Eksistensi Perkawinan Adat Pada Masyarakat Mandailing Di Kota Medan

(1)

TESIS

Oleh

AL MAYSITA DALIMUNTHE

107011032/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

AL MAYSITA DALIMUNTHE

107011032/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)(Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 2. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum


(5)

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : AL MAYSITA DALIMUNTHE

Nim : 107011104

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : EKSISTENSI PERKAWINAN ADAT PADA

MASYARAKAT MANDAILING DI KOTA MEDAN Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :AL MAYSITA DALIMUNTHE Nim :107011104


(6)

akibat hukum terhadap hukum adat, yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan di Mandailing adalah

perkawinan manjujur, dimana pihak laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga berupa barang atau uang kepada pihak perempuan. Pasca berlakunya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam Pasal 2 UU No.1 tahun 1974 ditentukan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat, digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan hukum terhadap eksistensi perkawinan adat pada masyarakat Mandailing di kota Medan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa menurut adat Mandailing, pernikahan adalah merupakan persyaratan dari suatu perkawinan menurut hukum agama (Islam). Sebelum Undang-Undang tentang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 lahir, umat muslim di Indonesia menggunakan hukum islam yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Setelah perkawinan dilangsungkan menurut cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Eksistensi masyarakat Mandailing sebagai suku bangsa atau kelompok etnis karena warga masyarakat Mandailing menyadari adanya identitas dan kesatuan kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka merasa berbeda dari warga masyarakat yang lain.

Disarankan agar perlu ditingkatkan penyuluhan mengenai isi dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 kepada Masyarakat Adat Mandailing tentang pentingnya pencatatan perkawinan. Perlu ditingkatkannya kesadaran untuk melestarikan adat dan kebudayaan Mandailing pada masyarakat Adat Mandailing. Sehingga adat Mandailing tidak memudar seiring berjalannya modernisasi yang acap kali menghilangkan berbagai macam tradisi perkawinan adat tersebut.


(7)

Mandailing is a "perkawinan manjujur" in which the bridegroom's side provides something valueable in the forms of goods or money to the bride's side. In Pasal 2UU No.l tahun 1974 on Marriage, it is stated that "a marriage is legitimate if implemented in accordance with the law of each religion and belief'.

The purpose of this legal study with emprical juridical approach was to look at a fact of law in community to be used to look at the legal aspects in social interaction in a community, and function as a support to identify and clarify the findings of non-legal materials for the purpose of legal research or writing on the existence of adat/tradisional marriage in the Mandailing community in the city of Medan.

The result of this study showed that, according to Mandailing Traditianal Customs, marriage is considered valid if it meets the requirements of marriage in accordance with Islamic law. Before the passing of UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, the Muslim community in Indonesia used the Islamic law which has been incorporated into Adat law. After the marriage is done according to regulations of each religion and belief, both the bridegroom and the bride sign the marriage certificates which have been prepared by the Civil Marriage Registrar. The existence of Mandaiting community as a tribe or ethnoc group is because the Mandailing community members realize that it is the identity and unity of their own culture making them feel different from the other community members.

The extension on the content of UUNo-l tahun 1974 tentang perkawinan to the Mandailing community members need to be improved that the Mandailing Traditional Culture/Adat is not fading in line with the process of modernization which frequently eliminates various kinds of such adat marriage tradition.


(8)

Syukur Alhamdulillah penulis sampaikan kehadirat ALLAH SWT karena hanya dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini

dengan judul “EKSISTENSI PERKAWINAN ADAT PADA MASYARAKAT

MANDAILING DI KOTA MEDAN”. Penulisan tesis ini merupakan suatu

persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormatBapak Prof. Dr. Runtung SH, M.Hum., Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum, dan Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS.,selaku Komisi Pembimbing yang telah dengan tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tesis sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya di dalam penelitian tesis ini penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan, arahan dan bahan informasi dari semua pihak. Untuk itu pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:


(9)

Program Pascasarjana Magister Kenotariatan (M.Kn) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada peneliti untuk dapat menjadi mahasiswa Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sekaligus sebagai dosen pembimbing utama yang memberikan masukan dan kritikan serta dorongan kepada penulis.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku penguji dalam penelitian tesis ini, atas segala dedikasi dan pengarahan serta masukan yang diberikan kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Sumatera Utara dan juga selaku penguji dalam penelitian tesis ini, yang telah membimbing dan membina penulis dalam penyelesaian studi selama menuntut ilmu


(10)

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 6. Kedua orangtua tercinta, Ayahanda H. M. Rusman Dalimunthe dan Ibunda

Hj. Ade Muthia Hasibuan, dan kakak sayaHj. Al Dilla Adha Dalimunthe, ST; Hj. Al Namira Dalimunthe, SE, MM, dan adik sayaRadinal Rusman Dalimunthe atas segala rasa sayang dan cinta yang tidak terbatas sehingga menjadi dukungan untuk penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

7. dr. Elvan Trianda Sato atas segala dukungan dengan berbagai cara dan dari berbagai arah serta kesabaran tanpa batas yang menjadi semangat bagi penulis untuk menggapai masa depan.

8. Para sahabat-sahabat, Nana, Tika, Stephanie, Linawaty, Vembra, Inggit, Fauzi, Dodon, Mick, Nisa, Unna, Julia, Dara, Erna, Juni, dan seluruh teman-teman Magister Kenotariatan Group B Angkatan 2010atas segala do’a dan dukungan serta kenangan indah yang terjalin dari persahabatan yang kita bina sekarang dan selamanya.

9. Para narasumber atas segala informasi yang telah diberikan untuk melengkapi isi penulisan tesis ini.

10. Seluruh staf pegawai di Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,Ibu Fatimah, Kak Lisa, Kak Winda, Kak Sari, Kak Afni, Bang Ken, Bang Aldi, Bang Rizal dan Bang Hendri.


(11)

kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT , agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang berlimpah kepada kita semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih jaug dari sempurna, namun tidak ada salahnya jika penulis berharap kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak.

Amin Ya Rabbal ‘Alamin

Medan, Desember 2012 Penulis

Al Maysita Dalimunthe NIM 107011032


(12)

I. DATA PRIBADI

Nama : AL MAYSITA DALIMUNTHE

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 6 Mei 1988

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jln. STM. Suka Cita No.17A, Medan

Telepon/Hp : 08126540109

II. PENDIDIKAN FORMAL

SD HARAPAN 1 MEDAN Lulus tahun 2000

SLTP HARAPAN 1 MEDAN Lulus tahun 2003

SMA NEGERI 1 MEDAN Lulus tahun 2006

S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan Lulus tahun 2009 S-2 Program Studi Magister Kenotariatan FH USU Lulus tahun 2012


(13)

ABSTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI... viii

DAFTAR ISTILAH... xi

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 14

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian ... 15

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Kerangka Konsepsi ... 23

G. Metode Penelitian ... 26

1. Sifat Penelitian... 27

2. Metode Pendekatan... 27

3. Lokasi dan Populasi Penelitian... 28

4. Populasi dan Sampel... 29

5. Sumber Data ... 29

6. Metode Pengumpulan Data... 30


(14)

Adat Batak Mandailing ... 33

2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ... 34

B. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan... 36

1. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Batak Mandailing... 36

2. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ... 40

C. Tata Cara Melangsungkan Perkawinan ... 50

1. Sistem dan Bentuk Perkawinan Adat Batak Mandailing... 50

2. Larangan Perkawinan Menurut Hukum Adat Batak Mandailing... 53

3. Sistem dan Bentuk Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan ... 54

4. Larangan Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan... 59

D. Akibat Hukum Perkawinan... 59

1. Terhadap Hubungan Suami Isteri ... 59

2. Terhadap Anak yang Lahir Dari Perkawinan ... 61

3. Terhadap Harta Benda yang diperoleh Sebelum Maupun Selama Perkawinan ... 66

BAB III EKSISTENSI PERKAWINAN ADAT MANDAILING DI KOTA MEDAN ... 73


(15)

B. Bentuk Pelaksanaan Upacara Perkawinan Adat

Mandailing... 81

1. Pengaruh Hukum Islam dalam Perkawinan Adat Batak Mandailing... 89

2. Pengaruh Modernisasi terhadap Perkawinan Adat Mandailing... 101

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 109


(16)

2. Boru na ni oli 3. Boru pangoli 4. Dalian natoli

5. Domu 6. Dipabuat 7. Ganan-ganan

8. Gondang sembilan 9. Habujingan 10. Haposoan 11. Haroan boru

12. Hombar lo adat dohot ibadat 13. Horja godang

14. Horja kecil

15. Horja menengah

16. Horja sinaon

17. Horja silulaton 18. Horja siulaon

Calon pengantin wanita; Calon pengantin pria;

Struktur sistem adat tungku tiga yang mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang terdiri atas kelompok orang semarga, kelompok kerabat pemberi anak gadis, dan kelompok kerabat penerima anak gadis;

Keakraban; Diberangkatkan;

Kepala kerbau,hati dan beberapa bagian kerbau;

Alat musik khas Batak Mandailing; Masa anak gadis;

Masa anak muda; Mengawinkan anak;

Adat dan ibadah tidak dapat dipisahkan; Perayaan terbesar dimana

pelaksanaannya diwajibkan memotong seekor kerbau;

Perayaan terkecil dimana dalam pelaksanaannya diwajibkan memotong seekor ayam;

Perayaan menengah dimana dalam pelaksanaannya diwajibkan untuk memotong seekor kambing;

Kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran, memasuki rumah baru, dan mengawinkan anak;

Upacara kematian; Gotong royong;


(17)

22. Mangoncot langka 23. Manortor

24. Marbongkoy bagas na imbaru 25. Maresek

26. Margahelen gorar

27. Marpangir

28. Markobar

29. Marpariban

30. Marpokat

31. Maryudu burangir 32. Matobang ma hata

33. Mengupa

34. Namora

Memohon kesediaan raja-raja untuk tetap tinggal;

Tarian persembahan yang dilakukan mempelai wanita kepada raja-raja adat yang telah hadir;

Memasuki rumah baru;

Proses perkenalan antara orangtua kedua belah pihak;

Nama yang diberikan kepada kedua mempelai berupa nama adat bagi yang sudah menikah;

Tempat melaksanakan mandi sesuai adat;

Sidang adat yang dihadiri raja-raja adat yang memperbincangkan jalan tengah dalam menyelesaikan masalah adat setelah perkawinan dilaksanakan; Hubungan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki ibunya;

Sidang yang dilakukan para raja sebelum perkawinan dilaksanakan untuk

mencapai kesepakatan; Persembahan sirih adat;

Acara Mandailing yang telah terlaksana dengan benar;

Ungkapan kegembiraan dengan memberikan makanan;

Gelar mempelai wanita;


(18)

39. Rasah sanak 40. Rasah tuha

41. Salipi

42. Tapian raya bangunan 43. Tarombo

44. Tubuan anak

barang/uang kepada pihak perempuan; Hubungan anak-anak, bujang gadis; Hubungan antara keluarga dari para calon suami istri;

Sirih yang telah disusun menurut maksud dan tujuan acara yang akan dilaksanakan dan diserahkan kepada raja-raja;

Tempat pelaksanaan adat tepian mandi; Silsilah keturunan;


(19)

akibat hukum terhadap hukum adat, yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan di Mandailing adalah

perkawinan manjujur, dimana pihak laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga berupa barang atau uang kepada pihak perempuan. Pasca berlakunya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam Pasal 2 UU No.1 tahun 1974 ditentukan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Penulisan tesis ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat, digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan hukum terhadap eksistensi perkawinan adat pada masyarakat Mandailing di kota Medan.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa menurut adat Mandailing, pernikahan adalah merupakan persyaratan dari suatu perkawinan menurut hukum agama (Islam). Sebelum Undang-Undang tentang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 lahir, umat muslim di Indonesia menggunakan hukum islam yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Setelah perkawinan dilangsungkan menurut cara masing-masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Eksistensi masyarakat Mandailing sebagai suku bangsa atau kelompok etnis karena warga masyarakat Mandailing menyadari adanya identitas dan kesatuan kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka merasa berbeda dari warga masyarakat yang lain.

Disarankan agar perlu ditingkatkan penyuluhan mengenai isi dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 kepada Masyarakat Adat Mandailing tentang pentingnya pencatatan perkawinan. Perlu ditingkatkannya kesadaran untuk melestarikan adat dan kebudayaan Mandailing pada masyarakat Adat Mandailing. Sehingga adat Mandailing tidak memudar seiring berjalannya modernisasi yang acap kali menghilangkan berbagai macam tradisi perkawinan adat tersebut.


(20)

Mandailing is a "perkawinan manjujur" in which the bridegroom's side provides something valueable in the forms of goods or money to the bride's side. In Pasal 2UU No.l tahun 1974 on Marriage, it is stated that "a marriage is legitimate if implemented in accordance with the law of each religion and belief'.

The purpose of this legal study with emprical juridical approach was to look at a fact of law in community to be used to look at the legal aspects in social interaction in a community, and function as a support to identify and clarify the findings of non-legal materials for the purpose of legal research or writing on the existence of adat/tradisional marriage in the Mandailing community in the city of Medan.

The result of this study showed that, according to Mandailing Traditianal Customs, marriage is considered valid if it meets the requirements of marriage in accordance with Islamic law. Before the passing of UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, the Muslim community in Indonesia used the Islamic law which has been incorporated into Adat law. After the marriage is done according to regulations of each religion and belief, both the bridegroom and the bride sign the marriage certificates which have been prepared by the Civil Marriage Registrar. The existence of Mandaiting community as a tribe or ethnoc group is because the Mandailing community members realize that it is the identity and unity of their own culture making them feel different from the other community members.

The extension on the content of UUNo-l tahun 1974 tentang perkawinan to the Mandailing community members need to be improved that the Mandailing Traditional Culture/Adat is not fading in line with the process of modernization which frequently eliminates various kinds of such adat marriage tradition.


(21)

A. Latar Belakang

Pada dasarnya tidak ada satu manusia di dunia yang bisa hidup sendiri. Manusia sebagai makhluk yang selalu ingin bergaul, berinteraksi dan berkumpul bersama sesama manusia lainnya, dalam arti makhluk yang suka hidup bermasyarakat, dalam hidup terkecil bersama itu dimulai dengan adanya keluarga.1

Maka itulah manusia disebut sebagai makhluk sosial.

Untuk membentuk suatu keluarga, maka dilaksanakanlah perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita yang diharapkan di dalamnya tercipta rasa sakinah, mawaddah dan warrahmah. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan adanya saling pengertian dan saling memahami kepentingan dari kedua belah pihak, dan terkait dengan hak dan kewajiban.

Hidup bersama yang terikat dengan perkawinan mempunyai akibat-akibat yang sangat penting dalam suatu masyarakat yang mempunyai peradaban. Sehubungan dengan adanya akibat-akibat perkawinan yang sangat penting tersebut, maka masyarakat membutuhkan suatu norma atau kaidah yang mengatur tentang syarat-syarat untuk peresmiannya, pelaksanaannya, kelanjutan serta berakhirnya perkawinan tersebut.

1 C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1984 hlm.29


(22)

Perkawinan di Indonesia pada dasarnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 309 dan diatur pelaksanaannya pada Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Undang-Undang tersebut bersifat universal. Setelah Undang-Undang ini diberlakukan, maka terjadi unifikasi hukum mengenai perkawinan di Indonesia. Sehingga diberlakukan terhadap semua masyarakat di Indonesia sebagai pedoman dalam pelaksanaan perkawinan.

Dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan tersebut, maka ikatan antara pria dan wanita dapat dipandang sebagai suami istri yang sah, apabila ikatan mereka dilaksanakan berdasarkan aturan dan ketentuan yang telah ditetapkan. Undang-undang ini menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan warga negara Indonesia.2

Perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang baik secara internal dan eksternal. Artinya, apabila pria dan wanita yang berniat melaksanakan perkawinan telah siap lahir dan batin, dan juga siap dari segi materi untuk menopang kebutuhan hidup setelah perkawinan dilaksanakan, serta dilaksanakan sesuai dengan syarat sah dari agama yang dianut dan Undang-Undang yang berlaku. Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 telah dirumuskan secara ideal karena bukan hanya melihat dari segi lahir saja melainkan sekaligus terdapat pertautan batin antara suami isteri yang ditujukan

2 MR Matiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2011 hlm 2


(23)

untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia bagi keduanya dan yang sesuai dengan kehendak Tuhan yang Maha Esa.3

Masyarakat Indonesia terdiri atas berbagai macam budaya yang tersebar di 17.000 gugusan pulau. Perbedaan kebudayaan dalam perkawinan juga banyak sekali terjadi baik mengenai tata cara perkawinan yang dapat dipahami sebagai keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. Pada prinsipnya golongan masyarakat Indonesia terdiri dari tiga golongan besar sifat yaitu4:

1. Golongan masyarakat yang bersifat kebapakan saja. 2. Golongan masyarakat yang bersifat keibuan saja. 3. Golongan masyarakat yang bersifat keibubapakan.

Golongan masyarakat yang pertama disebut masyarakat patrilineal; golongan

masyarakat yang kedua disebut masyarakat matrilineal dan yang golongan

masyarakat yang ketiga disebut masyarakat parental5. Sistem patrilineal berlaku di

dalam masyarakat Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Barat, Timur-Timur dan Bali. Sistem matrilineal berlaku di dalam masyarakat Minangkabau, sedangkan

sistemparentalberlaku di dalam masyarakat Jawa, Madura, Sumatera Selatan, Aceh,

Riau, Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan Lombok.

Berbagai aktivitas budaya ini ditunjang dengan adanya masyarakat adat yang memiliki hukum kekerabatan dan bentuk adat istiadat yang berbeda. Misalnya,

3Prakoso, Djoko dan Murtika,Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia,PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987 hlm. 4

4Sudarsono,Hukum Perkawinan Nasional,Rineka Cipta, Jakarta, hlm.86 5Ibid


(24)

masyarakat Batak menganggap bahwa perkawinan ideal adalah perkawinan antara orang-orang rumpal (Toba: marpariban) ialah antara seorang laki-laki dengan anak

perempuan saudara laki-laki ibunya. Dengan demikian, seorang laki-laki Batak, sangat pantang kawin dengan seorang wanita dari marganya sendiri dan juga dengan anak perempuan ayah.6 Sedangkan pada masyarakat Minangkabau, seorang laki-laki

sedapat mungkin kawin dengan anak perempuan mamaknya, atau gadis-gadis yang dapat digolongkan demikian itu. Istilahmamak itu berarti saudara laki-laki ibu. Pada

masyarakat Lampung, khususnya masyarakat Abung Siwo Mega dan Pubian Telu

Sukutidak dikenal perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

merupakan anak dari saudara sekandung laki-laki. Akan tetapi pada masyarakat

Rarem Mego Pak dan Buay Lima, perkawinan yang disebutkan tadi dapat

dilangsungkan. Lain hal nya dengan perkawinan yang terdapat di Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Jawa dan Madura yang menganut sistemparental. Perkawinan itu terjadi,

karena dikehendaki oleh keluarga dari kedua belah pihak, tanpa salah satu pihak menderita kerugian, sehingga tidak perlu dikatakan tentang ganti rugi7.

Dalam hukum adat, perkawinan merupakan suatu ketunggalan. Terbukti antara lain karena:

a. Menurut adat kebiasaan yang belum hilang sama sekali kedua mempelai itu pada saat perkawinan melepaskan nama yang mereka masing-masing pakai

6Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia,Rajawali Pers, Jakarta, 1981. hlm 217

7 R. Soetojo Prawirohadmidjojo, Pluralisme dalam PerUndang-Undangan Perkawinan di


(25)

hingga saat itu (nama kecil) serta kemudian memperoleh nama baru (nama tua) yang selanjutnya mereka pakai bersama.

b. Sesebutan yang dipakai untuk menggambarkan hubungan suami isteri, yaitu “garwa”(Jawa). Istilah ini berasal dari kata-kata “sigaraning nyawa”(artinya

adalah belahan jiwa). Jadi jelas dari sesebutan tersebut di atas, nyata sekali pandangan orang Jawa bahwa suami isteri itu merupakan satu ketunggalan. c. Adanya ketunggalan harta-benda dalam perkawinan.8

Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasi beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pak-Pak, Batak Simalungun, Batak Angkola dan Mandailing.9

Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal di tengah Pulau Sumatera sepanjang jalan raya lintas Sumatera 40 km dari Padang Sidempuan ke Selatan dan 150 km dari Bukit Tinggi ke utara berbatasan dengan wilayah Angkola di sebelah utara, Pesisir di sebelah Barat, Minangkabau di sebelah Selatan, Padanglawas di sebelah Timur.10 Orang Mandailing hampir 100%

penganut agama Islam yang taat, oleh karena itulah agama Islam sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat.11 Masyarakat Mandailing

8Soerojo Wignjodipoero,Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,PT Toko Agung, Jakarta, hlm.124 9

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak diakses tanggal 1 Juni 2012

10

Pandapotan Nasution,Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman,Forkala, Sumatera Utara, 2005, hlm.13-14

11


(26)

sebagai salah satu suku bangsa yang terdapat di Sumatera Utara yang dalam konsep Van Volenhoven yang terkenal dengan 19 lingkungan adatnya memasukkan suku Mandailing dalam lingkungan tanah Batak (Tapanuli) dengan wilayah Gayo, Alas dan Batak.12

Wilayah Mandailing didiami oleh etnik Mandailing. Wilayah Angkola didiami oleh etnik Angkola, serta wilayah Minangkabau didiami oleh etnik Minangkabau. Sebagai contoh adalah wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten Mandailing Natal didiami oleh 4 etnik yaitu etnik Mandailing mendiami wilayah Mandailing, etnik Pesisir mendiami wilayah Natal, etnik Lubu mendiami wilayah Tor Sihite dan etnik Ulu mendiami wilayah Muara Sipongi yang msing-masing mempunyai adat istiadat sendiri.13

Mandailing dibagi dua, yaitu Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Mandailing Godang didominasi marga Nasution yang wilayahnya dari Panyabungan sampai Maga disebelah selatan serta daerah Batang Natal sampai Muarasoma dan Muara Parlampungan di sebelah Barat. Sedangkan daerah Mandailing Julu didominasi oleh marga Lubis yang wilayahnya mulai dari Laru dan Tambangan disebelah utara Kotanopan sampai Pakantan dan Hutanagodang di sebelah selatan.14

Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan patrilineal. Dalam

sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal dan menggunakan marga. Di

Mandailing dikenal belasan marga, berbeda dengan di Batak yang mengenal 500

12Otje Salman,Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer,Alumni,Bandung,2002, hal 116 13Ibid


(27)

marga. Marga di Mandailing antara lain: Lubis, Nasution, Pulungan, Batubara, Parinduri, Lintang, Harahap, Hasibuan, Rambe, Dalimunthe, Rangkuti, Tanjung, Mardia, Daulay, Matondamg, Hutasuhut.15

Perkawinan pada masyarakat adat pada umumnya melewati berbagai macam proses yang bisa dibilang rumit dan tidak gampang. Pada prinsipnya, cara yang paling umum dilakukan oleh masyarakat adat adalah melalui pelamaran atau peminangan. Namun, walaupun banyaknya perbedaan dan suku di Indonesia, karena rumpun asal kita yaitu Melayu Purba, masih dapat dicari persamaan-persamaan pokok yang terdapat di dalam perkawinan adat. Setiap masyarakat adat selalu menempatkan keluarga dan masyarakat dalam melangsungkan proses-proses perkawinan adat itu sendiri.

Pada umumnya, pihak yang mengajukan lamaran atau pinangan adalah pihak (keluarga) pria yang dijalankan oleh seorang atau beberapa orang sebagai utusan. Seorang atau beberapa orang sebagai utusan itu adalah mereka yang sekerabat dengan pihak laki-laki atau bahkan sering terjadi, yang melakukan lamaran adalah orang tuanya sendiri.

Bila peminangan atau lamaran itu diterima baik, maka mungkin tidak sekaligus mengakibatkan perkawinan, akan tetapi mungkin dilakukan pertunangan terlebih dahulu. Pertunangan baru akan mengikat kedua belah pihak, pada saat diterimakannya hadiah pertunangan yang merupakan alat pengikat atau tanda yang kelihatan, yang kadang-kadang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak


(28)

perempuan, atau dari kedua belah pihak (Batak, Minangkabau, kebanyakan suku Dayak, beberapa suku Toraja dan suku To Mori)16. Pertunangan membuat salah satu

pihak terikat dengan pihak lain untuk melakukan perkawinan. Tetapi dapat ditegaskan bahwa pertunangan masih bisa dibatalkan dengan segala konsekuensinya. Pembatalan pertunangan dapat dilakukan dari kedua belah pihak. Perkawinan dan keluarga menurut hukum adat memiliki korelasi yang sangat tajam. Bukan semata-mata merupakan ikatan kontraktual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan, perkawinan adalah implementasi perintah Tuhan yang melembaga dalam masyarakat untuk membentuk rumah tangga dalam ikatan-ikatan kekeluargaan.17

Sebagaimana diketahui bahwa perkawinan di Mandailing adalah perkawinan

manjujur, dimana pihak laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga

berupa barang atau uang kepada pihak perempuan. Menurut hukum adat apabila terjadi sesuatu yang hilang (berpindah) harus ada penyeimbang agar tetap terjadi keseimbangan. Terhaar mengatakan ada 2 (dua) sifat uang jujur, yaitu:

1. Dilihat dari sisi pertukaran barang, antara 2 clan, yaitu perempuan dengan barang.

2. Karena perempuan pindah ke tempat lain untuk menyeimbangkan kembali perlu diadakan pemberian itu.18

Sebagai akibatmanjujurini maka perempuan tersebut menjadi tetap di dalam

16Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm.224

17Otje Salman Soemadiningrat,Op.Cit, hlm173


(29)

lingkungan keluarga suaminya, demikian juga dengan anak-anaknya. Hubungan dengan keluarganya menjadi putus. Kalau suaminya meninggal, ia akan tetap tinggal di lingkungan keluarga suaminya. Jika ia ingin kawin kembali harus dengan persetujuan keluarga suaminya.19 Jika ia ingin kembali harus dengan persetujuan

keluarga suaminya. Ada 3 (tiga) kemungkinan dapat kawin kembali, yaitu dengan cara:

1. Kawin dengan pewaris suaminya (leviraathuwelijk)

2. Tetap tinggal dalam lingkungan keluarga suaminya sebagai janda dan berhak atas anak-anaknya.

3. Kawin dengan orang lain (memutuskan hubungan hukum dengan keluarga suaminya), tanpa seizin keluarga suaminya.20

Pasca berlakunya UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, di dalam Pasal 2 UU No.1 tahun 1974 ditentukan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dari ketentuan ini menyatakan bahwa perkawinan itu harus sah menurut agama dan kepercayaan yang dianut oleh pihak yang melaksanakan perkawinan. Menurut Pasal 2 ayat (2) UU No.1 tahun 1974 menyatakan bahwa :

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

19 Pandapotan Nasution,Op.Cit.hlm. 331 20Ibid


(30)

Tidak ada penegasan tentang berlakunya hukum adat sebagai dasar keabsahan perkawinan. Bahkan M. Yahya Harahap berpendapat bahwa undang-undang ini telah menggeser hukum adat. Landasan primer dalam suatu perkawinan telah diambil alih oleh undang-undang ini sedangkan hukum adat semata-mata sebagai unsur komplementer atau sekunder yang tidak menentukan lagi sahnya suatu perkawinan, perceraian maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan pemeliharaan anak.21

Asas-asas perkawinan dalam Hukum Adat adalah merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Bagi kelompok-kelompok yang menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum (bagian clan, kaum kerabat), perkawinan para pria dan wanita adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur. Namun di dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat, perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut, jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak/ibu selaku inti keluarga yang bersangkutan.22

Perkawinan dalam arti “perikatan adat”, ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap hukum adat, yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya hubungan pelamaran yang merupakan “rasah sanak” (hubungan

21M. Yahya Harahap, Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat,Citra Aditya Bakti,Bandung,1993,hlm18


(31)

anak-anak, bujang gadis) dan “rasah tuha”(hubungan antara keluarga dari para calon

suami-istri)23. Menurut hukum adat lokal perkawinan bukan hanya merupakan

perbuatan sosial, kultur, magis-relijius tetapi juga perbuatan hukum. Disebut juga

sebagai perbuatan sosial karena perkawinan itu merupakan produk sosial. Perbuatan sosial artinya secara sosiologis perkawinan mengikat semua unsur dalam kehidupan sosial, baik individu-individu maupun masyarakat, bahkan masyarakat itu sendiri. Disebut perbuatan magis-relijius karena dalam perkawinan melibatkan roh-roh

leluhur dan agama. Ada upacara dan ritual yang wajib dilakukan agar supaya selamat baik dalam prosesi perkawinan maupun dalam perjalanan rumah tangga dari pasangan yang melangsungkan perkawinan tersebut.24

Sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:

a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.

b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat. c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.

d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.

e. Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/ keluarga dan kerabat.

23Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Adat,Alumni, Bandung, 1977, hlm.28

24Dominikus Rato, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk


(32)

f. Perceraian ada yang diperbolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan kerabatan antara dua pihak.

g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.25

Dikarenakan sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat adat di Indonesia beda, maka terdapat bentuk-bentuk perkawinan yang berbeda-beda. Dikalangan masyarakat adat yang susunannyapatrilinealpada umumnya dianut

bentuk “perkawinan jujur” (“magoli”, Batak;”tunak”, Pasemah; “beleket”,

Rejang;”nuku”, Palembang; “ngakuk, hibal”, Lampung). Dikalangan masyarakat

adat yang patrilineal alternerend (kebapakan beralih-alih) dan matrilineal, pada

umumnya dianut bentuk “perkawinan semenda”, sedangkan dilingkungan masyarakat adatparentaldianut bentuk “perkawinanmentas”.26

Bentuk perkawinan jujur adalah perkawinan yang dilakukan dengan membayar “jujur” dari pihak pria kepada pihak wanita sebagaimana terdapat didaerah Batak, Nias, Lampung, Bali, Sumba, Timor. Dengan diterimanya uang atau barang jujur oleh pihak wanita, maka berarti setelah perkawinan si wanita akan mengalihkan kedudukannya dari keanggotaan kerabat suami untuk selama ia mengikatkan dirinya dalam perkawinan itu, atau sebagaimana berlaku di daerah Batak dan Lampung untuk selama hidupnya.27 Perkawinan semenda adalah bentuk perkawinan tanpa pembayaran jujur dari pihak pria kepada pihak wanita. Setelah perkawinan si pria harus menetap dipihak kekerabatan isteri atau bertanggung jawab meneruskan

25Hilman Hadikusuma,Op.Cit hlm.70-71 26Ibid


(33)

keturunan wanita dipihak isteri. Adakalanya walaupun tidak ada pembayaran jujur, namun pihak pria harus memenuhi permintaan uang atau barang dari pihak wanita. Perkawinan semenda dalam arti sebenarnya ialah perkawinan dimana suami setelah perkawinan menetap dan berkedudukan dipihak isteri dan melepaskan hak dan kedudukan dipihak kerabatnya sendiri.28 Perkawinan mentas adalah bentuk perkawinan dimana kedudukan suami isteri dilepaskan dari tanggung jawab orangtua/keluarga kedua belah pihak untuk dapat berdiri sendiri membangun keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal. Orang tua/keluarga dalam perkawinanmentas

ini hanya bersifat membantu, memberikan “sangu ceceker”atau bekal hidup dengan

pemberian harta kekayaan secara “lintiran” (pewarisan sebelum orang tua wafat)

berupa rumah atau tanah pertanian sebagai barang “gawan”(pembawaan) kedalam

perkawinan mereka. Hal mana dapat dilakukan oleh kedua pihak orang tua/keluarga, baik dari pihak suami maupun dari pihak isteri.29

Dalam perkembangan kehidupan yang berlanjut sejauh hingga abad 21 ini, terlihat suatu realitas dari yang lama ke yang baru yaitu nasional dan modern bahkan postmodern dan global bahwa hukum selalu berubah.30 Bagi manusia yang selalu

hidup bermasyarakat, perkawinan memiliki nilai yang sangat tinggi. Perkawinan merupakan sumbu keberlangsungan hidup manusia. Perkawinan memiliki multi makna. Ada makna relijius, makna ekonomis, makna sosial dan makna yuridis. Oleh karena itu, setiap orang, keluarga, kerabat, atau masyarakat berusaha untuk

28Ibid 29Ibid

30Soetandyo Wignjosebroto,Membangun Kesatuan Hukum Nasional untuk dan dalam Suatu

Masyarakat Muhammadyah yang majemuk: Sebuah Masalah Transformasi Budaya,Muhammadiyah University Press, Surakarta, hlm 117


(34)

mewujudkannya dengan berbagai bentuk upacara dan ritual. Dalam kaitannya dengan itu, perkawinan memiliki potensi kemanfaatan, kesejahteraan, dan kemakmuran sekaligus menyimpan potensi pertentangan, konflik, saling gugat di pengadilan, perkelahian, pembunuhan bahkan peperangan.31

Dengan latar belakang tersebut diatas, terdapat keinginan untuk menulis hal tersebut dalam bentuk tesis dengan judul: “Eksistensi Perkawinan Adat pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan”

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan secara adat? 2. Mengapa masih ada masyarakat adat yang melakukan perkawinan secara adat? C. Tujuan Penelitian

Penelitian merupakan bagian pokok ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk lebih mendalami segala aspek kehidupan, disamping itu juga merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, baik dari segi teoritis maupun praktis32. Adapun

tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, adalah:

1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perkawinan yang dilangsungkan secara adat

2. Untuk mengetahui alasan masyarakat adat yang masih melakukan perkawinan secara adat

31Dominikus Rato,Op.Cithlm.43


(35)

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini, kegunaan utama dari penelitian ini diharapkan dapat tercapai, yaitu:

1. Kegunaan secara teoritis.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wawasan serta sebagai referensi tambahan pada program studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan, khususnya mengenai Eksistensi Perkawinan Adat pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan.

2. Kegunaan secara praktis.

Manfaat penelitian yang bersifat praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi kalangan akademisi, praktisi, maupun masyarakat umumnya serta dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang ingin melakukan penelitian di bidang yang sama.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian dan penelusuran yang telah dilakukan, baik berdasarkan penelitian sebelumnya, khususnya pada Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dan sejauh yang telah diketahui bahwa belum ditemui adanya penelitian yang berkaitan dengan judul tesis ini yaitu “Eksistensi Perkawinan Adat pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan” belum pernah diteliti oleh para


(36)

Mahasiswa Kenotariatan yang lain, oleh karena itu penelitian ini adalah asli dan aktual sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara akademis ilmiah.

Adapun judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya dengan judul penelitian tesis ini adalah tesis Farida Hanum, dengan judul: “Pelaksanaan Hukum Waris Islam dalam Lingkungan Adat Mandailing Godang (Studi pada Mandailing Godang Kabupaten Madina). Dengan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan hukum waris Islam pada masyarakat Mandailing Godang?

2. Apa sajakah yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan hukum waris Islam pada masyarakat Mandailing Godang?

3. Bagaimana penyelesaian sengketa masalah harta warisan pada masyarakat Mandailing Godang?

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Menurut M. Solly Lubis yang menyatakan konsepsi merupakan kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, mengenai suatu kasus ataupun permasalahan (problem) yang bagi pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teori, yang

mungkin ia setuju ataupun tidak disetujuinya merupakan masukan eksternal bagi peneliti.33


(37)

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang tertinggi.34 Teori hukum sendiri boleh disebut sebagai kelanjutan dari

mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita merekonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.35

Oleh sebab itu, teori atau kerangka teori mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut:36

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya;

b. Teori sangat berguna didalam mengembangkan sistem klasifikasi fakta, membina struktur konsep-konsep serta memperkembangkan defenisi-defenisi;

c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar daripada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang diteliti;

d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktor-faktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang;

e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan peneliti.

Menurut Mukti Fajar, teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan

34Satjipto Rahardjo,llmu Hukum,P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal 254 35Ibid., hal. 253


(38)

simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum.37 Sedangkan suatu kerangka teori bertujuan menyajikan cara-cara untuk

bagaimana mengorganisasi dan menginterpretasi hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu38.

Teori sebagai perangkat proposisi yang terintegrasi secara sintaktis yaitu mengikuti aturan tertentu yang dapat dihubungkan secara logis satu dengan lainnya dengan tata dasar yang dapat diamati dan berfungsi sebagai wahana untuk meramalkan dan menjelaskan fenomena yang terjadi.39

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dan permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori yang dimaksdukan dalam penelitian ini adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum perkawinan, yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui,40yang merupakan masukan bagi penulisan tesis ini.

Penulisan tesis ini menggunakan Teori Pragmatisme Legal Realisme. Pengaruh dari aliran pragmatisme dalam filsafat sangat terasa dalam aliran realisme hukum. Pragmatisme sebenarnya merupakan landasan filsafat terhadap aliran realisme hukum. Hubungan antara aliran realisme hukum dan aliran sosiologi hukum ini sangat unik. Di satu pihak, beberapa fondasi dari aliran sosiologi hukum mempunyai kemiripan tetapi di lain pihak dalam beberapa hal, kedua aliran tersebut

37Mukti Fajaret al.,Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, hal.134

38Burhan Ashshofa,Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal.19

39Snelbecker dalam Lexy J.Moloeng,Metodelogi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,2002, hal.34


(39)

saling berseberangan.41 Sesuai dengan namanya, aliran realisme hukum lebih aktual dan memiliki program-program yang lebih nyata dibandingkan dengan aliran

sociological jurisprudence (hukum yang baik haruslah hukum yang hidup diantara masyarakat). Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (the living law).42 Realisme hukum hanya bekerja dalam melakukan pengujian terhadap peraturan, kaidah dan cita hukum terhadap hukum yang ada. Metode yang ada adalah mendekatkan aturan yang ada dengan fakta di lapangan. Ketika seseorang ingin melakukan prediksi terhadap putusan pengadilan maka jalan yang ditempuh adalah dengan melakukan pendekatan empiris dengan metode-metode empiris ilmiah. Dengan maksud meredam kebebasan hakim dalam menafsirkan hukum.43

Karl Llewellyn (Thomas W.Bechtler, 1978) mempertegas bahwa realisme hukum merupakan gerakan dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Realisme hukum bukanlah suatu aliran/mazhab. Realisme adalah suatu gerakan dalam cara berpikir dan cara bekerja tentang hukum.

2. Realisme adalah konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya.

3. Realisme mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollendan

sein untuk keperluan suatu penyidikan. Agar antara penyelidikan itu mempunyai tujuan maka gendaknya diperhatikan adanya nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak observer maupun tujuan-tujuan kesusilaan.

4. Realisme tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional oleh karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peratyran-peraturan yang menciptakan penggolongan-penggolongan perkara

41Ibid 42Ibid

43http://www.negarahukum.com/hukum/pragmatic-legal-realism.html diakses tanggal 20 Mei 2012


(40)

dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.

5. Gerakan realisme menekankan pada perkembangan setiap bagian hukum haruslah diperhatikan dengan seksama mengenai akibat-akibatnya.44

Aliran realisme hukum juga lahir dengan dilatarbelakangi oleh berbagai faktor hukum dan non hukum, yaitu faktor-faktor sebagai berikut:

1. Faktor perkembangan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan 2. Faktor perkembangan sosial dan politik.

Walaupun begitu, sebenarnya aliranpragmatismdari William James dan

John Dewey itu sendiri sangat berpengaruh terhadap ajaran dari Roscoe Pound dan berpengaruh juga terhadap ajaran dari Oliver Wendell Holmes meskipun tidak sekuat pengaruhnya terhadap ajaran dari Roscoe Pound.45

Tertib hukum itu terdiri dari suatu rangkaian peraturan-peraturan hukum yang beraneka warna jenisnya, bentuknya serta banyak sekali jumlahnya, tetapi semua itu berakar pada suatu sumber yang disebut norma dasar, maka meskipun peraturan-peraturan hukum tersebut satu sama lain berbeda, tetapi merupakan satu kesatuan.46

Dengan demikian dapatlah dikatakan ada tertib hukum apabila peraturan-peraturan hukum yang beraneka warna itu, serta yang jumlahnya banyak sekali itu dapat didasarkan pada satu sumber yang dinamakan norma dasar.

44Ibid

45http://m-alpi.blogspot.com/2012/05/realisme-hukum-by-m-alpi-syahrin-dkk.html?m=1 diakses pada tanggal 20 Mei 2012

46http://www.negarahukum.com/hukum/pragmatic-legal-realism.html diakses tanggal 20 Mei 2012


(41)

Paham realisme hukum memandang hukum sebagaimana seorang advokat memandang hukum. Bagi seprang advokat, yang terpenting dalam memandang hukum adalah bagaimana memprediksi hasil dari suatu proses hukum dan bagaimana masa depan dari kaidah hukum tersebut. Karena itu, agar dapat memprediksikan secara akurat atas hasil dari suatu putusan hukum, seorang advokat haruslah juga mempertimbangkan putusan-putusan hukum pada masa lalu untuk kemudian memprediksi putusan pada masa yang akan datang.47

Peraturan-peraturan hukum tersebut sumbernya sama, maka masing-masing peraturan hukum tadi satu sama lain ada hubungannya yang erat. Juga suatu peraturan hukum menjadi dasarnya daripada peraturan hukum yang lebih rendah tingkatannya, dan yang terakhir menjadi dasar pula daripada peraturan hukum yang lebih rendah lagi tingkatannya. Demikian seterusnya sehingga ada urut-urutan dalam tingkatannya, hirarki, dari yang paling rendah tingkatannya sampai pada yang paling tinggi, dan yang tertinggi tingkatannya itu adalah yang disebut norma dasar tadi.

Menurut Hukum Adat, perkawinan bisa merupakan urusan kerabat, keluarga, persekutuan, martabat, bisa merupakan urusan pribadi, bergantung kepada tata susunan masyarakat yang bersangkutan. Hukum adat merupakan rangkaian penerapan azas-azas hukum pada kasus-kasus yang konkrit, adalah hukum bagi masyarakat-masyarakat tradisionil yang sederhana dan terbatas ruang lingkupnya, dengan warga yang belum tinggi tingkat pengetahuannya dan belum banyak jenis kebutuhannya.

47http://m-alpi.blogspot.com/2012/05/realisme-hukum-by-m-alpi-syahrin-dkk.html?m=1 diakses pada tanggal 20 Mei 2012


(42)

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat modern Hukum Adat memerlukan penyempurnaan, baik dalam bentuk maupun penerapan azas-azas hukumnya sesuai dengan keadaan masyarakatnya yang berbeda.48

Bagi kelompok-kelompok yang menyatakan diri sebagai kesatuan-kesatuan, sebagai persekutuan-persekutuan hukum, perkawinan para warga adalah sarana untuk melangsungkan hidup kelompoknya secara tertib dan teratur. Namun di dalam lingkungan persekutuan-persekutuan kerabat itu perkawinan juga selalu merupakan cara meneruskan garis keluarga tertentu yang termasuk persekutuan tersebut, jadi merupakan urusan keluarga, urusan bapak-ibunya selaku inti keluarga yang bersangkutan.

Pada tata susunan kerabat yang berkonsekuensi unilateral perkawinan itu juga merupakan sarana yang mengatur hubungan semenda antara kelompok-kelompok yang bersangkutan, perkawinan merupakan bagian dari lalu lintas clan sehingga bagian-bagian clan dapat mempertahankan atau memperbaiki posisi keseimbangan dalam suku, di dalam keseluruhan warga suku.49

Masyarakat Adat Mandailing merupakan masyarakat yang menganut sistem

patrilineal, yakni suatu sistem kemasyarakatan yang para warga atau anggotanya

menarik garis keturunan darah hanya melalui pihak ayah atau bapak saja. Sistem yang berlaku dalam masyarakat ini adalah sistem perkawinan eksogami, yakni perkawinan antara sang pria dan wanita yang berasal dariclanatau marga yang berlainan.

48Badan Pembinaan Hukum Nasional, Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum

Nasional,Bina Cipta,Yogyakarta,1975, hal.55


(43)

Sistem perkawinan eksogami yang merupakan bentuk dasar bagi masyarakat

patrilinealialah sistem perkawinan eksogami jujur atau kawin jujur secara eksogami.

Adapun arti perkawinan eksogami jujur itu adalah:

a. Perkawinan eksogami, artinya ialah perkawinan dengan orang yang berasal dari luarclan/marga atau bukan berasal dariclan/marga yang sama.

b. Perkawinan jujur, artinya ialah perkawinan dengan adanya pemberian dari pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita berupa benda atau barang-barang tertentu yang secara adat mempunyai nilai kekuatan untuk mensahkan (sebagai tanda) perkawinan tersebut.50

2. Kerangka Konsepsi

Sejalan dengan landasan teori tersebut, maka dalam penulisan hukum diperlukan kerangka konsepsional. Kerangka konsepsional merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang ingin atau akan diteliti. Konsep bukan merupakan gejala yang akan diteliti, akan tetapi merupakan suatu abstraksi dari gejala tersebut. Gejala itu sendiri dinamakan fakta, sedangkan konsep merupakan suatu uraian mengenai hubungan-hubungan dalam fakta tersebut.51 Kerangka konsep mengandung makna adanya stimulasi dan dorongan

konseptualisasi untuk melahirkan suatu konsep baginya atau memperkuat keyakinannya akan konsepnya sendiri mengenai sesuatu permasalahan.52

50A. Ridwan Halim,Hukum Adat dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta,1985,hal51. 51Soerjono Soekanto,Op.Cit, hlm 132


(44)

Kerangka konsepsional dalam penelitian hukum, diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk merumuskan atau membentuk pengertian-pengertian hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang-undangan tertentu, maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisa dan konstruksi data.53

Oleh karena itu, untuk menghindarkan terjadinya perbedaan penafsiran terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk mendefinisikan beberapa konsep penelitian agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan makna variabel yang ditetapkan dalam topik, yaitu :

a. Eksistensi

Eksistensi adalah keberadaan dari sesuatu hal yang masih dapat/tidak dipertahankan

b. Perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.

c. Perkawinan dalam pandangan hukum adat


(45)

Perkawinan adalah urusan kerabat urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi dan begitu pula ia menyangkut urusan keagamaan.54 Artinya perkawinan itu bukan saja berarti sebagai perikatan

perdata, tetapi juga sekaligus merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan-hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut tentang hubungan-hubungan adat-istiadat, kewarisan, kekerabatan dan ketetanggan serta menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan. Begitu pula menyangkut kewajiban mentaati perintah dan larangan agama, baik dalam hubungan manusia dengan Tuhannya (ibadah) maupun hubungan manusia dengan sesama manusia (mu’amalah) dalam pergaulan hidup agar selamat di dunia dan selamat di akhirat.55

d. Sahnya perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) dan(2)

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

54 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Mega Jaya Abadi, Bandung, 1990, hlm, 23

55 Ter Haar, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, diterjemahkan oleh Soebekti dalam


(46)

e. Sahnya perkawinan menurut hukum adat

Keabsahan perkawinan bagi masyarakat adat harus dilakukan dihadapan alam, Tuhan, dan sesama disaksikan oleh seluruh anggota kerabat, tetangga, handai-taulan, dan anggota masyarakat. Perkawinan yang demikian ditandai dengan upacara yaitu prosesi dari rumah pengantin laki-laki ke rumah pengantin perempuan atau sebaliknya sebagai bentuk pengumuman bahwa telah terjadi sebuah peristiwa sosial sekaligus peristiwa hukum.56

f. Adat Mandailing

Mandailing adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal di tengah Pulau Sumatera sepanjang jalan raya lintas Sumatera 40km dari Padang Sidempuan ke Selatan dan 150km dari Bukit Tinggi berbatasan dengan Angkola di sebelah Utara, Pesisir di sebelah Barat, Minangkabau disebelah Selatan dan Padang Lawas di sebelah Timur. Etnik Mandailing merupakan orang yang berasal dari Mandailing secara turun menurun dimanapun ia bertempat tinggal. Etnik ini menurut garis keturunan ayah (patrilineal).

G. Metode Penelitian

Metode penelitian berasal dari kata “Metode dan Logos”. Metode yang artinya adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dan logos yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi artinya cara melakukan sesuatu dengan menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan. Penelitian adalah suatu kegiatan


(47)

untuk mencari, mencatat, merumuskan dan menganalisis sampai menyusun laporannya.57

Penelitian sebagai suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran-kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten karena melalui proses penelitian tersebut dilakukan analisi dan konstruksi terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.58

1. Sifat Penelitian

Rancangan penelitian tesis ini bersifat penelitian deskriptif analitis yaitu

analisis data yang dilakukan tidak keluar dari lingkup permasalahan dan berdasarkan teori atau konsep yang bersifat umum diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi atau hubungan seperangkat data dengan seperangkat data yang lain59.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu

pendekatan dengan melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat, digunakan untuk melihat aspek-aspek hukum dalam interaksi sosial di dalam masyarakat, dan berfungsi sebagai penunjang untuk mengidentifikasi dan

57Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2002, hal.1

58 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif-suatu tinjauan singkat, Rajawali Pres, Jakarta, 1985, hal. 1

59 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal 38


(48)

mengklarifikasi temuan bahan non hukum bagi keperluan penelitian atau penulisan hukum.60

3. Lokasi dan Populasi Penelitian

Untuk melengkapi data sekunder, maka penelitian tentang Eksistensi Perkawinan Adat pada Masyarakat Mandailing di Kota Medan ini juga didukung oleh data primer dengan penelitian lapangan yang dilakukan terhadap masyarakat Mandailing yang bertempat tinggal di Medan. Adapun alasan pemilihan lokasi untuk penelitian ini karena kota Medan merupakan salah satu kota terbesar di propinsi Sumatera Utara, komposisi penduduk yang beragam (heterogen) sehingga telah

mempengaruhi corak dan gaya hidup masyarakat Mandailing, sehingga diharapkan di kota Medan akan lebih mudah mendapatkan informasi-informasi yang lain terutama tentang eksistensi perkawinan adat pada masyarakat Mandailing di kota Medan.

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan khususnya pada Masyarakat Adat Mandailing yang berdomisili di Medan Timur dan Medan Johor. Dalam hal ini data diperoleh dari populasi penelitian dan sampel yang terdiri dari masyarakat Mandailing yang tinggal di kota Medan dengan karakteristik yang pernah menyelenggarakan perkawinan adat Mandailing serta Tokoh dan Konsultan Adat yang berkaitan dengan eksistensi perkawinan adat pada masyarakat Mandailing di Kota Medan.


(49)

4. Populasi dan Sampel a. Populasi

Dalam penelitian ilmiah ini dibutuhkan populasi dan sampel penelitian. Dalam penelitian ini yang populasi penelitian dilakukan pada masyarakat Mandailing di Kecamatan Medan Timur dan Medan Johor diperoleh data bahwa penduduk yang ada di Kecamatan Medan Timur berjumlah 117.559 jiwa dan 30% terdiri dari suku Mandailing yang tersebar di 10 (sepuluh) kelurahan.61Pada Kecamatan Medan Johor

diperoleh data penduduk yang ada di Kecamatan Medan Johor berjumlah 119.299 jiwa dan 40% terdiri dari suku Mandailing yang tersebar di 6 (enam) kelurahan.62

b. Sampel

Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah masyarakat Batak Mandailing yang tinggal di Medan dengan karakteristik yang pernah menyelenggarakan perkawinan adat Mandailing, serta Informan yaitu Tokoh dan Konsultan Adat Mandailing yang tinggal di kota Medan.

5. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini diperoleh adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang meliputi bahan hukum primer sekunder dan tertier. Bahan Hukum primer berupa dokumen-dokumen maupun peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkaitan dengan perkawinan adat yang dilakukan

61

Sumber data: Laporan Mutatis Mutandis untuk bulan September 2012 Kecamatan Medan Timur

62


(50)

masyarakat adat Mandailing. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu pandangan para ahli hukum. Selanjutnya bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

6. Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan metode pengumpulan data, yaitu: a. Studi Dokumentasi dan Bahan Pustaka

Studi dokumen yaitu pengumpulan data yang dilakukan dengan mencari informasi berdasarkan dokumen-dokumen maupun arsip yang berkaitan dengan penelitian, meliputi penelaahan terhadap bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier meliputi peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, teori-teori dan laporan-laporan yang bertalian dengan penelitian ini. Dalam metode pengumpulan data melalui kepustakaan ini, maka penulis menggunakan dari berbagai bacaan yang berhubungan dengan judul pembahasan, baik itu dari literatur-literatur ilmiah, majalah, media massa serta perundang-undangan.63

b. Wawancara (interview) adalah kegiatan wawancara yang dilakukan kepada

responden dengan terlebih dahulu membuat pedoman wawancara secara sistematis agar mendapatkan data yang lengkap dan memiliki kebenaran baik menurut hukum maupun kenyataan yang dapat dilihat dilapangan. Adapun beberapa nara sumber yang diwawancara adalah beberapa informan, diantaranya


(51)

Tokoh Adat dan Konsultan Adat Mandailing di kota Medan, serta para Masyarakat Adat, selaku orangtua yang mengadakan acara perkawinan adat Batak Mandailing di kota Medan.

7. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.

Analisis data pada hakekatnya dalam penelitian hukum artinya unuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Oleh karena itu, sesuai metode penulisan data yang sesuai dengan penelitian deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan secara kualitatif, yaitu analisis data mengungkapkan dan mengambil kebenaran yang diperoleh dari kepustakaan dan penelitian lapangan yaitu dengan menggabungkan antara peraturan-peraturan, buku-buku ilmiah yang ada hubungannya dengan eksistensi perkawinan adat pada masyarakat adat Mandailing di Kota Medan, kemudian dianalisis secara kualitatif sehingga mendapat suatu pemecahannya, sehingga ditarik kesimpulan.

Dengan demikian rangkaian kegiatan analisis data yang diperlukan dalam penelitian penulis adalah sebagai berikut: semua data yang telah diperoleh terlebih dahulu diolah agar dapat memberikan gambaran yang sesuai kebutuhan, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif, dimana data-data yang diperlukan guna menjawab permasalahan, baik data primer maupun data sekunder, dikumpulkan untuk kemudian diseleksi, dipilah-pilah berdasarkan kualitas dan


(52)

relevansinya untuk kemudian ditentukan antara data yang penting dan data yang tidak penting untuk menjawab permasalahan. Dipilih dan disistematisasi berdasar kualitas kebenaran sesuai dengan materi penelitian, untuk kemudian dikaji melalui pemikiran yang logis induktif, sehingga akan menghasilkan uraian yang bersifat deskriptif, yaitu uraian yang menggambarkan permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data-data yang diperoleh dari penelitian sehingga hasil analisis tersebut diharapkan dapat menjawab permasalahan yang diajukan.64 Setelah analisi

data selesai maka hasilnya kemudian akan disajikan secara deskriptif, yaitu dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti.65 Dari hasil tersebut kemudian ditariklah kesimpulan yang merupakan

jawaban atas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

64Soerjono Soekanto,Op. Cit,hal 32

65 H.B. Sutopo, Metodelogi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta, hal.37


(53)

BAB II

AKIBAT HUKUM DARI PERKAWINAN YANG DILANGSUNGKAN SECARA ADAT

A. Pengertian dan Tujuan Perkawinan

1. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Adat Batak

Mandailing

Menurut adat Mandailing, di dalam pernikahan harus memenuhi segala persyaratan menurut hukum agama (Islam) terlebih dahulu. Hombar lo adat dohot

ibadat.66Pernikahan dilangsungkan sebelum calon pengantin wanita (boru na ni oli)

dibawa ke rumah calon pengantin pria (bayo pangoli). Meskipun acara perkawinan

dilakukan menurut adat, namun persyaratan perkawinan menurut Islam tidak boleh diabaikan. Menurut Islam haram hukumnyaboru na ni olidibawa oleh bayo pangoli

sebelum dinikahkan.67

Untuk melanjutkan niat baik ini tentunya harus dilakukan menurut tata cara yang telah diadatkan, karena perkawinan merupakan perbuatan yang sangat sakral. Perempuan yang akan masuk ke dalam keluarga laki-laki diharapkan membawa tuah, oleh sebab itu tata cara perkawinan ini harus sesuai dengan tata cara yang selalu dilakukan sejak dari nenek moyang.68 Perkawinan bukan saja merupakan urusan

individu dengan individu, namun lebih luas lagi yaitu urusan keluarga dengan

66Hombar lo adat dohot ibadat merupakan istilah Mandailing yang memiliki arti Adat dan ibadah tidak dapat dipisahkan. Dalam melakukan acara adat dalam bentuk apapun, masyarakat Mandailing berpedoman kepada Hukum Islam. Lihat Pandapotan Nasution,Op.Cithlm.329

67Ibid,hlm 330 68Ibid,hlm 270


(54)

keluarga. Jika seorang laki-laki (pemuda) menyampaikan keinginannya kepada orangtuanya ingin mempersunting seorang perempuan untuk dijadikan isteri maka kewajiban bagi orang tua untuk merealisasikan keinginannya itu.69 Seperti yang

dikutip Hilman Hadikusuma dari pendapat Ter Haar yang menyatakan: “Perkawinan itu adalah urusan kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi.”70

Perkawinan pada masyarakat Mandailing bertujuan untuk memperluas kekeluargaan. Selain itu, perkawinan juga mempunyai tujuan untuk melanjutkan/meneruskan keturunan generasi laki-laki atau marga karena hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan marga. Hal ini yang merupakan sifat religius dari perkawinan adat Mandailing dengan menyatakan bahwa perkawinan tidak hanya mengikat kedua belah pihak saja tetapi mengikat keseluruhan keluarga kedua belah pihak. Ada upacara dan ritual yang wajib dilakukan agar supaya selamat baik dalam prosesi perkawinan maupun dalam perjalanan rumah tangga dari pasangan yang melangsungkan perkawinan tersebut.71

2. Pengertian dan Tujuan Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pengertian perkawinan telah dirumuskan dalam Pasal 1 Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

69Ibid,hlm. 271

70 Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Adat,Alumni, Bandung 1983. Hal.22 71Dominikus Rato,Op.Cithlm.29


(55)

“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan ketentuan Tuhan yang Maha Esa.”

Berdasarkan pengertian perkawinan di atas, terdapat beberapa unsur-unsur penting yang terkait di dalamnya antara lain:

1. Perkawinan merupakan ikatan lahir batin

Ikatan lahir batin ini akan terbina pada suami istri, baik dalam hubungan mereka sendiri maupun terhadap masyarakat, untuk menciptakan tujuan hidup menjadi keluarga yang bahagia dan kekal.

2. Antara seorang pria dan seorang wanita

Terdapat asas monogami relatif, yang menjelaskan bahwa perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan wanita

3. Sebagai suami istri

Seorang pria dan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami istri apabila ikatan perkawinan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah yaitu telah memenuhi syarat material dan syarat formal dari suatu perkawinan. 4. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia

Tujuan perkawinan tersebut dapat terwujud apabila ikatan lahir batin harus didasarkan atas kesepakatan dan tidak ada unsur paksaan.


(56)

Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal dan bahagia harus berdasarkan norma masing-masing agama. Perkawinan tersebut haruslah berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja. B. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan

1. Syarat-syarat dan Sahnya Perkawinan Menurut Hukum Adat Batak

Mandailing

Menurut hukum adat, secara umum syarat sahnya suatu perkawinan adalah apabila telah melalui tiga tahap, yaitu:

a. Peminangan

Peminangan menurut hukum adat berlaku untuk menyatakan kehendak pihak satu ke pihak lainnya dengan maksud untuk melaksanakan perkawinan. Peminangan lazimnya dilakukan oleh pihak keluarga pria kepada pihak keluarga wanita. Lain hal nya di Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal, dimana pihak wanita

melakukan peminangan kepada pihak pria.72

b. Pertunangan

Yang dimaksud dengan pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orangtua pihak pria dengan orangtua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan anak-anak mereka dengan jalan peminangan.73

Pertunangan dikatakan mengikat apabila ada tanda pengikat yang diberikan oleh pihak kelarga pria kepada pihak keluarga wania. Di beberapa daerah seperti

72Hilman Hadikusuma,Op.Cithal. 47-48 73Ibid


(57)

Minangkabau, Toba dan Toraja, tanda pengikat diberikan kedua belah pihak sebagai bukti pertunangan.

Alasan dilakukannya pertunangan pada masing-masing daerah pastinya berbeda, tetapi terdapat persamaan umum, diantaranya:

a. Karena ingin menjamin perkawinan yang dikehendaki itu dapat sudah dilangsungkan dalam waktu dekat.

b. Khususnya di daerah-daerah yang ada pergaulan sangat bebas antara muda-mudi, sekedar untuk membatasi pergaulan kedua belah pihak yang telah diikat oleh pertunangan itu.

c. Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal sehingga mereka kelak sebagai suami istri dapat diharapkan menjadi suatu pasangan yang harmonis.74

Dengan adanya pertunangan, berlakulah ketentuan tata tertib adat pertunangan yang antara lain meliputi hal-hal sebagaimana di bawah ini, yaitu:

a. Baik pihak yang melamar dan yang dilamar terikat pada kewajiban untuk memenuhi persetujuan yang telah disepakati bersama, terutama untuk melangsungkan perkawinan kedua calon mempelai. Pada masyarakatparental

pemenuhan kewajiban dibebankan kepada orangtua/keluarga yang bersangkutan, sedangkan pada masyarakat patrilineal atau matrilineal beban itu tidak semata-mata menjadi beban orangtua/keluarga, tetapi juga melibatkan anggota kerabat lainnya baik kerabat ayah maupun kerabat ibu. b. Baik pria ataupun wanita yang telah terikat dalam tali pertunangan, begitu

pula orang tua/keluarga dan kerabat kedua pihak dilarang berusaha mengadakan hubungan dengan pihak lain yang maksudnya untuk melakukan peminangan, pertunangan dan perkawinan. Mengadakan hubungan dengan yang lain dengan maksud yang sama dapat berakibat putusnya pertunangan dan batalnya perkawinan yang telah direncanakan dan disepakati.

c. Selama masa pertunangan kedua pihak harus saling membantu dana dan daya yang diperlukan, terutama dalam rangka persiapan perkawinan.

d. Kedua calon mempelai harus saling mengawasi gerak tindak dari calon mempelai yang bertunangan, termasuk memperhatikan sifat watak perilaku dari mereka, baik di dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan muda-mudinya.75

74Surojo Wignjodipuro,Op.Cit,hal.150-151 75 Hilman Hadikusuma,Op.Cithal.61-63


(58)

Pertunangan ini sendiri seiring berjalannya waktu akan berlanjut ke tingkat perkawinan. Tetapi tidak jarang pihak-pihak yang telah bertunangan ini membatalkan pertunangan mereka sebelum masuk ke jenjang perkawinan. Latar belakang yang menyebabkan putusnya ikatan pertunangan antara lain adalah dikarenakan sebagai berikut:

a. Salah satu pihak atau kedua pihak, baik si pria dan si wanita yang bertunangan ataupun kerabat mereka, mungkir janji, misalnya di dalam masa pertunangan itu terjadi si pria melakukan pertunangan atau perkawinan dengan wanita lain atau si wanita berlarian untuk kawin dengan orang lain atau dikawinkan dengan orang lain. Demikian pula apabila salah satu pihak pria atau wanita meninggal dunia.

b. Salah satu pihak atau kedua belah pihak, menolak untuk meneruskan pertunangan dikarenakan adanya cacat cela pribadi dari pria atau wania yang bertunangan, misalnya cacat cela pribadi dari pria atau wanita yang bertunangan, misalnya cacat sela sifat watak perilaku budi pekerti dan kesehatannya.

c. Salah satu pihak menolak untuk diteruskannya ikatan pertunangan dikarenakan pihak yang melamar tidak mampu memenuhi permintaan pihak yang dilamar atau sebaliknya pihak yang dilamar merasa permintaannya tidak (dapat) dipenuhi oleh pihak yang melamar.

d. Terjadinya pelanggaran-pelanggaran adat yang dilakukan oleh salah satu pihak sehingga menyebabkan timbulnya perselisihan selama berlakunya masa pertunangan diantara para pihak, baik yang sifatnya pelanggaran kesopanan dan kesusilaan maupun yang perbuatannya dapat dituntut berdasarkan KUHPidana.76

Menurut ketentuan hukum adat Mandailing, syarat untuk melakukan pernikahan harus melewati beberapa tahap, yaitu77:

a. Proses Peminangan

Proses ini terdiri dari beberapa bahagian, diantaranya:

76Ibid,64-65

77Hasil wawancara dengan Tokoh Adat Mandailing, Bapak H.Ibrahim Nasution (gelar: Raja Umala) pada hari Rabu, 18 Juli 2012, jam 11.00 WIB


(59)

1) Maresek

Maresek merupakan proses dimana perkenalan antara orangtua kedua belah

pihak. Biasanya proses ini diawali dengan pemberiansalipiatau dikenal dengan sirih.

Salipi merupakan pertanda dimulainya pembicaraan yang berkaitan dengan adat.

Pihak perwakilan dari pria menceritakan bahwa pihak mereka mempunyai niat dan itikad baik untuk memperkenalkan pihak mereka kepada pihak calon mempelai wanita. Menceritakan tentang silsilah keluarga, latar belakang pendidikan calon mempelai pria, dan asal mula bertemunya calon mempelai pria dan wanita.

Dalam proses maresek ini, pihak yang maresek yaitu pihak calon mempelai

pria akan mempertanyakan apakah calon mempelai wanita sudah dilamar pihak lain. Proses ini merupakan proses yang penting. Karena pada adat Batak Mandailing, apabila wanita telah dilamar oleh pihak lain, tidak dipekenankan lagi bagi pihak calon mempelai pria untuk melamar wanita tersebut.

2) Meminang

Apabila proses mempertanyakan calon mempelai wanita tersebut telah dijawab oleh pihak wanita dan tidak ada yang telah melamar sang wanita, maka pihak pria memberitahu niat baik mereka untuk meminang atau melakukan proses pelamaran kepada pihak wanita.

3) Penentuan jumlah/besarnya uang kasih sayang

Proses ini merupakan proses menyepakati jumlah besarnya uang kasih sayang tersebut dari kedua belah pihak. Uang kasih sayang merupakan uang yang harus dibayar pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Uang kasih sayang nantinya akan


(1)

b. Hubungan anak-anak yang lahir dari perkawinan

Bagi masyarakat Mandailing, diharapkan kelahiran keturunan laki-laki agar dapat meneruskan marga, sehingga marga tidak terputus di garis keturunan perempuan. Karena marga diperoleh dari garis keturunan ayah (patrilineal). c. Mengenai harta benda yang diperoleh sebelum maupun selama perkawinan

Dalam perkawinan adat Mandailing tetap mengenal dua macam harta perkawinan, yaitu Harta bawaan (yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung) dan harta bersama (yang diperoleh setelah perkawinan berlangsung).

2. Eksistensi Perkawinan adat Mandailing di kota Medan dapat dilihat dari masih adanya masyarakat yang melakukan perkawinan secara adat menurut pandangan para tokoh adat dan konsultan adat Mandailing. Faktor utama Masyarakat Batak Mandailing melaksanakan perkawinan secara adat adalah untuk mempertahankan kebudayaan dan tradisi adat Mandailing tersebut. Eksistensi masyarakat Mandailing sebagai suku bangsa atau kelompok etnis diperlihatkan dan dikukuhkan oleh kenyataan bahwa masyarakat Mandailing mempunyai kesatuan kebudayaan dan juga bahasa sendiri yang membuatnya berbeda atau dapat dibedakan dari suku bangsa yang lain. Dan juga karena warga masyarakat Mandailing menyadari adanya identitas dan kesatuan kebudayaan mereka sendiri yang membuat mereka merasa berbeda dari warga masyarakat yang lain.


(2)

B. Saran

1. Perlu ditingkatkan penyuluhan mengenai isi dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 kepada Masyarakat Adat Mandailing tentang pentingnya pencatatan perkawinan untuk kehidupan yang akan datang terhadap kedudukan status anak mereka, dan juga harta benda yang diperoleh setelah perkawinan berlangsung. Diharapkan kepada Masyarakat adat Batak Mandailing untuk mendaftarkan perkawinan yang dilakukan agar tidak hanya sah menurut agama, kepercayaan dan adat yang mereka pahami, tetapi juga sah di mata negara.

2. Perlu ditingkatkannya kesadaran untuk melestarikan adat dan kebudayaan Mandailing pada masyarakat Adat Mandailing. Sehingga adat Mandailing tidak memudar seiring berjalannya modernisasi yang acap kali menghilangkan berbagai macam tradisi perkawinan adat tersebut. Juga dengan mengajarkan dan menanamkan rasa kebudayaan yang tinggi pada keturunan-keturunan yang berdarah Mandailing, agar di generasi selanjutnya masih terdapat perkawinan yang dilangsungkan secara adat Batak Mandailing.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdurrahman, 1978. Masalah-Masalah Hukum Perkawinan di Indonesia, Alumni, Bandung

Adji Sution Usman, 1981.Kawin Lari dan Kawin antar Agama,Liberty, Yogyakarta Ali Zainuddin, 2011. Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Ashshofa Burhan, 1996,Metode Penelitian Hukum,Rineka Cipta, Jakarta

Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1975. Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional,Bina Cipta,Yogyakarta.

Djokosoetono, 2006,Ilmu Negara,in-hill-co, Jakarta.

Fajar Mukti et al. , 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, PT. Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Hazairin, 1981.Tujuh Serangkai Tentang Hukum, Bina Aksara, Jakarta, Hadikusuma, Hilman,1983,Hukum Perkawinan Adat,Alumni, Bandung.

________________, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia, Mega Jaya Abadi, Bandung.

Harahap, M. Yahya, 1975. Pembahasan Undang-Undang Perkawinan Nasional, Zahir Trading Co, Medan

________________, 1993,Kedudukan Janda, Duda dan Anak Angkat dalam Hukum Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Halim A. Ridwan, 1985.Hukum Adat dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta. Kansil. C.S.T, 1984. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN Balai

Pustaka, Jakarta

Lubis M. Solly (I), 1994.Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung Lubis Syahmerdan,Adat Hangoluan Mandailing.Gelar Bagunda Raja Muda, 1997. Mahadi, 1854.Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak RR,Alumni, Bandung. Narbuko Cholid dan Achmadi H. Abu, 2002. Metodologi Penelitian, PT. Bumi


(4)

Nasution, Pandapotan, 2005. Adat Budaya Mandailing dalam Tantangan Zaman, Forkala, Sumatera Utara

__________________, 2011. Acara Mangupa di Mandailing, Angkola, Sipirok dan Padang Lawas,Yayasan Parsamripunan Ni Tondi, Medan

Prakoso, Djoko dan Murtika, 1987. Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta

Prawirohadmidjojo R. Soetojo, 2002. Pluralisme dalam PerUndang-Undangan Perkawinan di Indonesia,Airlangga University Press, Surabaya

Prodjohamidjojo Matiman MR, 2011.Hukum Perkawinan Indonesia,Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta

Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari 2012. Rahardjo Satjipto, 1999.llmu Hukum,P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung

Rato, Dominikus, 2011. Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Laksbang Yustitia, Surabaya.

Ramulyo Mohd. Idris, 1996.Hukum Perkawinan Islam,Bumi Aksara, Jakarta. Saleh, K. Wantjik, 1976.Hukum Perkawinan Indonesia,Ghalia Indonesia, Jakarta. Salman Otje, 2002.Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer,Alumni,Bandung Shihab M. Wuraish, 2006.Perempuan, Jakarta, Lentera Hati.

Snelbecker dalam Lexy J.Moloeng, 2002. Metodelogi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung

Soehino, 1996,Ilmu Negara. Liberty, Yogyakarta.

Soerjono Soekanto,1988.Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta

_______________,1979.Masalah Kedudukan dan Peranan Hukum Adat,Academica Jakarta

_______________, 1981Hukum Adat Indonesia,Rajawali Pers, Jakarta.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985Penelitian Hukum Normatif-suatu Tinjauan singkat,Rajawali Pres, Jakarta

Soemadiningrat, Salman Otje, 2002. Rekonseptualisasi Hukum Adat Kontemporer, Penerbit Alumni, Bandung.


(5)

Soemiyati, 1982, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Liberty, Yogyakarta.

Soepomo dan R. Djokosoetono, Sejarah Politik Hukum Adat Jilid II, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.82

Sudarsono, M. , 1994.Hukum Perkawinan Nasional,Rineka Cipta, Jakarta ___________, 1991Hukum Kekeluargaan Nasional,Rineka Cipta, Jakarta. Sudiyat Iman, 1981.Hukum Adat Sketsa Asas,Liberty, Yogyakarta

Sugangga, I.G.N. 1995.Hukum Waris Adat,Semarang: Universitas Diponegoro. Sunggono Bambang, 1997. Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

Sutopo H.B.2003 Metodelogi Penelitian Hukum Kualitatif Bagian II, UNS Press, Surakarta.

Syahar Saidus, 1981. Undang-Undang Perkawinan dan Masalah Pelaksanaannya, Alumni, Bandung.

TerHaar, 1997, Beginselen et stelsel van het adat recht, diterjemahkan oleh Sobekti, dalamAsas-asas dan Susunan Hukum Adat, PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Usman, Datuk, 1995.Diktat Hukum Adat,Bina Sarana,Medan.

Wignjodipuro, Soerojo, 1973. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat, Penerbit Alumni, Bandung

Wignjosoebroto, Soetandyo, 2000.Membangun Kesatuan Hukum Nasional untuk dan dalam Suatu Masyarakat Muhammadyah yang majemuk; Sebuah Masalah Trasformasi Budaya,Muhammadiyah University Press, Surakarta

INTERNET

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Batak diakses tanggal 1 Juni 2012 http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Mandailing diakses tanggal 1 Juni 2012

http://www.negarahukum.com/hukum/pragmatic-legal-realism.html diakses tanggal 20 Mei 2012

http://duakoto.wordpress.com/2007/12/26/marga-marga-mandailing/ diakses pada tanggal 3 Agustus 2012 jam 11.45 WIB


(6)

http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/01/hukum-adat-dalam-perkembangan.html# sdfootnote10sym diakses pada tanggal 27 Juli 2012, jam 13.32

http://www.mandailing.org/ind/rencana21.html diakses pada tanggal 27 Juli 2012, jam 14:19

http://sopopanisioan.blogspot.com/2012/06/review-buku-mandailing-sejarah-adat-dan.html diakses pada tanggal 29 Juli 2012, pada jam 14.13 WIB

http://sopopanisioan.blogspot.com/search?q=perkawinan+adat+mandailing diakses pada tanggal 29 Juli 2012, pada jam 14.42 WIB

http://calonmanten.com/articles/pesta-pernikahan-tradisional-atau-modern/ diakses pada tanggal 29 Juli 2012, pada jam 15.13 WIB

http://sosbud.kompasiana.com/2011/02/04/adat-istiadat-dalam-upacara-pernikahan-perlukah/ diakses pada tanggal 29 Juli 2012, pada jam 15.59 WIB

http://www.mandailing.org/ind/rencana17.html diakses pada tanggal 2 Agustus 2012 jam 13,00 WIB

http://forum.detik.com/sejarah-perang-paderi-1821-1837-t80921.html?s=bad142da 88654ad6c13e99e41f6c2a92& diakses pada tangal 11 November 2012, jam 10.21 WIB

http://www.mandailingonline.com/2011/10/mandailing-natal-sejarah-dan-entitas-budaya/ diakses pada tanggal 11 November 2012 jam 10.58 WIB