PENGARUH SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANT
PENGARUH SISTEM PENDIDIKAN PONDOK
PESANTREN TERHADAP PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI SMP ANNUR
Mata Kuliah Problematika
Diampu oleh Prof. Dr. Sunardi, M.Pd
Disusunoleh :
SITI NUR AZIZAH
NIM : 160220101019
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul .............................................. 1
1.2 Rumus masalah......................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan .................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem pendidikan pondok pesantren ....................................... 4
2.2 pembelajaran matematika ......................................................... 5
2.3 Sistem
pendidikan
pembelajaran
6
2.4 Solusi
pondok
pesantren
matematika
terhadap
.....................
9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
.....................
16
Saran
.....................
17
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses yang mengakibatkan adanya
perubahan perilaku baik potensial maupun aktual dan bersifat relatif
permanen sebagai akibat dari latihan dan pengalaman. Sedangkan kegiatan
pembelajaran adalah kegiatan interaksi antara peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam kegiatan
pembelajaran siswa dituntut keaktifannya. Aktif yang dimaksud adalah siswa
aktif bertanya, mempertanyakan, mengemukakan gagasan dan terlibat aktif
dalam kegiatan pembelajaran, karena belajar memang merupakan suatu
proses aktif dari siswa dalam membangun pengetahuannya.
Tujuan diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan
menengah adalah memberi tekanan pada penataan nalar dan pembentukan
sikap siswa serta pada keterampilan dalam penerapan matematika, seperti
yang dikemukakan Erman Suherman. Belajar matematika merupakan
kegiatan mental yang tinggi sebab matematika berkaitan dengan konsepkonsep abstrak yang berkenaan dengan ide-ide, struktur hubungan-hubungan
yang diatur secara logis yang akan membawa terjadinya proses pembelajaran
matematika itu sendiri. Beberapa faktor yang mementukan terjadinya proses
pembelajaran matematika meliputi : siswa, pengajar atau tenaga pendidik,
sarana, dan prasarana, serta penilain disamping materi pelajaran. Proses
pembelajaran akan berhasil apabila faktor-faktor tersebut dikelola dengan
baik. Pengelolaan pembelajaran di kelas biasanya didominasi oleh guru,
disinilah pangkal kesalahan dari guru dalam mengelola kelas. Guru
seharusnya bisa mengurangi dominasi dan dalam pembelajaran siswa yang
seharusnya lebih banyak diberikan porsi. Keberhasilan proses pembelajaran
terletak pada turut sertanya peserta didik secara aktif oleh karena itu apapun
metode yang digunakan dalam proses pembelajaran harus memungkinkan
peserta didik dapat belajar secara aktif.
1
Dalam pembelajaran matematika seringkali siswa merasa kesulitan
dalam belajar, selain itu belajar siswa belum bermakna, sehingga pengertian
siswa tentang konsep salah. Rendahnya prestasi disebabkan oleh faktor siswa
yaitu mengalami masalah secara komprehensip atau secara parsial.
Sedangkan guru yang bertugas sebagai pengelola pembelajaran seringkali
belum mampu menyampaikan materi pelajaran kepada siswa secara
bermakna,
serta
penyampaiannya
juga
terkesan
monoton
tanpa
memperhatikan potensi dan kreativitas siswa sehingga siswa merasa bosan
karena siswa hanya dianggap sebagai botol kosong yang siap diisi dengan
materi pelajaran.
Pondok Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan
Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu
keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan
Kiyai dan ustad/ustadah.
Keberadaan
pondok
pesantren
ditengah-tengah
masyarakat
mempunyai peran dan fungsi sebagai tempat pengenalan dan pemahaman
agama Islam sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Kebanyakan pondok pesantren didirikan sebagai bentuk reaksi terhadap pola
kehidupan tertentu yang dianggap rawan, dengan demikian berdirinya pondok
peantren menjadi salah satu bagian tranformasi kultural yang berjalan dalam
jangka waktu yang relatif panjang.. Hal ini juga dikatakan oleh Snouck
Hurgronje dengan pernyataannya : “ Islam tradisional di Jawa yang
kelihatannya begitu statis dan begitu kuat terbelenggu oleh pemikiranpemikiran ulama’ di abad pertengahan, sebenarnya juga telah mengalami
perubahan-perubahan yang sangat fundamental, tetapi perubahan-perubahan
tersebut demikian bertahap, rumit dan tertutup. Perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam pesantren merupakan hasil dari dialog dengan zamannya,
sehingga pesantren sebagai institusi pendidikan juga memiliki sistem
sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
2
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Adakah
pengaruh sistem pendidikan pondok pesantren
terhadap
pembelajaran matematika?
2. Bagaimana alternatif solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi?
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Menginformasikan masalah yang ditemui di sekolah yang berbasis
pondok pesantren dalam pembelajaran matematika.
2) Untuk mengetahui alternatif solusi untuk mengatasi problematika yang
dihadapi.
1.4. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak dan golongan,
baik masyarakat umum, pemerintah, praktisi pendidikan, matematikawan,
maupun civitas akademika. Manfaat penulisan makalah ini adalah diharapkan
mampu menambah informasi kepada pembaca tentang problematika dan
alternatif solusi yang dapat diimplementasikan dalam pendidikan matematika
khususnya interaksi belajar yang terjadi di kelas lingkungan pondok
pesantren. Dengan bertambahnya wawasan tentang masalah yang ditemui
disekolah yang berbasis pondok pesantren dan berbagai alternatif solusinya
ini, diharapkan semakin banyak pihak yang tertarik untuk mengembangkan
dan meneliti metode ataupun pendekatan-pendekatan pembelajaran guna
mengatasi masalah pendidikan yang dihadapi dan tentunya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di negara ini dengan basis pendidikan
pondok pesantren.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem pendidikan pondok pesantren dapat diartikan serangkaian komponen
pendidikan dan pengajaran yang saling berkaitan yang menunjang pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan oleh pondok pesantren. Pondok pesantren tidak
mempunyai rumusan yang baku tentang sistem pendidikan yang dapat
dijadikan sebagai acuan bagi semua pendidikan di pondok pesantren. Hal ini
disebabkan karakteristik pondok pesantren sangat bersifat personal dan sangat
tergantung pada Kiai pendiri. Pondok pesantren mempunyai tujuan
keagamaan, sesuai dengan pribadi dari Kiai pendiri. Sedangkan metode
mengajar dan kitab yang diajarkan kepada santri ditentukan sejauh mana
kualitas ilmu pengetahuan Kiai dan dipraktekkan sehari-hari dalam
kehidupan. Kebiasaan mendirikan pondok pesantren dipengaruhi oleh
pengalaman
pribadi
Kiai
semasa
belajar
di
pondok
pesantren.
Amin Rais, mengemukakan bahwa dalam mekanisme kerjanya, sistem yang
ditampilkan pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan
sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yaitu:
1.
Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh
dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua
arah antara santri dan Kiai.
2.
Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena
mereka praktis bekerja sama mengatasi problema nonkurikuler mereka.
3.
Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme,
persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan keberanian diri.
4.
Independen alumni pondok pesantren mulai ada pergeseran, karena mulai
banyak alumni pondok pesantren yang menduduki jabatan publik.
Walaupun ada yang perlu dikritisi, tetapi apa yang dikemukakan Amin
Rais menunjukkan karakteristik dari pondok pesantren yang berbeda dengan
sistem pendidikan yang lain.
4
2.2. Pembelajaran Matematika
Berbagai pendapat muncul mengenai definisi matematika, dipandang
dari pengetahuan dan pengalaman masing- masing yang berbeda. Ada yang
mengatakan bahwa matematika itu bahasa simbol; matematika adalah bahasa
numerik; matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur,
majemuk dan emosional, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Banyak jawaban yang muncul terhadap pertanyaan "what is
matematics?, diantaranya ada yang mendefinisikan" mathematics is
power dan " mathematics is a tool ". Mathematics is power , Ruseffendi ET
(1980 : 148) mengemukakan bahwa matematika terbentuk sebagai hasil
pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran.
Simbol ataau notasi dalam matematika mempunyai peranan penting dalam
mengkomunikasikan ide-ide dalam membangun matemaiika. Terbentuknya
suatu konsep matematika melalui proses berikut, adanya simbol-simbol dari
ide-ide dengan mengkomunikasikan simbol-simbol akan membangun konsepkonsep matematika sebagai kekuatan. Kline (1973) dalam bukunya
mengatakan matematika bukanlah pengetahuan yang menyendiri yang dapat
sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk
membantu manusia dalam memahami dan dan menguasai persoalan sosial,
ekonomi dan alam. Matematika tumbuh dan berkembang karena proses
berpikir, dikatakan sebagai alat karena matematika dapat membantu
mengembangkan ilmu yang lain memecahkan masalah kehidupan serta
mengembangkan ilmu untuk dirinya sendiri dan dikkembangkan untuk
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karakteristik pembelajaran matematika diantaranya: pembelajaran
matematika adalah berjenjang, pembelajaran matematika mengikuti metoda
spiral,
pengajaran
matematika
menekankan
pola
berfikir
deduktif,
pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi.
Salah satu tujuan diberikannya matematika dijenjang pendidikan dasar
dan menengah, yaitu untuk “Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan
matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari …”
(Depdikbud 1994:1). Dikatakan pula oleh Gagne (Ruseffendi, 1988: 165),
5
bahwa objek tidak langsung dari mempelajari matematika adalah agar siswa
memiliki kemampuan memecahkan masalah. Dari pendapat Gagne dan tujuan
Kurikulum Matematika, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat
memecahkan suatu masalah, para siswa perlu memiliki kemampuan bernalar
yang dapat diperoleh melalui pembelajaran matematika.
2.3. Sistem
pendidikan
pondok
pesantren
terhadap
pembelajaran
matematika
Berdasarkan
Undang-undang
Sistem
Pendidikan
Nasional
(UU
Sisdiknas) No. 20 tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepriba- dian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta
meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Secara psikologi,
tujuan pendidikan adalah pembentukan karakter yang terwujud dalam
kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang
dimilikinya. Istilah karakter mempunyai beberapa pengertian. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan karakter sebagai tabiat, watak, sifatsifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang
daripada yang lain (Pusat Bahasa, 2005, h. 1270).
Pendidikan formal di sekolah merupakan salah satu upaya untuk
pembentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan mulai jenjang sekolah
dasar
hingga
pendidikan
pendidikan yang
selama
tinggi.
ini
Ada
telah
dua
model
berkembang
penyelenggaraan
di Indonesia
yaitu
pendidikan formal di sekolah dan pendidikan non formal diantaranya
dilaksanakan di pondok pesantren. Di samping itu, pondok pesantren juga
menjadi salah satu pilihan pendidikan karena lembaga ini mengutamakan
upaya pencerdasan spiritual atau keagamaan. Dalam perkembangannya,
sekarang ini banyak pondok pesantren
menyelenggarakan
pendidikan
di
Indonesia
yang
juga
formal persekolahan. Pilihan memadukan
6
sistem pendidikan formal formal di sekolah dan pondok pesantren ini, karena
secara umum sekolah dan pondok pesantren merupakan
pendidikan
yang
dua
lembaga
masing–masing memiliki keunggulan yang berbeda satu
sama lain. Apabila keunggulan dari kedua lembaga pendidikan itu dipadukan,
maka akan tercipta sebuah kekuatan pendidikan yang kuat dan berpotensi
mampu menghasilkan generasi muda Indonesia yang unggul, handal, dan
berkarakter.
Sekolah berbasis pesantren merupakan lembaga pendidikan formal
tingkat menengah pertama yang dipadukan dengan sistem pendidikan
pesantren, dimana kurikulum pelajaran pesantren dimasukan kedalam
kurikulum sekolah. Perpaduan kedua bentuk institusi pendidikan pesantren dan
sekolah umum sebagaimana dikatakan oleh Nurcholis Madjid bahwa akan
melahirkan sistem pendidikan Islam yang komprehensif, tidak saja
menekankan terhadap khasanah keilmuan Islam klasik tetapi juga mempunyai
integritas keilmuan modern.
Peraturan Menteri (Permen) nomor 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan secara jelas menyiratkan bahwa kompetensi yang harus
dimiliki oleh peserta didik setelah mempelajari matematika yaitu kemampuan
pemecahan masalah yang meliputi kemampuan untuk memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh. Kompetensi lain yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik
yaitu memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Namun, dari hasil observasi proses belajar mengajar di kelas VIII
SMP ANNUR Pondok Pesantren Annur AL Fadhol Srono serta diskusi
dengan guru mata pelajaran Matematika yang lain, terindikasi beberapa
permasalahan dalam proses belajar mengajar, diantaranya:
a) Kemampuan siswa, khususnya dalam pemecahan masalah matematika
masih memerlukan perhatian khusus.
b) Motivasi siswa untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah masih
kurang
7
c) Siswa lebih berorientasi untuk memecahkan soal-soal yang dapat
diselesaikan dengan prosedur rutin dan kurang memperhatikan bahwa
kompetensi yang dituntut adalah kemampuan dalam pemecahan masalah
d) Siswa kurang terbiasa untuk memecahkan masalah. Ini yang merupakan
indikasi minimnya kesempatan berlatih dalam proses belajar mengajar di
kelas.
e) Sebagian besar siswa belum mampu mengkomunikasikan gagasannya
dengan menggunakan simbol-simbol matematika, tabel dan grafik
f)
Terdapat kesalahan prosedur (algoritma) dalam proses penyelesaian
masalah
g) Masih terdapat kecendrungan terjadi kesalahan penulisan notasi ataupun
langkah dalam pemecahan masalah.
Selain permasalahan diatas adapun permasalahan dari kurikulum pondok
dan sekolahan, sehingga berdampak pada pembelajaran siswa:
1. Siswa kurang belajar karena Kegiatan siswa yang terus menerus mulai
jam 03.00 pagi sampai jam 11.00 malam.
2. siswa akan lebih berkonsentrasi pada pembelajaran diniyah daripada
pembelajaran skolah
ormal terutama pembelajaran matematika,
karena waktu lebih kepembelajaran diniyah
3. ketika sekolah formal siswa akan membawa sejumlah tugas dari
pembelajaran diniyah, contoh ketika pembelajaran matematika siswa
membaca kitab yang harus dihafal.
4. Dan berbagai aktifitas, sehingga siswa ketika diberi waktu senggang/
untuk belajar siswa justru akan istirahat.
Sebagian dari permasalahan yang dihadapi peserta didik di atas
memerlukan penanganan secara cepat dan inovatif tentu oleh guru dan
ustad sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran disekolah yang
berbasis
pondok
pesantren.
Padahal,
jika
dikaji
secara
rinci,
yang ingin dicapai dalam belajar matematika dan karakteristik masingmasing pendekatan pembelajaran, terdapat beragam model, strategi,
pendekatan,
ataupun metode pembelajaran yang bisa diterapkan
diantaranya model kooperatif (STAD, JIGSAW, TAI, TGT, NHT, GI, dan
8
sebagainya), pembelajaran kontekstual, inkuiri, dicovery learning ,
problem based learning, project based learning, problem possing, dan
masih banyak pendekatan lainnya. Namun, dengan memperhatikan
muara dari pembelajaran matematika serta karakteristik masalah yang
dialami oleh siswa kelas VIII SMP ANNUR Srono, pendekatan ProblemBased Learning merupakan salah satu pendekatan yang relevan.
2.4. Solusi
Suatu masalah dalam matematika sering diidentikkan dengan soal
matematika. Sehingga apabila seseorang dihadapkan pada suatu masalah
dalam hal ini soal matematika, maka akan ada beberapa kemungkinan yang
mungkin terjadi di dalam proses pemecahan masalah. Salah satu diantaranya
adalah ia tidak mempunyai gambaran tentang penyelesaiannya tetapi
berkeinginan untuk menyelesaikannya, maka dapat dikatakan orang tersebut
berhadapan dengan suatu masalah. Sutawidjaja (1998: 2) mengatakan bahwa
“ suatu soal merupakan suatu masalah bagi seseorang apabila diprlukan dua
syarat: (1) orang itu tidak mempunyai gambaran tentang jawaban soal itu, dan
(2) orang itu berkeinginan atau berkemauan untuk menyelesaikan soal
tersebut’.Ini berhati suatu soal mepuakan masalah atau tidak bagi seseorang
sangat relaitf bagi orang tersebut. Suparno (1997:6) menyatakan bahwa
“mengajar bukanlah suatu kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke
siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun
sendiri pengetahuannya”. Dalam pembelajaran matematika terutama dalam
belajar dan mengajar pemecahan masalah seorang guru memposisikan dirinya
sebagai fasilitator bagi siswa. Dalam peranannya sebagai fasilitator seperti
yang dijelaskan oleh Munandar (1992: 45) seorang guru seharusnya:
1. Mendorong belajar mandiri sebanyak mungking
2. Dapat menerima gagasan- gagasan dari semua siswa
3. memupuk siswa untuk memberi kritik secara konstuktif dan untuk
memberikan penilaian diri sendiri
4. berusaha menghindari pemberian hukuman atau celaan terhadap ide-ide
yang tidak biasa
9
5. dapat menerima perbedaan menurut waktu dan kecepatan antar siswa
dalam kemampuan berpikir.
6. Mengatur waktu belajar dan istirahat siswa berdasarkan kesepakatan pihak
pondok pesantren
7. Memotivasi untuk bersungguh-sungguh dalam belajar agama dan
pembelajaran sekolah
Untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah sangatlah diperlukan suatu strategi khusus. Perry dan Conroy (dalam
Sutawidjaja, 1998: 9) mengemukakan mengenai strategi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yaitu:
1.
strategi untuk meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah
yang berkaitam dengan siswa;
a.
Siswa harus diberanikan untuk menerima ketidaktahuan dan merasa
senang untuk mencari tahu.
b.
Setiap siswa dalam kelompok harus diberanikan untuk membuat soal
atau pertanyaan
c.
Siswa diperbolehka memilih masalah-masalah dari sejumlah
masalah yang diberikan
d.
Siswa harus diberanikan untuk mengambil resiko atau mencari
alternatif
2.
Strategi untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yang
berkaitan dengan guru;
a.
Guru harus sadar akan sikap positif dan cara-cara yang
mengembangkan hal ini
b.
Guru harus berani mencari dan mengembangkan keterampilan siswa
dalam memecahkan masalah
c.
Guru harus mencari masalah yang menarik yang sering muncul
secara spontan
d.
Guru perlu memperjelas situasi belajar dengan bertanya untuk
menggalakkan jawaban dan penyajian siswa.
10
e.
Guru harus mau membiarkan pemecahan suatu masalah menurut
persepsi siswa walaupun mungkin mempunyai arah yang berbeda
dengan yang direncanakan.
f.
Masalah tidak harus selalu diselesaikan oleh siswa. Masalah dapat
dilontarkan sebagai awal dari penyajian materi baru.
Berkaitan
dengan
pendekatan
Problem-Based
Learning
yang
merupakan pendekatan yang relevan sebagai salah satu alternatif solusi dari
masalah pendidikan matematika yang ditemui di tingkat sekolah khususnya
di SMP ANNUR, ada beberapa hal yang sudah sepatutnya diperhatikan
untuk masalah yang ditemui.
1. Pengajuan masalah atau pertanyaan
Pengajaran
prinsip- prinsip
berbasis
atau
masalah
ketrampilan
bukan
hanya
akademik
mengorganisasikan
tertentu,
pembelajaran
berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan
masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi
bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan situasi kehidupan nyata yang
autentik , menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya
berbagai macam solusi untuk situasi itu. Menurut Arends (dalam Abbas,
2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria
sebagai berikut.
a. Autentik
Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa
dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
b. Jelas
Yaitu
masalah
dirumuskan
dengan
jelas,
dalam
arti
tidak
menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan
penyelesaian siswa.
c. Mudah dipahami
Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa.
Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan
siswa.
11
12
d. Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
Yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas,
artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan
diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu,
masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.
e. Bermanfaat.
Yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah
bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai
pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat
meningkatkan kemampuan
berfikir memecahkan masalah siswa, serta
membangkitkan motivasi belajar siswa.
2. P e n y e l i d i k a n a u t e n t i k
Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan autentik
untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus
menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan
membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen
(jika
diperlukan),
membuat
inferensi
dan
merumuskan
kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah
yang sedang dipelajari.
3. M e n g h a s i l k a n p r o d u k / k a r y a d a n m e m a m e r k a n n y a
Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan
produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang
menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka
temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video
atau program komputer (Ibrahim & Nur, 2000:5-7 dalam Nurhadi, 2003:56)
4. Kerjasama.
Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang
bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam
kelompok kecil.
13
Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat
dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi
inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan
keterampilan berpikir.
Adapun prosedur-prosedur PBL yang penulis sarankan dalam
pembelajaran di kelas sesuai dengan fase/ tahapan pelaksanaan PBL sebagai
berikut.
Fase Aktivitas guru
Fase 1: Mengorientasikan siswa pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitasaktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat
penting dimana guru/dosen harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus
dilakukan oleh siswa/siswa dan juga oleh dosen. Disamping proses yang akan
berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru/dosen akan
mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan
motivasi agar siswa dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan.
F a s e 2 : M e n g o rg a n i s a s i k a n s i s w a u n t u k b e l a j a r
Disamping
mengembangkan
ketrampilan
memecahkan
masalah,
pembelajaran PBL juga mendorong siswa/siswa belajar berkolaborasi.
Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan ker jasama dan sharing antar
anggota. Oleh sebab itu, guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran
dengan membentuk kelompok-kelompok siswa
dimana masing-masing
kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsipprinsip pengelompokan siswa dalam
pembelajaran kooperatif dapat
digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya
interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan
sebagainya.
Setelah siswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk
kelompok belajar selanjutnya guru dan siswa menetapkan subtopik-subtopik
yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi
guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa aktif terlibat
14
dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat
menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan
memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu
melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen,
berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data
dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini,
guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan
eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami
dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan
cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri.
Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalahmasalah dalam buku-buku. Guru membantu siswa untuk mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya
mengajukan pertanyaan pada siswa untuk berifikir tentang masalah dan
ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah
yang dapat dipertahankan.
Fase
4:
Mengembangkan
dan
menyajikan
artifak
(hasil
k a r y a ) d a n mempamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan
pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu
videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan),
model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya),
program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak
sangat dipengaruhi tingkat berfikir siswa. Langkah selanjutnya adalah
mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator
pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan siswa-siswa
lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau
memberikan umpan balik.
Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
15
Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk
membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan
kete-rampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama
fase ini guru meminta siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas
yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka
pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah?
Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat
menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka
menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan
akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah
ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah
mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang?
Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk
memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan
PBL untuk pengajaran.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan
pembahasan
yang
telah
dipaparkan
pada
bab
sebelumnya, dapat disimpulkan dua hal sebagai berikut.
1. Terdapat beberapa masalah dalam pembelajaran matematika di sekolah
khususnya di SMP ANNUR yang memerlukan penangan secara cepat dan
inovatif tentu oleh guru sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran di
kelas. Terdapat indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi disebabkan
karena implementasi pendekatan pembelajaran yang belum mendukung
secara maksimal kesempatan siswa untuk berlatih memecahkan masalah.
2. PBL adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis
dan
keterampilan
pemecahan
masalah,
serta
untuk
memperoleh
pengetahuan yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis
masalah dirancang untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi
berorientasi pada masalah.
3. Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu
kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual
dan belajar menjadi pembelajar yang otonom. Keuntungan PBL adalah
mendorong kerja sama dalam menyelesaikan tugas. Pembelajaran berbasis
masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihannya sendiri, yang
memungkinkan siswa menginterpretasikan dunia nyata dan membangun
pemahaman tentang fenomena tersebut. Hal ini diharapkan dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif solusi dalam menghadapi
problematika yang dihadapi.
17
3.2. Saran
Bagi para praktisi pendidikan utamanya guru diharapkan dapat
menggali lebih jauh problematika apa yang mungkin bisa dihadapi dalam
melaksanakan proses belajar mengajar di lingkungan pondok pesantren. Baik
itu faktor fisik maupun faktor non fisik. Dengan mengidentifikasi masalah
yang dihadapi maka akan bisa ditentukan alternatif-alternatif solusi untuk
mengatasi masalah tersebut. Dimana jika dikaji secara rinci sasaran yang
ingin dicapai dalam belajar matematika dan karakteristik masing-masing
pendekatan pembelajaran, terdapat beragam model, strategi, pendekatan,
ataupun metode pembelajaran yang bisa diterapkan sesuai dengan masalah
yang dihadapi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Erman , Suherman. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Konterporer.
Jakarta: IMSTEP Universitas Pendidikan Indonesia.
National Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum and evaluation
standards for school mathematics. Reston, VA: Author.
Roh & Kyeong Ha. 2003). Problem-Based Learning in Mathematics. ERIC
Digest. ERIC Clearinghouse for Science Mathematics and Environmental
Education Columbus OH.
Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah
disajikan dalam diklat instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang
Dasar di PPPG Matematika Yogyakarta.
Sulianto, Joko. 2011. Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Kreativitas Siswa dalam
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar dengan Metode Pemecahan
Masalah http://www.dikti.go.id/index.php diakses 4 Mei 2012
19
PESANTREN TERHADAP PEMBELAJARAN
MATEMATIKA DI SMP ANNUR
Mata Kuliah Problematika
Diampu oleh Prof. Dr. Sunardi, M.Pd
Disusunoleh :
SITI NUR AZIZAH
NIM : 160220101019
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
TAHUN 2016
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pemilihan Judul .............................................. 1
1.2 Rumus masalah......................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................... 3
1.4 Manfaat Penulisan .................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem pendidikan pondok pesantren ....................................... 4
2.2 pembelajaran matematika ......................................................... 5
2.3 Sistem
pendidikan
pembelajaran
6
2.4 Solusi
pondok
pesantren
matematika
terhadap
.....................
9
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
.....................
16
Saran
.....................
17
DAFTAR PUSTAKA
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Belajar merupakan suatu proses yang mengakibatkan adanya
perubahan perilaku baik potensial maupun aktual dan bersifat relatif
permanen sebagai akibat dari latihan dan pengalaman. Sedangkan kegiatan
pembelajaran adalah kegiatan interaksi antara peserta didik dengan pendidik
dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Dalam kegiatan
pembelajaran siswa dituntut keaktifannya. Aktif yang dimaksud adalah siswa
aktif bertanya, mempertanyakan, mengemukakan gagasan dan terlibat aktif
dalam kegiatan pembelajaran, karena belajar memang merupakan suatu
proses aktif dari siswa dalam membangun pengetahuannya.
Tujuan diberikannya matematika di jenjang pendidikan dasar dan
menengah adalah memberi tekanan pada penataan nalar dan pembentukan
sikap siswa serta pada keterampilan dalam penerapan matematika, seperti
yang dikemukakan Erman Suherman. Belajar matematika merupakan
kegiatan mental yang tinggi sebab matematika berkaitan dengan konsepkonsep abstrak yang berkenaan dengan ide-ide, struktur hubungan-hubungan
yang diatur secara logis yang akan membawa terjadinya proses pembelajaran
matematika itu sendiri. Beberapa faktor yang mementukan terjadinya proses
pembelajaran matematika meliputi : siswa, pengajar atau tenaga pendidik,
sarana, dan prasarana, serta penilain disamping materi pelajaran. Proses
pembelajaran akan berhasil apabila faktor-faktor tersebut dikelola dengan
baik. Pengelolaan pembelajaran di kelas biasanya didominasi oleh guru,
disinilah pangkal kesalahan dari guru dalam mengelola kelas. Guru
seharusnya bisa mengurangi dominasi dan dalam pembelajaran siswa yang
seharusnya lebih banyak diberikan porsi. Keberhasilan proses pembelajaran
terletak pada turut sertanya peserta didik secara aktif oleh karena itu apapun
metode yang digunakan dalam proses pembelajaran harus memungkinkan
peserta didik dapat belajar secara aktif.
1
Dalam pembelajaran matematika seringkali siswa merasa kesulitan
dalam belajar, selain itu belajar siswa belum bermakna, sehingga pengertian
siswa tentang konsep salah. Rendahnya prestasi disebabkan oleh faktor siswa
yaitu mengalami masalah secara komprehensip atau secara parsial.
Sedangkan guru yang bertugas sebagai pengelola pembelajaran seringkali
belum mampu menyampaikan materi pelajaran kepada siswa secara
bermakna,
serta
penyampaiannya
juga
terkesan
monoton
tanpa
memperhatikan potensi dan kreativitas siswa sehingga siswa merasa bosan
karena siswa hanya dianggap sebagai botol kosong yang siap diisi dengan
materi pelajaran.
Pondok Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan
Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu
keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan
Kiyai dan ustad/ustadah.
Keberadaan
pondok
pesantren
ditengah-tengah
masyarakat
mempunyai peran dan fungsi sebagai tempat pengenalan dan pemahaman
agama Islam sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Kebanyakan pondok pesantren didirikan sebagai bentuk reaksi terhadap pola
kehidupan tertentu yang dianggap rawan, dengan demikian berdirinya pondok
peantren menjadi salah satu bagian tranformasi kultural yang berjalan dalam
jangka waktu yang relatif panjang.. Hal ini juga dikatakan oleh Snouck
Hurgronje dengan pernyataannya : “ Islam tradisional di Jawa yang
kelihatannya begitu statis dan begitu kuat terbelenggu oleh pemikiranpemikiran ulama’ di abad pertengahan, sebenarnya juga telah mengalami
perubahan-perubahan yang sangat fundamental, tetapi perubahan-perubahan
tersebut demikian bertahap, rumit dan tertutup. Perubahan-perubahan yang
terjadi di dalam pesantren merupakan hasil dari dialog dengan zamannya,
sehingga pesantren sebagai institusi pendidikan juga memiliki sistem
sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan yang lain.
2
1.2.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang diangkat dalam penulisan makalah ini
adalah sebagai berikut.
1. Adakah
pengaruh sistem pendidikan pondok pesantren
terhadap
pembelajaran matematika?
2. Bagaimana alternatif solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi?
1.3.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1) Menginformasikan masalah yang ditemui di sekolah yang berbasis
pondok pesantren dalam pembelajaran matematika.
2) Untuk mengetahui alternatif solusi untuk mengatasi problematika yang
dihadapi.
1.4. Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak dan golongan,
baik masyarakat umum, pemerintah, praktisi pendidikan, matematikawan,
maupun civitas akademika. Manfaat penulisan makalah ini adalah diharapkan
mampu menambah informasi kepada pembaca tentang problematika dan
alternatif solusi yang dapat diimplementasikan dalam pendidikan matematika
khususnya interaksi belajar yang terjadi di kelas lingkungan pondok
pesantren. Dengan bertambahnya wawasan tentang masalah yang ditemui
disekolah yang berbasis pondok pesantren dan berbagai alternatif solusinya
ini, diharapkan semakin banyak pihak yang tertarik untuk mengembangkan
dan meneliti metode ataupun pendekatan-pendekatan pembelajaran guna
mengatasi masalah pendidikan yang dihadapi dan tentunya untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di negara ini dengan basis pendidikan
pondok pesantren.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sistem Pendidikan Pondok Pesantren
Sistem pendidikan pondok pesantren dapat diartikan serangkaian komponen
pendidikan dan pengajaran yang saling berkaitan yang menunjang pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan oleh pondok pesantren. Pondok pesantren tidak
mempunyai rumusan yang baku tentang sistem pendidikan yang dapat
dijadikan sebagai acuan bagi semua pendidikan di pondok pesantren. Hal ini
disebabkan karakteristik pondok pesantren sangat bersifat personal dan sangat
tergantung pada Kiai pendiri. Pondok pesantren mempunyai tujuan
keagamaan, sesuai dengan pribadi dari Kiai pendiri. Sedangkan metode
mengajar dan kitab yang diajarkan kepada santri ditentukan sejauh mana
kualitas ilmu pengetahuan Kiai dan dipraktekkan sehari-hari dalam
kehidupan. Kebiasaan mendirikan pondok pesantren dipengaruhi oleh
pengalaman
pribadi
Kiai
semasa
belajar
di
pondok
pesantren.
Amin Rais, mengemukakan bahwa dalam mekanisme kerjanya, sistem yang
ditampilkan pondok pesantren mempunyai keunikan dibandingkan dengan
sistem yang diterapkan dalam pendidikan pada umumnya, yaitu:
1.
Memakai sistem tradisional yang mempunyai kebebasan penuh
dibandingkan dengan sekolah modern, sehingga terjadi hubungan dua
arah antara santri dan Kiai.
2.
Kehidupan di pesantren menampakkan semangat demokrasi karena
mereka praktis bekerja sama mengatasi problema nonkurikuler mereka.
3.
Sistem pondok pesantren mengutamakan kesederhanaan, idealisme,
persaudaraan, persamaan, rasa percaya diri dan keberanian diri.
4.
Independen alumni pondok pesantren mulai ada pergeseran, karena mulai
banyak alumni pondok pesantren yang menduduki jabatan publik.
Walaupun ada yang perlu dikritisi, tetapi apa yang dikemukakan Amin
Rais menunjukkan karakteristik dari pondok pesantren yang berbeda dengan
sistem pendidikan yang lain.
4
2.2. Pembelajaran Matematika
Berbagai pendapat muncul mengenai definisi matematika, dipandang
dari pengetahuan dan pengalaman masing- masing yang berbeda. Ada yang
mengatakan bahwa matematika itu bahasa simbol; matematika adalah bahasa
numerik; matematika adalah bahasa yang dapat menghilangkan sifat kabur,
majemuk dan emosional, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Banyak jawaban yang muncul terhadap pertanyaan "what is
matematics?, diantaranya ada yang mendefinisikan" mathematics is
power dan " mathematics is a tool ". Mathematics is power , Ruseffendi ET
(1980 : 148) mengemukakan bahwa matematika terbentuk sebagai hasil
pemikiran manusia yang berhubungan dengan ide, proses, dan penalaran.
Simbol ataau notasi dalam matematika mempunyai peranan penting dalam
mengkomunikasikan ide-ide dalam membangun matemaiika. Terbentuknya
suatu konsep matematika melalui proses berikut, adanya simbol-simbol dari
ide-ide dengan mengkomunikasikan simbol-simbol akan membangun konsepkonsep matematika sebagai kekuatan. Kline (1973) dalam bukunya
mengatakan matematika bukanlah pengetahuan yang menyendiri yang dapat
sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk
membantu manusia dalam memahami dan dan menguasai persoalan sosial,
ekonomi dan alam. Matematika tumbuh dan berkembang karena proses
berpikir, dikatakan sebagai alat karena matematika dapat membantu
mengembangkan ilmu yang lain memecahkan masalah kehidupan serta
mengembangkan ilmu untuk dirinya sendiri dan dikkembangkan untuk
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Karakteristik pembelajaran matematika diantaranya: pembelajaran
matematika adalah berjenjang, pembelajaran matematika mengikuti metoda
spiral,
pengajaran
matematika
menekankan
pola
berfikir
deduktif,
pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi.
Salah satu tujuan diberikannya matematika dijenjang pendidikan dasar
dan menengah, yaitu untuk “Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan
matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari …”
(Depdikbud 1994:1). Dikatakan pula oleh Gagne (Ruseffendi, 1988: 165),
5
bahwa objek tidak langsung dari mempelajari matematika adalah agar siswa
memiliki kemampuan memecahkan masalah. Dari pendapat Gagne dan tujuan
Kurikulum Matematika, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat
memecahkan suatu masalah, para siswa perlu memiliki kemampuan bernalar
yang dapat diperoleh melalui pembelajaran matematika.
2.3. Sistem
pendidikan
pondok
pesantren
terhadap
pembelajaran
matematika
Berdasarkan
Undang-undang
Sistem
Pendidikan
Nasional
(UU
Sisdiknas) No. 20 tahun 2003, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepriba- dian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat. Pendidikan berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta
meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Secara psikologi,
tujuan pendidikan adalah pembentukan karakter yang terwujud dalam
kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang
dimilikinya. Istilah karakter mempunyai beberapa pengertian. Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan karakter sebagai tabiat, watak, sifatsifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang membedakan seseorang
daripada yang lain (Pusat Bahasa, 2005, h. 1270).
Pendidikan formal di sekolah merupakan salah satu upaya untuk
pembentukan sikap, keterampilan dan pengetahuan mulai jenjang sekolah
dasar
hingga
pendidikan
pendidikan yang
selama
tinggi.
ini
Ada
telah
dua
model
berkembang
penyelenggaraan
di Indonesia
yaitu
pendidikan formal di sekolah dan pendidikan non formal diantaranya
dilaksanakan di pondok pesantren. Di samping itu, pondok pesantren juga
menjadi salah satu pilihan pendidikan karena lembaga ini mengutamakan
upaya pencerdasan spiritual atau keagamaan. Dalam perkembangannya,
sekarang ini banyak pondok pesantren
menyelenggarakan
pendidikan
di
Indonesia
yang
juga
formal persekolahan. Pilihan memadukan
6
sistem pendidikan formal formal di sekolah dan pondok pesantren ini, karena
secara umum sekolah dan pondok pesantren merupakan
pendidikan
yang
dua
lembaga
masing–masing memiliki keunggulan yang berbeda satu
sama lain. Apabila keunggulan dari kedua lembaga pendidikan itu dipadukan,
maka akan tercipta sebuah kekuatan pendidikan yang kuat dan berpotensi
mampu menghasilkan generasi muda Indonesia yang unggul, handal, dan
berkarakter.
Sekolah berbasis pesantren merupakan lembaga pendidikan formal
tingkat menengah pertama yang dipadukan dengan sistem pendidikan
pesantren, dimana kurikulum pelajaran pesantren dimasukan kedalam
kurikulum sekolah. Perpaduan kedua bentuk institusi pendidikan pesantren dan
sekolah umum sebagaimana dikatakan oleh Nurcholis Madjid bahwa akan
melahirkan sistem pendidikan Islam yang komprehensif, tidak saja
menekankan terhadap khasanah keilmuan Islam klasik tetapi juga mempunyai
integritas keilmuan modern.
Peraturan Menteri (Permen) nomor 23 tahun 2006 tentang Standar
Kompetensi Lulusan secara jelas menyiratkan bahwa kompetensi yang harus
dimiliki oleh peserta didik setelah mempelajari matematika yaitu kemampuan
pemecahan masalah yang meliputi kemampuan untuk memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi
yang diperoleh. Kompetensi lain yang diharapkan dimiliki oleh peserta didik
yaitu memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari
matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
Namun, dari hasil observasi proses belajar mengajar di kelas VIII
SMP ANNUR Pondok Pesantren Annur AL Fadhol Srono serta diskusi
dengan guru mata pelajaran Matematika yang lain, terindikasi beberapa
permasalahan dalam proses belajar mengajar, diantaranya:
a) Kemampuan siswa, khususnya dalam pemecahan masalah matematika
masih memerlukan perhatian khusus.
b) Motivasi siswa untuk menyelesaikan soal pemecahan masalah masih
kurang
7
c) Siswa lebih berorientasi untuk memecahkan soal-soal yang dapat
diselesaikan dengan prosedur rutin dan kurang memperhatikan bahwa
kompetensi yang dituntut adalah kemampuan dalam pemecahan masalah
d) Siswa kurang terbiasa untuk memecahkan masalah. Ini yang merupakan
indikasi minimnya kesempatan berlatih dalam proses belajar mengajar di
kelas.
e) Sebagian besar siswa belum mampu mengkomunikasikan gagasannya
dengan menggunakan simbol-simbol matematika, tabel dan grafik
f)
Terdapat kesalahan prosedur (algoritma) dalam proses penyelesaian
masalah
g) Masih terdapat kecendrungan terjadi kesalahan penulisan notasi ataupun
langkah dalam pemecahan masalah.
Selain permasalahan diatas adapun permasalahan dari kurikulum pondok
dan sekolahan, sehingga berdampak pada pembelajaran siswa:
1. Siswa kurang belajar karena Kegiatan siswa yang terus menerus mulai
jam 03.00 pagi sampai jam 11.00 malam.
2. siswa akan lebih berkonsentrasi pada pembelajaran diniyah daripada
pembelajaran skolah
ormal terutama pembelajaran matematika,
karena waktu lebih kepembelajaran diniyah
3. ketika sekolah formal siswa akan membawa sejumlah tugas dari
pembelajaran diniyah, contoh ketika pembelajaran matematika siswa
membaca kitab yang harus dihafal.
4. Dan berbagai aktifitas, sehingga siswa ketika diberi waktu senggang/
untuk belajar siswa justru akan istirahat.
Sebagian dari permasalahan yang dihadapi peserta didik di atas
memerlukan penanganan secara cepat dan inovatif tentu oleh guru dan
ustad sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran disekolah yang
berbasis
pondok
pesantren.
Padahal,
jika
dikaji
secara
rinci,
yang ingin dicapai dalam belajar matematika dan karakteristik masingmasing pendekatan pembelajaran, terdapat beragam model, strategi,
pendekatan,
ataupun metode pembelajaran yang bisa diterapkan
diantaranya model kooperatif (STAD, JIGSAW, TAI, TGT, NHT, GI, dan
8
sebagainya), pembelajaran kontekstual, inkuiri, dicovery learning ,
problem based learning, project based learning, problem possing, dan
masih banyak pendekatan lainnya. Namun, dengan memperhatikan
muara dari pembelajaran matematika serta karakteristik masalah yang
dialami oleh siswa kelas VIII SMP ANNUR Srono, pendekatan ProblemBased Learning merupakan salah satu pendekatan yang relevan.
2.4. Solusi
Suatu masalah dalam matematika sering diidentikkan dengan soal
matematika. Sehingga apabila seseorang dihadapkan pada suatu masalah
dalam hal ini soal matematika, maka akan ada beberapa kemungkinan yang
mungkin terjadi di dalam proses pemecahan masalah. Salah satu diantaranya
adalah ia tidak mempunyai gambaran tentang penyelesaiannya tetapi
berkeinginan untuk menyelesaikannya, maka dapat dikatakan orang tersebut
berhadapan dengan suatu masalah. Sutawidjaja (1998: 2) mengatakan bahwa
“ suatu soal merupakan suatu masalah bagi seseorang apabila diprlukan dua
syarat: (1) orang itu tidak mempunyai gambaran tentang jawaban soal itu, dan
(2) orang itu berkeinginan atau berkemauan untuk menyelesaikan soal
tersebut’.Ini berhati suatu soal mepuakan masalah atau tidak bagi seseorang
sangat relaitf bagi orang tersebut. Suparno (1997:6) menyatakan bahwa
“mengajar bukanlah suatu kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke
siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun
sendiri pengetahuannya”. Dalam pembelajaran matematika terutama dalam
belajar dan mengajar pemecahan masalah seorang guru memposisikan dirinya
sebagai fasilitator bagi siswa. Dalam peranannya sebagai fasilitator seperti
yang dijelaskan oleh Munandar (1992: 45) seorang guru seharusnya:
1. Mendorong belajar mandiri sebanyak mungking
2. Dapat menerima gagasan- gagasan dari semua siswa
3. memupuk siswa untuk memberi kritik secara konstuktif dan untuk
memberikan penilaian diri sendiri
4. berusaha menghindari pemberian hukuman atau celaan terhadap ide-ide
yang tidak biasa
9
5. dapat menerima perbedaan menurut waktu dan kecepatan antar siswa
dalam kemampuan berpikir.
6. Mengatur waktu belajar dan istirahat siswa berdasarkan kesepakatan pihak
pondok pesantren
7. Memotivasi untuk bersungguh-sungguh dalam belajar agama dan
pembelajaran sekolah
Untuk dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memecahkan
masalah sangatlah diperlukan suatu strategi khusus. Perry dan Conroy (dalam
Sutawidjaja, 1998: 9) mengemukakan mengenai strategi yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yaitu:
1.
strategi untuk meningkatkan kemampuan untuk memecahkan masalah
yang berkaitam dengan siswa;
a.
Siswa harus diberanikan untuk menerima ketidaktahuan dan merasa
senang untuk mencari tahu.
b.
Setiap siswa dalam kelompok harus diberanikan untuk membuat soal
atau pertanyaan
c.
Siswa diperbolehka memilih masalah-masalah dari sejumlah
masalah yang diberikan
d.
Siswa harus diberanikan untuk mengambil resiko atau mencari
alternatif
2.
Strategi untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah yang
berkaitan dengan guru;
a.
Guru harus sadar akan sikap positif dan cara-cara yang
mengembangkan hal ini
b.
Guru harus berani mencari dan mengembangkan keterampilan siswa
dalam memecahkan masalah
c.
Guru harus mencari masalah yang menarik yang sering muncul
secara spontan
d.
Guru perlu memperjelas situasi belajar dengan bertanya untuk
menggalakkan jawaban dan penyajian siswa.
10
e.
Guru harus mau membiarkan pemecahan suatu masalah menurut
persepsi siswa walaupun mungkin mempunyai arah yang berbeda
dengan yang direncanakan.
f.
Masalah tidak harus selalu diselesaikan oleh siswa. Masalah dapat
dilontarkan sebagai awal dari penyajian materi baru.
Berkaitan
dengan
pendekatan
Problem-Based
Learning
yang
merupakan pendekatan yang relevan sebagai salah satu alternatif solusi dari
masalah pendidikan matematika yang ditemui di tingkat sekolah khususnya
di SMP ANNUR, ada beberapa hal yang sudah sepatutnya diperhatikan
untuk masalah yang ditemui.
1. Pengajuan masalah atau pertanyaan
Pengajaran
prinsip- prinsip
berbasis
atau
masalah
ketrampilan
bukan
hanya
akademik
mengorganisasikan
tertentu,
pembelajaran
berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran di sekitar pertanyaan dan
masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi
bermakna untuk siswa. Mereka dihadapkan situasi kehidupan nyata yang
autentik , menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya
berbagai macam solusi untuk situasi itu. Menurut Arends (dalam Abbas,
2000:13), pertanyaan dan masalah yang diajukan haruslah memenuhi kriteria
sebagai berikut.
a. Autentik
Yaitu masalah harus lebih berakar pada kehidupan dunia nyata siswa
dari pada berakar pada prinsip-prinsip disiplin ilmu tertentu.
b. Jelas
Yaitu
masalah
dirumuskan
dengan
jelas,
dalam
arti
tidak
menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan
penyelesaian siswa.
c. Mudah dipahami
Yaitu masalah yang diberikan hendaknya mudah dipahami siswa.
Selain itu masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan
siswa.
11
12
d. Luas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
Yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas,
artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan
diajarkan sesuai dengan waktu, ruang dan sumber yang tersedia. Selain itu,
masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan
pembelajaran yang telah ditetapkan.
e. Bermanfaat.
Yaitu masalah yang telah disusun dan dirumuskan haruslah
bermanfaat, baik siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai
pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat
meningkatkan kemampuan
berfikir memecahkan masalah siswa, serta
membangkitkan motivasi belajar siswa.
2. P e n y e l i d i k a n a u t e n t i k
Pengajaran berbasis masalah siswa melakukan penyelidikan autentik
untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata. Mereka harus
menganalisis dan mendefinisikan masalah, mengembangkan hipotesis dan
membuat ramalan, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan
eksperimen
(jika
diperlukan),
membuat
inferensi
dan
merumuskan
kesimpulan. Metode penyelidikan yang digunakan bergantung pada masalah
yang sedang dipelajari.
3. M e n g h a s i l k a n p r o d u k / k a r y a d a n m e m a m e r k a n n y a
Pengajaran berbasis masalah menuntut siswa untuk menghasilkan
produk tertentu dalam bentuk karya nyata atau artefak dan peragaan yang
menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka
temukan. Produk itu dapat berupa transkip debat, laporan, model fisik, video
atau program komputer (Ibrahim & Nur, 2000:5-7 dalam Nurhadi, 2003:56)
4. Kerjasama.
Model pembelajaran berbasis masalah dicirikan oleh siswa yang
bekerjasama satu sama lain, paling sering secara berpasangan atau dalam
kelompok kecil.
13
Bekerjasama memberikan motivasi untuk secara berkelanjutan terlibat
dalam tugas-tugas kompleks dan memperbanyak peluang untuk berbagi
inkuiri dan dialog dan untuk mengembangkan keterampilan sosial dan
keterampilan berpikir.
Adapun prosedur-prosedur PBL yang penulis sarankan dalam
pembelajaran di kelas sesuai dengan fase/ tahapan pelaksanaan PBL sebagai
berikut.
Fase Aktivitas guru
Fase 1: Mengorientasikan siswa pada masalah
Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitasaktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat
penting dimana guru/dosen harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus
dilakukan oleh siswa/siswa dan juga oleh dosen. Disamping proses yang akan
berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru/dosen akan
mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan
motivasi agar siswa dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan.
F a s e 2 : M e n g o rg a n i s a s i k a n s i s w a u n t u k b e l a j a r
Disamping
mengembangkan
ketrampilan
memecahkan
masalah,
pembelajaran PBL juga mendorong siswa/siswa belajar berkolaborasi.
Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan ker jasama dan sharing antar
anggota. Oleh sebab itu, guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran
dengan membentuk kelompok-kelompok siswa
dimana masing-masing
kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsipprinsip pengelompokan siswa dalam
pembelajaran kooperatif dapat
digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya
interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan
sebagainya.
Setelah siswa diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk
kelompok belajar selanjutnya guru dan siswa menetapkan subtopik-subtopik
yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi
guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua siswa aktif terlibat
14
dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat
menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.
Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok
Penyelidikan adalah inti dari PBL. Meskipun setiap situasi permasalahan
memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu
melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen,
berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data
dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini,
guru harus mendorong siswa untuk mengumpulkan data dan melaksanakan
eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami
dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar siswa mengumpulkan
cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri.
Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalahmasalah dalam buku-buku. Guru membantu siswa untuk mengumpulkan
informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan ia seharusnya
mengajukan pertanyaan pada siswa untuk berifikir tentang masalah dan
ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah
yang dapat dipertahankan.
Fase
4:
Mengembangkan
dan
menyajikan
artifak
(hasil
k a r y a ) d a n mempamerkannya
Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan
pameran. Artifak lebih dari sekedar laporan tertulis, namun bisa suatu
videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan),
model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya),
program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak
sangat dipengaruhi tingkat berfikir siswa. Langkah selanjutnya adalah
mempamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator
pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan siswa-siswa
lainnya, guru-guru, orangtua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau
memberikan umpan balik.
Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah
15
Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk
membantu siswa menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan
kete-rampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama
fase ini guru meminta siswa untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas
yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka
pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah?
Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat
menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka
menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan
akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah
ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah
mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang?
Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk
memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan
PBL untuk pengajaran.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan
pembahasan
yang
telah
dipaparkan
pada
bab
sebelumnya, dapat disimpulkan dua hal sebagai berikut.
1. Terdapat beberapa masalah dalam pembelajaran matematika di sekolah
khususnya di SMP ANNUR yang memerlukan penangan secara cepat dan
inovatif tentu oleh guru sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran di
kelas. Terdapat indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi disebabkan
karena implementasi pendekatan pembelajaran yang belum mendukung
secara maksimal kesempatan siswa untuk berlatih memecahkan masalah.
2. PBL adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah dunia nyata
sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis
dan
keterampilan
pemecahan
masalah,
serta
untuk
memperoleh
pengetahuan yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis
masalah dirancang untuk merangsang berpikir tingkat tinggi dalam situasi
berorientasi pada masalah.
3. Pembelajaran berbasis masalah dikembangkan terutama untuk membantu
kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual
dan belajar menjadi pembelajar yang otonom. Keuntungan PBL adalah
mendorong kerja sama dalam menyelesaikan tugas. Pembelajaran berbasis
masalah melibatkan siswa dalam penyelidikan pilihannya sendiri, yang
memungkinkan siswa menginterpretasikan dunia nyata dan membangun
pemahaman tentang fenomena tersebut. Hal ini diharapkan dapat
digunakan sebagai salah satu alternatif solusi dalam menghadapi
problematika yang dihadapi.
17
3.2. Saran
Bagi para praktisi pendidikan utamanya guru diharapkan dapat
menggali lebih jauh problematika apa yang mungkin bisa dihadapi dalam
melaksanakan proses belajar mengajar di lingkungan pondok pesantren. Baik
itu faktor fisik maupun faktor non fisik. Dengan mengidentifikasi masalah
yang dihadapi maka akan bisa ditentukan alternatif-alternatif solusi untuk
mengatasi masalah tersebut. Dimana jika dikaji secara rinci sasaran yang
ingin dicapai dalam belajar matematika dan karakteristik masing-masing
pendekatan pembelajaran, terdapat beragam model, strategi, pendekatan,
ataupun metode pembelajaran yang bisa diterapkan sesuai dengan masalah
yang dihadapi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Erman , Suherman. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Konterporer.
Jakarta: IMSTEP Universitas Pendidikan Indonesia.
National Council of Teachers of Mathematics. (1989). Curriculum and evaluation
standards for school mathematics. Reston, VA: Author.
Roh & Kyeong Ha. 2003). Problem-Based Learning in Mathematics. ERIC
Digest. ERIC Clearinghouse for Science Mathematics and Environmental
Education Columbus OH.
Shadiq, Fajar. 2004. Pemecahan Masalah, Penalaran dan Komunikasi. Makalah
disajikan dalam diklat instruktur/Pengembang Matematika SMA Jenjang
Dasar di PPPG Matematika Yogyakarta.
Sulianto, Joko. 2011. Upaya Meningkatkan Aktivitas dan Kreativitas Siswa dalam
Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar dengan Metode Pemecahan
Masalah http://www.dikti.go.id/index.php diakses 4 Mei 2012
19