Pilihan Hukum Dalam Pembagian Harta Waris Beda Agama (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan 2011-2016) - Repository UIN Sumatera Utara

(1)

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah

Masalah waris adalah masalah yang sangat penting dan selalu menjadi salah satu pokok bahasan utama dalam hukum Islam, karena hal ini selalu ada dalam setiap keluarga dan masalah waris ini rentan dengan masalah/konflik di masyarakat akibat pembagian yang dianggap kurang adil atau ada pihak-pihak yang merasa dirugikan. Oleh sebab itu syariat Islam membuat aturan yang begitu lengkap tentang masalah waris yang terdapat dalam Alquran seperti (QS. An-Naml: 16 dan An-Nisa : 7-12)1.

Selain dari pada hukum Islam, hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) juga ketat mengatur tentang waris dikarenakan aturan ini berlaku khusus kepada masyarakat nonmuslim. Walaupun demikian masih banyak masyarakat yang membagi warisannya dengan menggunakan hukum adat yang berlaku di masyarakat masing-masing.

Secara teoritis orang yang beragama Islam harus melakukan pembagian warisannya menurut agama Islam, dan jika ada sengketa harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama sebagaimana kewenangan/kekuasaan Peradilan Agama yaitu berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c. waqaf dan shadaqah. Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peningggalan, penentuan mengenai bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.2

Lebih lanjut dapat juga ditegaskan bahwa apabila terjadi sengketa tentang objek hak milik dan bidang keperdataan lainnya, haruslah terlebih dahulu diputus

1

Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam (Depok : Fathan Prima Media, 2013), h. 32.

2 Pagar, Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Indonesia (Medan: Perdana Publishing, 2010), h. 117.


(2)

oleh lingkungan Peradilan Umum, hal ini secara tegas dikemukakan dalam Pasal 50 yang berbunyi sebagai berikut: “Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.3

Namun jika masyarakat nonmuslim yang membagi waris harus dengan hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) dan jika terjadi sengketa waris harus dilakukan di depan sidang Pengadilan Negeri. Hal ini terlihat sudah jelas dan tidak ada masalah. Di dalam hukum perdata tidak ada ketentuan yang mengatakan adanya penghalang waris karena perbedaan agama. Hal ini dapat dilihat dari sistem hukum waris perdata Barat (BW) yaitu menganut:

1. Sistem Pribadi

Bahwa yang menjadi ahli waris adalah perseorangan, bukan kelompok ahli waris,

2. Sistem Bilateral

Yaitu mewaris baik dari pihak ibu maupun bapak, 3. Sistem Perderajatan

Bahwa ahli waris yang derajatnya lebih dekat dengan si pewaris menutup ahli waris yang lebih jauh derajatnya.4

Lain hal jika ada kasus sengketa pembagian harta warisan yang di dalamnya terlibat salah satu yang lain agama, misalnya ahli waris satu beragama Islam dan satu lagi beragama nonmuslim (Kristen). Dimana hal ini diselesaikan? Di jaman sekarang contoh seperti ini pastinya banyak terjadi apalagi di masyarakat heterogen seperti di Perkotaan dan masyarakat Adat yang sering mengesampingkan nilai-nilai agama.

Ada masyarakat yang menyelesaikannya secara adat (hukum Adat). Hal ini pastinya akan berbeda hasilnya jika dibandingkan dengan hukum Islam dan hukum Perdata (BW). Begitu juga sebaliknya jika sengketa ini dibawa ke sidang Pengadilan Agama maka orang yang beragama Kristen tidak akan mendapat warisan karena dalam Islam penghalang warisan adalah salah satunya lain agama atau keluar dari

3 Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. 4


(3)

agama Islam. Sementara Penggugur hak mewarisi adalah: Budak, seorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Pembunuhan, apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan.

Perbedaan Agama, seorang Muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi orang nonmuslim, apapun agamanya. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya:

ل

َ

ي

َ

رِ

ث

ُ

لا

ْ

مُ

س

ْلِ

مُ

لا

ْ

كَ

فاِ

رَ

و

َ

ل

َ

لا

ْ

اك

َفِ

رُ

لا

ْ

مُ

س

ْلِ

مَ

Artinya :

“Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.” (Bukhari dan Muslim).5

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dijelaskan dalam Pasal 173, yaitu : Seorang terhalang ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena:

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.6

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Dalam hal ini KHI terlihat tidak menyebutkan salah satu penghalang kewarisan adalah perbedaan agama, namun KHI lebih terlihat fokus kepada pembunuhan atau ancaman pembunuhan kepada pewaris.

Dalam hukum Adat pada umumnya perbedaan agama tidaklah masalah karena tidak menjadi penghalang mewarisi. Ketika hukum Adat dilaksanakan maka tidak didapatkan kepastian hukum karena setiap adat berbeda aturannya, maka akan terjadi banyak hukum yang berbeda. Dan jika dilakukan hukum Adat dalam pembagian warisan maka ada dua hal yang menjadikan ketidakadilan serta merugikan salah satu

5 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, h. 42.

6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Citra Umbara, 2007), h. 291-292.


(4)

pihak yaitu: pertama, masyarakat patrilinial (kebapaan) seperti masayarakat suku Batak pada umumnya yang memberikan harta warisan jauh lebih banyak kepada pihak laki-laki. Kedua, masyarakat matrilinial (keibuan) seperti masyarakat suku Minang pada umumnya yang memberikan harta warisan jauh lebih banyak kepada pihak perempuan.7

Hal semacam ini akan menimbulkan ketidak adilan karena tidak berimbang dan tidak sesuai dengan prinsip Agama Islam. Namun anehnya masih banyak yang mengamalkannya terutama di daerah-daerah yang kental nilai adatnya seperti di pedesaan. Praktek seperti ini turun temurun dilakukan sehingga dianggap sah-sah saja walaupun teori dan praktek ini pada saat sekarang sering mendapat kritikan terutama dari kalangan modernis.

Jika kita lihat pembagian waris yang dilakukan masyarakat seperti contohnya masyarakat Karo, bahwa berdasarkan hasil penelitian disertasi Azhari Akmal Tarigan menyatakan “seluruh informan yang telah melakukan pembagian harta waris, tetap memberikan harta waris kepada saudaranya yang berbeda agama. Tegasnya, berbeda agama tidak dipandang sebagai faktor terhalangnya mereka untuk mewarisi harta dari orangtuanya.8

Adapun faktor mengapa masyarakat Karo muslim masih memberikan harta waris kepada orang yang berbeda agama setidaknya ada tiga alasan pokok yang kerap dikemukakan. Pertama, alasan satu keturunan, kesamaan nasab merupakan alasan yang paling kuat terjadinya pengoperan harta dari pewaris kepada ahli waris. Kedua, keyakinan masyarakat Karo muslim, bahwa harta yang akan dibagi merupakan harta nenek moyang mereka sejak dahulu kala. Harta itu telah ada jauh sebelum orang tua mereka memeluk Islam. Dengan demikian menjadi tidak logis menurut masyarakat Karo muslim karena berbeda agama, harta tersebut tidak dapat diteruskan kepada ahli waris yang nonmuslim. Ketiga, pembagian harta waris kepada ahli waris berbeda

7

Terangkan bawa di Padang perna diadakan konfrensi arta pusaka, yang membagi warisan kepada pusaka tinggi dan pusaka renda…..

8 Azhari Akmal Tarigan, Disertasi: Pelaksanaan Hukum Waris Masyarakat karo Muslim di kabupaten karo, (Medan : PPS IAIN SU, 2010), h. 325.


(5)

agama adalah guna menghindarkan konflik di belakang hari. Sudah menjadi kesadaran batin bagi masyarakat Karo pada umumnya bahwa harta kakeknya akan diturunkan kepada ahli warisnya.9

Sedangkan dalam hukum perdata Perbedaan Barat (BW) agama juga tidak menjadi masalah besar. Namun, yang menjadi masalah adalah ketika salah satu ahli waris berbeda agama misalnya nonmuslim mengadukan sengketa warisnya ke Pengadilan Negeri, padahal orang yang beragama Islam seharusnya sengketa warisnya diperiksa, diadili, dan diputuskan oleh Pengadilan Agama. Jika Hakim di Pengadilan Negeri memutus sengketa tersebut maka ahli waris yang muslim akan merasa dirugikan karena bagiannya sama padahal jika hal itu dilakukan di Pengadilan Agama maka ahli waris yang muslim akan mendapat semua harta warisan. Begitu juga sebaliknya jika sengketa tersebut dilakukan di depan Pengadilan Agama, maka nonmuslim tidak akan mendapat warisan sama sekali karena terhalang oleh perbedaan agama sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

Ketika muncul masalah seperti ini maka seharusnya pihak Pengadilan harus mengambil sikap tegas dengan mengembalikan pada ketentuan Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, agar ditetapkan pengadilan mana yang berhak mengadili perkara waris beda agama tersebut dan disini sangat diperlukan ijtihad Hakim untuk memutuskan perkara seperti ini.

Fungsi hukum dalam kelompok adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi kelompok itu. Anggota kelompok akan berhasil mengatasi tuntutan-tuntutan yang menuju kearah penyimpangan, guna menjamin agar kelompok dimaksud tetap utuh, atau kemungkinan lain hukum gagal dalam melaksanakan tugasnya sehingga kelompok itu hancur, atau cerai-berai, bahkan punah. Karena itu, hukum tampak mempunyai fungsi rangkap. Di satu pihak dapat merupakan tindakan yang mungkin menjadi demikian melembaga, yaitu menjadi mantap diantara

anggota-9


(6)

anggota kelompok masyarakat sehingga hukum mudah dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok, dan kelompok itu menganggap tindakan itu sebagai suatu kewajiban.

Di lain pihak mungkin merupakan tindakan yang berwujud reaksi kelompok itu terhadap tingkah laku yang menyimpang, dan yang diadakan untuk mengendalikan tingkah laku yang menyimpang itu. Hukum dalam pengertian yang disebutkan terakhir itu terdiri dari pola-pola tingkah laku yang dimanfaatkan oleh kelompok untuk mengembalikan tindakan-tindakan yang jelas mengganggu usaha-usaha untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok dan yang menyimpang dari cara-cara yang sudah melembaga yang ditujukan untuk mencapai tujuan-tujuan kelompok. Hukum dalam fungsinya yang demikian itu, merupakan instrumen pengendalian sosial.10

Sementara itu, tugas terpokok dari hukum adalah untuk menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan syarat terpokok dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian-pengertian manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisah-pisahkan.11

Hal-hal seperti ini telah penulis temukan dari hasil penelitian terdahulu dan wawancara singkat kepada salah satu pegawai Pengadilan Agama Medan yaitu Zumri, beliau mengatakan bahwa di Pengadilan Agama Medan ada ditemukan kasus sengketa waris yang salah satu ahli warisnya nonmuslim.12 Dan begitu juga

sebaliknya, berdasarkan penelitian terdahulu penulis memperoleh informasi dari salah satu pegawai Pengadilan Negeri Medan yaitu saudara Saipul, beliau mengatakan bahwa di Pengadilan Negeri Medan ditemukan kasus sengketa waris yang salah satu ahli warisnya beragama Islam. Hal seperti ini terjadi akibat masyarakat yang

10 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 24. 11

Kompilasi Materi Mata Kuliah, Sosiologi Hukum Fakultas Syariah (Jakarta : IAIN Syahid, 2000)

12 Wawancara Dengan Zumri (Panitera di Pengadilan Agama Medan) Pada Hari Senin Tanggal 18 Januari 2016.


(7)

heterogen dalam satu keluarga ada perbedaan agama serta banyak di jaman sekarang yang menikah beda agama dan yang jadi bahasan hangat dan menarik adalah kemana sebenarnya masyarakat harus menyelesaikan kasus-kasus seperti ini agar didapatkan keadilan dan kepastian hukum, bagaimana peran negara sebagai pembuat hukum yang mengatur secara rinci mengenai hal seperti ini dan bagaimana akibat hukum yang ditimbulkan dengan contoh kasus seperti ini.

Menurut hemat penulis bahwa sengketa ahli waris beda agama mungkin kedepannya terus akan bertambah karena di jaman sekarang sangat banyak orang yang menikah dengan beda agama dan banyak kita dapatkan dalam satu keluarga di dalamnya ada perbedaan agama antara yang satu dengan yang lainnya. Untuk menyikapi hal-hal seperti ini pemerintah sebagai penyelenggara negara harus mempersiapkan ketentuan hukum yang jelas mengatur masalah waris beda agama agar tercipta keadilan dan kepastian hukum bagi seluruh masyarakat.

Dari uraian-urain di atas, setelah penulis melihat, mempelajari dan menelaah permasalahan tentang sengketa waris beda agama dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan itu, maka penulis berkeinginan untuk mempelajari, meneliti dan menelaah secara lebih mendalam dengan mengangkat judul Tesis “PILIHAN HUKUM DALAM PEMBAGIAN HARTA WARIS BEDA AGAMA (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan 2011-2016)”.

B. Rumusan Masalah

Untuk mempermudah tujuan serta efektifitas pembahasan dari penelitian ini, maka penulis menentukan beberapa rumusan permasalahannya sebagaimana tersebut di bawah ini:

1. Apa landasan filosofi pilihan hukum dalam pembagian harta waris beda agama?

2. Bagaimana pelaksanaan pembagian harta waris beda agama di Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan?


(8)

3. Bagaimana posisi beda agama dalam hal pembagian waris secara hukum Islam, hukum perdata dan hukum adat?

4. Bagaimana implikasi pluralisme hukum waris terhadap keadilan dan kepastian hukum?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini secara garis besar adalah untuk mengetahui landasan filosofis atau dasar hukum dari pilihan hukum akibat perbedaan agama dalam hukum waris, akibat atau dampaknya bagi masyarakat dan pengembangan serta pembangunan hukum nasional, dan untuk mengetahui bagaimana implikasi pluralisme hukum waris terhadap keadilan dan kepastian hukum. Secara lebih rinci penelitian ini bertujuan untuk :

1. Untuk mengetahui landasan filosofi pilihan hokum,

2. Untuk mengetahui pelaksanaan pembagian harta waris beda agama di Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan,

3. Untuk mengetahui pelaksanaan pembagian waris beda agama secara hukum Islam, hukum perdata dan hukum adat,

4. Untuk mengetahui implikasi pluralisme hukum waris terhadap keadilan dan kepastian hukum.

D. Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan penelitian yang dikemukakan di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat yaitu berupa:

1. Dapat memberikan sumbangan akademis berupa pemikiran tentang pilihan hukum dalam pelaksanaan hukum waris beda agama di Pengadilan Agama Medan dan di Pengadilan Negeri Medan, dan hukum mana yang harus dijalankan untuk mencapai suatu keadilan dan kepastian hukum.

2. Dapat memberikan bahan bacaan untuk peneliti selanjutnya bagi mahasiswa program pascasarjana Universitas Islam Negeri Sumatera Utara yang berkeinginan meneliti masalah pilihan hukum dalam hal waris beda agama.


(9)

3. Dapat memberikan motivasi bagi para mahasiswa Universitas Islam Negeri Sumatera Utara untuk meneliti kajian yang memadukan antara hukum Islam, dan hukum perdata (BW).

E. Batasan Istilah

Untuk memudahkan dalam memahami penelitian ini, maka penulis menjelaskan istilah-istilah penting yaitu sebagai berikut:

1. Pilihan

Pilihan atau memilih adalah 1. menentukan, (mengambil dsb) sesuatu yang dianggap sesuai dengan kesukaan (selera dsb). 2. Mencari atau memisah-misahkan mana yang baik, besar dan kecil.13

Jadi pilihan hukum dapat diartikan sebagai memilih diantara hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang telah ada dalam suatu daerah atau negara untuk tujuan keadilan dan kepastian hukum.

2. Hukum

Sedangkan pengertian hukum adalah 1. Peraturan atau adat yg secara resmi dianggap mengikat, yg dikukuhkan oleh penguasa atau pemerintah. 2. Undang-undang, peraturan untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat. 3. Patokan (kaidah, ketentuan) mengenai peristiwa yang tertentu. 4. Keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh Hakim di Pengadilan (vonis).14 Dan

menurut para ahli hukum, hukum diartikan sebagai: 1) Capitant:

Hukum adalah keseluruhan dari pada norma-norma yang secara mengikat mengatur hubungan yang berbeli-belit antara manusia dalam masyarakat. 2) C. Utrecht:

Hukum adalah himpunan peraturan-peraturan yaitu yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu.

13 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2008), h. 1074.

14


(10)

3) Roscoe Pound

Hukum adalah sekumpulan penuntut yang berwibawa atau dasar-dasar ketetapan yang dikembangkan dan ditetapkan oleh suatu teknik yang berwenang atas latar belakang cita-cita tentang ketertiban masyarakat dan hukum yang sudah diterima.15

4) Friedman

Hukum adalah sebuah kata dengan banyak arti, selicin kaca, segesit gelombang sabun. Hukum adalah konsep, abstraksi, konstruk sosial; bukan objek nyata di dunia sekitar kita. Hukum bukan sesuatu yang dapat kita rasakan atau cium.16

3. Pelaksanaan Hukum

Pelaksanaan hukum adalah hukum/aturan mana yang dijalankan dalam suatu tempat tertentu dalam suatu proses persidangan di Pengadilan.

4. Waris

Waris adalah hak waris, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 834 KUH Perdata.17 Waris juga diartikan sebagai orang yang berhak menerima

harta pusaka dari orang yang telah meningggal.18 5. Putusan Pengadilan

Putusan Pengadilan adalah penyelesaian Pengadilan, hal ini diatur dalam pasal 226 UU. No. 8 Tahun 1981, yaitu:

a) Petikan surat putusan Pengadilan diberikan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya segera setelah putusan diucapkan.

b) Salinan surat putusan Pengadilan diberikan kepada penuntut umum dan penyidik, sedangkan kepada terdakwa atau penasihat hukumnya diberikan atas permintaan.

15 Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 167. 16

Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum dan Teori Peradilan (Jakarta: Prenadamedia Grouf, 2013), h. 28.

17 Sudarsono, Kamus Hukum, h.574. 18


(11)

c) Salinan surat putusan Pengadilan hanya boleh diberikan kepada orang lain dengan seijin ketua Pengadilan setelah mempertimbangkan kepentingan dari permintaan tersebut.19

F. Kerangka Teori 1. Teori Keadilan

Keadilan merupakan salah satu ajaran pokok dalam Islam yang bersifat universal. Islam memerintahkan penegakan keadilan bagi semua orang. Bahkan, Islam memerintahkan untuk menegakkan keadilan meskipun terhadap non muslim selama mereka tidak menyerang dan mengusir umat Islam.

Menurut Radbruch, keadilan berarti menjatuhkan putusan tanpa memandang kedudukan seseorang, memperlakukan seseorang dengan standar yang sama. Keadilan merupakan nilai hukum, selain kemanfaatan, dan kepastian hukum.20

Ketiga nilai hukum tersebut memiliki tingkatan secara hierarkis, kepastian hukum berada di tengah antara kemanfaatan dan keadilan. Ketika muncul pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan, sebenarnya terdapat pertentangan antara keadilan yang tampak (apparent) dan keadilan yang sejati (real). Kepastian hukum yang menjadi karakter hukum positif harus mengalah kepada keadilan (Radbruch, 2006, hal. 6-7).21

Menurut Aristoteles, Keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesetaraan. Namun, kesetaraan perlu dibedakan antara kesetaraan numerik dan kesetaraan proporsional. Aristoteles juga membedakan keadilan menjadi keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif berlaku dalam hukum publik, sementara keadilan korektif berlaku dalam hukum perdata dan pidana.22

Sementara Rawls menawarkan dua prinsip keadilan. Pertama, setiap orang memiliki hak yang sama terhadap kebebasan-kebebasan dasar yang sama secara luas

19 Sudarsono, Kamus Hukum, h. 379. 20

Jurnal Yudisial, Penegakan keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama (Vol. 8. No. 3 Desember 2015), h. 273.

21 Ibid, h.273. 22


(12)

yang sesuai dengan pola kebebasan yang serupa bagi yang lain. Kedua, ketidaksamaan sosial ekonomi perlu diatur sedemikian rupa sehingga layak diharapkan dapat memberikan keuntungan bagi setiap orang, dan ketidaksamaan sosial ekonomi tersebut harus dikaitkan dengan kedudukan dan jabatan yang terbuka bagi semua orang.23

Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Teori keadilan Rawls ini, tujuan utamanya bukanlah menghapus ketidaksamaan, melainkan memastikan adanya kesempatan yang sama, sehingga ketidaksamaan dapat ditoleransi sejauh hal itu menguntungkan semua, terutama golongan yang terlemah. Hal demikian dapat dipenuhi dengan syarat: pertama, situasi ketidaksamaan menjamin maximum minimorum bagi orang yang lemah, artinya situasi masyarakat harus sedemikian rupa, sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi yang mungkin dihasilkan bagi orang-orang yang paling lemah. Pilihan dengan asas maximum minimorum yang digunakan orang dalam kontrak hipotesis dimana masing-masing berada dibalik “cadar ketidaktahuan” (veil of ignorence) guna memilih prinsip keadilan. Kedua, ketidaksamaan diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang (Rawls, 1971, hal. 72-73).24 Dan menurut Hans Kelsen,

pengertian keadilan bermakna legalitas. Suatu peraturan umum adalah tidak adil jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak diterapkan pada kasus lain yang serupa.25

Dalam perkara waris dimungkinkan terdapat para pihak yang berbeda agama. Ketika pewaris meninggal dalam keadaan beragama Islam, sementara para ahli waris ada yang beragama Islam, dan ada yang beragama non-Islam, sementara para ahli waris ada yang muslim dan ada yang non-muslim, dan berbagai variasi lainnya.

Dalam praktek hukum di Pengadilan, perkara waris merupakan salah satu yang berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri dalam hal agama waris, penggugat dan tergugat tidak jelas dalam

23 Ibid, h. 274. 24 Ibid. 25


(13)

surat gugatan, sehingga dianggap menundukkan diri kepada hukum adat, atau karena sengketa waris dianggap sebagai perbuatan melawan hukum meski para pihak beragama Islam.26

Pasca undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubaan atas Undang-undang Nomor 7 Taun 1989 Tentang Pengadilan Agama, kewenangan Pengadilan Negeri dalam menangani perkara waris hanya terbatas bagi nonmuslim. Penyelesaian perkara waris bagi nonmuslim di Pengadilan Negeri berdasarkan KUHPerdata, karena adanya tuntutan kesetaraan diantara ahli waris untuk mendapatkan bagian yang sama dari harta warisan, tanpa membedakan agama dan jenis kelamin, seperti yang masih dijumpai dalam hukum adat dan hukum Islam. Sementara hukum Adat diterapkan bagi para pihak nonmuslim yang masih erat hubungannya dengan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

Jika kita cermati teori hukum Islam dengan melihat hadis Nabi, ditambah dengan Kompilasi Hukum Islam tentang keadilan waris beda agama, maka sangat bertentangan dengan teori keadilan Jhon Rawls, Aristoteles, dan Hans Kelsen. Ketika nonmuslim tidak mendapat warisan dari kerabatnya yang muslim itulah keadilan menurut Islam, dan ketika nonmuslim mendapat warisan dari kerabatnya yang muslim itulah keadilan menurut hukum perdata dan hukum adat.

2. Teori Kepastian Hukum

Negara-negara Islam dan/atau negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim, telah memiliki undang-undang yang mengatur hukum kewarisan (faraid) sebagai bagian dari hukum keluarga secara utuh dan menyeluruh. Namun demikian tidak sedikit masyarakat muslim yang sampai sekarang belum/tidak memiliki undang-undang kewarisan, terutama di negara-negara berpenduduk muslim minoritas.27

Akibatnya, hukum waris Islam terutama terkait teknik pembagiannya dilakukan secara tradisional dalam pengertian tidak melalui lembaga-lembaga resmi

26

Ibid, h. 270. Atau liat Puslitbang Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, 2010, hal. 62-63).

27 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan Konteks, h. 17.


(14)

pemerintah melainkan banyak juga yang dilakukan secara diam-diam melalui tokoh-tokoh personal tertentu terutama yang dianggap mengerti hukum Islam dalam hal ini hukum faraid. Bahkan juga di negara-negara tertentu yang berpenduduk mayoritas muslim sekalipun.

Termasuk Indonesia yang sampai sekarang masih tetap banyak daerah-daerah yang penerapan hukum waris (pembagian harta warisannya) tetap saja dilakukan dihadapan Ulama, Kiyai, Ustadz, Tuan Guru dan/atau tokoh agama setempat. Namun demikian, terkadang atau malahan cukup sering pula ada yang melakukannya di depan Hakim Pengadilan (Agama maupun Negeri) sesuai dengan pilihan hukum yang mereka kehendaki, bahkan tidak jarang juga ada sebagian masyarakat yang datang ke Pengadilan Agama hanya untuk mendapatkan penetapan fatwa waris di samping ada kasus-kasus tertentu yang memang di meja-hijaukan karena terjadi sengketa di antara sesama ahli warsi yang bersangkutan.

Keberadaan undang-undang yang mengatur pelaksanaan hukum waris sebagaimana juga undang-undang yang mengatur prihal subsistem hukum keluarga yang lainnya khususnya perkawinan, tentu akan lebih baik dalam konteks kesatuan dan persatuan pelaksanaan hukum keluarga itu secara keseluruhan. Maksudnya, tidak menganut sikap mendua dalam arti pada satu sisi menerima subsistem hukum keluarga Islam yang sesuai dengan “selera”, sementara pada saat yang bersamaan menolak sebagian subsistem hukum keluarga yang lainnya.28

Ketika ada aturan baku mengenai kewarisan beda agama maka akan didapatkan suatu kepastian hukum di dalamnya. Kewarisan beda agama telah diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu pada Pasal 171 huruf c, hadis Nabi yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, yang semuanya menetapkan bahwa penghalang waris adalah perbedaan agama, namun di dalam Alquran tidak ada ketentuan yang jelas.

Sementara dengan datangnya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. No. 51K/AG/1999, yang mengatakan nonmuslim berhak mendapatkan wasiat wajibah

28


(15)

dari orang tua/kerabatnya yang beragama Islam, maka ini menjadi pegangan untuk menjadi landasan hukum yang dipraktekkan para Hakim di lingkungan seluruh Pengadilan Agama di Indonesia. Hal ini menjadikan adanya kepastian hukum dalam perkara waris beda agama di Indonesia.

Dalam kaitannya dengan ketentuan tersebut, maka dimungkinkan muncul persoalan-persoalan baru apakah Yurisprudensi itu telah melanggar syariat Islam karena jelas telah bertolak belakang dengan KHI dan hadis Nabi, atau kerena Hakim di Indonesia hanya ingin mencontoh sistem waris beda agama di Mesir yang memberikan wasiat wajibah bagi non muslim.

Untuk memperoleh suatu kepastian hukum waris beda agama di Indonesia, diperlukan ada aturan baku dari pemerintah (dalam hal ini Mahkamah Agung) yang seharusnya menetapkan aturan yang pasti dan rinci tentang kewenangan Peradilan dalam penyelesaian sengketa, penetapan ahli waris dan bagian-bagiannya, sehingga tidak di dapatkan lagi sengketa kewenangan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.

G. Landasan Konsepsional

Dalam Alquran tidak ditemukan satu ayat pun yang secara jelas dan tegas melarang waris beda agama. Dasar hukum yang secara jelas dan tegas melarang waris beda agama justru ditemukan dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa Nabi saw. bersabda:

ل

َ

ي

َ

رِ

ث

ُ

لا

ْ

مُ

س

ْلِ

مُ

كلا

َ

فاِ

رَ

و

َ

ل

َ

لا

ْ

كَ

فاِ

رُ

لا

ْ

مُ

س

ْلِ

مَ

Artinya :

“Orang muslim tidak mewarisi dari orang kafir, dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim” (Shahih Bukhari).

Terhadap hadis yang melarang waris beda agama tersebut, beberapa sahabat seperti Mu’adz ibn Jabal, Mu’awiyah, Hasan, Ibn Hanafiyah, Muhammad ibn Ali ibn Husain, dan Masruq berpendapat bahwa orang muslim dapat mewarisi dari orang


(16)

nonmuslim, tetapi tidak sebaliknya, pendapat tersebut berdasarkan hadis:”Islam itu tinggi dan tidak dilampaui”.29

Dalam pandangan ulama mazhab, telah sepakat bahwa ada tiga hal yang menghalangi warisan, yaitu perbedaan agama, pembunuhan dan perbudakan. Sedangkan ulama-ulama yang lainnya yang sepakat dengan larangan tersebut dari kalangan salaf diantaranya as-Syafi’i, Ibnu Qudamah, dan as-Syaukani. Sedangkan para ulama kontemporer yang melarang diantaranya Musthafa Syalabi, Ali as-Syabuni, dan Sayyid Sabiq.

Meskipun demikian, diantara sederet pendapat yang mengharamkan seseorang muslim menerima warisan dari orang muslim, ada pula mazhab yang membolehkan, yang termasuk dari golongan salaf, diantaranya adalah mazhab Imamiyah. Mazhab ini membolehkan seorang muslim mewarisi non muslim.30

Akan tetapi pendapat yang kedua ini, yaitu pendapat yang membolehkan muslim mewarisi kafir, tampak tidak populer dan jarang dicantumkan dalam kitab-kitab yang membahas hukum kewarisan Islam, terutama kitab-kitab-kitab-kitab kontemporer. Sementara itu tidak ada perbedaan tentang larangan kafir mewarisi muslim, namun terdapat perbedaan pendapat dalam hal muslim yang mewarisi kafir.

Menurut hukum positif di Indonesia tentang kewarisan Islam yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), untuk dapat mewarisi, antara ahli waris dan pewaris harus beragama Islam, memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris (Pasal 171 huruf b dan c), sedangkan dalam hal terjadi perbedaan agama antara pewaris dan ahli waris tidak diatur secara jelas.

Dari keterangan di atas jelas bahwa, dalam konsep Islam kewarisan beda agama tidak di benarkan (sesuai dengan hadis Nabi, undang-undang kewarisan, dan Kompilasi Hukum Islam), namun para ulama masih ada yang memperdebatkannya

29

Jurnal Yudisial, Penegakan Keadilan Dalam kewarisan Beda Agama, Vol. 8. 3 Desember 2015 h. 275.

30 Apis.Geogle.Com.Konsep Kewarisan Beda Agama, h. 4. Di Unduh Pada Tanggal 9 April 2016 Pukul 16. 20 Wib.


(17)

karena sumber hukumnya hanya terdapat pada hadis saja dan hadisnya pun masih diperdebatkan status keshahihannya, serta tidak ditemukan di dalam sumber pokok hukum Islam yang pertama yaitu Al-quran. Hal ini akan memunculkan pilihan hukum dalam pembagian warisan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berbeda agama.

H. Tinjauan Kepustakaan

Aktivitas studi kepustakaan merupakan tahapan yang amat penting. Bahkan dapat dikatakan, bahwa studi kepustakaan merupakan penelitian itu sendiri, six in library saves six months in field or laboratory. Tujuan dan kegunaan studi kepustakaan pada dasarnya menunjukkan jalan permasalahan penelitian. Apabila peneliti mengetahui apa yang telah dilakukan oleh peneliti lain, maka penelitian akan lebih siap dengan pengetahuan yang lebih dalam dan lengkap.31

Dalam penelitian ini penulis telah melakukan peninjauan kepustakaan, dimana dari hasil pencarian penulis belum menemukan hasil penelitian ilmiah baik dalam bentuk skripsi, tesis, maupun disertasi mengenai permasalahan yang membahas tentang pilihan hukum dalam pelaksanaan hukum waris dan disertai dengan studi terhadap putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan, selama ini penulis hanya dapat menemukan pembahasan tentang permasalahan waris yang di dalamnya banyak membahas tentang : hukum waris Islam, sengketa waris di Pengadilan Agama, hukum waris adat mandailing, hukum waris adat minang (padang), dan lain sebagainya. Dari hasil telaah penulis belum menemukan Tesis yang membahas tentang pilihan hukum dalam pelaksanaan hukum waris yang disertai studi terhadap putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan Tahun 2011-2016.

Dari tulisan ataupun penelitian di atas, menurut penulis sangat belum lengkap dan memadai untuk menjadi kajian ilmiah, oleh sebab itu sangat diperlukan tulisan (karya tulis baru) yang membahas lebih terperinci dan mendalam tentang pilihan

31 Faisar Ananda Arfa, Metodologi penelitian Hukum Islam (Bandung : Cita Pustaka, 2010), h. 93.


(18)

hukum dalam pelaksanaan hukum waris (studi terhadap putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan Tahun 2011-2016). Atas pertimbangan itulah penulis tertarik dan berkeinginan untuk membahas secara mendalam tentang waris beda agama tersebut, hukum yang harus diterapkan, akibat hukum yang muncul dari pembagian waris beda agama tersebut, serta pelaksanaan pembagian harta warisan di Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan.

I. Metodologi Penelitian

Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah, sedangkan penelitian adalah pemeriksaan secara hati-hati, tekun dan tuntas terhadap suatu gejala untuk menambah pengetahuan manusia. Metode penelitian dapat diartikan sebagai proses dari prinsip-prinsip dan tata cara untuk memecahkan masalah yang dihadapi dalam melakukan penelitian.32

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif (penelitian hukum normatif). Penelitian ini adalah murni penelitian hukum yang membahas tentang objek teks dari kitab/buku dan pendapat para ahli hukum, yurisprudensi (putusan Pengadilan) dan hukum yang berlaku di masyarakat, maka penelitian ini merupakan penelitian lapangan dan ditetapkan sebagai penelitian hukum normatif, dengan jenis data kualitatif. Artinya penelitian ini dilakukan dengan melihat hasil putusan pengadilan tentang hukum waris beda agama dan hukum yang berlaku dan penerapan hukum yang dilaksanakan di Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan. Hasil akhir dari penelitian ini untuk menemukan status hukum terhadap permasalahan yang telah dipaparkan, aturan hukum mana yang harus dipakai masyarakat, dan bagaimana penerapan hukum yang dilaksanakan di Pengadilan.

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan know-how, penelitian

32


(19)

hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Disini dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan atas masalah tersebut.33 Mengingat dari hasil penelitian

ini untuk memecahkan isu hukum, menemukan pilihan hukum, maka penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum.

Penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum normatif sebab yang akan diteliti adalah norma atau aturan hukum yang berlaku dan yang sedang dijalankan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu atau gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala yang lain dalam masyarakat.34

2. Sifat Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu hukum, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan Know-how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Penelitian ini bersifat Normatif Analitis, dengan menganalisis norma/aturan yang telah ada metode ini bertujuan untuk memberikan ketentuan yang real/nyata dan agar memperoleh kepastian hukum tentang pembagian waris beda agama yang dilakukan dengan hukum Islam yaitu di Pengadilan Agama, dan pembagian waris yang dilakukan dengan hukum perdata dan hukum adat yaitu di Pengadilan Negeri agar dapat ditentukan hukum mana yang harus dilaksanakan oleh masyarakat.

3. Jenis Pendekatan

Secara umum, ada beberapa pendekatan (approach) yang terdapat di dalam penelitian hukum, yakni : pendekatan undang-undang (statute

33 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Prenadamedia Group, 2014), h. 60. 34


(20)

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conseptual approach).35 Untuk membahas permasalahan yang

dikemukakan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan yang berdasarkan pada :

a. Pendekatan undang-undang (statute approach), yaitu untuk mengkaji dasar hukum kewarisan beda agama menurut undang-undang kewarisan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang membahas tentang waris beda agama.

b. Pendekatan kasus (case approach), yaitu untuk mengkaji kasus waris yang di dalamnya terdaapat perbedaan agama yang telah sampai kepada putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkra). Kasus yang dipakai adalah kasus yang telah terjadi di Indonesia.

c. Pendekatan Komparatif (comparative case), yaitu penulis ingin membandingkan undang yang ada di Indonesia dengan undang-undang di negara lain, misalnya Malaysia, Mesir, Filipina dan lain-lain dalam hal yang sama (mengenai waris beda agama). Apakah terdapat persamaan atau bahkan terjadi perbedaan dalam perumusan hukumnya atau bahkan putusan Pengadilan masing-masing negara.

4. Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan Hakim. Adapun bahan-bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan Pengadilan.36

35 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h. 133. 36


(21)

Sedangkan bahan hukum Sekunder merupakan bahan-bahan pendukung yang digunakan dari berbagai literatur lain untuk mendukung permasalahan yang dikaji. Bahan hukum sekunder diperoleh dari penelitian pustaka (library research), yang dalam penelitian hukum normatif terbagi ke dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoratif artinya mempunyai otoritas.37 Dalam bahan hukum primer ini penulis akan menelaah dan

menganalisis : Al-quran, Al-hadis, kitab undang-undang hukum perdata (KUHPerdata), kompilasi hukum Islam (KHI), yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 52K/AG/1999, putusan Pengadilan dan lain-lain.

b. Bahan hukum Sekunder

Untuk memperkaya kajian ini penulis akan menggunakan kitab-kitab lain dan karya ilmiah yang dianggap relevan dengan permasalahan yang dikaji, seperti:

- Hukum Waris karangan Ependi Parangin.

- Hukum Waris Dalam Islam karangan Muhammad Ali Ash-Shabuni. - Hukum Waris Islam karangan Suhrawardi K. Lubis dan Komis

Simanjuntak.

- Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia karangan Zainuddin Ali. - Hukum Kewarisan Perdata Barat karangan Surini Ahlan Sjarif dan

Nurul Elmiyah.

- Hukum Waris Perdata karangan Maman Suparman.

- Fiqh Mawaris karangan Teungku Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy. - Antropologi Hukum karangan T.O Ihromi.

- Konflik Tanah Ulayat dan Pluralisme Hukum karangan Edy Ikhsan. - Sosiologi Hukum karangan Satjipto Rahardjo.

- Kamus hukum karangan Sudarsono.

- Jurnal Yudisial, Penegakan Keadilan Dalam Kewarisan Beda Agama.

5. Metode Pengumpulan Bahan Hukum

37


(22)

Metode yang diterapkan dalam pengumpulan bahan hukum adalah dengan cara mengumpulkan dan menginventarisasi bahan hukum yang primer yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti, yang selanjutnya diklasifikasikan menurut kelompoknya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Adapun terhadap bahan hukum sekunder dan tersier dikumpulkan dengan menggunakan kajian kepustakaan (studi document).

Kajian kepustakaan ini dilakukan dengan sistem kartu (card system) yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum primer, sekunder maupun tersier. Sehingga dapat disimpulkan penulisan tesis ini lebih menitik beratkan pada penelitian kepustakaan (library research) serta bahan-bahan yang dapat menunjang dalam kaitannya dengan pembahasan permasalahan.

6. Teknik Analisis

Analisis dapat dirumuskan sebagai proses penguraian secara sistematis dan konsisten terhadap gejala-gejala tertentu.38 Teknik analisis dalam penelitian

hukum di dalam menganalisis bahan-bahan hukum tersebut dapat dilakukan secara deskripsi, interpretasi, kontruksi, evaluasi, argumentasi dan sistemisasi. Dalam kerangka berpikir yang diarahkan untuk dapat memberikan jawaban atas rumusan masalah dan tujuan yang dikaji dalam penelitian ini.

Teknik analisis bahan hukum di atas dapat dijelaskan sebagai berikut. Deskriftif, yaitu uraian yang apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dan proposisi-proposisi hukum dan non hukum. Interpretatif, yaitu teknik menggunakan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu hukum yang terkait dengan pembahasan yang tidak jelas. Konstruktif, yaitu pembentukan konstruksi yuridis dengan melakukan analogi dan pembalikan proposisi. Evaluatif, yaitu penilaian, tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh penulis terhadap suatu pandangan atau proposisi, pernyataan rumusan norma baik itu bahan hukum primer maupun sekunder. Argumentatif, yaitu

38


(23)

penilaian yang dilakukan penulis atas dasar penalaran hukum. Sistematis, yaitu penulis berusaha mencari kaitan rumusan suatu konsep hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang sederajat maupun antara yang tidak sederajat.

J. Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari lima bab. Setiap bab terdiri dari beberapa sub bab. Bab pertama berisi pendahuluan menguraikan argumentasi terhadap pentingnya penelitian, yang membahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah yang berguna untuk memfokuskan pembahasan, tujuan penelitian dan manfaat penelitian yang mengetengahkan alasan pentingnya penelitian ini dilakukan, kerangka teori, kerangka konseptual, Pengadilan Negeri Medan, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua berisi kajian tentang beda agama sebagai penghalang kewarisan, dilihat dari kajian hukum Islam, hukum Perdata, dan hukum adat.

Bab ketiga membahas tentang pluralisme hukum dan politik hukum dalam kewarisan beda agama, yang di dalamnya terdapat konsep pluralisme hukum, hukum yang hidup, dan implikasi pluralisme hukum terhadap keadilan dan kepastian hukum.

Bab keempat membahas tentang pluralisme hukum yang di dalamnya terdapat kasus/aturan Pengadilan luar negeri tentang waris beda agama, penulis mengambil aturan waris negara Mesir dan Filipina.

Pada bab kelima merupakan bab inti atau pembahasan pokok dari hasil penelitian ini, yang merupakan analisis terhadap yurisprudensi waris beda agama yang di dalamnya terdapat putusan Pengadilan Agama Karo, PengadilanAgama Tebing Tinggi, Pengadilan Agama Badung dan Pengadilan Agama Surabaya. Serta analisis penulis terhadap Putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan.

Dan pada bab keenam adalah bab penutup yang berisi kesimpulan dari keseluruhan pembahasan, dan saran-saran dari hasil penelitian ini.


(24)

BAB II

Beda Agama Sebagai Penghalang Kewarisan dalam Hukum Islam, Hukum Perdata dan Hukum Adat

A. Perspektif Hukum Islam

Sebelum membahas lebih jauh tentang hukum waris beda agama di Indonesia, kita harus terlebih dahulu mengetahui pengertian waris dari berbagai sumber, yaitu hukum Islam, hukum Perdata dan hukum adat, adapun pengertiannya sebagai berikut: Menurut hukum Islam mawaris jamak dari mirats, (irts, wirts, wiratsah, dan turats, yang dimaknakan dengan mauruts) adalah “ harta peninggalan orang yang meninggal yang diwariskan kepada para warisnya”.39 Orang yang meninggalkan harta

disebut muwarits, sedang yang berhak menerima pusaka disebut waris.

Hukum waris Islam adalah aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang meningggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi bagian masing-masing ahli waris, menentukan harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.40

Kata Al-Mirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk masdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miraatsan. Maknanya menurut bahasa ialah ‘berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain’ atau dari suatu kaum kepada kaum lain. Sedangkan makna al-mirats menurut istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar’i.41

39 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2015), h. 5.

40


(25)

Pengertian lain menjelaskan kata mirats memiliki dua pengertian. Pertama, artinya kekal abadi (al-baqa), seperti nama yang lilekatkan untuk Allah SWT. Dari sinilah mengapa orang yang berhak menerima peralihan harta mayit itu dijuluki dengan al-waris (waris/ahli waris), terutama disebabkan karena harta pemindahan keabadian hak milik dari si mayit kepada ahli warisnya. Kedua, al-mirats diartikan dengan peralihan sesuatu dari seseorang kepada orang lain, apakah sesuatu yang dialihkan itu berwujud immaterial maupun berbentuk material seperti perpindahan harta kekayaan dari seseorang (si mayit) kepada ahli waris, maupun berbentuk maknawi seperti peralihan ilmu pengetahuan, kemuliaan, akhlak, dan lainnya.42

Jadi dapat disimpulkan bahwa waris dalam Islam adalah perpindahan atau peralihan harta dari pewaris (si mayit) kepada ahli waris yang ditinggalkan, secara langsung sesuai dengan asas-asas kewarisan Islam.

A.Fikih Klasik

Dalam pandangan ulama mazhab, telah sepakat bahwa ada tiga hal yang menghalangi warisan, yaitu perbedaan agama, pembunuhan dan perbudakan. Sedangkan ulama-ulama yang lainnya yang sepakat dengan larangan tersebut dari kalangan salaf diantaranya as-Syafi’i, Ibnu Qudamah, dan as-Syaukani. Sedangkan para ulama kontemporer yang melarang diantaranya Musthafa Syalabi, Ali as-Syabuni, dan Sayyid Sabiq.

Meskipun demikian, diantara sederet pendapat yang mengharamkan seseorang muslim menerima warisan dari orang muslim, ada pula mazhab yang membolehkan, yang termasuk dari golongan salaf, diantaranya adalah mazhab Imamiyah. Mazhab ini membolehkan seorang muslim mewarisi non muslim.43

Akan tetapi pendapat yang kedua ini, yaitu pendapat yang membolehkan muslim mewarisi kafir, tampak tidak populer dan jarang dicantumkan dalam

kitab-41 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam (Depok : Fathan Prima Media, 2013), h. 32.

42

Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam pendekatan Teks dan Konteks, h. 12.

43 Konsep Kewarisan Beda Agama, h. 4. Di Unduh Pada Tanggal 9 April 2016 Pukul 16. 20 Wib.


(26)

kitab yang membahas hukum kewarisan Islam, terutama kitab-kitab kontemporer. Sementara itu tidak ada perbedaan tentang larangan kafir mewarisi muslim, namun terdapat perbedaan pendapat dalam hal muslim yang mewarisi kafir.

Pertama, pendapat yang melarang muslim mewarisi kafir dikemukakan oleh para ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali, begitu pula dengan as-Syafi’i yang menolak pemaknaan kata kafir dengan kafir harbiy, karena menurut as-Syafi’i baik kafir harbiy maupun kafir dzimmi, tetap tidak diperbolehkan muslim menerima waris darinya, karena mereka sama-sama kafir. Alasan yang kedua adalah tidak adanya nash yang mentakhsis kata kafir dengan hadis yang melarang muslim dan kafir saling mewarisi.44

Senada dengan as-Syafi’i, as-Syaukani sepakat dengan as-Syafi’i bahwa tidak ada pengecualian tentang makna kafir kecuali dengan dalil yang tegas. Adapun Ibnu Qudamah berpendapat bahwa riwayat dari Umar, Mu’az dan Muawiyah yang membolehkan muslim menerima waris dari non muslim adalah riwayat yang tidak bisa dipercaya dari mereka. Karena Imam Ahmad mengatakan bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa muslim tidak mewarisi dan mewariskan harta orang kafir. Yang dipraktekkan oleh kebanyakan fuqaha adalah perbedaan agama antara Islam dan kafir menghalangi warisan dari kedua pihak. Begitu pula mereka sepakat bahwa kafir yang seagama boleh saling mewarisi diantara mereka apabila mereka dalam satu negara. Juga, murtad yang masuk Islam sebelum harta waris dibagikan maka ia berhak mendapatkan bagian.

Larangan yang lain muncul dari fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) dengan alasan bahwa hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewaris antara orang-orang yang berbeda agama (antara orang muslim dengan non muslim), juga pemberian harta antara orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.

Kedua, pendapat yang membolehkan muslim mewarisi kafir, pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauzi. Hal ini berdasarkan

44


(27)

dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, riwayat tersebut menjelaskan bahwa Mu’az bin Jabal, Muawiyah, dan mereka yang membolehkan muslim mewarisi kafir berkata “kita mewarisi mereka dan mereka tidak mewarisi kita sebagaimana kita menikahi wanita-wanita kita”.

B.Fikih Kontemporer (Fatwa)

Pendapat ini senada dengan apa yang difatwakan oleh seorang ulama besar kontemporer, yaitu Yusuf Qardawi. Menurut beliau, illat dari masalah waris adalah semangat tolong-menolong, bukan perbedaan agama. Dasar waris bukanlah ikatan hati. Jika hal ini dijadikan alasan, orang munafik tidak menerima dan memberikan waris. Padahal sunnah telah menjelaskan bahwa mereka menerima dan memberi waris.45 Kebolehan muslim mewarisi kafir akan lebih kuat apabila dianalisis dengan

pendekaatan komparatif. Pendekatan ini menggunakan dua metode, yaitu metode istislahi dan awlawiyat. Berdasarkan pandangan istislahi, maka tidak dapat dipungkiri kebolehan tersebut akan mendatangkan beberaapa kemaslahatan sebagai berikut :

a. Kebolehan muslim mewarisi non muslim, akan menjadikan si muslim terhindar dari kemungkinan kembali kepada kekufuran dikarenakan godaan harta dunia.

b. Ketika seorang anak muslim diberi hak mewarisi kafir, maka ia akan dapat menunaikan kewajibannya dalam berbakti kepada kedua orang tuanya, meskipun kedua orang tuanya adalah non muslim.

c. Kebolehan muslim mewarisi dari kafir akan mengembalikan harta milik Allah SWT untuk ketaatan kepada-Nya, dan menghindari harta tersebut dari penggunaan yang tidak benar oleh orang kafir.

d. Kebolehan muslim mewarisi dari kafir harbiy, akan dapat melemahkan kekuatan dan tekanan kaum kafir harbiy terhadap Islam dan umat Islam.46

C.Kompilasi Hukum Islam (KHI)

45 Ibid, h. 7. 46


(28)

Permasalahan mengenai kewarisan Islam di Indonesia diatur dalam buku II Kompilasi Hukum Islam. Pasal 171 KHI Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menentukan bahwa hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

Dalam hubungannya dengan keterangan di atas, dalam hukum waris Islam ada ketentuan halangan untuk menerima warisan. Halangan untuk menerima warisan adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan pewaris. Hal-hal yang dapat menghalangi tersebut yang disepakati para ulama ada tiga, yaitu pembunuhan, perbudakan dan berlainan agama.

Dalam hal pembagian waris yang beda agama, agaknya belum ada ketentuan perundang-undangan yang jelas mengatur secara khusus mengenai hal ini. Dalam Kompilasi Hukum Islam hanya dijelaskan mengenai warisan yang satu agama, atau sesama muslim baru berhak mendapat warisan, yaitu pada Pasal 171 huruf b dan c sebagai berikut : Pada Pasal 171 huruf b, pewaris adalah orang yang pada saat meningggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Dan pada Pasal 171 huruf c, Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi ahli waris.47

Pada Pasal 172 KHI juga dijelaskan bahwa “ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.48

Dan pada Pasal 173 KHI di jelaskan bahwa : seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :

47 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Bandung : Citra Umbara, 2007), h. 290.

48


(29)

a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.49

Dari keterangan diatas jelaslah menurut Kompilasi Hukum Islam yang berhak mewarisi dan diwarisi adalah orang-orang yang beragama Islam, dan di dalam hadis Nabi dikatakan bahwa orang muslim tidak berhak mewarisi kepada non muslim begitu juga sebaliknya sebagaimana dijelaskan dalam hadis :

ملسملا رفاكلا لو رفاكلا ملسملا ثري ل

Artinya :

Tidak berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.” (Bukhari dan Muslim)

Dalam praktek penerapan hukum di lingkungan Peradilan Agama, seorang ahli waris non muslim dapat memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris muslim melalui wasiat wajibah sejak putusan kasasi Nomor. 368 tanggal 16 Juli 1998. Dalam putusan tersebut, seorang anak kandung perempuan non muslim mendapat bagian warisan dari orang tuanya yang muslim melalui wasiat wajibah sebesar bagian ahli waris seorang anak perempuan. Putusan tersebut telah menjadi Yurisprudensi tetap dan diikuti oleh para Hakim di Pengadilan Agama.

Mengenai wasiat dalam warisan dalam Kompilasi Hukum Islam juga dijelaskan yaitu dalam Pasal 175, kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah :

a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai.

b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang.

c. Menyelesaikan wasiat pewaris.

d. Membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak.50

49 Ibid, h. 291-292. 50


(30)

Dalam hal ini Kompilasi Hukum Islam tidak secara rinci menjelaskan isi Pasal 175 huruf c tentang bagaimana ketentuan wasiat yang dimaksud, apakah wasiat sebelum meninggalnya pewaris atau boleh wasiat wajibah seperti yang diterapkan oleh Pengadilan Agama Medan yang memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris yang non muslim.51

Di bawah ini akan dijelaskan argumentasi pilihan hukum pembagian waris beda agama di Indonesia dari tiga sisi, yaitu prinsip waris Islam, waris perdata dan waris Adat.

1. Waris Islam

Dalam hubungannya dengan waris mewarisi pada keluarga beda agama, maka ini menunjukkan adanya anggota keluarga yang beragama Islam dan anggota keluarga yang beda agama bila pihak pewaris meninggal dunia. Dalam hukum Islam telah ditentukan bahwa berlainan agama bisa jadi penghalang mewarisi52. Konkritnya

apabila antara ahli waris dan al-muwarris, salah satunya beragama Islam, yang lain bukan Islam. Misalnya, ahli waris beragama Islam, muwarisnya beragama Kristen, atau sebaliknya, demikian kesepakan mayoritas ulama.

a.Dasar Hukum Waris.

Dasar hukumnya adalah Al-quran dan hadis Rasulullah sebagai berikut :

          

Artinya :

Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa : 7).

51 Lihat Perkara Nomor 9/Pdt.P/2016/PA.M.dn. atas nama SS Binti SA. Dalam perkara ini pemohon SS Binti SA memohon kepada Pengadilan Agama Medan agar ditetapkan ahli waris dari harta peninggalan suaminya yang telah meninggal dunia. Sementara itu suaminya (Ungkap Aritonang) meninggalkan 2 (dua) orang anak yang masing-masing beragama Kristen.

52


(31)

                                 



Artinya :

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan Barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (Q.S An-Nisa :13-14)53

Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Usamah Ibn Zaid, dijelaskan sebagai berikut :

سرييي ل : لاييق (ص) ييلا لوييسر نا هيينع لا ىض ر ديز نب ةماسا ىور

ملسملا رفاكلا لو رفاكلا ملسملا

Artinya :

“Diriwayatkan oleh Usamah Ibn Zaid r.a bahwa Rasulullah SAW berkata : bahwa seorang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang kafir tidak mendapat waris dari orang muslim”.

Dan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah disebutkan :

اوييتي ل م ص ييل ا لوييسر لاييف لاييق هنع ل ا ىضر ورمع نب لادبع نع

ىتش نيتلم لها ثر

Artinya :

53


(32)

”Dari Abdullah bin Amr r.a, Rasulullah SAW bersabda : Dua orang yang berbeda agama tidak saling mewarisi.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).54

Dalam Pasal 171 huruf c inpres Nomor. 1 tahun 1991 tentang KHI menentukan bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang untuk menjadi ahli waris.55 Demikian dalam Pasal 172 KHI

tersebut ditemukan bahwa ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.

Pasal 174 ayat (1) Inpres Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam menentukan bahwa kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : menurut hubungan darah, dan menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.

Pasal di atas dengan jelas mengatakan bahwa seorang duda atau janda merupakan seorang ahli waris yang timbul karena adanya hubungan perkawinan. Namun dalam konteks perkawinan beda agama maka seorang duda atau janda tidak termasuk ke dalam ahli waris jika tidak beragama Islam. Hal ini terlihat jelas dalam pengertian ahli waris menurut Pasal 171 huruf c Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 tahun 1991 yang mensyaratkan harus beragama Islam.

Dalam perkawinan beda agama, apabila seorang istri atau suami meninggal dunia maka hukum yang digunakan dalam pengaturan pewarisannya adalah hukum dari si pewaris (yang meninggal dunia). Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 172/K/Sip/1974 menyatakan “bahwa dalam sebuah sengketa waris, hukum waris yang dipakai adalah hukum si pewaris”.56

54 Muhammad Amin Suma, Keadilan Hukum Waris Islam Dalam Pendekatan Teks dan Konteks (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2013), h. 51.

55

Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Fokus Media, 2014), h. 56.

56 Kumpulan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI, http://www.pn.go.id, diakses tanggal 2 Maret 2016.


(33)

Berdasarkan Alquran, Hadis, Peraturan Perundang-undangan dan kesepakatan mayoritas ulama, menjelaskan bahwa waris beda agama tidak diperbolehkan. Tetapi pada prakteknya masih banyak ditemukan masyarakat yang melaksanakannya. Namun ada pendapat ulama yang mengatakan bahwa orang Islam berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya yang kafir, tetapi orang non muslim tidak berhak mendapatkan warisan dari pewaris muslim. Tetapi pendapat ini kurang kuat dasar hukumnnya (lemah).

b.Penggugur Hak Mewarisi

Penggugur hak waris seseorang maksudnya kondisi yang menyebabkan hak waris seseorang menjadi gugur, dalam hal ini ada tiga :

1. Budak

Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya, secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal), atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang disepakati kedua belah pihak).

2. Pembunuhan.

Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapat warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw. :

ايش لوتقملا نم لتاقلا ثريل

Artinya :

“Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.” (HR. Darimi. No. 2951)


(34)

Dari pemahaman hadis Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur dikalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah : “siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapatkan bagiannya.”

Ada perbedaan pendapat dikalangan fuqaha tentang penentuan jenis pembunuhan. Misalnya, mazhab Hanafi menentukan bahwa pembunuhan yang dapat menggugurkan hak waris adalah semua jenis pembunuhan yang wajib membayar kafarat.57

Sedangkan Mazhab Maliki berpendapat, hanya pembunuhan yang disengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris. Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuhan yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya diqhishas, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong penggugur hak waris.58

Adapun menurut Mazhab Syafi’i, pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi penggugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, atau bahkan hanya membenarkan kesaksian para saksi lain dalam pelaksanaan qhishas atau hukuman mati pada umumnya.59

Dari beberapa pendapat di atas, penulis lebih condong atau sependapat dengan pendapat Imam Syafi’i karena menurut penulis jika seseorang telah membunuh pewarisnya katakanlah orang tuanya, maka sangat tidak pantas lah anak tersebut mendapat harta warisan dari orang tua yang telah dibunuhnya tersebut.

3. Perbedaan Agama

57 Muhammad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris Dalam Islam, h. 41. 58 Ibid, h. 41.

59


(35)

Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh orang non muslim, apapun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulullah saw. dalam sabdanya :

ملسملا رفاكلا لو رفاكلا ملسملا ثري ل

Artinya :

Tidak berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak pula orang kafir mewarisi muslim.” (Bukhari dan Muslim).

Jumhur ulama berpendapat demikian, termasuk keempat Imam mujtahid. Hal ini berbeda dengan pendapat sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal r.a yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir, tetapi tidak boleh mewariskan kepada orang kafir. Alasan mereka adalah bahwa Islam ya’lu walaayu’la ‘alaihi (unggul, tidak ada yang mengunggulinya).60Namun

berdasarkan sumber bahan bacaan yang penulis dapatkan bahwa pendapat yang rajih adalah seorang muslim tidak mewarisi orang kafir begitu juga sebaliknya seorang kafir tidak mewarisi seorang muslim. Atau dengan bahasa lain perbedaan agama adalah menjadi penghalang seseorang saling mewarisi.

Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi sebagai penggugur hak mewarisi yakni murtad, orang yang telah keluar dari Islam dinyatakan sebagai orang murtad. Dalam hal ini ulama membuat kesepakatan bahwa murtad termasuk dalam kategori perbedaan agama, karena orang murtad tidak dapat mewarisi orang Islam.

Dan yang menarik lagi untuk dikaji adalah terdapat perbedaan pendapat ulama tentang kerabat orang yang murtad, apakah dapat mewarisinya ataukah tidak. Maksudnya, bolehkah seorang muslim mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad? Menurut Mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak mewarisi harta kerabatnya yang telah murtad. Sebab, menurut mereka orang yang murtad berarti telah keluar dari ajaran Islam sehingga secara

60


(36)

otomatis orang tersebut telah menjadi kafir. Karena itu, seperti ditegaskan Rasulullah dalam hadisnya, bahwa antara muslim dan kafir tidaklah dapat saling mewarisi.

Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat saja mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan : “seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, dan lainnya.61

Menurut Muhammad Ali Ash-Shabuni, ia lebih condong kepada pendapat Hanafi dengan alasan bahwa orang yang tidak memiliki ahli waris, maka harta warisannya diserahkan kepada baitul mal, dan ia mengatakan tidak ada baitul mal yang dikelola dengan baik di Indonesia, oleh sebab itu semua harta warisan kerabat murtad harus diwariskan kepada kerabatnya yang muslim. Namun menurut penulis kedua kelompok ulama di atas, terjadi perbedaan pendapat karena memiliki dalil masing-masing, oleh sebab itu perlu diteliti kembali yang manakah memiliki dalil yang paling kuat agar dapat diterapkan di masyarakat sehingga didapatkan suatu keadilan dan kepastian hukum.

Di dalam buku lain, dimuat bahwa penghalang kewarisan ada 4 macam, yakni :

1. Perbudakan, budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan tuannya bila tuannya meninggal dunia, disebabkan budak itu sendiri bersetatus sebagai harta milik bagi tuannya.

2. Pembunuhan, Para fuqaha sepakat bahwa pembunuhan itu menjadi penghalang seseorang mendapat waris dari orang yang dibunuhnya.

3. Karena berlainan agama, dan tentang hal ini jumhur ulama telah sepakat bahwa orang Islam tidak dapat memusakai orang kafir dengan sebab apa saja, demikian sebaliknya.

61


(37)

4. Berlainan Negara, dua negara dikatakan berlainan adalah berlainan angkatan perang, berlainan kepada negara dan tidak ada ikatan kekuasaan (ishmah) satu sama lain.62

Tentang penghalang mendapat waris karena berlainan negara masih diperselisihkan oleh para fuqaha. Sebagian mereka mengatakan bahwa berlainan negara menjadi penghalang mendapat waris, sebagian lagi mengatakan bahwa berlainan negara tidak menghalangi seseorang mendapat waris dari kerabatnya. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa seorang muslim dimana saja berada dapat memusakai kerabatnya walaupun kerabatnya itu berlainan negara, demikian juga tentang berlainan negara antar orang non muslim tidak menjadi penghalang memusakai, kecuali negara asing itu mempunyai peraturan yang melarang menerima pusaka.

Misalnya, seorang muslim Mesir mati meninggalkan anak warga negara Inggris, anak tersebut tidak dapat mewarisi peninggalan bapaknya, kecuali kalau undang-undang negara Inggris tidak mengadakan larangan terhadap warga negaranya mewarisi orang yang bukan warga negaranya. Hal yang terakhir ini dianut dalam undang-undang kewarisan Mesir (Pasal 6 ayat 3 dan 4) disebutkan bahwa perbedaan dua negara tidak menghalangi mendapat waris antar-orang Islam dan tidak menghalangi mewarisi antar-orang yang bukan Islam, kecuali bila peraturan negara asing melarang warga asing yang lain mewarisi dari padanya.63

Dari pemaparan di atas, bahwa terlihat sangat ketat aturan mengenai waris di negara lain, karena mungkin negara tersebut memandang masalah waris ini sangat penting yang oleh sebab itu harus diatur sedemikian rupa agar didapatkan suatu aturan yang baku dan dipatuhi warna negaranya dan bahkan orang lain. Berdasarkan hal ini menurut hemat penulis sangat dibutuhkan suatu aturan yang tegas dan baik, yang dibuat oleh pemerintah mengenai waris terutama waris beda agama, karena

62 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, h. 206. 63


(38)

masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang pluralis yang di dalamnya terdapat ragam agama dan kebudayaan yang masih dipertahankan.

1. Perspektif Hukum Perdata

Hukum waris Eropa yang dimuat dalam Burgerlijk Wetboek (selanjutnya disebut BW) adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan karena wafatnya seseorang, yaitu mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati dan akibat dari pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.64

Mewaris adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang meninggal. Pada umumnya yang digantikan adalah hanya hak dan kewajiban di bidang hukum kekayaan saja. Fungsi dari yang mewariskan yang bersifat pribadi atau yang bersifat hukum keluarga (misalnya suatu perwalian) tidaklah beralih.65

Sedangkan pendapat lain mengatakan, bahwa hukum waris adalah bagian dari hukum kekeluargaan yang sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia.

Hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur, tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.66 Sebab setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang

dinamakan kematian.67

Para ahli hukum yang lainnya mengemukakan pengertian waris yang sangat beragam, misalnya sebagai berikut :

a. Hazairin, mempergunakan istilah “kewarisan”. Menurut Hazairin kewarisan adalah : “peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah

64 Ibid, h. 81.

65 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat (Jakarta : Prenada Media Grouf, 2005), h. 7.

66 Muhammad Idris Ramulyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat (Jakarta : Sinar Grafika, 1993), h. 43.

67


(39)

berbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”68.

b. Menurut B. Ter Haar Bzn, sebagai berikut :

“Hukum waris adalah aturan-aturan yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan perolehan dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.69

c. Menurut Subekti, meskipun tidak menyebutkan defenisi hukum kewarisan. Beliau hanya menyatakan hukum waris sebagai berikut :

“Dalam hukum waris kitab undang-undang hukum perdata berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Oleh karena itu, hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan pada umumnya hak kepribadian, misalnya hak dan kewajiban sebagai seorang suami atau seorang ayah tidak dapat diwariskan, begitu pula hak dan kewajiban seorang sebagai anggota suatu perkumpulan.70

Sedangkan menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuan-ketentuan dimana berhubungan dengan meninggalnya seorang, akibat-akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga.71

Dan menurut Wirjono Prodjodikoro (Mantan Ketua Mahkamah Agung RI), bahwa hukum waris adalah hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.72

68

Ibid, h. 9. 69 Ibid, h. 9 70 Ibid, h. 9 71

Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta : Bina Aksara, 1986), h. 7.

72 Mohd. Idri Ramukyo, Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat, h. 43.


(1)

dan shadaqah antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum dan keadilan”.172

Secara rinci ruang lingkup tersebut meliputi :

1. Kekuasaan negara, yaitu kekuasaan kehakiman, yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya dan dari pihak luar.

2. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Agama, meliputi hirarki, susunan, pimpinan, Hakim, Panitera, dan unsur lain dalam organisasi Peradilan.

3. Prosedur berperkara di Pengadilan, yang mencakup jenis perkara, hukum prosedural, dan produk-produknya.

4. Perkara-perkara di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, perwakafan, dan shadaqah. Ia mencakup variasi dan sebarannya berbagai badan Peradilan 5. Orang-orang yang beragama Islam sebagai pihak yang berperkara, atau para

pencari keadilan

6. Hukum Islam sebagai hukum substansional yang dijadikan rujukan 7. Penegakan hukum dan keadilan.173

Dari penjelasan diatas dapat kita cermati bahwa pada keterangan tersebut tidak membenarkan ada para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama orang yang non muslim, dan masalah wasiat hanya ada kepada ahli waris muslim atau tidak berlaku kepada anak/kerabat yang non muslim. Nah hal ini sangat bertentangan dengan perkara yang dijelaskan diatas bahwa kedua anak yang beragama Kristen yaitu JCA dan HCA sama-sama mendapat wasiat dari ayahnya yang muslim dan itu tidak dipermasalahkan Hakim yang memeriksa perkara tersebut.

2.Analisis Putusan Pengadilan Negeri Medan

Dalam perkara waris Nomor 152/Pdt.G/2014/PN Medan, yaitu antara LDS (beragama Kristen) melawan MHS, EAAS (masing-masing beragama Islam) dan Camat Medan Selayang, bahwa dalam konpensi, Rekonpensi, Eksepsi serta pada akhirnya di putuskan, majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan melaksanaklan semua tahapan-tahapan persidangan dengan menggunakan hukum perdata (BW) dan hukum acara perdata. Dan tidak ada satupun ketentuan atau pertimbangan hukum yang 172 Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), h. 35.

173


(2)

diadopsi dari ketentuan hukum Islam, walaupun ada pihak yang beragama Islam. Jika kita perhatikan bahwa dalam pelaksanaan sengketa waris di Pengadilan Negeri, majelis Hakim tidak membeda-bedakan agama, dengan kata lain semua dipandang sama karena dalam hukum perdata perbedaan agama tidak menjadi penghalang kewarisan.

Dalam ketentuan waris perdata telah diatur dalam Title ke-11 buku kedua KUHPerdata tentang orang-orang yang berhak mendapatkan warisa, yaitu :

1. Ada orang yang meninggal dunia. Pasal 830 KUHPerdata menyebutkan, bahwa pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Kematian disini adalah kematian alamiah.

2. Untuk memperoleh harta peninggalan ahli waris harus hidup pada saat pewaris meningggal.174

Keterangan ini ditambahi lagi dengan cara mendapatkan warisan, yaitu :

1. Pewarisan secara Ab Intestato, yaitu pewarisan menurut undang-undang 2. Pewarisan secara Testaamentair, yaitu pewarisan karena ditunjuk dalam surat

wasiat atau Testamen.175

Dari ketentuan di atas, jelas bahwa setiap orag berhak mendapatkan warisan dari orang tua, saudara atau kerabatnya yang telah meninggal dunia apapun agamanya, denga catatan memenuhi ketentuan syarat-syarat yang diatas. Dalam perkara yang penulis temukan yaitu putusan Nomor 152/Pdt.G/2014/PN.Mdn jelas bahwa para pihak berhak mendapatkan warisan dari orang tua mereka baik secara Ab

Intestato dan Testaamentair dan karena pewaris telah lama meninggal dunia dan para

ahli waris hidup ketika pewaris meninggal.

Sementara perbedaan agama dalam kaidah hukum perdata tidak dapat dijadikan sebagai penghalang kewarisan, adapun penghalang kewarisaan sebagaimana di jelaskan dalam Pasal 838 KUHPerdata menyatakan bahwa orang yang dianggap tidak patut menjadi ahli waris karena dikecualikan dari pewarisan adalah sebagai berikut.

174 Surini Ahlan Sjarif dan Nurul Elmiyah, Hukum Kewarisan Perdata Barat, h. 14. 175


(3)

1. Mereka yang dihukum karena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh si yang meninggal.

2. Mereka yang dengan putusan Hakim dipersalahkan karena memfitnah yang meninggal dengan mengajukan pengaduan telah melakukan kejahatan dengan hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat.

3. Mereka yang dengan kekerasan atau perbuatan telah mencegah si yang meninggal untuk membuat atau mencabut surat wasiatnya.

4. Mereka yang telah menggelapkan, merusak atau memalsukan surat wasiat si yang meninggal.176

Jika kita mengkaji ulang tentang aturan waris perdata yang di peraktekkan di Pegadilan Negeri, hal ini tidak terlepas dari warisan hukum hindia Belanda yang kita adopsi pada saat sekarang ini, da ditambah lagi dengan ketentuan hukum adat di Indonesia yang masih tetap melekat dalam masyarakat Indoesia pada umumnya. Hal ini sangat mempengaruhi terhadap implementasi aturan hukum dalam Peradilan Umum.

Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa ketika sengketa waris diajukan ke Pengadilan Negeri, maka hukum yang diterapkan adalah hukum Perdata bukan hukum Islam, walaupun ada salah satu pihak yang berperkara adalah orang yang beragama Islam. Maka menurut hemat penulis ketika ada perbedaan agama dalam perkara waris, maka didapatkan perbedaan hasil yang di peroleh yaitu : pertama, jika sengketa waris diajukan ke Pengadilan Agama, maka yang diuntungkan adalah orang yang beragama Islam dan merugikan non muslim. Kedua, jika sengketa tersebut diajukan ke Pengadilan Negeri, maka yang diuntungkan adalah orang yang non muslim, dan orang Islam dirugikan dikarenakan bagiannya akan lebih sedikit dibanding penyelesaian di Pengadilan Agama.

176


(4)

BAB V

Penutup

A.Kesimpulan

Dalam masalah waris yang berbeda agama, didapatkan berbagai ketentuan yang berbeda-beda antara penyelesaian dengan kaidah hukum Islam dan kaidah hukum perdata (BW). Jika diihat dari sumber hukum Islam baik itu Al-quran, Hadis, Ijmak para Ulama, Kompilasi Hukum Islam dan sebagainya jelas mengatakan perbedaan agama menjadi penghalang seseorang itu mendapat harta warisan.

Sementara jika dilihat dari sisi ketentuan hukum perdata Barat bahwa perbedaan agama tidak menjadi penghalang seseorang untuk mendapatkan warisan, yang menjadi penghalang adalah orang yang membunuh si pewaris baru ia tidak mendapatkan warisan dari orang yang dibunuhnya.

Dari dua ketentuan itu terdapat dua hal yang sangat berbeda dalam satu masalah, maka muncul pertanyaan yaitu : kemana orang harus menyelesaikan sengketanya?...

Dari hasil penelitian penulis, bahwa penulis menemukan ada 2 (dua) kasus sengketa waris yang berbeda agama yang telah diselesaikan oleh Pengadilan Agama yakni :

1. Perkara Nomor 9/Pdt.P/2016/PA.Mdn atas nama SS binti SA (penggugat, beragama Islam) melawan JKA binti UA dan HCA binti UA (tergugat 1 dan 2, masing-masing beragama Kristen), dan

2. Perkara Nomor 2/Pdt.G/2011/PA.Kbj atas nama JG bin NG (penggugat, beragama Kristen) melawan EG bin NG dan MS Binti Karto S (tergugat 1 dan 2, masing-masing beragama Islam).

Berdasarkan hasil persidangan bahwa Hakim memutuskan dari kedua perkara tersebut yang berhak menjadi ahli waris adalah pihak-pihak yang beragama Islam, dan pihak yang non Islam (Kristen) tidak berhak menjadi ahli waris, namun masing-masing berhak mendapatkan dari harta warisan tersebut melalui jalan wasiat wajibah, yaitu berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor : 51K/AG/1999.


(5)

Dari hasil putusan ini terdapat satu benturan hukum antara kaidah sebelumnya yang terdapat dalam Al-quran, Hadis, Ijmak Ulama, dan Kompilasi Hukum Islam yang secara tegas mengatakan bahwa orang non muslim tidak berhak mendapatkan warisan dari harta pewaris muslim karena berlainan agama, dan tidak ada disebutkan mendapat wasiat wajibah seperti yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung tersebut.

Namun jika kita berpikir untuk mewujudkan sebuah keadilan yang diidamkan masyarakat luas, maka apa-apa ijtihad yang telah dibuat oleh para Hakim di Indonesia melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor. 52K/AG/1999, menurut penulis adalah masuk dalam satu pengembangan hukum nasional karena mengingat masyarakat yang kompleks dan plural pada saat sekarang dan akan datang.

Pengembangan Hukum itu diperlukan dengan syarat tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang telah baku, namun jadi masalah pengembangan hukum ini juga terkadang berdampak kepada kesalahan-kesalahan dalam penafsiran hukum itu sendiri.

B. Saran

Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan dalam hal untuk mengetahui pilihan hukum dalam sengketa waris beda agama di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, ada beberapa hal yaitu :

1. Kepada Pihak Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Agama Kabanjahe serta Pengadilan Negeri Medan agar ketentuan kewenangan untuk menangani perkara ditentukan dengan jelas mengenai sengketa waris beda agama ini, dan bila perlu dipertegas dengan memohon kepada Mahkamah Agung agar memberikan ketentuan yang jelas untuk diterapkan di seluruh lembaga Peradilan di Indonesia demi suatu keadilan dan kepastian hukum, mungkin dalam hal ini bisa dibuat Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) tentang waris beda agama.

2. Kepada pihak Mahkamah Agung RI yang menaungi Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri agar mengkaji ulang tentang Yurisprudensi Mahkamah Agung yang telah dikeluarkan yaitu Nomor. 51K/AG/1999, tentang wasiat


(6)

wajibah yang diberikan kepada non muslim dari pewaris muslim, karena ini bertentangan dengan ketentuan sumber hukum Islam lainnya.

3. Kepada masyarakat para pencari keadilan agar dalam penyelesaian sengketa waris diharapkan untuk menyelesaikannya di Pengadilan, dan khusus yang beragama Islam agar diselesaikan di Pengadilan Agama. Dan jika harta warisan hanya dibagi diluar Pengadilan/damai haruslah sesuai dengan hukum Islam yang berlaku (khusus yang beragama Islam), karena sebaik-baik hukum adat tetap yang paling baik adalah hukum Agama Islam serta lebih mempunyai nilai-nilai keadilan yang hakiki.


Dokumen yang terkait

Analisa Hukum Penetapan Ahli Waris (Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Medan No. 1229/Pdt.G/2010/PA/Mdn)

10 177 117

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS KEPADA AHLI WARIS YANG BEDA AGAMA Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris Kepada Ahli Waris Yang Beda Agama Melalui Wasiat Wajibah.

0 6 19

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBAGIAN HARTA WARIS KEPADA AHLI WARIS YANG BEDA AGAMA Tinjauan Yuridis Terhadap Pembagian Harta Waris Kepada Ahli Waris Yang Beda Agama Melalui Wasiat Wajibah.

0 9 13

Pilihan Hukum Dalam Pembagian Harta Waris Beda Agama (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan 2011-2016) - Repository UIN Sumatera Utara

0 0 1

Pilihan Hukum Dalam Pembagian Harta Waris Beda Agama (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan 2011-2016) - Repository UIN Sumatera Utara

0 0 1

Pilihan Hukum Dalam Pembagian Harta Waris Beda Agama (Studi Terhadap Putusan Pengadilan Agama Medan dan Pengadilan Negeri Medan 2011-2016) - Repository UIN Sumatera Utara

0 0 3

Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami menurut hukum Islam di Indonesia (Studiterhadap putusan pengadilan Agama Medan nomor 636/Pdt.G/2008 Pa-Mdn) - Repository UIN Sumatera Utara

0 6 104

ANALISIS PERKAWINAN BEDA AGAMA (STUDI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI TERKAIT DENGAN IZIN PERKAWINAN BEDA AGAMA)

0 4 187

Dampak Penundaan Pembagian Harta Waris terhadap Kerukunan Anggota Keluarga (Studi Putusan Pengadilan Agama Pinrang Kelas 1B Tahun 2011-2014) - Repositori UIN Alauddin Makassar

0 0 120

Kedudukan Anak Angkat dalam Pembagian Harta Warisan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama) - Repositori UIN Alauddin Makassar

1 1 98