ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA.
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS
PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
TESIS
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar magister pendidikan bahasa Indonesia
Oleh Burhan Sidiq NIM 1302229
PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SEKOLAH PASCASARJANA
(2)
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA 2015
LEMBAR HAK CIPTA
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN, FUNGSI, DAN MAKNA MITE PELET MARONGGE SERTA
PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Oleh Burhan Sidiq
Sebuah tesis yang diajukan untuk memenuhi sebagian syarat memperoleh gelar Magister Pendidikan Bahasa Indonesia pada Sekolah Pascasarjana
© Burhan Sidiq 2015 Universitas Pendidikan Indonesia
Agustus 2015
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang
Tesis ini tidak dapat diperbanyak seluruhnya atau sebagian
(3)
(4)
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN, FUNGSI DAN MAKNA TEKS MITOS PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Burhan Sidiq NIM 1302229
ABSTRAK
Sidiq, Burhan. 2015. “Analisis struktur, proses penciptaan, konteks penuturan, fungsi, dan makna teks pelet marongge serta pemanfaatannya dalam pembelajaran sastra di SMA.” Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskrpsikan struktur teks mite pelet marongge dengan teori struktural model todorov, yaitu mengkaji aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik pada teks naratif. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh salah satu sastra lisan yang berkembang di wilayah Kabupaten Sumedang, Jawa Barat tentang mitos pelet marongge yang sangat terkenal. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif-analitis. Data penelitian ini berdasarkan penuturan langsung dari kuncen Makam Kramat Marongge. Mite Pelet Marongge mengisahkan sepak terjang seorang perempuan asal Mataram yang membuat raja-raja Pajajaran jatuh cinta padanya. Hasil analisis data menunjukan bahwa teks mite pelet marongge alur linier dengan latar masyarakat Sumedang pada zaman kerajaan Sumedang Larang. Tokoh Mbah Gabug mewakili semua gagasan dalam mite tersebut, terutama tentang makna kecantikan dan makna kematian. Dalam mite pelet marongge juga terkandung nilai nilai budaya dan nilai moral-moral yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Nilai-nilai tersebut bisa digunakan sebagai sistem proyeksi dan sebagai sarana pendidikan. Mite ini telah menciptakan mitos pelet yang luar biasa, yaitu pelet marongge. Konteks penuturan mitos ini secara spontan dan terstruktur. Untuk memperoleh pelet marongge adalah dengan ziarah kubur di makam kramat marongge setiap malam Jumat Kliwon dengan membaca salawat semalam suntuk. Ziarah kubur ini sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Sumedang. Model pemanfaatannya di bidang pendidikan adalah mengubah mite ini menjadi cerpen yang bisa menjadi bahan ajar kajian cerpen di SMA.
(5)
ABSTRACT
Sidiq, Burhan. 2015. "Analysis of the structure, the process of creation, the narrative context, function, and meaning of the text marongge pellets and their use in learning literature in high school." Thesis. Indonesian Education University. This study aimed to describe the structure of a myth text marongge pellets with Todorov structural theory models, which examines aspects of syntacic, semantics and pragmatics in narrative text. This study is a qualitative study using descriptive-analytic method. The research data was based on the direct narrative by kuncen the shrine Marongge. Mite pellets Marongge tells the story of a woman from Mataram makes kings Padjadjaran in love with her. Results of the data analysis showed that the myth of the pellets text marongge linear storyline with the background of Kingdom Sumedang Larang . Mbah Gabug figures represent all the ideas in these myths, particularly about the meaning of beauty and meaning of death. The myth pellets marongge be contained cultural values and morals values. These values can be used as a projection system and as a means of education. This myth has created a myth that incredible pellets, that pellets marongge. This mythical narrative context is spontaneously and structured. To obtain a pellet marongge is with grave pilgrimage at the shrine marongge every Friday Kliwon night by reading of salawat all nigth. This grave pilgrimage has become a tradition in the community Sumedang. Benefit in education is to transform this myth into a short story that could become teaching materials stories in high school studies.
(6)
DAFTAR ISI
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
UCAPAN TERIMA KASIH ... v
DAFTAR ISI ... vi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1Latar belakang ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 7
1.3Tujuan ... 7
1.4Manfaat Penelitian ... 7
1.5Struktur Organisasi Penelitian ... 8
BAB 2 LANDASAN TEORETIS 2.1 Mitos Pelet Marongge dan Folklor ... 11
2.2 Kerangka Semiotika ... 18
2.3 Aspek Semiotik dalam cerita Rakyat ... 22
2.3.1 Aspek Sintaksis ... 23
2.3.1.1 Alur ... 25
2.3.1.2 Pengaluran ... 27
2.3.2 Aspek Semantik ... 28
2.3.2.1 Tokoh ... 29
2.2.1.2 Latar ... 30
2.3.3 Aspek Pragmatik ... 31
2.3.3.1 Proses Penciptaan ... 35
2.3.3.2 Konteks Penuturan ... 36
2.3.3.3 Ko-Teks ... 38
2.3.3.4 Fungsi ... 38
2.3.4 Perluasan Makna dalam Mitos ... 41
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Pengertian ... 44
3.2 Rancangan Penelitian ... 47
3.3. Sumber Data ... 49
3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 50
3.5 Instrumen Penelitian ... 53
3.6 Analisis Data ... 55
3.7. Waktu Pelaksanaan Penelitian ... 57 BAB 4 TEMUAN DAN PEMBAHASAN
(7)
4.1 Sinopsis Cerita ... 59
4.2 Analisis Aspek Sintaksis Model Todorov ... 59
4.2.1 Analisis Pengaluran ... 59
4.1.2 Analisis Alur ... 68
4.2 Analisis Aspek Semantik ... 77
4.2.1 Analisis Tokoh ... 77
4.2.1.1 Mbah Gabug ... 77
4.2.1.2 Setayu ... 81
4.2.1.3 Naidah dan Naibah ... 83
4.2.1.4 Raja Gubangkala ... 84
4.2.1.5Prabu Bubang Gerung ... 86
4.2.1.6 Mbah Putih Jagariksa ... 87
4.2.1.7 Masyarakat ... 89
4.2.1.9 Para Perampok ... 90
4.2.2. Analisis Latar ... 92
4.2.2.1 Latar Tempat ... 93
4.2.2.2. Latar Waktu ... 100
4.3. Analisis Aspek Pragmatik ... 103
4.3.1 Proses Penciptaan dan Pewarisan ... 105
4.3.2 Konteks Penuturan Mitos Pelet Marongge ... 108
4.3.2.1 Konteks Situasi ... 108
4.2.3.2Konteks Budaya ... 122
4.2.3.3Konteks Sosial ... 131
4.2.3.4Konteks Ideologi ... 132
4.3.3 Ko-Teks ... 133
4.3.4 Fungsi Mitos Pelet Marongge ... 134
4.4. Makna Mite Pelet Marongge... 139
4.4.1 Metafora Motif Alam ... 140
4.4.2 Metafora Motif Manusia ... 144
4.4.2.1 Perempuan Mandiri ... 144
4.4.2.2 Menolak Pernikahan ... 147
4.4.2.3 Kecantikan Perempuan ... 150
4.4.2.4Kekuatan Perempuan ... 152
4.4.2.5Makna Kematian ... 156
4.4.3 Metafora Motif Peristiwa ... 162
4.5 Mitos pelet Marongge sebagai Media Pendidikan Karakter ... 164
4.5.1 Kebijaksanaan ... 165
4.4.2 Keadilan ... 167
4.4.3 Keberanian ... 170
4.4.4 Pengendalian diri ... 172
4.4.5 Cinta ... 174
(8)
4.4.7 Bekerja Keras ... 178
4.4.8 Integritas ... 180
4.4.9 Syukur ... 182
4.4.10 Kerendahan hati ... 184
BAB 5 RANCANGAN BAHAN AJAR DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN DI SMA 5.1 Dasar Pemikiran ... 187
5.2 Bahan Ajar Pembelajaran di SMA ... 188
5.3 Perencanaan Pengajaran ... 189
5.4 Instrumen Modul ... 197
5.4. Rancangan Modul Pembelajaran Sastra ... 202
BAB 6 KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI 6.1 Simpulan ... 202
6.2 Implikasi ... 204
6.3 Rekomendasi ... 204
DAFTAR PUSTAKA ... 206 LAMPIRAN
(9)
BAB I PENDAHULUAN
Bab satu pendahuluan ini memaparkan latar bekalang masalah penelitian, yaitu tentang permitean yang ada di Jawa barat sebagai folklor Indonesia. Kemudian dipaparkan pula rumusan masalah, tujuan dan manfaat menelitian dan dideskripsikan pula organisasi penelitian.
1.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang kaya tradisi lisan. Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan adat dan kebiasaan yang secara turun temurun disampaikan secara lisan dan mencakup hal-hal yang tidak hanya berisi cerita rakyat, mite dan legenda, tetapi mencakup sistem kekerabatan, praktik hukum adat, contoh sejarah, dan lain sebagainya. Menurut Pudentia, Tradisi lisan diartikan sebagai segala wacana yang diucapkan meliputi yang lisan dan yang beraksara atau dikatakan sebagai sistem wacana yang bukan aksara.( Pudentia, 1998 hlm vii)
Salah satu bentuk kekayaan tradisi lisan yang masih melekat pada masyarakat Indonesia adalah sastra lisan. Masyarakat Indonesia masih mempertahankan sastra lisan sebagai sarana untuk menyampaikan gagasan atau nasihat. Sastra lisan terdapat hampir di seluruh wilayah di Indonesia yang disebarkan dari mulut ke mulut dari satu genarasi ke generasi berikutnya secara turun temurun. Namun, seiring perkembangan zaman, sastra lisan ada yang berkembang atau tetap eksis dan ada sebagian yang hilang ditelan zaman.
Sastra lisan termasuk dalam katagori sastra lama. Pada awalnya, kelisanan sastra lama disampaikan dengan menggunakan bahasa daerah tempat sastra itu lahir. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sastra lama pun mendapat pengaruh dari kebudayaan lain, maka lahirlah sastra dalam bentuk tulisan atau naskah. Naskah-naskah tersebut menggunakan bahasa daerah, berisi tentang prosa, puisi, pengobatan dan lain sebagainya.
(10)
Secara historis, sastra lama dimulai sejak manusia mengenal kebudayaan dengan hasil yang konkret seperti pepatah, dongeng, mite, legenda yang disampaikan secara lisan, atau tulisan dengan aksara lama, misalnya sunda kuno. Sastra tidak dapat dipisahkan dari masyarat tempat sastra itu lahir. Sastra lahir dan berkembang dalam masyarakat sehingga sastra tersebut menjadi milik masyarakat. Menurut Semi,
“Antara masyarakat, kebudayaan, dan sastra merupakan satu jalinan yang kuat antara
satu dengan yang lain, yang saling berpengaruh, saling membutuhkan, dan saling
mementukan dalam perkembangannnya” (Semi, 1989 hlm 58).
Dalam masyarakat tradisional setiap anggota masyarakat melakukan kegiatan bersama-sama baik untuk kepentingan individu maupun kepentingan umum. Bagi masyarakat tradisonal, sastra lisan merupakan ekspresi dan perwujudan budaya yang mencerminkan sistem sosial, ide, dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat tradisonal mempunyai daya simak sangat kuat sehingga para penerusnya masih mengetahui bentuk-bentuk sastra lisan baik yang berkaitan dengan kepercayaan maupun pengetahuan. Dengan demikian, sastra lisan merupakan salah satu hasil budaya milik bersama dan bukti kekayaan budaya sekaligus kekayaan intelektual suatu masyarakat.
Menurut Nasiri sastra lisan memiliki beberapa ciri, diantaranya, yaitu bersifat anonim yakni pencipta sastra lama tersebut tidak diketahui, memiliki kegunaan kolektif, terdiri dari banyak versi, menggunakan kata-kata klise atau rumus berpola (seperti penggunaan kata konon), bersifat pralogis (tidak sesuai dengan penalaran atau logika), bersifat tradisional, penyebarannya secara lisan, menjadi milik bersama, dan cenderung lugu, polos, serta spontan. Sementara fungsi sastra lama yaitu sebagai sistem proyeksi, sebagai pengesahan lembaga kebudayaan masyarakat, sebagai alat pendidikan bagi anak, dan sebagai alat kontrol atas norma yang ada dan berkembang di masyarakat. ( Nasiri, 2012 hlm 35).
Salah satu bentuk sastra lisan yang masih berkembang sampai saat ini adalah cerita rakyat. Cerita rakyat adalah sebuah karya naratif yang mengisahkan sebuah peristiwa yang terjadi di sebuah daerah yang berkaitan dengan budaya setempat. Hal
ini diungkapkan Sujiman, “Cerita rakyat adalah kisahan anonym yang beredar secara
(11)
lisan yang diceritakan secara turun temurun, bentuknya berupa mite, legenda, dongeng, ataupun seni tradisi” (Endraswara, 2013 hlm. 47).
Menurut Dananjaya cerita rakyat dibagi menjadi tiga, yaitu mite, legenda, dan dongeng. Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang punya cerita. legenda adalah cerita rakyat yang mempunyai ciri-ciri mirip dengan mite tetapi tidak dianggap suci. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh masyarakat yang punya cerita dan tidak terikat waktu. (Dananjaya, 2007 hlm 50).
Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa ketiga jenis cerita rakyat tersebut dibedakan atas anggapan masyarakat pemangkunya. Mite dianggap sebagai kepercayaan suatu masyarakat, legenda dianggap sebagai sesuatu yang fiktif tentang masa lalu biasanya berkaitan dengan asal usul suatu tempat, sementara dongeng adalah cerita fiktif yang tidak terikat waktu.
Cerita rakyat adalah salah satu bentuk prosa klasik yang dikenal luas oleh
masyarakat Indonesia. Hal ini dikemukakan Yuwono, “Prosa tertua di Indonesia di
temukan dalam bentuk cerita rakyat. Cerita rakyat dalam bahasa umum disebut dongeng, adalah salah satu bentuk kesastraan rakyat yang disampaikan dari mulut ke
mulut.” (Nasiri, 2012 hlm 2). Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, dongeng atau
cerita rakyat disampaikan dari generasi ke generasi secara lisan hingga sangat sulit ditemukan siapa yang pertama menceritakannya perama kali. Cerita sudah ada di masyarakat dan menjadi milik masyarakat tesebut.
Menurut Rusyana, cerita rakyat merupakan warisan budaya nasional yang mempunyai nilai-nilai yang harus dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kepentingan kehidupan masa kini dan yang akan datang, antara lain hubungannya dengan pembinaan apresiasi sastra. Cerita rakyat juga telah menjadi wahana pemahaman gagasan dan pewarisan tata nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Bahkan sastra lisan telah berabad-abad berperan sebagai dasar komunikasi antara pencipta dan masyarakat. Sastra lisan akan lebih mudah dipahami karena adanya unsur yang dikenal dalam masyarakat. (Rusyana, 1987 hlm. 9)
Peryataan di atas mengandung perngertian: Cerita rakyat merupakan bagian dari tradisi bangsa dan merupakan warisan budaya dan kekayaan kesusastraan bangsa
(12)
dalam masyarakat daerah yang harus dikembangkan dan diapresiasi dalam kehidupan masa kini dan kehidupan yang akan datang. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat mengajari masyarakat untuk taat pada norma dan adat setempat. Nilai kepatuhan yang biasanya diterapkan pada cerita rakyat agar para generasi berikutnya bisa menghadapi kehidupan yang lebih baik. Dengan demikian, cerita rakyat berfungsi sebagai sarana untuk menyampaikan nilai-nilai moral yang berhubungan dengan perilaku dan budaya masyarakat setempat, sebagai sistem proyeksi, dan media pendidikan.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, cerita rakyat dapat dibagi menjadi tiga katagori, yaitu Legenda, dongeng, dan mite. Legenda adalah cerita yang berkisah tentang asal usul sesuatu biasanya berkaitan dengan nama tempat. Dongeng adalah cerita yang berkembang dalam masyarakat mengenai cerita cerita yang penuh fantasi dan keajaiban biasanya dijadikan media hiburan atau nasihat. Mite adalah cerita yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat tradisional, mengenai tokoh masa lalu yang diyakini akan kekuatan gaibnya.
Keberadaan mite, legenda, dan dongeng yang berkembang di nusantara banyak sekali . Setiap cerita di satu daerah akan memiliki kemiripan cerita atau bentuk varian cerita di daerah lain. Seperti halnya cerita bawang merah dan bawang putih, ada banyak ragamnya. Dalam distertasi Murti Bunanta, beliau membahas 22 varian dongeng bawang merah bawang putih yang ada di nusantara. Tentunya, di dalam setiap cerita yang berkembang ada pesan budaya dan pesan moral yang tersirat yang disesuaikan dengan kepentingan masyarakat pemangkunya.
Mite pun mempunyai banyak varian dan kepentingan. Beberapa mite dimunculkan sebagai legitimasi kekuasaan agar masyarakat patuh dan tunduk terhadap penguasanya atau pemerintahan. Seperti halnya, mite Nyi Roro Kidul yang dihadirkan sebagai kekuasaan Mataram. Sosok Nyi Roro kidul ini muncul sebagai kekuatan politik Mataram. Ekspresi politik para penguasa diwujudkan dalam petualangan spiritual yang berhubungan dengan kosmogonik. Mite politik merupakan
(13)
media ekspresi penciptanya agar mendapat perhatian dari banyak pihak. Pada masa Mataram Islam, Panembahan Senopati telah memunculkan folklor yang sangat fenomenal, yaitu Kanjeng Ratu Kidul.
Mite Nyi Roro Kidul tersebut berkembang sebagai bentuk legitimasi kekuatan Mataram. Nyi Roro Kidul hadir sebagai isteri dari raja-raja Mataram dari bangsa jin. Hal ini dilakukan agar kekuasaan Mataram selalu dihormati meskipun rajanya telah mati. Karena masih ada kekuatan spiritual melalui sosok Nyi Roro Kidul sebagai ratu Pantai Selatan Jawa yang tetap berkuasa.
Mite Nyi Roro Kidul hadir dalam berbagai varian, misalnya suku Jawa dan suku Sunda mempunyai cerita yang berbeda tentang Nyi Roro Kidul, meskipun tujuanya sama yaitu sebagai legitimasi kekuasaan raja. Jika dalam mite masyarakat Jawa, Nyai Roro Kidul hadir sebagai isteri raja Mataram, lain halnya dengan masyarakat Sunda yang menganggap Nyi Roro Kidul sebagai puteri dari Prabu Siliwangi, yaitu Larasantang. Apa pun itu, Nyi Roro Kidul hadir sebagai perempuan yang berkuasa dalam sebuah kerajaaan. Hal ini dimunculkn untuk menakut-nakuti masyarakat agar selalu hormat pada penguasa melalui jalan spiritual.
Legitimasi kekuasan perempuan di Pulau Jawa tidak hanya diceritakan dalam mite Nyai Roro Kidul, tetapi juga dalam Cerita Pantun Lutung Kasarung. Dalam cerita pantun tersebut dikisahkan tentang dua orang perempuan yang berebut kekuasaan, yaitu Purbalarang dan Purbasari. Mereka adalah kakak beradik, yang tinggal mati oleh orang tuanya. Yang menjadi permasalahannya, pada siapa tahta kerajaan akan diberikan. Dalam cerita tersebut perempuan direpresentasikan sebagai penguasa. Hal ini menunjukan bahwa cerita rakyat Sunda, begitu mengagungkan perempuan. Terbukti dalam cerita tersebut, perempuan diposisikan sebagai pemimpin.
Mite lain yang mengisahkan keperempuanan dalam tradisi Sunda adalah Dewi Pohaci, seorang perempuan yang dipercayai sebagai awal mula padi. Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa Pohaci perempuan yang mengorbankan diri untuk
(14)
kepentingan masyarakat banyak. Dewi Pohaci yang lahir dari telur naga, Dewa Antagoba, menolak untuk dipinang batara Indera, dia tidak mau kembali kekahyangan tempat dia berasal. Dia memilih hidup di bumi bersama rakyat jelata. Namun, Batara Indera memaksanya. Pohaci tetap tidak mau. Dia memlih mati dengan caranya sendiri. Pada akhirnya, dari kuburan Dewi Pohaci tumbuh tanaman padi, aren, bambu dan kelapa yang berguna bagi masyarakat.
Kisah tentang kepahlawanan perempuan banyak sekali ragamnya dalam budaya Sunda. Salah satunya, adalah kisah Mbah Gabug, pemilik pelet marongge yang begitu termasyur yang akan dibahas dalam penelitian ini.
Di daerah Sumedang berkembang mite pelet marongge, yaitu kisah seorang perempuan yang menaklukan raja-raja Pajajaran dengan kecantikannya. Mite ini telah melegenda sejak zaman Sumedang Larang. Masyarakat Sumedang percaya bahwa pada zaman itu pernah hidup seorang perempuan dengan ilmu kanuragan yang luar biasa.
Sebagai cerita rakyat, mite pelet marongge berfungsi untuk menyampaikan nilai nilai moral, budaya, adat istiadat, norma, etika, dan lain sebagainya. Mite pelet marongge mampu memberikan gambaran masa lalu, saat Kerajaan Sumedang Larang dikuasai Kerajaan Mataram karena tokoh dalam legenda pelet marongge adalah perempuan asal Mataram. Mite pelet Marongge pun mengandung makna budaya, yang didalamnya dikisahkan bagaimana sepak terjang seorang perempuan dalam mempertahan eksistensinya di dunia yang dikuasai laki-laki. Mite pelet Marongge bisa dipertimbangkan sebagai bahan ajar apresiasi prosa fiksi di tingkat perguruan tinggi atau di tingkat SMA. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan Rusyana,
“Dalam sastra daerah terkandung muatan nilai-nilai moral. Dari cerita rakyat, berupa mite, legenda, dan dongeng, kita dapat mengapresiasi nilai-nilai moral yang terpadu secara halus di dalamnya” (Rusyana, 1987 hlm. 6).
Mite pelet marongge adalah cerita milik masyarakat Sumedang, yang berkaitan dengan sebuah makam yang dikeramatkan di desa Marongge, Kecamatan
(15)
Tomo, Kabupaten Sumedang. Makam ini adalah makam dari empat perempuan cantik asal Mataram yang pernah menggemparkan raja-raja Pajajaran. Oleh sebab itu, banyak masyarakat yang memercayai barang siapa yang berziarah ke Makam Kramat Marongge maka akan terkena safaat dari keilmuan para perempuan yang dimakamkan di makam tersebut.
Melihat fenomena tersebut, peneliti tertarik untuk menelaah kisah di balik makam kramat tersebut. Selain itu, peneliti juga berpendapat bahwa cerita rakyat harus dilestarikan dan dikembangkan bukan hanya sebagai kepercayaan, melainkan juga sebagai media pendidikan dengan meneladani tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.
Salah satu upaya pelestarian cerita rakyat yang harus dilakukan adalah penelitian, penerjemahan, dan penerbitan cerita rakyat. Dengan upaya-upaya tersebut diharapkan dapat menyajikan kepada masyarakat umum bahwa mite pelet marongge merupakan cerita rakyat yang mengandung nilai-nilai budaya dan moral. Selain itu, penelitian ini, sebagai upaya memperkenalkan mite pelet marongge adalah bagian dari folklor nusantara yang harus dikembangkan sebagai media pendidikan.
Mengingat mite pelet Marongge cukup penting sebagai bahan penelitian, peneliti termotivasi untuk mengkaji mite tersebut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, penelitian ini peneliti beri judul, “Analisis Struktur, Proses Penciptaan, Konteks Penuturan, Fungsi dan Makna Teks Mite Pelet
Marongge serta Pemanfaatannya dalam Pembelajaran di SMA”
1.2. Rumusan masalah
Berdasarkan paparan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang harus dikaji dalam mite pelet marongge.
1. Bagaimana struktur mite pelet marongge?
(16)
3. Bagaimana proses penciptaan mite pelet marongge? 4. Bagaimana fungsi mite pelet marongge?
5. Bagaimana makna mite pelet marongge
6. Bagaimana mite pelet Marongge sebagai media pembelajaran di kelas X SMA?
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan
1. Struktur mite pelet marongge
2. Proses penciptaan mite pelet marongge
3. Konteks dan ko-teks penuturan mite pelet marongge 4. Fungsi mite pelet marongge
5. Makna mite pelet marongge
6. Menyajikan modul mite pelet Marongge sebagai media pembelajaran di kelas X SMA
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang bersifat teroritis maupun praktis. Secara teoritis penelitian dapat memberikan sumbangan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang folklor, kuhususnya kesusastraan nusantara. Sementara manfaat praktis dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi guru guru bahasa Indonesia, mahasiswa ilmu sastra dan ilmu budaya, bagi sekolah dan perguruan tinggi, juga masyarakat luas.
1) Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu folklor, khususnya kesusastraan nusantara. Penelitian folklor dapat digunakan sebagai sumber pengetahuan dan informasi mengenai berbagai aspek kebudayaan dan
(17)
kehidupan masyarakat di suatu tempat. Bagi penelit lain, tesis ini dapat digunakan sebagai referensi dalam melakukan dengan kajian yang sama.
2) Manfaat praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah untuk membantu para guru bahasa Indonesia dalam mengajarkan apresiasi prosa fiksi di sekolah-sekolah. Penelitian bisa digunakan sebagai bahan inspirasi dalam mengajarkan sastra daerah. Bagi para mahasiswa ataupun dosen, penelitian bisa dijadikan model penelitian kajian folklor, khususnya tentang kesusastraan nusantara. Bagi masyarakat luas, penelitian bisa digunakan sebagai bahan untuk menumbuhkembangkan pemahaman tentang cerita rakyat, khususnya mite, yang selama ini, dianggap pander oleh masnyarakat awam. Padahal, dalam sebuah mite terkandung nilai-nilai budaya dan moral yang sangat berharga.
Nilai-nilai yang terkandung dalam mite merupkan cerminan dari masyarakat pemangkunya. Mite pelet Marongge merupakan implementasi dari paradigma masyarakat, pandangan hidup, ekspresi, obsesi, dan ambisi masyarakat sumedang. Dengan demikian, masyarakat akan mempunyai tanggung jawab untuk memelihara dan melestarikan mite pelet Marongge sebagai kekayaan budaya daerah dan khasanah kesusastraan nusantara.
1.4. Struktur organisasi penelitian Bab 1 Pendahuluan
Bab satu adalah bagian pendahuan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat menelitian dan strukur organisasi penelitian. Latar belakang masalah mendeskripsikan masalah masalah umum peneletian kemudian mengerucut pada masalah khusus penelitian yaitu mite pelet Marongge. Rumusan masalah terdiri atas pertanyaan pertanyaan penelitian yang akan dibahas pada penelitian. Tujuan penelitian adalah untuk menjawab pertanyaan yang
(18)
muncul dalam rumusan masalah penelitian. Manfaat penelitian terdiri atas manfaat teoritis dan manfaat praktis penelitian.
Latar belakang masalah
Bab 2 Landasan Teoretis
Bab dua terdiri atas uraian teori yang digunakan dalam penelitian. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori folklor dan teori semiotika. Terori fokllor memaparkan mite pelet marongge sebagai folklor. Teori semiotika menjabarkan teori semiotic yang diterapkan pada kajian prosa fiksi. Teori yang digunakan adalah teori dari todorov yang mengkaji sintaksis, semantik, dan pragmatik dalam karya sastra. Sintaksis akan membahas mengenai alur dan pengaluran. Semantik akan membahas tokoh dan latar. Pragmatik akan membahas sistem komunikasi antara pengirim dan penerima. Kajian ini akan dikhususkan pada proses penciptaan, konteks penuturan, dan fungsi mite.
Bab 3 Metode penelitian
Bab tiga membahas medode penelitian kajian tradisi lisan. Medote yang digunakan adalah meode kualitatif. Dalam penelitian ini, pendeskripsian data-data dilakukan dengan cara mengetengahkan fakta-fakta yang berhubungan dengan struktur teks mite pelet Marongge dan relasi fungsi terhadap masyarakat pemangkunya. Kemudian membuat rancangan penelitian, dengan melakukuan studi lapangan, mengklasifikasi data, menyajikannya dan menganalisisnya. Setelah itu, data diinterpretasi dengan kajian semiotika. Lalu peneliti membuat modul pembelajaran. Terakhir, peneliti membuat kesimpulan dan rekomendasi.
Sumber data yang digunakan adalah cerita lisan yang berkembang di wilayah Sumedamg tentang mite pelet Marongge. Peneliti menggunakan sumber data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data kualitatif meliputi observasi, wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi. peneliti menggunakan alat pengumpul data, yaitu
(19)
angket, daftar pertanyaan,alat perekam, dan kamera. Penelitian ini dilangsungkan pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015. Penelitian dimulai di daerah Sumedang
Bab 4 Analisis Struktur
Bab empat penelitian ini membahas hasil analisis struktur mite pelet marongge. Analisis mite terfokus pada kajian sentaksis, semantik dan pragmatik karya sastra. Analisis sintaksis difokuskan pada analisis alur dan pengaluran. Analisis semantik difokuskan pada analisis tokoh dan latar. Analisis pragmatik difokuskan pada proses penciptaan, konteks penuturan, dan fungsi mite.
Bab 5 Rancangan Bahan Ajar dan Kegiatan Pembelajaran di SMA
Rencana dan Pelaksanaan Pembelajaran dan rancangan modul mite pelet marongge sebagai bahan ajar di SMA
Bab 6 Simpulan, Implikasi, dan rekomendasi
Simpulan pelet marongge berdasarkan analisis struktur, proses penciptaan dan pewarisan, konteks dan ko-teks penuturan, fungsi dan makna mite pelet Marongge juga konteks pendidikan karakter dalam mite pelet Marongge.
Daftar Pustaka Lampiran
(20)
BAB 3
METODE PENELITIAN
Bab tiga pada penelitian ini membahas metode yang digunakan, yaitu deskriptif kualitatif. Bab tiga ini membahas, rancangan penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, instrumen pengumpulan data dan analisis data.
3.1. Pengertian
Penelitian adalah suatu kegiatan sistematis untuk memecahkan masalah dengan dukungan data sebagai landasan dalam mengambil kesimpulan. Penelitian tidak pernah lepas dari sebuah metode karena metode adalah suatu cara dalam penelitian untuk memperoleh gambaran jelas mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menyelesaikan masalah.Metode merupakan suatu cara untuk memahami objek penelitian.
Seorang peneliti dapat memilih dari berbagai macam kerangka teori untuk menerapkan metode dalam penelitiannya. Hal yang pertama dilakukan oleh seorang peneliti adalah merumuskan metode yang sesuai dengan objek penelitian, tujuan penelitian, ilmu yang akan digunakan, juga teori yang mendukungnya.
Hal yang menarik dalam menggunakan metode untuk penelitian sastra adalah adanya distansi, kerja yang objektif, dan terhindarnya unsur prasangka. Gejala dengan situasi kesastraan inilah yang sering memaksa peneliti untuk memahami berdasarkan pengertian sendiri. di sinilah keahlian peneliti sastra, bagaimana menyusun sebuah argumen agar bisa diterima orang banyak dan dianggap sebagai kebenaran objektif sekaligus ilmiah.
Metode penelitian penelitian dibagi menjadi dua jenis, yaitu metode penelitian kuantitatif yang melakukan proses verifikasi mengenai pengukuran dan analitis yang dikuantitatifkan dengan menggunakan data statistik dan model matematika. Kedua, penetian kualitatif dilakukan dengan tidak menggunakan angka-angka tetapi
(21)
menggunakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antarkonsep yang sedang dikaji secara empiris.(Sugiyono, 2008)
Dalam penelitian sastra, seorang peneliti harus memiliki kemampuan memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan karakteristik karya sastra yang diteliti. Penerapan metode ilmiah dalam penelitian sastra perlu mempertimbangkan sifat sastra yang memperhatikan gejala umum dan gejala khusus. Gejala umum pada satra menyiratkan bahwa karya sastra adalah wujud kreatifitas manusia yang tergolong dalam konvensi-konvensi yang berlaku bagi wujud ciptaannya. Gejala khusus adalah keunikan karakteristik sastra pada suatu masyarakat yang bahkan tidak ditemukan dalam masyarakat lain sehingga karya sastra tersebut bisa menjadi identitas bagi masyarakat pemiliknya. Tugas penelitilah untuk memilah milah keunikan karya sastra menjadi lebih terstruktur dan mudah dipahami
Pada dasarnya, penelitian sastra terbagi dalam dua jenis, yaitu penelitian lapangan dan penelitian perpustakaan (Siswantoro, 2010 hlm. 25). Penelitian lapangan biasanya berkaitan dengan penelitian folklor atau sosiologi sastra atau pragmatik sastra. Sementara penelitian perpustakaan adalah penelitian yang berhubungan teks sastra, atau naskah-naskah sastra.
Penelitian lapangan, khususnya folklor menggunakan instrument yang tidak jauh berbeda dengan instrument yang digunakan dalam penelitian sosial lainnya, terutama penelitian antropologi. Hal yang perlu dilakukan oleh peneliti adalah membaur dengan masyarakat folklor yang sedang diteliti. Menurut Danandjaya penelitian folklor terdiri atas tiga macam tahap, yaitu pengumpulan data, pengklasifikasian, dan penganalisisan (Danandjaya, 1984 hlm. 183). Pengumpulan data adalah mengambilan data dari lapangan atau lokasi yang ditentukan. Pengklasifikasan adalah proses kerja memilah data mana saja yang bisa dijadikan sumber. Penganalisan data adalah proses mengkaji data yang telah dideskripsikan dengan menggunakan toeri yang sesuai.
(22)
Seperti halnya penelitian yang lain, penelitian folklor pun adalah kegiatan ilmiah yang harus menggunakan cara yang sistematis dan prosedural. Menurut Siswantoro, penelitian folklor sebagaimana penelitian lain, haruslah bersandar pada metode ilmiah dan sistematis. Hanya saja metode yang digunakan adalah metode desktiptif.( Siswantoro, 2010 hlm. 56). Menurut Nawawi, metode deskriptif adalah metode yang dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau meluliskan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya ( dalam Nasiri, 2012 hlm. 117). Denifisi ini mengandung pengertian bahwa penelitian deskriptif adalah suatu cara untuk menguraikan objek penelitian dalam satuan-satuan struktur yang lebih terperinci. Metode penelitian deskriptif merupakan prosedur penelitian yang berupaya memecahkan masalah-masalah penelitian dengan carang mengukapkan dan menggambarkan objek penelitian dengan fakta yang sebanarnya. Dengan metode deskriptif seorang peneliti sastra, khususnya folklor dituntut untuk mampu menjabarkan dan memberikan gambaran sedetail-detailnya fakta-fakta lapangan dengan apa adanya.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode kualitatif deskriptif, yaitu peneliti berupaya menggambar sedetail-detailnya data dan fakta yang telah peneliti kumpulkan di lapangan. Hal ini sejalan dengan pendapat Bodgan Biklen yang mengungkapkan karakteristik penelitian kualitatif, yaitu 1) menggunakan lingkungan alamiah sebagai sumber data langsung; 2) sifatnya deskriptif analitik; 3) tekanan penelitian ada pada proses; 4) sifatnya induktif; 5) mengutamakan makna ( Strinati, 2007 : 34 ). Sementara itu, Data dan fakta yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data lapangan murni yang tidak dicampuri pendapat peneliti. Karena seperti itulah penelitan folklor data yang diambil adalah data apa adanya, sesuai dengan karakter folklor polos dan lugu.
Setelah peneliti mendeskrifsikan data, data tersebut kemudian peneliti analitis, dengan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, fenomena
(23)
dari masyarakat tertentu. Analisisnya berbentuk deskripsi tentang penuturan dan penafsiran data yang ada, tentang situasi yang dialami, suatu hubungan, pandangan, sikap yang tampak, atau suatu proses yang meruncing.
Dalam penelitian ini, pendeskripsian data-data dilakukan dengan cara mengetengahkan fakta-fakta yang berhubungan dengan struktur teks mite pelet marongge dan relasi fungsi terhadap masyarakat pemangkunya. Etnografi yang digunakan adalah etnografi mikro yang berfokus pada kelompok budaya yakni kelompok masyarakat, khususnya masyarakat Sumedang, yang meyakini makam kramat Marongge mempunyai kekuatan magis dan mengandung nilai-nilai lokalitas yang harus dipertahankan.
Mite pelet marongge dikaji dengan teori semiotika, yaitu menikikberatkan pada kajian sintaksis, semantik, dan pragmatik karya sastra. Kemudian peneliti menginterpretasikan makna mite pelet marongge. Kajian sintaksis digunakan untuk menganalisis struktur mite pelet marongge. Kajian Semantik digunakan untuk menganalisis simbol-simbol mite pelet marongge. Kajian pragmatik digunakan untuk menganalisis proses penuturan, proses penciptaan, proses pewarisan dan proses implementasi mite pelet marongge bagi masyarakat Sumedang.
3.2. Rancangan penelitian
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini dilakukan seara deskriptif kualitastif. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini menerapkan metode etnografi yang mendeskripsikan mitos pelet Marongge sebagai karya sastra dan ritual ziarah kubur di makam kramat Marongge sebagai apresiasi masyarakat lokal terhadap kehidupan tokoh dalam mite pelet marongge. Kemudian peneliti akan menemukan makna dan gagasan dari simbol simbol budaya yang muncul dalam ritual ziarah kubur di makam kramat Marongge.
(24)
KETERANGAN
STUDI LAPANGAN 1 STUDI LAPANGAN 2 STUDI LAPANGAN 3
1. Orientasi lapangan 2. Mencari informan 3. Wawancara tak
terarah
Wawancara yang bersifat bebas dan
acak dalam
mencari informasi, baik berupa pertanyaan
maupun informan yang dipilih
4. Dokumentasi 5. Studi pustaka
1. Menyaksikan proses ziarah kubur di makam kramat Marongge
2. Wawancara terarah dengan kuncen makam kramat Marongge:
Wawancara dengan pertanyaan yang telah dirumuskan sebelumnya dan informan yang telah ditentukan 3. Dokumentasi 4. Studi pustaka
1. Berpartisipasi dalam ziarah kubur di makam kramat Marongge
2. Wawancara
bersama mantan kuncen makam kramat marongge 3. Wawancara
bersama
paranormal sekitar lokasi
4. Wawancara dengan pengguna pelet marongge
5. Dokumentasi 6. Studi pustaka KLASIFIKASI DATA INTERPRETASI DATA RANCANGAN MODUL KESIMPULAN DAN REKOMENDASI STUDI LAPANGAN 2 STUDI LAPANGAN 3
(25)
KLASIFKASI DATA PENYAJIAN DATA ANALISIS DATA Pemilihhan,
penyederhanaan, dan pengabstraksian data sesuai kebutuhan
Penyajian data dalam bentuk deskripsi lugas dan mudah dipahami
Penganalisisan aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik mite pelet marongge dengan teori semiotika
Penganalisisan ritual ziarah kubur di makam kramat sebagai bentuk apresiasi masyarakat terhadap tokoh dalam mite pelet marongge
INTERPRETASI DATA MODUL
PEMBELAJARAN
KESIMPULAN
Penafsiran makna mite pelet marongge melalui simbol simbol yang muncul dalam struktur cerita
Penafsiran relasi fungsi mite pelet marongge
Pembuatan modul
pembelajaran untuk kelas XI SMA
1. Merumuskan
kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan
penelitian
2. Membuat saran untuk penelitian selanjutnya dan membuat
(26)
penelitian
3.3. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri atas dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer adalah sumber data yang dituturkan langsung oleh informan, yaitu mantan kuncen makam kramat Marongge. Penuturan tersebut direkam saat peneliti melakukan wawancara. Kemudian setelah merekam mitos pelet Maronggge. Peneliti mengamati reaksi masyarakat pemangku mitos tersebut, yang menjadikan makam kramat Marongge sebagai tempat permohonan doa. Sebagai data sekunder, peneliti mengambil data hanya pada dua informan yang peneliti mintai keterangan tentang mitos di balik makam kramat marongge. Hasil dari wawancara tersebut tidak jauh berbeda dengan yang dituturkan informan pertama. Kedua informan tersebut adalah, kuncen makam kramat marongge dan salah satu paranormal yang paham tentang pelet Marongge. Data sekunder yang peneliti dapat, tidak hanya berupa penuturan langsung, melainkan juga sebuah buku cerita rakyat Jawa Barat yang berjudul Putri Marongge karya A. Setiawan (tidak ada tahun terbit). Namun, buku cerita tersebut mempunyai silsilah tokoh yang berbeda dengan penuturan langsung dari para informan. Jadi peneliti tetap memegang teguh data pada apa yang dituturkan mantan kuncen makam kramat Marongge.
Selain itu peneliti juga melengkapi data penelitian dengan foto, gambar, juga video. Namun penggunaan data tersebut bukan sebagai bahan analisis, melainkan sebagai data pendukung untuk melengkapi verifikasi data. Adapun foto-foto dan gambar-gambar yang peneliti lampirkan adalah, foto kuncen, foto makam kramat marongge, dan foto orang-orang yang sedang ziarah kubur di makam kramat Marongge sebagai bentuk apresiasi masyarakat terhadap sosok yang mereka teladani.
(27)
Data video peneliti analisis namun tidak akan dideskripsikan dengan detail karena penelitian ini tidak diarahkan dalam kajian tradisi lisan, melainkan kajian folklor. Jadi peneliti akan memfokuskan penelitian pada struktur cerita mite pelet marongge. Data vedio digunakan untuk memahami aspek pragmatik karya sastra. Peneliti menganalisi cara masyarakat dalam mengapresiasi mite pelet marongge. Tidak hanya video rekaman ritual ziarah kubur sebagai bahan analisis, peneliti juga mewawancarai beberapa peziarah mengenai mite pelet marongge, tujuan mereka datang ke makam, dan aplikasi pelet tersebut dalam kehidupan pribadi mereka.
3.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah cara seorang peneliti dalam mendapatkan informasi sebagai bahan penelitian. Sugiono (dalam Nasiri 2012 hlm. 120) mengatakan, dalam penelitian kualitatif pengumpulan data dilakukan pada kondisi alamiah, sumber data primer, dan teknik pengumpulan data difokuskan pada observasi peran serta, wawancara mendalam, dokumentasi, dan triangulasi. Nasution pun mengatakan metode pengumpulan data kualitatif yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, dan membuat catatan lapangan (Nasution, 2010 hlm. 20).
Berdasarkan pendapat tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa teknik pengumpulan data kualitatif meliputi observasi, wawancara, catatan lapangan, dan dukumentasi. Obervasi dan wawancara digunakan untuk mengumpulkan data primer. Untuk mendapatkan data sekunder peneliti juga memewancarai informan, namun bukan informan utama, selain itu peneliti juga menggunakan catatan lapangan dan dokumentasi.
Sumber data primer adalah bahan utama untuk dianalisis, yaitu tuturan asli mantan kuncen makam kramat Marongge, tanpa peneliti rekayasa atau ditambah-tambahkan. Sementara penggunaan data sekunder digunakan untuk melengkapi bahan analisis dari data primer. Pada tahap awal peneliti bingung untuk menggunakan sumber data primer, namun setelah mengenal secara pribadi infoman satu demi satu
(28)
dan mengetahui kondisi karakter setiap informan, peneliti memutuskan bahwa yang menjadi informan primer adalah mantan kuncen makam kramat Marongge.
Penelitian diawali dengan pengamatan lokasi yang akan diteliti untuk melakukan pencarian mengenai keberadaan informan. Dari pengamatan tersebut, dipilih beberapa informan, kemudian mewawancarainya. Pengamatan langsung ini dinamakan obervasi terang-terangan, yaitu peneliti langsung menyatakan terus terang mengenai tujuan peneliti berada di makam kramat marongge. Namun, sambutan kuncen atau juru kunci makam kramat Marongge kurang bersahabat. Dengan sikapnya yang sinis dan kurang ramah peneliti menyimpulan bahwa kedatangan peneliti sebagai peneliti tidak disukai, kuncen tersebut lebih menyukai tamu-tamu yang datang sebagai peziarah.
Peneliti menggunakan dua teknik wawancara, yaitu wawancara terarah dan wawancara tak terarah. Wawancara terarah adalah wawancara yang sifat menyelidiki dan mengungkap cerita misteri di balik makam kramat Marongge dengan pertanyaan-pertanyaan yang sudah disiapkan sebelumnya untuk memperoleh jawaban yang diharapkan. Semantara, wawancara tak terarah adalah peneliti bertanya yang sifat lebih pribadi, tentang keluarga, keadaan lingkungan makam, tamu-tamu yang datang dan lain sebagainya sehingga informan dapat memberikan jawaban seluas-luasnya. Sebelumnya, disiapkan alat bantu untuk kelancaran proses wawancara seperti alat tulis, alat rekam, dan kamera.
Dalam penelitian ini peneliti akan mengupas legenda pelet marongge yang dituturkkan secara lisan oleh mantan kuncen Makam Kramat Maronnge, yang terletak di Desa Marongge, Kecamatan Tomo, Kabupaten Sumedang. Mantan kuncen tersebut bernama Bapak Suhadi, 56 tahun, dia sudah menjadi kuncen selama sepuluh tahun, dari tahun 2000 hingga 2010. Beliaulah yang membuat membuat tradisi mandi di sungai cilutung sebagai media untuk menerapkan ilmu pelet Marongge.
Bapak Suhadi menuturkan legenda pelet Marongge pada tanggal 20 Februari 2015 di rumahnya, yang terletak di jalan tolengas, tepat dibawah kompleks
(29)
pemakaman Makam Kramat Marongge. Beliau mengisahkan legenda tersebut sehabis salat isya hingga pukul sepuluh malam. Tentunya suasana yang dibangun begitu tenang dan khimat yang selingi dengan rokok dan kopi hitam.
Bahasa yang digunakan oleh Suhadi adalah bahasa Sunda diselingi bahasa Indonesia. Hal ini mempermudah peneliti memahami setiap kosa kata yang dituturkan olehnya. Bapak Suhadi Sendiri tidak mahfum benar dengan kisah tersebut karena beliau pun hanyalah kuncen yang dipercaya oleh kepala desa untuk menjaga dan merawat makam kramat tersebut. Dia tidak tahu sejak kapan kramat tersebut ada disana, dia pun tahu kisahnya dari kuncen sebelumnya juga cerita masyarakat yang memepercayai hal itu.
Kuncen yang menjabat sekarang pun, Bapak Maman, 60 tahun, kurang paham benar tentang kisah dibalik makam kramat yang dia jaga tiap hari. Dia hanya pendoa, pembaca salawat, yang dibayar para peziarah untuk menyampaikan harapan-harapannya. Kuncen yang satu ini enggan diwawancari, dia menganggap kisah dibalik makam kramat marongge adalah kisah sakral yang tidak sembarangan diceritakan. Namun, setelah peneliti memberikan sejumlah uang barulah dia mau bercerita. Dia pun tidak tahu sejak kapan makam kramat Marongge itu ada.
Setelah peneliti mengunjungi kepala desa Marongge, peneliti pun medapatkan data yang tidak jauh berbeda dengan informan sebelumnya. Akhirnya, peneliti bertemu dengan Aki Pasar, dia adalah tokoh masyarakat di sana, dia juga dewan penasihat komunitas sepedah ontel di wilayah Majelengka. Dia bertutur legenda pelet Marongge dengan lebih lengkap, setidaknya dia menyebut prabu Gesan Ulun, dari sana peneliti berasumsi bahwa tokoh dalam legenda pelet Marongge hidup pada zaman Prabu Gesan Ulun, raja dari kerajaan Sumedang Larang yang berkuasa sekitar abad ke-16.
Aki Pasar juga bercerita tentang ilmu pelet dan bagaimana ilmu pelet marongge diterapkan yang peneliti anggap sebagai data pendukung untuk
(30)
menyempurnakan data asli yang peneliti rekam dari pak Suhadi Mantan kuncen Makam Kramat Marongge.
Setelah melakukan wawancara terarah dan tidak terarah, berlanjut pada tahap berikutnya, yaitu mendeskripsikan ritual pelet marongge dari hasil pengamatan. Kemudian mentranskripsikan pelet marongge dari bentuk rekaman ke dalam bentuk tulisan dan memisahkan antara yang berbentuk wawancara dengan cerita lisan.
Setelah proses pendeskripsian selesai, peneliti menentukan ikon-ikon budaya yang muncul dalam ritual melalui metode etnografi. Kemudian dilanjutkan pada proses penerjemahan hasil transkripsi dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia dengan tidak mengubah atau menghilangkan aslinya.
Kemudian peneliti menganalisis struktur mitos dengan menggunakan pendekatan semiotika. Analisis difokuskan pada stuktur teks, yaitu dengan pendekatan sintaksis, pendekatan semantik, dan pendekatan pragmatik. Analisis difokuskan pada kaitan antara sastra dengan masyarakat pendukungnnya. Terakhir menyimpulkan hasil yang dikaji, memberikan saran dan merekomendasikan penelitian. Peneliti juga merancang modul sebagai pembelajaran cerita rakyat di SMA.
3.5. Instrumen Penelitian
Instrument dalam penelitian lapangan adalah alat yang digunakan seorang peneliti untuk mengumpulkan data. Penelitian lapangan identik dengan penelitian kualitatif. Sebuah penelitian kualitatif tidak dapat dilepaskan dari pengamatan dan peran serta peneliti karena peranan peneliti yang menentukan jalan dan ending dari sebuah penelitian. Seperti yang diungkapkan oleh Sugiono, “Dalam penelitian kualitatif instrument utamanya adalah peneliti itu sendiri selanjutnya bisa dikembangkan instrument sederhana yang diharapkan dapat melengkapi data dan membandingkan data yang ditemukan melalui observasi dan wawancara.”(Sugiyono, 2008 hlm. 223).
(31)
Pernyataan Sugiono tersebut memberikan kesempatan kepada peneliti kualitatif untuk mengembangkan instrumensnya selain dirinya sendiri. Bagi penelitian tradisi lisan, khususnya sastra lisan, diri sendiri sebagai intrumen bukanlah sebagai bahan eksperimen. Namun, peneliti hanya sekedar mengadakan observasi lapangan untuk mengendapatkan data yang diinginkan. Seperti halnya dalam penelitian ini peneliti menggunakan alat pengumpul data, yaitu berbagai hal yang bisa menunjang proses penelitian berjalan dengan semestinya. Alat pengumpul data yang peneliti gunakan, diantaranya berupa bahan tertulis, seperti angket, daftar pertanyaan,alat perekam, dan kamera.
Dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti harus terjun ke lapangan untuk mengumpulkan informasi. Melalui observasi ke lokasi penelitian, data dan informasi bisa dikumpulkan. Seorang peneliti harus bisa melebur dalam masyarakat agar bisa berpartisipasi dalam kegiatan kegiatan tradisi. Setelah itu, seorang peneliti harus mewawancari informan, salah satu tokoh yang berpengaruh dalam masyarakat untuk mengambil data sebagai sampel penelitian. Wawancara dilakukan dengan cara terarah dan tak terarah. Wawancara terarah dilalukan untuk memperoleh jawaban-jawaban terbuka dan pasti. Sementara wawancara tak terarah dilakukan agar peneliti bisa mengambil simpati dari informan sehingga dia tidak merasa sungkan atau terintimidasi saat proses wawancara. Dengan wawancara tak terarah, kadang seorang informan akan memberikan informasi yang lebih lengkap dan akurat karena merasa ada kedekatan emosional dengan peneliti. Dia akan memberikan rahasia terdalam dari sebuah tradisi yang dipegang teguh selama ini.
Data dan penelitian kualitatif dapat berubah-ubah sesuai dengan kondisi yang terjadi di lapangan. Penelitian kualitatif sangat situasional tergantung bagaimana penerimaan masyarakat dan informan dalam memberikan informasi. Sebab penelitian lapangan, terutama kajian folklor akan berhubungan dengan masyarakat yang bersifat dinamis. Sebab itu, sebuah folklor mempunyai banyak versi karena sebuah komunitas atau individu menyampaikan informasi dengan cara berbeda, tergantung latar sosial,
(32)
budaya, religi, dan pandangan hidup mereka dalam milihat fenomena yang terjadi di lingkungannya. Namun demikian, seorang peneliti folklor harus mempunyai peran sebagai instrument kunci, yaitu memverifikasi data setelah setiap informasi dikumpulkan dan dianalisis.
Satu hal yang menjadi cacatan dalam penelitian ini adalah menentukan informan utama yang menjadi sumber data primer untuk dianalisis dengan kajian semiotika. Nasiri berpendapat “Sebagai instrument kunci, peneliti memliki fungsi, yaitu menetapkan focus penelitian, menentukan informan, dan melakukan pengumpulan data” (Nasiri, 2012 hlm. 123).
Dalam melakukan penelitian, selain melakukan pengamatan dan wawancara, peneliti juga menganalis data lapangan, melakukan penafsiran dan membuat kesimpulan. Agar lebih akurat, peneliti tidak hanya mewawancara satu informan saja, melainkan beberapa informan mengenai subjek penelitian untuk bahan pembanding. Hal ini dilakukan agar peneliti mendapat data yang akurat setelah melakukan analisis data, studi pustaka, studi dokumentasi melalui catatan lapangan.
3.6. Analisis Data
Penelitian yang dilakukan ialah penelitian kualitatif, yakni penelitian yang memusatkan pada kualitas data. Dalam penelitian ini dilakukan penelitian pustaka yang disertai penelitian lapangan. Analisis yang dilakukan didasarkan pada kajian semiotika untuk memperoleh makna mite pelet marongge sebagai hakikat hidup manusia.
Sugiyono mengatakan bahwa analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi dengan cara mengorganisasikan data kedalam kagori, menjabarkan ke unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
(33)
sehingga mudah dipahami oleh peneliti sendiri maupun orang lain. (Sugiyono, 2008 hlm. 244)
Definisi tersebut mengandung pengertian bahwa analisis data merupakan proses menyusun data secara sistematis melalui langkah-langkah procedural. Data yang telah terkumpul disusun per kategori kemudian dijabarkan pada unit-unit yang lebih kecil. Melalui unit-unit tersebut, peneliti menyusun pola, memilih data, dan membuat kesimpulan. Analisis data merupakan cara memahami data untuk melakukan pengujian dan menentukan hubungan antar bagian dan hubungan keseluruhan data agar diperoleh makna dan gagasan baik tiap-tiap bagian maupun keseluruhan data. Dengan demikian, data dapat dipahami baik oleh peneliti maupun orang lain.
Dalam penelitian kualitatif, proses analisis data dimulai selama proses penelitian berlangsung. Seperti yang diungkapkan Nasution, “Analisis data telah mulai sejak merumuskan dan menjelaskan masalah sebelum terjun ke lapangan dan terus berlangsung sampai penelitian selesai.” ( Nasuition, 1993 hlm 138). Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa dalam penelitian kualitatif, seorang peneliti harus mempunyai gambaran umum mengenai data data yang akan diperolehnya sehingga dia dapat menganilisnya secara kasar mengenai bentuk penelitiannya. Data yang diperoleh dari lapangan bisa langsung dikaji dan diberi label per katagori.
Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan proses yang sistematis dan dilakukan secara intensif. Analisis harus dimulai sebelum peneliti terjun ke lapangan bahkan sejak dia merumuskan masalah. Dengan demikian proses analisis data kualitatif butuh kerja yang serius dan waktu yang panjang karena analisis terus berlangsung dari merumuskan masalah hingga membuat kesimpulan.
Menurut Sugiyono, dalam analisis data penelitian kualitatif ada beberapa tahapan, yaitu, tahap reduksi, display data, dan kunklusi atau verifikasi. Reduksi data adalah proses merangkum, melilih hal hal pokok, dan menyusun secara sistematis data-data yang masih mentah agar mudah dikatagorikan. Reduksi data akan
(34)
memberikan gambaran yang jelas dari hasil pengamatan. Display data adalah menyusun dan menyajikan data dengan berbagai pola, seperti bagan, tabel, dan grafik. Selain itu, data disajikan dalam bentuk naskah yang bersifat deskriptif atau naratif. Display data berguna untuk menganalisis dan menafsirkan data. Yang terakhir adalah proses verifikasi data, yaitu proses mengambil kesimpulan dari data-data yang telah direduksi dan telah disajikan dalam bentuk display data. kesimpulan merupakan jawaban dari rumusan masalah di awal penelitian, apakah data yang telah dianalisis bisa menjawab semua hipotesis yang telah dirumuskan (Sugiyono, 2008 : 250).
Pengertian di atas menyebutkan bahwa penelitian kualitatif membutuhkan keintensifan dalam pengolahan data, dari mulai merangkum data, memberikan gambaran yang jelas, kemudian menyusun dan menyajikan data secara objektif kemudian dianalisis dan yang terakhir adalah membuat kesimpulan.
Pada tahap awal penelitian ini, pemilihan korpus didasarkan pada anggapan bahwa mitos pelet termasuk ke dalam folklor yang menggunakan cerita rakyat sebagai media untuk menyampaikan gagasan. Lalu dilakukan pengumpulan data dalam bentuk dokumentasi berupua video, foto, dan rekaman proses wawancara dengan narasumber. Selanjutnya, penelitian difokuskan pada aspek struktur teks yang meliputi aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik. Dari hasil analisis teks maka diperoleh sebuah gagasan yang terkadung dalam mitos tersebut yang memengaruhi perilaku masyarakat sekitar tempat mitos berkembang.
3.7. Waktu Pelaksanaan Penelitian
Penelitian ini akan dilangsungkan pada bulan Desember 2014 hingga Maret 2015. Penelitian dimulai di daerah Sumedang. Setelah data terkumpul, dilakukan inventarisasi dan analisis. Pada bulan April 2015 dilakukan pengecekan kembali data yang telah terkumpul sekaligus memadukan kesesuaian data sebagai bahan ajar teks naratif di SMA dan m mata kuliah Sastra Nusantara di perguruan tinggi
(35)
(36)
BAB 5
RANCANGAN BAHAN AJAR DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Bab lima pada tesis ini akan membahas mengenai penerapan mite pelet marongge sebagai modul untuk pembelajaran kajian cerpen di SMA kelas XI. Bab ini juga akan membahas mengenai rancangan pelaksanaan pembelajaran.
5.1. Dasar Pemikiran
Hasil analisis struktur teks mite pelet marongge ini ditindaklanjuti sebagai cerpen untuk ditawarkan sebagai alternatif bahan ajar pelajaran sastra, khususnya kelas XI. Hal ini tercermin dalam silabus KTSP KD. 13.1 mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan kemudian KD 13.2 menemukan nilai-nilai dalam cerpen yang dibacakan. Kompetensi ini dipilih karena mite pelet marongge berbentuk cerita rakyat. Cerita rakyat akan lebih menarik dibaca dalam bentuk cerpen. Pentransformasian mite pelet marongge kedalam bentuk cerpen perlu dilakukan agar siswa dapat memahami cerita rakyat bukan sebagai kepercayaan, melainkan sebagai media pembelajaran. Kebahasaan mite pelet marongge yang dituturkan dalam bentuk bahasa Sunda pun perlu dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia agar cerita dapat dipahami secara nasional. Oleh sebab itu, mite pelet marongge telah ditransformasi menjadi sebuah cerpen dengan judul Ajian Si Kukuk Mudik dengan tidak mengubah alur cerita dan tokoh-tokohnya.
Alternatif bahan ajar (cerpen) yang ditawarkan semoga dapat dipertimbangkan sebagai pedoman bagi para guru mata pelajaran bahasa Indonesia dalam memilih bahan ajar yang ssesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai peserta didik. Disusunnya cerpen Ajian Si Kukuk Mudik sebagai bahan ajar di SMA untuk memudahkan para guru mata pelajaran bahasa Indonesia dalam menentukan bahan ajar untuk menarik peserta didik terhadap karya sastra. Karya sastra yang berasal dari cerita rakyat akan menumbuhkan rasa cinta peserta didik
(37)
terhadap daerahnya dan membuat mereka sadar bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang kaya dengan budaya.
Pentransformasian cerita rakyat kedalam bentuk cerpen diharapkan dapat memicu, baik para guru maupun peserta didik untuk melakukan hal yang sama. Saat ini, banyak sekali cerita rakyat yang belum terekspos ke dalam dunia akademis. Kebanyakan cerita rakyat hanya berkembang di daerah itu dengan bahasa daerahnya masing-masing. Jika hal ini dibiarkan saja, cerita rakyat tersebut akan punah ketika para penuturnya sudah tiada. Karena itu, pengubahan cerita rakyat ke dalam bentuk cerpen adalah salah satu alternatif untuk melestarikan cerita rakyat tersebut agar tetap eksis dari zaman ke zaman. Juga salah bentuk alternatif untuk memperkenalkan cerita daerah ke skala nasional. Cerpen ajian si kukuk mudik yang berasal dari mite pelet marongge kiranya dapat menjadi pelestarian cerita rakyat yang akan dikenang sepanjang zaman dan memperkenalkan cerita rakyat Sumedang ke skala nasional.
5.2 Bahan Ajar Pembelajaran Sastra di SMA
Pada bagian ini peneliti menguraikan salah satu jenis bahan ajar cetak yang disesuaikan dengan kurikulum KTSP. Peneliti memilih modul sebagai alternatif bahan ajar untuk pembelajaran memahami cerpen di tingkat SMA, khususnya kelas XI.
Modul adalah bahan ajar yang disusun secara sistematis dengan bahan yang mudah dipahami oleh peserta didik sesuai tingkat pengetahuan dan usia mereka agar dapat belajar sendiri dengan bantuan atau bimbingan yang minimal peserta didik (Prastowo, 2012 hlm 103). Definisi tersebut menyebutkan bahwa modul adalah bahan ajar untuk peserta didik agar mereka mandiri dalam memahami pelajaran yang sedang dipelajari. Namun, peserta didik tidak bisa dibiarkan begitu saja dalam mempelajari modul. Peran guru atau pembimbing juga diperlukan dalam mempelajari modul.
(38)
Modul adalah alternatif belajar siswa secara mandiri. Karena itu, modul harus disusun dengan sistematis, menarik dan mudah dipahami. Menurut Surahman, struktur pembuatan modul adalah 1) judul modul, yaitu berisi tentang nama modul dari suatu mata pelajaran; 2) petunjuk umum, yaitu penjelasan tentang langkah-langkah yang akan ditempuh dalam pembelajaran yang meliputi kompetensi dasar, pokok bahasan, indikator pencapaian, referensi, strategi pembelajaran, lembar kegiatan pembelajaran, dan evaluasi; 3) meteri modul, yaitu penjelasan secara rinci tentang materi yang dipelajari setiap pertememuan; 4) evaluasi semester, yaitu UTS dan UAS dengan tujuan untuk mengukur kompetensi peserta didik sesuai materi yang diberikan (dalam Praswoto, 2012)
Berdasarkan struktur pembuatan modul tersebut, peneliti membuat modul berdasarkan hasil analisis teks mite pelet marongge dalam penelitian ini. Pembuatan modul tersebut didasarkan pada kelengkapan dan unsur ideal modul, yaitu judul, kata pengantar, daftar isi, dasar pemikiran, standar kompetensi, kompetensi dasar, tujuan pembelajaran, uraian materi, soal latihan, rangkuman, tindak lanjut, daftar pustaka, dan kunci jawaban.
5.3. Perencanaan Pengajaran
Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran sekolah yang mengembangkan kemampuan peserta didik untuk mengomunikasikan nilai-nilai budaya melalui perilaku dan penggunaan artefak budaya dalam bentuk berbagai jenis teks. Setiap teks dihasilkan berdasarkan proses analisis dan evaluasi kritis untuk menyampaikan fungsi sosial yang bermakna bagi lingkungan sosial-budaya dan alam sekitar atas dasar prinsip keberagaman, toleransi, empati, serta hubungan dan komunikasi antar-budaya, baik di tingkat lokal, nasional, regional, maupun global.
Bahasa Indonesia perlu dipelajari sebagai sarana komunikasi untuk mengindonesiakan orang Indonesia. Proses pengindonesiaan orang Indonesia berlangsung sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 diikrarkan oleh para pendiri
(39)
negara kebangsaan Indonesia. Berdasarkan ikrar tersebut, setiap orang yang mengaku berbangsa Indonesia bertekad menjunjung sebuah bahasa persatuan yang disebut bahasa Indonesia. Tekad berbahasa Indonesia itu menyiratkan bahwa nilai-nilai kebangsaan Indonesia, antara lain nilai multikutural dan multilingual, mengkristal dan melembaga dalam bentuk perilaku berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi utama orang Indonesia itu juga mengisyaratkan tegaknya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Pasal 36) telah menyatakan bahwa bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Pernyataan konstitusi yang amat tegas tersebut merupakan amanat bagi setiap warga negara Indonesia agar berbahasa Indonesia untuk menandai keberadaan wilayah Indonesia. Dengan bahasa Indonesia yang dikomunikasikan oleh seluruh orang Indonesia, keberadaan negara Indonesia dapat diidentifikasi perbedaannya dari negara lain. Untuk itu, pelajaran bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi disajikan di sekolah menengah guna menguatkan identitas negara dan jati diri bangsa Indonesia.
Di kalangan anak bangsa, kekuatan komunikasi berbahasa Indonesia perlu terus ditingkatkan. Pada saat sekarang, berdasarkan refleksi hasil PISA 2009, anak Indonesia hanya mencapai penguasaan pelajaran literasi pada peringkat ke-3. Padahal, dengan keyakinan semua anak manusia diciptakan sama, anak-anak di negara lain mampu meraih peringkat penguasaan pelajaran sampai peringkat ke-4, 5, dan 6. Hasil pendidikan itu sangat mungkin disebabkan oleh lemahnya penguasaan anak dalam hal alat komunikasi berbahasa sebagai pembawa ilmu pengetahuan. Potret mutu pendidikan Indonesia itu makin diperjelas dengan adanya hasil survei literasi PIRLS dan TIMSS yang menempatkan 95% anak Indonesia hanya sampai peringkat menengah, yaitu taraf kemampuan menerapkan. Untuk meningkatkan
(40)
kemampuan literasi pada anak Indonesia, diperlukan terobosan baru dalam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah menengah.
Pelajaran bahasa Indonesia seharusnya disajikan dalam program pembelajaran yang sepenuhnya berbasis teks, seperti halnya program dalam PISA dan PIRLS. Secara teoretis, teks merupakan proses sosial yang berorientasi pada tujuan sosial tertentu dan dalam konteks situasi tertentu pula. Proses sosial tersebut akan terjadi jika terdapat sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dalam kerangka teori itu, bahasa Indonesia muncul dalam berbagai situasi pemakaiannya sebagai teks yang sangat beragam sehingga jenis teks bahasa Indonesia pun beragam. Keragaman teks itu menunjukkan perbedaan struktur berpikir, unsur kebahasaan, dan fungsi sosial yang dilaksanakan.
Dalam praktik di sekolah menengah, pembelajaran teks membantu peserta didik memperoleh wawasan yang lebih luas untuk berpikir kritis menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata yang tidak terlepas dari kehadiran teks. Selain memperluas wawasan komunikasi berbahasa Indonesia, pembelajaran teks juga meningkatkan sikap positif peserta didik terhadap bahasa Indonesia, termasuk sikap bersyukur atas anugrah Tuhan berupa bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa dan identitas negara. Dengan wawasan yang makin luas dan sikap yang makin positif itu, peserta didik dapat berperan aktif sebagai orang Indonesia dalam pelestarian bahasa kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
Dalam paradigma pengajaran, misi sekolah adalah menyajikan intruksi dan menyajikan pengajaran. Metode dan produknya harus sama. Cara pengajaran merupakan tujuan dari sekolah itu sendiri, sedangkan paradigma pembelajaran adalah misi sekolah untuk menghasilkan pembelajaran. Metode dan produknya terpisah. Tujuan pengajaran akan menentukan pembelajaran (Huda, 2013 hlm 12)
Berdasarkan pendapat di atas tujuan pengajaran akan menentukan cara pembelajaran. Oleh karena itu seorang guru harus mempunyai tujuan pengajaran
(41)
sebelum materi pelajaran disampaikan. Tujuan tersebut akan menentukan cara bagaimana materi itu disampaikan kepada siswa. Dalam rencana pelaksanaan pembelajaran untuk mengaplikasikan materi cerpen mite pelet marongge maka guru disarankan untuk memakai metode presentasi, diskusi, inquiri, dan demontrasi
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN Bahasa dan Sastra Indonesia
KELAS /SEMESTER XI (sebelas)
PROGRAM Umum
ALOKASI WAKTU 2 x 45 menit TEMA
STANDAR KOMPETENSI
13. Memahami pembacaan cerpen
KOMPETENSI DASAR 13.1Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan
ASPEK
PEMBELAJARAN
Mendengarkan
Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya Karakter Bangsa
Kewirausahaan/ Ekonomi Kreatif Mampu mendengarkan pembacaan
cerpen dengan baik
Mampu mengidentifikasi penokohan cerpen dengan baik
Mampu mengidentifikasi latar cerpen dengan baik
Mampu mengidentifikasi alur cerpen dengan baik
Mampu mendiskusikan alur, penokohan, dan latar cerpen yang sudah diidentifikasi
Bersahabat/ komunikatif Mandiri
Kepemimpinan
MATERI POKOK PEMBELAJARAN
Cerpen yang dibacakan atau rekaman pembacaan cerpen Penokohan dalam cerpen
Latar dalam cerpen Alur dalam cerpen
Cara mengidentifikasi penokohan, latar, alur dalam cerpen
(42)
STRATEGI PEMBELAJARAN
KEGIATAN PEMBELAJARAN
TAHAP KEGIATAN PEMBELAJARAN Nilai Budaya Dan
Karakter Bangsa PEMBUKA
(Apersepsi)
Guru-siswa bertanya jawab tentang penokohan, latar, alur cerpen Guru dan siswa bertanya jawab
mengenai cara mengidentifikasi penokohan, latar, alur dalam cerpen
Bersahabat/ komunikatif
INTI Eksplorasi
Siswa mendengarkan pembacaan cerpen
Siswa secara mandiri
mengidentifikasi penokohan cerpen Siswa secara mandiri
mengidentifikasi latar cerpen Siswa secara mandiri
mengidentifikasi alur cerpen Elaborasi
Siswa mendiskusikan alur,
penokohan, dan latar cerpen yang sudah diidentifikasi
Siswa saling memberi masukan kekurangan hasil identifikasinya Siswa mempresentasikan hasil
identifikasi alur, penokohan, dan latar cerpen yang sudah diperbaiki Konfirmasi
Dalam kegiatan konfirmasi, Siswa: Menyimpulkan tentang hal-hal yang
Mandiri
Tatap Muka Terstruktur Mandiri
Memahami pembacaan cerpen
Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar dalam cerpen yang dibacakan
Siswa Mampu mendiskusikan alur, penokohan, dan latar cerpen yang sudah diidentifikasi
(43)
belum diketahui
Menjelaskan tentang hal-hal yang belum diketahui.
PENUTUP (Internalisasi & persepsi)
Siswa diminta menjelaskan
kesulitannya menyimak pembacaan cerpen
Siswa diminta mengungkapkan pengalamannya dalam
mengidentifikasi penokohan, latar, alur dalam cerpen
Siswa mengungkapkan
permasalahan di masyarakat yang sesuai dengan permasalahan dalam cerpen
Siswa mengerjakan uji kompetensi dan menjawab kuis uji teori
Bersahabat/ komunikatif
METODE DAN SUMBER BELAJAR
Sumber Belajar
v Pustaka rujukan Modul buku dari sekolah v Material: VCD, kaset,
poster
Rekaman pengajaran/analisis cerpen
V
Media cetak Modul pembelajaran Website internet
V
Narasumber Buku dari sekolah atau penulis cerpen
V
Model peraga Siswa yang mempunyai
pengalaman menganalisis cerpen
V
Lingkungan Kejadian di masyarakat yang sesuai dengan penokohan, alur, latar cerpen
Metode
V
Presentasi Perkelompok mempresentasikan temuannya
V
Diskusi Kelompok Guru memantau kegiatan siswa
V
(44)
V
Demontrasi
/Pemeragaan Model PENILAIAN
TEKNIK DAN
BENTUK
V Tes Tertulis V Tes Praktik
V Observasi Kinerja/Demontrasi
V Tagihan Hasil Karya/Produk: tugas, projek, portofolio V Pengukuran Sikap
V Penilaian diri INSTRUMEN /SOAL
Daftar pertanyaan lisan tentang penokohan, latar, alur cerpen
Daftar pertanyaan mengenai cara mengidentifikasi penokohan, latar, alur dalam cerpen
Tugas/perintah untuk melakukan diskusi, presentasi
Daftar pertanyaan uji kompetensi dan kuis uji teori untuk mengukur tingkat pemahaman siswa terhadap teori dan konsep yang sudah dipelajari
RUBRIK/KRITERIA PENILAIAN/BLANGKO OBSERVASI Tes Tertulis (pengetahuan) Indikator Pencapaian
Kompetensi
Teknik Penilaian
Bentuk Penilaian
Instrumen 1. Memahami struktur isi
dan kaidah bahasa teks cerpen
Tes tertulis Isian 1. Sebutkan dan jelaskan struktur isi dan kaidah bahasa teks cerpen!
Pedoman Penskoran Soal nomor 1
Aspek Skor
Siswa menjawab benar 100
(45)
Siswa menjawab salah 20 Tes praktik-proyek ( keterampilan )
Interpretasilah makna teks cerpen terlampir!
Rubrik Penilaian Keterampilan menginterpretasi makna Teks cerpen
No. Aspek Deskripsi Ya Tidak
1. Ketepatan interpretasi makna teks cerpen
Sudah tepatkah interpretasi makna teks cerpen?
2. Ketepatan penggunaan bahasa dan ejaan
Apakah penggunaan bahasa dalam menginterpretasi makna teks cerpen sesuai kaidah dan EYD?
Media Pembelajaran a. Buku pegangan guru b. Buku pegangan siswa c. Modul pembelajaran sastra Jenis Penilaian
Jenis Taggihan : individu dan kelompok Teknik Penilaian : penugasan
Bentuk : Instrumen
RUBRIK PENILAIAN HASIL IDENTIFIKASI ALUR, PENOKOHAN, DAN LATAR DARI MENYIMAK PEMBACAAN CERPEN
(46)
NAMA :
KELAS/NO. ABS :
TANGGAL PENILAIAN :
KOMPETENSI DASAR : Mengidentifikasi alur, penokohan, dan latar cerpen
HAL YANG DINILAI
NILAI AMAT
JELEK Skor : 1
JELEK Skor : 2
CUKUP Skor : 3
BAIK Skor : 4
AMAT BAIK Skor : 5 Identifikasi Penokohan Ketepatan penyebutan nama Ketepatan identifikasi karakter Indikator Pencapaian KompetenSI identifikasi karakter Bukti pendukung Identifikasi Latar Ketepatan identifikasi latar tempat Bukti pendukung Ketepatan identifikasi latar situasi Bukti pendukung Identifikasi Alur Ketepatan identifikasi jenis alur Bukti pendukung Ketepatan identifikasi urutan perma salahan-klimaks-selesaian Bukti pendukung JUMLAH NILAI
(47)
5.4.Instrumen Penelaahan Modul Pembelajaran Sastra di SMA
Instrumen ini digunakan untuk menelaah dan menilai kualitas dan kelayakan modul oleh penelaah. Melalui segi subtansi keilmuan dan penyusunan materi sajian secara prosedural.
Dalam pelaksanaan nilai formatif dan submatif modul, ohon penelaah membaca dengan cermat setiap modul dengan menggunakan format ini. Melalui format ini penelaah dapat menilai dengan cara menuliskan hasil penilaian menjawab ya/tidak dan memberikan tanggapan serta saran tentang aspek-aspek yang ditelaah.
Pada akhir penelaahan, penelaah dapat memberikan tanggapan dan saran perbaikan pada kolom yang disediakan. Tanggapan atau saran perbaikan mohon dilengkai dengan nomor halaman yang harus direvisi untuk mempermudah penulis dalam memperbaiki modul.
Untuk memudahkan penulis merevisi modul, penelaah eksternal diharapkan menulis pada kolom tanggapan terkait dengan halaman modul yang direvisi, subtansi dan contoh yang perlu diperbaiki.
HASIL PENELAAHAN
BAHAN AJAR PEMBELAJARAN BAHASA DI SMA
A. Identitas Bahan Ajar
1. Nama mata pelajaran : Bahasa Indonesia 2. Judul modul : Analisis cerpen 3. Nama penulis : Burhan Sidiq
NIM : 1302229
Program studi : Pendidikan Bahasa Indonesia Nomor telepon : 0818614238
(48)
Alamat email : [email protected] 4. Nama Penelaah :
Pekerjaan :
Instansi :
Nomor telepon : Alamat email : B. Penelaahan Bahan Ajar
Bagian Modul Aspek yang Ditelaah Penilaian
Ya Tidak
(1) (2) (3) (4)
Cover dan kelengkapan
lainny
1. Kesesuaian isi dengan mata pelajara 2. Terdapat identitas penulis handout dan
lembaga Tanggapan:
Keterkaitan dengan kurikulum
1. Melakukan analisis kurikulum 2. Kesuaian isi dengan silabus 3. Kesesuaian isi dengan RPP
(49)
Komposisi 1. Keringkasan 2. Komprehensif
3. Diperkaya dengan berbagai literasi
4. Dilengkapi dengan gambar dan atau bagan 5. Dilengkapi dengan pertanyaan
6. Dilengkapi dengan latihan 7. Dilengkapi dengan tugas
Tanggapan:
Pendahuluan
1. Memiliki prolog tentang tema
2. Memiliki tujuan pembelajaran yang akan dicapai
(50)
3. Memiliki gambaran tentang perilaku awal tentang pengetahuan, sikap, dan
keterampilan yang telah dimiliki siswa 4. Cantumkan kegunaan atau pentingnya
mempelajari bahan ajar
5. Urutan pembahasan tema yang disusun secara logis
6. Petunjuk teknis dalam mempelajari bahan ajar
Tanggapan:
Isi
1. Isi diuraikan secara garis besar 2. Isi diuraikan agak rinci 3. Isi diuraikan sangat rinci
(1)
206
Burhan Sidiq, 2015
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Dengan memerhatikan hasil analisis semiotik dan uraian simpulan, penulis merekomendasikan mite pelet marongge untuk kepentingan kajian dan apresiasi prosa fiksi khususnya untuk kajian cerita rakyat di sekolah agar peserta didik dapat mengetahui keberagaman sastra lisan di Indonesia. Peneliti juga merekomendasikan kepada para mahasiswa atau dosen khususnya jurusan bahasa Indonesia sebagai kajian dalam mata kuliah sastra nusantara atau apresiasi prosa fiksi.
Untuk diluar dunia akademisi, peneliti merekomendasikan kepada peneliti lain untuk mengkaji mite pelet marongge dari sudut pandang kelimuan lain, misalnya kajian budaya. Penulis juga merekomendasikan kepada pegiat seni untuk menulis ulang mite pelet marongge ke dalam bentuk prosa, puisi, atau drama bahkan film. Terakhir peneliti merekomendasikan kepada dinas pariwisata Jawa Barat agar menjaga dan merawat cagar budaya Makam Kramat Marongge
Demikian simpulan, implikasi, dan rekomendasi penelitian ini. Bagi peneliti lain bukan tidak mungkin untuk meneliti mite pelet marongge dengan pendekatan atau teori yang berbeda. Karena bukan tidak mungkin penelitian ini, masih menyisakan aspek-aspek yang belum diteliti. Adapun simpulan dalam penelitian ini bukanlah yang paling benar. Oleh karena itu, silakan penelitian mite pelet marongge masih terbuka luas untuk manjadi bahan kajian ilmu pengetahuan.
(2)
Burhan Sidiq, 2015
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, H. Dkk (2003) Tata bahasa baku bahasa Indonesia. Jakarta:Balai Bahasa.
Amir, A. (2013) Sastra lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi. Aminudin (1988) Semantik. Bandung: Sinar Baru.
Amstrong, K. (2002). Budha. Yogyakarta: Bentang.
Arsad, A. (2013) Media pembelajaran. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Atmazaki (2005) Ilmu sastra: teori dan terapan. Padang: Citra Budaya Bloomer, A. (2005) penggunaan bahasa dalam buku. Bandung: Bentang
Pustaka .
Brown, D. (2008) Prinsip belajar dan pembelajaran dan pengajaran bahasa . Jakarta: Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Bunanta, M. (1998) Prolematika penulisan cerita rakyat. Jakarta: Balai Pusata. Bungin, B. (2003) Analisis data penelitian kualitatif: pemahaman filsofis dan
metodologis ke arah penguasaan model aplikasi. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Chaer, A. (2002) Pengantar semantik bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. James, D. (1984) Folklor Indonesia: ilmu gosip, dongeng, dan lain-lain
. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Endraswara, S. (2002) Metodologi penelitian folklor. Yogyakarta: Media Presindo. Endraswara, S. (2013) Folklor nusantara: hakikat, bentuk, dan fungsi.
Yogyakarta: Ombak.
Etti dkk. (2012). Jangjawokan: inventarisasi puisi mantra sunda. Bandung: Dinas Pariwisata dan Kebudyaan Provinsi Jawa Barat.
Hamidi, M. (2003). Mitos-mitos dalam hikayat Abdulkadir Jaelani. Jakarta: Yayasan Naskah Nusantara.
(3)
Burhan Sidiq, 2015
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Hartata, A. (2010). Mantra pengasihan. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Huda, M. (2013) Model-model pengajaran dan pembelajaran. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hutomo, S. (1991) Mutiara yang terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Jawa Timur:HIKSI.
Kamrmini, N. dkk. Mengurai tradisi lisan dan merajut pendidikan Karakter. Denpasar: ATL.
Koentjaraningrat (1993) Manusia dan kebudayaan Indonesia. Jakarta: Djambatan. Koentjaraningrat (2009) Pengantar ilmu antropologi. Jakarta:Rineka Cipta. Koester, G.L. (2008) “Kacamata hitam Pak Mahmud Wahid atau bagaimanakah
meneliti puitika sebuah sastra lisan.” (Metologi Kajian sastra Lisan) Jakarta: ATL
Masruri. (2011). Rahasia pelet. Jakarta: Visimedia
Megawangi, R. (2004). Pendidikan karakter: solusi yang tepat untuk membangun bangsa. Bogor: Indonesia Heritage Foundution. Moleong, L. J. (2012) Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mulkan, A. M. (2001) Ajaran dan jalan kematian Syeh Siti Djenar. Yogyakarta Kreasi Wacana.
Nasiri, I. (2012) “Nilai-nilai budaya dan moral cerita-cerita rakyat Inderamayu”. Tesis. Universitas Pendidikan Indonesia.
Nasution (2010) Metode penelitian naturalistik kualitatif. Bandung: Tarsito. Nurgiantoro, B. (2009) Teori pengkajian fiksi. Yogyakarta: Gajahmada Press.
Nurgiantoro, B. (2010) Penilaian pembelajaran bahasa berbasis kompetensi. Yogyakarta: BPFE.
(4)
Burhan Sidiq, 2015
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Pradotokusumo, P. S. (2002) Pengkajian sastra lisan. Bandung: Wacana. Prastowo, A (2012) Panduan kreatif membuat bahan ajar inovetif. Yogyakarta:
Diva Press.
Pusat Bahasa (2008) Kamus besar bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia. Pudentia (2008) Metodologi kajian sastra lisan. Jakarta: ATL
Pudentia (2013) Mengurai tradisi lisan merajut pendidikan karakter. Denpasar: ATL
.
Pusposari, D. (2011) Mitos dalam kajian sastra lisan. Malang: Pustaka Kaiswaran.
Ramlan, M. ( 2005) Ilmu bahasa Indonesia sintaksis. Yogyakarta: Karyono Ricoeur, P. (2012) Teori interpretasi. Jogjakarta: IRCiSoD.
Rosidi, A. (2001). Kearifan lokal dalam perspektif budaya sunda. Bandung: Kibat
Rusmana, D. (2014) Filsafat semiotika. Bandung: Pustaka Setia.
Rusyana, Y. (1979) Novel Sunda sebelum perang. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan bahasa.
.
Rusyana, Y. (1984) Bahasa dan sastra dalam gamitan pendidikan. Bandung: Diponogoro.
Rusyana, Y. (1987). Moralitas dalam sastra daerah. Makalah pada temu Ilmiah V dan Munas IV IMBASADI. Bandung.
Santosa, P. (1993) . Ancangan semiotika pengantar sastra. Bandung: Angkasa. Semi, A. (1989) Kritik sastra. Bandung: Angkasa.
Semi, A. (1998) Anatomi sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sudikan, Y. S. (2013) “Pengethuan dan kearifan lokal dalam tradisi lisan nusantara.” (Mengurai Tradisi Lisan dan Merajut Pendidikan Karakter) Denpasar: ATL.
(5)
Burhan Sidiq, 2015
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Shanshanka, D. (2015) Ilmu jawa kuno. Jakarta: Dolphin.
Sibarani, R. (2012) Kearifan lokal: hakikat, peran dan metodologi tradisi lisan. Jakarta:ATL.
Sidiq, B. (2005) “Gagasan tasawuf dalam serat syeh Siti Jenar sebuah kajian semiotika.” Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia.
Simuh (1988). Mistik Islam Kejawen Raden Ngabei Ranggawarsita: suatu studi terhadap serat wirid hikayat jati. Jakarta: Universitas Indonesia.
Siswantoro (2010) Metodologi pelitian sastra. analisis struktur puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soekanto, O. (2001) Mahabah cinta Rabiah al Adawiyah. Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Solomon, R. (2002). Sejarah filsafat. Yogyakarta: Bentang. Srinati, D. (2007) Pupular culture. Bandung: Nuansa Cendikia. Stanton, R. (2007) Teori fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suaka, I. (2013) “Tradisi Nyepi di sawah dalam konteks mitos dan ritual.” (Mengurai Tradisi Lisan Merajut Pendidikan Karakter) Denpasar:ATL.
Sudjiman, P. (1988) Memahami Cerita rekaan. Jakarta: Pustaka: Pustaka Jaya. Sugiyono. (2008) Metode penelitian kuntitatif, kualitatif, dan R and D. Bandung:
Alfabeta.
Spadley, J. (1997) Metode etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Syamsudin, A.R. (2010) Modul struktur bahasa Indonesia. Bandung: UPI
Syamsudin, A.R. dan Vismaya S. Damaianti. (2009) Metode penelitian pendidikan bahasa. Bandung: Rosda.
Taslim, N. (1985) Lisan dan tulisan: teks dan budaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
(6)
Burhan Sidiq, 2015
ANALISIS STRUKTUR, PROSES PENCIPTAAN, KONTEKS PENUTURAN,FUNGSI, DAN MAKNA TEKS MITE PELET MARONGGE SERTA PEMANFAATANNYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Universitas Pendidikan Indonesia | \.upi.edu perpustakaan.upi.edu
Taum, Y. (2011) Studi tradisi lisan. Yogyakarta: Lamalera.
Teew, A. (1994) Indonesia antara kelisanan dan keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teew, A. (2003) Sastra dan ilmu sastra. Jakarta Pustaka Jaya. Wahyudi, A. (2014). Pesona kearifan jawa. Jogyakarta: Dipta.
Weber, M. (2013) Teori dasar analisis kebudyaan. Yogyakarta: IRcisoD. Wellek, R. dan Austin. W. (1989) Teori kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Yudi, L. (2009). Menyemai karakter bangsa: budaya kebangkitan berbasis
kesastraan. Jakarta: Buku Kompas.
Yule, G. (1996) Pragmatik. Yogyakarta Pustaka Pelajar.
Zaimar, O. (2008) Semiotik dan penerapannya dalam karya sastra. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.
Zaimar, O. (2008) “Metodologi penelitian sastra lisan.” dalam Metodologi Kajian Sastra Lisan. Jakarta:ATL.
Zoest, A. (1991) Fiksi dan nonfiksi dalam kajian semiotika. Jakarta: Intermasa. Zoest, A. (1993) Semiotika tentang tanda, cara kerjanya, dan apa yang kita
lakukan dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.