PENGARUH PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP HUKUM ISLAM ANALISIS PERBANDINGAN KAIDAH TAGHAYYUR AL-AHKAM BI TAGHAYYUR AL-AZMINAH, WA AL-AMKINAH, WA AL-AHWAL WA AL-NIYAT WA AL-AWAID DENGAN ALIRAN SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE.

(1)

PENGARUH PERUBAHAN SOSIAL TERHADAP

HUKUM ISLAM

ANALISIS PERBANDINGAN KAIDAH TAGHAYYUR AL-AHKA<M BI>

TAGHAYYUR AL-AZMINAH, WA AL-AMKINAH, WA AL-AHWA<L WA

AL-NIYA<T WA AL-AWA<ID DENGAN ALIRAN SOSIOLOGICAL

JURISPRUDENCE

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Ilmu Keislaman

Kosentrasi Syari’ah

Oleh:

Mustaufikin

NIM. F1.22.12.154

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

ABSTRAK

Masyarakat selalu bergerak maju menuju perubahan di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti aspek sosial, budaya dan ekonomi. Perubahan sosial yang terjadi pada tatanan masyarakat secara langsung atau tidak langsung menimbulkan berbagai macam persoalan baru di bidang hukum yang tidak akan pernah habis. Di sisi lain sumber hukum Islam yaitu al-Qur‟an dan sunah sangat terbatas dan tidak mungkin terjadi penambahan. Bagaimana respon hukum Islam terhadap berbagai masalah yang timbul akibat perubahan sosial. Permasalahan ini yang akan dibahas di dalam penelitian ini dengan membuat dua rumusan masalah yaitu : Bagaimana konsep hukum dalam kaidah Taghayyur Ahka>m Bi> Taghayyur Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id, dan Sosiological Jurisprudence?. Apa persamasan dan perbedaan konsep hukum dalam kaidah

Taghayyur Ahka>m Bi> Taghayyur Azminah, Wa Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id dan Sosiological Jurisprudence?.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui konsep hukum dalam kaidahTaghayyur Al-Ahka>m Bi> Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id”, dan sosiological Jurisprudence. dan Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan konsep hukum antara kaidah

Taghayyur Ahka>m Bi> Taghayyur Azminah, Wa Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id dan Sosiological Jurisprudence. Sehingga dapat dijelaskan hubungan hukum dengan perubahasan sosial melalui dua teori tersebut.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis-logis untuk memaparkan kaidah Taghayyur Ahka>m bi> Taghayyur Azminah, wa al-Amkinah, wa al-Ahwal wa al-Niyya>t wa al-Awa>id, dan teori sosiological jurisprudence, kemudian akan dianalisis dengan deskriptif analisis komparatif. Dari penilitian ini dapat disimpulkan bahwa konsep hukum baik menurut kaidah taghayyur ahka<m bi> taghayyur azminah, wa amkinah, wa ahwa<l wa al-niya<t wa al-‘awa<id maupun aliran sosiological jurisprudence adalah hukum selalu mengikuti perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, karena hukum tidak bisa lepas dari konteks masyarakatnya. Secara teoritik persamaan menggunakan pendekatan teleologis yaitu Hukum harus selalu dikaitkan dengan tujuan sosialnya. Sedangkan pada tataran praktis kedua paradigma ini sama-sama berbicara tentang efektifitas hukum. Sedangkan perbedaan dari keduanya ada pada cakupan perubahan hukumnya, cakupan perubahan hukum Islam terbatas pada wilayah zanni>, sedangkan pada aliran sosiological jurisprudence tidak membatasi wilayah perubahan hukumnya.


(6)

viii

DAFTAR ISI

Halaman

PERNYATAAN KEASLIAN ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... iv

ABSTRAK ... v

UCAPAN TERIMAKASIH ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 13

C. Rumusan Masalah ... 14

D. Tujuan Penelitian ... 14

E. Kegunaan Hasil Penelitian ... 15

F. Kerangka Teoritik ... 15

G. Penelitian Terdahulu ... 17

H. Metode Penelitian ... 20

I. Sistematika Pembahasan ... 24

BAB II KONSEP HUKUM MENURUT ALIRAN SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE A. Pengertian dan Latar Belakang Munculnya Aliran Sosiological Jurisprudence ... 26

B. Tokoh dan Pemikiran Aliran Sosiological Jurisprudence ... 35


(7)

ix

BAB III KONSEP HUKUM MENURUT KAIDAH TAGHAYYUR

AL-AHKA<M BI> TAGHAYYUR AL-AZMINAH, WA AL-AMKINAH, WA AL-AHWA<L WA AL-NIYA<T WA AL-‘AWA<ID

A.Tinjauan Umum al-Qawa>’id al-Fiqhi>yah ... 73

B.Konsep Hukum di Dalam Kaidah Taghayyur Al-Ahka<M Bi> Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwa<L Wa Al-Niya<T Wa Al-‘Awa<Id ... 85

C.Adat dan Perubahan Hukum Islam ... 95

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN KONSEP HUKUM MENURUT KAIDAH TAGHAYYUR AHKA<M BI> TAGHAYYUR AZMINAH, WA AMKINAH, WA AHWA<L WA AL-NIYA<T WA AL-‘AWA<ID DENGAN ALIRAN SOSIOLOGICAL JURISPRUDENCE A. Konsep Hukum menurut Kaidah Taghayyur Al-Ahka<M Bi> Taghayyur Azminah, Wa Amkinah, Wa Al-Ahwa<L Wa Al-Niya<T Wa Al-‘Awa<Id Dengan Aliran Sosiological Jurisprudence ... 110

B. Persamaan dan Perbedaan Kaidah Taghayyur Al-Ahka<M Bi> Taghayyur Azminah, Wa Amkinah, Wa Al-Ahwa<L Wa Al-Niya<T Wa Al-‘Awa<Id Dengan Aliran Sosiological Jurisprudence ... 125

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 129

B. Implikasi Teoritik ... 131

C. Keterbatasan Studi ... 132

D. Rekomendasi ... 132 DAFTAR PUSTAKA


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum dalam ushul fikih didefinisikan sebagai titah Allah1.Titah Allah menurut para pakar ilmu ushul dibedakan menjadi dua: titah Allah yang terdapat dalam al-Quran dan sunah (mansu}sa>t), dan titah Allah yang didapat melalui proses pemikiran pakar hukum dengan jalan qiya>s (analogi) atau

ijma‟ (ghoirumans}usa>t).2 Oleh karena itu sumber hukum Islam yang disepakati oleh para ulama adalah al-Qura>n, Sunah, Ijma’, dan qiya>s. akan

tetapi yang menjadi sumber utama adalah al-Qura>n dan Sunah, karena ijma’

dan qiya>s tetap bersandar kepada keduanya.

Pengertian hukum sebagai titah Allah berakibat pada metode istinbat hukum. Dalam perspektif ushul fikih, setidaknya terdapat tiga pola (tariqat) atau metode istinbat hukum, yaitu bayani (linguistik), ta‟lili (qiyasi: kausasi) dan istislahi (teleologis).3 Ketiganya, merupakan pola umum yang dipergunakan dalam menemukan dan membentuk peradaban fikih dari masa ke masa. Dengan berbagai pola dan basis epistemik inilah lahir dan tersusun

1 عض أ ا يي ت أ ط نيف ا عفأ ق ع ا عر ش ا طخ

lihat Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus: Da>r al-Fikr, 2009), 46.

2

Jaih Mubarok, Hukum Islam: Konsep, Pembaharuan dan Teori Penegakan (Bandung: Benang Merah Press, 2006), 10-11.

3

Ijtihad istihsani tidak dianggap sebagai pola ijtihad yang berdiri sendiri dengan alasan beberapa bagian aplikasinya masuk bahasan ijtihad qiyasi dan sebagian yang lain dalam katagori istislahi,

Lihat lebih lanjut pada Muhammad Ma‟ruf ad-Dawalibi, al-Madhal ila ‘Ilm Usul al-Fiqh (Ttp: Da>r al-Kita>b al-Jadi>d, 1965), 419.


(9)

2

ribuan kitab fikih dengan berbagai macam cabang yang bermacam-macam di dalamnya.

Pola ijtihad bayani adalah upaya penemuan hukum melalui interpretasi kebahasaan. Konsentrasi metode ini lebih berkutat pada sekitar penggalian pengertian makna teks. Usaha ini mengandung kelemahan jika dihadapkan dengan permasalahan yang baru yang hanya bisa dipecahkan dengan makna yang jauh dari teks. Pola implementasi inilah yang berkembang dan dipergunakan oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan berbagai ketetapan hukum. Mereka hanya melakukan reproduksi makna dan belum melakukan produksi makna baru.

Sedangkan pola ijtihad kedua yaitu ta‟lili (kausasi)4 berusaha meluaskan proses berlakunya hukum dari kasus nas ke kasus cabang yang memiliki persamaan illat. Dalam epistemologi hukum Islam metode ini teraplikasi melalui qiya>s. Dasar rasional aplikasi metode ini adalah adanya keyakinan kuat mujtahid yang melakukan qiya>s mengenai adanya suatu illat hukum pada kasus pokok yang menjadi alasan ditetapkannya hukum yang berlaku terhadap kasus tersebut dan illat hukum yang sama terdapat pada kasus cabang sehingga hukum kasus pokok itu berlaku pada kasus cabang.

Dengan melihat dasar dan pola operasionalnya, terlihat bahwa metode ini masih terpaku kepada nas. Kemonolitikan metode ini menguasakan hukum segala persoalan aktual kepada nas, dengan cara menempelkan hukum masalah di dalam nas (asal) kepada cabang.

4Mahsun Fuad, “Ijtihad Ta‟lili sebagai Metode Penemuan Hukum

Islam (Telaah dan


(10)

3

Deduktifitas qiyas menjauhkannya dari nuansa empirical approach padahal ideal sebuah metode penemuan hukum tidak semata berpijak pada nalar bayani (bahasa, teks, nas) akan tetapi perpaduan gerak nalar bayani dan nalar alami (perubahan empirik).

Upaya penemuan metode yang prospektif-futuristik sebenarnya dapat diharapkan pada pola ijtihad istislahi yang lebih memberi ruang kepada kemungkinan analisis sosial. Namun usaha yang dirintis oleh al-Ghazali5 dan tertata sebagai bidang keilmuan yang mantap dan terstruktur di tangan as-Syatibi6 ini tidak begitu berkembang, dipakai sebagai piranti ijtihad. Alasan umum realitas ini adalah tiadanya kata mufakat di antara pemikir akan otensitas dan landasan epistemik pola ini sebagai metode penemuan hukum Islam. Sebagaimana akan terlihat nanti betapa prospek metode ini akhirnya hilang dan baru muncul pada akhir-akhir ini dengan format, struktur dan kemasan yang modern.

Sampai di sini, terasa sekali kesan bahwa studi hukum Islam yang berkembang selama ini adalah semata-mata bersifat normatif dan sui-generis. Kesan demikian ini sesungguhnya tidak terlalu berlebihan, karena jika kita cermati dari awal dan mendasar, usul al-fikih sendiri selalu saja didefinisikan sebagai " ي يصف ا أ ن ي ع ا يع ش ا حآا ط ن سإ عا ق ا" “seperangkat

5

Mengenai konsep maslahah al-Ghazalli, lihat al-Ghazalli, Al Mustasfa min Ilm al-Usul (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th), 251.

6


(11)

4

kaidah untuk mengistinbathkan hukum syar‟i amali dari dalil-dalilnya yang

tafsili”.7

Istilah yang tidak pernah lepas tertinggal dari semua definisi usul al-fikih tersebut adalah kalimat ي يصف ا أ ن .Ini memberi kesan sekaligus membuktikan bahwa kajian metode hukum Islam memang terfokus dan tidak lebih daripada analisis teks.8Lebih dari itu, definisi di atas juga memberi petunjuk bahwa hukum dalam Islam hanya dapat dicari dan diderivasi dari teks-teks wahyu saja (law in book). Sementara itu, realitas sosial empiris yang hidup dan berlaku di masyarakat (living law) kurang mendapatkan tempat yang proporsional di dalam kerangka metodologi hukum Islam klasik9.

Lemahnya analisis sosial empiris (lack of empiricism) inilah yang disinyalir oleh banyak pihak menjadi satu kelemahan mendasar dari cara berpikir dan pendekatan dalam metode penemuan hukum Islam selama ini.10 Dari tiga model metode penemuan hukum Islam yang merupakan jabaran dari ushul fikih klasik di atas, adalah ilustrasi nyata akan semua asumsi sulitnya kajian hukum Islam memberi proporsi yang seimbang bagi telaah empiris.

7

Abu Zahrah misalnya mendefinisikannya sebagai ي ع ا حأا ط ن سإ جه ن ا س ت ي ا عا ق ا ع ا

. ي يصف ا ا ن . Lihat Abu Zahroh, Usul al-Fiqh (t.t.: Da>r al-Fikr al-„Araby, t.th.), 7. Abdul Wahhab Khallaf juga mendefinisikannya sebagai حأا ف سإ إ ص ي ي ا ح ا عا ق ا ع ا

. ي يصف ا ا ن ي ع ا يع ش ا. Lihat Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh (Kuwait: Da>r al-Qala>m, t.th.), 12.

8

. Mahsun Fuad, Pendekatan Terpadu Hukum Islam dan sosial: Sebuah Tawaran Pembaruan Metode Penemuan Hukum Islam, dalam http:/www.scribd.com/doc/224792345/makalah-mahsun-fuad. (14 Desember 2014), 5.

9

Ibid.


(12)

5

Studi ushul al-fikih pada akhirnya masih berputar pada pendekatan doktriner-normatif-deduktif dan tetap saja bersifat sui-generis.11

Kesulitan ini dari masa ke masa tetap saja merupakan tantangan yang belum terjawab tuntas. Walaupun usaha menjawab tantangan ini telah banyak dilakukan diantaranya melalui tawaran metodologis yang diusulkan oleh para pemikir hukum Islam klasik seperti al-Ghazali dengan metode induksi dan tujuan hukumnya maupun asy-Syatibi dengan induksi tematisnya.Menurut sebagian pengamat, meskipun telah merintis jalan pengembangan analisis empiris, tetapi dalam praktek dan kebanyakan tulisan mereka masih terpusat pada analisis normative-tekstual.12

Tidak dapat dipungkiri bahwa al-Quran dan sunah Rasulullah yang menjadi sumber utama untuk merumuskan hukum sudah final dan terbatas, karena tidak mungkin diperbarui lagi. Disisi lain masyarakat senantiasa mengalami perubahan, baik berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi dan lainnya.13 Perubahan masyarakat menimbulkan permasalahan-permasalahan baru terus berkembang tanpa batas.

Permasalahan hukum yang muncul di dalam masyarakat tidak akan pernah berhenti karena didasari oleh perubahan masyarakat yang selalu bergerak mengikuti perubahan sosial. Secara ontologi masyarakat tidak berada dalam keadaan tetap terus-menerus, semua realitas sosial senantiasa

11Bandingkan dengan Akh. Minhaji, “Reorientasi Kajian Ushul Fiqih”,

al-Jami‟ah Journal of Islamic Studies, No. 63/VI tahun 1999, 16-17.

12Syamsul Anwar, “Teori Hukum Hukum

Islam al-Ghazali dan Pengembangan Metode Penemuan Hukum Islam”, dalam M. Amin Abdullah et. al., Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), 198.

13


(13)

6

berubah dengan derajat kecepatan, intensitas, irama, dan tempo yang berbeda.14

Perubahan sosial dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti kependudukan, habitat fisik, terknologi, atau struktur dan kebudayaan masyarakat.Sedangkan prosesnya dapat didorong oleh kemajuan sistem pendidikan, sikap toleransi terhadap penyimpangan perilaku, sistem stratifikasi sosial yang terbuka, tingkat heterogenitas penduduk, dan rasa ketidakpuasan terhadap kondisi kehidupan tertentu.15

Perubahan sosial dengan berbagai faktor dan akibatnya, memberikan pengaruh terhadap hukum, dalam arti, menuntut adanya perubahan hukum dalam rangka menanggapi problema yang dimaksud. Dalam kaitan ini, Soerjono Dirdjo sisworo mengatakan : “terjadinya interaksi antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat adalah fenomena nyata... titik sentral sebagai penentu dari berbagai gejala yang juga menentukan watak dan perubahan hukum itu adalah manusia sendiri”16

. Untuk itu seharusnya perubahan hukum Islam juga dapat mengikuti perubahan sosial.

Ijtihad17 merupakan jembatan untuk menghubungkan jarak antara perubahan sosial dan pembaharuan hukum. Ijtihad sebagai sarana untuk menggali hukum langsung dari sumbernya yaitu al-Qur‟an dan sunah harus

14

Alimandan, Sosiologi Perubahan Sosial (Jakarta: Prenada, 2011), 9.

15

Soerjono Soekanto, Beberapa permasalahan dalam kerangka pembangunan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1975), 179.

16

Soerjono Dirdjo Sisworo, Sosiologi Hukum: Studi tentang Perubahan Hukum dan Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), 83.

17

Ijtihad menurut, mayoritas ulama ushul adalah pengerahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat zhan mengenai hukum

syara‟.Pengertian tersebut menunjukkan bahwa fungsi ijtihat adalah untuk mengeluarkan hukum syara‟ amali yang statusnya zhanni. Ibrahim Hosen, Memecahkan Permasalahan Hukum Baru,


(14)

7

tetap dilakukan. Agar tidak terjadi kekosongan hukum pada permasalahan-permasalahan baru yang muncul. Jika hal itu terjadi maka adigium hukum Islam s}olih likulli zama>n wa maka>n, dapat terwujud.

Ijtihad merupakan sumber ketiga hukum Islam. Hal ini sesuai dengan sebuah hadis: Nabi Muhammad bertanya kepada Muad bin Jabal tentang bagaimana sikapnya bila ia menghadapi masalah yang penyelesaian atas masalah itu tidak terdapat di dalam al-Qur‟an maupun hadis, dan Ibn Jabal Menjawab bahwa ia akan melakukan Ijtihad.18

Akan tetapi metode ijtihad yang selama ini berkembang hanya berkisar pada metode bayani (linguistik), ta‟lili (qiyasi: kausasi) dan istislahi

(teleologis). Ketiganya hanya menggandakan teks tanpa menggunakan pendekatan empiris. Selain itu ruang untuk berijtihad juga pada nas-nas yang bersifat z}anny dari segi dalalahnya. Akan tetapi jika dalalah nas tersebut

qat‟i maka tidak ada ruang untuk berijtihad19.

Membatasi metode ijtihad hanya pada teks tidak akan dapat menjawab permasalahan yang muncul karena perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat. hal ini tidak sesuai dengan hukum Islam yang bersifat universal. Universalitas keberlakuan hukum Islam meniscayakan ketundukan semua pemeluk Islam pada ajaran-ajaran Islam, dimanapun dan kapanpun mereka berada, dan juga meniscayakan adanya nilai-nilai universal yang

18

Harun Nasution, Ijtihad Sumber Ketiga Hukum Islam dalam Ijtihad dalam Sorotan, ed….. (Bandung: Mizan, 1996), 113.

19


(15)

8

terkandung di dalam hukum-hukum cabang yang mungkin berbeda satu tempat dengan lainnya.20

Perbedaan ketentuan hukum dalam kasus yang sama ditempat yang berbeda, atau disatu tempat yang sama tetapi terjadi di waktu yang berbeda, mengindikasikan sifat fleksibilitas dan elastisitas hukum Islam itu sendiri dalam merespon persoalan-persoalan hukum. Fleksibilitas dan elastisitas hukum Islam ini mendukung karakter universalitas tersebut. Hukum Islam atau fikih menjadi respon langsung terhadap realitas dan problematika hukum yang terjadi.21

Hasbi as-Sidiqie menjelaskan bahwa sifat dasar hukum Islam adalah

takammul (universal), wasat}iyah, dan harakah. Maksud dari takammul adalah lengkap, sempurna dan bulat terkumpul padanya aneka pandangan hidup.Hukum Islam menghimpun segala sudut dan segi yang berbeda-beda di dalam suatu kesatuan. Karenanya hukum Islam tidak menghendaki adanya pertentangan antara ushul dan furu‟, tetapi saling melengkapi dan menguatkan satu sama lain.22

Sifat syumul dalam hukum Islam menjadikannya dapat melayani golongan yang tetap /bertahan pada apa yang sudah usang dan dapat melayani golongan yang ingin mendatangkan pembaharuan-pembaharuan dalam

20

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas, Fiqh al-Aqaliya>t dan Evolusi Maqa>sid al-Syariah dari

Konsep ke Pendekatan (Yogyakarta: LkiS, 2010), 2.

21

Ibid., 3.


(16)

9

hukum Islam. Hukum Islam juga dapat berasimilasi dengan segala bentuk masyarakat serta tingkat kecerdasannya23.

Sifat kedua dari hukum Islam adalah wasat}iyah, artinya hukum Islam menempuh jalan tengah, jalan yang seimbang tidak terlalu berat ke kanan mementingkan kewajiban dan tidak berat ke kiri mementingkan kebendaan. Hukum Islam menyelaraskan antara kenyataan dan fakta dengan ideal dan cita-cita.

Keseimbangan dalam hukum Islam nampak terlihat dan tergambar antara yang lama dan yang baru, antara masa dahulu dan masa kini. Pohonnya kokoh teguh, tidak goncang dan berubah, tetapi cabang dan rantingnya senantiasa berkembang. Hukum Islam tidak beku atau cair tetapi terletak diantara keduanya. Hukum Islam terletak diantara pikiran manusia yang bersifat materi dan pikiran manusia yang cenderung pada kejiwaan. Sifat takammul artinya adalah keseimbangan24.

Dari segi harakah, hukum Islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan. Hukum Islam dalam geraknya menyertai perkembangan mansia, mempunyai kaidah asasiyyah, yaitu ijtihad. Dengan ijtihad hukum Islamakan menjawab segala tantangan masa, dapat memenuhi tantangan zaman dengan tetap memelihara kepribadian dan nilai-nilai asasinya.25

23

Ibid., 106.

24

Ibid., 107.

25


(17)

10

Teori takammul, wasat}iyah, dan harakah menjadikan hukum Islam senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu hukum Islam patut disebut ‚S}a>lih li kulli zama>n wa maka>n‛.

Sifat dasar hukum Islam tersebut menuntut hukum Islam untuk selalu berkembang mengikuti perkembangan zaman. Teori tentang perubahan hukum Islam, dirumuskan oleh para ulama‟ dalam sebuah kaidah fikhiyah :

عا ع ا ين ا ا حأا ن أا ن أا يغت سح ف ا يغت

2

“Perubahan fatwa karena perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan”.

Kaidah tersebut memberikan konsep yang menarik tentang hukum Islam. Hukum Islam yang selama ini dibentuk hanya dengan menggunakan metode yang terpaku pada nas, dalam kaidah ini pandangan tersebut berubah, bahwa hukum Islam juga dapat dibentuk oleh sesuatu di luar nas. Hukum Islam dapat berubah mengikuti perkembangan masyarakat tergantung pada tempat, waktu, keadaan, niat dan adat dari masyarakat tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan hukum islam dapat berubah mengikuti perubahan sosial.

Contoh nyata implementasi dari kaidah ini adalah adanya Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Hukum islam yang terdapat di dalam Kompilasi Hukum Islam adalah hukum Islam yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Di dalam Kompilasi Hukum Islam terkandung materi hukum Islam

26

Ibn Qayyim al-Jauziyah, I’la>m al-Muwaqi’i>n (Bairut: Maktabah al-„Asriyah, 2003), Juz I, 12. Kaidah tersebut juga dapat ditemukan dalam beberapa kitab, diantaranya, Muhammad Sidqi al-Burnu. Al-Waji>z fi> i>dah Qawa>id al-fiqhiyya>t al-Kulliya>t (Riyad: Muassasat al-Risa>la>t, 1983), ahmad Ibn Muhammad al-Zarqa, Sarh Qawa>id al-Fiqhiyya>t (Damaskus: Da>r al-Qala>m, 1989).


(18)

11

tentang Perkawinan, hibah, wasiat, wakaf dan warisan. Akan tetapi materi yang ada di dalamnya tidak lagi seperti yang terdapat pada kitab-kitab fikih. Materi tersebut telah mengalami penyesuaian dengan kondisi masyarakat Islam di Indonesia. Jadi ada beberapa contoh aturan hukum yang sama sekali berbeda dengan fikih seperti harta bersama, wasiat wajibah, dan ahli waris pengganti.27

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah seberapa jauh hukum Islam yang dikonsepsikan sebagai titah Allah dapat mengakomodir perubahan sosial yang kemudian menjadikannya pijakan sebagai perubahan hukum Islam. Apakah ada batas-batas tertentu yang menjadi batasan wilayah perubahan hukum Islam. Apakah hukum Islam selalu mengikuti gerak perubahan sosial atau hanya pada keadaan-keadaan tertentu saja, jika demikian keadaan seperti apa yang bisa merubah hukum Islam. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menarik untuk dijawab, dan diangkat menjadi penelitian.

Di sisi lain hukum barat yang selama berabad-abad didominasi aliran positivisme hukum, pada masa modern ini mulai berubah. Kajian tentang hukum telah bergeser dari positivisme yang memandang hukum sebagai perintah yang diberikan penguasa (law is a command of lawgivers)28 ke arah sosiologis yang memberikan ruang kepada aspek kehidupan masyarakat dalam membentuk hukum. Hukum tidak lagi menjadi sesuatu yang otonom

27

M. Yahya Harahap, Materi Kompilasi Hukum Islam, dalam Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, ed. Mahfud MD dkk (Yogyakarta: UII PRESS, 1993), 54.

28

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2002), 56.


(19)

12

dan tidak tersentuh oleh alam empirisnya, tetapi berubah menjadi produk dialektika antara teori-teori hukum dengan alam empirisnya.

Pokok pemikiran Positivisme tentang hukum dapat dilihat dari tiga aspek, pertama hukum hanya dipandang sebagai undang-undang atau menurut John Austin hukum didefinisikan sebagai komando. Kedua hukum dipisahkan secara tegas dengan moral dan politik. Ketiga, dalam proses judicial hukum hanya hakim mengambil putusannya hanya pada peraturan hukum yang ada.29

Dari pokok pemikiran positivisme di atas dapat dipahami bahwa hukum adalah hal yang otonom, berdiri sendiri, tidak ada hubungannya dengan masyarakat dimana hukum diberlakukan. Hukum juga dipisahkan dari moralitas dan rasa keadilan. Bahkan jika hukum itu tidak adil tetap harus ditaati.Hal ini menjadikan hukum tidak terpengaruh oleh perubahan sosial.Perkembangan masyarakat bukanlah sesuatu yang dapat merubah hukum.

Mazhab hukum sosiologis memberikan konsep baru tentang hukum, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.30Pemahaman ini mengindikasikan bahwa ada hubungan yang erat antara hukum dengan masyarakat. Hukum bukanlah sesuatu yang otonom, dan terlepas dari moralitas masyarakat. Hukum juga memiliki tujuan yaitu keadilan. Hukum bukanlah perintah dari penguasa an sich. Tetapi hukum juga bagian dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat itu sendiri.

29

Andre ata Ujan, Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela Keadilan (yogyakarta: Kanisius, 2009), 66-67.

30


(20)

13

Hubungan antara hukum dan masyarakat adalah hal yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah penelitian karena banyak permasalahan yang harus dijawab untuk menjelaskan pola hubungan tersebut. Diantaranya adalah apa bentuk hubungan antara hukum dan masyarakat, bagaimana proses hubungan itu berlangsung, dan apakah diantara keduanya saling memperngaruhi, seberapa besar pengaruhnya?.

Baik dalam hukum Islam maupun hukum barat, hubungan antara hukum dan perubahan sosial merupakan pembahasan yang menarik untuk dikaji. Untuk itulah penulis tertarik mengkaji persoalan ini karena menurut penulis penelitian ini sangat penting untuk menjawab permasalahan-permasalahan di atas.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasi diantaranya adalah :

1. Bagaimana hubungan hukum dan masyarakat ? 2. Bagaimana proses perubahan sosial terjadi ?

3. Apa pengaruh perubahan sosial terhadap hukum Islam ?

4. Apa pengaruh perubahan sosial terhadap hukum dalam teori hukum barat ?

5. Bagaimana konsep hukum dalam kaidah Taghayyur Al-Ahka>m Bi>

Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id?


(21)

14

7. Apakah ada persamaan dan perbedaan konsep hukum antara kaidah

Taghayyur Al-Ahka>m Bi> Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id dan sosiological jurisprudence ?.

C. Rumusan Masalah

Dari identifikasi masalah-masalah penelitian di atas, penulis memilih dua rumusan masalah yang akan diteliti di dalam penelitian ini yaitu :

1. Bagaimana konsep hukum dalam kaidah Taghayyur al-Ahka>m bi>

Taghayyur al-Azminah, wa al-Amkinah, wa al-Ahwa>l wa al-Niyya>t wa al-Awa>id, dan Sosiological Jurisprudence ?

2. Apa persamasan dan perbedaan konsep hukum dalam kaidah Taghayyur

Ahka>m bi> Taghayyur Azminah, wa Amkinah, wa Ahwa>l wa al-Niyya>t wa al-Awa>id dan SosiologicalJurisprudence?

Penulis memilih dua rumusan masalah ini karena dengan kedua rumusan masalah tersebut akan diketahui secara jelas pengaruh perubahan sosial terhadap hukum, baik dari paradigma kaidah Taghayyur al-Ahka>m bi>

Taghayyur Azminah, wa Amkinah, wa Ahwa>l wa Niyya>t wa al-Awa>id, maupun dari paradigma SosiologicalJurisprudence.

D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan obyek kajian dan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah

1. Untuk mengetahui konsep hukum dalam kaidahTaghayyur Al-Ahka>m

Bi> Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id”, dan sosiological Jurisprudence.


(22)

15

2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan konsep hukum antara kaidah

Taghayyur Al-Ahka>m Bi> Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id dan Sosiological Jurisprudence.

E. Kegunaan Penelitian

Sejalan dengan tujuan penelitian ini, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan informasi secara deskriptif pada kalangan akademis tentang konsep hukum dalam kaidah Taghayyur Ahka>m Bi> Taghayyur

Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id”, dan

sosiological Jurisprudence.

Sedangkan secara praktis penelitian ini berguna sebagai referensi dan acuan untuk melakukan penelitian selanjutnya bagi para akademisi atau praktisi hukum dalam menggali hukum Islam. Khususnya dalam konsep hukum dalam kaidah Taghayyur Al-Ahka>m Bi> Taghayyur Al-Azminah, Wa

Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id”, dan sosiological Jurisprudence.

F. Kerangka Teoritik

Untuk menunjang penelitian ini berikut kami jelaskan beberapa teori yang berhubungan dengan penelitian.

1. Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial, lebih tepatnya terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Hawley mendefinisikan perubahan sosial sebagai setiap perubahan yang tak


(23)

16

terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan. Menurut Macionis perubahan sosial adalah transformasi dalam organisasi masyarakat dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu. Sedangkan menurut Parsell, perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat. Farley memberikan definisi bahwa perubahan sosial adalah perubahan pola perilaku, hubungan sosial, lembaga dan struktur sosial pada waktu tertentu.31

Perubahan sosial dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudut pengamatan: apakah dari sudut aspek, fragmen, atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan keadaan sistem sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai kombinasi atau gabungan hasil keadaan berbagai kemponen seperti berikut :32

a. Unsur-unsur pokok (misalnya: jumlah penduduk dan jenis individu, serta tindakan mereka).

b. Hubungan antar unsur (misalnya: ikatan sosial, liyalitas ketergantungan, integrasi).

c. Berfungsinya unsur-unsur di dalam sistem (misalnya: peran pekerjaan yang dimainkan oleh individu).

d. Pemeliharaan batas (misalnya: kriteria untuk menentukan siapa saja yang termasuk anggota sistem, syarat penerimaan individu dalam kelompok, dan prinsip rekrutmen dalam organisasi).

31

Alimandan, Sosiologi, 3-4.


(24)

17

e. Subsistem (misalnya: jumlah dan jenis seksi, segmen, atau divisi, khusus yang dapat dibedakan).

f. Lingkungan (misalnya: keadaan alam atau lokasi geopolitik).

2. Kaidah Taghayyur Ahka>m Bi> Taghayyur Azminah, Wa

Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>idmerupakan salah satu dari al-qawa>’id al-fiqhi>yah. Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa Al-qawa>’id al-fiqhi>yah adalah Prinsip-prinsip fikih yang yang bersifat umum, dirumuskan ke dalam susunan kata-kata yang ringkas seperti undang-undang, mengandung hukum-hukum legislasi umum tentang kasus-kasus hukum yang tercakup dalam kompetensinya.33 Kaidah ini menunjukkan bahwa hukum Islam dapat berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat, niat dan kebiasaan.

3. Sosiological jurisprudence adalah salah satu mazhab dari aliran filsafat hukum yang menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat. Kata sesuai pada uraian tersebut mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Mazhab ini merupakan antitesa dari positivisme hukum.

G. Penelitian Terdahulu

Fokus penelitian dalam tesis ini adalah membahas konsep hukum yang ada pada kaidah Taghayyur Al-Ahka>m Bi> Taghayyur Al-Azminah, Wa

Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id, kemudian mengkomparasikannya dengan konsep hukum yang ada pada Sosiological

33Abdul Mun‟im,

Hukum Manusia Sebagai Hukum Tuhan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 63.


(25)

18

jurisprudence. Konsep hukum yang ditawarkan oleh keduanya sama-sama memberikan peran pada kondisi sosial terhadap pembentukan hukum. Setelah melakukan penelusuran terhadap buku-buku dan hasil penelitian terdahulu, penulis menemukan beberapa hasil penelitian yang pokok pembahasannya hampir sama dan mendekati dengan pembahasan penulis diantaranya adalah.

Pertama, Abdul Mun‟im Saleh, Disertasi tahun 2007 IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul : FIQH DAN NALAR INDUKTIF: Kajian atas al-Qawa>id al-Fiqhiyyah dalam Perspektif Induktif. Disertasi ini berupaya menemukan makna terbentuknya ilmu kaidah-kaidah fikih dam sejarah pemikiran Islam. Pembahasan dalam disertasi tersebut adalah, sejarah munculnya gagasan menggunakan nalar induktif yang kemudian melahirkan

al-Qawa>id al-Fiqhiyyah yang sangat berguna dalam mengembangkan hukum. Kaidah-kaidah dalam al-Qawa>id al-Fiqhiyyah membentuk prinsip hukum maupun kaidah hukum yang memandu pengembangan ilmu pengetahuan yang dalam hal ini adalah fikih. Sebagai hasil dari induksi, fungsi al-Qawa>id al-Fiqhiyyah dalam meramal ancangan terhadap kasus baru tidak memiliki kebenaran mutlak, melainkan hanya probabel saja, dengan bukti memiliki daya berlaku yang hanya aghlabi>yah. Perkembangan hukum

islam memerlukan induksi dengan hasil karena adanya kewajiban mentaati sumber wahyu disatu pihak dan tanggap terhadap persoalan baru di lain pihak.


(26)

19

Kedua Abdul Haris, Disertasi tahun 2014 UIN Sunan Ampel Surabaya, dengan Judul: Implementasi Kaidah Taghayyur al-Ahka>m di Pesantren Jawa Timur. Penelitian ini membahas eksistensi kaidah Taghayyur

al-Ahka>m di beberapa pondok pesantren di Jawa Timur, yang menjadi fokus penelitiannya adalah bagaimana pandangan pesantren tentang kaidah

Taghayyur al-Ahka>m dan bagaimana implementasi kaidah tersebut. Di dalam [enelitian ini di dapatkan kesimpulan bahwa eksistensi kaidah

Taghayyur al-Ahka>m adalah sebuah keniscayaan. Akan tetapi kaidah tersebut tidak dapat digunakan pada seluruh aspek hukum Islam. Kaidah tersebut hanya dapat digunakan dalam kategori hukum yang bersifatzanniyah furu>iyyah, ijtiha>diyyah, ‘aqliyah, ‘urfiyyah, dan ikhtilafiyyah.

Ketiga, M. Sulhan Jauhari, Tesis tahun 2013 IAIN Sunan Ampel Surabaya dengan judul : Implikasi Kaidah Fikih Ma> H}aruma Akhdhuhu

H}aruma I’t}a’uhu. Tesis ini membahas keterkaitan dan perngaruh kaidah Ma>

H}aruma Akhdhuhu H}aruma I’t}a’uhu terhadap bidang muamalah kontemporer seperti hukum seputar bejana dari emas dan perak, kain sutera bagi laki-laki, hewan secara khusus anjing dan babi, alat-alat musik, seputar kamr dan upah melacur, serta pemasalahan suap dan upah hasil meramal atau praktek paranormal.

Keempat, Misbahuzzulam, Tesis tahun 2012 IAIN Sunan ampel Surabaya dengan judul : Implikasi Kaidah fikih Maysu>r la> Yasqut bi


(27)

20

Maysu>r la> Yasqut bi al-Ma’su>r pada seluruh macam ibadah dan implikasi kaidah ini terhadap seorang hamba.

Dari keempat penelitian di atas, hanya ada satu penelitian yang membahas kaidah fikih Taghayyur Al-Ahka>m Bi> Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id. Akan tetapi penelitian tersebut difokuskan pada pandangan pesantren terhadap eksistensi kaidah Taghayyur Al-Ahka>m.

Akan tetapi dalam penelitian ini yang menjadi obyek pembahasan penulis adalah konsep hukum yang ada pada kaidah Taghayyur Al-Ahka>m Bi>

Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa

Al-Awa>id, dikomparasikan dengan konsep hukum yang ada pada

Sosiological jurisprudence, yang sama-sama menggunakan pendekatan empiris dalam mpembentukan hukum. Jadi penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

H. Metode Penelitian

Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam rumusan masalah di atas. diperlukan metode penelitian. Adapun pembahasan mengenai metode penelitian tersebut meliputi : tipologi penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data, serta metode analisis data.

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research), dengan menggunakan bahan-bahan tertulis dalam bentuk buku, kitab,


(28)

21

majalah, jurnal dan sumber-sumber lainnya yang sesuai dengan pembahasan.

Sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan filosofis logis34 untuk memaparkan kaidah Taghayyur Al-Ahka>m Bi>

Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id,. Hasil dari pendekatan ini akan dielaborasikan dengan teori sosiologicaljurisprudence.

2. Jenis dan sumber data

Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa teks atau dokumen yang yang berkaitan langsung dengan obyek penelitian. Untuk mendapatkan penjelaskan komprehensif mengenai perubahan sosial dan pengaruhnya terhadap hukum baik dari perspektif kaidah Taghayyur Al-Ahka>m Bi>

Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id, atau aliran Sosiological Jurisprudence, maka diperlukan data sebagai berikut.

a. Data primer

Kaidah Taghayyur Ahka>m Bi> Taghayyur Azminah, Wa

Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id, yang termaktub dalam beberapa kitab yaitu :

1) Ibn Qayyim Al-Jauziyah. I‟lam al-Muwaqi‟in,Bairut: Maktabah al-„Asriyah, 2003.

34

Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh; Paradigma Penelitian Fiqh dan Fiqh Penelitian (Bogor: Kencana, 2003),18.


(29)

22

2) Muhammad Sidqi Al-Burnu. Al-Wajiz fi idah Qawaid al-fikihiyat al-Kulliyat, Riyad: Muassasat al-Risalat, 1983.

3) Ahmad Ibn Muhammad al-Zarqa, Sarh Qawaid al-Fikihiyyat,

Damaskus: Dar al-Qalam, 1989.

4) Ali Haidar. Durur al-Hukkam: sarh Majallat al-Ahkam, Bairut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1991.

b. Data sekunder

Yaitu buku-buku yang mambahas tentang Kaidah Taghayyur

Al-Ahka>m Bi> Taghayyur Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id,, Buku-buku tentang aliran Sosiological Jurisprudence, yang memberikan gambaran tentang, sejarah, tokoh dan pokok pemikiran dari aliran ini diataranya adalah.

1) Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2002.

2) Alimandan, Sosiologi Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, 2011. 3) Andre ata Ujan. Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela

Keadilan,Yogyakarta: Kanisius, 2009.

4) Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010. 5) Abdul Mun‟im. Hukum Manusia Sebagai Hukum


(30)

23

3. Teknik pengumpulan data

Sehubungan dengan jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini maka teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumentasi. Dengan langkah-langkah sebagai berikut. Pertama, mengumpulkan semua data yang berkaitan dengan obyek penelitian. Kemudian menyusun data dan mengklasifikasi data tersebut untuk kemudian ditelaah dan dihubungkan dengan masalah penelitian. Kemudian menafsirkan data tersebut dan mengkoseptualisasikannya.

4. Metode analisa data

Apabila keseluruhan data yang diperlukan dalam penelitian ini telah terkumpul dan diolah sedemikian rupa, maka kemudian akan dianalisis dengan menggunakan metode content analysis. Metode content analysis

merupakan salah satu teknik analisis data yang sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Menurut Max Weber yang dikutip oleh Meleong, metode content analysis merupakan metode penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang shahih dari sebuah buku atau dokumen.35 Atas dasar itu metode analisa ini lebih banyak dipakai untuk meneliti dokumen dalam bentuk teks untuk memahami makna, signifikansi, dan relevansinya.36

Pada intinya analisis isi diarahkan pada materi atau teks yang terdapat pada buku, dokumen, atau karya tulis lain yang berhubungan dengan

35

Lexy J Meleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remadja Rosda, 2002), 163.

36

Rahmah Ida, Ragam Penelitian Isi Media Kualitatif dan Kuantitatif. Dalam Burhan Bungin Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologi ke arah Ragam Varian Kontemporer (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), 191.


(31)

24

kaidah Taghayyur Ahka>m Bi> Taghayyur Azminah, Wa

Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa al-niyya>t Wa Al-Awa>id, dan teori

sosiological jurisprudence. Adapun data yang diperoleh, akan diolah secara descriptif analisis komparatif guna mendapatkan gambaran secara jelas dan komprehensif konsep hukum pada kaidah taghayyaur dan teori sosiological jurisprudece kemudian membandingkannya.

I. Sistematika Pembahasan

Lebih mudah memahami bagunan secara macro pada tesis ini penulis tampilkan sistematika pembahasan sebagai berikut. Agar dalam penulisan ini lebih terarah maka penulis menyusunnya ke dalam sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I yakni pendahuluan, berisi tentang uraian latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritik, penelitian terdahulu, metode penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab kedua yakni landasan teori, yang membahas aliran Sosiological jurisprudence. Dalam bab ini akan dibahas latar belakang munculnya aliran, tokoh, dan konsep hukum yang ada dalamnya.

Bab ketiga membahas tentang kaidah Taghayyir Ahkam Bi Taghayyir

Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa Al-Awaaid , yang meliputi landasan filosofis dan metodologis, kedudukan, dan konsep hukum yang ada dalam kaidah tersebut.


(32)

25

Bab keempat akan membahas tentang persamaan dan perbedaan konsep hukumdi dalam kaidah “Taghayyir Al-Ahkam Bi Taghayyir Al-Azminah, Wa Al-Amkinah, Wa Al-Ahwal Wa Al-Awaaid”, dan aliran sosiological jurisprudence. Hal ini dilakukan untuk memperoleh jawaban dari masalah penelitian ini.

Bab kelima, adalah penutup yang berisi kesimpulan dan saran. Tujuannya adalah memberi kemudahan untuk mengetahui kesimpulan dari penelitian secara ringkas dan menyampaikan kekurangan, harapan ataupun masukan untuk penelitian ini dalam bentuk saran.


(33)

BAB II

KONSEP HUKUM MENURUT ALIRAN SOSIOLOGICAL

JURISPRUDENCE

A. Pengertian dan Latar Belakang Munculnya Aliran Sosiological

Jurisprudence

Sosiological Jurisprudence merupakan salah satu dari aliran filsafat hukum yang mencoba memahami hakikat terdalam dari hukum. Tumbuhnya berbagai aliran filsafat hukum tersebut merupakan hasil dari dialektika pemikiran hukum yang tidak henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum. Apabila masa lalu, filsafat hukum merupakan produk sampingan dari para filsuf, dewasa ini kedudukannya tidak lagi demikian karena masalah-masalah filsafat hukum telah menjadi bahan kajian tersendiri bagi para ahli hukum1.

Aliran sosiological jurisprudence dapat dikatakan sebagai salah satu aliran dari berbagai pendekatan. Aliran ini tumbuh dan berkembang di amerika, dan dipelopori oleh Roscoe Pound dengan karya-karyanya yang terkenal seperti Scope and Purpose of sosiological jurisprudence (1912),

Outline of Lectures on Jurisprudence (1903), The Spirit of Common Law

(1921), An Introduction to the Philosophy of Law (1922), The Task of Law

(1944), Interpretation of Legal History (1923), dan lain-lain. Tokoh lainnya antara lain Benjamin Cordozo dan Kantorowics.2

1

Darji Darmodiharjo, Pokok-Pokok filsafat Hukum; Apa Dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 1996), 101.

2

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum (Bandung: Mandar Maju, 2002), 65.


(34)

27

Ajaran sosiological jurisprudence dapat digolongkan aliran-aliran sosiologis di bidang hukum yang dibenua eropa dipelopori oleh seorang ahli hukum bangsa Austria bernama Eugen Ehrlich (1826-1922), yang pertama menulis tentang hukum dipandang dari sudut sosiologis dengan judul

Grundlegung der Soziologie des Recht, yang diterjemahkan kedalam bahasa inggris oleh Walter L Moll : Fundamenstal Prinsiples of the Sosiology of Law

pada tahun 1936.3

Sosiological jurisprudence dalam istilah lain disebut juga

Functional anthropological (metode fungsional). Penyebutan ini dilakukan untuk menghindari kerancuan antara sosiological jurisprudence dan sosiologi hukum (the Sosiology of Law).4 Walaupun keduanya sama-sama membahas kajian tentang hukum, akan tetapi memiliki perbedaan. sosiological jurisprudence merupakan cabang dari filsafat hukum sedangkan sosiology of Law adalah cabang dari sosiologi.5

Selain itu walaupun obyek kajian keduanya adalah hubungan timbal balik antara hukum dan masyarakat, akan tetapi pendekatan yang digunakan berbeda. sosiological jurisprudence menggunakan pendekatan hukum ke masyarakat, sedangkan sosiology of Law menggunakan pendekatan dari masyarakat ke hukum.6

3

Ibid.

4

Darmodiharjo, Pokok-Pokok, 126.

5

Rasjidi, Pengantar, 66.

6

Lili Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum; Apakah Hukum itu? (Bandung: Remadja Karya, 1988), 55.


(35)

28

Perbedaan yang mencolok antara kedua hal tersebut adalah, bahwa

sosiologi of law berusaha menciptakan suatu ilmu mengenai kehidupan sosial sebagai suatu keseluruhan dan pembahasannya meliputi bagian terbesar dari sosiologi secara umum dan ilmu politik. Titik berat penyelidikannya terletak pada masyarakat dan hukum sebagai suatu manifestasi semata, sedangkan

sosiological jurisprudence menitikberatkan pada hukum dan memandang masyarakat dalam hubungannya dengan hukum.7

Sebagai salah satu alira dari filsafat hukum, pemikiran sosiological jurisprudence tentang hukum tidak muncul dari ruang hampa. Pemikiran aliran ini merupakan dialektika dengan pemikiran-pemikiran sebelumnya yang mencoba menjawab hakikat hukum, diantaranya adalah aliran hukum alam, positivisme hukum, utilitarianisme dan mazhab sejarah. Untuk itu perlu dijelaskan inti pemikiran dari aliran-aliran tersebut, agar dapat memberikan penjelasan tentang latar belakang pemikiran aliran sosiological jurisprudence.

Ajaran hukum alam atau disebut juga dengan hukum kodrat memberikan pengertian bahwa hukum adalah hukum yang berlaku universal dan abadi, cita-cita dari hukum alam adalah menemukan keadilan yang mutlak (absolute justice). Hukum alam ada yang bersumber dari Tuhan (irasional), dan ada yang bersumber dari akal manusia. Pemikiran hukum alam yang berasal dari Tuhan dikembangkan oleh para pemikir skolastik pada abad pertengahan seperti Thomas aquino, Gratianus, John Salisbury, Dante,

7


(36)

29

Piere Dubois dan lain-lain. Sedangkan para pendasar dari ajaran hukum alam yang bersumber dari akal manusia adalah Hugo De Groot, Grotius, Christian Thomasius, Immanuel Kant, Fichte, Hegel, dan Rudolf Stammler.8

Hukum alam juga dapat dilihat sebagai metode atau sebagai substansi. Hukum alam sebagai metode adalah yang tertua yang dapat dikenali sejak zaman yang kuno sekali, sampai kepada permulaan abad pertengahan. Ia memusatkan dirinya pada usaha untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang berbeda-beda. Dengan demikian ia tidak mengandung norma-norma sendiri, melainkan hanya memberitahu tentang bagaimana membuat peraturan yang baik.9

Hukum alam sebagai substansi (isi) berisikan norma-norma. Peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas yang mutlak yang lazim dikenal sebagai peraturan hak-hak asasi manusia. ciri hukum alam seperti ini merupakan ciri dari abad ke-17 dan ke-18, untuk kemudian pada abad berikutnya digantikan oleh ajaran positivisme hukum.10

Berbeda dengan hukum alam yang memandang penting hubungan antara hukum dan moral, aliran hukum positif justru menganggap bahwa keduanya merupakan dua hal yang harus dipisahkan. Di dalam aliran ini ada dua sub aliran yang terkenal yaitu aliran hukum positif analitis yang

8

Sukarno Aburarea, Filsafat Hukum Teori dan Praktik (Jakarta: Kencana, 2014), 94-95.

9

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum (Bandung: PT CITRA ADITYA BAKTI, 2006), 260.

10


(37)

30

dipopulerkan oleh John austin, dan aliran hukum murni yang dipelopori oleh Hans Kelsen.

Menurut aliran hukum positif analitis, hukum adalah a command of law givers11 (perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system)12. Hukum secara tegas dipisahkan dari moral, dari hal yang berkaitan dengan keadilan, dan tidak didasarkan pada pertimbangan atau penilaian baik dan buruk.

Menurut John Austin ada empat unsur penting untuk dinamakan sebagai sebuah hukum, yaitu : perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan.13 Ketentuan-ketentuan yang tidak mengandung keempat unsur tersebut bukanlah merupakan hukum positif melainkan hanyalah sebagai moral positif. Keempat unsur itu kaitannya antara satu denga lainnya dapat dijelaskan sebagai berikut: unsur perintah berarti bahwa satu pihak menghendaki orang lain melakukan kehendaknya, pihak yang diperintah akan mengalami penderiataan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati. Perintah itu merupakan pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, dan yang terakhir ini dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat.14

11

Darmodiharjo, Pokok-Pokok filsafat Hukum, 113.

12

Abdul Ghafur Anshori, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009), 93.

13

Ibid., 96.

14


(38)

31

Sedangkan konsep hukum murni yang digagas oleh hans kelsen adalah sebagai berikut :15

1. Tujuan teori tentang hukum, sama seperti ilmu adalah untuk mengurangi kekalutan dan meningkatkan kesatuan (unity)

2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.

3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.

4. Sabagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan efektifitas norma-norma hukum.

5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang berubah-ubah menurut jalan atau pola kyang spesifik.

6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Dari dasar-dasar yang terinci tersebut di atas yang dikatakan sebagai hukum murni adalah karena hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis, yaitu anasir-anasir etis, sosiologis, politis, dan historis. Hukum itu adalah sebagaimana adanya, yaitu terdapat dalam berbagai

15


(39)

32

peraturan ada. Oleh karena itu yang dipersoalkan bukanlah bagaimana hukum itu seharusnya melainkan apa hukumnya.16

Dari dasar di atas dikatakan pula bahwa ilmu hukum adalah normatif. Ini berarti bahwa menurut pandangan kelsen, hukum itu berada dalam dunia sollen, dan bukan dalam dunia sein. Sifatnya adalah hipotesis, lahir karena kemauan dan akal manusia.

Aliran berikutnya adalah Utilitarianisme, yaitu aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness). Jadi baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum, bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan ke dalam positivisme hukum, mengingat faham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah orang yang terbanyak. Ini berarti hukum merupakan pencerminan perintah penguasa juga, bukan pencerminan dari rasio semata. Pendukung utilitarianisme yang paling penting adalah Jeremy Betham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering.17

Aliran yang menjadi penentang dari positivisme hukum adalah mazhab sejarah. Aliran ini muncul karena reaksi terhadap tiga hal yaitu:18

16

Ibid., 60.

17

Darmodiharjo, Pokok-Pokok, 116-117.

18


(40)

33

1. Rasionalisme abad ke-18 yang didasarkan atas hukum alam, kekuatan akal, dan prinsip-prinsip dasar yang semuanya berperan pada filsafat hukum, dengan mengandalkan cara berpikir deduktif tanpa memperhatikan fakta sejarah, kekhususan, dan kondisi nasional.

2. Semangat revolusi Perancis yang menentang wewenang tradisi dengan misi kosmopolitannya yaitu kepercayaan kepada rasio dan daya kekuatan tekad manusia untuk mengatasi lingkungannya, yaitu seruan ke segala penjuru dunia.

3. Larangan terhadap hakim dalam menafsirkan undang-undang. Karena undang-undang dianggap dapat memecahkan semua masalah hukum.

Code civil dinyatakan sebagai kehendak legislatif dan harus dianggap sebagai suatu sistem hukum yang harus disimpan dengan baik sebagai sesuatu yang suci karena berasal dari alasan-alasan yang murni.

Selain ketiga alasan di atas mazhab sejarah juga timbul karena adanya kodifikasi hukum di jerman yang diusulkan oleh Thibaut19. Menurutnya hukum yang berdasarkan sejaran itu sukar untuk diselidiki, sedangkan jumlah sumbernya bertambah banyak sepanjang masa, sehingga hilanglah keseluruhan gambaran darinya. Karena itulah harus diadakan perubahan yang tegas dengan jalan penyusunan undang-undang dalam kitab.20

19

Thibaut (1772-1840) adalah seorang guru besar pada universitas Heidelberg di Jerman, pada tulisannya yang terbit pada tahun 1814 berjudul uber die Notwendigkeit eines allegemeinen burgelichen recht fur deutchland (tentang keharusan suatu hukum perdata bagi Jerman).

20


(41)

34

Mazhab sejarah juga timbul sejalan dengan gerakan nasionalsime di eropa. Jika sebelumnya para ahli hukum memfokuskan perhatiannya pada individu, penganut mazhab sejarah sudah mengarah pada bangsa, tepatnya jiwa bangsa (Volksgeist.) tokoh-tokoh penting mazhab sejarah adalah von Savigny, Puchta, dan Henry Sumner Maine21.

Von Savigny menganalogikan timbulnya hukum seperti timbulnya bahasa suatu bangsa. Masing-masing bangsa memiliki ciri khusus dalam berbahasa. Hukumpun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tidak ada pula hukum yang universal. Pandangan ini menolak pemikiran hukum alam yang menganggap hukum bersifat universal.

Menurut Savigny hukum timbul bukan karena perintah penguasa atau karean kebiasaan, tetapi karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa (instinktif). Jiwa bangsa (Volksgeist) itulah yang menjadi sumber hukum seperti yang diungkapkannya, “Law is an expression of the common consciousness or spirit of people”. Hukum tidak dibuat tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (Das recht wird nicht gemacht, es ist und wird dem volke). Pendapat ini bertolak belakang dengan pandangan positivisme hukum.22

Keberadaan aliran-aliran di atas menjadi sebab timbulnya aliran

sosiological jurisprudence. Menurut aliran ini hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dimasyarakat. Aliran ini

21

Ibid., 123.

22


(42)

35

memisahkan secara tegas antara hukum positif (the positive law) dan hukum yang hidup (the living law). Aliran ini timbul dari proses dialektika antara thesis positivisme hukum, dan antitesis mazhab sejarah. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa positivisme hukum memandang bahwa hukum adalah perintah yang diberikan oleh penguasa (law is a command of lawgiver), sebaliknya mazhab sejarah menyatakan hukum timbul dan berkembang bersama masyarakat. Aliran pertama mementingkan akal sedangkan aliran yang kedua lebih mementingkan pengalaman, sedangkan aliran sosiological jurisprudence menganggap keduanya sama pentingnya.23

B. Tokoh dan Pemikiran Aliran Sosiological Jurisprudence

Aliran Sosiological Jurisprudence memiliki beberapa tokoh yang banyak menyumbangkan pemikira tentang ilmu hukum sosiologis, akan tetapi yang akan dibahas dalam penelitian ini hanya tiga tokoh. Pembatasan ini dilakukan agar penelitian ini tidak terlalu luas dan menurut penulis ketiga tokoh tersebut mampu merepresentasikan inti pemikiran dari aliran sosiological jurisprudence. Ketiga tokoh tersebut adalah Eugen Ehrlich, Roscoe Pound, dan Benjamin N. Cordozo.

1. Eugen Ehrlich

Eugen Ehrlich adalah seorang ahli hukum yang lahir di Czernowitz sekarang dikenal dengan Chernivtsi Ukraina pada 1862. Daerah Czernowitz dahulu dikenal sebagai bagian dari provinsi Bukovina,

23


(43)

36

kerajaan Austo-Hungarian. Oleh sebab itu dia dapat dikatakan sebagai seorang berkebangsaan Austria.24

Masa kecilnya turut memberikan pengalaman yang khas dalam pemikiran hukumnya. Budaya hukum Bukovina diwarnai oleh hukum Austria dan kebiasaan setempat, telah meninggalkan sebuah gugatan pemikiran terhadap Hans Kelsen yang mengenalkan adanya hirarki norma hukum pada 1922.25

Studi Eugen Ehrlich tentang sosiologi hukum mempunyai ciri yang berbeda. Tidak seperti studi Max Weber, ia bernaksud untuk membuktikan teori bahwa : titik berat perkembangan hukum tidak terletak dalam perundang-undangan juga tidak dalam keputusan pengadilan maupun dalam ilmu pengetahuan di bidang hukum, tetapi dalam masyarakat itu sendiri.26

Ehrlich mulai dengan satu pertanyaan apakah supermasi hukum dari kekuasaan atau adat kebiasaan. Dalam soal ini ia sangat sepaham dengan Savigny. Tetapi konsep mistis mengenai Volksgeist yang ditafsirkan oleh aliran historis dalam pengertian masa lampau, ia memasukkan gagasan yang realistis dan khas tentang fakta-fakta hukum (Rechtstatsachen) dan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Ia juga

24

Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Pengantar ke Filsafat hukum (Jakarta: Kencana, 2008), 105.

25

Ibid.

26

W. Friedmann, Teori dan Filsafat hukum; Idealisme Filosofis dan Problema keadilan, jilid II (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), 104


(44)

37

memberi sumbangan yang penting terhadap metode hukum secara sosiologis.27

Ehrlich bertolak dari ide masyarakat. Menurut pendapatnya masyarakat adalah ide umum yang dapat digunakan untuk membedakan semua hubungan sosial, yakni keluarga, desa, lembaga sosial, negara, bangsa, sistem ekonomi dunia dan sebagainya. Dalam konteks ini hubungan sosial berarti, bahwa orang dikumpulkan dalam suatu kesatuan yang lebih tinggi, yang berwibawa atas mereka. Ia juga memandang semua hukum sebagai hukum sosial, dalam arti semua hubungan hukum ditandai oleh faktor sosial-ekonomi. Sistem ekonomi yang digunakan dalam produksi, distribusi dan konsumsi bersifat menentukan bagi pembentukan hukum.28

Dari pandangan tersbut tampak bahwa Ehrlich adalah pengikut naturalisme, yang memandang bahwa semua gejala alam dilihat dari seperti benda-benda alam, dan hubungan antara gejala-gejala itu dianggap bersifat alamiah. Oleh karena itu Ehrlich menyangkal sifat normatif hukum. hukum merupakan kenyataan saja, sama seperti gejala benda dunia. Jadi norma-norma hukum berasal dari kenyataan, dan tidak melebihi kenyataan itu. Kenyataan yang melahirkan hukum menyangkut hidup bermasyarakat, hidup sosial.29

27

Ibid.

28

Theo Huijibers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah (Yogyakarta: Kanisius, 2001), 213.

29


(45)

38

Titik pokok dalam pendekatan Ehrlich adalah bahwa ia meremehkan perbedaan-perbedaan antara hukum dan norma-norma sesial lainnya yang bersifat memaksa. Menurutnya perbedaan itu adalah nisbi dan lebih kecil dari apa yang biasanya dinyatakan, karena sifat memaksa yang pokok di dalam hukum tidak berbeda dengan norma-norma sosial lainnya, adalah paksaan sosial bukan kekuasaan negara. Kepatuhan suku dan keluarga pada agama memberikan alasan-alasan untuk mentaati norma-norma sosial, termasuk sebagian besar norma-norma hukum.30

Banyak norma-norma hukum yang tidak pernah diungkapkan dalam ketentuan-ketentuan hukum, bahkan juga dalam sistem-sistem yang berkembang. Denga kata lain hukum jauh lebih luas daripada peraturan-peraturan hukum. Negara hanya satu dari banyak asosiasi-asosiasi hukum, asosiasi lain seperti keluarga, gereja, atau badan korporasi dengan atau tanpa kepribadian hukum.31

Dilain pihak ada norma-norma hukum tertentu yang khas, yang bersifat memaksa seperti hukuman atau pelaksanaan keputusan-keputusan perdata. Cara-cara paksaan yang khas ini dikembangkan oleh negara pertama untuk menjamin tujuan-tujuan pokok sejak semula, untuk menyusun organisasi militer, perpajakan dan administrasi kepolisian. Negara sebagai sumber hukum yang pokok, bagi Ehrlich secara historis

30

Friedmann, Teori, 104.

31


(46)

39

adalah perkembangan jauh kebelakang, dan negara bagi dia selamanya adalah alat masyarakat.32

Pada dasarnya norma hukum selalu diambil dari fakta-fakta sosial yang ada dalam keyakinan asosiasi rakyat. Perlindungan oleh negara dengan alat-alat paksaan yang khusus adalah tidak perlu, juga kalau perlindungan itu diberikan. Badan yang sebenarnya dari ketentuan – ketentuan hukum selalu didasarkan atas “fakta-fakta hukum” sosial (Tatsachen des Rechts).33

Fakta-fakta hukum yang mendasari semua hukum adalah kebiasaan, dominasi, pemilikian, dan pernyataan kemauan. Keempat faktor dari masing-masing melaksanakan hubungan-hubungan hukum, atau melakukan pengawasan, menghalanginya atau tidak memberlakukannya, atau melekat pada akibat-akibat hukum baginya daripada yang langsung mengikutinya. Dalam seluruh badan norma-norma hukum, hanya suatu kelompok tertentu yang disebut norma-norma-norma-norma keputusan (Entscheindungsnormen), yang dibuat dan tergantung pada negara.34

Norma-norma keputusan ini merupakan bagian yang penting dari hukum resmi. Tetapi apakah norma-norma itu berkembang menjadi norma hukum fundamental (Rechtssatz) tergantung dari luasnya yang dibentuk oleh yurisprudensi pengadilan, administrasi, legislatif atau

32

Ibid.

33

Ibid., 105.

34


(47)

40

ilmiah, dan berhasil menjadikannya sebagai bagian hukum yang hidup. Sedangkan para realis Amerika menempatkan keputusan pengadilan pada pusat hukum seperti fungsinya dalam kehidupan, Ehrlich menguranginya menjadi menjadi fungsi dengan bnyak batasan-batasan dalam hubungannya dengan keseluruhan hukum yang hidup dalam masyarakat. Karena proses pengadilan menunjukkan bahwa hukum adalah sebagai keadaan perang, bukan keadaan damai, dan hanya sebagian kecil dari hukum menemukan jalannya ke pengadilan. Ehrlich melihat bahwa sukar untuk menarik garis batas yang tegas antara norma-norma hukum yang berbeda. Peraturan untuk menafsirkan merupakan hak para ahli hukum, hak-hak istimewa yang dioberikan oleh undang-undang adalah suatu hukum resmi. Tiap hukum dapat, tetapi tidak perlu menjadi hukum yang hidup.35

Selain itu Ehrlich juga ingin menunjukkan bahwa jurisprudensi yang diselenggarakan oleh para ahli hukum adalah semata-mata suatu teknik yang bersifat relatif untuk mencapai tujuan praktis. Sementara itu jurisprudensi tidak mampu memahami apa-apa kecuali kulit yang paling luar dari kenyataan hukum yang efektif.36

Kenyataan bahwa jurisprudensi dogmatis-normatif bukanlah suatu ilmu, melainkan suatu teknik yang dipakai untuk mencapai tujuan pengadilan yang bersifat sementara waktu. Seperti telah diketahui bahwa

35

Ibid.

36


(48)

41

asas-asas yang bersumber pada logika hukum yang tidak berubah sesungguhnya hanyalah penyesuaian sejarah.37

Ada tiga postulat logika hukum yang bersifat dogmatis-normatif yang ingin dibantah oleh Ehrlich : Pertama, keterikatan hakim pada dalil hukum abstrak yang ditetapkan terlebih dahulu merupakan hasil absorbsi yang sengaja dari hukum Romawi oleh sekelompok negara Eropa Daratan. Maka postulat ini tidak berlaku di negara Anglo Saxon. Di bawah lembaga yang sama sekali baru dan dalam berbagai perkara yang harus di hadapi oleh hakim, postulat ini telah ditinggalkan. Kedua, postulat semua hukum tergantung pada negara hanya diterima mengingat kebutuhan negara monarki absolut, dan kemudian beralih ke dalam rezim republik. Ketiga, kesatuan monistik dari hukum merupakan suatu teknik yang menguntungkan sentralisasi yang berlebihan dari negara, suatu prosedur yang secara sadar bersifat khayal dan berdasarkan rasionalisme dedutif. Postulat ini bertentangan dengan kenyataan hukum yang hidup.38

Ehrlich ingin keluar dari logika hukum semacam ini kemudian beralih pada sosiologi hukum yang bertugas untuk menyingkap simbolisme yang kasar dan untuk melukiskan peranannya yang sah dengan memperlihatkan asalnya.

Pada dasarnya hukum hukum bisa berupa hukum abstrak (rechtssatze) yang diselenggarakan oleh negara, di bawah peraturan

37

Ibid.

38


(49)

42

konkret yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa diantara individu dan kelompok, yang pada umumnya diselenggarakan oleh hakim dan penasehat hukum. Ada pula hukum yang menguasai masyarakat sebagai suatu tata tertib perdamaian ke dalam. Hukum ini yang digunakan sebagai dasar untuk segala peraturan hukum dan karena jauh lebih obyektif daripada peraturan manapun, dan merupakan tata tertib hukum langsung dari masyarakat. Telaah tata tertib ini merupakan tugas yang khas dari sosiologi hukum. dengan demikian tata tertib ini dibedakan dengan tegas dari jurisprudensi, bukan saja karena metodenya yang benar-benar obyektif berdasarkan pengamatan semata, tetapi juga karena sifat dan wujud persoalannya. Para ahli hukum lebih pada kajian dan sistematisasi lapisan pertama dari kenyataan hukum, yang merupakan permukaannya, sedangkan ahli sosiologi hukum pertolah dari lapisan yang paling bawahdari kenyataan hukum yaitu tata tertidb yang langsung dari masyarakat itu sendiri.39

Dengan demikian sosiologi hukum dengan jelas menciptakan tesis bahwa pusat perkembangan hukum dalam zaman kita ini, sebagaimana halnya zaman yang lain, tidak harus dicari dalam undang-undang, jurisprudensi atau, dalam doktrin, lebih umum lagi dalam sistem peraturan manapun, melainkan dalam masyarakat itu sendiri.

39


(50)

43

Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa Ehrlich membedakan antara hukum yang digunakan untuk menentukan keputusan-keputusan dan hukum sebagai peraturan tingkah lakuyang dipakai oleh anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama lain. Dalam hubungan ini Ehrlich mengajukan konsep hukum yang hidup yang masih sering dipakai sampai sekarang. Hukum yang demikian itu tidak dapat ditemukan di dalam bahan-bahan hukum formal, melainkan diluarnya, di dalam masyarakat sendiri.40

Untuk melihat hukum yang hidup, yang dipakai untuk menyelenggarakan proses-proses dalam masyarakat, orang tidak dapat hanya memandang kepada bahan-bahan dan dokumen-dokumen formal saja, melaikan perlu terjun sendiri ke dalam bidang kehidupan yang senyatannya. Untuk mempelajari hukum perkawinan, orang perlu terjun dalam kenyataan kehidupan perkawinan dan melihat bagaimana hukum perkawinan formal diterima di situ, dalam arti seberapa jauh diikuti, dibentuk, kembali, diabaikan dan ditambah-tambah.41

Kekuatan pengaruh Ehrlich terletak pada kemampuannya untuk mendorong para ahli hukum mengabaikan cengkraman pemahaman hukum secara betul-betul abstrak, dan menarik perhatian mereka kepada problem-problem kehidupan sosial yang nyata.42

2. Roscoe Pound

40

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT Aditya Bhakti, 2006), 297.

41

Ibid.

42


(51)

44

Roscoe Pound dilahirkan pada 1870 di Lincoln, Nebraska. Putra dari Stephen Bosworth Pound dan Laura Pound, dikenal sebagai tokoh pendidik terkenal dan penulis. Pound awalnya belajar botani di Universitas Nebraska. Ia meraih gelar M.A pada 1888. Setelah menyelesaikan studinya, ia pergi ke Harvard untuk belajar hukum selama setahun. Ia kemudian kembali ke Nebraska, untuk mempraktekkan pengetahuan hukumnya dan belajar botani. Pada tahun 1898, Pound meraih gelar Ph.D di bidang botani di universitas yang sama.43

Berkat penelitian yang dilakukan oleh Pound, sosiologi hukum amerika serikat menemukan ketelitian yang sangat terperinci dan luas. Pound adalah pakar tiada tandingan dari mazhab sosiological jurisprudence. Pemikiran pound dibentuk dari hasil pertentangan secara terus menerus dari masalah-masalah sosiologis (masalah pengawasan sosial dan kepentingan sosial), masalah-masalah filsafat (pragmatisme serta teori eksperimental tentang nilai-nilai), masalah-masalah sejarah hukum (berbagai sifat kemantapan dan keluwesan dalam tipe-tipe sistem hukum), dan akhirnya masalah-masalah sifat pekerjaan pengadilan di Amerika Serikat (unsur kebijaksanaan administratif dalam proses pengadilan). Banyak titik perhatian dan titik tolak yang membantu Pound

43


(52)

45

untuk memperluas dan memperjelas perspektif-perspektif dari sosiologi hukum.44

Dalam mazhab sosiological jurisprudence yang dikembangkan oleh Pound, penelitian tentang hukum didekati dengan pendekatan yang mengutamakan tujuan praktis. Seperti yang telah ia jelaskan dalam bukunya The Scope an Purpose of Sosiological Jurisprudence, bahwa tugas sosiologi hukum adalah :45

1. Menelaah akibat-akibat sosial yang aktual dari lembaga-lembaga hukum dan doktrin-doktrin hukum, oleh karena itu lebih memandang kepada kerjanya hukum dari pada isinya yang abstrak.

2. Mengajukan studi sosiologis berkenaan dengannya studi hukum untuk mempersiapkan perundang-undangan, dan karena itu menganggap hukum sebagai lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha yang bijaksana guna menemukan cara-cara terbaik untuk melanjutkan dan membimbing usaha-usaha sedemikian itu.

3. Mempelajari cara membuat peraturan perundang-undangan yang efektif dan menitik beratkan kepada tujuan sosial yang hendak dicapai oleh hukum bukan kepada sanksi.

4. Menelaah sejarah hukum sosiologis yakni tentang akkibat sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan bagaimana cara menghasilkannya.

44

Alvin S. Johnson, Sosiologi Hukum (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994),151-152.

45


(53)

46

5. Membela apa yang dinamakan pelaksanaan hukum secara adil dan mendesak agar ajaran-ajaran hukum harus dianggap sebagai petunjuk ke arah hasil yang adil bagi masyarakat dan bukannya sebagai bentuk yang tidak dapat berubah.

6. Meningkatkan efektifitas pencapaian tujuan yang tersebut di atas agar usaha untuk mencapai maksud serta tujuan hukum lebih efektif.

Dari enam program di atas, ada dua pasal yang berhubungan dengan penilaian-penilaian teoritis mengenai kenyataan sosial hukum (tentang akibat sosial hukum), dan telaah sosiologis tentang sejarah hukum. pasal yang lain adalah penggunaan hasil sosiologi hukum untuk pekerjaan seorang hakim atau pembuat undang-undang.46

Beberapa karya Pound yang menyusul karyanya yang pertama yaitu A Theory of Social Interest dan The Administration of Justice

memperkuat kesan tentang konsentrasi perhatian Pound kepada ilmu hukum sebagai seni, yang ditafsirkan secara teleologis karena ia mengira bahwa hubungan ilmu hukum, sebagai social engineering dengan sosiologi dapat diwujudkan sebaik-baiknya oleh tujuan-tujuan sosial yang dianut oleh para ahli hukum.47

Penandasan Pound kepada kepentingan-kepentingan sosial, yang terkadang dianggap salah sebagai kecenderungan kepada keserbamanfaatan sosial suatu pandangan yang selalu ditentangnya secara

46

Ibid.

47


(54)

47

tegas, yang terbukti dengan pertikaiannya dengan Ihering, baginya pada hakikatnya hanyalah merupakan suatu metode untuk mengajak pengadilan-pengadilan agar memperhatikan kenyataan kelompok-kelompok sosial yang khusus dan tata tertibnya masing-masing. Pertikaian antara kelompok-kelompok hanya dapat diselesaikan dengan prosedur-prosedur hukum yang menggabungkan kebijaksanaan administratif, hukum tentang pedoman-pedoman yang luwes, dan pemakaian peraturan-peraturan hukum adat yang lebih kaku.48

Di dalam karya-karya Pound yang lain ia menegaskan kenisbian sosiologis dari teknik-teknik hukum, kategori-kategori hukum, dan konsep-konsep hukum. ia melukiskan kenisbian dini dengan menunjuk kepada tipe-tipe masyarakat yang menyeluruh dan kepada kekhususan tradisi-tradisi kebudayaannya. Demikianlah ia memberi suatu analisis sosiologis mengenai tipe-tipe hukum adat inggris dan Amerika yang sekarang menjadi klasik. Ia mengemukakan perubahan-perubahan dalam konsep-konsep hukum sendiri, sebagai fungsi tipe-tipe masyarakat dan sistem-sistem hukum yang bersesuaian. Ia melukiskan berbagai teori mengenai hubungan hukum dan moral sebagai fungsi tipe-tipe sosial.49

Mengenai kenisbian konsep-konsep hukum Pound mengemukakan tidak kurang dari dua belas gagasan mengenai apa yang yang dimaksud dengan hukum. dengan memahami kedua belas gagasan

48

Johnson, Sosiologi, 153.

49


(1)

132

C. Keterbatasan Studi

Penelitian ini hanya menggunakan dua paradigma yaitu kaidah taghayyur ahka<m bi> taghayyur azminah, wa amkinah, wa ahwa<l wa niya<t wa al-‘awa<id dan aliran sosiological jurisprudence untuk melihat hubungan hukum dengan perubahan sosial. Sedangkan untuk menjelaskan hubungan tersebut banyak teori dan paradigma yang bisa digunakan. Dalam teori hukum barat aliran sosiologi hukum merupakan aliran yang banyak mengupas tentang hal ini. Atau dalam kajian al-qawa>id al-fiqhi>yah juga msih ada kaidah lain seperti al-adah al muh}akkamahatau melalui pendekatan urf dalam konteks ilmu ushu>l al-fiqh. D. Rekomendasi

Kajian tentang hubungan masyarakat dengan hukum perlu digalakkan dilembaga-lembaga Pendidikan Islam, terutama di Perguruan Tinggi. Dengan pemahaman yang memadai tentang hubungan tersebut akan semakin memberikan wawasan tentang pengembangan hukum Islam terutama yang berkaitan dengan perubahan masyarakat. masyarakat selalu dalam keadaan berkembang sedangkan sumber hukum Islam sangat terbatas oleh karena itu pemahaman yang komprehensif tentang masyarakat dan hukum Islam akan mempermudah dalam menemukan jawaban dari kasus baru yang muncul di tengah masyarakat.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aburarea, Sukarno. Filsafat Hukum Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana, 2014.

Al-Burnu, Muhammad Sidqi. Al-Wajiz fi idah Qawaid al-fikihiyat al-Kulliyat,

Riyad: Muassasat al-Risalat, 1983.

Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Al-Jauziyah, Ibn Qayyim. I’la>m al-Muwa>qi’i>n,Bairut: Maktabah al-‘Asriyah, 2003, Juz I.

Al-Zarqa, Ahmad Ibn Muhammad, Sarh Qawa>id Fiqhiyyat, Damaskus: Da>r al-Qala>m, 1989.

Amal, Taufiq Adnan. Islam dan Tantangan Modernitas Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1993.

Anshori, Abdul Ghafur. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009.

Asmuni, M. Yusran. Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Islam Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996.

Bagdadi (al), Al-Khatib. Faqih wa Mutafaqqih, Jilid 2. Riyad: Dar Ibn al-Jauzi, 1996.

Bisri, Cik Hasan. Model Penelitian Fikih; Paradigma Penelitian Fikih dan Fikih

Penelitian, Bogor: Kencana, 2003.

Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Kualitatif, Aktualisasi Metodologi ke

arah Ragam Varian Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo, 2006.

Burnu (al), Muhammad Sidqi. Al-Waji>z fi> i>dah Qawa>id al-fiqhiyya>t al-Kulliya>t (Riyad: Muassasat al-Risa>la>t, 1983.

Cahyadi dan E. Fernando M. Manulang, Antonius. Pengantar ke Filsafat Hukum.

Jakarta: Kencana, 2008.

Coulson, Noel J. Conflicts and Intension in Islamic Jurisprudensce. Chicago & London: The Univercity of Chicago.

Darmodiharjo, Darji. Pokok-Pokok filsafat Hukum; Apa Dan Bagaimana Filsafat


(3)

Darmodiharjo, Darmo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.

Djamil, Fathurrahman.Filsafat Hukum Islam Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Friedmann, W. Teori dan Filsafat hukum; Idealisme Filosofis dan Problema

keadilan, jilid II. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994.

Gurvitch, Georges. Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Bhatara Niaga Media, 1996. Haidar, ‘Ali>. Duru>r al-Hukkam: Sarh} Majallat al-Ahka>m al-Adliyya>t, Juz I.

Bairut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyat,1991.

Haris, Abdul. Implementasi Konsep Taghayyur al-Ahka>m di Kalangan Pesantren Jawa Timur, Desertasi UIN Sunan Ampel 2014.

Huijibers, Theo. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Ikhwan, ‚Reformasi hukum di Turki Usmani Era Tanzimat (tinjauan Historis-Sosiologis)‛, Innovatio, Vol. 6, No. 12 .Juli-Desember 2007.

Jauziyah (al), Ibn Qayyim . I’la>m al-Muwaqi’i>n, Juz III. Bairut: Maktabah al-‘Asriyah, 2003.

Johnson, Alvin S. Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994.

Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Da>r Al-Qala>m, 1978.

Lukito, Ratno. Pergumulan antrara Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta: INIS, 1998.

Ma’luf, Lois.Al-Munjid fi Lughah Wa al-A’lam, .Beirut: Dar al-Masyriq.

Mana, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.

Mawardi (al), Adab al-Qadi, Jilid 1. Riyad: Matba’ah al-Iryad, 1971.

Mawardi, Ahmad Imam. Fikih Minoritas: Fikih al-Aqaliyyat dan Evolusi Maqashid al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan Yogyakarta: LKIS, 2010.

Meleong, Lexy J.Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remadja Rosda, 2002.

Mubarok, Jaih. Hukum Islam: Konsep, Pembaharuan dan Teori Penegakan


(4)

Mubarok, Jaih. Kaidah Fikih. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Muhajir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Bayu Indra Grafika, 1996.

Munawwir, Ahmad Warson. al-Munawwir: kamus Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progresif, 2002.

Nadwi> (al) ‘Ali Ahmad. Al-Qawa>’id al-Fiqhi>yah: Mafhu>muha>, Nasy’atuha>, Tat}awwuruha>, Dira>sa>t Mu’alifa>tiha>, ‘Adillatuha>, Muhimmatuha>, Tat}biqatuha>. Damaskus: Da>r al-Qalam, 1994.

Nafis, Muhammad Wahyu. dkk, Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawwir Sjadzali, M.A Jakarta: IPHI-Paramadina, 1995.

Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.

Nelli, Jumni. ‛ Perkembangan Hukum Islam pada Masa Turki Usmani‛, Hukum Islam, Vol. VI.No. 4 Desember 2006.

Nyazee, Imran Ahsan Khan. Theories of Islamic Law. Islamabad: The International Institute of Islamic Thought, 1994.

Permana, Sugiri. Perkembangan Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, dalam http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/perkembanganhukumIslamII.pdf Pound, Roscoe. Pengantar Filsafat Hukum, terj. Mohamad Radjab. Jakarta: PT

Bhratara Niaga Media, 1996.

Qard}awi (al), Yu>suf. Mu>jiba>t Taghayyur al-Fatwa> fi> ‘As}rina>, Cet. II. Mesir: Da>r al-Shuru>q, 2001.

Qard}awi(al), Yu>suf. Fi>> Fiqh al-Aqalliyyah al-Muslimah. Kairo: Da>r al-Shuru>q, 2001.

Qarrafi> (al), Shiha>b al-Di>n Abu> al-Abba>s Ahmad bin Idris. Al-Furu>q, vol. 1. Bairut: Muassasah al-Risalah, 2003.

Rafiq, Ahmad. Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta: Gama Media Offset, 2001.

Rahardjo, Satjipto . Ilmu Hukum, Bandung: PT Aditya Bhakti, 2006.

Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial:Suatu Tinjauan Teoritis serta

Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing,


(5)

Rahardjo, Satjipto. Pemanfaatan Ilmu-ilmu Sosial bagi Pengembangan Ilmu

Hukum. Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Rahman, Asjmuni A. Kaidah-Kaidah Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang, 1976.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2002.

Rasjidi, Lili. Pengantar Filsafat Hukum; Apakah Hukum itu?. Bandung: Remadja Karya, 1988.

Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad al-Syaukani, Ciputat: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.

Sala>m (al), Abi Muhammad Izz Di>n Ibn Abd. Qawa>’id Ahka>m fi> Masa>lih al-Ana>m. Mesir: n Musthafa Muhammad, t.th.

Saleh, Abdul Mun’im. Hukum Manusia sebagai Hukum Tuhan: Berpikir Induktif

Menemukan Hakikat Hukum Model al-Qawa>’id al-Fiqhi>yah. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2009.

Schachht, Joseph. An Introcdution to Islamic Law. Oxford: The Clarendon Press, 1964.

Schacht, Joseph. The Origins of Muhammad Jurisprudence. Oxford: The Clarendon Press, 1975.

Shah}ari> (al), ‘Abdulla>h bin Sa’i>d Muhammad ‘Abba>di> al-Lahji> al-H}adrami>. Id}ah} al-Qawa>’id al-Fiqhi>yah. Surabaya: al-Hidayah, 1410 H.

Sidqi al-Burnu>, Muhammad. al-Waji>z fi> Idhah al-Fiqh al-Kulli>yah. Bairut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1985.

Suyuti (al), Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rahman ibn Abi> Bakr. al-Ashbah wa al-Naza>ir fi> al-Furu>’. T.t.: Maktabah Da>r al-Ihya> al-Kutub al-Arabiyyah, t.t.

Syalabi>, Muhammad Mustafa>. Ushu>l Fiqh al-Isla>mi> jilid I. Bairut: Da>r al-Nahdah al-‘Arabiyah, 1986.

Syat}ibi> (al). al-Muwa>faqa>t fi> Ushu>l al-Ahka>m, Jilid 2. Kairo: Maktabah wa Matba’at Muhammad Ali Sabih, 1969.

Sztompka, Piotr. The sosiology of Social Change. Terj Alimandan, Sosiologi

Perubahan Sosial, Jakarta: Prenada, 2011.


(6)

Ujan, Andre ata. Filsafat Hukum; Membangun Hukum, Membela Keadilan.

yogyakarta: Kanisius, 2009.

Zahrah, Abu. Usul al-Fiqh t.t.: Dar al-Fikr al-‘Araby, t.th.

Zarqa (al), Ahmad Ibn Muhammad. Sarh Qawa>id al-Fiqhiyya>t. Damaskus: Da>r al-Qala>m, 1989.

Zarqa> (al), Mustafa> Ahmad. Lamh}ah Ta>ri>khi>yah ‘an Qawa>’id Fiqhi>yah Kulli>yat, dalam Ahmad Muhammad Zarqa>, Sharh} Qawa>’id al-Fiqhi>yah. Damaskus: Da>r al-Qala>m, 1996.