PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES MENGGORENG

MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 23-28

PENGARUH SUHU DAN LAMA PROSES MENGGORENG (DEEP FRYING)
TERHADAP PEMBENTUKAN ASAM LEMAK TRANS
Ratu Ayu Dewi Sartika
Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
E-mail : ratuayu@ui.ac.id

Abstrak
Proses menggoreng adalah salah satu cara memasak bahan makanan mentah (raw food) menjadi makanan matang
menggunakan minyak goreng. Umumnya, proses ini dilakukan oleh industri pengolahan makanan, restoran, jasa boga,
penjual makanan jajanan maupun tingkat rumah tangga. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium
yang dilakukan di Laboratorium Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-UI serta Laboratorium terpadu IPB, Bogor, pada
bulan Desember tahun 2005 sampai Maret 2006. Penelitian dilakukan dengan 2 macam perlakuan (sampel minyak hasil
penggorengan singkong dan daging) dengan 4 kali pengulangan setiap perlakuan. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui pengaruh menggoreng dengan cara deep frying (suhu tinggi dan jangka waktu lama) serta berulang terhadap
pembentukan asam lemak trans. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam lemak yang paling banyak terkandung pada
minyak goreng adalah asam oleat (bentuk cis). Asam lemak trans (elaidat) baru terbentuk setelah proses menggoreng
(deep frying) pengulangan ke-2, dan kadarnya meningkat sejalan dengan pengulangan penggunaan minyak. Hasil uji
korelasi antara asam elaidat (trans) dan asam oleat (cis) menunjukkan asosiasi negatif (r = - 0,8; p = 0,016). Dilihat dari

mulai terbentuknya asam lemak trans, maka disarankan untuk menggunakan minyak goreng tidak lebih dari 2 (dua) kali
pengulangan.

Abstract
Influencing of Deep Frying in Forming of Trans Fatty Acid. Frying process is one of the cooking’s techniques using
vegetable oil. This process is commonly used in food industry, restaurants, food services, food retail and household
scale. This is a laboratory experimental study which performed in laboratory of Public Health Nutrition FKM-UI and
Integrated Laboratory IPB, Bogor from December 2005 until March 2006. It was conducted by two (2) type of
treatment (used cooking oil ex cassava and meat) with 4 (four) times for each treatment. The objective of this study is to
know the influence of frying by using deep frying (frying in high temperature and in a long time) and repeating to trans
fatty acid formation in cooking oil. From the result revealed that fatty acid type mostly contained in a fresh cooking oil
is oleic acid. Trans fatty acid was formed after second repeating of deep frying and increased in line with the frequent of
repeating. Correlation test result had shown that negative association between elaidic acid (trans) and oleic acid (cis)
(r = - 0,8; p value = 0.016). In accordance with the beginning of trans fatty acid formation, it would be better to use the
cooking oil not more than twice.
Keywords: deep frying, trans fatty acid, cooking oil

minyak kelapa sawit sebanyak 2 kali (pengambilan
lapisan lemak jenuh) menyebabkan kandungan asam
lemak tak jenuh menjadi lebih tinggi [1]. Tingginya

kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan minyak
mudah rusak oleh proses penggorengan (deep frying),
karena selama proses menggoreng minyak akan
dipanaskan secara terus menerus pada suhu tinggi serta
terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yang
memudahkan terjadinya reaksi oksidasi pada minyak
[2].

1. Pendahuluan
Minyak merupakan campuran dari ester asam lemak
dengan gliserol. Jenis minyak yang umumnya dipakai
untuk menggoreng adalah minyak nabati seperti minyak
sawit, minyak kacang tanah, minyak wijen dan
sebagainya. Minyak goreng jenis ini mengandung
sekitar 80% asam lemak tak jenuh jenis asam oleat dan
linoleat, kecuali minyak kelapa. Proses penyaringan

23

24


MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 23-28

Isomer geometris terbentuk apabila ikatan rangkap cis
(struktur bengkok) terisomerisasi menjadi konfigurasi
trans (struktur lebih linier) yang secara termodinamik
sifatnya lebih stabil daripada cis, seperti asam oleat
menjadi asam elaidat [3]. Bentuk isomer trans lebih
menyerupai asam lemak jenuh daripada asam lemak tak
jenuh. Secara kimiawi, konfigurasi asam lemak tak
jenuh trans mengikat atom hidrogen secara
berseberangan (opposite), sedangkan bentuk cis
sebaliknya [4].
Terdapat 2 (dua) cara proses menggoreng, yaitu pan
frying dan deep frying. Menggoreng cara deep frying
membutuhkan minyak dalam jumlah banyak sehingga
bahan makanan dapat terendam seluruhnya di dalam
minyak. Proses menggoreng adalah suatu proses
persiapan makanan dengan cara memanaskan bahan
makanan di dalam ketel yang berisi minyak [2].

Menurut Puspitasari, pembentukan asam lemak trans
dalam makanan diperoleh pada saat pemanasan selama
pengolahan minyak (refinery) [3,5] Secara umum,
makanan yang digoreng mempunyai struktur yang sama
yaitu lapisan permukaan (outer zone surface), lapisan
tengah (outer zone/crust) dan lapisan dalam (inner
zone/core). Lapisan bagian dalam dari makanan (core)
masih mengandung air. Lapisan tengah makanan (crust)
adalah bagian luar makanan yang merupakan hasil
dehidrasi pada saat digoreng [2].
Minyak yang diserap untuk mengempukkan crust
makanan, sesuai dengan jumlah air yang menguap pada
saat menggoreng. Jumlahnya yang terserap tergantung
dari perbandingan antara lapisan tengah dan lapisan
dalam. Semakin tebal lapisan tengah maka semakin
banyak minyak yang akan terserap. Lapisan permukaan
merupakan hasil reaksi Maillard (browning non
enzimatic) yang terdiri dari polimer yang larut, dan
tidak larut dalam air serta berwarna coklat kekuningan.
Biasanya senyawa polimer ini terbentuk bila makanan

jenis gula dan asam amino, protein dan atau senyawa
yang mengandung nitrogen digoreng secara bersamaan
[6].
Umumnya kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak
tak jenuh, tetapi bila minyak dipanaskan suhu 100oC
atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi.
Oksidasi pada penggorengan suhu 200oC menimbulkan
kerusakan lebih mudah pada minyak dengan derajat
ketidakjenuhan tinggi, sedangkan hidrolisis mudah
terjadi pada minyak dengan asam lemak jenuh rantai
panjang [7,8].
Dalam kehidupan sehari-hari, asam lemak trans
dijumpai dalam berbagai produk pangan lemak nabati
yang dihidrogenasi seperti margarin, shortening, biskuit
atau kue-kue. Proses hidrogenasi yang terjadi selain
menghasilkan jumlah lemak jenuh lebih banyak, juga

Gambar 1. Struktur Kimia dari Cis-Asam Lemak Tak
Jenuh (Asam Oleat), Trans-Asam Lemak Tak
Jenuh (Asam Elaidat) Dibandingkan dengan

Asam Lemak Jenuh (Asam Stearat) [9]

Inner Zone, or Core
Outer Zone Surface
Outer Zone, or Crust

Gambar 2. Basic Structure of Deep Fried Foods [2,6]

akan mengubah bentuk cis menjadi trans. Fennema
menyebutkan bahwa pada suhu 25oC, reaksi oksidasi
terhadap asam oleat (C18:1 cis) akan menghasilkan 2
(dua) senyawa radikal intermediate yaitu cis dan trans
[6]. Selama ini belum pernah dilakukan penelitian untuk
mengetahui pengaruh penggorengan dengan cara deep
frying (suhu tinggi dan pengulangan) terhadap
pembentukan asam lemak trans, mengingat preferensi
konsumen terhadap makanan gorengan di Indonesia
termasuk tinggi, sementara kekhawatiran tentang
adanya pengaruh metabolik dari lemak trans khususnya
yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular telah

bermunculan.

2. Metode Penelitian
Disain penelitian adalah uji eksperimental laboratorium
dengan 2 (dua) macam perlakuan (minyak hasil
penggorengan singkong dan daging) dan 4 (empat) kali
pengulangan dengan suhu 200°C. Penelitian dilakukan
di laboratorium Gizi Kesehatan Masyarakat FKM-UI
serta laboratorium terpadu IPB, Bogor.
Bahan, alat dan cara kerja: a) Sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah minyak goreng komersil
merk ’B’ yang diperoleh dari supermarket, serta bahan
makanan yang digoreng adalah singkong dan daging
yang dipotong dengan ukuran/porsi seperti yang
dijajakan oleh pedagang makanan (50 gram); b) Bahan
kimia yang digunakan adalah larutan standar, larutan
NaOH dalam metanol, larutan BF3, larutan NaCl jenuh,
Na2SO4 anhidrat dan heksana.

25


MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 23-28

Peralatan yang digunakan adalah: (1) Ketel
penggorengan terbuat dari aluminium dan pengaduk
kayu; (2) Termometer (alat pengukur suhu minyak pada
saat menggoreng bahan makanan); (3) Peralatan Gas
Chromatography (GC) merk Shimadzu GC-17a, 007
series bonded phase fused silica capillary column
no.020711a. Alat ini untuk memisahkan konfigurasi
asam lemak cis dan trans [6]. Komponen dipisahkan
dengan cara diuapkan, dibawa oleh gas inert dan
dilewatkan melalui sebuah kolom/fase diam yang
berupa zat padat atau cairan yang tidak mudah
menguap yang melekat pada bahan pendukung inert.
Jenis kolom: Cyanopropil methyl sil (capillary column);
dimensi kolom: p = 60 m; Ã` dalam = 0,25 mm, 0,25 î ¼
Film Tickness.
Proses menggoreng dimulai dengan memasukkan
minyak goreng segar ke dalam ketel penggorengan

sebanyak + 1 liter, kemudian ketel dipanaskan hingga
suhu mencapai yang diinginkan yaitu 200oC
(menggunakan alat termometer), kemudian bahan
makanan digoreng hingga matang dan diupayakan
sejarang mungkin melakukan pengadukan untuk
mengurangi aliran konveksi dalam minyak dan reaksi
oksidasi akibat terjadinya proses aerasi [7, 8].
Identifikasi terhadap komposisi asam lemak dilakukan
pada 2 (dua) sampel yaitu minyak hasil gorengan
singkong dan minyak hasil gorengan daging. Faktor
yang membedakan adalah pengulangan penggorengan
dan lama proses menggoreng. Minyak yang digunakan
untuk pengulangan adalah minyak yang sama (tidak
diganti dan tidak dilakukan penambahan volume
minyak segar). Waktu yang dipakai untuk menggoreng
singkong yaitu: pengulangan pertama dengan waktu
penggorengan 15 dan 30 menit (sampel A dan B).
Pengulangan ke-2 dengan waktu penggorengan 15 dan
30 menit (sampel C dan D). Pengulangan ke-3 dengan
waktu penggorengan 15 dan 30 menit (sampel E dan F).

Pengulangan ke-4 dengan waktu penggorengan 15 dan
30 menit (sampel G dan H).
Sedangkan waktu yang dipakai untuk menggoreng
daging lebih pendek yaitu sekitar 4 menit (dengan 2 kali
pengulangan, masing-masing selama 2 menit), karena
daging sudah dalam keadaan precooked. Pengulangan
pertama dengan waktu penggorengan @ 2 menit
(sampel A’ dan B’). Pengulangan ke-2 dengan waktu
penggorengan @ 2 menit (sampel C’ dan D’).
Pengulangan ke-3 dengan waktu penggorengan @ 2
menit (sampel E’ dan F’). Pengulangan ke-4 dengan
waktu penggorengan @ 2 menit (sampel G’ dan H’).
Jumlah total sampel/minyak perlakuan adalah 16
sampel. Tiap perlakuan terdiri dari 4 (empat) kali
pengulangan dan tiap pengulangan sebanyak 2 (dua)
sampel minyak. Sampel minyak diambil langsung
setelah proses penggorengan, kemudian minyak dalam

ketel didiamkan hingga
penggorengan berikutnya.


dingin

dan

dilanjutkan

Pengukuran suhu minyak dengan termometer
dimaksudkan untuk menjaga agar suhu minyak konstan,
dan waktu mulai dihitung jika suhu sudah mencapai
200oC (selama 15 dan 30 menit untuk singkong
sedangkan untuk daging selama 2 menit). Analisis mutu
minyak goreng dilakukan di laboratorium, berdasarkan
parameter kadar asam lemak trans yang terbentuk dan
kadar asam oleat (cis) dari minyak.
Cara pengukuran asam lemak dalam minyak:
a. Preparasi sampel (hidrolisis dan esterifikasi).
Pertama, sampel minyak ditimbang dalam tabung
bertutup teflon, kemudian ditambahkan 1 ml NaOH
0,5 N dalam metanol dan dipanaskan dalam
penangas air selama 20 menit.
b.

Selanjutnya ditambahkan 2 ml BF3 16% dan 5
mg/ml standar internal dan dipanaskan lagi selama
20 menit. Setelah dingin, ditambahkan 2 ml NaCl
jenuh dan 1 ml heksana. Lapisan heksana
dipisahkan dan dimasukkan ke dalam tabung yang
berisi 0,1 g Na2SO4 anhidrat dan dibiarkan selama
15 menit. Fase cair dipisahkan dan diinjeksikan ke
kromatografi gas.

c.

Analisis komponen asam lemak, sebagai FAME
dengan alat kromatografi gas, kolom cyanopril
methyl sil (capilary column). Kondisi alat diatur
sebagai berikut: dimensi kolom (p = 60 m; Ã` dalam
= 0,25 mm, 0,25 î ¼ Film Tickness); laju alir N2: 20
mL/menit; laju alir H2:30 mL/menit; laju alir
udara:200 †“ 250 mL/menit; suhu injektor: 200
ÂoC; suhu detektor: 230 ÂoC; suhu kolom: program
temperature (kolom temperatur: awal 190oC diam
15 menit, akhir 2300C diam 20 menit dan rate
100C/menit); ratio = 1:8; inject volum: 1 î ¼L;
linier velocity: 20 cm/sec.

d.

Analisis dimulai dari injeksi pelarut (1 ÂμL) ke
dalam kolom untuk memperoleh baseline,
kemudian dilanjutkan dengan menginjeksi 5 ÂμL
campuran standar FAME. Bila semua puncak sudah
keluar baru kemudian sampel diinjeksikan
sebanyak 5 ÂμL. Waktu retensi dan puncak sampel
diukur
untuk
masing-masing
komponen
dibandingkan dengan standar dan dihitung dengan
cara sebagai berikut:
Cx = Ax . R Cs
As
keterangan:
Cx : Konsentrasi komponen X
Cs : Konsentrasi standar internal
Ax : Luas puncak komponen X
As : Luas puncak standar internal
R : Respon

26

MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 23-28

3. Hasil dan Pembahasan
Uji asam lemak trans pada minyak goreng (setelah
menggoreng singkong). Tabel 1 menunjukkan
kandungan asam oleat pada minyak segar (sebelum
digunakan dalam proses menggoreng) yaitu sebesar
41,35%b/b. Setelah minyak dipakai untuk menggoreng
singkong terlihat penurunan kadar asam oleat (sampel
A, B dan C), tetapi belum tampak adanya pembentukan
asam lemak trans. Asam lemak trans baru terbentuk
setelah minyak dipanaskan pada pengulangan ke-2
dengan waktu 30 menit yaitu sebesar 0,37%b/b (sampel
D). Jumlah asam lemak trans (elaidat) ini meningkat
sejalan dengan pengulangan ke-3 dan ke-4 serta
penambahan waktu menggoreng (sampel E, F, G dan
H).
Reaksi oksidasi terhadap asam oleat (bentuk cis)
menyebabkan terbentuknya isomer trans (asam elaidat).
Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya asosiasi
negatif antara asam elaidat dan asam oleat (r = -0,8;
p = 0,016), artinya penurunan kadar asam oleat (cis)
diikuti dengan peningkatan kadar asam elaidat (trans).
Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa
pengulangan penggunaan minyak goreng kemungkinan
dapat menyebabkan adanya kandungan asam lemak
trans pada makanan yang digoreng. Walaupun jenis
bahan baku makanan tersebut bukan berasal dari
kelompok ruminansia. Hal ini karena terjadinya
penyerapan minyak oleh bahan makanan selama proses
penggorengan.
Uji asam lemak trans pada minyak goreng (setelah
menggoreng daging sapi). Seperti halnya proses
menggoreng singkong, asam lemak trans belum
terbentuk saat minyak pertama kali digunakan untuk
menggoreng daging sapi. Kadar asam oleat (bentuk cis)
pada tahap penggorengan awal sebesar 35,94%b/b
(sampel A’). Pembentukan asam lemak trans (asam
elaidat) baru terjadi setelah minyak dipanaskan 2 (dua)
menit berikutnya yaitu sebesar 0,13%b/b (sampel B’).
Jumlah asam elaidat ini meningkat sejalan dengan
pengulangan ke-2 dan ke-3 serta menurun pada
pengulangan ke-4. Pada sampel E’ terjadi peningkatan
kadar asam elaidat yang cukup besar yaitu 1,51% b/b
dan kembali menurun pada sampel F’, G’ dan H’. Hasil
uji korelasi Pearson antara asam elaidat dan asam oleat
menunjukkan bahwa ada asosiasi negatif antara asam
elaidat dan asam oleat, walaupun hubungan ini tidak
signifikan (r = -0,14; p > 0,05). Peneliti menduga bahwa
tidak adanya hubungan antara penurunan asam lemak
bentuk cis dan peningkatan asam lemak bentuk trans
disebabkan oleh reaksi oksidasi yang tidak saja
mengubah bentuk cis menjadi trans, tetapi juga merusak
ikatan isomer trans yang sudah ada.

Bentuk isomer dari asam linoleat (cis) adalah asam
linolelaidat (C18:2n9t). Pada penelitian ini, tampaknya
asam linolelaidat (trans) hanya terdeteksi pada sampel
E’ yaitu sebesar 0,25%b/b. Tetapi pada proses
pengulangan berikutnya tidak lagi terdeteksi adanya
jenis asam lemak trans ini.
Tabel 1. Hasil Analisis Asam Elaidat dan Asam Oleat
pada Minyak (Setelah Menggoreng Singkong)
dalam Berbagai Pengulangan

Pengulangan

Sampel
(minyak)

Waktu Suhu
(Menit) (°C)

Minyak baru
A
15
200
B
30
200
C
15
200
Ke-2
D
30
200
E
15
200
Ke-3
F
30
200
G
15
200
Ke-4
H
30
200
Keterangan : - = tidak ada ; (r =- 0,8,
(λ) = 23,104 (C18:1n9t)
Ke-1

Asam Elaidat
Asam
(trans)
Oleat (cis)
(C18:1n9t)
(C18:1n9c)
b
b
(% /b)
(% /b)
41,35
37,94
39,55
41,92
0,37
36,16
0,54
37,22
0,54
36,33
0,66
36,59
0,73
35,69
p =0,016); asam lemak elaidat

Tabel 2. Hasil Analisis Asam Elaidat dan Asam Oleat pada
Minyak (Setelah Menggoreng Daging Sapi)
dalam Berbagai Pengulangan
Asam
Asam Oleat
Elaidat
(cis)
Sampel Waktu Suhu
(trans)
Pengulangan
(°C) (C :1 9 ) (C18:1n9c)
(minyak) (menit)
18 n t
b
(% /b)
b
(% /b)
A’
2
200
35,94
Ke-1
B’
2
200
0,13
40,72
C’
2
200
0,90
37,08
Ke-2
D’
2
200
0,85
35,79
E’
2
200
1,51
27,92
Ke-3
F’
2
200
1,17
35,99
G’
2
200
1,36
37,81
Ke-4
H’
2
200
1,20
36,80
Keterangan : - = tidak ada; (r=- 0,14, p=0,736); asam lemak elaidat
(λ) = 23,104 (C18:1n9t)

Gambar 1. Hasil Analisis Asam Lemak pada Minyak
Goreng Menggunakan Gas Chromatography,
Kolom Cyanopril Methyl Sil (Capilary Column)

MAKARA, SAINS, VOL. 13, NO. 1, APRIL 2009: 23-28

27

Kadar asam lemak trans yang cenderung turun naik
pada minyak hasil menggoreng daging, kemungkinan
disebabkan asam lemak tak jenuh yang terdapat dalam
daging mengalami pemecahan ikatan rangkap (asam
oleat, linoleat dan linolenat) serta terjadi isomerisasi,
sehingga terlihat kadar asam elaidat (trans) tertinggi
pada sampel E’, diikuti dengan penurunan kadar oleat
(terendah). Jadi pembentukan asam lemak trans
(C18:1n9t dan C18:2n9t) kemungkinan tidak saja berasal
dari asam lemak cis pada minyak yang mengalami
isomerisasi, tetapi juga berasal dari asam lemak trans
yang secara alamiah sudah terdapat dalam daging sapi
(ruminansia),
yang
kemudian
selama
proses
penggorengan terjadi pelarutan asam lemak trans dari
komponen daging yang digoreng tersebut. Daging yang
sebelum digoreng mengandung 2,2 %b/b asam elaidat.

kerusakan
minyak
diakibatkan
oleh
proses
penggorengan pada suhu tinggi (200-250oC) [2].

Pada saat menggoreng daging, waktu yang dibutuhkan
relatif lebih singkat dibandingkan dengan saat
menggoreng singkong. Hal ini disebabkan karena
daging tersebut sudah dalam keadaan pre-cooked,
sehingga waktu untuk menjadi matang relatif lebih
pendek [10].

Simpulan. Setelah proses menggoreng dengan cara
deep frying (suhu tinggi dan waktu yang lama) terlihat
adanya hubungan terbalik antara kadar asam lemak
elaidat (trans) dan asam oleat (cis) dengan nilai p