BAB I PENGAWETAN BAHAN NABATI DAN HEWANI

BAB I PENGAWETAN BAHAN NABATI DAN HEWANI

Kompetensi Dasar

3.1 Mengidentifikasi desain produk dan pengemasan karya pengawetan bahan nabati dan hewani berdasarkan konsep berkarya dengan pendekatan budaya setempat dan lainnya.

4.1 Mendesain produk dan pengemasan pengawetan bahan nabati dan hewani yang diawetkan berdasarkan konsep berkarya dengan pendekatan budaya setempat dan lainnya.

A. PENGERTIAN PENGAWETAN BAHAN NABATI DAN HEWANI

Bahan pangan, baik nabati maupun hewani memiliki sifat perishable , yaitu mudah mengalami kerusakan (pembusukan). Kerusakan disebabkan karena adanya proses kimiawi yang terjadi di dalam makanan tersebut. Selain itu, kerusakan juga dapat dipicu oleh berbagai faktor, antara lain: pertumbuhan mikrobia, adanya aktivitas enzim, reaksi kimia antar komponen bahan pangan, kesalahan penanganan selama proses dan penyimpanan, maupun kontaminasi serangga dan parasit. Oleh sebab itu, dilakukan proses pengawetan untuk menghindari kerusakan dan memperpanjang umur simpan bahan pangan.

Proses pengawetan bahan pangan dapat digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu: pengawetan secara fisik, biologis, dan kimiawi.

1. Pengawetan Secara Fisik

a. Suhu Rendah

Salah satu cara pengawetan bahan nabati maupun hewani dilakukan dengan penggunaan suhu rendah. Prinsip pengawetan dengan suhu rendah ditujukan untuk memperlambat laju reaksi kimiawi dan enzimatis, serta menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Penyimpanan pada suhu rendah tidak dapat membunuh bakteri, namun hanya menghambat aktivitasnya saja. Setelah bahan pangan dikeluarkan dari lemari pendingin ( thawing) , maka mikroorganisme dapat aktif kembali.

Dalam praktiknya, proses pengawetan dengan suhu rendah ini dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu: pendinginan

(cooling) dan pembekuan ( freezing) .

Usulan :  Sebaiknya dijelaskan dengan singkat istilah “enzimatis” yang digunakan diatas,

karena pada beberapa pembahasan berikutnya, istilah tersebut akan sering digunakan.

1) Pendinginan (cooling) Pendinginan adalah proses penyimpanan bahan pangan pada suhu di atas titik beku, dengan suhu berkisar -2 ° C-10 °

C. Cara ini hanya dapat menunda kerusakan dan pembusukan makanan selama hitungan hari hingga minggu, C. Cara ini hanya dapat menunda kerusakan dan pembusukan makanan selama hitungan hari hingga minggu,

Usulan :  Sebaiknya ditambahkan contoh untuk lebih mempermudah pemahaman.  Dapat ditambahkan gambar apabila diperlukan.

2) Pembekuan (freezing) Pembekuan adalah proses menyimpan bahan pangan pada suhu di bawah titik beku, antara -12 ° C-(-24) °

C. Selama pembekuan, air yang ada pada bahan pangan akan berubah menjadi kristal-kristal es sehingga menurunkan aktivitas air dan menaikkan konsentrasi padatan. Hal ini dapat menghambat aktivitas mikrobia sehingga produk pangan lebih awet. Bahan pangan yang dibekukan relatif lebih awet daripada bahan pangan yang didinginkan, hingga mencapai waktu berbulan-bulan. Metode ini cocok digunakan untuk pengawetan jangka panjang.

Pembekuan terdiri atas 2 macam tipe, yaitu: pembekuan lambat dan pembekuan cepat.

a) Pembekuan Lambat

Pada proses pembekuan lambat, makanan disimpan pada suhu berkisar antara -18 °

C dan dibiarkan membeku secara perlahan-lahan. Dalam proses ini, kristal es yang terbentuk berukuran besar dan tidak seragam. Hal ini menjadi suatu kerugian karena akan menyebabkan terjadinya kerusakan tekstur pada produk pangan setelah mengalami thawing , terutama pada buah dan sayur.

C hingga -40 °

b) Pembekuan Cepat

Pada proses pembekuan cepat, kristal es yang terbentuk berukuran lebih kecil dan seragam. Dengan bentuk partikel yang halus, kerusakan tekstur produk pangan dapat dihindari.

Usulan :  Mungkin dapat dijelaskan mengapa pada pembekuan lambat, kristal es dapat

berbentuk besar dan tidak seragam, sedangkan dalam pembekuan cepat, kristal es dapat berukuran kecil dan seragam.

 Perlu disebutkan pada kisaran suhu berapa “pembekuan cepat” berlangsung.

b. Suhu Tinggi

Teknik pengawetan ini dilakukan dengan memaparkan bahan pangan dengan suhu tinggi, atau lazim disebut dengan istilah proses termal. Beberapa jenis teknik pengawetan dengan suhu tinggi yaitu: pasteurisasi, sterilisasi, dan pengeringan.

1) Pasteurisasi

Metode ini ditemukan oleh ilmuwan Prancis, Louis Pasteur pada Tahun 1682. Pasteurisasi merupakan salah satu metode pengawetan dengan cara Metode ini ditemukan oleh ilmuwan Prancis, Louis Pasteur pada Tahun 1682. Pasteurisasi merupakan salah satu metode pengawetan dengan cara

Pasteurisasi dilakukan dengan berbagai variasi waktu dan suhu. Semakin tinggi suhu yang digunakan, maka waktu yang diperlukan untuk memanaskan bahan juga akan semakin singkat. Ada 2 macam metode pasteurisasi yang sering digunakan, yaitu: LTLT ( Low Temperature Long Time) dan HTST ( High Temperature Short Time). LTLT menggunakan suhu 63 °

C selama 30 menit, sedangkan HTST menggunakan suhu 72 °

C selama 15 detik. Setelah dipanaskan, bahan pangan kemudian didinginkan dengan cepat hingga mencapai suhu 10 °

C untuk mencegah bakteri tumbuh kembali. Industri pengolahan

metode HTST karena mempertimbangkan efisiensi proses dan kualitas produk akhir. Pasteurisasi juga dapat diaplikasikan untuk me ngawetkan produk pangan dengan pH ≤ 3,7, seperti jus atau bubur buah, dengan tujuan untuk menginaktifkan jamur perusak dan ragi ( yeast) .

Usulan :  Sebaiknya digunakan padanan kata lain untuk kata “in - aktif” sehingga lebih

mudah dipahami oleh siswa.

2) Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan untuk membunuh seluruh bakteri yang ada pada bahan pangan. Namun dalam praktiknya, tidak pernah ada bahan pangan yang steril total atau benar-benar bebas dari bakteri. Oleh karena itu, biasanya industri menerapkan sterilisasi komersial, dimana bahan pangan dibebaskan dari bakteri patogen, bakteri pembusuk, maupun bakteri yang menghasilkan toksin (racun). Adapun bakteri non-patogen yang mampu membentuk spora masih ada, namun berada dalam fase dorman. Kondisi ini dianggap aman karena tidak akan memicu terjadinya kerusakan dan pembusukan makanan apabila disimpan pada kondisi normal.

Metode sterilisasi disebut pula UHT ( Ultra High Temperature ) karena proses pemanasan ini dilakukan pada suhu yang lebih tinggi, yaitu pada suhu 121 °

C selama 15 menit. Bahan pangan yang telah mengalami sterilisasi memiliki tingkat keawetan yang cukup baik. Produk sterilisasi dapat disimpan pada suhu kamar dan tidak perlu didinginkan.

Usulan :

 Perlu penjelasan singkat mengenai istilah “fase dorman” dan “suhu kamar” untuk mempermudah pemahaman siswa .  Sebaiknya ditambahkan contoh untuk lebih mempermudah pemahaman.

 Dapat ditambahkan gambar apabila diperlukan.

3) Pengeringan

Pengeringan adalah teknik pengawetan tertua, dimana air yang ada dalam bahan diuapkan dan dihilangkan sampai kadar tertentu dengan tujuan untuk menghambat aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroorganisme. Pengeringan dapat dikerjakan dengan cara manual maupun menggunakan mesin. Pengeringan manual dilakukan dengan menjemur bahan pangan di bawah sinar matahari.

Usulan :  Sebaiknya ditambahkan contoh untuk lebih mempermudah pemahaman.  Dapat ditambahkan gambar apabila diperlukan.

2. Pengawetan Secara Biologis

Pengawetan bahan pangan secara biologis mengandung pengertian bahwa proses pengolahan bahan pangan dibantu oleh makhluk hidup, dalam hal ini adalah mikroorganisme. Salah satu contohnya adalah melalui proses fermentasi. Proses fermentasi melibatkan mikroorganisme yang akan memetabolisme gula/ karbohidrat

pada substrat menjadi asam laktat dalam kondisi anaerobik. Mikroorganisme

fermentatif akan memecah gula dan menghasilkan alkohol, CO2, dan berbagai jenis asam organik ( asam laktat , asam asetat , asam format , dll.).

Usulan :  Sebaiknya pembahasan mengenai proses fermentasi diatas menggunakan bahasa

yang lebih ringan, mengingat bahwa materi ini masih merupakan materi awal dan siswa yang mengkaji pun masih tingkat awal (kelas X).

 Apabila masih menggunakan bahasa awal, maka perlu dijelaskan beberapa

istilah yang mungkin belum dipahami siswa, misal: substrat, asam laktat, kondisi anaerobik, dsb.

 Perlu ditambahkan contoh produk-produk pangan yang menggunakan teknik

pengawetan diatas.

3. Pengawetan Secara Kimiawi

Beberapa teknik pengawetan secara kimiawi yaitu: penggunaan garam dan gula, penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM), dan pengasapan.

a. Penggunaan Garam dan Gula

Selama ini garam dan gula lazim digunakan sebagai bahan tambahan dalam pengolahan makanan. Namun selain digunakan sebagai bahan bumbu masakan, garam dan gula juga dapat berfungsi sebagai pengawet. Mekanisme pengawetan gula dan garam adalah menurunkan aktivitas air (Aw) bahan pangan sehingga tidak dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Agar Selama ini garam dan gula lazim digunakan sebagai bahan tambahan dalam pengolahan makanan. Namun selain digunakan sebagai bahan bumbu masakan, garam dan gula juga dapat berfungsi sebagai pengawet. Mekanisme pengawetan gula dan garam adalah menurunkan aktivitas air (Aw) bahan pangan sehingga tidak dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Agar

Usulan :  Sebaiknya dijelaskan lebih jauh bagaimana proses garam dan gula sehingga

dapat menurunkan aktivitas air.  Perlu dijelaskan lagi mengenai “ proses osmosis ” .  Perlu ditambahkan contoh produk-produk pangan yang menggunakan teknik

pengawetan diatas.

b. Penggunaan Bahan Tambahan Makanan (BTM)

Pengawetan secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan BTM (Bahan Tambahan Makanan). Dalam memilih jenis pengawet, harus diperhatikan kondisi bahan pangan, antara lain pH. Beberapa jenis bahan pengawet bekerja efektif di pH rendah (suasana asam), contoh: ... , namun beberapa jenis lainnya justru akan efektif dalam suasana alkali, contoh: ... . Oleh karena itu, jenis bahan pangan dan pH akan menentukan jenis pengawet yang akan digunakan.

Jenis Bahan

Aplikasi Penggunaan Pengawet

Sifat

maksimum Benzoat (dalam - Menghambat bakteri,

Makanan Minuman bentuk asam,

ragi, dan jamur dengan tingkat ringan dan garam, maupun - Efektif pada pH

keasaman kecap (600 kalium )

rendah (pH 2.4-4.0) tinggi: sari g/ kg), bahan - Tidak aktif pada pH

buah, soft drink , pangan netral

saus tomat, lainnya (1 g/ - Mempengaruhi rasa

salad dressing , kg) (seperti merica)

kecap, keju, margarin, sirup, dsb .

Propionat - Menghambat jamur Produk roti dan Keju (3 g/ (dalam bentuk

kg), Roti (2 asam, garam,

dan ragi

keju

- Aktif pada pH rendah g/ kg) kalium /

(pH<5) natrium ) Sorbat (dalam

- Menghambat jamur sirup coklat, Margarin bentuk kalium /

dan ragi jelly , kue, buah (0,2 %), sari kalsium )

- Efektif pada pH kering, salad buah dan rendah (pH< 6)

dressing , fig, keju (1 g/ - Tidak aktif pada pH

sirup, keju, kg) netral

macaroni salad, - Tidak terlalu

dsb.

mempengaruhi rasa

Sulfur dioksida - Menghambat bakteri buah-buahan sirup (SO2)

dan jamur kering, sari glukosa (40 - Agen pereduksi yang

buah, molases, mg/ kg), jam kuat (pereduksi O2)

wine , dsb. dan jelly (100 mg/ kg)

Nitrat/nitrit - Menghambat Daging olahan, Daging/ (dalam bentuk

pertumbuhan bakteri sosis, korned, Sosis (125 garam

- Dapat digunakan keju, dsb. mg/ kg nitrit kalium/natrium) untuk

atau 500 mg/ mempertahankan

kg nitrat), warna daging

Korned (50 mg nitrit/ kg), Keju (50 mg nitrat/ kg)

Aplikasi Pengawet Asam/ sodium

Jenis Bahan

Penggunaan Maksimal

Roti, cake , keju, dsb. propionat

0,32% (10 mg/ kg BB)

Asam sorbat 0,2 % (25 mg/ kg BB)

Keju, produk susu, produk roti, jus buah, saus asam, salad, jam, jelly , margarin, minuman ringan, sirup, ikan, dan produk daging

Asam/ sodium

0,1 % (5 mg/ kg BB)

Margarin, cuka apel, benzoat minuman ringan, saus tomat, salad dressing , Saus asam, salad, ikan, jus buah, dsb.

Sodium diasetat

Roti dan produk bakery

Sodium nitrit 200 ppm

Filet ikan, daging, salmon asap, dsb.

Etil format 15 – 200 ppm

Buah kering dan kacang

Asam asetat Daging, ikan, produk sayuran, produk-produk fermentasi seperti pickle , sauerkraut , susu fermentasi, dsb. Asam sitrat Minuman ringan

Asam laktat Krim salad, mayonnaise , produk- produk fermentasi seperti pickle , sauerkraut , susu fermentasi, dsb.

Metil / etil / propil 10 mg/ kg BB

Saus asam, salad, ikan, paraben jus buah, dsb.

Selain jenis-jenis pengawet yang telah disebutkan di atas, ada pula beberapa jenis bahan pengawet yang dilarang digunakan dalam makanan karena berbahaya bagi kesehatan.

Usulan :  Sebaiknya terlebih dahulu dijelaskan mengenai pengertian dari “pengawetan

secara kimiawi” seperti pada Sub Bab sebelumnya.  Perlu pembahasan lebih jauh mengenai istilah “pH” karena sering digunakan dalam pembahasan Sub Bab ini, misalnya: apa definisi pH?, bagaimana kriteria

pH tinggi dan pH rendah? , Bagaimana mengetahui kadar pH dalam bahan pangan?, dsb.

 Perlu diperjelas mengenai kolom “penggunaan maksimum” pada tabel pe rtama, apakah item bahan pangan yang tidak disebutkan dalam kolom tersebut memang

tidak ada takaran maksimum? atau tidak disebutkan karena keterbatasan referensi? atau tidak disebutkan dengan maksud hanya mengambil beberapa contoh item saja untuk dijelaska n takaran maksimumnya?

 Perlu diberikan judul untuk masing masing tabel diatas, sehingga dapat diketahui dimana letak perbedaannya.  Perlu penjelasan pada kolom “penggunaan maksimal” di tabel 2, apakah kolom yang kosong memang tidak ada takaran maksimal atau bagaimana?

c. Pengasapan

Efek pengawetan berasal dari kontak antara komponen asap hasil pembakaran kayu dengan bahan pangan yang diasap. Komponen yang terdapat dalam asap adalah senyawa antimikrobia dan komponen antioksidan. Biasanya teknik pengasapan didahului dengan proses pengeringan dan pengasinan.

Usulan :  Sebaiknya diberikan contoh bahan-bahan pangan yang diawetkan dengan teknik

pengasapan.

B. ANEKA JENIS PRODUK PENGAWETAN BAHAN NABATI DAN HEWANI

Di pasaran, banyak dijumpai aneka produk pengawetan baik yang bersumber dari bahan nabati maupun hewani. Beberapa contoh produk tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut:

Metode Pengawetan

Contoh Produk

Sterilisasi

Susu UHT

Penggaraman

Asinan dan daging

Penambahan gula Sirup buah, selai, dan manisan buah Pengeringan

Tepung bumbu

Pengasapan

Daging asap

Pengalengan

Ikan kaleng dan kornet

Pasteurisasi

Susu dan jus/ bubur buah

1. Selai dan Jelly

Selai dan jelly merupakan contoh produk hasil pengolahan buah segar. Pembuatan selai dan jelly ditujukan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomis dari komoditi buah segar dan sebagai metode pengawetan. Buah segar lebih rentan terhadap kerusakan dan pembusukan sehingga memiliki umur simpan yang pendek. Pengolahan menjadi selai dan jelly akan meningkatkan umur simpan produk, karena dalam proses pembuatannya dilakukan penambahan gula dengan konsentrasi tertentu yang dapat berfungsi sebagai pengawet. Penambahan gula dengan konsentrasi tinggi (>40%) akan memberikan efek pengawetan terhadap produk. Hal tersebut disebabkan karena gula akan mengikat air, sehingga tidak tersedia lagi ruang bagi aktivitas dan pertumbuhan mikroorganisme.

Selai dan jelly adalah jenis makanan semi padat dengan kandungan total padatan 65% dan kadar air 15-40%. Kedua produk ini dibuat dari 45 bagian cacah buah dan

55 bagian gula. Perbedaannya, selai dibuat dari daging buah yang dihancurkan, sedangkan jelly dibuat dari ekstrak sari buahnya. Komponen utama yang berperan dalam pembuatan selai dan jelly adalah pektin, asam, dan gula. Pektin yang merupakan serat larut air akan bereaksi dengan gula dan asam membentuk jaringan matriks yang mendorong terbentuknya tekstur semi padat ( gel ). Pada pembuatan selai komersial, biasa ditambahkan pektin dalam bentuk bubuk/ serbuk. Secara alami, pektin juga terdapat pada buah yang sudah masak, tetapi tidak terlalu matang. Selai berkualitas dibuat dari jenis buah yang memiliki kadar pektin dan asam cukup tinggi, yaitu buah dengan tingkat kematangan sedang (sudah masak tetapi tidak terlalu matang).

Kadar pektin pada berbagai jenis buah besarnya bervariasi, ada yang memiliki kadar pektin tinggi dan ada pula yang rendah. Buah berkadar pektin rendah di antaranya: stroberi, ceri, pir, anggur, dan nanas. Jenis buah ini apabila diolah mejadi selai atau jelly sebaiknya ditambah dengan pektin bubuk, atau dapat dicampur dengan buah berkadar pektin tinggi agar konsintensi selai yang dihasilkan juga baik. Adapun buah yang memiliki kadar pektin tinggi seperti apel dan plum tidak memerlukan tambahan apapun karena telah dapat menghasilkan produk dengan kekentalan yang cukup baik. Buah yang telah matang sempurna, biasanya memiliki keunggulan dalam hal aroma dan citarasa. Pembuatan selai dan jelly memerlukan tekstur yang baik dan citarasa yang kuat, sehingga digunakan kombinasi buah yang belum matang sempurna dan buah yang sudah matang dengan rasio seimbang. Buah yang masih muda belum dapat digunakan untuk membuat selai atau jelly. Hal ini Kadar pektin pada berbagai jenis buah besarnya bervariasi, ada yang memiliki kadar pektin tinggi dan ada pula yang rendah. Buah berkadar pektin rendah di antaranya: stroberi, ceri, pir, anggur, dan nanas. Jenis buah ini apabila diolah mejadi selai atau jelly sebaiknya ditambah dengan pektin bubuk, atau dapat dicampur dengan buah berkadar pektin tinggi agar konsintensi selai yang dihasilkan juga baik. Adapun buah yang memiliki kadar pektin tinggi seperti apel dan plum tidak memerlukan tambahan apapun karena telah dapat menghasilkan produk dengan kekentalan yang cukup baik. Buah yang telah matang sempurna, biasanya memiliki keunggulan dalam hal aroma dan citarasa. Pembuatan selai dan jelly memerlukan tekstur yang baik dan citarasa yang kuat, sehingga digunakan kombinasi buah yang belum matang sempurna dan buah yang sudah matang dengan rasio seimbang. Buah yang masih muda belum dapat digunakan untuk membuat selai atau jelly. Hal ini

Selai dan jelly dapat dibuat dalam skala industri rumah tangga karena cara pembuatannya relatif mudah dan praktis, peralatan dan teknologi yang diperlukan tidak terlalu rumit, serta biaya bahan baku yang murah. Tahapan proses pembuatan selai dan jelly cukup sederhana, sebagai berikut:

a. Pemilihan Jenis Buah

Buah yang akan dibuat selai atau jelly sebaiknya merupakan kombinasi dari buah yang setengah matang dan buah yang matang sempurna. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan produk selai yang kental dan beraroma menarik. Banyaknya total buah segar yang digunakan sebanyak 45 bagian (buah masak sebanyak 22,5 bagian ditambah dengan buah matang sempurna 22,5 bagian). Buah yang akan diolah selanjutnya dikupas dan dicuci.

b. Penghancuran

Buah segar selanjutnya dihaluskan, dapat dengan cara diparut secara manual/ pemarutan atau menggunakan blender. Dengan pemarutan, akan dihasilkan potongan buah yang kasar, sedangkan dengan blender akan dihasilkan potongan buah yang lebih halus.

c. Penambahan Gula

Dengan komposisi buah sebanyak 45 bagian, maka ditambahkan gula sebanyak 55 bagian. Dalam kondisi ini, gula berfungsi sebagai pemanis sekaligus pengawet.

d. Pemasakan

Campuran buah segar dan gula pasir kemudian dipanaskan dalam wajan stainless steel dengan api sedang. Selama pemasakan, dilakukan pengadukan perlahan agar selai tidak hangus. Perlu diperhatikan pula bahwa proses pemasakan tidak boleh terlalu lama karena dapat menyebabkan hilangnya aroma buah. Pemasakan dinyatakan cukup apabila selai telah mengental dan tidak mengucur jika dijatuhkan dari sendok.

e. Pengemasan

Selai biasanya dikemas dalam botol kaca bermulut lebar sehingga penampakan produk dapat dilihat dari luar. Setelah pemasakan selesai, selai yang masih panas segera dimasukkan ke dalam botol kaca yang telah disterilkan. Selai tidak diisikan penuh dalam botol, melainkan disisakan sedikit ruang kosong ( headspace) kemudian ditutup rapat. Untuk menghindari kontaminasi, produk selai yang telah dikemas disterilisasi kembali dengan cara dikukus selama ± 15 menit.

Usulan :

 Dalam poin A diatas, perlu diberikan penjelasan apakah jumlah buah yang diolah (45 bagian) tersebut merupakan jumlah minimal produksi? atau jumlah

produksi yang ideal? atau hanya merupakan contoh saja?

Proses pembuatan jelly hampir sama dengan selai, yang membedakan hanya bahan bakunya. Bahan baku pembuatan jelly berasal dari sari buah, yang dapat diperoleh dengan cara memisahkan cairan buah dengan ampasnya. Buah segar dipotong kecil-kecil kemudian direbus selama 5-10 menit untuk melunakkan jaringan buah dan menginaktifkan enzim. Selanjutnya dilakukan penghancuran hingga didapatkan bubur buah yang kemudian disaring menggunakan kain kasa/ kain blacu. Filtrat (hasil saringan) diambil, sedangkan ampas yang berupa daging buah dan serat tidak digunakan. Cairan buah didiamkan selama 1 jam untuk mengendapkan kotoran. Bagian yang jernih selanjutnya dimasak bersama gula untuk menghasilkan jelly. Untuk memperpanjang umur simpan, produk selai dan jelly dapat ditambah dengan bahan pengawet berupa asam sorbat atau natrium benzoat sebanyak 0,01% yang ditambahkan sebelum pemasakan.

2. Ikan Asin

Ikan merupakan salah satu jenis bahan pangan yang memiliki kandungan gizi tinggi dan banyak dikonsumsi masyarakat sebagai salah satu sumber protein hewani. Namun pemanfaatan ikan dalam bentuk segar memiliki keterbatasan, yaitu umur simpan yang relatif pendek. Ikan sangat mudah mengalami kerusakan, baik berupa kerusakan fisikawi, kimiawi, maupun mikrobiologis. Hal ini disebabkan karena ikan memiliki kadar air tinggi, pH netral, dan kandungan gizi yang lengkap (khususnya protein) sehingga sangat disukai oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembangbiak. Aktivitas mikroorganisme, terutama dari golongan bakteri akan menyebabkan kebusukan sehingga kualitas produk ini akan mengalami penurunan, baik dari segi mutu maupun penerimaan konsumen. Salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan dan meningkatkan keawetan ikan adalah pengolahan menjadi ikan asin melalui kombinasi proses penggaraman dan pengeringan. Penggaraman dan pengeringan merupakan metode pengawetan tradisional yang telah banyak diterapkan oleh nelayan di wilayah pesisir pantai sejak dulu.

Mekanisme pengawetan ikan dengan penggaraman dapat dijelaskan sebagai beikut:

a. Penambahan garam dalam jumlah banyak akan menyebabkan perbedaan kepekatan dan tekanan osmotik antara bagian dalam dan luar tubuh ikan. Hal ini membuat cairan yang ada pada tubuh ikan akan keluar. Selanjutnya, kekosongan cairan yang ada dalam tubuh ikan akan digantikan oleh garam yang berpenetrasi masuk. Proses ini akan terus berlangsung terus hingga terjadinya keseimbangan konsentrasi garam yang ada pada bagian dalam dan luar tubuh ikan.

b. Selain perbedaan tekanan osmotik, garam juga menyebabkan terjadinya denaturasi protein dan enzim, akibatnya daging ikan akan mengerut dan cairan dalam tubuh ikan keluar.

c. Konsentrasi garam yang tinggi dapat menyebabkan keluarnya cairan sel pada mikroorganisme, sehingga mikroorganisme akan mengalami plasmolisis dan mati.

d. Garam dapat mengurangi kadar oksigen dalam jaringan tubuh ikan. Mikroorganisme yang membutuhkan oksigen ( aerob ) tidak akan bertahan dan mati.

e. Garam (NaCl) dapat terurai menjadi ion natrium dan klorida . Ion klorida bersifat toksik (beracun) bagi mikroorganisme.

Selain berasal dari penggaraman, ikan asin juga memiliki daya awet yang baik karena melibatkan proses pengeringan. Ikan yang telah digarami selanjutnya dikeringkan secara manual, yaitu ditempatkan pada rak-rak bambu/ kayu untuk dijemur di bawah sinar matahari. Proses ini tidak dapat menguapkan air yang ada pada bahan seluruhnya, namun lebih ditujukan untuk menghilangkan air yang ada pada permukaan ikan. Dengan hilangnya sebagian air, aktivitas dan pertumbuhan bakteri dapat dihambat sehingga ikan asin tidak cepat mengalami pembusukan.

Beraneka jenis ikan dapat diasinkan, baik ikan darat maupun ikan laut, dari yang berukuran kecil hingga besar. Ikan yang berukuran besar seperti: kakap, tongkol, atau tenggiri perlu disiangi terlebih dahulu, yaitu dengan cara menghilangkan bagian kepala, sisik, isi perut, dan insang, kemudian dibelah sepanjang garis punggung hingga tampak bagian dagingnya. Sedangkan ikan berukuran kecil tidak perlu disiangi dan tetap dibiarkan dalam keadaan utuh. Ada tiga jenis metode penggaraman yang dapat dilakukan, yaitu: penggaraman kering ( dry salting), penggaraman basah ( wet salting) , maupun kombinasi keduanya. Pemilihan metode dapat dipilih berdasarkan jenis dan ukuran ikan serta hasil akhir yang diinginkan.

a. Penggaraman Kering (dry salting) Pertama-tama, ikan dibersihkan/ disiangi dari bagian-bagian yang tidak diperlukan dan dicuci untuk menghilangkan kotoran. Selanjutnya, ditaburkan garam kristal di dasar wadah, dapat berupa bak semen atau drum plastik sampai ketebalan sekitar 1-5 cm. Setelah selesai ditaburi garam, kemudian ikan disusun secara teratur dan ditutup kembali dengan garam. Hal tersebut diulang lagi hingga didapatkan beberapa lapisan garam dan ikan secara bergantian. Setelah selesai, lapisan ikan paling atas ditutup dengan garam dan wadah ditutup dengan papan.

Jumlah garam yang ditambahkan bervariasi, tergantung pada ukuran ikan. Ikan berukuran besar dapat ditambah garam sebanyak 20-30%, ikan berukuran sedang sebanyak 15-20%, dan ikan berukuran kecil sebanyak 5%. Penggaraman dinyatakan selesai apabila tekstur ikan telah berubah menjadi keras dan padat. Penggaraman untuk ikan besar biasanya memakan waktu sekitar 2-3 hari, sedangkan ikan kecil membutuhkan waktu lebih singkat, yaitu hanya sekitar 12-

24 jam. Setelah penggaraman selesai, ikan dicuci bersih untuk menghilangkan sisa-sisa garam yang masih menempel. Pengeringan dilakukan dengan menjemur ikan di atas papan bambu dan sesekali dibolak-balik agar kering secara merata.

b. Penggaraman Basah ( wet salting)

Penggaraman basah dilakukan dengan merendam ikan dalam larutan garam jenuh, dengan konsentrasi bervariasi antara 30-50%. Ikan harus terendam seluruhnya, jika diperlukan dapat memakai pemberat agar proses penggaraman berlangsung optimal. Perendaman dilakukan selama 1-2 hari dan setelah selesai dilanjutkan dengan pengeringan dengan sinar matahari untuk menguapkan sisa air yang ada di permukaan ikan.

c. Kombinasi Penggaraman Kering dan Basah

( perlu tambahan keterangan..... )

Kecepatan penetrasi garam ke dalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa hal, yaitu :

a. Konsentrasi Garam

Konsentrasi garam yang tinggi dapat mempercepat waktu penggaraman. Hal ini disebabkan karena makin banyaknya garam yang masuk ke dalam jaringan ikan.

b. Ketebalan Daging

Ikan yang memiliki daging lebih tebal membutuhkan waktu lebih lama untuk penggaraman. Semakin tebal daging ikan, maka garam akan membutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai bagian dalam jaringan ikan.

c. Jenis Garam

Garam murni (NaCl 95%) digunakan sebagai bahan baku utama proses penggaraman untuk menghasilkan ikan asin dengan kualitas baik. Dengan tingkat kemurnian yang tinggi, garam juga akan masuk ke dalam jaringan ikan secara efektif. Garam rakyat tidak cocok digunakan dalam proses penggaraman karena banyak terdapat kontaminan (Ma, Ca, sulfat, bakteri, kotoran, dsb.) yang dapat menghambat penetrasi garam.

d. Tingkat Kesegaran Ikan

Ikan yang tidak segar memiliki jaringan yang telah melunak sehingga garam lebih mudah untuk masuk. Namun kekurangannya, ikan dapat menjadi terlalu asin dan kaku akibat banyaknya garam yang masuk ke dalam jaringan.

e. Suhu Daging Ikan

Semakin tinggi suhu internal daging ikan, maka akan mendorong makin cepatnya garam masuk ke dalam jaringan ikan.

f. Kadar Lemak Ikan

Lemak dapat menghambat penetrasi garam ke dalam daging ikan. Ikan yang berkadar lemak tinggi (> 2%) biasanya membutuhkan waktu penggaraman yang lebih lama.

Usulan :

 Sebaiknya diberikan penjelasan kenapa dalam Sub Bab ini hanya dijelaskan secara panjang lebar mengenai beberapa contoh produk saja (selai dan jelly,

dan ikan asin), padahal masih banyak contoh produk yang lain.  Akan lebih baik jika diuraikan minimal satu contoh produk untuk setiap teknik

pengawetan yang dibahas sebelumnya.  Perlu dijelaskan beberapa istilah yang kemungkinan masih kurang difahami

siswa, seperti: tekanan osmotik, denaturasi, plasmolisis, dsb.  Sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu mengenai definisi-definisi pada poin

metode pengawetan (penggaraman kering, basah, dsb.), sebelum masuk pada pembahasan prosedur teknisnya.

C. PENYAJIAN DAN PENGEMASAN PRODUK PENGAWETAN BAHAN NABATI DAN HEWANI

Produk pangan sangat rentan terhadap kerusakan. Beberapa macam kerusakan dapat berasal dari: faktor alam (sinar matahari/UV, oksigen, suhu, kelembaban, tekanan udara, dsb.), mikroorganisme (bakteri, jamur, ragi, dsb.), faktor internal (reaksi kimiawi yang masih berlanjut), hewan (kutu, serangga, parasit, dsb.), maupun gaya fisik dan mekanis (tekanan, benturan, gesekan, getaran, desakan, dsb.).

Pengemasan memiliki beberapa fungsi, di antaranya:

1. Melindungi produk pangan dari kerusakan.

2. Sebagai sarana informasi dan promosi.

3. Mempertahankan mutu produk pangan.

Bahan-bahan yang lazim digunakan untuk mengemas produk pangan adalah kertas dan plastik.

1. Kertas

Kertas merupakan lembaran yang terbuat dari bahan serat kayu/ selulosa. Kemasan kertas banyak diaplikasikan pada berbagai produk pangan, seperti: makanan kering, biskuit, roti, teh, kopi, coklat, permen, sayur, dan buah. Bahan kertas bersifat fleksibel, yaitu dapat dibentuk kembali melalui teknik perekatan dan pemotongan, serta dapat digunakan pada rentang suhu yang luas, baik untuk menyimpan produk beku maupun produk yang diolah dengan suhu tinggi.

Kekurangan kemasan yang berasal dari bahan kertas adalah memiliki sifat permeable (dapat ditembus) oleh zat-zat tertentu, seperti: air, uap, minyak, bahan berlemak, dan gas (oksigen, karbondioksida, nitrogen). Untuk memperbaiki sifat bahan kertas yang akan digunakan sebagai pelindung, dapat ditambah dengan laminasi dan pelapisan menggunakan plastik. Beberapa jenis bahan yang dapat digunakan antara lain: polyethylene (PE), polypropylene (PP), polyethylene

terephthalate (PET atau PETE), ethylene vinyl alcohol (EVOH), dan alumunium foil ataupun wax . Ada beberapa jenis kertas yang dikenal, yaitu: tissue, kertas kantong, karton lipat, karton kemasan cairan, kemasan fiberboard korugasi, dan wadah pulp cetak.

a. Tissue

Di pasaran sering dijumpai kemasan yang berasal dari kertas jenis tissue, misalnya kantung teh dan kopi. Kertas tissue memiliki banyak pori dan sangat ringan. Bagian atas biasanya direkatkan dengan sistem heat sealing agar produk terbungkus dengan baik. Kantung dapat berbentuk persegi panjang, bundar, atau piramid.

b. Kertas Kantong

Kertas kantong biasa dipakai untuk mengemas gula dan tepung. Kertas ini biasanya berwarna coklat.

c. Karton Lipat

Terdapat berbagai macam desain kemasan yang dapat dibuat dengan karton lipat, namun umumnya berbentuk kotak kardus. Karton lipat yang dibuat dalam bentuk kotak akan mempermudah pemindahan dan penanganan, khususnya ketika produk sedang dikemas atau pada saat pendistribusian. Karton lipat dipakai secara luas dalam pengemasan produk pangan seperti: gula, kue, biskuit, kopi, teh, sereal, pangan beku dan dingin, es krim, coklat, dsb.

d. Karton Kemasan Cairan

Prinsip dari bentuk pengemasan ini adalah penggabungan antara kertas karton dengan bahan tambahan yang bersifat tahan air. Bahan ini biasanya digunakan untuk mengemas produk cair, contohnya: susu pasteurisasi dan UHT.

e. Kemasan Fiberboard Korugasi

Jenis kemasan ini banyak dipakai untuk pengemasan bahan dalam jumlah banyak dalam industri pangan. Sifat kemasan ini relatif kuat menahan beban sehingga cocok untuk produk pangan selama transportasi dan penyimpanan. Terdiri dari 3 lapisan kertas, dimana lapisan kertas bagian tengah dibuat bergelombang agar kuat menahan beban. Biasa digunakan sebagai kemasan sekunder, contoh: kardus pengemas botol air mineral.

f. Wadah Pulp Cetak

Jenis kemasan ini dapat berupa wadah penyimpanan telur, apel, serta produk segar lainnya. Wadah pulp cetak dibuat langsung dari suspensi serat dalam air, dimana kemasan akhirnya berwarna abu-abu.

Usulan :  Sebaiknya ditambahkan contoh gambar untuk dapat lebih menambah

pemahaman siswa.  Sebaiknya pembahasan mengenai fungsi pengemasan tidak diikutkan dalam Sub Bab ini, namun disusun Sub Bab tersendiri agar pembahasan lebih fokus dan

sinkron dengan judul yang ada .

2. Plastik

Plastik merupakan salah satu jenis bahan pengemas yang dibuat melalui reaksi polimerisasi, polikondensasi, dan poliadisi dari senyawa-senyawa monomer. Jadi monomer-monomer yang memiliki BM (berat molekul) rendah akan mengalami Plastik merupakan salah satu jenis bahan pengemas yang dibuat melalui reaksi polimerisasi, polikondensasi, dan poliadisi dari senyawa-senyawa monomer. Jadi monomer-monomer yang memiliki BM (berat molekul) rendah akan mengalami

Selain bahan utama berupa monomer, di dalam plastik juga terdapat komponen aditif (tambahan). Komponen tambahan ini berfungsi untuk memperbaiki sifat-sifat plastik, yang dapat berfungsi sebagai: antioksidan, antiblok/ anti lengket, penyerap sinar UV, pelumas, pewarna, ataupun bahan pengisi/ penguat plastik. Berdasarkan pembentukan dan sifat terhadap perubahan suhu, plastik dapat dikategorikan menjadi termoplastis dan termosetting. Kebanyakan plastik pengemas bersifat termoplastis, artinya plastik dapat dilunakkan berulang-ulang, meleleh ketika dipanaskan, mudah direkatkan, dan mengeras kembali setelah didinginkan. Fungsi ini penting untuk pembentukan wadah, pembuatan film, dan sambungan panas.

Plastik banyak dipakai untuk pengemasan produk pangan karena memiliki beberapa keunggulan, antara lain :

a. Mudah dibentuk.

b. Termoplastis , yakni mudah direkatkan menggunakan panas.

c. Inert (antistatik), yakni tidak mudah menghantarkan listrik.

d. Kuat namun ringan.

e. Tahan dari berbagai jenis komponen (asam, basa, pelarut organik).

f. Memberikan perlindungan dari kebusukan bagi produk yang dikemas akibat mikroorganisme.

g. Dapat diperoleh berbagai macam bentuk dan desain pengemasan dengan biaya rendah.

Meskipun demikian, bahan pengemas dari plastik juga memiliki keterbatasan. Beberapa jenis plastik mungkin dapat menyerap komponen makanan, seperti minyak dan lemak. Selain itu, gas-gas seperti oksigen, karbon dioksida, dan nitrogen bersama-sama dengan uap air dan pelarut organik masih dapat menembus plastik. Hal ini bergantung pada jenis plastik, ketebalan, luas permukaan, dan kondisi penyimpanan. Ada beberapa jenis plastik yang biasa digunakan dalam pengemasan makanan dengan karakteristik khasnya masing-masing, yaitu :

a. Polietilen (PE)

Dilihat dari struktur kimiawinya, PE merupakan jenis plastik yang paling sederhana. PE diperoleh dari polimerisasi yang ditambah dengan gas etilen pada reaktor suhu dan tekanan tinggi. Beberapa sifat PE yang menguntungkan antara lain:

1) Dapat disambung dengan panas ( heat sealable ).

2) Dapat dibuat menjadi lapisan yang kuat dengan kemampuan menahan air dan uap air yang baik.

b. ..................

. Usulan :  Perlu diberikan penjelasan tambahan pada beberapa istilah ilmiah, seperti:

termosetting, polimerisasi, polikondensasi, poliadisi, monomer, dsb.

 Perlu ditambahkan poin lanjutan untuk pembahasan jenis-jenis plastik diatas.

D. PEMBUATAN DESAIN DAN PENGEMASAN PRODUK PENGAWETAN BAHAN NABATI DAN HEWANI

Dalam pengemasan produk pangan, aspek penting yang harus diperhatikan adalah proses pemberian label ( labelling) . Label merupakan keterangan/ informasi mengenai produk pangan berupa gambar atau tulisan yang dicetak, ditempel, atau dimasukkan ke dalam kemasan. Label sebaiknya tidak mudah rusak/ luntur, tidak mudah lepas dari kemasan, informatif, serta memberikan keterangan yang benar dan tidak menyesatkan konsumen. Beberapa keterangan yang harus ada pada label produk pangan, meliputi:

1. Nama dan merk produk.

2. Nama dan alamat produsen.

3. Berat bersih/ netto.

4. Nomor pendaftaran/ perizinan.

5. Komposisi bahan.

6. Tanggal dan kode produksi.

7. Tanggal kadaluarsa.

Secara umum, keterangan pada label pangan dapat dibagi menjadi bagian utama dan tambahan/ isi. Bagian utama label biasanya diletakkan di bagian muka kemasan agar mudah dilihat dan dibaca. Bagian utama label meliputi: nama produk, nama dan alamat produsen, berat bersih/ netto, dan nomor pendaftaran/ perizinan. Sedangkan bagian tambahan/ isi dapat diletakkan di samping atau bagian belakang kemasan. Bagian tambahan/ isi meliputi: komposisi bahan, informasi nilai gizi, petunjuk penyimpanan, tanggal dan kode produksi, tanggal kadaluarsa, serta nomor layanan konsumen ( consumer service) . Penulisan label sebaiknya menggunakan ukuran huruf yang proporsional (tidak terlalu besar/ kecil), tata letak yang baik dan rapi, serta menghindari penggunaan warna yang dapat mengganggu pengamatan (terlalu gelap atau terlalu mencolok).

Selain itu, masih ada beberapa aturan penting yang harus diperhatikan dalam pemberian label pangan, di antaranya: nama produk, komposisi, alamat produsen, batas kadaluarsa, nomor pendaftaran, dan informasi khusus.

1. Nama produk

Nama produk biasa dicantumkan pada bagian utama atau bagian depan kemasan. Informasi produk harus menggambarkan sifat/ kondisi fisik produk yang sebenarnya. Tidak diperbolehkan memberi informasi produk yang menyesatkan dan membingungkan. Contoh: mencantumkan nama mie telur, padahal mie tersebut tidak mengandung telur, dsb. Nama produk biasanya diikuti dengan merk dagang. Merk adalah salah satu hal yang paling diingat oleh konsumen. Merk dapat membedakan antara satu jenis produk dengan produk lainnya. Dalam penulisan nama dagang, dilarang menggunakan kata generik (alami, suci, murni, dll.) ataupun kata yang dapat memberikan kesan berlebihan (super, hi-class , top, dll.).

2. Komposisi

Penulisan komposisi diurutkan dari penggunaan bahan terbanyak disusul dengan yang lebih sedikit, dari berbagai jenis bahan yang digunakan dalam pembuatan produk. Seringkali produk pangan ditambah dengan bahan tambahan makanan (pengawet, pewarna, antioksidan, antikempal, dsb.) yang bertujuan untuk memperbaiki sifat produk. Apabila memang digunakan, nama bahan tambahan makanan tersebut harus dicantumkan pada bagian komposisi dan tidak boleh dihilangkan/ ditutupi. Khusus untuk pewarna, penulisan harus disertai dengan nama dan nomor khususnya, misalnya: Carmin (Cl 75470), Tartrazine (Cl 1940), dsb. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan informasi yang benar dan tidak menyesatkan bagi konsumen.

3. Alamat Produsen

Perusahaan yang mengolah, mengemas, atau mendistribusikan produk makanan harus mencantumkan nama dan alamat jelas pada kemasan. Apabila diperlukan, dapat dicantumkan juga nomer layanan konsumen atau kontak telepon yang dapat dihubungi.

4. Batas kadaluarsa

Produk yang memiliki ketahanan kurang dari 3 bulan, harus mencantumkan batas tanggal kadaluarsa dan ditulis dalam format tgl /bln /tahun. Sedangkan Produk yang memiliki ketahanan lebih dari 3 bulan, tidak perlu mencantumkan tanggal, cukup bulan dan tahun saja. Untuk beberapa jenis produk tertentu, tidak perlu dicantumkan batas kadaluarsa, misalnya: sayur dan buah segar, gula, cuka, produk bakery (dengan umur simpan maks. 24 jam), minuman dengan kadar alkohol > 10%, dan minuman anggur.

5. Nomor Pendaftaran

Setiap produk pangan yang telah memiliki perizinan dari BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) akan mendapatkan nomor pendaftaran yang biasanya dicantumkan di bagian depan kemasan. Ada 2 macam kode yang dikeluarkan oleh BPOM, yaitu MD (dalam negeri) dan ML (luar negeri).

6. Informasi Khusus.

Pada beberapa produk sering dijumpai adanya informasi khusus yang tertera pada salah satu bagian kemasan. Contoh:

a. “Perhatian! Tidak cocok untuk bayi di bawah satu tahun”. Biasanya kalimat tersebut terdapat pada produk susu kental manis, susu bubuk instan, ataupun susu UHT. Bayi di bawah satu tahun yang mengkonsumsi produk ini dikhawatirkan akan mengalami gangguan pencernaan karena komposisi penyusunnya tidak diperuntukkan bagi bayi yang masih berusia di bawah satu tahun.

b. “Segera habiskan setelah dibuka”.

Peringatan ini lazim dijumpai pada produk susu pasteurisasi dan UHT. Produk susu jika dikemas dengan baik dan aseptis akan memiliki tingkat keawetan yang cukup baik. Kualitas produk juga masih dapat dipertahankan selama kemasan masih tertutup rapat. Namun setelah kemasan dibuka, produk akan langsung terpapar dengan oksigen dan cahaya, dan terdapat kemungkinan kontaminasi dari luar. Hal ini dapat menyebabkan penurunan mutu produk, bahkan dapat menjadikan produk tersebut tidak aman lagi untuk dikonsumsi. Untuk produk-produk seperti ini, apabila isi produk belum habis setelah kemasan dibuka, sebaiknya produk segera disimpan di kulkas (4 °

C) dan tidak ditempatkan pada suhu kamar.

Usulan :  Belum ada Sub Bab yang membahas tentang “Manfaat dan kandungan bahan pada produk pengawetan bahan nabati d an hewani”, seperti yang termuat dalam

Materi Pokok.  Perlu dijelaskan lebih jauh apakah ada perbedaan antara isi pembahasan dari poin-poin bagian atas (1, 2, 3, dst.) dengan poin-poin bagian bawah (1, 2, 3, dst.).

karena pada dasarnya ada kemiripan isi yang dibahas, namun menggunakan judul yang berbeda (poin-poin atas menggunakan redaksi “ keterangan yang harus ada pada label produk pangan ” dan poin -poin bawah menggunakan redaksi “ aturan penting yang harus diperhatikan dalam pemberian label pangan ”) .

E. TUGAS 1. Tugas Individu 2. Tugas Kelompok

F. EVALUASI 1. Soal Pilihan Ganda 2. Soal Isian 3. Soal Uraian

BAB II PROSES PRODUKSI PENGAWETAN BAHAN NABATI DAN HEWANI

Kompetensi Dasar

3.2 Memahami proses produksi pengawetan bahan nabati dan hewani di wilayah setempat melalui pengamatan dari berbagai sumber.

4.2 Mendesain proses produksi pengawetan bahan nabati dan hewani berdasarkan identifikasi kebutuhan sumberdaya dan prosedur berkarya dengan pendekatan budaya setempat dan lainnya.

A. MANAJEMEN UMUM (POAC)

Setiap perusahaan tidak akan pernah lepas dari manajemen. Manajemen adalah teknik mengelola perusahaan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menurut George Robert Terry ( ... tahun:halaman ... ) , ada beberapa prinsip manajemen dalam mengelola usaha, yaitu: planning, organizing, actuating, dan controlling, yang sering disebut dengan istilah POAC.

1. Planning (Perencanaan)

Aspek perencanaan merupakan hal pertama dan utama yang harus ditetapkan dalam suatu perusahaan. Perencanaan adalah proses penetapan tujuan dan penentuan tindakan yang akan diambil guna mencapai tujuan tersebut. Perencanaan merupakan sesuatu yang penting karena tanpa hal tersebut, fungsi manajemen yang lain tidak akan berjalan dengan baik.

2. Organizing (Pengorganisasian)

Setelah tujuan dan tindakan terbaik untuk mencapainya telah ditetapkan, maka langkah selanjutnya adalah pengorganisasian. Pengorganisasian adalah kegiatan penggabungan seluruh sumber daya dan potensi yang dimiliki perusahaan, untuk dapat bekerja bersama-sama dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hal ini dapat diterapkan dengan cara membagi pekerjaan ke dalam beberapa departemen atau sub divisi dan menentukan siapa saja yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan tersebut.

3. Actuating (Pelaksanaan/ Penerapan)

Actuating adalah implementasi/ pelaksanaan dari perencanaan yang telah dibuat. Implementasi dilakukan dengan cara membuat urutan rencana menjadi sebuah tindakan nyata. Implementasi tersebut dilakukan oleh semua komponen yang ada di perusahaan sesuai dengan bidang penugasan masing-masing untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

4. Controlling (Pengawasan/ Pengendalian)

Ketika rencana telah diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata, maka tahapan penting lain yang harus dilakukan adalah pengawasan. Pengawasan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh tahapan pelaksanaan Ketika rencana telah diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata, maka tahapan penting lain yang harus dilakukan adalah pengawasan. Pengawasan adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh tahapan pelaksanaan

Usulan :  Sebaiknya diberikan tambahan definisi mengenai manajemen, baik secara khusus maupun umum berdasarkan pendapat tokoh-tokoh yang kompeten di bidang

manejemen. Karena manajemen pada dasarnya tidak hanya fokus diterapkan di perusahaan saja, namun dapat juga mengandung pengertian lain secara umum.

B. PENGERTIAN PRODUKSI DAN PROSES PRODUKSI

Proses produksi merupakan gabungan dari dua jenis kata berbeda, yaitu proses dan produksi . Proses dapat diartikan sebagai serangkaian tindakan untuk mencapai sesuatu atau mendapatkan hasil. Sedangkan, Produksi merupakan kegiatan untuk menghasilkan serta meningkatkan kegunaan dan nilai tambah produk, baik berupa barang maupun jasa. Sehingga proses produksi dapat didefinisikan sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan untuk menghasilkan dan menambah nilai kegunaan produk, baik berupa barang ataupun jasa dengan memanfaatkan sumber daya yang ada.

Proses produksi pengawetan bahan nabati secara umum sbb:

1. Menentukan objek yang akan diawetkan.

2. Mengidentifikasi metode-metode pengawetan yang bisa diterapkan.

3. Mengidentifikasi ketersediaan sumber daya.

4. Menentukan metode yang akan dipakai.

5. Menerapkan/ melakukan pengawetan.

6. Penyimpanan.

Proses Produksi pengawetan bahan hewani secara umum sbb :

1. Menentukan objek yang akan diawetkan.

2. Mengidentifikasi metode-metode pengawetan yang bisa diterapkan.

3. Mengidentifikasi ketersediaan sumber daya.

4. Menentukan metode yang akan dipakai.

5. Menerapkan/ melakukan pengawetan.

6. Penyimpanan. Usulan :

 Sebaiknya dijelaskan terlebih da hulu definisi mengenai produksi dan proses produksi secara umum berdasarkan pendapat tokoh-tokoh yang kompeten di

bidang produksi, baru kemudian ditarik kesimpulan di akhir paragraf tentang definisi tersebut dengan bahasa yang lugas dan mudah dipahami.

 Tidak ada perbedaan antara pembahasan proses produksi pengawetan bahan nabati dengan bahan hewani (sama persis).

 Sebaiknya dijelaskan secara detail setiap poin yang ada dalam pembahasan proses produksi diatas, bila perlu diberikan contoh beserta gambar untuk lebih

mempermudah pemahaman siswa.

C. KESELAMATAN KERJA

Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan aspek penting yang tidak boleh diabaikan dalam perusahaan. Tujuan K3 adalah menjamin kesehatan dan keselamatan pekerja maupun pihak-pihak lain (rekan kerja, keluarga, ataupun konsumen) yang berada di suatu lingkungan kerja tertentu. Pihak perusahaan harus memastikan bahwa pekerja telah aman dari beberapa jenis bahaya yang sering dijumpai di lingkungan kerja. Beberapa jenis bahaya tersebut antara lain: bahaya fisik dan mekanik, bahaya kimiawi dan biologis, serta bahaya psikologis dan sosial.

1. Bahaya Fisik dan Mekanik

2. Bahaya Kimiawi dan Biologis

Beberapa jenis pekerjaan mengharuskan pekerja untuk melakukan kontak dengan bahan kimia maupun biologis, misalnya dalam industri manufaktur. Penggunaan bahan kimia berbahaya membutuhkan standar penanganan khusus agar tidak berdampak buruk bagi kesehatan pekerja.

3. Bahaya Psikologis dan Sosial