PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENGAWASAN DAN AUDIT PELAYANAN KESEHATAN I PENDAHULUAN - Pedoman Penyelenggaraan Pengawasan Dan Audit Pelayanan Kesehatan

PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENGAWASAN DAN AUDIT PELAYANAN KESEHATAN I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan sebagai bagian untuk meningkatkan taraf hidup mereka, disamping mereka berupaya menerapkan pola hidup bersih dan sehat, mereka juga mendambakan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, terjangkau dan merata serta aman. Dipihak lain para pemberi pelayanan kesehatan juga memiliki keinginan kuat dalam memberikan pelayanan kesehatan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bermutu baik merupakan hasil dari pendidikan, pelatihan, etik, tersedianya sarana dan prasarana yang cukup. Juga tersedianya pedoman dan petunjuk teknis didukung oleh peraturan perundang-undangan tentang sistem kesehatan nasional yang melandasi implementasi pelayanan kesehatan yang terstruktur. Fakta dilapangan mengungkapkan bahwa masih banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat baik melalui media masa, organisasi profesi, majelis kehormatan disiplin tenaga kesehatan, maupun melalui jalur hukum dalam bentuk tuduhan telah terjadi ‘malpraktik’. Bahkan keluhan tersebut tidak hanya datang dari masyarakat yang tinggal di daerah-daerah dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang masih kurang atau jauh secara geografik, tetapi juga terjadi di kota-kota besar dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang lengkap. Dengan terjadinya banyak keluhan atau ‘malpraktik’ tentu saja tidak dapat dibiarkan tanpa diketahui penyebabnya, yang kemudian dicarikan solusi guna memperbaiki keadaan tersebut. Sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter di Indonesia, salah satu peran IDI secara internal adalah membina dan memberdayakan secara berjenjang para anggotanya dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Salah satu wujud peran IDI antara lain IDI banyak menyelenggarakan pendidikan kedokteran berkelanjutan, juga berperan memfasilitasi registrasi dan registrasi ulang dokter oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Namun mengingat bahwa pelayanan kesehatan merupakan hal yang kompleks, disamping kegiatan tersebut diatas, IDI sebagai organisasi profesi memerlukan instrumen guna menyelenggarakan kegiatan 1. Latar Belakang Dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan sebagai bagian untuk meningkatkan taraf hidup mereka, disamping mereka berupaya menerapkan pola hidup bersih dan sehat, mereka juga mendambakan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil, terjangkau dan merata serta aman. Dipihak lain para pemberi pelayanan kesehatan juga memiliki keinginan kuat dalam memberikan pelayanan kesehatan seperti yang diharapkan oleh masyarakat. Pelayanan kesehatan yang bermutu baik merupakan hasil dari pendidikan, pelatihan, etik, tersedianya sarana dan prasarana yang cukup. Juga tersedianya pedoman dan petunjuk teknis didukung oleh peraturan perundang-undangan tentang sistem kesehatan nasional yang melandasi implementasi pelayanan kesehatan yang terstruktur. Fakta dilapangan mengungkapkan bahwa masih banyak keluhan yang disampaikan oleh masyarakat baik melalui media masa, organisasi profesi, majelis kehormatan disiplin tenaga kesehatan, maupun melalui jalur hukum dalam bentuk tuduhan telah terjadi ‘malpraktik’. Bahkan keluhan tersebut tidak hanya datang dari masyarakat yang tinggal di daerah-daerah dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang masih kurang atau jauh secara geografik, tetapi juga terjadi di kota-kota besar dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang lengkap. Dengan terjadinya banyak keluhan atau ‘malpraktik’ tentu saja tidak dapat dibiarkan tanpa diketahui penyebabnya, yang kemudian dicarikan solusi guna memperbaiki keadaan tersebut. Sebagai satu-satunya organisasi profesi dokter di Indonesia, salah satu peran IDI secara internal adalah membina dan memberdayakan secara berjenjang para anggotanya dalam upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan. Salah satu wujud peran IDI antara lain IDI banyak menyelenggarakan pendidikan kedokteran berkelanjutan, juga berperan memfasilitasi registrasi dan registrasi ulang dokter oleh Konsil Kedokteran Indonesia. Namun mengingat bahwa pelayanan kesehatan merupakan hal yang kompleks, disamping kegiatan tersebut diatas, IDI sebagai organisasi profesi memerlukan instrumen guna menyelenggarakan kegiatan

2. Tujuan Lebih memantapkan peran IDI sebagai organisasi profesi dalam penyelenggaran pengawasan dan audit pelayanan kesehatan dengan menyusun pedoman pengawasan dan pedoman audit pelayanan kesehatan bagi anggota IDI sehingga lebih memahami bagaimana menyelenggarakan pengawasan dan audit pelayanan kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang efektif, efisien, aman dan memuaskan pengguna pelayanan.

3. Ruang Lingkup Ruang lingkup dari naskah ini meliputi pedoman pengawasan pelayanan kesehatan dan pedoman audit pelayanan kesehatan primer, pelayanan kesehatan rujukan dan pelayanan kesehatan masyarakat

4. Pengertian

a. Pengawasan pelayanan kesehatan Terdapat beberapa pengertian tentang pengawasan, yang pada dasarnya memiliki kesamaan, dimana salah satunya adalah bahwa pengawasan pelayanan kesehatan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh manajer dalam memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan dalam pelayanan kesehatan.

b. Audit pelayanan kesehatan Audit pelayanan kesehatan adalah penilaian kinerja terhadap standar klinik atau non klinik dalam suatu organisasi pelayanan kesehatan.

c. Standar Standar adalah tingkat kinerja yang diinginkan dan dapat dicapai, untuk menilai hasil yang dicapai.

d. Penilaian oleh mitra bestari (peer review) Penilaian oleh mitra bestari adalah penilaian kinerja seseorang atau kelompok oleh anggota dari profesi atau tim yang sama.

e. Kriteria Kriteria adalah pernyataan yang dikembangkan secara sistematis yang digunakan untuk menilai kepatutan dari keputusan tentang pelayanan kesehatan tertentu, pelayanan-pelayanan yang dilakukan dan hasil- hasil yang dicapai.

II PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENGAWASAN PELAYANAN KESEHATAN

1. Umum Dalam sebuah organisasi apakah itu organisasi pemerintahan maupun bukan pemerintah, masalah pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajemen biasa. Namun demikian pengawasan merupakan bagian yang sangat penting dalam mencapai tujuan organisasi dalam melakukan berbagai program dan kegiatan yang telah direncanakan. Dengan kegiatan pengawasan dapat diketahui apakah kegiatan yang dilaksanakan berhasil mencapai tujuan dengan sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Bila tercapai, apakah pencapaian tersebut terselenggara dengan penggunaan sumber daya yang efisien. Bila tidak tercapai, apakah terjadi

kekeliruan dalam perencanaan atau penyimpangan dalam implementasinya. Dengan tidak adanya pengawasan atau pengawasan yang berjalan lemah, dapat dipastikan bahwa hasil pelaksanaan program dan kegiatan tidak memuaskan. Dengan demikian pengertian pengawasan adalah semua aktivitas yang dilaksanakan oleh manajer dalam memastikan bahwa hasil aktual sesuai dengan hasil yang direncanakan ( Winardi ). Pengertian lainnya, pengawasan merupakan fungsi yang menjamin bahwa kegiatan-kegiatan dapat memberikan hasil seperti yang diinginkan (Basu Swasta). Sedangkan menurut Komaruddin pengawasan adalah perbandingan antara pelaksanaan aktual rencana dan awal untuk langkah perbaikan terhadap penyimpangan.

2. Jenis Pengawasan Terdapat beberapa jenis kegiatan pengawasan yang dapat dilakukan, yaitu :

a. Pengawasan internal Pengawasan internal adalah adalah pengawasan yang dilakukan oleh orang atau badan yang ada dalam lingkungan suatu organisasi. Pengawasan internal dapat berupa pengawasan oleh atasan langsung yang sering disebut sebagai pengawasan melekat atau pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawasan organisasi tersebut. Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh inspektorat atau satuan pengawasan internal.

b. Pengawasan eksternal Pengawasan eksternal adalah adalah pengawasan yang dilakukan oleh unit pengawasan yang berada di luar organisasi yang diawasi. Misalnya pengawasan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap dinas kesehatan, pengawasan oleh dinas kesehatan terhadap puskesmas, rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan swasta.

c. Pengawasan preventif Pengawasan preventif adalah pengawasan yang dilakukan sebelum kegiatan dilaksanakan, sehingga dapat mencegah penyimpangan. Pengawasan preventif akan lebih efektif bila dilakukan oleh atasan langsung.

d. Pengawasan represif Pengawasan represif adalah pengawasan yang dilakukan terhadap suatu kegiatan setelah kegiatan tersebut dilakukan dan dilaporkan. Pengawasan represif dapat dilakukan oleh atasan langsung, satuan pengawasan internal maupun unit pengawasan eksternal.

e. Pengawasan aktif Pengawasan aktif adalah pengawasan yang dilakukan ditempat kegiatan dilakukan.

f. Pengawasan pasif Pengawasan pasif adalah pengawasan yang dilakukan dari jauh melalui

penelitian dan pengujian terhadap surat-surat pertanggungjawaban disertai bukti-bukti penerimaan dan pengeluaran.

3. Tujuan Pengawasan Tujuan pengawasan adalah membandingkan hasil pelaksanaan kegiatan dengan rencana, mengurangi risiko kegagalan suatu rencana, mengetahui kelemahan pelaksanaan dan penyimpangan yang terjadi, memecahkan masalah dan membuat perbaikan.

4. Langkah-langkah Dalam Melaksanakan Pengawasan Langkah-langkah pengawasan menurut G.R.Terry (Novia’s blog) adalah sebagai berikut :

a. Menetapkan standar

Menetapkan standar dilakukan dengan menyusun rencana, dimana dalam rencana tersebut disebutkan kegiatan apa yang akan dilakukan, hasil yang diharapkan, sumber daya yang digunakan dan waktu yang diperlukan. Dari rencana ini dapat ditetapkan standar yang akan digunakan sebagai pembanding dengan hasil pelaksanaan yang dicapai.

b. Mengukur kinerja Pada langkah ini dilakukan pengukuran kinerja atau mengevaluasi kinerja yang dicapai.

c. Membandingkan hasil pelaksanaan dengan standar dan menemukan perbedaan antara keduanya. Membandingkan secara obyektif hasil pelaksanaan dengan standar

merupakan kegiatan yang penting untuk menemukan penyimpangan atau kelemahan yang ada dalam pelaksanaan.

d. Memperbaiki penyimpangan yang terjadi Pengawasan yang dilakukan haruslah dapat memperbaiki penyimpangan atau kelemahan dalam rencana maupun pelaksanaan suatu kegiatan, agar penyimpangan atau kelemahan tersebut tidak terulang di masa depan.

5. Pelaku Pengawasan Tergantung jenis kegiatan pengawasan yang akan dilakukan, maka pengawasan dapat dilakukan oleh :

a. Atasan langsung Atasan langsung dapat melakukan pengawasan internal yang bersifat melekat (built in control) yang dapat dilakukan sehari-hari atau secara periodik terhadap bawahannya sepanjang waktu kegiatan dilaksanakan. Pengawasan jenis ini sangat berguna untuk untuk mencegah penyimpangan atau mendeteksi penyimpangan sejak awal sehingga dapat segera dilakukan perbaikan.

b. Satuan Pengawasan Internal (SPI) SPI yang merupakan unit pengawasan yang terdapat dalam suatu organisasi, dapat melakukan kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas semua satuan kerja baik struktural, fungsional b. Satuan Pengawasan Internal (SPI) SPI yang merupakan unit pengawasan yang terdapat dalam suatu organisasi, dapat melakukan kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas semua satuan kerja baik struktural, fungsional

c. Inspektorat Inspektorat merupakan unit pengawasan yang terdapat dalam suatu organisasi, misalnya departemen/kementerian/pemerintah daerah

dapat melakukan kegiatan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas agar dapat berjalan sesuai rencana dan peraturan yang berlaku, baik tugas rutin maupun tugas pembangunan.

d. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) BPK merupakan lembaga Negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 (Peraturan BPK No.4 Tahun 2010)

e. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) BPKP adalah unit pengawasan yang dibentuk pemerintah untuk melakukan kegiatan pengawasan keuangan dan pembangunan serta penyelenggaraan akuntabilitas terhadap unit-unit organisasi pemerintah di pusat maupun daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

III PERAN IDI DALAM DALAM PENGAWASAN

Sesuai dengan Anggaran Dasar IDI dalam Pasal 6 bahwa salah satu misi IDI untuk mencapai tujuan organisasi yang tersebut dalam butir b) adalah : Meningkatkan profesionalisme dokter. Sedangkan pada Anggaran Rumah Tangga Pasal 31 disebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang Majelis Pengembangan Pelayanan Keprofesian disebutkan pada butir b. adalah : Mempunyai kewenangan dalam pengembangan kebijakan , pembinaan pelaksanaan dan pengawasan pelayanan keprofesian yang bermutu. Dengan demikian lingkup peran IDI dalam pengawasan adalah kegiatan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan khususnya pelayanan keprofesian. Pada pembahasan sebelumnya kita mengetahui bahwa kegiatan pengawasan merupakan bagian dari fungsi manajerial biasa yang dilakukan dalam suatu organisasi, sebagai usaha pimpinan agar semua kegiatan dalam organisasi tersebut dapat dilakukan sesuai rencana dan mencapai tujuan yang diharapkan. IDI sebagai organisasi profesi dalam melakukan kegiatan pengawasan terhadap pelayanan kesehatan tidak dapat begitu saja melakukan kegiatan pengawasan terhadap satuan kerja yang berada diluar IDI, meskipun menyangkut pelayanan kesehatan. Dengan demikian diperlukan kerjasama dan pengaturan agar dalam melaksanakan tugas pengawasan dapat berjalan dengan efektif dan tidak menyalahi prosedur.

1. Pengawasan internal IDI sebagai organisasi profesi melaksanakan pengawasan internal dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan, dengan menyelenggarakan kegiatan :

a. Menyelenggarakan kegiatan pengembangan keprofesian berkelanjutan (Continuing Professional Development) agar sumber daya kesehatan khususnya dokter dapat senantiasa meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya secara periodik. Dalam hal ini IDI menyelenggarakan pengawasan yang bersifat preventif.

b. Berperan dalam rangka proses registrasi dan registrasi ulang para anggotanya dan mengawasi terpenuhinya persyaratan yang diperlukan di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) setiap 5 tahun.

c. Menetapkan standar pelayanan medik dokter spesialis dan dokter oleh perhimpunan masing-masing, sehingga setiap penyelenggaraan pelayanan kesehatan wajib memenuhi standar tersebut.

d. Memberikan rekomendasi setelah melakukan pengecekan kelengkapan persyaratan dalam rangka penerbitan surat izin praktik oleh dinas kesehatan.

e. Melakukan pemeriksaan terhadap anggotanya yang diadukan oleh pasien atau keluarganya tentang dugaan pelanggaran etik kedokteran dalam memberikan pelayanan kesehatan. Dalam hal ini IDI melalui Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK) melakukan pengawasan yang bersifat represif yang menyangkut pelanggaran etik kedokteran..

2. Pengawasan eksternal IDI sebagai organisasi profesi dapat melakukan pengawasan eksternal dengan tujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dalam hal- hal sebagai berikut :

a. IDI diminta oleh unit pelayanan kesehatan untuk memperbantukan anggotanya untuk duduk dalam tim pengawasan yang dibentuk oleh pimpinan unit pelayanan kesehatan tersebut ( misalnya kepala dinas kesehatan, kepala rumah sakit) untuk melakukan kegiatan pengawasan tertentu.

b. IDI dapat melakukan pengawasan eksternal dalam dugaan terjadi penyimpangan dalam pemberian pelayanan kesehatan oleh dokter yang melakukan pelayanan di institusi pelayanan kesehatan atau pada pelayanan kesehatan praktik mandiri, misalnya tentang :

1) Permintaan honorarium dokter atau menentukan tarif pelayanan medik diluar batas kewajaran

2) Terjadinya dugaan malpraktik misalnya tindakan sectio caesaria yang jumlahnya jauh diatas rata-rata, tindakan bedah yang sebenarnya tidak diperlukan, pemeriksaan laboratorium/ pemeriksaan penunjang tanpa indikasi, pemberian obat berlebihan tanpa indikasi klinis yang mendukung

3) Melakukan praktik pelayanan kesehatan dengan cara/ metoda yang tidak terbuka dan/atau cara yang belum melalui uji ilmiah teknis medis

4) Terjadinya dugaan pelanggaran etik kedokteran

5) Terjadinya dugaan kasus penyimpangan di institusi pelayanan kesehatan yang menjadi perhatian publik.

6) Dokter praktik tanpa izin

3. Prosedur Pengawasan oleh IDI terkait Sasaran Pengawasan Dalam menyelenggarakan pengawasan perlu diikuti prosedur tertentu agar pengawasan dapat berjalan dengan lancar dan berhasil :

a. Bila kegiatan pengawasan akan dilakukan terhadap institusi kesehatan jajaran Kementerian Kesehatan, maka perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama antara IDI, Kementerian Kesehatan dan institusi kesehatan tersebut.

b. Bila kegiatan pengawasan akan dilakukan terhadap institusi kesehatan jajaran Pemerintah Provinsi, maka perlu dilakukan kordinasi dan kerjasama antara IDI, Dinas Kesehatan Provinsi dan institusi kesehatan tersebut.

c. Bila kegiatan pengawasan akan dilakukan terhadap institusi kesehatan jajaran Pemerintah Kabupaten/Kota, maka perlu dilakukan koordinasi dan kerjasama antara IDI, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Institusi Kesehatan tersebut.

d. Bila kegiatan pengawasan akan dilakukan terhadap institusi kesehatan swasta, diperlukan koordinasi antara IDI, Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan institusi kesehatan swasta tersebut.

4. Pembiayaan Kegiatan Pengawasan Pembiayaan kegiatan pengawasan dibebankan kepada institusi sasaran pengawasan.

5. Laporan Hasil Pengawasan Laporan hasil pengawasan wajib dilaporkan secara tertulis kepada para pemangku kepentingan sebagai dasar untuk melakukan tindak lanjut perbaikan.

6. Tindak Lanjut Pengawasan Tindak lanjut pengawasan dilakukan sesuai dengan hasil temuan pengawasan sebagai berikut :

a. Bila pengawasan menghasilkan temuan yang bersifat pelanggaran kode etik kedokteran, maka Majelis Kehormatan Etika Kedokteran akan menindak lanjuti hasil temuan pengawasan.

b. Bila pengawasan menghasilkan temuan yang bersifat pelanggaran disiplin kedokteran, maka temuan hasil pengawasan akan diserahkan kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.

c. Bila pengawasan menghasilkan temuan yang bersifat pelanggaran kriminal, maka hasil temuan akan diserahkan kepada kepolisian.

IV PEDOMAN PROSES PENYELENGGARAAN AUDIT PELAYANAN KESEHATAN

1. Umum Audit pelayanan kesehatan merupakan kegiatan sehari-hari yang sudah cukup lama dilakukan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan. Sedangkan tujuannya adalah untuk memantau sejauh mana standar untuk kegiatan pelayanan kesehatan dipenuhi, mengidentifikasi sebab-sebab tidak terpenuhinya standar tersebut dan mengidentifikasi serta mengimplementasikan perubahan dalam praktik sehingga memenuhi standar. Menentukan standar haruslah berdasarkan bukti atau evidence based. Standar-standar ini dapat berupa standar klinis atau non klinis. Merupakan kewajiban dari para dokter untuk memastikan bahwa mereka memberikan pelayanan yang terbaik bagi pasien mereka. Setiap dokter wajib melakukan audit terhadap pekerjaannya melayani pasien dan menggunakan hasilnya untuk meningkatkan pelayanan klinik menuju pemberian pelayanan terbaik. Dengan demikian kegiatan audit merupakan alat yang sangat penting dalam usaha Perbaikan Mutu Berkelanjutan atau Continuous Quality Improvement (CQI), sehingga audit tidak dapat dilihat sebagai kegiatan yang berdiri sendiri. Tetapi ia harus merupakan bagian dari program peningkatan mutu dan manajemen risiko yang terstruktur dalam organisasi.

2. Siklus Audit Pelayanan Kesehatan Dalam menyelenggarakan audit pelayanan kesehatan, perlu melalui proses untuk menyusun kriteria atau melakukan langkah-langkah tertentu dalam siklus yang disebut Siklus Audit Pelayanan Kesehatan (menurut NICE 2002-National Institute of Clinical Excellence 2002 ) yang diadaptasi dari Siklus Audit Klinis) sebagai berikut :

a. Mempersiapkan pelaksanaan audit

b. Memilih kriteria

c. Mengukur kinerja

d. Membuat perbaikan

e. Mendukung dan meneruskan perbaikan

Mempersiapkan audit

Mendukung dan Memilih kriteria meneruskan perbaikan

Membuat perbaikan Mengukur kinerja

3. Tahap 1 : Mempersiapkan Pelaksanaan Audit

a. Diperlukan dukungan dan komitmen dari teman sejawat. Tanpa dukungan dari teman sejawat dan komitmen mereka untuk berpartisipasi, maka audit yang akan dilakukan akan sulit dikerjakan. Merupakan hal yang penting bahwa petugas yang berkaitan dengan subyek yang akan diaudit dilibatkan, mengerti tujuan dari audit dan peran mereka didalamnya. Manajemen perlu dilibatkan dalam proses audit, yang harus mencerminkan pernyataan tentang misi dan sasaran dari organisasi yang mereka pimpin. Dengan demikian kegiatan audit paling baik dilaksanakan dalam program yang terstruktur dengan kepemimpinan yang efektif, partisipasi dari seluruh petugas dengan penekanan pada dukungan dan kerjasama tim.

Beberapa kriteria yang penting adalah sebagai berikut:

1) Kriteria 1 : Bila kegiatan menyangkut audit standar klinik, maka diperlukan komitmen dari dokter/klinikus yang terkemuka dalam bidang tersebut. Komitmen tersebut tidak perlu sampai melibatkan dokter/klinikus tersebut secara langsung, tetapi mereka perlu paling tidak menyetujui kegiatan audit tersebut.

2) Kriteria 2 : Personil yng dilibatkan dalam kegiatan audit perlu secara resmi diidentifikasi dan diminta persetujuan mereka sebelum kegiatan audit dimulai. Kesepakatan tentang 2) Kriteria 2 : Personil yng dilibatkan dalam kegiatan audit perlu secara resmi diidentifikasi dan diminta persetujuan mereka sebelum kegiatan audit dimulai. Kesepakatan tentang

3) Kriteria 3 : Tanggung jawab setiap personil yang dilibatkan dalam pelaksanaan audit harus diklarifikasi dan disetujui oleh semua personil yang terlibat, sebelum pelaksanaan audit dimulai.

4) Kriteria 4 : Kegiatan audit perlu melibatkan atau berkonsultasi kepada pejabat yang berhak memberikan persetujuan tentang perubahan yang mungkin direkomendasikan sebagai hasil audit, terutama bila perubahan berpotensi implikasi penggunaan sumber daya atau berimplikasi untuk pelayanan atau bidang lain.

5) Kriteria 5 : Setiap personil yang terlibat dalam kegiatan audit harus memiliki komitmen untuk perubahan bila diperlukan sebagai hasil dari audit.

6) Kritera 6 : Prioritas dari pengguna pelayanan kesehatan (pasien) dapat sangat berbeda dengan penyedia pelayanan kesehatan, oleh karena itu pengguna pelayanan kesehatan perlu dilibatkan dalam proses audit.

Direkomendasikan standar 10% dari audit melibatkan pengguna pelayanan.

7) Kriteria 7: Diperlukan pekerjaan multiprofesional yang lebih besar secara lintas disiplin klinis dan manajerial yang berbeda yang berperan dalam memberikan pelayanan sesuai dengan episode pelayanan. Direkomendasikan standar 50% dari audit adalah multiprofesional

8) Kriteria 8 : Pendekatan lintas institusi pelayanan perlu dilakukan, untuk pengguna pelayanan kesehatan (pasien) yang menerima pelayanan primer, sekunder dan pelayanan yang berkelanjutan. Hal ini penting khususnya dalam penanganan penyakit khronis dan kecacadan. Direkomendasikan standar 30% dari audit yang dilakukan bersifat lintas pelayanan.

Pedoman Untuk menentukan keterlibatan setiap personil/profesional pelayanan kesehatan lain dalam menentukan topik dan sasaran audit, pertama harus diidentifikasi : Pedoman Untuk menentukan keterlibatan setiap personil/profesional pelayanan kesehatan lain dalam menentukan topik dan sasaran audit, pertama harus diidentifikasi :

pelayanan kepada pasien b)Siapa yang menerima, menggunakan atau memperoleh manfaat dari pelayanan yang diberikan tersebut c)Bila pasien perlu dilibatkan, apakah misalnya kita akan mempertimbangkan pengalaman pasien dalam menerima pelayanan yang kita berikan.

d)Bila perbaikan dalam pelayanan dapat dilakukan langsung oleh

kelompok yang diusulkan untuk dilibatkan dalam pelaksanaan audit, atau perbaikan dapat terjadi hanya dengan melibatkan dukungan pihak lain.

Dengan demikian keterlibatan oleh pihak-pihak yang berkepentingan perlu dilakukan sejak awal dan beri kesempatan setiap orang untuk berkontribusi. Rasa memiliki merupakan hal yang esensial, khususnya bila diperlukan perubahan dalam praktik setelah audit dilakukan.

e)Pihak-pihak yang perlu dilibatkan dalam audit : 1)Manajemen, staf medik, staf keperawatan, dokter umum, profesional kesehatan terkait, staf perpustakaan untuk membantu menilai fakta- fakta/bukti, staf bagian rekam medik, dan lain-lain. 2)Staf pendukung audit pelayanan kesehatan. 3)Peneliti atau ahli statistik bila kita memerlukan analisis statistik

yang kompleks dari data yang diperoleh, meskipun biasanya kita hanya memerlukan statistik deskriptif yang sederhana.

4)Pasien 5)Bila dikehendaki, gunakan alat analisis pemangku kepentingan

(stakeholder analysis tool) - lihat Lampiran 1 6)Sepakat siapa perlu dilibatkan dan minta komitmen dari yang bersangkutan. 7)Pertimbangkan berbagai cara untuk memberi tahu pihak-pihak yang

terlibat, misalnya dalam rapat pendahuluan, melalui surat, atau briefing.

b.Mengambil keputusan tentang hal apa audit akan dilakukan Titik awal untuk berbagai inisiatif untuk perbaikan- memilih sebuah topik untuk di audit memerlukan pemikiran dan perencanaan yang seksama, karena kegiatan audit memerlukan investasi sumber daya selama pelaksanaan audit itu sendiri, maupun pada tahap perbaikan mutu pelayanan.

1) Kriteria 1 :Topik audit harus memenuhi satu atau lebih kriteria- kriteria tersebut dibawah ini :

a) Apakah audit ini merupakan bagian dari program prioritas audit lokal,regional atau nasional.

b) Apakah topik audit memerlukan biaya, volume atau risiko yang cukup tinggi bagi staf dan pengguna pelayanan kesehatan/pasien. Bila di rumah sakit, apakah sumber informasi data yang digunakan untuk mengambil keputusan berasal dari data kegiatan HIPE ( Hospital Inpatient Enquiry System ) atau register, data finansial atau data dari register risiko atau data dari insiden/keluhan.

c) Apakah dimiliki data/bukti yang baik, misalnya pedoman nasional tentang pedoman penanggulangan kanker payudara, atau pedoman manajemen pencatatan (record management).

d) Apakah terdapat fakta/bukti tentang masalah mutu pelayanan yang berat, misalnya keluhan pasien, kecelakaan, kejadian komplikasi yang tinggi, atau masalah perhatian staf (staff concern.)

e) Audit harus memasukkan penilaian dari proses dan hasil pelayanan .

Pedoman Pendekatan lain dalam memilih topik untuk audit - Klasifikasi Donabedian (1996) yang terdiri dari struktur, proses dan hasil, dapat digunakan untuk memfokuskan wilayah praktik apa yang akan dijadikan topik untuk dipilih.

Struktur Tatanan dan sumber daya (apa yang dibutuhkan- staf, bangunan dan peralatan yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan pelayanan) misalnya : a)Peralatan resusitasi untuk tindakan bedah oleh dokter umum b)Aksesibilitas pelayanan untuk individu dengan disabilitas

Proses Praktik-praktik/metoda pelayanan (apa yang akan dikerjakan) yang mungkin dilakukan secara khusus untuk :

a)Proses tindakan klinis, misalnya manajemen rasa sakit pasca bedah, komunikasi dengan pasien pada kontak pertama di bagian anak dan a)Proses tindakan klinis, misalnya manajemen rasa sakit pasca bedah, komunikasi dengan pasien pada kontak pertama di bagian anak dan

Hasil Dampak dari pelayanan kesehatan terhadap status kesehatan pasien (apa yang kita harapkan) misalnya pengendalian tekanan darah, penambahan berat badan yang terjadi pada pasien dengan anoreksia, pasca pelayanan.

Sumber informasi/indikator lain untuk topik audit dapat termasuk :

a) Register/daftar risiko b)Informasi tentang kegiatan, misalnya masuknya kembali pasien ke rumah sakit (re-admissions), daftar tunggu

c) Sinyal-sinyal kedaruratan yang terkait dengan pelayanan kita d)Audit nasional, misalnya tentang audit hygiene

e) Analisis umpan balik konsumen, misalnya keluhan, survei kepuasan, focus groups , panel konsumen

f) Laporan audit, inspeksi, kunjungan, misalnya kunjungan kolegium, survei akreditasi, instansi pemberi izin, instansi pembuat peraturan g)Laporan penyelidikan/pemeriksaan nasional atau lokal h)Hasil riset

i) Pertemuan tinjauan mitra bestari j) Pertemuan tentang morbiditas dan mortalitas k)Data dasar klinis, misalnya registri tentang kanker, data dasar kebidanan l) Hasil- hasil evaluasi

m) Data tentang klaim n) Laporan media o) Catatan-catatan tentang pertemuan tim p) Tinjauan tentang laporan pengawasan eksternal, misalnya laporan

akreditasi, laporan otoritas kesehatan dan keselamatan, laporan ombudsman

q) Absensi karena sakit/ pergantian staf (staff turnover) r) Perhatian staf s) Inspeksi visual t) Topik audit keahlian tertentu dari lembaga profesional

Topik apapun yang telah dipilih, merupakan hal yang penting bahwa kita harus mempertimbangkan beberapa hal yang bersifat praktis :

a) Apakah topik yang dipilih realistik

b) Apakah topik ini merupakan masalah yang sesungguhnya

c) Apakah dapat diukur

d) Apakah terdapat standar/kriteria untuk mengukurnya

e) Apakah perubahan dapat dilakukan

f) Apakah upaya yang dibutuhkan dapat diterima

g) Apakah terdapat sumber daya yang cukup untuk menyelesaikan kegiatan audit dan mengimplementasi perubahan

h) Apakah kelompok yang diikutsertakan dalam audit memiliki keahlian yang diperlukan dan semangat

i) Apakah audit ini akan menghasilkan perbaikan yang dapat diukur untuk pengguna pelayanan atau staf

j) Apakah audit ini relevan dengan tujuan bisnis organisasi

Alasan untuk menyelenggarakan audit harus dikaji secara sistematik sebelum kegiatan dimulai untuk menilai prioritasnya. Tidak semua topik dapat secara langsung diaudit, namun setiap bagian dapat merancang penyusunan rencana audit tahunan berdasarkan prioritas audit mereka masing-masing. Merupakan hal yang penting untuk memastikan bahwa pandangan dari pengguna pelayanan, staf klinik, staf pendukung dan para manajer diwakili dalam proses seleksi. Sistem skoring dapat bermanfaat untuk menyusun peringkat topik menurut pentingnya, seperti analisis dampak kualitas (Quality impact analysis) atau menggunakan proses kelompok nominal, proses Delphi atau pemungutan suara ganda (multivoting).

2) Kriteria 2 : Apakah kita akan melakukan Audit atau Riset. Pastikan bahwa kegiatan yang akan kita lakukan adalah audit dan bukan riset.

Pedoman Audit klinik dan riset memiliki peran komplementer guna memastikan efektivitas dan perbaikan mutu namun masing-masing memiliki perbedaan. Harus dipastikan bahwa kegiatan yang akan dilakukan adalah audit klinik karena masing-masing memiliki tujuan dan fungsi sendiri dan khususnya menyangkut perbedaan tanggung jawab etik. Tujuan dari riset adalah memberikan tambahan kepada pengetahuan ilmiah pokok secara umum yang dapat diaplikasikan secara universal, sedangkan tujuan dari audit adalah untuk memelihara dan meningkatkan standar. Riset Pedoman Audit klinik dan riset memiliki peran komplementer guna memastikan efektivitas dan perbaikan mutu namun masing-masing memiliki perbedaan. Harus dipastikan bahwa kegiatan yang akan dilakukan adalah audit klinik karena masing-masing memiliki tujuan dan fungsi sendiri dan khususnya menyangkut perbedaan tanggung jawab etik. Tujuan dari riset adalah memberikan tambahan kepada pengetahuan ilmiah pokok secara umum yang dapat diaplikasikan secara universal, sedangkan tujuan dari audit adalah untuk memelihara dan meningkatkan standar. Riset

Audit Klinik

Riset

Menjawab pertanyaan: Apakah kita Menciptakan pengetahuan baru tentang apa yang mengikuti praktik terbaik

berhasil atau tidak

Ukur dengan standar

Berdasarkan hipotesis

Merupakan rangkaian putaran tinjauan Merupakan rangkaian kegiatan yang selesai sekali dilakukan3

Biasanya Merupakan sampel kecil dalam Lazimnya dikerjakan pada skala besar dalam waktu waktu pendek

panjang

Pemilihan besarnya sample secara Mengumpulkan data yang kompleks pragmatik Mengumpulkan data rutin

Dapat melibatkan pasien yang menerima pengobatan yang sama sekali baru

Tidak melibatkan pasien yang menerima Dapat melakukan eksperimen pada pasien pengobatan yang sama sekali baru

Temuan mempengaruhi aktivitas klinikus Temuan mempengaruhi aktivitas praktik klinis secara dan tim lokal

keseluruhan

Biasanya tidak memerlukan persetujuan Biasanya memerlukan persetujuan etik etik

Dalam keadaan tertentu batas antara audit dan riset kabur dan kegiatan dapat mengandung unsur audit maupun riset. Dalam keadaan seperti ini kita harus segera mengajukan persetujuan etik secara resmi untuk kegiatan ini. Audit klinik merupakan langkah final sebuah program riset klinik yang baik

i.e. audit merupakan rangkaian dengan riset namun tidak paralel dengannya. Audit klinik dapat pula mengidentifikasi riset apa yang diperlukan lebih lanjut.

3) Audit dan Etik Sesuai dengan definisinya audit tidak melibatkan sesuatu hal apapun yang dilakukan terhadap pengguna pelayanan kesehatan diluar manajemen yang biasa dan oleh karena itu tidak memerlukan persetujuan etik formal.

Bagaimanapun kita perlu selalu mempertimbangkan isu etik dalam kegiatan kita.

Pedoman Titik awal dalam membuat pertimbangan etik adalah dengan mengingat bahwa kegiatan audit harus terlaksana dengan baik dan tidak menyebabkan kerusakan. Kegiatan audit tidak perlu secara rutin meminta persetujuan komite etik riset. Komite audit perlu mempertimbangkan hal-hal yang berkaitan dengan etik yang muncul berkaitan dengan kegiatan audit. Bila dijumpai kesulitan dalam mencapai keputusan yang menyangkut etik, komite audit perlu menghubungi dan meminta pendapat komite etik riset setempat (research ethics committee). Pertimbangan pokok dalam kegiatan audit adalah masalah kerahasiaan (confidentiality)- kerahasiaan pasien, kerahasiaan staf dan kerahasiaan organisasi. Isu lain adalah berkaitan dengan izin atau persetujuan (consent). Walaupun persetujuan tidak diperlukan pada saat kegiatan audit sudah dikerjakan oleh anggota tim audit yang terlibat dalam pelayanan pasien, pasien harus diberitahu bahwa data dari rekam medik mereka digunakan dalam audit meskipun secara anonim. Bila audit dikerjakan oleh orang yang bukan profesional pelayanan kesehatan (non healthcare professional) , maka persetujuan dari pasien harus diminta. Pertimbangan etik lain termasuk memastikan bahwa metodologi audit adalah layak dan tepat. Klinisi dan para manajer mempunyai kewajiban untuk menggunakan temuan dari audit untuk memperbaiki pelayanan klinis menuju tercapainya pelayanan terbaik (best practice). Audit merupakan alat yang esensial untuk melakukan perbaikan mutu secara berkelanjutan.

4) Siapa yang menyelenggarakan audit Perlu diambil keputusan dari kelompok pemangku kepentingan yang ada, siapa yang akan menjadi penanggung jawab audit dan siapa yang sesungguhnya akan melaksanakan pekerjaan tersebut. Bila hal tersebut merupakan audit klinik, maka lazimnya para klinisi yang menjadi penanggung jawab audit yang mengumpulkan data yang diperlukan.

Pedoman Pilih seorang anggota tim menjadi koordinator/pemimpin kegiatan audit dengan tanggung jawab untuk manajemen kegiatan audit keseluruhan. Staf pelaksana mungkin diperlukan untuk membantu mencari dan mencatat data.

5) Menetapkan tujuan audit Kriteria : Tujuan audit harus ditetapkan dan disepakati oleh kelompok yang akan melakukan audit. Perlu didokumentasikan menggunakan form proposal audit.

Pedoman Tujuan harus dapat diukur dan dapat dicapai sesuai dengan strategi dan tujuan program audit dan organisasi secara keseluruhan. Sekali topik dipilih, maka anggota tim audit perlu menyepakati tujuan dari audit. Pada awal dimulainya kegiatan audit diperlukan kejelasan kegunaan audit yang akan dilakukan, dengan bertanya kepada diri sendiri : - Apakah yang ingin saya ketahui dengan melakukan audit ini - Apakah yang akan saya capai dengan melakukan audit ini

Untuk mempermudah merumuskan tujuan, model SMART dapat membantu. Tujuan yang ditetapkan haruslah : - Spesifik (Specific) - Dapat diukur (Measurable) - Dapat dicapai (Achieveable) - Relevan (Relevant) - Tepat waktu (Timely)

Dianjurkan beberapa katakerja dibawah ini dapat berguna dalam merumuskan tujuan sebuah audit : - Memperbaiki (to improve), misalnya : memperbaiki keamanan peresepan

obat - Meningkatkan (to enhance), misalnya : meningkatkan kualitas pelayanan pasien dengan memperbaiki penilaian rasa sakit, meningkatkan kecepatan pemberian pertolongan mengatasi rasa sakit dan penggunaan obat analgesik yang tepat

- Memastikan (to ensure), misalnya : memastikan bahwa setiap bayi memiliki akses imunisasi terhadap difteri, tetanus, pertusis, polio, influenza B dan meningitis C sebelum berumur 6 bulan

- Mengubah (to change), misalnya : mengubah dan memperbaiki cara membuat perjanjian pasien.

6) Manajemen Kegiatan Audit Kriteria : Sebuah rencana proyek audit harus dikembangkan dimana secara eksplisit menetapkan kegiatan yang diusulkan pada penyelesaian siklus audit menyangkut topik atau dalam bidang apa, tetapkan waktu 6) Manajemen Kegiatan Audit Kriteria : Sebuah rencana proyek audit harus dikembangkan dimana secara eksplisit menetapkan kegiatan yang diusulkan pada penyelesaian siklus audit menyangkut topik atau dalam bidang apa, tetapkan waktu

4. Tahap 2 : Memilih Kriteria Kriteria : Semua kegiatan audit harus memiliki kriteria yang disepakati dalam mengukur. Kriteria ini harus berasal dari bukti/kenyataan- baik dari pedoman-pedoman yang berkualitas, tinjauan-tinjauan literatur atau bila hal ini tidak ada, dapat menggunakan konsensus nasional atau lokal. Langkah berikutnya berkaitan dengan menyetujui standar dimana dalam kebanyakan kasus harus 100% atau 0% dengan mencantumkan daftar perkecualian.

Pedoman Bila topik telah dipilih, maka kriteria yang valid untuk mengevaluasi dan standar kinerja harus dipilih. Kriteria dapat diklasifikasikan dalam hubungannya dengan :

a. Struktur (apa yang kita perlukan) Contoh dari kriteria yang berhubungan dengan dengan struktur adalah jumlah staf dan keahlian yang diperlukan, penyediaan peralatan dan ruangan

b. Proses ( apa yang akan dikerjakan) Kriteria proses menunjuk kepada kegiatan-kegiatan dan keputusan- keputusan yang diambil oleh praktisi dan para pengguna. Sebagai contoh adalah penilaian tentang pendidikan, dokumentasi, peresepan, intervensi bedah dan terapeutik.

c. Hasil (apa yang diharapkan) Kriteria hasil adalah mengukur respons fisik atau perilaku terhadap sebuah intervensi, status kesehatan yang dilaporkan, tingkat pengetahuan dan kepuasan. Malahan kadang-kadang digunakan indikator pengganti atau hasil antara. Kriteria dan standar adalah dua istilah yang dapat menyebabkan kebingungan. Mungkin contoh dari bidang olahraga dapat membantu : - Kriteria : seorang atlit bisa jadi atlet lompat tinggi - Standar atau tingkat penampilan adalah : tingginya palang

Tabel dibawah ini memperlihatkan hubungan antara kriteria dan dan standar dalam audit klinik :

Kriteria : Standar target : Pemberian diuretik pada pasien dengan 100% pasien mencapai pelayanan gagal jantung tingkat ini

Terdapat fasilitas yang cukup untuk 100% area kebersihan tangan misalnya 1 baskom untuk setiap 6 tempat tidur atau area tertutup

Pemakaian kriteria yang obyektif dengan standar kinerja yang disepakati merupakan ciri yang sangat penting dari audit klinik. Kriteria dan tingkat kinerja harus dapat diukur dan dapat diterima oleh para pemangku kepentingan yang terlibat dalam audit. Kriteria-kriteria ini merupakan pernyataan-pernyataan eksplisit yang menetapkan apa yang akan diukur, misalnya : - Tanggal, batch vaksin dan jumlah vaksin yang diberikan harus dimasukkan dalam catatan pasien. Kriteria yang ditetapkan secara tidak cermat akan menyesatkan. Terdapat 4 syarat bahwa kriteria yang ditetapkan adalah baik dan valid, yaitu :

1) Relevan

2) Didefinisikan/ditetapkan dengan jelas

3) Dapat diukur dengan mudah

4) Berdasarkan bukti/kenyataan

Tabel dibawah ini memperlihatkan hubungan antara kriteria dan standar dalam audit klinik :

Kriteria : Standar target :

Tanggal, batch vaksin dan jumlah vaksin 100% yang diberikan harus dimasukkan dalam catatan pasien

Beberapa kriteria begitu penting sehingga tingkat kinerja atau standar yang dipilih harus dicapai setiap saat, seperti disebutkan dalam contoh sebelumnya.

Beberapa saran tentang kriteria sumber-sumber informasi: - Kolegium atau lembaga profesi - Literatur - Organisasi-organisasi yang mengembangkan pedoman, misalnya NICE,

SIGN (Scottish Intercollegiate Guidelines Network) - Kepustakaan nasional atau internasional - Kebijakan dan prosedur nasional dan lokal/setempat - Ketentuan peraturan perundang-undangan - Pedoman klinik - Dikembangkan sendiri

Kriteria harus berbasis kepada hasil riset dan kenyataan/bukti yang terbaru. Pencarian literatur yang kita lakukan akan memberi gagasan tentang kriteria dan standar apa yang direkomendasikan secara internasional dan nasional. Bila kriteria tidak diperoleh, dapat dibuat kriteria berbasis konsensus lokal. Dalam keadaan apapun semua standar harus disepakati oleh anggota- anggota tim.

Kalau pencarian dan atau melakukan tinjauan literatur dikerjakan sebelum standar disepakati, kita perlu mengikuti langkah-langkah pendekatan ke Pelayanan Kesehatan Berbasis Bukti/Kenyataan sebagai berikut :

-Mengubah kesenjangan pengetahuan ke pertanyaan yang dapat dijawab -Mencari dan menemukan bukti/kenyataan terbaik dengan menggunakan

database yang sesuai dan sumber bukti/kenyataan lain -Melakukan penilaian dengan kritis bukti/kenyataan yang ada -Menggunakan bukti/kenyataan tersebut

5. Tahap 3 : Mengukur Kinerja

a. Kriteria : Metodologi audit harus sesuai dengan tujuan audit dan kriteria yang akan diukur

Pedoman Metodologi audit harus secara tegas ditetapkan dan semua pihak yang terlibat harus mengetahui. Metoda yang digunakan harus didokumentasikan dengan jelas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dimasa depan serta agar dapat mereplikasi audit ditempat lain atau pada tahap mengaudit ulang (re-audit stage).

Beberapa isu yang perlu dipertimbangkan adalah :

1)Peralatan pengumpul data (data collection tool) dan protokol untuk

mengumpulkan data biasanya diperlukan, kecuali kita dapat membuat laporan audit dari sebuah database.

Hal ini akan memastikan validitas dan realibilitas dari temuan, karena

bisa saja terjadi tidak selalu staf yang terlibat yang mengumpulkan data. Peralatan pengumpul harus disusun dari pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan tujuan dan kriteria yang spesifik. Jangan mengumpulkan informasi yang tidak ada hubungannya dengan audit hanya karena hal tersebut menarik. Lihat Lampiran 3 tentang Cara terbaik untuk mengembangkan peralatan pengumpul data audit. Pemanduan perlu dilakukan untuk mengecek apakah peralatan tersebut dapat mengumpulkan informasi yang diperlukan bila kriteria dipenuhi atau tidak.

2)Dimana mencari data Apakah data yang akan dikumpulkan secara rutin ada dalam catatan pasien atau database ? Bila demikian kita dapat melakukan audit retrospektif (mengumpulkan data masa lalu). Meskipun data dari rekam medik sering kali digunakan, namun sering kali tidak lengkap. Mengumpulkan data dari berbagai sumber dapat mengatasi masalah ini. Sumber-sumber penting yang yang patut dipertimbangkan adalah – Rekam medik pasien, Laporan laboratorium, Catatan obat, Laporan radiologi, Sistem administrasi pasien, Sistem pencarian keterangan tentang pasien rawat inap di rumah sakit (Hospital Inpatient Enquiry System -HIPE) , Catatan tentang praktik umum, Catatan tentang pelayanan kesehatan komunitas. Bila tidak, maka kita perlu melakukan data secara prospektif (seperti kapan pasien baru datang). Dalam keadaan ini kita memerlukan membutuhkan staf/keluarga pasien/pasien untuk melengkapi peralatan pengumpulan data. Metoda prospektif lain dalam pengumpulan data adalah melakukan observasi terhadap perilaku misalnya mencuci tangan. Bentuk pengumpulan data ini memiliki tantangan tersendiri, antara lain memakan waktu panjang, data yang terkumpul tidak selalu lengkap dan ketepatannya perlu dipastikan. Sistem informasi elektronik dapat berperan dalam audit dengan berbagai cara, termasuk memperbaiki akses terhadap bukti riset, mengidentifikasi pengguna pelayanan kesehatan, mengumpulkan data dan memungkinkan sistem pelayanan yang sudah direvisi untuk diperkenalkan.

3)Pengumpulan sampel Audit sering melibatkan pemilihan besarnya sampel audit secara pragmatik. Bila tidak ada keterbatasan sumber daya, seluruh populasi dapat di audit. Bagaimanapun bila jumlah pasien pada populasi lebih dari 100 orang, mungkin kita menginginkan mengambil sampel dari pasien- pasien tersebut. Hal ini hanya akan memberikan kita pandangan sekilas (snapshot) belaka, apakah standar dipenuhi atau tidak. Bila memilih sampel kita perlu mengajukan 2 pertanyaan yang perlu dijawab : - Berapa banyak pengguna pelayanan kesehatan yang perlu kita pilih? - Bagaimana kita memilih sampel yang representatif ?

Jumlah sampel yang diperlukan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu : - Tingkat kepercayaan yang dikehendaki dalam temuan - Keterbatasan sumber daya (waktu, staf, akses terhadap data, biaya).

Audit klinik tidak perlu melibatkan pengumpulan data yang ekstensif. Audit bukanlah riset dan tidak membutuhkan jumlah kasus yang besar. Ini merupakan keseimbangan antara apa yang praktis untuk dikumpulkan dan apa yang akan mengkonfirmasi tingkat kinerja dibandingkan dengan standar. Sebagai contoh : - Jumlah sampel sebanyak 40-60 kasus adalah praktis, dapat

dikumpulkan dalam waktu tidak terlalu lama dan biasanya memungkinkan dilakukan perbandingan yang berarti antara praktik saat ini dengan standar yang disepakati.

- Jenis kasus yang dimasukkan dan dikeluarkan harus ditetapkan dan disepakati oleh seluruh pemangku kepentingan sebelum pengumpulan data dimulai dan harus terkait dengan kriteria yang sudah dipilih.

Batas waktu yang ditetapkan untuk mengumpulkan data juga perlu ditetapkan sebelum dimulainya pengumpulan data. Hal ini akan dipengaruhi oleh : - Jumlah dan jenis kasus - Kriteria pemasukan dan pengeluaran - Target penyelesaian audit

Terdapat banyak jenis cara membuat sampel namun yang sering digunakan adalah pengumpulan sampel secara acak (random sampling) atau convenient sampling.

Pengumpulan sampel secara acak yang sederhana melibatkan pemilihan secara acak dari sebuah daftar penduduk untuk memperoleh sejumlah orang untuk mejadi sampel. Metoda undian, tabel bilangan acak (random number tables ) atau komputer dapat digunakan. Ini akan memberikan kesempatan yang sama kepada setiap orang untuk diikutkan dalam sampel. Sistem Pencarian Keterangan Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit menyediakan fasilitas untuk pemilihan sampel pasien secara acak dari daftar penduduk.