BAB II MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN 2.1 Geografis Kota Medan - Analisis Fungsi Dan Struktur Musikal Gordang Sambilan Dalam Upacara Adat Perkawinan Mandailing Di Kota Medan
BAB II MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN
2.1 Geografis Kota Medan
Sebagai salah satu daerah otonom berstatus kota di Provinsi Sumatera Utara, kedudukan, fungsi dan peranan Kota Medan cukup penting dan strategis secara regional. Bahkan sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan sering dijadikan sebagai barometer dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintah daerah di seluruh Indonesia.
Secara geografis, Kota Medan memiliki kedudukan strategis, sebab berbatasan langsung dengan Selat Melaka di bagian utara, sehingga relatif dekat dengan kota-kota di negara tetangga seperti Pulau Penang Malaysia. Demikian juga secara demografis, Kota Medan diperkirakan memiliki pangsa pasar barang/jasa yang relatif besar. Hal ini tidak terlepas dari jumlah penduduknya yang relatif besar dimana tahun 2010 diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa. Demikian juga secara ekonomis dengan struktur ekonomi yang didominasi sektor tertier dan sekunder, Kota Medan sangat potensial berkembang menjadi pusat perdagangan dan keuangan regional/nasional.
Letak geografis Kota Medan adalah 3 30 – 3
43 LU, dan 98 35’-98 44’
2 BT. Luas Kota Medan saat ini adalah ± 265,10 km . Kota Medan memilki
perbatasan yaitu: Sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka, - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua dan Pancur - (Kabupaten Deli Serdang).
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sunggal (Kabupaten Deli - Serdang), dan Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Percut Sei Tuan dan - Tanjung Morawa di Kabupaten Deli Serdang (sumber: www.wikipedia.or.id).
Kota Medan, keberadaannya didukung oleh beberapa wilayah kecamatan serta kelurahan. Adapun kecamatan yang terletak di Kota Medan yaitu Kecamtatan Medan Helvetia, Kecamatan Medan Barat, Kecamatan Medan Petisah, Kecamatan Medan Perjuangan, Kecamatan Medan Tembung, Kecamatan Medan Area, Kecamatan Medan Maimun, Kecamatan Medan Polonia, Kecamatan Medan Selayang, Kecamatan Medan Tuntungan, Kecamatan Medan Johor, Kecamatan Medan Amplas, Kecamatan Medan Denai, Kecamatan Medan Baru, Kecamatan Polonia.
Secara geografi Medan didukung oleh daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Deli Serdang, Labuhan Batu, Simalungun, Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Karo, Binjai. Kondisi ini menjadikan Kota Medan secara ekonomi mampu mengembangkan berbagai kerjasama dan kemitraan yang sejajar, saling menguntungkan dan saling memperkuat daerah-daerah sekitarnya.
2.1.1 Demografi
Kota Medan terdiri dari beberapa etnis yang mendiaminya namun ada beberapa suku yang lebih dominan dan lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan suku atau etnis-etnis lain yaitu: Melayu, Jawa, Batak (Toba, Karo, Simalungun, Mandailing-Angkola,), Nias, dan Tionghoa.
Penduduk Kota Medan memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka. Secara Demografi, Kota Medan pada saat ini juga sedang mengalami masa transisi demografi. Kondisi tersebut menunjukkan proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi menuju keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian semakin menurun.
Berbagai faktor yang mempengaruhi proses penurunan tingkat kelahiran adalah perubahan pola fakir masyarakat dan perubahan sosial ekonominya. Di sisi lain adanya faktor perbaikan gizi, kesehatan yang memadai juga mempengaruhi tingkat kematian. Dalam kependudukan dikenal istilah transisi penduduk. Istilah ini mengacu pada suatu proses pergeseran dari suatu keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian tinggi ke keadaan dimana tingkat kelahiran dan kematian rendah. Penurunan pada tingkat kelahiran ini disebabkan oleh banyak factor, antara lain perubahan pola berfikir masyarakat akibat pendidikan yang diperolehnya, dan juga disebabkan oleh perubahan pada aspek sosial ekonomi. Penurunan tingkat kematian disebabkan oleh membaiknya gizi masyarakat akibat dari pertumbuhan pendapatan masyarakat. Pada tahap ini pertumbuhan penduduk mulai menurun.
Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural.
Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.
Pada akhir proses transisi ini, baik tingkat kelahiran maupun kematian sudah tidak banyak berubah lagi, akibatnya jumlah penduduk juga cenderung untuk tidak banyak berubah, kecuali disebabkan faktor migrasi atau urbanisasi. Komponen kependudukan lainnya umumnya menggambarkan berbagai berbagai dinamika sosial yang terjadi di masyarakat, baik secara sosial maupun kultural.
Menurunnya tingkat kelahiran (fertilitas) dan tingkat kematian (mortalitas), meningkatnya arus perpindahan antar daerah (migrasi) dan proses urbanisasi, termasuk arus ulang alik (commuters), mempengaruhi kebijakan kependudukan yang diterapkan.
Berdasarkan data kependudukan tahun 2010, penduduk Medan saat ini diperkirakan telah mencapai 2.712.236 jiwa, dengan wanita lebih besar dari pria.
Sedangkan penduduk tidak tetap diperkirakan mencapai lebih dari 566.611 jiwa, yang merupakan penduduk komuter. Dengan demikian Medan merupakan salah satu kota dengan jumlah penduduk yang besar. Kota Medan terdiri dari 21 Kecamatan dan 151 Kelurahan. Selain itu, Kota Medan juga merupakan daerah perkotaan yang dihuni oleh berbagai etnis dengan latar belakang yang berbeda.
Kondisi Kota Medan yang heterogen ini, mengakibatkan banyaknya timbul organisasi-organisasi yang berdasarkan etnis (BPS Kota Medan 2011).
2.1.2 Identifikasi Kelurahan Sitirejo I Medan Amplas
Pada identifikasi Kelurahan Sitirejo I Kecamatan Medan Amplas ini merupakan pusat atau objek penelitian penulis karena di daerah ini penulis melakukan penelitian dengan meliputi acara pesta perkawinan salah satu masyarakat Mandailing yang tinggal dan menetap di Kota Medan.
Secara geografis Kelurahan Sitirejo I Medan Amplas dengan batas-batas sebagai berikut.
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Teladan Barat, Kecamatan Medan Kota.
b. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kelurahan Sitirejo II, Kecamatan Medan Amplas.
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kelurahan Sudirejo I, Kecamatan Medan Kota.
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Medan Maimun.
Adapun luas Kelurahan Sitirejo adalah 0,45 km2 dengan perincian sebagai berikut: luas pemukiman 0, 39 km2, luas pekarangan 0. 2 km2, luas perkantoran : 0, 2 km2, luas prasarana umum lainnya 0, 2 km2 . Dapat diketahui total dari penduduk di Kelurahan Sitirejo I yaitu 11. 274 orang, yang terdiri dari 5.377 jiwa penduduk laki-laki dan 5.897 jiwa penduduk perempuan yang tersebar di 17 lingkungan yang ada di Kelurahan Sitirejo I.
2.2 Karakteristik Masyarakat Mandailing di Kota Medan
Pemilihan lokasi dalam penelitian ini didasarkan atas beberapa hal, seperti sejarah lokasi, letak strategis lokasi. Adapun pemilihan penelitian ini juga memperlihatkan karakteristik masyarakat Mandailing di Kota Medan, adapun karakteristik dalam hal ini dimaksudkan sebagai suatu penjelasan mengenai seberapa jauh masyarakat Mandailing di Kota Medan dalam memandang dan melakukan budayanya dalam kehidupan sehari-hari.
Karakter Mandailing dalam penelitian ini dibagi atas beberapa yaitu, (1) karakter masyarakat Mandailing yang masih memegang adat budaya Mandailing sesuai dengan adat Mandailing asli tanpa berusaha menggabungkan adat budaya lain yang berada di sekitarnya dimana ia tinggal, (2) karakteristik masyarakat Mandailing yang memegang adat budaya Mandailing dan berproses menggabungkannya dengan budaya lain yang berada di tempat mereka tinggal, (3) karakteristik masyarakat Mandailing yang tidak mengenal adat budaya Mandailing dan memegang budaya lain seperti budaya Toba, Melayu, dan kebudayaan lain yang ada dalam lingkungan dimana ia tinggal.
Adapun indukator yang dapat menuntun penelitian ini untuk mendapatkan setidaknya gambaran umum mengenai kebudayaan Mandailing yang tinggal di berbagai wilayah di Kota Medan mengenai karakteristik masyarakatnya. Adapun indikator karakteristik masyarakat Mandailing di Kota Medan sebagai berikut: linguistik, sosial dan budaya. Indikator linguistik berkaitan dengan penggunaan bahasa daerah (bahasa Mandailing) dalam bentuk kehidupan sehari-hari, setidaknya penggunaan bahasa daerah dapat memberi sedikit gambaran mengenai kehidupan masyarakat Mandailing pada daerah penelitian ini, sedangkan indikator sosial adalah indikator yang berusaha menangkap perilaku, cara pandang masyarakat Mandailing di Kota Medan seperti apakah mereka masih menggunakan dan melakukan adat budaya Mandailing di Kota Medan. Indikator ketiga adalah budaya, indikator ini berhubungan dengan indikator sebelumnya yaitu linguistik dan sosial.
Melalui penjelasan tentang indikator yang diatas dan digunakan untuk memberikan gambaran mengenai karakteristik masyarakat Mandailing diberbagai lokasi penelitian di Kota Medan, adapaun hasil dari penggunaan indikator ini adalah sebagai berikut.
Pada daerah Medan Maimun dari observasi dan wawancaran penulis kepada informan didapatkan hasil bahwa kehidupan masyarakat Mandailing di lokasi ini memiliki karakteristik masyarakat Mandailing yang sudah berpikir dan bertindak sesuai dengan lingkungan sekitar dalam hal ini dijelaskan bahwa kehidupan masyarakat tersebut masih memegang budaya Mandailing dan berusaha untuk menerima budaya lain yang terdapat di sekitar tempat tinggal mereka. Hal ini disebabkan kehidupan pada daerah tersebut memiliki tingkat penduduk yang tinggi dan intesitas pergaulan yang tinggi serta faktor heterogenitas penduduk di lokasi tersebut.
Di daerah Medan Barat, karakteristik masyarakat Mandailing pada daerah ini adalah karakteristik masyarakat yang masih memegang adat budaya Mandailing dan tidak tertutup kemingkinan untuk menerima budaya dari luar budaya Mandailing, hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya dalam strategi sosialisasi dengan masyarakat dengan budaya yang berbeda.
Di Medan Denai, karakteristik masyarakat Mandailing yang menjadi bagian masyarakat daerah tersebut adalah karakteristik masyarakat yang memegang adat budaya Mandailing dan berusaha untuk mempertahankan adat budaya mereka dalam lingkungan kehidupannya. Salah satunya terlihat pada tindakan mereka yang selalu didasarkan pada aturan adat maupun kebiasaan yang mereka ketahui dari daerah asal mereka, hal ini disebabkan pada daerah ini masyarakat Mandailing mendominasi pada daerah tersebut.
2.3 Asal Usul Orang Mandailing
Masyarakat Mandailing yang mendiami kota Medan tidak terlepas dengan asal muasal oleh leluhurnya yang bertempat tinggal di Wilayah Mandailing.
Masyarakat Mandailing diduga sudah ada pada ribuan tahun yang lalu. Menelusuri latar belakang masuknya penduduk didaerah Mandailing beberapa pendapat orang berbeda-beda, dan pendapat berbeda itulah bila tidak didukung dengan fakta – fakta tertulis, seperti prasasti-prasasti tentu tidak mudah untuk mempertanggungjawabkannya. Penulis mengambil beberapa pendapat mengenai asal usul Masyarakat Mandailing sebagai bahan informasi mengenai asal usul nama daerah Madailing dan masyarakatnya. Memungkinkan bahwa Wilayah Mandailing pada zaman Kerajaan Majapahit mempunyai masyarakat secara homogen, yaitu masyarakat yang tumbuh dan terhimpun dalam suatu Ketatanegaraan Kerajaan dalam Kebudayaannya. Terbukti dari ekspansi pasukan Kerajaan Majapahit pada sekitar tahun 1287 Caka (365 M). dimana salah satu syairnya disebut nama Mandailing. Adapun syair tersebut yaitu: “Lwir ning nusa
pranusa pramuka sakahawat ksoniri malayu/ning jambi, mwang Palembang karitang I teba len dharmamacraya tumut/kandis kahwas manangkabwa ri siyak rekan Kampar mwang I pane/ kampe harw athawe mandailing I tumihang parilak mwang I babrat.”
Sebagai mana terlihat pada teks tersebut ekspansi Kerajaan Majapahit ke Malayu di Sumatera merata sejak Jambi, Palembang, Muara Tebu, Darmasraya.
Minangkabau, Siak. Rokan, Kampar, Panai, Pulau Kampar, Haru, Mandailing. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nama Mandailing sudah terlukis pada syair ke 13 Negarakertagamanya Propanca yang agung seperti tersebut di atas. (Mhd. Arbain Lubis Ha 11-24)
Menurut ulasan dari seorang tokoh budaya Mandailing, Z. Pangaduan Lubis, yang juga dosen Fakultas Sastra USU atau sekarang Ilmu Budaya USU Medan, dalam bukunya Kisah Asal-Usul Mandailing (1986:4-6), mengatakan selanjutnya bahwa di dalam tonggo-tonggo (doa) terdapat kata-kata: “di situlah (di Tanah Mandailing) bertamasya Si Boru Deakparujar.” Dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa kemungkinan sekali justru di Tanah Mandailing itu pula Si Boru Deakparujar turun dari kayangan. Dapat diketahui bahwa Deakparujar adalah tokoh mitologi dalam Kebudayaan Toba-Tua. Selanjutnya menurut mitologi Si Boru Deakparujar adalah Puteri Debata Mulajadi Nabolon yang dititahkannya turun dari Benua ke Benua Tengah membawa sekepal tanah untuk menempa bumi di atas lautan. Tonggo-Tonggo Si Boru Deakparujar merupakan Kesusasteraan Toba Tua yang klasik yang terdiri dari 10 pasal sebagai dasar atau sumber dari falsafah masnyarakat dan kerohanian dari dalihan na tolu.
Dada Meuraxa mengatakan di dalam bukunya Sejarah Kebudayaan
Sumatera (974:349) menyatakan bahwa kata Mandailing ada yang menduga
berasal dari perkataan Mande Hilang dalam bahsa Minangkabau perkataan tersebut berarti Ibu yang Hilang. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada yang menyangka nama Mandailing berasal dari perkataan “Mundahilang” yang berarti “Munda yang Mengungsi.” Dalam hubungan ini disebut bahwa bangsa Munda yang berada di India pada masa yang silam melakukan pengungsian kepada mereka terdesak oleh Bangsa Aria. Slamet Mulyana dalam bukunya Asal Bangsa
dan Bahasa Indonesia (1964:140) mengatakan sebagai berikut: “sebelum
kedatangan Bangsa Aria, Bangsa Munda menduduki India Utara. Karena desakan bangsa Aria, maka bangsa Munda menyingkir ke selatan yang terjadi sekitar 1500 SM.”
Pada waktu perpindahan bangsa Munda dari India Utara ke Asia Tenggara oleh karena terdesak bangsa Aria. Diduga ada sebagian yang masuk ke Sumatera.
Dengan melalui Pelabuhan Barus pantai barat Sumatera mereka meneruskan perjalanan sampai ke suatu daerah yang kemudian disebut dengan Mandailing, yang berasal dari perkataan Mundahiling yang berarti Munda yang Mengungsi
Di dalam buku yang dikemukakan oleh pengarangnya Mangaraja Lelo Lubis bahwa menurut orang tua, nama Mandailing berasal dari perkataan “Mandala Holing”. Pada zaman dahulu kala Mandala Holing adalah sebuah kerjaan yang menguasai daerah mulai dari Portibi di Gunung Tua Padang Lawas sampai ke daerah Pidoli di Mandailing. Semua pusat kerajaan ini terletak di Portibi Gunung Tua, tenpat dimana banyak ditemukan Candi-candi Purba. Oleh karena serangan Kerajaan Majapahit, kemudian pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Piu Delhi dimana kemudian hari kota ini dikenal dengan nama
Pidoli di daerah Mandailing (didekat Kota Panyabungan yang sekarang). Terbukti
terdapat candi-candi purba pada waktu silam didaerah Pidoli tetapi hancur oleh pasukan islam dibawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu.
Masyarakat Mandailing digolongkan kedalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua), yang mempunyai persamaan dengan Suku Toba, Simalungun, Karo, dan Pakpak-Dairi. Adapun persamaan itu bisa dilihat pada bahasa dan adat- istiadatnya. Kelompok Proto ini berasal dari Tiongkok Selatan, dan berpindah di wilayah Indonesia yang kemungkinan terjadi pada abad 7 atau ke 8 SM. Dan dari cici-ciri khas bentuk fisik dan temperamen, bahwa nenek moyang suku-suku bangsa termasuk rumpun Proto Melayu (Emilkam Tambunan, 1982:33).
Apa yang telah diuraikan baik pendapat Dada Meuraxa, Emilkam Tambunan, Slamet Mulyana sudah tersusun di dalam buku Z. Pangaduan Lubis berjudul Kisah Asal-usul Mandailing (1986:6-10) Dengan pejabarannya yang luas dan yang berhubungan antara satu dengan yang lain dan berdasarkan metode- metode yang absah kiranya dapat dicatat bahwa asal usul nama Mandailing yang murni sudah terbuka lebar, untuk mengungkapkan dan membuktikan kembali nama Mandailing yang harum semenjak dari ribuan yang silam.
2.4 Sistem Religi dan Agama
Pada masa sekarang ini masyarakat Mandailing umumnya menganut agama Islam. Ada pula yang menganut agama Kristen. Nenek moyang mereka sebelum masuknya agama Islam maupun Kristen masih mempercayai animisme atau dikenal dengan Pelebegu (suatu pemujaan terhadap roh nenek moyang).
Ajaran religi tersebut mengakui adanya bermacam makhlus halus dan kekuatan- kekuatan gaib yang dapat menimbulkan pengaruh buruk, misalnya penyakit dan mala petaka atas diri manusia (Parlaungan Ritonga 1997:10).
Di dalam pelaksanaan upacara ritual (animisme), biasanya dipimpin oleh seorang yang sudah ahli ilmu gaib dan bukan orang sembarangan. Orang itu adalah orang yang mengetahui tentang doa-doa yang harus disampaikan kepada leluhurnya atau disebut dengan Si Baso. Nenek moyang orang Mandailing masa animisme dahulu mempercayai Si Baso sebagai perantara komunikasi dengan roh-roh nenek moyang yang dapat turun ke bumi dengan memberi berkah atau sebaliknya.
Sistem animisme ini mulai terhapus sekitar tahun 1820 sejak agama Islam masuk ke Mandailing yang dibawa oleh Kaum Padri dari Minangkabau. Ajaran yang dibawa langsung oleh Kaum Padri ini adalah ajaran Agama Islam aliran Wahabiah, yang dipandang “keras” dalam masalah bid’ah. Mereka tidak kompromi dengan masyarakat dan pemuka adat Mandailing. Siapa saja yang tidak mau masuk ke agama Islam akan menjadi budak kepada Kaum Padri. Lama- kelamaan masyarakat Mandailing menerima agama Islam, dan akhirnya agama Islam menjadi berkembang di seluruh daerah Mandailing.
Setalah Masyarakat Mandailing memeluk agama Islam, membawa pengaruh terhadap upacara-upacara animisme. Karena agama Islam melarang setiap kaumnya berhubungan dengan roh-roh yang dipuja pada upacara ritual tersebut, karena dianggap bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Sekitar tahun 1839 agama Kristen mulai masuk ke daerah Mandailing yang dibawa oleh para pendeta. Masyarakat Mandailing tidak banyak yang menganut agama Kristen karena telah terlebih dahulu menganut agama Islam.
2.5 Bahasa
Bahasa Mandailing merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipergunakan oleh suku Batak Mandailing yang sebagaimana bahasa tersebut dapat dipakai didaerah Mandailing maupun daerah perantauan yang digunakan sebagai media komunikasi diantara sesama Etnis Mandailing. Menurut H.
Pandapotan Nasution (2005:14-15) mengungkapkan bahwa sesuai pemakainya bahasa Mandailing terdiri dari 5 tingkatan, yaitu sebagai bertikut.
1. Bahasa adat (bahasa pada waktu upacara adat),
2. Bahasa andung (bahasa waktu bersedih),
3. Bahasa parkapur (bahasa ketika di hutan),
4. Bahasa na biaso (bahasa sehari-hari), dan
5. Bahasa bura (bahasa waktu marah atau kasar).
Pertuturan bahasa Mandailing masih dipergunakan pada saat tertentu, misalnya dalam upacara peradatan, arisan, perkumpulan keluarga, atau perkumpulan marga, dan lainnya. Walau demikian, bahasa Mandailing tentu saja akan mengikuti perubahan dan kontinuitas kebudayaan yang dipengaruhi oleh kebudayaan di sekitarnya, nusantara, dan dunia.
2.6 Sistem Kekerabatan Masyarakat Mandailing
Sistem kekerabatan adat istiadat Mandailing masih memegang pada adat istiadat yang disebut dengan markoum marsisolkot. Adat-istiadat ini sudah disempurnakan atas pihak-pihak yang untuk dapat disatukan menjadi hidup berdampingan rukun dan damai. Karena dari arti dan makna markaoum adalah
berkaum atau famili dekat. Meskipun ia dari orang yang jauh atau orang yang
tidak perna dikenal. Sedangkan marsisolkot artinya mendekatkan yang sudah dekat, artinya masih satu marga atau suku dari satu nenek moyang.
Adat-istiadat markoum masrsisolkot di Mandailing sudah disepakati untuk dipakai kepada masyarakatnya, baik dalam upacara siriaon (upacara suka cita) ataupun upacara siluluton (upacara duka cita). Dikatakan bahwa adat-istiadat yang berdasarkan markoum marsisolkot yang tertuang dalam beberapa lembaga adat yaitu: (1) patik, (2) ugari, (3) uhum, dan (4) hapantunon.
Patik adalah peraturan adat yang tidak boleh dilanggar, jika dilanggar akan
dihukum, sebagaiman patik sebagai peraturan yang dipakai untuk pedoman agar semua kegiatan dalam kehidupan dapat menciptakan kasih sayang , atau tidak menimbulkan pertentangan atau pergesekan kepada masyarakat. Ugari adalah kebiasaan yang diangkat seperti peraturan. Jadi adat kebiasaan yang diadatkan dari suatu daerah tidak merusak adat.
Selanjutnya uhum adalah sanksi hukum terhadap perlanggaran atas peraturan seperti patik, ugari, dan hapantunon. Uhum atau sanksi pelanggaran itu bertingkat-tingkat mulai dari teguran, denda, pasung, diusir dari kampong, dan kepada hukuman mati.
Hapantunon adalah salah satu adat istiadat yang bertujuan memperhalus
hubungan manusia atau dengan manusia yang lain. Hapantunon memberikan kepada masyarakat maupun keluarga yang mempelajari etika pergaulan ataupun etika dalam bergaul sehari-hari atau dalam ikatan keluarga di dalam pertuturon.
Adat-istiadat markaoum marsisolkot ini belakang hari dikatakan orang juga sebagai dalihan na tolu . Dalihan artinya batu tungku, dan na tolu artinya
yang tiga, maksudnya ketiga batu ini menjujung satu wadah atau satu adat. Yakni
tiga unsur kelompok yang berbeda menjujung satu wadah adat Mandailing, yang terdiri dari kahanggi, anak boru, dan mora. Kahanggi adalah kelompok yang terdiri dari pihak kita sendiri yang bersaudara kandung dan ditambah dengan kelompok yang sesame satu marga. Unsur kahanggi juga termasuk saama-saibu (seayah dan seibu), saompu (satu nenek), saparaman (satu bapak), sabana (seketurunan), sapangupaan (kakek bersaudara kandung), dan sakahanggi (orang- orang satu marga dalam satu kampung).
Anak Boru adalah tempat pemberian anak-anak gadis dari kelompok kita
tadi. Atau kelompok kerabat yang menerima anak gadis dari pihak mora. Dan biasanya pihak keluarga anak boru hormat kepada pihak moranya. Di sisi lain,
mora adalah kelompok saudara-saudara dari istri-istri dari pihak kita atau tempat pengambilan anak-anak gadis dalam perkawinan.
Dari hasil keputusan musyawarah dari ketiga kelompok inilah atau dari pihak kahanggi, anak boru, dan mora terciptanya adat Mandailing yang dikatakan adat markoum marsisolkot. Apabila salah satu kelompok diantaranya tidak diikut sertakan, maka upacara adat Mandailing yang berdasarkan adat-istiadat markoum
marsisolkot tidak tercipta, atau dengan perkataan lain dibatalkan sama sekali.
Di Mandailing menganut Marga yang diturunkan melalui dari marga ayah atau disebut dengan patrilineal. Orang-orang yang atau garis keturunan patrilineal ini di daerah Mandailing dikelompokan menjadi marga yang dimaksud sama dengan clan. Adapun marga yang terdapat di Mandailing yaitu (a) Nasution, (b)
Lubis, (c) Pulungan, (d) Rangkuti, (e) Batu Bara, (f) Dulae, (g) Matondang, (h) Parinduri, dan (i) Hasibuan. Marga Lubis dan Nasution merupakan marga yang
paling banyak jumlah warganya di daerah Mandailing.
Setiap anggota masyarakat yang mempunyai marga, akan meletakkan nama marganya di belakang marga sendiri. Karena hal ini merupakan suatu tradisi yang telah menyatu dengan kehidupan masyarakat Mandailing sejak dahulu.
Marga adalah suatu yang memiliki nilai-nilai solidaritas di dalam keluarga
maupun di masyarakat. Orang-orang yang semarga dianggap bersaudara atau satu keturunan yang disebut markahanggi.
Sistim kekerabatan lain yang luas dari marga juga terdapat pada masyarakat Mandailing. Sistim kekerabatan ini didasari oleh adanya suatu ikatan darah dan ikatan perkawinan antara anggota kelompok marga yang ada pada masyarakat. Ikatan darah dan perkawinan inilah yang melahirkan sistim sosial yang dilandasi dengan hubungan kekerabatan yang dinamakan dalihan na tolu.
2.7 Kesenian
Masyarakat Mandailing sudah mengenal kesenian sejak zaman dahulu, seni musik yang hidup pada saat itu sangat berkaitannya dengan sistim kepercayaan lama atau dengan Pelebegu (menyembah roh nenek moyang). Setiap melakukan upacara ritual atau keagamaan pada masa itu, musik digunakan sebagai perantaraan dalam upacara. Di dalam kehidupan masyarakat Mandailing pada masa pra-Islam, musik merupakan bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan keagamaan (religi) dan upacara-upacara adat, baik itu upacara yang bersifat suka cita yang dinamakan siriaon, ataupun upacara adat siluluton, yaitu upacara adat duka cita.
Sistim kepercayaan animisme yang dikenal dengan pele begu tersebut menempatkan musik (yang dipergunakan untuk upacara religi) pada kedudukan yang tinggi. Seperti penjelasan yang dibuat oleh koentjaraningrat bahwa : hal itu disebabkan karena suara, nyanyian dan musik, merupakan suatu unsure yang sangat penting dalam upcara keagamaan sebagai hal yang biasa menambah suasana keramat atau sakral (Koentjaraningrat 1980:245).
Dalam tradisi di Mandailing pada masa pra-Islam pemujaan itu selalu menggunakan seorang perantara yang dinamakan Si Baso. Sedangkan bunyi- bunyian suci diperkirakan adalah ensambel gondang maupun gordang. Di sisi lain, pemain musik yang ahli pada masa itu dinamakan datu peruning-uningan atau datu pargondang. Hal ini karena dipercayai mereka belajar bermain musik bukan dari manusia, melainkan dari begu. Yang secara khusus pula begu memberikan irama-irama gondang kepada datu paruning-uningan. Setelah masuk dan berkembangnya agama Islam di daerah Mandailing, penggunaan musik yang ditujukan kepada roh nenek moyang tidak dibenarkan untuk ditampilkan, karena hal itu sangat bertentangan dengan ajaran agama Islam. Misalnya tradisi
mangandung (meratap di hadapan jenazah) yang dilakukan pada upacara adat siluluton (duka cita). Mangandung pada adat siluluton adalah suatu perbuatan
yang tidak diperkenankan yang tidak sesaui dengan kaidah ajaran Islam.
Dalam bentuk nyanyian biasanya masyarakat dibawakan secara solo. Misalnya jenis nyanyian ungut-ungut. Nyanyian ini sering dibawakan oleh anak muda (meskipun siapa saja boleh membawakannya) sebagai nyanyian pelipur lara yang melukiskan tentang rasa duka dalam hal percintaan, dan dinyanyikan tidak di depan umum atau secara tertutup hanya secara pribadi.
Masyarakat Mandailing, terutama ibu-ibu rumah tangga ataupun anak- anak gadis bila hendak menidurkan anak bayi biasanya akan dibawakan nyanyian khusus yang dinamakan bue-bue. Sambil membuei si bayi, ibunya ataupun anak- anak gadis akan mendendangkan nyanyian nyanyian agar buah hatinya tertidur.
Tradisi bernyanyi seperti ini jarang hampir tidak dipergunakan oleh masyarakat terutama ibu rumah tangga. Hal ini disebabkan perkembangan zaman yang berubah ubah.
Secara khusus masyarakat Mandailing menggunakan istilah ende untuk menyebutkan segala jenis nyanyian atau seni vokal yang terdapat pada masyarakat tersebut. Walaupun pada tiap nyanyian yang dibawakan oleh masyarakat yang mempunyai fungsi berbeda-beda seperti contoh di atas.
Adapun jenis alat musik di masyarakat Mandailing yang sumber bunyinya dari udara yang disebut dengan aerofon, yaitu (a) tulila, merupakan alat musik tiup yang digunakan oleh para anak-anak muda untuk memikat anak gadis yang dilakukan pada malam hari. Sang pemuda mendatangi rumah si gadis untuk berdialog secara berbisik dari dibali dinding tentang rasa cinta antara keduanya.
(b) uyup-uyup, merupakan alat musik tiup yang ter buat dari batang padi. Digunakan oleh para pemuda sebagai hiburan di sawah-sawah, dan tidak jarang pula untuk menarik perhatian oleh para gadis-gadis. (c) ole-ole atau olang-olang yang merupakan alat musik tiup ini terdapat lilitan daun kelapa yang berbentuk corong dan berfungsi untuk memperbesar suara. (d) suling, yang terbuat dari bambu dan digunakan untuk hiburan (e) sordam. Merupakan alat musik bambu. Alat musik ini kegunaannya sama dengan suling yang dilakukan di tempat bernaungan seperti di bawah-bawah pohon.
Jenis alat musik membranofon yang sumber bunyi berasal dari kulit atau membran yaitu: (a) gondang dua. Ensambel ini juga dinamakan gondang boru.
Alat musik ini terdiri dari dua buah gondang. Keduanya memliki ukuran dan bentuk yang sama dan kegunaan gondang dua atau gondang boru ini digunakan pada upacara adat siriaon (suka cita) misalnya perkawinan yang berfungsi untuk menjemput pengantin perempuan, dan upacara siluluton (duka cita) misalnya upacara kematian. (b) gordang tano, gordang tanoh ini terbuat dari tanah yang dikorek kemudian ditutup dengan papan dan dibuat tiang penyangga yang fungsinya untuk mengikat rotan. Rotan inilah yang dipukul untuk menghasilkan bunyi. Gordang tano digunakan uttuk menurunnkan hujan, tetapi pada saat sekarang sudah sulit untuk ditemui. (c) gordang sambilan, endambel ini terdiri dari sembilan buah gordang yang bentuknya panjang dan besar dengan ukuran yang berbeda-beda. Nama-nama gordang ini tidak sama di wilayah Madailing seperti di daerah Pakantan, Huta Pungkut, dan Tamiang. Untuk sepasang gordang
yang paling besar di daerah Pakantan disebut : jangat (1,2), hudong-kudong (3,4), panduai (5,6), patolu (7,8) dan enek-enek (9), sedangkan di daerah Hutapungkut dan Tamiang disebut jangat yang dibagi dalam tiga bagian yaitu (1) jangat
siangkaan, (2) jangat silitonga , dan (3) jangat sianggian, (4,5) pangaloi, (6,7) paniga, (8) hudong-kudong, (9) teke-teke (Hutapungkut), eneng-eneng (Tamiang).
Gordang Sambilan terbuat dari pohon ingul tetapi pada saat sekarang tidak jarang memakai batang pohon kelapa karena pohon ingul sulit ditemukan. Untuk membrannya yaitu kulit lembu yang diikat dengan rotan yang besarnya jari kelingking orang dewasa dan cara memainkannya dipukul dengan sepasang batang kayu. Gordang Sambilan digunakan di dalam upacara siriaon (suka cita) misalnya upacara pernikahan, menyambut tamu, memasuki rumah baru, dan peresmian – peresmian. (d) gordang lima, dipergunakan lima buah gordang yang memiliki ukuran dan nama yang berbeda-beda. Ukuran yang terbesar bernama jangat. Kemudian ukuran selanjutnya hudong kudong, ukuran yang ketiga dinamaka padua, yang keempat adalah patolu, dan yang terkecil adalah enek- enek. Gordang lima digunakan pada zaman dahulu untuk memohon kepada roh nenek moyang mereka.
Alat musik Mandailing lainnya yang bersifat kordofon yaitu gondang bulu, dalam subklasifikasi ziter tabung dan mempunyai dawai yang bersifat idiokordik. Gondang Bulu digunakan untuk menghibur dan mengiringi anak-anak gadis berlatih tarian tortor.
Jebis kesenian alat musik Mandailing yang sumber bunyinya berasal dari dirinya sendiri (idiofon) terdiri dari yaitu (a) tali sasayak, (b) ogung jantan (lebih kecil dari ogung boru), (c) ogung betina atau ogung boru, (d) doal, (e) momongan yang terdiri dari (1) pamulusi, (2) panduai, dan (3) panolongi.
Yang sebenanya tortor menurut aslinya bukanlah tarian tetapi sebagai pelengkap gondang berdasarkan kepada falsafah adat. Tortor yang dilakukan dengan gerakan tertentu mempunyai ciri khas, makna, dan tujuan tertentu.
2.8 Organisasi Masyarakat Mandailing di Kota Medan Dari beberapa wilayah penelitian penulis yang tersebar di Kota Medan, masing-masing wilayah memiliki organisasi masyarakat yang menjadi wadah persatuan masyarakat oleh aspek-aspek tertentu. Dalam penelitian ini organisasi masyarakat yang menjadi gambaran mengenai masyarakat Mandailing di Kota Medan terdapat pada beberapa organisasi masyarakat yang didasarkan oleh pekumpulan marga maupun asal daerah.
Organisasi masyarakat penting untuk dijelaskan dalam penelitian ini, karena organisasi masyarakat merupakan perkumpulan bagi masyarakat Mandailing yang berdomisili di Kota Medan, HIKMA (Himpunan Keluarga Besar Mandailing) di Kota Medan memiliki beberapa perwakilan, yaitu: Dewan Pengurus Daerah (DPD) Provinsi Sumatera Utara dan Dewan Pengurus Cabang (DPC) terdapat di Jln. Letda Sutjono, Medan.
IKANAS (Ikatan Marga Nasution) organisasi masyarakat yang didasarkan pada marga Nasution, organiasi ini tidak saja beranggotakan marga Nasution melainkan juga menerima marga lainnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan pada organisasi.
Organisasi lainnya pada umumnya organisasi masyarakat ini berbasiskan kepada garis keturuan yang didasarkan pada marga ataupun tempat asal (daerah Mandailing). Dengan demikian, organisasi masyarakat Mandailing ada yang lebnih umum dan ada pula yang lebih spesifik, berdasar daerah tertentu saja.
2.9 Sitem Pencaharian Masyarakat Mandailing di Kota Medan Umumnya mata pencaharian masyrakat mandailing di mandaiing adalah bertani (Mandailing Godang) dan berkebun (Mandailing Julu). Sementara masyarakat mandailing yang sudah berdomisili di Kota Medan, sistem mata pencaharian yang mereka kerjakan adalah kebanyakan pegawai negeri maupun swasta ataupun sebagai pejabat-pejabat lainnya. Misalnya Wali Kota Medan yang sekarang ini yaitu Drs. Rahudman Harahap. M.M.
Selain itu, ada juga pekerjaan yang dikerjakan masyakat mandailing sebagai pedagang, pemain musik, atau pekerjaan lainnya seperti supir angkot, becak dan pengusaha itu semua yang mereka kerjakan untuk mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari keluarga mereka. Mereka berupaya untuk bersaing secara sehat dengan berbagai kelompok etnik lain di Kota Medan, di berbagai bidang kehidupan, dalam rangka membangun Medan, Sumatera Utara, dan Indonesia ini, berlandas masyarakat yang multikultur.