PERAN JENIS KELAMIN, POLA ASUH DEMOKRATIS DAN PENGETAHUAN TENTANG PSIKOLOGI MANUSIA TERHADAP EMPATI Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

PERAN JENIS KELAMIN, POLA ASUH DEMOKRATIS

DAN PENGETAHUAN TENTANG PSIKOLOGI MANUSIA

TERHADAP EMPATI

Skripsi

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Oleh :

  

F. Andri Yanuarita

NIM : 049114103

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2010

  

PERAN JENIS KELAMIN, POLA ASUH DEMOKRATIS

DAN PENGETAHUAN TENTANG PSIKOLOGI MANUSIA

TERHADAP EMPATI

Skripsi

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

  

Oleh :

  

F. Andri Yanuarita

NIM : 049114103

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2010

HALAMAN MOTTO

  

Aku bukan milikku

Segala yang aku punya bukan milikku

Aku bukan apa-apa

Adaku karena aku dikasihi

  

Ternyata aku tidak harus memilih

Karena ternyata aku sudah dipilih

Aku hanya perlu memutuskan

Untuk berkata ya dan aku terus berjalan

  

Di jalan yang sudah ditentukan

Hiduplah bukan demi apa-apa

Hiduplah karena sudah diberi hidup oleh Tuhan

HALAMAN PERSEMBAHAN

  Karya sederhana ini kupersembahkan kepada : Tuhan Yesus Kristus atas segalanya

  Engkau memberikan segalanya yang terbaik untukku Orangtuaku terkasih Bapak Norbertus Sutarjo dan Ibu Norberta Siti Nasiah

  Melalui Bapak dan Mamak karya Tuhan terlihat nyata Adik-adikku tercinta Agnes Anna Wulan Nuari dan Anastasya Intan Cantika

  Kemanapun kita melangkah jangan melupakan jalan, Jalan yang membawa kita untuk bisa “kembali pulang”

  

PERAN JENIS KELAMIN, POLA ASUH DEMOKRATIS DAN

PENGETAHUAN TENTANG PSIKOLOGI MANUSIA

TERHADAP EMPATI

  

F. Andri Yanuarita

ABSTRAK

  Penelitian ini bertujuan untuk mencari peran jenis kelamin, pendidikan pada masa kecil yaitu pola asuh demokratis dan pendidikan pada masa dewasa yaitu pengetahuan psikologi. Subyek dalam penelitian ini adalah perempuan dan laki-laki usia dewasa awal dengan jumlah 120 orang. Alat yang digunakan sebagai pengumpul data adalah skala empati yang mempunyai reliabilitas sebesar 0.866 dan skala pola asuh demokratis menurut persepsi anak yang mempunyai reliabilitas sebesar 0.966. Hipotesis yang diajukan adalah ada peran jenis kelamin, pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi terhadap empati. Analisis data dengan menggunakan analisis regresi dan memperoleh hasil F = 7.816 dengan p = 0.000 (p<0.05). Hasil nilai standar koefisien beta antara empati dengan jenis kelamin sebesar -0.312, empati dengan PAD sebesar 0.229, dan empati dengan pengetahuan psikologi sebesar -0.193. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin memiliki peranan prediktor paling besar pada empati empati, kemudian peranan prediktor dibawah jenis kelamin adalah PAD dan peranan prediktor paling rendah adalah pengetahuan psikologi. Maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan signifikan antara tingkat empati dengan jenis kelamin, pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi pada taraf kepercayaan 95 %.

  Kata kunci : empati, jenis kelamin, pola asuh demokratis, pendidikan psikologi.

  

THE ROLE OF SEXUAL STATUS, DEMOCRATIC UPBRINGING

PATTERN, AND HUMAN PSYCHOLOGY KNOWLEDGE

TOWARD EMPATHY

  

F. Andri Yanuarita

ABSTRACT

  This research was aimed to find the role of sexual status, childhood education which in this case was democratic upbringing pattern and adultery education which was psychology knowledge. The subjects in this research were 120 men and women in their early adulthood age. The instrument used for data collection was empathy scale which had 0.866 reliability and democratic upbringing pattern of children’s perspective scale which had 0.966 reliability. The hypothesis presented was the role of sexual status, democratic upbringing pattern and psychology knowledge toward empathy. The data analysis used regression analysis and the result was F = 7.816 with p = 0.000 (p<0.05). The result of beta coefficient standard of value between empathy toward sexual status was -0.312, empathy toward DUP was 0.229, empathy toward psychology knowledge was -0.193. From the result above, it can be inferred that sexual status has the biggest predictor role toward empathy, then the second rank after the sexual status is DUP and the last one is psychology knowledge. It can also be concluded that there is a significant relation among empathy grade toward sexual status, democratic upbringing pattern and psychology knowledge at trustiness grade of 95%.

  Key words : empathy, sexual status, democratic upbringing pattern, psychology education.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas setiap penyertaan, pemeliharaan dan kesetiaan-Nya sampai akhir sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia Terhadap Empati” dibuat sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

  Keberhasilan dalam penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan penuh kerendahan hati penulis haturkan terima kasih kepada :

  1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko., S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang sudah dengan sabar membimbing, hingga skripsi ini selesai.

  3. P. Henrietta P.D.A.D.S., S.Psi selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama penulis menjalankan studi.

  4. Ibu A. Tanti Arini., S.Psi., M.Si dan Ibu M. M. Nimas E. S., S.Psi., Psi., M.Si selaku dosen penguji penguji skripsi, terima kasih atas saran dan bimbingan hingga penyelesaian skripsi.

  5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma Yogyakarta yang telah membantu dan mengajarkan banyak hal kepada penulis.

  6. Seluruh staf karyawan di Fakultas Psikologi, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie. Terima kasih atas segala pelayanannya.

  7. Orang tuaku terkasih Bapak dan Mamak yang selalu mendukung dan mendoakan. Apapun jalan yang kupilih, andri tetap sayang Bapak dan Mamak.

  8. Dek Anna dan Dek Intan, “don’t worry jesus Bless you and me forever”.

  9. Keluarga Besar Sardjono dan Sri Sukati, Hadi Pawira dan Sariyem, terima kasih telah mendampingiku dalam doamu.

  10. Keluarga besar MahaGenta Khatulistiwa Art Performance Community dan

  Maknya “kau membuatku mengerti hidup ini”, yang berharga adalah yang paling tidak berharga karena segalanya sudah berharga. Babe Jian & Abah Arif terima kasih telah berbagi pengalaman hidup untuk membuatku menjadi berani. Mbak Eka & Figar kita punya jalan kita masing-masing dan mari kita melaluinya bersama.

  11. Sahabat-sahabat seperjuangan: Ony, Uci, Ita, Kadek terima kasih teman- teman, meski konsep persahabatan kita beda, kalian sudah menjadi sahabat- sahabat terbaik. Ku nikmati indahnya dunia bersama kalian.”biarkan Tuhan berkarya dalam hidup kita”.

  12. Teman-teman Psikologi USD angkatan 2004 yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih atas kebersamaan kita teman.

  13. Berbagai pihak yang telah membantu penyebaran dan mengisi skala penelitian: Maria, Ayu, Dita, Rita, Agung, Catrin, dan teman-teman mahasiswa USD yang telah bersedia mengisi skala peneliti. Terima kasih ya, terus semangat.

  14. Rini (PBI) dan Ison (S Ing) terima kasih sudah menjadi translator.

  15. Teman-teman Hidden Kost, Mbak Lusi, Mbak Cla, Kaka, Mala, Lini, Shella, Catrin, Dini, Iphent, Vio, Putri, Rosa, Lia, Mimi, Rina, Monik, Nana, terima kasih!! semua menjadi lengkap dengan kebersamaan kita.

  16. Semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini.

  Penulis menyadari bahwa skripsi ini memiliki banyak kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis dengan senang hati menerima setiap kritik dan masukan yang membangun. Penulis berharap karya ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya dan semoga berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

  Penulis

  

DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii HALAMAN MOTTO............................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN.............................................................................. v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................... vi ABSTRAK ........................................................................................................... vii ABSTRACT ........................................................................................................ viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI......................................................... ix KATA PENGANTAR ........................................................................................... x DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xvi

  BAB I. PENDAHULUAN .................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................. 6 C. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6 D. Manfaat Penelitian ................................................................................ 6 BAB II. LANDASAN TEORI ............................................................................... 8 A. Empati ................................................................................................... 8

  1. Pengertian Empati ............................................................................ 8

  2. Aspek-aspek Empati ......................................................................... 9

  3. Perkembangan Empati ................................................................... 11

  4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati .................................... 13

  B. Jenis Kelamin ...................................................................................... 15

  1. Kemampuan Intelektual ..................................................................15

  2. Kemampuan Intuisi .........................................................................16

  3. Perilaku Peran Jenis Kelamin ......................................................... 16

  4. Perbedaan Karakter .........................................................................16

  3. Pengetahuan Psikologi ................................................................... 29

  2. Deskripsi Data Penelitian ............................................................... 44

  1. Deskripsi Subyek Penelitian .......................................................... 44

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 44 A. Deskripsi Hasil Penelitian ................................................................... 44

  G. Teknik Analisis Data ........................................................................... 43

  2. Skala Pola Asuh Demokratis .......................................................... 39

  1. Skala Empati .................................................................................. 32

  F. Alat Pengumpulan Data ....................................................................... 34

  E. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 30

  D. Subyek Penelitian ................................................................................ 30

  4. Empati ............................................................................................ 29

  2. Persepsi Anak Terhadap Pola Asuh Demokratis ........................... 29

  C. Pola Asuh Demokratis ......................................................................... 19

  1. Jenis kelamin ...................................................................................29

  C. Definisi Operasional ............................................................................ 29

  2. Variabel Kriterium ......................................................................... 28

  1. Variabel prediktor .......................................................................... 28

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ............................................................ 28 A. Jenis Penelitian .................................................................................... 28 B. Identifikasi Variabel ............................................................................ 28

  F. Hipotesis .............................................................................................. 27

  E. Peran Jenis Kelamin, Pola Asuh Demokratis Dan Pengetahuan Tentang Psikologi Manusia Terhadap Empati ................................................. 23

  D. Pengetahuan tentang Psikologi Manusia ............................................. 22

  3. Ciri-ciri Orangtua yang Menerapkan Pola Asuh Demokratis ........ 20

  2. Aspek-aspek Pola Asuh Demokratis .............................................. 19

  1. Pengertian Pola Asuh Demokratis ................................................. 19

  B. Hasil Penelitian .................................................................................... 46

  a. Uji Normalitas .......................................................................... 47

  b. Uji Heteroskedastisitas / Homogenitas Variansi ...................... 47

  c. Uji Multikolinearitas ................................................................ 47

  b. Uji Linearitas ............................................................................ 48

  2. Uji Hipotesis Penelitian .................................................................. 48

  C. Pembahasan ......................................................................................... 50

  BAB V. PENUTUP............................................................................................... 54 A. Kesimpulan .......................................................................................... 54 B. Saran .....................................................................................................54 DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 56 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................... 59

  

DAFTAR TABEL

  Tabel 1 : Perkembangan Empati Pada Anak-Anak Tabel 2 : Skor Skala Tabel 3 : Blue Print Empati Tabel 4 : Distribusi Item Skala Empati Pra Uji Coba Tabel 5 : Penyebaran Item yang Sahih dan yang Gugur pada Skala Empati Tabel 6 : Distribusi item skala empati setelah uji coba Tabel 7 : Penomoran ulang distribusi item skala empati Tabel 8 : Blue Print PAD Tabel 9 : Distribusi Item Skala PAD Pra Uji Coba Tabel 10 : Distribusi item skala PAD Tabel 11 : Penomoran Ulang Distribusi Item Skala Pola Asuh Demokratis Tabel 12 : Deskripsi Data Subyek Tabel 13 : Deskripsi Data Penelitian Tabel 14 : Deskripsi Data Jenis Kelamin dan Jenis Pendidikan Tabel 15 : Hasil Uji Linieritas Tabel 16 : Hasil Anova Analisis Regresi Tabel 15 : Hasil Coefficient Analisis Regresi

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran A : Skala Try Out Empati dan Pola Asuh Demokratis Reliabilitas Skala Empati dan Pola Asuh Demokratis Skala Penelitian Empati dan Pola Asuh Demokratis

  Lampiran B : Hasil Statistik Deskriptif data Penelitian Hasil Analisis One Sample T-test

  Lampiran C : Hasil Uji Normalitas Hasil Uji Heteroskedastisitas / Homogenitas variansi Hasil Uji Multikolinear Hasil Uji Linearitas Hasil Analisis Regresi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berhubungan dengan orang lain merupakan kebutuhan psikologis dan

  kebutuhan praktis bagi manusia. Pada taraf psikologis setiap manusia memerlukan teman dan ketentraman serta ketenangan batin yang berasal dari rasa terlibat dalam suatu kelompok sosial yang anggotanya memiliki gagasan dan pola perilaku yang sama. Pada taraf praktis, setiap individu memerlukan kerjasama dengan orang lain agar dapat memenuhi kebutuhan hidup seperti pangan, pekerjaan dan keamanan (Korn & Manesa dalam Andriani, 2001).

  Tanpa orang lain, individu tidak bergaul, tidak berbicara, tidak bertukar pikiran dan tidak tahu bagaimana caranya berkomunikasi dengan orang lain. Namun demikian bukan berarti dalam berhubungan dengan orang lain semua akan menjadi baik dan lancar. Banyak hal yang diperlukan manusia untuk dapat menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, yang biasa disebut keterampilan sosial (Andriani, 2001). Keterampilan sosial yaitu kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dalam konteks sosial dengan cara-cara khusus yang dapat diterima oleh lingkungan dan pada saat bersamaan dapat menguntungkan individu atau bersifat saling

  (

  menguntungkan orang lain Combs & Slaby dalam Cartledge & Milburn, 1995).

  Perkembangan keterampilan sosial sendiri dipengaruhi oleh kemampuan sosial kognitifnya, yaitu keterampilan memproses semua informasi yang ada dalam proses sosial. Salah satu kemampuan sosial kognitif yang cukup penting adalah kemampuan melihat dari perspektif orang lain (perspective taking) dan kemampuan berempati (Robinson & Garber, 1995). Dengan memiliki empati individu mampu memahami perspektif individu lain untuk dapat menghayati masalah atau kebutuhan yang tersirat pada individu lain.

  Kurangnya kemampuan berempati akan menimbulkan kesalahpahaman terhadap kondisi orang lain yang berujung pada perilaku semena-mena. Misalnya kasus mahasiswa demo mengeroyok pasien ICCU dan putranya saat mereka memberikan perlawanan ketika dilarang melintasi jalan menuju rumah sakit. , 25 April 2007). Empati dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan menolong dengan mengurangi penderitaan individu lain. Individu yang berempati mampu memahami cara pandang dan cara berpikir individu lain dan membuat individu dapat memposisikan dirinya sebagai individu yang bermasalah sehingga individu tersebut tahu apa yang sebaiknya ia lakukan kepada individu yang memiliki masalah (Setyawan, 2007).

  Empati yang paling besar ditujukan pada orang lain yang mirip dengan diri sendiri, baik kemiripan secara fisik maupun karakteristik (Baron & Byrne, 2005). Jane Strayer (dalam Azar, 1999) menyatakan bahwa setiap individu dilahirkan dengan kapasitas biologis dan kognitif untuk merasakan empati, tetapi pengalaman spesifik menentukan apakah potensi bawaan tersebut dihambat atau menjadi bagian penting dari diri. Dengan demikian berarti bahwa komponen kognisi harus dapat menghadapi obyek yang dihadapinya agar timbul suatu sikap yang dikehendaki. Oleh karena itu mempelajari karakteristik subyek manusia atau kejadian-kejadian adalah penting dalam pembentukan suatu sikap yang dalam hal yang sebenarnya menyangkut segi konseptual dan faktor senang atau tidak senang terhadap permasalahan (Andriani, 2001).

  Pendidikan Psikologi mempelajari jiwa manusia yang kemudian akan tampak pada perilaku. Belajar dibidang psikologi berarti juga mempelajari perilaku manusia dan proses-proses yang mendasarinya. Mempelajari psikologi adalah mempelajari karakteristik subyek manusia dan diharapkan seseorang yang mempelajari psikologi akan memahami mengapa seseorang berperilaku sebagaimana yang tampak (Andriani, 2001). Latipun (2006), juga menyatakan tenaga profesional khususnya yang menjalankan tugas memberikan bantuan (helping relationship) seperti konselor, psikolog, dan pekerja sosial sangat membutuhkan pengetahuan dasar yang berupa keahlian maupun yang berhubungan dengan penguasaan keterampilan. Rachman & Savitri (2007) mengungkapkan banyak orang berpendapat bahwa psikolog jagonya berempati, namun dalam observasi dilapangan tampak bahwa tidak semua psikolog mampu berempati. Berdasar pengalaman penulis dalam berelasi dengan mahasiswa psikologi, tampak bahwa tidak semua mahasiswa psikologi dapat berempati dengan orang lain dan tidak semua mahasiswa non psikologi tidak berempati dengan orang lain. Kemampuan empati penting bagi mahasiswa psikologi karena kemampuan empati menjadi salah satu kemampuan yang dibutuhkan. Dari gambaran tersebut peneliti ingin melihat lebih lanjut apakah dengan belajar psikologi seseorang akan mempunyai kemampuan berempati yang lebih baik dari mahasiswa non psikologi.

  Selain proses belajar pada masa dewasa, pendidikan yang diperoleh individu pada masa kecil juga dianggap memiliki peran pada empati.

  Pendidikan masa kecil yang dimaksud adalah pola pengasuhan anak yang terjadi pada masa kecil. Menurut Hurlock (1973) ada tiga jenis pola asuh dalam keluarga yaitu pola asuh demokratis, pola asuh otoriter dan pola asuh permisif. Pada penelitian ini, peneliti tertarik dengan sistem pola asuh demokratis (PAD) karena dilihat dari karakteristiknya, PAD diduga memiliki peran terhadap empati.

  PAD merupakan pola asuh di mana orangtua melibatkan anak dan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan tentang aktivitas yang akan dilakukan anak, memberikan bimbingan dan pengarahan pada anak untuk mencapai tujuan. Anak boleh mengemukakan pendapat, berdiskusi dengan orangtua, menentukan dan mengambil keputusan bagi aktivitasnya. Di samping itu orangtua tetap memberikan kontrol atas perilaku anak, bahkan aktivitas yang akan dijalani anak perlu mendapat persetujuan dari orangtua. Pola asuh ini menghasilkan suasana sehat, membentuk rasa aman anggota keluarga, dan rasa ikut berpartisipasi dalam kegiatan keluarga. Anak menjadi seorang yang dapat diajak bekerja sama, mandiri, percaya diri, kreatif dan ramah. Dengan kata lain, dalam pola asuh tersebut ada upaya orangtua memberikan kesempatan kepada anaknya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Anak dibebaskan dalam batas-batas tertentu untuk mengembangkan kepribadiannya (Suwarsa dalam Petranto, 2008). Dengan kebebasan dan segala dukungan yang diberikan pada anak, diduga anak akan merasa aman dan dapat leluasa mengembangkan diri secara optimal begitu juga dalam mengembangkan kemampuan empati di dalam dirinya.

  Faktor lain yang penting adalah jenis kelamin. Goleman (1999) berpendapat bahwa perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh pada empati.

  Namun pada penelitian Davis (1980), menunjukkan bahwa terdapat perbedaan empati pada perempuan dan laki-laki yaitu perempuan lebih berempati dari pada laki-laki. Pada penelitian Trobst, Collins & Embree (Baron & Byrne, 2005) juga menunjukkan bahwa perempuan mengekspresikan tingkat empati lebih tinggi daripada laki-laki. Dan dari pengalaman penulis di lapangan juga terlihat bahwa perempuan lebih berempati dari pada laki-laki, namun ada juga laki-laki yang mampu menunjukkan empatinya dengan baik. Dari penjabaran tersebut peneliti ingin melihat apakah pada penelitian ini mahasiswa perempuan lebih berempati daripada mahasiswa laki-laki sehingga dapat menunjukkan apakah empati dipengaruhi oleh jenis kelamin. Pada penelitian sebelumnya penelitian empati dengan jenis kelamin pada mahasiswa belum pernah dilakukan begitu juga dengan PAD dan pengetahuan psikologi dengan empati belum pernah dilakukan sehingga penulis tertarik dan ingin melihat lebih lanjut keterkaitan antara empati dengan jenis kelamin, PAD dan pengetahuan psikologi. Dari penjelasan di atas peneliti memprediksi adanya peran jenis kelamin, PAD, dan pengetahuan psikologi terhadap empati.

  B. Rumusan Masalah

  Dari hal yang tersebut di atas, peneliti ingin mengetahui apakah ada peran jenis kelamin, pendidikan pada masa kecil yaitu pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi terhadap empati?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran jenis kelamin, pendidikan pada masa kecil yaitu pola asuh demokratis dan pengetahuan psikologi terhadap empati.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis

  a. Memberikan manfaat dalam bidang psikologi klinis, psikologi perkembangan dan psikologi sosial khususnya mengenai pengembangan konsep empati.

  b. Memberikan pengetahuan terhadap mahasiswa psikologi bahwa untuk menjadi tenaga profesional yang berhubungan secara sosial dengan orang lain membutuhkan kemampuan empati, dari sebab itu mahasiswa dapat mempersiapkan dirinya dengan mempelajari dan mengasah empatinya dengan baik.

  c. Menambah wawasan peneliti tentang empati dan keterkaitannya dalam pendidikan, pola asuh keluarga dan perbedaan gender, serta memberikan inspirasi dalam penemuan penelitian berikutnya.

  2. Manfaat Praktis

  a. Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan menambah pengetahuan tentang sistem pola asuh demokratis dan kaitannya dengan empati.

  Dari hal tersebut orangtua dapat memilih pola asuh seperti apa yang sebaiknya diterapkan dalam keluarga.

  b. Bagi mahasiswa non psikologi, penelitian ini dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang empati dan keterkaitannya dengan perbedaan jenis kelamin, pola asuh keluarga dan pendidikan pada masa dewasa, serta dapat digunakan sebagai bahan refleksi diri yang kemudian diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

BAB II LANDASAN TEORI A. Empati

  1. Pengertian Empati Menurut APA Dictionary of Psychology (2006 : 327), empati diartikan :

  “Understanding a person from his or her frame of reference rather than one’s own, so that one vicariously experiences the person’s feelings, perceptions, and thoughts. Empathy does not, of it self, entail motivation to be of assistance, although it may turn into

sympathy or personal disstres, which may result in action”.

  Mengerti individu lebih pada sudut pandangnya dari pada sudut pandang kita sendiri, sehingga dapat mewakili pengalaman perasaan, persepsi dan pikiran individu tersebut. Empati kemudian dapat mengarah pada perasaan simpati atau perasaan distres yang mungkin menghasilkan tindakan.

  Menurut Rogers suatu pemahaman empatik adalah memahami kerangka acuan internal (internal frame of reference) orang lain (Hall & Lindzey dalam Supratiknya, 1993). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Goleman (1999) bahwa kemampuan berempati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, melihat dunia dari mata orang lain, dapat membaca emosi-emosi orang lain dan menghargai mereka melalui apa yang kita katakan dan lakukan.

  Mampu berempati dengan tepat memerlukan perpaduan antara keterampilan kognitif dan afektif. Komponen afektif dari empati juga termasuk merasa simpatik, tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka (Schlenker & Britt dalam Baron & Byrne, 2005). Komponen kognitif yaitu kognisi yang relevan termasuk kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain yang disebut juga sebagai mengambil perspektif (perspektif

  taking ) yaitu kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang

  lain. Baron & Byrne (2005) mengungkapkan bahwa empati adalah respon afektif dan kognitif yang kompleks pada distres emosional orang lain. Empati termasuk kemampuan untuk merasakan keadaan emosional orang lain, merasa empatik dan mencoba menyelesaikan masalah serta mengambil perspektif orang lain

  2. Aspek-aspek Empati Dalam Davis (1980), aspek-aspek empati yaitu:

  a. Perspektif taking

  Perspektif taking adalah pengambilan secara spontan sudut

  pandang orang lain. Mengambil perspektif adalah kemampuan melihat keadaan psikologis dalam diri orang lain (Santrock, 2003), selain itu merupakan kemampuan untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain.

  b. Fantasy

  Fantasy adalah kecenderungan seseorang untuk mengubah diri

  ke dalam perasaan dan tindakan dari karakter khayalan yang terdapat dalam film-film, buku, maupun dalam permainan. Di mana fantasi merupakan salah satu tipe dari pengambilan perspektif yakni individu merasa empati pada karakter fiktif. Sebagai akibatnya, terdapat reaksi emosional terhadap kegembiraan, kesedihan dan ketakutan yang dialami oleh seseorang atau tokoh lain dalam sebuah buku, film, atau program televisi.

  c. Empathy concern

  Empathy concern adalah orientasi seseorang terhadap orang lain

  berupa perasaan simpati dan peduli terhadap orang lain yang ditimpa kemalangan. Dengan kata lain kemampuan seseorang dalam memahami cara pandang dan perasaan orang lain dengan cara orang tersebut memandang dan merasakan atau melihat dirinya sendiri.

  Dalam hal ini individu tidak hanya merasakan penderitaan orang lain tetapi juga mengekspresikan kepedulian dan mencoba melakukan sesuatu untuk meringankan penderitaan mereka.

  d. Personal distress

  Personal distress adalah perasaan cemas dan gelisah ketika

  melihat orang lain mengalami kemalangan. Individu dapat merasakan tekanan emosional yang dialami orang lain tetapi tidak terpengaruh dengan keadaan emosional orang lain tersebut.

  3. Perkembangan Empati Menurut Damon (dalam Santrock, 1990), empati mencakup bagaimana individu bereaksi dalam emosi yang berbeda sebagai respon menyamai perasaan orang lain. Berikut ini tabel perkembangan empati secara alami pada anak-anak menurut deskripsi Damon:

  Tabel 1. Perkembangan Empati Pada Anak-Anak Usia Perkembangan Empati

  Bayi Masih berupa empati secara global. Respon individu pada usia bayi bercirikan pengertian akan perasaan dan kebutuhan orang lain. 1 - 2 tahun Individu mulai mampu merasakan ketidaknyamanan orang lain dan mulai memperhatikannya walau belum dapat memahaminya dengan jelas. Namun individu pada usia ini belum dapat menerjemahkan perasaan tersebut dalam tingkah laku yang afektif. Masa kanak - Anak menjadi sadar akan adanya perspektif orang kanak awal lain yang berbeda dan memahami bahwa orang lain mungkin saja bereaksi berbeda terhadap suatu situasi. Kesadaran ini memungkinkan anak untuk berespon lebih wajar terhadap kesusahan orang lain. Usia 10 - 12 Anak sudah membentuk empati terhadap orang lain yang hidup dalam kondisi yang tidak tahun menguntungkan. Bahkan saat remaja, individu sudah memiliki kesensitifan yang memberi pandangan humanistik pada ideologi dan pemahamannya mengenai politik.

  Dengan bertambah matangnya wawasan dan kemampuan kognitif, anak-anak secara bertahap belajar mengenali tanda-tanda kesedihan orang lain, dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat (Shapiro, 1997). Merasakan empati berarti bereaksi terhadap peranan orang lain dengan respon yang sama dengan orang lain tersebut (Damon dalam Baron & Byrne, 2005). Empati terjadi ketika kita melihat situasi dari sudut pandang orang lain, yang membuat kita merasakan apa yang orang lain rasakan. Misalnya, kita dapat membayangkan apa yang orang lain rasakan saat kehilangan pekerjaannya dengan demikian kita dapat berempati dengan keadaannya (Omdahl dalam Planalp, 1999).

  Pada usia dewasa awal antara 17 sampai 45 tahun (Levinson dalam Monks dkk, 2002), individu masuk dalam tahap empati abstrak yaitu individu mengembangkan empati mereka tidak hanya kepada orang yang mereka kenal atau mereka lihat secara langsung, namun juga termasuk kelompok orang yang belum pernah mereka jumpai (Yarrow & Waxler dalam Shapiro,1997). Dengan bertambah matangnya wawasan dan kemampuan kognitif, individu secara bertahap belajar mengenali tanda- tanda kesedihan orang lain, dan mampu menyesuaikan kepeduliannya dengan perilaku yang tepat (Shapiro, 1997).

  Pada masa dewasa awal ini, menurut Piaget perkembangan kognitif individu berada pada tahap operasional formal di mana individu sudah dapat berpikir secara abstrak tanpa harus mengalami pengalaman konkret. Individu dapat mengembangkan citra yang ideal dengan imajinasinya. Individu mengalami perluasan kemampuan kognitif dimana individu berpikir tentang dunia sosialnya dan tidak hanya terpaku dirinya sendiri. Individu memikirkan hubungannya terhadap lingkungan sosial dimana dia berada, seperti masyarakat di sekitar tempat tinggalnya, teman-temanya dan organisasi yang diikutinya (Santrock, 1995).

  Pada masa ini, perkembangan emosional belum stabil (Santrock, 1995). Individu mengalami ketegangan emosi yang berhubungan dengan persoalan-persoalan yang dialaminya seperti persoalan jabatan, perkawinan, keuangan, tuntutan sosial dan sebagainya. Ketegangan emosi yang timbul itu bertingkat-tingkat pula selaras dengan intensitas persoalan yang dihadapinya dan sejauh mana seseorang dapat mengatasi persoalan yang dihadapi tersebut (Mappire, 1983). Ketika seseorang mampu mengatasi persoalan yang dihadapinya diduga empati yang dimilikinya akan ikut terasah pula yakni ketika individu mampu menghadapi dirinya sendiri maka individu akan mampu pula menghadapi orang lain.

  4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Empati

  a. Faktor Internal Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang mempengaruhi individu secara alamiah yaitu faktor jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan faktor alami yang mempengaruhi empati seseorang. Adanya perbedaan kemampuan berdasarkan jenis kelamin yaitu perbedaan kemampuan intelektual, intuisi, perilaku peran jenis kelamin dan perbedaan karakter. Perbedaan kemampuan inilah yang turut mempengaruhi empati seseorang. Jenis kelamin pada penelitian ini menjadi salah satu variabel prediktor maka secara lebih rinci akan dijelaskan pada bagian tersendiri.

  b. Faktor Eksternal Faktor internal yang dimaksud adalah faktor yang mempengaruhi empati dengan adanya suatu proses, seperti proses dalam hubungan sosial dan proses belajar. Faktor-faktor eksternal antara lain: i. Lingkungan Keluarga

  Keluarga menjadi tempat pertama kalinya individu belajar mengenali nila-nilai kehidupan dari orangtuanya. Di dalam lingkungan ini individu mulai mengenal dan meniru model orangtua yang secara tidak langsung mengembangkan kecerdasan emosional. Salah satu kecerdasan emosional adalah kemampuan berempati. Menurut Yarrow dan Waxler dalam Goleman, 2007 sebagian besar kepekaan empati pada anak berkaitan dengan bagaimana orangtua menerapkan disiplin pada anak. Anak menjadi lebih empatik bila kedisiplinan orangtua mencakup memberi perhatian sungguh-sungguh atas kemalangan orang lain yang disebabkan oleh mereka. Yarrow dan Waxler juga menemukan bahwa empati anak terbentuk pula dengan melihat bagaimana orang lain memberikan reaksi terhadap kesedihan orang lain. Dengan meniru apa yang mereka lihat, anak mengembangkan empati terutama untuk menanggapi kesusahan orang lain. ii. Lingkungan Sekolah Sekolah sebagai institusi formal pendidikan mempunyai andil besar dalam hal peningkatan kemampuan manusia, salah satunya adalah empati. Di sekolah individu belajar berinteraksi langsung dengan orang lain, baik teman sebaya maupun orang yang lebih tua yaitu guru mereka. Apabila sejak kecil anak-anak sudah terbiasa untuk mendengar, melihat, dan merasakan dari sudut pandang orang lain, maka anak tidak akan menyakiti dan merugikan orang lain. Melalui sekolah individu akan memperoleh banyak informasi dan pengertian akan nilai-nilai baru baik dari sekolah maupun dari hubungan dengan teman sebaya (Mappiare, 1982).

B. Jenis Kelamin

  Jenis kelamin merupakan pengkategorian seks secara biologis yang terungkap dari identitas diri sebagai wanita maupun pria. Pengkategorian perbedaan antara wanita dan pria di bawah ini, dipilih berdasarkan dugaan yang dimungkinkan ada hubungannya dengan empati.

  1. Kemampuan Intelektual Maccoby dan Jacklin (dalam Stephan, 1985) menyatakan bahwa wanita memiliki kemampuan verbal yang lebih baik daripada pria yang dimulai sejak usia 11 tahun. Wanita lebih superior dari pria dalam kemampuan kosa kata, tata bahasa, ejaan, pemahaman dan menulis.

  2. Kemampuan Intuisi Menurut Kartono (1992) intuisi pada wanita dan pria berbeda.

  Intuisi atau bisa juga disebut logika dari hati atau radar hati wanita lebih tajam daripada pria. Intuisi merupakan suatu proses merasakan hal-hal diluar dirinya tanpa disadari. Ketajaman intuisi tergantung pada simpati dan cinta pada objek yang diminati, dan tergantung pada relasi psikisnya dengan subyek. Intuisi berfungsi sebagai mekanisme pelindung bagi wanita, karena memberikan sinyal-sinyal tanda bahaya dari luar yang mengancam eksistensi dan kemurnian dirinya.

  3. Perilaku Peran Jenis Kelamin Pria pada dasarnya lebih mampu berpikir secara rasional dalam menghadapi berbagai masalah sedangkan wanita lebih menggunakan perasaannya. Pria lebih dituntut untuk mampu mandiri dan mencari nafkah bagi keluarganya, sedangkan wanita lebih dituntut untuk mampu mendidik anak dan mengerjakan pekerjaan rumah (Maramis, 1990).

  4. Perbedaan Karakter Kartono (1992) mengemukakan perbedaan karakter antara wanita dan pria, sebagai berikut : a. Wanita lebih dekat pada masalah kehidupan yang praktis konkrit, sedangkan pria lebih tertarik pada segi kejiwaan yang abstrak.

  Misalnya; wanita sangat menikmti masalah rumah tangga, kehidupn sehari-hari, dan peristiwa lain di sekitar rumah tangganya. Pria pada umumnya cuma tertarik jika peristiwa tersebut memiliki latar belakang teoritis untuk dipikirkan lebih lanjut, mempunyaai tendensi tertentu sesuai dengan minatnya atau berhubungan dengan dirinya sendiri.

  b. Wanita pada umumnya sangat bergairah dan penuh vitalitas hidup, sedangkan pria pada umumnya memiliki sifat lebih lamban, lebih berat mengendap sehingga tampak kurang lincah. Hal ini membuat wanita tampak lebih spontan dan impulsif.

  c. Wanita lebih bersifat hetero-sentris dan lebih sosial, mungkin dikarenakan lebih banyak mengalami duka derita lahir batin terutama pada saat melahirkan sehiangga ia lebih tertarik pada kehidupan orang lain. Pria bersifat lebih egosentris atau berpusat pada diri, mereka lebih objektif dan mengarah pada hal pokok.

  d. Kaum pria cenderung egosentris atau self oriented, berperan sebagai pengambil inisiatif untuk memberikan rangsangan dan pengarahan, dan menganggap dunia ini miliknya sebagai ruang untuk berprestasi dan bekerja. Wanita merupakan kebalikannya biasanya mereka tidak agresif, sifatnya lebih pasif, suka melindungi, memelihara, mempertahankan.

  e. Pada wanita fungsi sekunderitas atau fungsi dari tanggapan yang mempengaruhi secara sekunder kehidupan kejiwaan kita tidak terletak dibidang intelektual melainkan di perasaan. Nilai perasaan dari pengalaman-pengalamannya jauh lebih lama mempengaruhi struktur kepribadiannya, jika dibandingkan dengan nilai perasaan kaum pria.

  f. Kebanyakan wanita kurang berminat pada masalah-masalah politik, terlebih politik yang menggunakan cara-cara licik, munafik dan kekerasan. Wanita lebih banyak menunjukkan tanda-tanda emosionalnya, karena itu biasanya wanita memilih bidang dan pekerjaan yang banyak mengandung unsur relasi emosional dan pembentukan perasaan. Misalnya : pekerjaan guru, juru rawat, pekerja sosial, bidan, dokter, dan lain-lain.

  g. Seorang wanita jika sudah memilih sesuatu dan telah memutuskan untuk melakukan sesuatu ia tidak banyak berbimbang hati untuk melakukan langkah selanjutnya. Hal ini berbeda dengan kaum pria yang masih saja berbimbang hati dan terombang-ambing diantara pilihan menolak atau menyetujui. Pada umumnya wanita juga lebih antusias memperjuangkan pendiriannya daripada pria.

  Dari perbandingan tersebut tampak bahwa wanita lebih tertarik dengan apa yang ada di luar dirinya dari pada laki-laki, dengan demikian perempuan dianggap lebih bisa mengekspresikan empatinya daripada laki-laki, seperti juga tampak pada penelitian Davis (1980), wanita memiliki skor empati yang lebih tinggi dari pada laki-laki.

C. Pola Asuh Demokratis

  1. Pengertian Pola Asuh Demokratis Pola asuh demokratis (PAD) adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, akan tetapi tidak ragu-ragu mengendalikan mereka. PAD merupakan pola pengasuhan orangtua yang menerapkan unsur kepercayaan, penerimaan, kebebasan yang terarah, motivasi, sikap mandiri dan sikap yang penuh tanggungjawab dalam mengasuh dan mendidik anak. Kebutuhan anak dalam pola asuh ini mendapat perhatian dan pemenuhan yang cukup dari orangtua, sehingga anak selalu merasa diterima dan diperhatikan oleh orangtua (Hauck, 1995).

  PAD akan menghasilkan karakteristik anak anak yang mandiri, dapat mengontrol diri, mempunyai hubungan baik dengan teman, mampu menghadapi stress, mempunyai minat terhadap hal-hal baru dan koperatif terhadap orang-orang lain (Baumrind dalam Hetherington dan Parke, 1986). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Prasetya (2003) anak yang diasuh dengan PAD akan memiliki sikap mandiri, tegas terhadap diri sendiri, memiliki kemampuan introspeksi dan pengendalian diri, mudah bekerjasama dengan orang lain, ramah terhadap orang lain dan orang yang lebih dewasa.

  2. Aspek-aspek Pola Asuh Demokratis Kohn (Setiawan, 1996) mengemukakan aspek PAD sebagai berikut: a. Aspek pandangan orangtua terhadap anak Aspek pandangan orangtua terhadap anak adalah orangtua lebih mementingkan pemahaman terhadap perasaan, keinginan dan kondisi anak. Orangtua dalam pola asuh ini akan selalu mendorong dan memberi kesempatan kepada anak untuk mandiri dan bertindak secara matang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh anak.

  b. Aspek komunikasi Aspek komunikasi adalah orangtua akan menerapkan pola komunikasi dua arah. Orangtua dalam pola asuh ini akan memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas.

  c. Aspek pemenuhan kebutuhan anak Aspek pemenuhan kebutuhan anak adalah orangtua akan memberikan respon positif terhadap kebutuhan-kebutuhan anak.

  Kebutuhan anak dalam pola asuh ini akan lebih diutamakan daripada kebutuhan orangtua.

  d. Aspek penerapan kontrol Aspek penerapan kontrol adalah orangtua akan menerapkan kontrol melalui aturan-aturan yang tegas, konsisten dan rasional.

  Situasi yang bermasalah dapat diselesaikan oleh orangtua secara bijaksana dan dapat diterima oleh anak. Pemberian hukuman dalam pola asuh ini tidak dilakukan secara fisik

  3. Ciri-ciri Orangtua yang Menerapkan PAD

  Ciri-ciri orang tua yang menerapkan PAD (Elias, 2000), adalah sebagai berikut : a. Orangtua mampu memberikan teladan perilaku kepada anak.

  b. Orangtua mampu bersikap paraphrasing (secara halus mengungkapkan kembali pernyataan anak dengan bahasa yang lebih tepat dan lebih baik).

  c. Orangtua memiliki teknik bertanya yang baik untuk memancing sikap kritis anak.

  d. Orangtua memiliki kesabaran dan kegigihan dalam mengasuh dan mendidik anak.

  e. Orangtua mampu mengikuti perkembangan anak.

  Berdasarkan uraian di atas PAD adalah pola asuh yang memprioritaskan kepentingan anak, memiliki sistem pengendali, menerapkan unsur kepercayaan, penerimaan, kebebasan yang terarah, motivasi, sikap mandiri dan sikap yang penuh tanggungjawab baik anak maupun orangtua serta anak mendapat perhatian dan pemenuhan yang cukup dari orangtua, sehingga anak dan orangtua selalu merasa diterima dan saling memperhatikan. Pada penelitian ini keempat aspek tersebut digunakan untuk melihat sistem pola asuh orangtua dari sisi persepsi anak.