CARITA MAUNG PADJAJARAN DI KECAMATAN SURADE: Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Makna.

(1)

CARITA MAUNG PADJAJARAN DI KECAMATAN SURADE:

Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Makna

SKRIPSI

diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia

Oleh SitiAmanah

0906029

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

CARITA MAUNG PADJAJARAN DI KECAMATAN SURADE:

Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Pe4nuturan, Fungsi, dan Makna

Oleh Siti Amanah

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni

© SitiAmanah 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhnya atau sebagian, Dengan di cetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis

Siti Amanah, 2013

Carita Maung Padjajaran Di Kecamatan Surade: Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi, Dan Makna I repository.upi.edu


(3)

(4)

PERNYATAAN

“Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Carita Maung Padjajaran di Kecamatan Surade: Analisis Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi dan Makna” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya saya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku dalam masyarakat keilmuan. Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/sanksi yang dijatuhkan kepada saya apabila kemudian ditemukan adanya pelanggaran terhadap etika keilmuan dalam karya saya ini, atau ada klaim dari pihak lain terhadap keaslian karya saya ini”.

Bandung, Juli 2013

Yang membuat pernyataan,

(Siti Amanah)


(5)

ABSTRAK

CARITA MAUNG PADJAJARAN DI KECAMATAN SURADE: Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Makna

Siti Amanah (0906029)

Carita Maung Padjajaran (CMP) merupakan versi cerita Prabu Siliwangi yang terdapat di Kecamatan Surade dengan karakteristik yang khas. Kekhasan tersebut disebabkan adanya kaitan CMP dengan tempat-tempat di sekitar Surade. Hal tersebut yang mendorong dilakukan penelitian CMP ini. CMP dianalisis berdasar lima aspek, yaitu struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi dan makna. Analisisnya dengan metode deskriptif kualitatif dan pendekatan kritik sastra lisan. Hasil penelitian tiga versi CMP bersumber dari tiga penutur yang berasal dari 3 lokasi yang berbeda di kecamatan Surade. Struktur CMP ditinjau dari segi analisis alur dengan pendekatan aktan, serta analisis tokoh dan latar. Proses penciptaan didasarkan pada pola skema. Artinya, dalam proses penciptaanya tercipta tiga pola utama yakni bagian awal, tengah, dan akhir. Konteks penuturan berkaitan dengan situasi dan kondisi pada saat cerita itu dituturkan. Secara umum konteks penuturan menggambarkan kaitan CMP dengan masyarakat Surade. Fungsi yang terdapat dalam CMP terutama fungsi pendidikan moral serta pemaksa norma di masyarakat yang berhubungan dengan pelestarian alam. Makna yang terdapat dalam CMP umumnya tentang kearifan hidup, salah satunya mengenai hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhan yang digambarkan melalui tokoh dalam CMP.

Kata kunci: struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, makna, skema, surade.


(6)

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmirrahmaanirahiim

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat illahi Rabbi, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan pada nabi akhir zaman nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya, tabiin-tabiat, serta pada umatnya yang senantiasa taat pada ajarannya.

Alhamdulillah, dengan kenikmatan yang diberikan, peneliti masih dapat menghirup segarnya udara kampus, menatap wajah sahabat yang berjuang bersama, mendengar lantunan doa orang tua di ujung telepon, mencium aroma keingintahuan, merasakan sari-sari ilmu pengetahuan yang masuk ke dalam juwa dan raga, dan yang tidak kalah penting adalah kenikmatan menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan target yang telah ditentukkan.

Skripsi berjudul “Carita Maung Padjajaran di Kecamatan Surade: Struktur,

Proses Penciptaan, Fungsi, dan Makna” merupakan bentuk pertanggungjawaban dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti. Selain itu, skripsi ini sebagai salah satu syarat dalam meraih gelar Sarjana Sastra.

Skripsi ini telah dibuat dan disusun dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi sebagai manusia biasa, tidak menuntup kemungkinan jika dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, saran serta kritik membangun sangat diharapkan. Peneliti berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Bandung, Juli 2013


(7)

UCAPAN TERIMA KASIH

Skripsi ini hanyalah sepenggal bukti perjuangan yang dilakukan peneliti. Sebuah bukti yang tidak cukup untuk mewakilkan empat tahun yang telah dilalui di kampus bersama orang-orang tersayang. Terselesaikannya penyusunan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Peneliti menghaturkan terima kasih kepada:

1. Orang tua dan keluarga tercinta yang tulus mencurahkan kasih sayangnya. Umi yang tiada lelah melantunkan doa, dan Babeh yang ikhlas meminjamkan tenaganya untuk penelitian ini serta kakak-kakak yang terus memotivasi.

2. Drs. Memen Durachman serta Dr. Tedi Permadi, M.Hum, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar memotivasi dan membimbing.

3. Dr. Dadang S Anshori selaku ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni beserta seluruh jajarannya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

4. Para dosen Konsentrasi Sastra, antara lain: Dr. Sumiyadi M. Hum., Yulianeta, M.Pd., Nenden Lilis, M. Pd., Rudi A Nugroho, M.Pd., Halimah, M.Pd.,

5. Mas joko, Pak Aep, serta Pak Wawan yang baik hati selalu membagi informasi seputar kemahasiswaan. Nuhun pisan!!

6. Afrah dan Fina sahabat dari awal berpetualang di belantara UPI 7. Teh imi yang setia menemani peneliti. You ’re the best!

8. Dua peneliti dahsyat sekaligus sahabat peneliti teh Nuri dan Novi 9. Blabhboh The Gank : Septi, Citi, Ridwan, dan Wili

10. Sahabat Nondik 2009: Punakawan, Nda, Nono, Hari, Hana, dan masih banyak lagi. Hapunten teu tiasa disebatkeun satu-satu, bilih sisirikan (hihi..).

11. Barudak Kost’an yang selalu rame sampai diketuk sama tetangga: Neni, Tyas, Sella, Teh Hani, Handay, Ijah, Orin, Elis, Wilia, Nunik, Tika, dan Siti.

12. Semua ponakanku yang imut-imut khususnya untuk Maya dan Leli.

Serta berbagai pihak yang telah banyak memberikan dukungan berupa motivasi dan doa yang tidak bisa disebutkan satu per satu.


(8)

ABSTRAK

CARITA MAUNG PADJAJARAN DI KECAMATAN SURADE: Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Makna

Siti Amanah (0906029)

Carita Maung Padjajaran (CMP) merupakan versi cerita Prabu Siliwangi yang terdapat di Kecamatan Surade dengan karakteristik yang khas. Kekhasan tersebut disebabkan adanya kaitan CMP dengan tempat-tempat di sekitar Surade. Hal tersebut yang mendorong dilakukan penelitian CMP ini. CMP dianalisis berdasar lima aspek, yaitu struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi dan makna. Analisisnya dengan metode deskriptif kualitatif dan pendekatan kritik sastra lisan. Hasil penelitian tiga versi CMP bersumber dari tiga penutur yang berasal dari 3 lokasi yang berbeda di kecamatan Surade. Struktur CMP ditinjau dari segi analisis alur dengan pendekatan aktan, serta analisis tokoh dan latar. Proses penciptaan didasarkan pada pola skema. Artinya, dalam proses penciptaanya tercipta tiga pola utama yakni bagian awal, tengah, dan akhir. Konteks penuturan berkaitan dengan situasi dan kondisi pada saat cerita itu dituturkan. Secara umum konteks penuturan menggambarkan kaitan CMP dengan masyarakat Surade. Fungsi yang terdapat dalam CMP terutama fungsi pendidikan moral serta pemaksa norma di masyarakat yang berhubungan dengan pelestarian alam. Makna yang terdapat dalam CMP umumnya tentang kearifan hidup, salah satunya mengenai hubungan manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan tuhan yang digambarkan melalui tokoh dalam CMP.

Kata kunci: struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, makna, skema, surade.


(9)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN . ... i

UCAPAN TERIMAKASIH ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR BAGAN ... xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Masalah ... 5

1.2.1 Identifikasi Masalah ... 5

1.2.2 Batasan Masalah ... 6

1.2.3 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat Penelitian ... 7

1.4.1. Secara Teoritis ... 7

1.4.2. Secara Praktis ... 7


(10)

BAB II LANDASAN TEORETIS

2.1 Sastra Lisan... 9

2.2 CMP sebagai Cerita Rakyat ... 10

2.2.1 Mite ... 10

2.2.2 Legenda ... 12

2.2.3 Dongeng ... 14

2.3 Analisis Struktural ... 16

2.3.1 Pendekatan Struktural A.J. Greimas ... 16

a. Skema Aktan ... 16

b. Struktur Fungsional ... 18

2.3.2 Alur ... 20

2.3.3 Tokoh ... 20

2.3.4 Latar/ Setting ... 21

2.4 Proses Penciptaan ... 22

2.5 Konteks Penuturan ... 23

2.6 Fungsi ... 26

2.7 Makna ... 27

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 28

3.2 Objek Penelitian ... 29

3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 30

3.4 Instrumen Penelitian... 31

3.5 Prosedur Penelitian... 32


(11)

a. Pemilihan Narasumber ... 33

b. Perekaman ... 34

3.5.2 Teknik Pengolahan Data ... 34

3.5.3 TeknikPenganalisisan Data ... 35

BAB 4 ANALISIS 4.1 Carita Maung Padjajaran ... 37

4.1.1 Analisis Struktur ... 37

a. Analisis Alur ... 38

b. Analisis Tokoh ... 64

c. Analisis Latar ... 80

4.1.2 Proses Penciptaan ... 88

a. Proses Pewarisan ... 88

b. Proses Penciptaan ... 90

4.1.3 Konteks Penuturan ... 92

a. Konteks Situasi ... 93

1) Waktu ... 93

2) Tujuan ... 94

3) Peralatan ... 94

4) Teknik Penuturan ... 95

b. Konteks Budaya ... 96

1) Lokasi ... 97

2) Penutur-Audiens ... 98

3) Latar Ekonomi ... 98


(12)

4.1.4 Fungsi ... 107

a. Sistem Proyeksi ... 107

b. Alat Pengesah Kebudayaan ... 108

c. Alat Pendidikan ... 110

d. Alat Pemaksa atau Pengawas Norma-norma di Masyarakat ... 113

4.1.5 Makna ... 114

4.2 Carita Maung Padjajaran 2 ... 123

4.2.1 Analisis Struktur ... 123

a. Analisis Alur ... 123

b. Analisis Tokoh ... 150

c. Analisis Latar ... 163

4.2.2 Proses Penciptaan ... 171

a. Proses Pewarisan ... 171

b. Proses Penciptaan ... 172

4.2.3 Konteks Penuturan ... 174

a. Konteks Situasi ... 174

1) Waktu ... 174

2) Tujuan ... 174

3) Peralatan ... 175

4) Teknik Penuturan ... 175

b. Konteks Budaya ... 176

1) Lokasi ... 176

2) Penutur-Audiens ... 177


(13)

4) Latar Budaya Sosial Masyarakat ... 180

4.2.4 Fungsi ... 187

a. Sistem Proyeksi ... 187

b. Alat Pengesah Kebudayaan ... 187

c. Alat Pendidikan ... 188

d. Alat Pemaksa atau Pengawas Norma-norma di Masyarakat ... 191

4.2.5 Makna ... 193

4.3 Carita Maung Padjajaran 3 ... 201

4.3.1 Analisis Struktur ... 201

a. Analisis Alur ... 201

b. Analisis Tokoh ... 225

c. Analisis Latar ... 237

4.3.2 Proses Penciptaan ... 244

a. Proses Pewarisan ... 244

b. Proses Penciptaan ... 245

4.3.3 Konteks Penuturan ... 246

a. Konteks Situasi ... 246

1) Waktu ... 247

2) Tujuan ... 247

3) Peralatan ... 248

4) Teknik Penuturan ... 248

b. Konteks Budaya ... 248

1) Lokasi ... 249


(14)

3) Latar Ekonomi ... 250

4) Latar Budaya Sosial Masyarakat ... 251

4.3.4 Fungsi ... 257

a. Sistem Proyeksi ... 257

b. Alat Pengesah Kebudayaan ... 258

c. Alat Pendidikan ... 259

d. Alat Pemaksa atau Pengawas Norma-norma di Masyarakat ... 263

4.3.5 Makna ... 264

BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan ... 270

5.2 Saran ... 272

Daftar Pustaka ... 273


(15)

DAFTAR BAGAN

2.1 Susunan Posisi Keenam Aktan ... 18

3.1 Kerangka Berpikir Penelitian ... 36

4.1 Formulasi Aktan 1 (CMP 1) ... 39

4.2 Formulasi Aktan 2 (CMP 1) ... 43

4.3 Formulasi Aktan 3 (CMP 1) ... 48

4.4 Formulasi Aktan Utama (CMP 1) ... 57

4.5 Proses Pewarisan CMP 1 ... 90

4.6 Formulasi Aktan 1 (CMP 2) ... 124

4.7 Formulasi Aktan 2 (CMP 2) ... 129

4.8 Formulasi Aktan 3 (CMP 2) ... 135

4.9 Formulasi Aktan Utama (CMP 2) ... 141

4.10 Proses Pewarisan CMP 2 ... 172

4.11 Formulasi Aktan 1 (CMP 3) ... 202

4.12 Formulasi Aktan 2 (CMP 3) ... 208

4.13 Formulasi Aktan 3 (CMP 3) ... 213

4.14 Formulasi Aktan Utama (CMP 3) ... 218


(16)

DAFTAR TABEL

2.1 Kategori Cerita Rakyat Bentuk Prosa ... 16

2.2 Struktur Fungsional A.J. Greimass ... 19

3.1 Data Informan ... 29

3.2 Catatan Lapangan ... 32

4.1 Struktur Fungsional 1 (CMP 1) ... 41

4.2 Struktur Fungsional 2 (CMP 1) ... 46

4.3 Struktur Fungsional 3 (CMP 1) ... 51

4.4 Struktur Fungsional Utama (CMP 1) ... 61

4.5 Struktur Fungsional 1 (CMP 2) ... 127

4.6 Struktur Fungsional 2 (CMP 2) ... 132

4.7 Struktur Fungsional 3 (CMP 2) ... 137

4.8 Struktur Fungsional Utama (CMP 2) ... 147

4.9 Struktur Fungsional 1 (CMP 3) ... 206

4.10 Struktur Fungsional 2 (CMP 3) ... 211

4.11 Struktur Fungsional 3 (CMP 3) ... 215

4.12 Struktur Fungsional Utama (CMP 3) ... 221


(17)

DAFTAR GAMBAR

4.1 Peta Lokasi CMP 1 ... 97

4.2 Data Penggunaan Lahan ... 100

4.3 Peta Lokasi CMP 2 ... 177

4.4 Indikator Kemiskinan Masyarakat Surade ... 179


(18)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Masyarakat Sunda pada umumnya sudah mengenal dengan kata Siliwangi dan Padjajaran. Kedua kata tersebut banyak digunakan dalam berbagai hal. Mulai dari nama tempat, seperti Stadion Siliwangi, Babakan Siliwangi, Jalan Padjajaran, Jalan Siliwangi; nama oganisasi atau divisi, seperti Angkatan Muda Siliwangi (AMS), Komando Militer Siliwangi; nama sekolah atau perguruan tinggi, seperti Universitas Padjajaran (UNPAD), STKIP Siliwangi, SMK AMS, dan lain-lain.

Siliwangi merupakan sebutan bagi raja-raja pada masa kerajaan Padjajaran. Oleh karena itu, kata Siliwangi dan Padjajaran memiliki keterkaitan yang kuat. Menurut catatan sejarah, Prabu Siliwangi mengacu pada nama raja Sri Baduga Maharaja. Namun, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur utama karena menurut naskah Sanghiyang Siksa Kadaresia, pada masa itu nama Prabu Siliwangi telah menjadi tokoh dalam cerita pantun (Ekadjati, 2009: 115).

Prabu Siiwangi adalah raja yang memimpin kerajaan Padjajaran. Dalam beberapa versi cerita yang berkembang di masyarakat serta benda-benda hasil temuan yang dianggap peninggalan zaman Padjajaran, Prabu Siliwangi digambarkan sebagai sosok raja yang adil dan bijaksana sehingga berhasil membawa kehidupan rakyatnya dalam kemakmuran (Ekadjati, 2009: 116).

Pada masyarakat Sunda, sosok Prabu Siliwangi hingga kini keberadaan dan kebenarannya masih menjadi perdebatan. Perdebatan tersebut memunculkan tiga kubu yang berbeda yaitu 1) pihak yang menganggap Prabu Siliwangi sebagai tokoh karya sastra; 2) pihak yang menganggap Prabu Siliwangi sebagai tokoh karya sejarah;


(19)

2

dan 3) pihak yang mengganggap Prabu Siliwangi sebagai tokoh karya sastra sekaligus tokoh sejarah. (Ekadjati, 2009: 85; Undang, 2012: 11-13)

Perdebatan itu terlihat jelas terutama dari berbagai kalangan, yakni dari kalangan akademisi dan budayawan. Menurut Rosidi (Muhsin, 2011:1), tokoh Prabu Siliwangi hanyalah tokoh mitologi karena tidak ada bukti jelas mengenai keberadaannya. Pendapat itu, Rosidi sampaikan dalam orasi ilmiah penganugrahan Doctor Honoris Causanya di Fakultas Sastra UNPAD pada tanggal 31 Januari 2011. Di lain pihak, Undang .A. Darsa tetap meyakini keberadaan Prabu Siliwangi sebagai bagian dari sejarah, dengan catatan, Siliwangi merupakan sebutan untuk beberapa raja di Padjajaran yaitu, 1) Prabu Maharaja Linggabhuwanawiseasa; 2) Niskala Wastu Kencana; 3) Sang Susuktunggal; 4) Sri Baduga; dan 5) Prabu Surawisesa (Darsa, 2012:13). Pendapat Darsa tersebut menguatkan argumentasi Muhsin, salah satu peneliti sejarah UNPAD. Menurutnya, Sumber yang berkaitan dengan Padjajaran ini bukan sekedar ada, tapi banyak. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa eksistensi Pajajaran tidak perlu diragukan (Muhsin, 2011:3 ; Darsa, 2012:13).

Selain itu, perdebatan mengenai sosok Prabu Siliwangi muncul karena adanya pandangan yang berbeda mengenai sumber yang dapat dijadikan bukti keberadaan Prabu Siliwangi. Saat ini, sebagian besar bukti mengenai Prabu Siliwangi terdapat dalam bentuk carita pantun, babad, wawacan, dan folklor di masyarakat (Ekadjati, 2009:83). Namun, pendapat Ekadjati tersebut harus dikaji ulang karena carita pantun, dan wawacan masih merupakan bagian dari folklor. Selain itu, kini banyak ditemukan benda-benda (artefak) yang dianggap sebagai peninggalan Prabu Siliwangi sehingga tidak dalam bentuk folklor saja, seperti mahkota dan prasasti (batu tulis, sanghiyang tapak, kawali, cikapundung, pasir datar, galuh, nyalindung, dan sebagainya).

Hingga saat ini, keberadaan tokoh Prabu Siliwangi masih menjadi perdebatan. Namun, Kepercayaan terhadap sosok Prabu Siliwangi masih diyakini sebagian besar wilayah di Jawa Barat. Hal ini tampak dari banyaknya daerah yang mengaku


(20)

3

memiliki tempat petilasan Prabu Siliwangi. diantaranya di Sukabumi (Surade dan Ujung Genteng) Garut (leuweng Sancang), Purwakarta (Gunung Hejo), Majalengka (Desa Pajajar), dan lain-lain.

Diantara berbagai bukti-bukti peninggalan Prabu Siliwangi tersebut (folklor, dan artifak), folklor merupakan jenis yang paling banyak ditemukan di masyarakat. Hal ini disebabkan penyebaran folklor tersebut umumnya berbentuk cerita. Cerita mengenai Prabu Siliwangi terbagi pada tiga bentuk, yaitu pantun, wawacan, dan

babad. Contohnya Carita Pantun Mundinglaya Dikusumah, Wawacan

Walangsungsang, dan Babad Padjajaran.

Cerita mengenai Prabu Siliwangi, Raja Padjajaran tersebar di sebagian besar wilayah di tatar Sunda, terutama tempat-tempat yang memiliki keterkaitan langsung dengan cerita. Proses penyebarannya cerita Prabu Siliwangi melalui dua cara, yakni melalui lisan (tradisi lisan) maupun tulisan (naskah).

Bentuk penyebaran secara lisan menghasilkan cerita yang beraneka ragam karena diwariskan turun temurun, dari mulut ke mulut, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan cerita sesuai dengan kondisi masyarakat pada masa itu dan menghasilkan cerita yang berbeda. salah satu bentuk dalam cerita Prabu Siliwangi yakni Carita Maung Padjajaran (CMP) di Kecamatan Surade.

CMP adalah jenis cerita yang disebarkan melalui tuturan (tradisi lisan). CMP merupakan cerita yang menghubungkan-hubungkan keberadaan harimau dengan raja Padjajaran, Prabu Siliwangi. Cerita ini berkembang di wilayah Sukabumi, khususnya di tempat-tempat yang dianggap memiliki keterkaitan dengan cerita tersebut seperti di daerah Surade.

Saat ini nampak adanya permasalahan berkaitan dengan keberlangsungan CMP di masyarakat pemiliknya. Pertama, CMP dianggap sebagai cerita yang sakral sehingga penuturannya tidak dapat dilakukan sembarangan atau begitu saja. Ada


(21)

4

syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi yang berkaitan dengan waktu dan tempat sehingga pengetahuan mengenai CMP dapat dikatakan terbatas. Kedua, penutur CMP adalah orang-orang tertentu yang terpilih menjadi dalang cerita. Umumnya laki-laki berusia lanjut yang dianggap sudah berpengalaman dan jumlahnya pun sedikit.

Ketiga, adanya anggapan bahwa kepercayaan terhadap CMP merupakan salah satu bentuk tindakan musyrik atau bertentangan dengan ajaran yang dianut masyarakat, sehingga masyarakat, khususnya penutur enggan untuk mewariskan cerita tersebut yang pada akhirnya mengakibatkan tidak adanya proses pewarisan. Berdasarkan hasil temuan tersebut, penelitian mengenai CMP mutlak harus dilakukan, sebelum CMP hilang.

Penelitian mengenai carita maung atau cerita harimau, telah diteliti sebelumnya diantaranya Carita Maung Panjalu diteliti oleh Sri Maryati dalam Skripsinya yang berjudul judul Cerita Maung Panjalu: Analisis Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, dan Fungsi. Carita Maung bodas Leuweung Sancang di Garut diteliti oleh Taufik Ampera yang dipublikasikan melalui makalahnya yang berjudul Sri Baduga dalam Sastra Lisan: Antara Mitos Leuweung Sancang Dengan Mitos Gunung Salak. Terakhir Carita Maung Gunung Gede diteliti oleh Hariadi dkk yakni Moksanya Prabu Siliwangi.

Penelitian Maung Panjalu yang dilakukan oleh Maryati mengungkapkan bahwa cerita Maung Panjalu telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakatnya, khususnya masyarakat yang tergabung dalam Paguyuban Borosngora. Hal tersebut tampak dari usaha sebagian masyarakat untuk terus melestarikan cerita serta adanya kepercayaan bahwa cerita tersebut berkenaan dengan asal-usul nenek moyang penduduk Panjalu.

Penelitian lain yang telah dilakukan adalah Penelitian yang menggunakan pendekatan semiotik oleh Hariadi dkk. Berdasarkan hasil penelitian tersebut banyak masyarakat Sunda (bahkan juga yang non-Sunda) meyakini metamorfosa Prabu


(22)

5

Siliwangi menjadi harimau. Selain itu, cerita tersebut juga menjadi pedoman hidup bagi sebagian orang Sunda yang menganggap sifat-sifat maung seperti pemberani dan tegas, namun sangat menyayangi keluarga sebagai lelaku yang harus dijalani dalam kehidupan nyata. (Hariadi dkk, 2012: 29-30).

Terakhir, penelitian Taufik Amperra yang mengkaji pengaruh cerita terhadap perlakuan masyarakat pada alam. Dalam analisisnya Ampera membandingkan dua mitos Prabu Siliwangi di dua tempat yang berbeda, yakni Leuweung Sancang (Garut) dan Gunung Salak (Sukabumi-Bogor). Berdasarkan penelitian tersebut Ampera mengungkapkan bahwa tempat yang memiliki kepercayaan kuat terhadap mitos Prabu Siliwangi tetap terjaga karena adanya usaha dari masyarakat untuk menghormati keberadaan Prabu Siliwangi.

Kaitan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini, sebagai berikut. Pertama, perbedaan tempat penelitian; Hariadi di Gunung Gede, sedangkan peneliti di Surade. Kedua, metode yang digunakan; Hariadi menggunakan pendekatan semiotik, sedangkan peneliti cakupannya lebih luas dan mendalam mencakup struktur, proses penciptaan konteks penciptaan, fungsi, makna. ketiga, perbedaan dari segi objek, tempat, dan metode penelitian yang dilakukan Ampera dengan Peneliti. Adapun persamaan ketiganya karena mengangkat tema cerita rakyat, khususnya Prabu Siliwangi.

Adapun teks CMP di Kecamatan Surade yang dianalisis dalam penelitian ini berkaitan dengan, 1) memiliki keterkaitan atau hubungan dengan wilayah tempat cerita itu berasal (Surade, Ujung Genteng, Tegal Buleud); 2) meskipun masih dalam satu kecamatan yang sama tetapi setiap tempat memiliki penggambaran yang berbeda mengenai CMP; dan 3) merupakan salah satu folklor peninggalan nenek moyang yang berhubungan dengan cerita Prabu Siliwangi.


(23)

6

1.2Masalah

Masalah yang akan dikaji dalam penelitian terbagi pada beberapa tahapan di bawah ini.

1.2.1 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang berhasil teridentifikasi pada CMP adalah sebagai berikut.

1. CMP merupakan cerita yang sakral sehingga waktu penuturannya dibatasi untuk hari-hari tertentu.

2. Pengetahuan masyarakat mengenai CMP semakin memudar, bahkan sebagian besar generasi muda yang tidak mengetahui mengenai CMP.

3. Penutur CMP umumnya adalah orang tua berusia lanjut sehingga mengahadapi kesulitan pada saat menuturkan dan jumlahnya pun semakin sedikit.

4. Seiring dengan semakin memudarnya CMP di masyarakat, dikhawatirkan Nilai-nilai yang diperkirakan terkandung dalam CMP pun ikut hilang.

5. Adanya pandangan bahwa kepercayaan terhadap Cerita yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi, salah satunya CMP sebagai ciri musyrik (orang yang menyekutukan Alloh) sehingga masyarakat khususnya penutur tidak mau mewariskan CMP

1.2.2 Batasan Masalah

Batasan masalah merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk menfokuskan penelitian baik itu dalam segi objek maupun kajian. Berikut batasan penelitiannya.

1. CMP yang diteliti merupakan cerita rakyat yang berkembang di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.


(24)

7

2. Analisis dalam penelitian ini ditekankan pada lima aspek analisis yaitu analisis struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, dan makna yang terdapat dalam CMP.

1.2.3 Rumusan Masalah

Berikut rumusan masalah dalam penelitian

1. Bagaimana struktur CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi?

2. Bagaimana proses penciptaan CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi?

3. Bagaimana konteks penuturan CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi?

4. Apakah fungsi CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi? 5. Apakah makna CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Pengetahuan mengenai struktur CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.

2. Pemahaman pada proses Penciptaan CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.

3. Pemahaman konteks penuturan CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.

4. Pemahaman fungsi CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi. 5. Pengetahuan makna CMP di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.


(25)

8

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua bagian yakni manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.4.1 Secara Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi bagi penelitian mengenai Prabu Siliwangi khususnya dalam kajian sastra lisan. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi salah satu acuan pengaplikasian teori-teori dalam pengkajian sastra lisan. Terakhir, memperkaya kajian kesusatraan terutama yang berkaitan dengan kesusastraan sunda. 1.4.2 Secara Praktis

Berikut Manfaat secara praktis dari penelitian ini, 1) informasi mengenai sastra lisan yang berkembang di masyarakat terutama di daerah Surade, Kabupaten Sukabumi; 2) upaya pendokumentasian sastra lisan khususnya yang berkaitan dengan Carita Maung Padjajaran, 3) salah satu usaha dalam mestarikan budaya daerah yang merupakan pilar dari kebudayaan nasional

1.5 Definisi Operasional

Penelitian ini mengkaji cerita-cerita mengenai Maung Padjajaran di Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi. Penelitian ini merupakan salah satu upaya pendokumentasian sekaligus pengkajian sastra lisan yang menghubungan antara sosok harimau dengan tokoh Prabu Siliwangi. Dalam penelitian ini digunakan beberapa istilah atau kata yang mungkin saja menimbulkan presepsi ganda. Untuk mencegah terjadinya salah tafsir terhadap istilah-istilah tersebut, peneliti akan menguraikan maksud dari beberapa istilah dalam penelitian ini.


(26)

9

1. CMP merupakan kumpulan cerita rakyat yang di dalamnya berisi tentang hubungan antara tokoh Prabu Siliwangi dengan sosok harimau. CMP berasal dari kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi. Beberapa cerita dalam CMP masih dianggap sakral oleh masyarakat pemiliknya, bahkan pada awalnya masyarakat harus melakukan ritual khusus untuk menuturkannya.

2. Ritual Nyebor adalah ritual yang dilakukan untuk menuturkan CMP. Ritual tersebut hanya bisa dilakukan antara tanggal 1 sampai 10 Muharram. Tempat yang digunakan ritual nyebor biasanya di tempat yang cukup luas seperti lapangan atau pesawahan. Selain itu, untuk melaksanakan ritual tersebut dibutuhkan 10 macam jenis tanaman yang terdiri dari 5 tanaman jaksi (berbau harum) dan 5 tanaman palias (berbau tidak sedap).

3. Struktur merupakan hubungan antara teks sebagai suatu kesatuan dengan unsur-unsur yang membentuk teks. Penganalisisan struktur dilakukan melalui pendekatan struktural A.J. Greimas yang meliputi penganalisisan alur, tokoh, dan latar.

4. Proses penciptaan adalah proses terciptanya sebuah sastra lisan baik dari segi pewarisan hingga sastra itu dituturkan atau diciptakan kembali.

5. Konteks penuturan adalah peristiwa komunikasi yang ditandai oleh adanya interaksi. Konteks penuturan berhubungan dengan aktifitas atau perbuatan pada saat cerita dituturkan.

6. Fungsi adalah manfaat yang dapat dirasakan baik secara langsung maupun tidak langsung oleh suatu masyarakat atau kelompok dari sastra lisan yang dimilikinya.

7. Makna adalah arti yang terkandung dalam sebuah cerita yang diwakili oleh penggunaan kata-kata tertentu dalam kalimat atau dialog tokoh dalam cerita.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1Metode Penelitian

Cara menemukan atau menyusun pengetahuan memerlukan kajian atau pemahaman tentang metode-metode.Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman untuk membedakan metode, pendekatan,dan teknik.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.Metode ini digunakan dalam penelitian kebudayaan.Metode ini dipilih karena dianggap sesuai dengan objek kajian peneliti yakni mengkaji fenomena-fenomena yang ada di masyarakat yang dinamis sehingga menyesuaikan dengan objek kajian.

Pendekatan adalah ancangan ilmiah, landasan filosofis dalam mendekati sebuah objek penelitian sesuai dengan sifat-sifat penelitian, yang sangat dipengaruhi oleh pendekatan yang dipakai.Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kritik sastra lisan.Pendekatan ini digunakan untuk menganalisis sastra lisan baik itu sebagai teks utuh maupun kaitannya dengan hal lain seperti konteks penuturannya, kondisi masyarakat pemiliknya, fungsi, dan makna tersebut.

Langkah pertama yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka.Hal ini dilakukan untuk mengetahui sumber-sumber lain yang berkaitan dengan Carita Maung Padjajaran Pakidulan Sukabumi.diantaranya; 1) Uga Wangsit Siliwangi; 2) Sang Hyang Siksa Kandang Karesian; 3) dongeng-dongeng sasakala, dan lain-lain. Selain mencari data, studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan untuk memetakan penelitian berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Hal ini penting dilakukan untuk mencegah dilakukannya penelitian yang sama.


(28)

Langkah selanjutnya adalah studi lapangan atau observasi, yakni dengan observasi ke Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.Observasi ini dilakukan untuk merekam sekaligus wawancara pada para penutur mengenai CMP yang dimiliki masyarakat Surade. Langkah terakhir adalah penganalisisan data.

3.2Objek Penelitian

Sumber utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan.Pencatatan sumber data melalui wawancara dan pengamatan.Wawancara merupakan hasil gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanyaLofland (Moeloeng 2001: 112).Data penelitian ini meliputi beberapa versiCMP yang terdapat di Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi.Sumber data terbagi ada dua jenis yakni sumber data primer dan data sekunder.

Sumber data primer berdasarkan tuturan dari tiga penutur primer yakni Ki Kamal, Bapak Maruji, dan Bapak Adtur,sedangkan sumber data sekunder dari hasil wawancara dengan para narasumber di luar konteks cerita tetapi berkaitan dengan objek penelitian serta naskah ataupun cerita mengenai Prabu Siliwangi dari daerah lain seperti Uga Wangsit Siliwangi, Sang Hyang Kaderesia, dan lain-lain. Adapun uraian mengenai penutur akan digambarkan dalam tabel berikut ini.

Tabel 3.1 Data Informan No . Nama Informan Tempat Tanggal Lahir

Pendidikan Jabatan Alamat

1. Kamaludin Sukabumi, 01 Januari 1951 D2 Pendidikan Pensiunan Guru KP. Gunung Sumbing, Desa/Kec. Cisaat-Surade Kabupaten Sukabumi


(29)

S.Pd November 1947

Pendidikan Kepala Seksi Pariwisata Sukabumi

RW 01 Desa/Kec. Jaga Mukti- SuradeKabupaten Sukabumi

3. Adtur Ruswandi Sukabumi. 02 Juli 1950 D2 Pendidikan Kepala Sekolah Jaga Mukti Banjaran RT 08/RW 03 Desa/Kec. Jaga Mukti- Surade Kabupaten Sukabumi

3.3 Waktu dan Lokasi Penelitian

CMP tersebar di beberapa daerah Pakidulan Sukabumi, seperti Surade, Ujung Genteng, Tegal Buleud, dan lain-lain.Berdasarkan pengamatan pada tahapan observasi awal, diantara ketiga kecamatan di daerah Pakidulan, kecamatan Surade menjadi pemegang kuat kepercayaan terhadap CMP. Hal tersebut didasarkan pada banyaknya penutur dibandingkan di daerah lain.

Berdasarkan penuturan salah satu penutur (informan), Ki Kamal, pada awalnya CMP hanya dituturkan setahun sekali, yakni antara tanggal 1-10 Muharram dalam ritual nyebor. CMP dijadikan salah satu rangkaian acara dalam ritual tersebut.Istilah nyebor, berasal dari tindakan dalang ritual yang menciprati air yang digunakan dalam ritual pada para penduduk yang mengikuti ritual.Namun,ketiadaan penerus dalang (pemimpin ritual) mengakibatkan ritual tersebut kini tidak dilaksanakan lagi.Oleh karena itu, teknik perekaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah perekaman dalam konteks tak asli atau perekaman yang sengaja diadakan tanpa melakukan ritual terlebih dahulu.

Adapun waktu yang dilakukan dalam penelitian ini yakni malam hari 3 Juni 2012 untuk informan ke-1, 6 Oktober 2013 informan ke 2, dan 7 Oktober 2012 informan ke 3. Lokasi perekaman dilakukan di rumah masing-masing


(30)

penutur, desa Gunung Sumbi, Kecamatan Surade, Kabupaten Sukabumi.Hal tersebut atas pertimbangan kenyamanan dari penutur pada saat menuturkan.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah observasi dan wawancara.Observasi dilakukan untuk menentukan penutur dan lokasi penuturan yang sesuai,sedangkan wawancara berupa instrument berisi daftar pertanyaan.Alat bantuyang digunakan yaitu handphone, kamera digital, dan alat tulis.

Berikut ini salah satu instrumen penelitian berupa daftar tanyaan untuk para informan.

*sumber catatan peneliti

Selain daftar pertanyaan dalam penelitian lapangan, peneliti harus melakukan catatan lapangan untuk memudahkan peneliti dalam bertugas selama penelitian. Catatan lapangan berisi hal-ha berikut: (1) rekaman (tanggal rekaman, tempat rekaman, keaslian rekaman, dan perekam); (2) informan (hal-hal yang berkaitan dengan identitas informan); dan (3) bahan (genre, konteks penuturan, proses penciptaan, fungsi, dan makna).Berikut gambaran catatan lapangan dalam bentuk tabel.

No Pertanyaan

1 Bagaimanakah bentuk CMP di masyarakat Kecamatan Surade? 2 Bagaimana Proses Pewarisan CMP di masyarakat kecamatan Surade? 3 Apakah ada ketentuan-ketentuan tertentu untuk yang menjadi penutur CMP

?

4 Apakah ada syarat-syarat tertentu untuk menuturkan CMP? 5 Apakah fungsi yang terdapat dalam CMP kecamatan Surade ?

6 Bagaimana Proses Pewarisan cerita tersebut hingga sampai pada bapak? 7 Bagaimana tanggapan masyarakat Surade terhadap CMP ?


(31)

Tabel 3.2. Catatan Lapangan

Rekaman Informan Bahan Lingkungan

Mayarakat a. Tanggal Rekaman b. Tempat Rekaman c. Rekaman asli atau tidak asli d. Perekam e. Audiens a. Nama b. Umur

c. Jenis Kelamin d. Pekerjaan e. Pendidikan f. Status Sosial

g. Bahasa yang dipakai h. Kedudukan dalam

masyarakat i. Informasi di luar

teks, tetapi berkaitan dengan teks

a. Katagori cerita rakyat (mite, legenda, dan dongeng) b. Proses Penciptaan c. Konteks Penuturan d. Fungsi e. Makna a. Kondisi Ekonomi Masyarat Surade b. Kondisi Budaya Masyarakat Surade

*Sumber : Catatan Peneliti

3.5 Prosedur Penelitian

3.5.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara.Peneliti melakukan Observasi langsung ke Kecamatan Surade untuk merekam sekaligus wawancara mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penelitian dengan penutur.Observasi dilakukan untuk mengetahui secara langsung bentuk dari CMP serta kaitannya dengan masyarakat pemiliknya (Surade). Wawancara dilakukan untuk membantu peneliti memahami CMP serta mendapatkan informasi langsung mengenai CMP dari sumber yang berkompeten. Peneliti merekam tuturan CMP untuk kemudian diolah.Tahapan-tahapan pekerjaan yang dilakukan peneliti dalam penelitian sebagai berikut.


(32)

a) Pemilihan Narasumber

Pemilihan narasumber merupakan point penting dalam sebuah penelitian.seorang peneliti harus memilih narasumber yang tepat ataupun sesuai, sehingga data-data yang dibutuhkan dapat terpenuhi. Dalam hal ini, peneliti memilih tiga orang penutur dari tiga daerah yang berbeda. Ketiga penutur tersebut dipilih dari informasi yang didapat mengenai tokoh atau warga masyarakat yang mengetahui CMP serta hasil bandingan dengan penutur lain. Adapun penutur CMP dalam penelitian ini, yakni Ki Kamal, Bapak Adtur, dan Bapak Maruji.

Ki Kamal merupakan salah satu tokoh masyarakat di Kecamatan Surade, bahkan berdasarkan informasi dari Ki Kamal pula, penutur dapat mengetahui lokasi penutur CMP lain yang berada di Kecamatan Surade. Pengetahuan Ki Kamal mengenai cerita yang berkaitan dengan masyarakat Sunda khususnya yang berkenaan dengan Prabu Siliwangi cukup luas.Pada era tahun 90-an Ki Kamal seringkali dijadikan sebagai narasumber oleh pelbagai lembaga seperti mangle, Museum Sri Baduga, dan lain-lain.

Penutur kedua adalah bapak Maruji.Beliau adalah seorang pensiunan kepala seksi pariwisata Kabupaten Sukabumi.Sebagai seorang yang berkecimpung di dunia pariwisata sekaligus kebudayaan, beliau seringkali mendapatkan pengetahuan mengenai cerita-cerita yang berkembang di masyarakat, salah satunya di kecamatan Surade, tempat ia tinggal.

Penutur terakhir adalah Bapak Adtur.Beliau merupakan salah satu putra daerah asli Surade.Alasan terpilihnya beliau sebagai penutur karena pengetahuan beliau mengenai CMP dinilai memenuhi kriteria penutur.CMP yang dimiliki oleh bapak adtur merupakan berasal dari pengalaman masa kecilnya yang sering mendengarkan cerita dari orang tuanya.Dengan demikian, terkumpul 3 buah cerita CMP dari tiga penutur yang berbeda yang dianalisis dalam penelitian ini.


(33)

b) Perekaman

Perekaman dalam sastra lisan dilakukan dengan dua cara yakni perekaman dalam konteks asli (natural)/ pendekatan etnography. Kedua perekaman dalam konteks tak asli yakni perekaman yang sengaja diadakan (hutomo; 1991: 77). Penelitian ini dilakukan dengan cara kedua yakni perekaman tak asli. Hal ini dilakukan karena penutur utama dalam ritualnyebor (upacara yang digunakan untuk membacakan cerita) telah meninggal tanpa meninggalkan pewaris sehingga ritual nyebor tidak dapat dilaksanakan.Perekaman dilakukan dengan menggunakan rekaman telepon gengam.Pada tahap perekaman, peneliti tidak sebatas merekam tuturan CMP, tetapi juga wawancara mengenai hal-hal yang berkaitan dengan CMP, salah satunya kondisi masyarakat.

3.5.2 Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan antara lain: transkripsi, transliterasi, dan analisi data.

MenurutKBBI (2008: 1729), transkripsi adalah pengalihan tuturan (yang berwujud bunyi) ke dalam bentuk tulisan; penulisan kata atau kalimat atau teks berdasarkan lambang-lambang bunyi.Transkripsi dalam penelitian ini dilakukan untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis data selain itu sebagai acuan dalam penelitian.Transkripsi tidak hanya berupa tuturan dari penutur saja tetapi juga berisi keterangan tindakan yang dilakukan oleh penutur sehingga dapat menggambarkan situasi saat perekaman itu terjadi.Transkripsi dalam penelitian ini untuk memudahkan peneliti dalam mengidentifikasikan objek berdasarkan data dan keterangan-keterangan yang terdapat dalam transkrip.

Transliterasi dilakukan untuk menyalin dari suatu bahasa ke bahasa lain. Hal ini untuk memudahkan peneliti ataupun pembaca memahami maksud dari tuturan. Oleh karena itu, peneliti sebaiknya dapat memahami kedua bahasa tersebut yakni bahasa asli dalam teks tuturan dan bahasa terjemahan lain.


(34)

Tuturan dalam peneltian ini menggunakan Bahasa Sunda dan Bahasa Indonesia yang digunakan secara bersamaan sehingga diksi-diksi yang digunakan tercampur.Sebagian besar penutur menggunakan diksi Bahasa Sunda dalam isi wawancara dan perekaman.Oleh karena itu peneliti menerjemahkan seluruh tuturan ke dalam Bahasa Indonesia. Hal ini dimaksudkan untuk membantu orang lain yang tidak memahami Bahasa Sunda dapat memahami isi teks dalam Bahasa Indonesia.Setelah melalui beberapa tahapan di atas, data kemudian dianalisis. Penganalisisan dilakukan dengan beberapa tahapan yakni analisis struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi, dan Makna.

3.5.3 Teknik Penganalisisan Data

Pada tahapan ini peneliti akan menyajikan hasil analisis dari data yang diteliti, yakni Carita Maung Padjajaran ditinjau dari segi Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi dan Makna. Penganalisisan ini dilakukan dengan menggunakan beberapa teori.Analisis struktural mengacu pada skema aktan dari A.J.Greimass, analisis proses penciptaan pada teori skema Amin Sweeny, konteks penuturan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat mengenai tujuh aspek kebuadayaan, teori fungsi yang digagas oleh Wiliam Bascom dan analisis makna dengan teori signifikansi.

Teori-teori tersebut digunakan dalam penelitian karena dianggap sesuai dengan karakteristik objek dan tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian. Selain itu, keseluruhan analisis merupakan kolaborasi antara teori-teori yang berkaitan, peneliti, serta hasil wawancara dengan informan. Hal ini dilakukan untuk menghindari subjektifitas dalam penelitian.Selain itu, untuk menjaga objektifitas hasil penelitian.Oleh karena itu instrument dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri.

Untuk memudahkan pemahaman mengenai penelitian Carita Maung Padjajaran di Kecamatan Surade. Berikut ini kerangka berpikir peneliti yang akan digambarkan melalui bagan alur penelitian.


(35)

Fenomena Carita Maung Padjajaran di

Kecamatan Surade

a. Prabu siliwangi sebagai tokoh mitologi b. Munculnya hipotesis bahwa prabu siliwangi

merupakan tokoh sejarah

c. Beberapa tempat di sekitar Surade Sukabumi dianggap petilasan Prabu Siliwangi

d. Cerita Prabu Siliwangi yang berkembang di beberapa daerah memiliki versi yang berbeda

Pemilihan Objek

Studi Pustaka

Rekonstruksi Data (TranskripsiTransliterasi

Analisis Berikut Kerangka Berpikir Penelitian

Pendekatan Folklor

Metode Deskriptif Kualitatif

Wawancara dalam bentuk rekaman dengan beberapa narasumber

Analisis Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan,

Fungsi, dan Makna CMP.

Cerita Maung Padjajaran di Kecamatan Surade:

Analis Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi, dan

Makna. Data Empiris Berupa Hasil

Analisi Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan,


(36)

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan

Cerita Maung Padjajaran (CMP) merupakan cerita rakyat yang hidup di Masyarakat Surade. CMP dikatagorikan sebagai mite dan dongeng. Pengkatagorian tersebut berdasarkan ciri-ciri dalam CMP, baik itu dalam hal alur, tokoh, maupun latarnya serta penerimaan masyarakat terhadap cerita tersebut. berdasarkan hasil analisis, diperoleh kesimpulan.

Pertama, struktur cerita dalam CMP cukup kompleks terutama dalam hal alur. Alur cerita disajikan dengan menfokuskan pada dua tokoh sekaligus, yakni Prabu Siliwangi dan tokoh tandingannya seperti Jaya Antea (CMP 1), Kian Santang (CMP 2), dan Kean Santang (CMP 3), sehingga keseluruhan CMP mengacu pada tindakan kedua tokoh tersebut. Secara umum, tokoh dalam CMP dikatagorikan sebagai tokoh protagonis. Artinya, setiap tokoh mampu menarik simpati pendengar dan dianggap sebagi tokoh pahlawan. Selain itu, terdapat latar tempat yang mengacu pada nama-nama tempat di sekitar Surade semakin menambah kongkrit cerita. Meski penyebutan tempat tersebut dipaparkan dengan singkat, tetapi memiliki pemaknaan lebih di masyarakat sepertihalnya Ranca Maung, Mekah, Batu Kuter, dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut pada akhirnya mendapatkan nilai kesakralan yang berbeda yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh cerita.

Kedua, ciri-ciri yang dimiliki dalam proses penciptaan CMP menujukkan kesamaan dengan proses penciptaan dalam masyarakat tradisional melayu, yakni skematik. Artinya, ada bagian-bagian tertentu yang harus tetap dan ada bagian tertentu yang boleh berbeda, tetapi bagian-bagian tersebut membentuk suatu pola, yakni adanya bagian awal, tengah, dan akhir. Skema tersebut merupakan hasil akumulasi ingatan penutur. Proses penciptaan berkaitan pula dengan proses pewarisan CMP. CMP diwariskan dengan cara vertikal dan horisontal, seperti yang dilakukan oleh para penutur CMP 1, 2, dan 3 terhadap putra-putrinya. Adapun pewarisan horizontal dilakukan dengan mewariskan cerita terhadap


(37)

seseorang dari generasi yang sama, seperti yang dilakukan Ki Kamal terhadap Bapak E. Suparman dalam CMP 1.

Ketiga, konteks penuturan CMP secara keseluruhan mengalami perubahan dari yang awalnya harus dilakukan dengan aturan-aturan tertentu menjadi lebih bebas, seperti halnya dalam waktu, tujuan, peralatan, tempat, penutur, teknik penuturannya, dan lain-lain. Akan tetapi, khusus untuk CMP 1 waktu penuturannya hanya bisa dilakukan pada malam hari. Selain itu, konteks penuturan pun menganalisis situasi dan kondisi mayarakat Surade sebagai masyarakat pemilik CMP melalui analisis unsur kebudayaan yang dikemukakan Koentjaraningrat. Berdasarkan hasil analisis, masyarakat Surade masih termasuk dalam masyarakat tradisional, yaitu jika ditinjau dari ciri-ciri masyarakatnya baik dari peralatan, sistem religi, mata pencaharian, sistem pengetahun, kesenian, dan lain-lain. Misal, dalam sistem religi masyarakat Surade secara tidak langsung dalam aktifitas religinya menggabungkan antara Hindu dan Islam.

Keempat, fungsi CMP secara keseluruhan termasuk dalam empat katagori yang dikemukakan Bascom, yaitu sistem proyeksi, pengesah kebudayaan, alat pendidikan, dan pengawas norma di masyarakat. Akan tetapi, diantara keempatya, CMP lebih didominasi pada fungsi alat pendidikan dan pengawas berlakunya norma-norma sosial. CMP sebagai alat pendidikan menekankan pada pendidikan moral, terutama mengenai tindakan terpuji dan tercela ditunjukan oleh para tokoh yang secara implisit dijadikan sebagai cerminan mengenai hasil yang akan didapat dari setiap perbuatan. Adapun CMP sebagai alat pengawas norma-norma sosial berkenaan dengan pelestarian alam yang terjadi pada salah satu tempat yang dimunculkan dari CMP, yakni munculnya berbagai mitos mengenai Ranca Maung yang mengakibatkan tempat tersebut dihormati sekaligus ditakuti sehingga kelestarian tempat tersebut tetap terjaga hingga kini.

Kelima, makna yang ditemukan dalam CMP berkaitan dengan pelajaran mengenai kehidupan yang harus dijalani setiap manusia terutama tentang hubungan yang harus terjalin antar manusia baik itu untuk dirinya maupun dengan orang lain, seperti antar ayah dan anak, raja dan rakyat, pemimpin dan bawahan, dan sebagainya. Berdasarkan pelajaran-pelajara tersebut manusia diajarkan


(38)

tentang kearifan hidup. Selain itu, CMP dimakna pula sebagai angan-angan masyarakat akan hadirnya sosok manusia sempurna ataupun pemimpin ideal melalui penggambaran tokoh Prabu Siliwangi dalam cerita. Pemaknaan tersebut tampak dari sikap masyarakat Surade terhadap keyakinan akan keberadaan sosok Prabu Siliwangi.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, penelitian ini mengajukan beberapan saran. Saran-saran tersebut diantaranya sebagai berikut.

Pertama, saat ini informasi mengenai cerita Prabu Siliwangi lebih didominasi oleh versi cerita-cerita di beberapa daerah saja padahal hampir setiap daerah, khusunya di tatar Sunda memiliki versi yang berbeda-beda tentang cerita Prabu Siliwangi. Oleh karena itu, penelitian CMP dapat dijadikan sebagai dorongan terhadap munculnya penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi, khususnya di daerah-daerah yang belum terekspose sebelumnya, sehingga informasi mengenai cerita yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi dapat lebih kaya dan beragam sesuai dengan daerah masing-masing.

Kedua, hasil penelitian CMP dapat dijadikan sebagai dokumentasi sekaligus inventarisasi cerita Prabu Siliwangi, khususnya mengenai keterkaitan sosok harimau dengan Prabu Siliwangi. Dengan demikian, penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya pelestarian cerita sebelum benar-benar hilang atau punah untuk kemudian dapat diteruskan atau dipelajari oleh generasi-generasi.

Ketiga, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi terhadap penelitian mengenai cerita yang berkembang di masyarakat yang harus dikaji dari berbagai sisi. Artinya, tidak saja berdasarkan teks cerita, tetapi juga unsur-unsur di luas teks seperti masyarakat pemilik yang secara implisit akan mempengaruhi wujud cerita, sehingga penelitian dapat dilakukan secara menyeluruh, yakni dengan mempertimbangkan segala aspek yang mempengaruhi cerita, baik itu secara langsung, maupun tidak langsung.


(39)

Daftar Pustaka

Ampera, T. (2012). “Sri Baduga dalam Sastra Lisan: Antara Mitos Leuweung Sancang denga Mitos Gunung Salak”. Makalah disampaikan dalam seminar “Sri Baduga dalam Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan, Bandung

Boeree. G. (2010). Psikologi Sosial. Yogyakarta: Prismashopie.

Danandjaja, J. (1986). Foklor Indonesia: Ilmi Gosip, Dongeng, dll. Jakarta: Grafitipers

Darsa, U.A. (2012). “Sri Baduga dalam Lintas Tradisi Kepustakaan Mandala (Sebuah Tinjauan Filologis)”. Makalah disampaikan dalam seminar “Sri Baduga dalam Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan, Bandung

Dewi, L. (2006). Legenda Jaka Poleng di Kabupaten Brebes Jawa tengah (Analisis Struktur, Konteks Penceritaan, dan Fungsi Penuturan). Skripsi Sarjana pada FPBS UPI Bandung : tidak diterbitkan

Durachman. M. (1996). Khotbah di atas Bukit, Novel Gagasan Karya Kuntowijoyo. Tesis Magister di Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia Jakarta: tidak diterbitkan.

Ekadjati, E. S. (2009). Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran (Jilid 2). Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Hariadi, dkk. 2012. “Analisis Mitos Melalui Paradigma Struktural ‘Moksanya Prabu Siliwangi’”. Makalah pada perkuliahan Fakultas Bahasa dan Seni UNESA, Surabaya.

Hutomo, S. S. 1991. Mutiara Yang Terlupakan. Surabaya: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, HISKI-Komisariat Jawa Timur

Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan.

Lubis, Z. P. 2011. Cerita Rakyat Simalungun (Sumatera Utara). Jakarta: PT Grasindo

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara

Maryanti, S. 2011. Carita Maung Panjalu: Struktur, Konteks penuturan, Proses penciptaan, dan Fungsi. Skripsi Sarjana pada FPBS UPI Bandung : tidak diterbitkan

Muhsin, M. 2012. “Sri Baduga (1482-1521): Tokoh Sejarah yang Memitos dan Melegenda”. Makalah disampaikan dalam seminar Sri Baduga dalam Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan, Bandung.

Muhsin, M. 2011. “Eksistensi Kerajaan Padjajaran dan Prabu Siliwangi”. Makalah disampaikan dalam Seminar Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung.

Nurgiantoro. B. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pundentia. 1998. Metode Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.


(40)

Rusyana, dkk. 2000. Prosa Tradisional: Pengertian, Klasifikasi, dan Teks. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Naional.

Satjadibrata, R. Dongeng-Dongeng Sasakala (Djilid Ka II). 1946. Jakarta: Bale Poestaka

Sutari, dkk. 2006. Cerita Si Kabaya: Transformasi, Proses Penciptaan, Makna, dan Fungsi. Hibah Kompetitif, Bandung: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPI

Sukmawarni. R. 2012. Memodernkan Petani Kecamatan Surade. Makalah pada Fakultas Pertanian, Bogor

Suwondo, T. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya.

Taum, Y. Y. 2011. Studi Sastra Lisan (sejarah, teori, metode dan pendekatan disertai contoh penerapannya). Yogyakarta: Lamalera


(1)

Fenomena Carita Maung

Padjajaran di

Kecamatan Surade

a. Prabu siliwangi sebagai tokoh mitologi b. Munculnya hipotesis bahwa prabu siliwangi

merupakan tokoh sejarah

c. Beberapa tempat di sekitar Surade Sukabumi dianggap petilasan Prabu Siliwangi

d. Cerita Prabu Siliwangi yang berkembang di beberapa daerah memiliki versi yang berbeda

Pemilihan Objek

Studi Pustaka

Rekonstruksi Data (TranskripsiTransliterasi

Analisis Berikut Kerangka Berpikir Penelitian

Pendekatan Folklor

Metode Deskriptif Kualitatif

Wawancara dalam bentuk rekaman dengan beberapa narasumber

Analisis Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan,

Fungsi, dan Makna CMP.

Cerita Maung Padjajaran di Kecamatan Surade:

Analis Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi, dan

Makna. Data Empiris Berupa Hasil

Analisi Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan,


(2)

BAB V PENUTUP

5.1. Simpulan

Cerita Maung Padjajaran (CMP) merupakan cerita rakyat yang hidup di

Masyarakat Surade. CMP dikatagorikan sebagai mite dan dongeng. Pengkatagorian tersebut berdasarkan ciri-ciri dalam CMP, baik itu dalam hal alur, tokoh, maupun latarnya serta penerimaan masyarakat terhadap cerita tersebut. berdasarkan hasil analisis, diperoleh kesimpulan.

Pertama, struktur cerita dalam CMP cukup kompleks terutama dalam hal

alur. Alur cerita disajikan dengan menfokuskan pada dua tokoh sekaligus, yakni Prabu Siliwangi dan tokoh tandingannya seperti Jaya Antea (CMP 1), Kian Santang (CMP 2), dan Kean Santang (CMP 3), sehingga keseluruhan CMP mengacu pada tindakan kedua tokoh tersebut. Secara umum, tokoh dalam CMP dikatagorikan sebagai tokoh protagonis. Artinya, setiap tokoh mampu menarik simpati pendengar dan dianggap sebagi tokoh pahlawan. Selain itu, terdapat latar tempat yang mengacu pada nama-nama tempat di sekitar Surade semakin menambah kongkrit cerita. Meski penyebutan tempat tersebut dipaparkan dengan singkat, tetapi memiliki pemaknaan lebih di masyarakat sepertihalnya Ranca Maung, Mekah, Batu Kuter, dan lain-lain. Tempat-tempat tersebut pada akhirnya mendapatkan nilai kesakralan yang berbeda yang secara tidak langsung dipengaruhi oleh cerita.

Kedua, ciri-ciri yang dimiliki dalam proses penciptaan CMP menujukkan

kesamaan dengan proses penciptaan dalam masyarakat tradisional melayu, yakni skematik. Artinya, ada bagian-bagian tertentu yang harus tetap dan ada bagian tertentu yang boleh berbeda, tetapi bagian-bagian tersebut membentuk suatu pola, yakni adanya bagian awal, tengah, dan akhir. Skema tersebut merupakan hasil akumulasi ingatan penutur. Proses penciptaan berkaitan pula dengan proses pewarisan CMP. CMP diwariskan dengan cara vertikal dan horisontal, seperti yang dilakukan oleh para penutur CMP 1, 2, dan 3 terhadap putra-putrinya. Adapun pewarisan horizontal dilakukan dengan mewariskan cerita terhadap


(3)

seseorang dari generasi yang sama, seperti yang dilakukan Ki Kamal terhadap Bapak E. Suparman dalam CMP 1.

Ketiga, konteks penuturan CMP secara keseluruhan mengalami perubahan

dari yang awalnya harus dilakukan dengan aturan-aturan tertentu menjadi lebih bebas, seperti halnya dalam waktu, tujuan, peralatan, tempat, penutur, teknik penuturannya, dan lain-lain. Akan tetapi, khusus untuk CMP 1 waktu penuturannya hanya bisa dilakukan pada malam hari. Selain itu, konteks penuturan pun menganalisis situasi dan kondisi mayarakat Surade sebagai masyarakat pemilik CMP melalui analisis unsur kebudayaan yang dikemukakan Koentjaraningrat. Berdasarkan hasil analisis, masyarakat Surade masih termasuk dalam masyarakat tradisional, yaitu jika ditinjau dari ciri-ciri masyarakatnya baik dari peralatan, sistem religi, mata pencaharian, sistem pengetahun, kesenian, dan lain-lain. Misal, dalam sistem religi masyarakat Surade secara tidak langsung dalam aktifitas religinya menggabungkan antara Hindu dan Islam.

Keempat, fungsi CMP secara keseluruhan termasuk dalam empat katagori

yang dikemukakan Bascom, yaitu sistem proyeksi, pengesah kebudayaan, alat pendidikan, dan pengawas norma di masyarakat. Akan tetapi, diantara keempatya, CMP lebih didominasi pada fungsi alat pendidikan dan pengawas berlakunya norma-norma sosial. CMP sebagai alat pendidikan menekankan pada pendidikan moral, terutama mengenai tindakan terpuji dan tercela ditunjukan oleh para tokoh yang secara implisit dijadikan sebagai cerminan mengenai hasil yang akan didapat dari setiap perbuatan. Adapun CMP sebagai alat pengawas norma-norma sosial berkenaan dengan pelestarian alam yang terjadi pada salah satu tempat yang dimunculkan dari CMP, yakni munculnya berbagai mitos mengenai Ranca Maung yang mengakibatkan tempat tersebut dihormati sekaligus ditakuti sehingga kelestarian tempat tersebut tetap terjaga hingga kini.

Kelima, makna yang ditemukan dalam CMP berkaitan dengan pelajaran

mengenai kehidupan yang harus dijalani setiap manusia terutama tentang hubungan yang harus terjalin antar manusia baik itu untuk dirinya maupun dengan orang lain, seperti antar ayah dan anak, raja dan rakyat, pemimpin dan bawahan, dan sebagainya. Berdasarkan pelajaran-pelajara tersebut manusia diajarkan


(4)

tentang kearifan hidup. Selain itu, CMP dimakna pula sebagai angan-angan masyarakat akan hadirnya sosok manusia sempurna ataupun pemimpin ideal melalui penggambaran tokoh Prabu Siliwangi dalam cerita. Pemaknaan tersebut tampak dari sikap masyarakat Surade terhadap keyakinan akan keberadaan sosok Prabu Siliwangi.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, penelitian ini mengajukan beberapan saran. Saran-saran tersebut diantaranya sebagai berikut.

Pertama, saat ini informasi mengenai cerita Prabu Siliwangi lebih

didominasi oleh versi cerita-cerita di beberapa daerah saja padahal hampir setiap daerah, khusunya di tatar Sunda memiliki versi yang berbeda-beda tentang cerita Prabu Siliwangi. Oleh karena itu, penelitian CMP dapat dijadikan sebagai dorongan terhadap munculnya penelitian-penelitian lain yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi, khususnya di daerah-daerah yang belum terekspose sebelumnya, sehingga informasi mengenai cerita yang berkaitan dengan Prabu Siliwangi dapat lebih kaya dan beragam sesuai dengan daerah masing-masing.

Kedua, hasil penelitian CMP dapat dijadikan sebagai dokumentasi

sekaligus inventarisasi cerita Prabu Siliwangi, khususnya mengenai keterkaitan sosok harimau dengan Prabu Siliwangi. Dengan demikian, penelitian ini dapat dijadikan sebagai upaya pelestarian cerita sebelum benar-benar hilang atau punah untuk kemudian dapat diteruskan atau dipelajari oleh generasi-generasi.

Ketiga, penelitian ini dapat dijadikan sebagai referensi terhadap penelitian

mengenai cerita yang berkembang di masyarakat yang harus dikaji dari berbagai sisi. Artinya, tidak saja berdasarkan teks cerita, tetapi juga unsur-unsur di luas teks seperti masyarakat pemilik yang secara implisit akan mempengaruhi wujud cerita, sehingga penelitian dapat dilakukan secara menyeluruh, yakni dengan mempertimbangkan segala aspek yang mempengaruhi cerita, baik itu secara langsung, maupun tidak langsung.


(5)

Daftar Pustaka

Ampera, T. (2012). “Sri Baduga dalam Sastra Lisan: Antara Mitos Leuweung Sancang denga Mitos Gunung Salak”. Makalah disampaikan dalam seminar “Sri Baduga dalam Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan, Bandung

Boeree. G. (2010). Psikologi Sosial. Yogyakarta: Prismashopie.

Danandjaja, J. (1986). Foklor Indonesia: Ilmi Gosip, Dongeng, dll. Jakarta: Grafitipers

Darsa, U.A. (2012). “Sri Baduga dalam Lintas Tradisi Kepustakaan Mandala (Sebuah Tinjauan Filologis)”. Makalah disampaikan dalam seminar “Sri Baduga dalam Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan, Bandung

Dewi, L. (2006). Legenda Jaka Poleng di Kabupaten Brebes Jawa tengah

(Analisis Struktur, Konteks Penceritaan, dan Fungsi Penuturan). Skripsi

Sarjana pada FPBS UPI Bandung : tidak diterbitkan

Durachman. M. (1996). Khotbah di atas Bukit, Novel Gagasan Karya

Kuntowijoyo. Tesis Magister di Program Pasca Sarjana Universitas

Indonesia Jakarta: tidak diterbitkan.

Ekadjati, E. S. (2009). Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran (Jilid 2). Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.

Hariadi, dkk. 2012. “Analisis Mitos Melalui Paradigma Struktural ‘Moksanya Prabu Siliwangi’”. Makalah pada perkuliahan Fakultas Bahasa dan Seni UNESA, Surabaya.

Hutomo, S. S. 1991. Mutiara Yang Terlupakan. Surabaya: Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia, HISKI-Komisariat Jawa Timur

Koentjaraningrat. 1981. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.

Koentjaraningrat. 1981. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Penerbit Djambatan.

Lubis, Z. P. 2011. Cerita Rakyat Simalungun (Sumatera Utara). Jakarta: PT Grasindo

Maryaeni. 2005. Metode Penelitian kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara

Maryanti, S. 2011. Carita Maung Panjalu: Struktur, Konteks penuturan, Proses

penciptaan, dan Fungsi. Skripsi Sarjana pada FPBS UPI Bandung : tidak

diterbitkan

Muhsin, M. 2012. “Sri Baduga (1482-1521): Tokoh Sejarah yang Memitos dan

Melegenda”. Makalah disampaikan dalam seminar Sri Baduga dalam

Sejarah, Filologi, dan Sastra Lisan, Bandung.

Muhsin, M. 2011. “Eksistensi Kerajaan Padjajaran dan Prabu Siliwangi”. Makalah disampaikan dalam Seminar Prodi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung.

Nurgiantoro. B. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Pundentia. 1998. Metode Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.


(6)

Rusyana, dkk. 2000. Prosa Tradisional: Pengertian, Klasifikasi, dan Teks. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Naional.

Satjadibrata, R. Dongeng-Dongeng Sasakala (Djilid Ka II). 1946. Jakarta: Bale Poestaka

Sutari, dkk. 2006. Cerita Si Kabaya: Transformasi, Proses Penciptaan, Makna,

dan Fungsi. Hibah Kompetitif, Bandung: Fakultas Pendidikan Bahasa dan

Seni UPI

Sukmawarni. R. 2012. Memodernkan Petani Kecamatan Surade. Makalah pada Fakultas Pertanian, Bogor

Suwondo, T. 2003. Studi Sastra: Beberapa Alternatif. Yogyakarta: PT Hanindita Graha Widya.

Taum, Y. Y. 2011. Studi Sastra Lisan (sejarah, teori, metode dan pendekatan

disertai contoh penerapannya). Yogyakarta: Lamalera


Dokumen yang terkait

STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, SIMBOL, MAKNA, DAN FUNGSI MANTRA PERKAWINAN PADA MASYARAKAT ADAT RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG SERTA UPAYA PELESTARIANNYA.

6 8 38

Kajian Struktur Teks, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, Fungsi, Dan Nilai Dalam Puisi Pupujian Di Kecamatan Cilamaya Wetan Kabupaten Karawang Serta Pelestariannya.

0 3 35

ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA.

12 37 62

PUISI SAWÉR TURUN TANAH DI KECAMATAN RAJADESA KABUPATEN CIAMIS: ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN, FUNGSI, DAN MAKNA.

0 1 28

TRADISI BERTANI JAGUNG MASYARAKAT MUNA: Kajian Struktur Kegiatan, Struktur Teks, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi Mantra serta Model Pembelajarannya di SMA.

7 77 62

TEMBANG CIANJURAN PANGAPUNGAN (WANDA PAPANTUNAN) DALAM TRADISI MAMAOS DI LEMBAGA KEBUDAYAAN CIANJUR (LKC): Analisis Struktur, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan, Fungsi dan Makna.

11 92 46

ANALISIS LEGENDA DEWI BUNGUR SARI, OPAT JAWARA PALEDANG, DAN BUYUT KUNTA MANGLAYANG JEUNG BUYUT KUNTA PALASARA DI MASYARAKAT UJUNGBERUNG BANDUNG : Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan, dan Fungsi.

1 2 34

LAGU DOLANAN DI HEGARMANAH: STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN, DAN FUNGSI.

0 7 31

MANTRA DALAM UPACARA PESONDO: KAJIAN STRUKTUR TEKS, KONTEKS PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN DAN FUNGSI SERTA KEMUNGKINAN PEMANFAATANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR SASTRA LISAN DI SMA.

7 34 59

MANTRA RITUAL BABARIT: NILAI BUDAYA, STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN, DAN FUNGSI SERTA PELESTARIANNYA SEBAGAI BAHAN AJAR APRESIASI SASTRA DI SMA.

5 53 75