, H.E. (1997). Compassion Fatique : A Concern for for Mental Health Policy,

  Providers, & Administr istration. Poster at the 13th Annual Meeting of the Inte International Society for Traumatic Stress Studies ies , , Montreal, PQ,CA. Samuel T. Gladding. (2012). Kons onseling : Profesi yang menyeluruh. Jakarta: PT. Indeks. Schauben, L., & Frazier, P. (199 995). Vicarious trauma the effects on female counselors o s of working with sexual violence survivors. Psych ychology of Women Quarterly, 19, 49-64. Sexton, L. (1999). Vicarious Trau raumatisation of Counsellors and Effects on Their Workpa kpaces. British Journal of Guidance & Counselling, lling, 27, 3, 393 – 403. Sidabutar. S.I.E., Dharmawan. . L.I., Poerwandari, K., Nurhaya,N. (2003). Pemulihan an Psikososial Berbasis Komunitas. Refleksi Untu ntuk Konteks Indonesia . Jakarta : Kontras. Stamm, B.H. (1999). Secondary Tr y Traumatic Stress. Self Care Issues for Clinicians, Researc archers & Educators. MD : Sidran Press. Steed, L.G. & Bicknell (2001). Tr Trauma and Therapist : The Experience of Therapist Workin rking with the Perpetrator of Sexual Abuse. The Aus Australian Journal of Disaster & Trauma Studies, 1. Steed, L.G. & Downing, R. (199 998). A Phenomenological Studi of VT Amongst Psycho hologist and Professional

  Counsellor Working in in The Field of Sexual Abuse/ Assault. The Australian J n Journal of Disaster & Trauma Studies. Wibe, R.L. (2001). The Influence ce of Personal Meaning on Vicarious Traumatization in The Therapist . Thesis : Trinity Western University.