Isolasi Dan Identifikasi Senyawa Steroid Triterpenoid Dari Sponge Suberites diversicolor Becking & Lim

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Uraian Hewan 2.1.1 Habitat

Sponge sebagian besar hidup di laut, hanya beberapa hidup di air tawar. Hewan ini hidupnya menetap pada suatu habitat pasir, batu-batuan atau juga pada karang-karang mati di dalam laut (Amir dan Budiyanto, 1996; Romimohtarto dan Juwana, 2001). Sponge Suberites diversicolor Becking & Lim merupakan salah satu sponge yang banyak tersebar terutama di wilayah Indonesia, Malaysia dan Australia, di Indonesia sponge ini banyak dijumpai di wilayah Berau, provinsi Kalimantan Timur, daerah Utara Raja Ampat dan South Raja Ampat di provinsi Papua Barat. Sponge ini hidup di perairan pantai, danau, laut dan melekat di batu kapur (Becking dan Lim, 2009).

2.1.2 Morfologi dan anatomi

Bentuk-bentuk yang dimiliki sponge agak beragam, namun tetap. Sponge dapat berbentuk sederhana seperti tabung dengan dinding yang tipis atau masif bentuknya atau agak tidak teratur (Romimohtarto dan Juwana, 2001). Beberapa jenis sponge lainnya berbentuk bercabang seperti pohon, lainnya seperti sarung tinju, cawan atau kubah. Ukuran sponge juga beragam, mulai dari jenis berukuran sebesar kepala jarum pentul sampai kejenis yang ukuran garis tengahnya 0,9 m dan tebalnya 30,5 cm. Banyak sponge berwarna putih atau abu-abu, tetapi lainnya berwarna kuning, oranye, merah atau hijau. Sponge yang berwarna hijau biasanya disebabkan oleh adanya alga simbiotik yang disebut zoochlorellae yang terdapat di dalamnya, sedangkan warna sponge yang lain dipengaruhi oleh fotosintesa


(2)

6 mikrosimbionnya (Amir dan Budiyanto, 1996).

Sponge Suberites diversicolor Becking & Lim berbentuk bulat lonjong tidak beraturan, cabang agak pipih atau berbentuk cabang globular yang besar dengan ukuran, panjang 10 cm, lebar 6 cm dan tinggi 9 cm. Bentuk sponge yang lebih besar dapat terjadi sampai 40 cm, dimana bentuknya tergantung pada jenis habitatnya. Warna eksternal sponge ini berwarna zaitun-hijau, hijau, biru-ungu, ungu atau merah-orange tergantung tempat hidup. Konsistensinya elastis dan lunak (Becking dan Lim, 2009).

Pada dasarnya tubuh porifera terdiri dari tiga lapisan (Suwignyo, dkk., 2005), yaitu:

1. Pinacocyte atau Pinacoderm, seperti epidermis berfungsi untuk melindungi tubuh bagian dalam. Bagian sel pinacocyte dapat berkontraksi atau berkerut, sehingga seluruh tubuh hewan dapat sedikit membesar dan mengecil.

2. Mesohyl atau Mesoglea, bagian tubuh yang terdiri dari zat semacam agar (gelatinous protein matrix), mengandung bahan tulang dan sel amebocyte yang mempunyai banyak fungsi, antara lain untuk pengangkut dan cadangan makanan, membuang partikel sisa metabolisme, membuat spikula, serat sponge dan membuat sel reproduktif.

3. Choanocyte, yang melapisi rongga atrium atau spongocoel. Bentuk choanocyte agak lonjong, ujung yang satu melekat pada mesohyl dan ujung yang lain berada di spongocoel serta dilengkapi sebuah flagelum yang dikelilingi kelepak dari fibril. Getaran flgela pada lapisan choanocyte menghasilkan arus air di dalam spongocoel ke arah osculum, sedangkan fibril berfungsi sebagai alat penangkap makanan.


(3)

7

Struktur tubuh porifera dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini:

Gambar 2.1 Struktur tubuh porifera

Keterangan: 1. Osculum, 2. Spikula, 3. Choanocyte, 4. Spongocoel, 5. Sel Amebocyte, 6. Mesohyl, 7. Pinacocyte, 8. Ostium.

(Sumber: Suwignyo, dkk., 2005).

Berdasarkan sistem aliran air (bukan secara taksonomi), bentuk tubuh porifera dibagi menjadi tiga tipe (Suwignyo, dkk., 2005), yaitu:

1. Tipe Asconoid

Asconoid merupakan bentuk yang paling primitif, menyerupai vas bunga atau jambangan kecil. Tipe ini mempunyai sistem saluran air sederhana, air masuk melalui pori yang pendek, lurus ke spongocoel lalu keluar melalui osculum. 2. Tipe Syconoid

Tipe ini mempunyai dinding tubuh yang melipat secara horizontal, sehingga potongan melintangnya seperti jari-jari. Air masuk melalui pori ke saluran yang berdinding choanocyte menuju spongocoel dan keluar melalui osculum.

1 2 3

4 5 6

7


(4)

8 3. Tipe Leuconoid

Tipe ini merupakan tipe saluran air yang rumit/kompleks, memiliki banyak lipatan-lipatan membentuk rongga kecil sehingga menyebabkan bentuknya menjadi tak beraturan, banyak terdapat choanocyte-choanocyte pada rongga. Air masuk melalui pori yang bercabang-cabang dan keluar melalui osculum.

a b c Gambar 2.2 Tipe aliran air pada porifera Keterangan: a. Asconoid; b. Syconoid; c. Leuconoid

(Sumber: Suwignyo, dkk., 2005).

Sponge spesies Suberites diversicolor Becking & Lim memiliki sistem aliran air tipe Leuconoid. Sponge adalah hewan filter-feeders yang dapat menyaring partikel yang sangat kecil (diameter < 50 µm) yang tidak tersaring oleh hewan lainnya dalam menyediakan kumpulan makanannya, seperti bakteri, zooplankton dan phytoplankton yang kecil-kecil yang mana secara efektif ditangkap oleh sel-sel berbulu cambuk (Amir dan Budiyanto, 1996).

Tubuh sponge yang lunak dapat berdiri karena ditunjang oleh sejumlah besar spikula kecil serta serat organik yang berfungsi sebagai kerangka. Spikula kapur yang berasal dari CaCO3 dan spikula silikat dari H2Si307. Bentuk spikula bermacam-macam antara lain, monaxon berbentuk seperti jarum, lurus atau melengkung, tetraxon berbentuk empat percabangan, polyaxon berbentuk banyak


(5)

9

percabangan dan berbentuk benang-benang spongin (Suwignyo, dkk., 2005). Sponge umumnya memilki satu atau lebih dari satu bentuk spikula, sehingga perlu adanya pengamatan yang rinci tentang bentuk-bentuk mikroskopis dari setiap spikula yang dikandungnya. Untuk pengujian spikula tertentu dapat menggunakan “sacanning electron microscope” (Amir dan Budiyanto, 1996). Tipe spikula dapat dilihat pada Gambar 2.3 berikut ini:

Gambar2.3Tipe spikula Gambar 2.3 Tipe spikula

Keterangan: 1 dan 7. Monaxon; 2. Triod; 3 dan 6. Polyaxon; 4. Tetraxon; 5. Anchor ; 8. Benang-benang spongin.

(Sumber: Amir dan Budiyanto, 1996).

Berdasarkan fungsinya, spikula dibagi dua kategori, yaitu: Megasklera dan mikrosklera. Megasklera adalah berperan untuk membentuk tubuh sponge dan perkembangan substruktur internal. Mikrosklera berperan dalam membentuk kelompok antara kumpulan megaklera atau tersebar pada permukaan atau membran internal (Amir dan Budiyanto, 1996). Spikula dari sponge Suberites diversicolor Becking & Lim spikula berbentuk megasklera monoaxon tipe substylostyle (ITS, 2014). Ukuran, bentuk dan susunan dari masing-masing spikula yang dikandung oleh hewan sponge sangat berguna untuk menentukan klasifikasi, bentuk dan nama dari megasklera dan mikrosklera. Tipe megasklera dan mikrosklera dapat dilihat pada Gambar 2.4 dan Gambar 2.5 berikut ini.


(6)

10

Bentuk dan nama dari spikula megasklera monoaxon dapat dilihat pada Gambar 2.4 berikut ini:

Gambar 2.4 Megasklera monoaxon

Keterangan: a. Fusiform oxea; b. Hastate oxea; c. Strongloxea; d. Strongyle; e. Tylote; f. Centotyle oxea; g. Hastate oxea; h. Fusiform style; i. Styloid; J. Tylostyle; k. Substylostyle.

Sumber: (Amir dan Budiyanto, 1996).

Gambar 2.5 Tipe mikrosklera

Keterangan: a-b: mikrosklera monoaxon: a. Microxea; b. Microstrongyle; c. Centrotylote. h-j: mikrosklera bentuk bintang:h dan i. Plesiaster; j. Amphiaster. k-m: mikrosklera bentuksigma: k. Plamate isochel; l. Anthosphenaster; m.Strerosphenaster.

Sumber: (Amir dan Budiyanto, 1996).

2.1.3 Reproduksi

Reproduksi sponge dapat dilakukan secara aseksual dan seksual. Reproduksi secara aseksual terjadi dengan cara pembentukan tunas atau gamul (gammules) atau pembentukan sekelompok sel essensial. Gamul terbentuk dari sekumpulan archeocyte berisi cadangan makanan dikelilingi amebocyte yang membentuk lapisan luar yang keras berupa cangkang yang mengandung spikula yang akan


(7)

11

melakukan diferensiasi menjadi beberapa tipe sel yang diperlukan untuk tumbuh menjadi sponge kecil (Suwignyo, dkk., 2005).

Reproduksi secara seksual terjadi pada sponge yang hermaprodit maupun gonokoris. Sperma dan sel telur dihasilkan oleh amebocyte. Sperma keluar dari tubuh induk melalui osculum bersama dengan aliran air dan masuk ke sponge lain melalui ostium juga bersama aliran air, dalam spongocoel sperma akan masuk ke sel amebocyte. Sel amebocyte berfungsi sebagai pembawa sperma menuju sel telur dalam mesohyl, kemudian sperma dan sel telur akan melebur dan terjadilah pembuahan (fertilisasi) sehingga terbentuklah zigot. Zigot membelah lagi menjadi larva bersilia yang disebut planula. Planula tumbuh menjadi polip dan keluar dari tubuh induk bersama aliran air melalui osculum dan untuk sementara waktu berenang-renang, jika sudah mendapat tempat pelekatan, maka akan tumbuh menjadi sponge baru (Suwignyo, dkk., 2005).

2.1.4 Klasifikasi sponge

Filum Porifera yang dibagi dalam 3 kelas (Amir dan Budiyanto, 1996), yaitu:

1. Kelas Hexactinellida

Merupakan sponge gelas, memiliki tipe aliran air syconoid. Spikula terdiri dari silikat dan tidak mengandung spongin. Spikulanya berbentuk bidang "triaxon", dimana masing-masing bidang terdapat dua jari-jari. Sponge dari kelas ini belum banyak dikenal, karena sulit mendapatkan dan hanya terdapat di laut dalam (< 500 m), salah satu contohnya: Euplectella aspergillum.

2. Kelas Calcarea


(8)

12

spongin, memiliki tipe aliran air asconoid, syconoid dan leuconoid. Sebagian besar sponge dari kelas ini bentuknya kecil-kecil dan berwarna putih keabu-abuan, dan ada beberapa jenis berwarna kuning, pink, atau hijau. Elemen kerangka dari sponge ini berbentuk spikula "triaxon" dan tidak ada perbedaan antara megasklera dan mikrosklera. Beberapa jenis sponge ini yang umum adalah Sycon gelatinosum (berbentuk silinder berwarna coklat muda), Clathrina sp. dan Leucetta sp. Sponge dari kelas ini juga sedikit jumlahnya, lebih kurang hanya 10% dari jumlah semua hewan sponge yang ada di laut.

3. Kelas Demospongiae

Hampir 75% jenis sponge yang dijumpai di laut adalah dari kelas Demospongiae, memiliki tipe aliran air leuconoid. Sponge dari kelas ini tidak memiliki spikula "triaxon" (spikula kelas Hexactinellidae). Beberapa jenis sponge kelas ini ada yang tidak mengandung spikula tetapi hanya mengandung serat-serat kolagen atau spongin saja Sponge kelas ini sebahagian besar hidup di perairan dangkal, salah satu contohnya: suku Suberitiidae.

2.1.5 Sistematika sponge Suberites diversicolor Beking & Lim

Sistematika sponge Suberites diversicolor Beking & Lim (Becking dan Lim, 2009; ITS, 2014) sebagai berikut:

Filum : Porifera Kelas : Demospongiae Bangsa : Hadromerida Suku : Suberitiidae Marga : Suberites


(9)

13 2.2 Uraian Kimia

2.2.1 Alkaloid

Alkaloid adalah senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen yang terletak dalam sistem siklik yang mempunyai aktivitas fisiologi yang dapat digunakan dalam bidang pengobatan. Alkaloid biasanya tidak berwarna, sering sekali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan pada suhu kamar (Harbone, 1987).

Ada tiga pereaksi yang sering digunakan dalam pemeriksaan senyawa kimia untuk mendeteksi golongan senyawa alkaloid sebagai pereaksi pengendapan adalah pereaksi Mayer, Bouchardat dan Dragendroff (Depkes RI, 1995).

2.2.2 Glikosida

Glikosida adalah senyawa organik yang bila dihidrolisis menghasilkan satu atau lebih gula yang disebut glikon dan bagian bukan gula yang disebut aglikon. Gula yang paling sering dijumpai dalam glikosida adalah glukosa. Secara kimia dan fisiologi, glikosida alam cenderung dibedakan berdasarkan bagian aglikonnya (Robinson, 1995).

Menurut Fransworth (1996), berdasarkan hubungan ikatan antara aglikon dan glikon, glikosida dapat dibagi menjadi empat yaitu:

1. Tipe O-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom O, contoh: salicin.

2. Tipe S-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom S, contoh: sinigrin.


(10)

14 contoh: visin dan krotonosid.

4. Tipe C-glikosida, ikatan antara bagian glikon dengan aglikon melalui atom O, contoh: aloin.

2.2.3 Saponin

Saponin mula-mula diberi nama demikian karena sifatnya yang menyerupai sabun (bahasa Latin sapo berarti sabun). Saponin adalah senyawa aktif permukaan yang kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi yang rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah merah, dalam larutan yang sangat encer saponin sangat beracun untuk ikan. Beberapa saponin bekerja sebagai antimikroba. Saponin merupakan senyawa berasa pahit dan mengakibatkan iritasi terhadap selaput lendir (Robinson, 1995)

2.2.4 Triterpenoid/Steroid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintetis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualen. Senyawa ini berstruktur siklik yang relatif rumit, kebanyakan berupa alkohol, aldehida atau asam karboksilat. Mereka berupa senyawa tanpa warna, berbentuk kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Triterpenoid dapat dibagi atas 4 golongan senyawa yaitu triterpen sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung (Harbone, 1987). Struktur kimia isopren dapat dilihat pada Gambar 2.6 berikut ini:


(11)

15

Pembagian triterpenoid berdasarkan jumlah cincin yang terdapat pada struktur molekulnya (Robinson, 1995), antara lain:

a. Triterpenoid asiklik, yaitu triterpenoid yang tidak mempunyai cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contoh: skualen.

b. Triterpenoid trisiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai tiga cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contoh: ambrein.

c. Triterpenoid tetrasiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai empat cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contoh: lanosterol.

d. Triterpenoid pentasiklik, yaitu triterpenoid yang mempunyai lima cincin tertutup dalam cincin molekulnya, contoh: α –amirin. Contoh struktur kimia triterpenoid dapat dilihat pada Gambar 2.7 berikut ini:

Skualen Ambrein

Lanosterol α-amirin Gambar 2.7 Contoh struktur kimia triterpenoid


(12)

16

Steroid adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin siklo- pentana perhidrofenatren (Harborne, 1987). Struktur steroid dan sistem penomorannya dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut ini:

Gambar 2.8 Struktur steroid dan sistem penomorannya

Senyawa steroid dahulu dianggap sebagai senyawa satwa yaitu sebagai hormon kelamin, asam empedu dan lain-lain. Salah satu estrogen hewan adalah esteron.

2.3 Metode Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut tertentu. Beberapa metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut (Depkes RI, 2000), yaitu:

A. Cara dingin 1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia dengan cara perendaman menggunakan pelarut dengan sesekali pengadukan pada temperatur kamar. Maserasi kinetik berarti dilakukan pengadukan yang kontinu (terus-menerus). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

8 9 5 6 7

A

B

C

D

4 1 2 3 2 1 19

14 15

16 3 17 18 20 21 22 23

24 25

26


(13)

17 penyaringan maserat pertama dan seterusnya. 2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan alat perkolator dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar. Proses perkolasi terdiri dari tahap pengembangan bahan, tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus-menerus sampai diperoleh perkolat.

B. Cara panas 1. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

2. Digesti

Digesti adalah proses penyarian simplisia dengan pengadukan kontinu pada temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50°C.

3. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan menggunakan alat soklet sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

4. Infudasi

Infudasi adalah proses penyarian dengan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15 menit.


(14)

18 5. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan pelarut air pada temperatur 90°C selama 30 menit.

2.4 Kromatografi

Kromatografi merupakan suatu proses pemisahan yang mana analit-analit dalam sampel terdistribusi antara dua fase, yaitu fase diam dan fase gerak, jika fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan (absorption chromatography), jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi (partition chromatography). Fase gerak dapat berupa zat cair atau gas, maka ada empat macam sistem kromatografi (Sastrohamidjojo, 1985), yaitu: 1. Fase gerak zat cair–fase diam padat (kromatografi serapan), meliputi:

- Kromatografi lapisan tipis - Kromatografi penukar ion 2. Fase gerak gas–fase diam padat:

- Kromatografi gas padat

3. Fase gerak zat cair–fase diam zat cair (kromatografi partisi) - Kromatografi kertas

4. Fase gerak gas–fase diam zat cair: - Kromatografi gas–cair

- Kromatografi kolom kapiler

Semua pemisahan dengan kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa-senyawa yang dipisahkan terdistribusi sendiri di antara fase gerak dan fase diam dalam perbandingan yang sangat berbeda-beda dari satu senyawa terhadap senyawa yang lain (Sastrohamidjojo, 1985).


(15)

19 2.4.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar, dimana fase diamnnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, lempeng aluminium atau lempeng plastik (Gandjar dan Rohman, 2007). Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita. Setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Sthal, 1985).

a. Fase diam (lapisan penyerap)

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel ekslusi dan siklodekstrin (Gandjar dan Rohman, 2007).

b. Fase gerak (pelarut pengembang)

Fase gerak yang digunakan pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba. Biasanya fase gerak yang digunakan berisi dua campuran pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal.


(16)

20

Fase gerak yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi sehingga dapat memberikan pemisahan yang baik (Gandjar dan Rohman, 2007). c. Harga Rf

Rf atau faktor retardasi didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak. Nilai Rf ini terkait dengan faktor perlambatan dan nilai ini bukanlah suatu nilai fisika absolut untuk suatu komponen, meskipun demikian dengan pengendalian kondisi KLT secara hati-hati, nilai Rf dapat digunakan sebagai cara identifikasi untuk kualitatif. Nilai maksimum Rf adalah 1 dan nilai minimumnya adalah 0 (Sastrohamidjojo, 1985).

�� = ����������������ℎ�����

����������������ℎ���������

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf yaitu struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan keterataan dari lapisan penyerap, pelarut dan derajat kemurniannya, derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana, teknik percobaan, jumlah cuplikan yang digunakan, suhu dan kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.2 Kromatografi lapis tipis preparatif

Kromatogarafi lapis tipis preparatif merupakan salah satu metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan yang lebih murah dan memakai peralatan yang paling dasar, walaupun kromatografi lapis tipis preparatif dapat memisahkan bahan dalam jumlah gram, sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah miligram. Ketebalan penjerap yang paling sering dipakai ialah 0,5-2 mm. Ukuran plat kromatografi biasanya 20 x 20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan


(17)

21

ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan kromatografi lapis tipis preparatif. Penjerap yang paling umum digunakan adalah silika gel (Hostettmann, dkk., 1995).

Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan pada palat KLT preparatif. Pelarut yang baik ialah pelarut atsiri (heksana, diklorometana, etilasetat), karena jika pelarut kurang atsiri terjadi pelebaran pita. Cuplikan ditotolkan berupa pita yang harus sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan tangan (pipet), lebih baik dengan penotol otomatis (camag dan desage). Untuk pita yang terlalu lebar, dapat dilakukan pemekatan dengan cara pengembangan memakai pelarut polar sampai kira-kira 2 cm diatas tempat penotolan. Kemudian plat dikeringkan dan dielusi dengan pelarut yang diinginkan. Fase gerak biner (dalam berbagai perbandingan) sangat sering dipakai pada pemisahan KLT preparatif adalah n-heksan-etilasetat, n-heksan-aseton, kloroform-metanol (Hostettmann, dkk., 1995).

Pengembangan plat KLT preparatif biasanya dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan sehelai kertas saring yang tercelup ke dalam pengembang, jika pemisahan secara KLT preparatif telah dicapai, plat dikeluarkan dan dikeringkan kemudian dilakukan isolasi senyawa yang sudah terpisah (Hostettmann, dkk., 1995).

Penjerap KLT preparatif mengandung indikator fluoresensi yang membantu mendeteksi kedudukan pita yang terpisah sepanjang senyawa yang dipisahkan menyerap sinar UV, akan tetapi beberapa indikator menimbulkan


(18)

22

masalah yaitu bereaksi dengan asam, kadang- kadang bahkan dengan asam asetat, untuk senyawa yang tidak menyerap sinar UV yaitu menutup plat dengan sepotong kaca menyemprot salah satu sisi dengan pereaksi penyemprot (Hostettmann, dkk., 1995).

Pita yang kedudukannya telah diketahui, dikerok dari plat dengan spatula atau pengerok berbentuk tabung yang disambungkan ke pengumpul vakum. Senyawa yang terkumpul diekstraksi/direndam dengan pelarut yang paling kurang polar dan kemudian disaring (Hostettmann, dkk., 1995).

2.4.3 KLT dua arah

KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama, selain itu dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama (Ganjar dan Rohman, 2007).

Cuplikan ditotolkan pada satu sudut lapisan yang berbentuk bujur sangkar dan dikembangkan dengan satu sistem pelarut sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi. Plat diangkat, dikeringkan, diputar 90 derajat, lalu diletakkan di dalam sistem pelarut yang kedua sehingga bercak yang terpisah pada pengembangan pertama terdapat di sepanjang bagian bawah plat. Komponen yang terpisah (bercak) biasanya terdapat dimana saja pada lapisan (Gritter, dkk., 1991).


(19)

23 2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri ultraviolet

Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi serapan terhadap intensitas serapan (transmitansi atau adsorbansi). Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan. Spektrum ulraviolet biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum ultraviolet mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm (Dachriyanus, 2004).

Spektrofotometer ultraviolet pada umumnya digunakan untuk (Sastrohamidjojo, 1991):

1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa.

3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer.

Suatu atom atau molekul akan menyerap cahaya, maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap. Sistem yang bertanggung jawab terhadap absorpsi cahaya disebut dengan kromofor (Dachriyanus, 2004).


(20)

24 2.5.2 Spektrofotometri inframerah

Spektrofotometer inframerah (IR) pada umumnya digunakan untuk menentukan gugus fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa organik dan untuk mengetahui informasi tentang struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya. Bentuk spektrum inframerah yang dihasilkan berupa grafik yang menunjukkan persentase transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi inframerah. Satuan frekuensi yang digunakan pada garis horizontal (aksis) yang dinyatakan dalam bilangan gelombang, yang didefenisikan sebagai banyaknya gelombang dalam tiap satuan panjang (Dachriyanus, 2004). Daerah spektra spektroskopi inframerah dibagi dalam tiga kisaran yaitu IR dekat (12.500-4.000 cm-1), IR tengah (4.000-400 cm-1) dan IR jauh (400-100 cm-1). Daerah IR tengah merupakan daerah yang digunakan untuk penentuan gugus fungsi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Identifikasi setiap absorbsi ikatan yang khas dari setiap gugus fungsi merupakan basis dari interpretasi spektrum inframerah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menginterpretasikan spektrum (Dachriyanus, 2004), yaitu: 1. Spektrum harus tajam dan jelas serta memiliki intensitas yang tepat.

2. Spektrum harus berasal dari senyawa yang murni.

3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga akan menghasilkan pita atau serapan pada bilangan gelombang yang tepat.

4. Metode penyiapan sampel harus dinyatakan, jika digunakan pelarut maka jenis pelarut, konsentrasi dan tebal sel harus diketahui.


(1)

19 2.4.1 Kromatografi lapis tipis

Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar, dimana fase diamnnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, lempeng aluminium atau lempeng plastik (Gandjar dan Rohman, 2007). Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita. Setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan). Selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Sthal, 1985).

a. Fase diam (lapisan penyerap)

Fase diam yang digunakan dalam KLT merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 µm. Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran ukuran fase diam maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan resolusinya. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama pada KLT adalah partisi dan adsorpsi. Lapisan tipis yang digunakan sebagai penjerap juga dapat dibuat dari silika yang telah dimodifikasi, resin penukar ion, gel ekslusi dan siklodekstrin (Gandjar dan Rohman, 2007).

b. Fase gerak (pelarut pengembang)

Fase gerak yang digunakan pada KLT dapat dipilih dari pustaka, tetapi lebih sering dengan mencoba-coba. Biasanya fase gerak yang digunakan berisi dua campuran pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal.


(2)

20

Fase gerak yang digunakan harus memiliki tingkat kemurnian yang tinggi sehingga dapat memberikan pemisahan yang baik (Gandjar dan Rohman, 2007). c. Harga Rf

Rf atau faktor retardasi didefinisikan sebagai perbandingan antara jarak yang ditempuh solut dengan jarak yang ditempuh oleh fase gerak. Nilai Rf ini terkait dengan faktor perlambatan dan nilai ini bukanlah suatu nilai fisika absolut untuk suatu komponen, meskipun demikian dengan pengendalian kondisi KLT secara hati-hati, nilai Rf dapat digunakan sebagai cara identifikasi untuk kualitatif. Nilai maksimum Rf adalah 1 dan nilai minimumnya adalah 0 (Sastrohamidjojo, 1985).

�� = ����������������ℎ�����

����������������ℎ���������

Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf yaitu struktur kimia dari senyawa yang dipisahkan, sifat dari penyerap dan derajat aktifitasnya, tebal dan keterataan dari lapisan penyerap, pelarut dan derajat kemurniannya, derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana, teknik percobaan, jumlah cuplikan yang digunakan, suhu dan kesetimbangan (Sastrohamidjojo, 1985).

2.4.2 Kromatografi lapis tipis preparatif

Kromatogarafi lapis tipis preparatif merupakan salah satu metode pemisahan yang memerlukan pembiayaan yang lebih murah dan memakai peralatan yang paling dasar, walaupun kromatografi lapis tipis preparatif dapat memisahkan bahan dalam jumlah gram, sebagian besar pemakaian hanya dalam jumlah miligram. Ketebalan penjerap yang paling sering dipakai ialah 0,5-2 mm. Ukuran plat kromatografi biasanya 20 x 20 cm. Pembatasan ketebalan lapisan dan


(3)

21

ukuran plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan kromatografi lapis tipis preparatif. Penjerap yang paling umum digunakan adalah silika gel (Hostettmann, dkk., 1995).

Penotolan cuplikan dilakukan dengan melarutkan cuplikan dalam sedikit pelarut sebelum ditotolkan pada palat KLT preparatif. Pelarut yang baik ialah pelarut atsiri (heksana, diklorometana, etilasetat), karena jika pelarut kurang atsiri terjadi pelebaran pita. Cuplikan ditotolkan berupa pita yang harus sesempit mungkin karena pemisahan tergantung pada lebar pita. Penotolan dapat dilakukan dengan tangan (pipet), lebih baik dengan penotol otomatis (camag dan desage). Untuk pita yang terlalu lebar, dapat dilakukan pemekatan dengan cara pengembangan memakai pelarut polar sampai kira-kira 2 cm diatas tempat penotolan. Kemudian plat dikeringkan dan dielusi dengan pelarut yang diinginkan. Fase gerak biner (dalam berbagai perbandingan) sangat sering dipakai pada pemisahan KLT preparatif adalah n-heksan-etilasetat, n-heksan-aseton, kloroform-metanol (Hostettmann, dkk., 1995).

Pengembangan plat KLT preparatif biasanya dilakukan dalam bejana kaca yang dapat menampung beberapa plat. Bejana dijaga tetap jenuh dengan pelarut pengembang dengan bantuan sehelai kertas saring yang tercelup ke dalam pengembang, jika pemisahan secara KLT preparatif telah dicapai, plat dikeluarkan dan dikeringkan kemudian dilakukan isolasi senyawa yang sudah terpisah (Hostettmann, dkk., 1995).

Penjerap KLT preparatif mengandung indikator fluoresensi yang membantu mendeteksi kedudukan pita yang terpisah sepanjang senyawa yang dipisahkan menyerap sinar UV, akan tetapi beberapa indikator menimbulkan


(4)

22

masalah yaitu bereaksi dengan asam, kadang- kadang bahkan dengan asam asetat, untuk senyawa yang tidak menyerap sinar UV yaitu menutup plat dengan sepotong kaca menyemprot salah satu sisi dengan pereaksi penyemprot (Hostettmann, dkk., 1995).

Pita yang kedudukannya telah diketahui, dikerok dari plat dengan spatula atau pengerok berbentuk tabung yang disambungkan ke pengumpul vakum. Senyawa yang terkumpul diekstraksi/direndam dengan pelarut yang paling kurang polar dan kemudian disaring (Hostettmann, dkk., 1995).

2.4.3 KLT dua arah

KLT dua arah atau KLT dua dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama, karena nilai Rf juga hampir sama, selain itu dua sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan pada suatu campuran tertentu sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas yang hampir sama (Ganjar dan Rohman, 2007).

Cuplikan ditotolkan pada satu sudut lapisan yang berbentuk bujur sangkar dan dikembangkan dengan satu sistem pelarut sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi. Plat diangkat, dikeringkan, diputar 90 derajat, lalu diletakkan di dalam sistem pelarut yang kedua sehingga bercak yang terpisah pada pengembangan pertama terdapat di sepanjang bagian bawah plat. Komponen yang terpisah (bercak) biasanya terdapat dimana saja pada lapisan (Gritter, dkk., 1991).


(5)

23 2.5 Spektrofotometri

2.5.1 Spektrofotometri ultraviolet

Spektrum ultraviolet adalah suatu gambaran yang menyatakan hubungan antara panjang gelombang atau frekuensi serapan terhadap intensitas serapan (transmitansi atau adsorbansi). Serapan cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet tergantung pada struktur elektronik dari molekul yang bersangkutan. Spektrum ulraviolet biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum ultraviolet mempunyai bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm (Dachriyanus, 2004).

Spektrofotometer ultraviolet pada umumnya digunakan untuk (Sastrohamidjojo, 1991):

1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap terkonjugasi dan auksokrom dari suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang maksimum suatu senyawa.

3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan hukum Lambert-Beer.

Suatu atom atau molekul akan menyerap cahaya, maka energi tersebut akan menyebabkan tereksitasinya elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Tipe eksitasi tergantung panjang gelombang cahaya yang diserap. Sistem yang bertanggung jawab terhadap absorpsi cahaya disebut dengan kromofor (Dachriyanus, 2004).


(6)

24 2.5.2 Spektrofotometri inframerah

Spektrofotometer inframerah (IR) pada umumnya digunakan untuk menentukan gugus fungsi yang terdapat dalam suatu senyawa organik dan untuk mengetahui informasi tentang struktur suatu senyawa organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya. Bentuk spektrum inframerah yang dihasilkan berupa grafik yang menunjukkan persentase transmitan yang bervariasi pada setiap frekuensi radiasi inframerah. Satuan frekuensi yang digunakan pada garis horizontal (aksis) yang dinyatakan dalam bilangan gelombang, yang didefenisikan sebagai banyaknya gelombang dalam tiap satuan panjang (Dachriyanus, 2004). Daerah spektra spektroskopi inframerah dibagi dalam tiga kisaran yaitu IR dekat (12.500-4.000 cm-1), IR tengah (4.000-400 cm-1) dan IR jauh (400-100 cm-1). Daerah IR tengah merupakan daerah yang digunakan untuk penentuan gugus fungsi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Identifikasi setiap absorbsi ikatan yang khas dari setiap gugus fungsi merupakan basis dari interpretasi spektrum inframerah. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam menginterpretasikan spektrum (Dachriyanus, 2004), yaitu: 1. Spektrum harus tajam dan jelas serta memiliki intensitas yang tepat.

2. Spektrum harus berasal dari senyawa yang murni.

3. Spektrofotometer harus dikalibrasi sehingga akan menghasilkan pita atau serapan pada bilangan gelombang yang tepat.

4. Metode penyiapan sampel harus dinyatakan, jika digunakan pelarut maka jenis pelarut, konsentrasi dan tebal sel harus diketahui.