PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN ACHIEVEMENT SISWA SMP PADA POKOK BAHASAN OPTIK.

(1)

diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Fisika

oleh

Putri Aulia Diah Pratiwi NIM 1000294

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA


(2)

Oleh

Putri Aulia Diah Pratiwi

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

© Putri Aulia Diah Pratiwi 2014 Universitas Pendidikan Indonesia

Juli 2014

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

Skripsi ini tidak boleh diperbanyak seluruhya atau sebagian, dengan dicetak ulang, difoto kopi, atau cara lainnya tanpa ijin dari penulis.


(3)

disetujui dan disahkan oleh pembimbing:

Pembimbing I

Dr.Setiya Utari, M.Si. NIP. 196707251992032002

Pembimbing II

Drs. Harun Imansyah, M.Ed. NIP. 195910301986011001

Mengetahui

Ketua Jurusan Pendidikan Fisika

Dr. Ida Kaniawati, M.Si. NIP. 196807031992032000


(4)

PENERAPAN LEVELS OF INQUIRY UNTUK MENINGKATKAN ACHIEVEMENT SISWA SMP PADA POKOK BAHASAN OPTIK

Putri Aulia Diah Pratiwi NIM.1000294

Pembimbing I: Dr.Setiya Utari, M.Si. Pembimbing II : Drs. Harun Imansyah, M.Ed.

Jurusan Pendidikan Fisika, FPMIPA UPI ABSTRAK

Achievement siswa merupakan hasil yang dicapai oleh siswa setelah mengalami pembelajaran di mana terdiri dari kemampuan knowing, applying dan reasoning. Hasil studi pendahuluan peneliti memperlihatkan fakta bahwa ketiga kemampuan berpikir tersebut ternyata kurang difasilitasi dalam proses pembelajaran fisika, padahal kemampuan berpikir tersebut sangat diperlukan siswa untuk menghadapi

berbagai tantangan di masa depan. Pembelajaran levels of inquiry (LOI)

dipandang sebagai salah satu alternatif solusi pembelajaran yang memiliki

tahapan-tahapan untuk membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan

berpikir meliputi kemampuan pengetahuan (knowing), penerapan (applying) dan

penalaran (reasoning), oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai seberapa besar kontribusi yang diberikan oleh

LOI dalam meningkatkan kemampuan pengetahuan (knowing), penerapan

(applying) dan penalaran (reasoning) siswa. Instrumen tes yang digunakan untuk mengukur ketiga kemampuan tersebut secara total terdiri dari 20 soal pilihan

ganda dan 12 soal constructed response yang diadaptasi dari framework Trends in

International Mathematics and Science Study (TIMSS), dengan nilai reliabilitas masing-masing 0,53 dan 0,55 berada pada kriteria sedang serta memiliki nilai validitas konten 0,56 ≤ validitas ≤ 1 dengan kriteria sedang hingga tinggi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kuantitatif-deskriptif dengan desain penelitian one-group pretest-posttest design dan diterapkan pada 37 sampel siswa

kelas 8A di salah satu SMPN Bandung. Melalui analisis data dengan

menggunakan effect size-Cohen, diperoleh hasil penelitian yaitu terdapat

peningkatan pada kemampuan knowing, applying dan reasoning siswa setelah

diterapkannya model pembelajaran LOI dengan nilai effect size-Cohen

masing-masing sebesar 2,89, 3,85 dan 3,90, hal tersebut mengindikasikan bahwa

penerapan model pembelajaran levels of inquiry ternyata memberikan kontribusi

yang besar (large effect) terhadap peningkatan kemampuan knowing, applying dan reasoning siswa SMP pada materi optik.

Kata kunci: Achievement, Levels of inquiry, Knowing, Applying, Reasoning, Effect Size-Cohen


(5)

IMPLEMENTATION LEVELS OF INQUIRY TO IMPROVING JUNIOR HIGH SCHOOLS STUDENT’S ACHIEVEMENT IN OPTIC

Putri Aulia Diah Pratiwi NIM.1000294

ABSTRACT

Achievement is the student outcome after get the lesson and consist of knowing, applying and reasoning. The preliminary investigations researcher result exhibited fact that the learning physics at schools not facilitated student for training knowing, applying and reasoning enough, whereas that thinking ability are necessary for student to fronting the challenges in the future. Levels of inquiry models (LOI) as view as one of alternative solution which has the syntax to help students for improving thinking ability include the ability of knowing, applying and reasoning. So the purpose of this research was to obtain information about the contribution of implementation levels of inquiry model (LOI) to improve knowing, applying and reasoning. Test instrument used to measure that ability, it consists of 20 multiple choice questions and 12 constructed response which adapted from the framework Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), the reliability values of each were 0.53 and 0.55 in the moderate criteria and the range of content validity value was 0.56 ≤ val ≤ 1 with a moderate to high criterion. This research used quantitative-descriptive research methods with a one-group pretest-posttest design and it applied to 37 sample students of class 8A in one of SMPN Bandung. Based on the results of data analysis using effect size, it obtained that knowing, applying and reasoning of students increased after the implementation of LOI model with the effect size of each were 2.89, 3.85 and 3.90, this means that the implementation of levels of inquiry models gave a large effect or contribution to improving student ability of knowing, applying and reasoning on the subject of optics.

Keyword : Achievement, Levels of inquiry, Knowing, Applying, Reasoning, Effect Size-Cohen


(6)

DAFTAR ISI

PERNYATAAN... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ...iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ...xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.... L atar Belakang Penelitian... 1

B. ... I dentifikasi Masalah Penelitian ... 6

C. ... R umusan Masalah Penelitian ... 7

D.... T ujuan Penelitian ... 7

E. ... M anfaat Penelitian ... 8

F. ... S truktur Organisasi Skripsi ... 8

BAB II KETERKAITAN LEVELS OF INQUIRY DENGAN PENINGKATAN ACHIEVEMENT SISWA PADA POKOK BAHASAN OPTIK ... 9

A... I nkuiri ... 9

B. ... L evels of Inquiry... 10

C. ... A chievement... 17


(7)

D... K erangka Pemikiran ... 23 E. ... P

enelitian Terdahulu Yang Relevan... 25 BAB III METODE PENELITIAN ... 26 A... L

okasi dan Subjek Populasi atau Sampel Penelitian ... 26 B. ... D

esain Penelitian ... 27 C. ... M

etode Penelitian ... 30 D... D

efinisi Operasional ... 31 E. ... I nstrumen Penelitian ... 31 F. ... P

roses Pengembangan Instrumen ... 34 G... T

eknik Pengumpulan Data ... 43 H... A

nalisis Data ... 43 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 47 A.... H

asil Penelitian ... 47 1... A

chievement Siswa ... 47 a. ... A

chievement Siswa Secara Keseluruhan ... 47 b... A


(8)

c. ... A chievement Siswa Pada Setiap Aspek Domain Knowing ... 49 d.... A

chievement Siswa Pada Setiap Aspek Domain Applying... 50 e. ... A

chievement Siswa Pada Setiap Aspek Domain Reasoning ... 52 f. ... A

chievement Siswa Pada Domain Konten Optik ... 54 2.... K

eterlaksanaan Levels of Inquiry... 56 a. ... K

eterlaksanaan Metode Levels of Inquiry Pada Pertemuan

Pertama ... 57 b... K

eterlaksanaan Metode Levels of Inquiry Pada Pertemuan Kedua

... 63 c. ... K

eterlaksanaan Metode Levels of Inquiry Pada Pertemuan Ketiga

... 69 3... L

embar Kegiatan Siswa... 74 a. ... A

spek Domain Knowing Yang Terlatihkan Melalui LKS ... 74 b.... A

spek Domain Applying Yang Terlatihkan Melalui LKS ... 76 c. ... A

spek Domain Reasoning Yang Terlatihkan Melalui LKS ... 77

B. ... D iskusi dan Pembahasan... 78


(9)

1... P

eningkatan Achievement Siswa Secara Keseluruhan Setelah

Diterapkan Levels of Inquiry... 78

2... P eningkatan Achievement Siswa Setiap Domain Kognitif Setelah Diterapkan Levels of Inquiry... 80

3.... P eningkatan Achievement Siswa Pada Setiap Aspek Domain Knowing Setelah Diterapkan Levels of Inquiry ... 81

4... P eningkatan Achievement Siswa Pada Setiap Aspek Domain Applying Setelah Diterapkan Levels of Inquiry ... 87

5... P eningkatan Achievement Siswa Pada Setiap Aspek Domain Reasoning Setelah Diterapkan Levels of Inquiry ... 98

6.... P eningkatan Achievement Siswa Pada Domain Konten Optik Setelah Diterapkan Levels of Inquiry... 106

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 111

A.... S impulan... 111

B. ... S aran... 112

DAFTAR PUSTAKA ... 113

LAMPIRAN ... 117


(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

Dewasa ini prestasi belajar (achievement) sains siswa Indonesia secara internasional masih berada pada tingkatan yang rendah, hal tersebut dapat terindikasi melalui hasil survei internasional yang bernama TIMSS (Trends in International Mathematics and Science Study)” (Kemendiknas, 2011, hlm.1; Tjalla, 2010, hlm.2). TIMSS merupakan survei internasional yang mengukur prestasi belajar siswa kelas 4 SD, 8 SMP dan 12 SMA meliputi dimensi konten dan dimensi kognitif (knowing, applying dan reasoning) dalam bidang matematika dan sains yang diselenggarakan setiap empat tahun sekali (Mullis,I.V.S & Martin,M.O, 2013, hlm.30-31). Berdasarkan hasil TIMSS, pada tahun 1999 prestasi sains siswa Indonesia hanya mampu menduduki peringkat 32 dari 38 negara peserta, tahun 2003 menduduki peringkat ke-37 dari 46 negara peserta, tahun 2007 menduduki peringkat ke-35 dari 49 negara peserta dan tahun 2011 hanya mampu menduduki peringkat ke-40 dari 42 negara peserta (Balitbang Kemendikbud, 2011; Kompas, 2012). Perolehan hasil TIMSS tersebut menunjukkan bahwa prestasi belajar sains siswa Indonesia selalu berada pada peringkat sepuluh terbawah kecuali di tahun 2007 dan berada pada tingkatan yang rendah (low international benchmark) yaitu siswa hanya mampu mengenali sejumlah fakta dasar namun belum mampu mengkomunikasikan dan mengaitkan berbagai topik sains, apalagi dapat menerapkan konsep yang kompleks dan abstrak (Mullis,I.V.S & Martin,M.O, 2011, hlm.4-6). Indikasi lain yang menunjukkan rendahnya

prestasi belajar siswa khususnya pada kemampuan knowing, applying dan

reasoning terlihat dari hasil tes studi pendahuluan yang dilakukan peneliti dengan mengujikan enam item soal TIMSS kepada siswa kelas VIII di salah satu SMPN Kota Bandung yaitu hanya 66,67% siswa menjawab soal domain knowing dengan benar, 44,44% siswa menjawab soal domain applying dengan


(11)

padahal kemampuan knowing, applying dan reasoning merupakan kemampuan berpikir yang sangat diperlukan dalam menghadapi tantangan di abad 21 ini.

Salah satu faktor penyebab rendahnya prestasi belajar siswa adalah proses pembelajaran di sekolah yang kurang memfasilitasi siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir (Kitot, Ahmad & Seman, 2010, hlm.2). Pernyataan tersebut ternyata sejalan dengan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti selama enam bulan di salah satu SMPN Kota Bandung dimana diperoleh temuan bahwa selama proses pembelajaran fisika siswa

kurang difasilitasi untuk mengembangkan kemampuan berpikir seperti

kemampuan knowing (kemampuan menyatakan suatu fakta maupun

mendeskripsikan fenomena), kemampuan applying (kemampuan

mengaplikasikan pengetahuan pada situasi fisika yang berbeda) dan

kemampuan reasoning (kemampuan menganalisis masalah ilmiah ataupun

merancang suatu penyelidikan). Adapun aktivitas siswa selama pembelajaran hanya mendengarkan dan mencatat materi yang disampaikan oleh guru, bahkan ketika diberikan pertanyaan oleh guru, respon siswa hanya diam dan bingung. Faktor lainnya yang menjadi penyebab rendahnya prestasi belajar siswa yaitu didasarkan dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan dua orang guru fisika di salah satu SMPN Kota Bandung, beliau menyatakan bahwa “siswa sesekali melakukan kegiatan eksperimen tetapi pembelajaran fisika lebih sering menggunakan pendekatan konvensional seperti ceramah”, padahal beberapa ahli seperti Costenson & Lawson, McDermott, dan NRC (dalam Wenning, 2005, hlm.9) menyatakan bahwa cara mengajar secara

konvensional atau “teaching by telling” sangat tidak efektif untuk

mengembangkan pengetahuan (content knowledge) dan keterampilan proses (process skills). Proses pembelajaran seharusnya berorientasi pada siswa aktif belajar yaitu siswa melakukan pengamatan, menanya, mencoba, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2012, hlm.7), serta pembelajaran

seharusnya menggunakan pendekatan scientific sehingga dapat


(12)

Faktor lain yang juga ikut mempengaruhi rendahnya prestasi belajar siswa yaitu pada umumnya siswa kurang terlatih dalam menyelesaikan soal-soal dengan karakteristik berpikir tingkat tinggi seperti soal TIMSS (Kemendiknas, 2011, hlm.1-2), hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan siswa yang telah mengerjakan tes studi pendahuluan soal TIMSS, siswa menyatakan bahwa “bentuk soal yang diteskan unik, baru pertama kali mengerjakan soal dengan bentuk seperti itu, namun lebih terbiasa dengan soal hitungan dibandingkan dengan soal yang diteskan”. Selain itu, faktor lain yang juga menjadi penyebab rendahnya prestasi belajar siswa yaitu instrumen penilaian yang digunakan untuk menguji prestasi belajar peserta didik biasanya diambil dari berbagai buku atau kumpulan soal-soal ujian sehingga cenderung lebih banyak menguji aspek ingatan siswa (Kamalia Devi.P, 2011, hlm.2). Pernyataan tersebut ternyata juga sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti dengan dua orang guru fisika di salah satu SMPN Kota Bandung, beliau menyatakan bahwa “tipe soal yang diujiankan biasanya berbentuk hafalan dan hitungan”, bahkan substansi dalam instrumen penilaian prestasi belajar kurang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata yang dihadapi siswa serta kurang memfasilitasi siswa dalam mengungkapkan proses berpikir dan berargumentasi (Kemendiknas, 2011, hlm.2), padahal seharusnya instrumen penilaian prestasi belajar yang dibuat harus dapat mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi siswa (Kamalia Devi.P, 2011, hlm.1).

Temuan-temuan yang sudah dipaparkan di atas semakin menunjukkan bahwa terdapat permasalahan pada proses pembelajaran fisika di sekolah yang belum terlaksana dengan optimal untuk dapat memfasilitasi siswa dalam melatihkan kemampuan knowing, applying, reasoning , selain itu peneliti juga akan mengembangkan satu set instrumen yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar siswa. Permasalahan tersebut memang harus cepat ditemukan solusinya agar pembelajaran Fisika menjadi lebih bermakna dan lebih berorientasi kepada siswa aktif belajar, sehingga achievement siswa Indonesia tidak semakin tertinggal jauh dengan bangsa lain.


(13)

Alternatif solusi yang dipandang dapat mengatasi masalah tersebut dan

dapat meningkatkan kemampuan knowing, applying dan reasoning siswa ialah

dengan menerapkan pendekatan inkuiri. Telah banyak guru-guru yang

menggunakan beragam jenis pendekatan inkuiri seperti discovery learning,

guided inquiry ataupun free inquiry di dalam pembelajaran fisika. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa mereka hanya sekedar menggunakan beragam pendekatan pembelajaran inkuiri tanpa disertai adanya pemahaman yang komprehensif mengenai penggunaanya (Wenning, 2010, hlm.11). Akibatnya banyak pembelajaran inkuiri di sekolah yang diterapkan secara terputus-putus (disconnected process), prosesnya tidak sistematis (random inquiry processes)

dan seringkali mengalami kegagalan dalam melatihkan intellectual processes

skills yang berguna untuk mengembangkan pemahaman siswa (Wenning, 2010, hlm.11 ; 2011, hlm.17). Apalagi jika pendekatan inkuiri tiba-tiba diterapkan pada siswa yang tidak terbiasa belajar melalui proses inkuiri atau bahkan pada siswa yang seringkali diberikan pengetahuan secara langsung oleh gurunya, maka dapat dipastikan akan timbul kebingungan pada siswa dan bahkan mereka tidak dapat mengkonstruksi pengetahuannya dengan baik. Oleh karena itu, seharusnya guru lebih selektif dalam memilih jenis inkuiri mana yang akan digunakan dalam pembelajaran serta harus disesuaikan dengan kemampuan intelektual siswa dan konten materi yang akan diajarkan, sehingga penerapan pembelajaran inkuiri di kelas menjadi lebih sistematis, logis, koheren dan bertahap mulai dari pembelajaran yang melibatkan kemampuan dasar menuju pada kemampuan yang komplek.

Salah satu cara yang digunakan untuk menerapkan pendekatan inkuiri secara sistematis dan komprehensif yaitu dengan menerapakan pembelajaran levels of inquiry (LOI). Levels of inquiry merupakan hierarki pembelajaran yang dimulai dari tahap discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry laboratory, real-word application, dan diakhiri pada tahap hypothetical inquiry (Wenning, 2005, hlm.4; 2010, hlm.12; 2011, hlm. 10).

Melalui tahapan discovery learning, siswa diberikan kesempatan untuk


(14)

tahap ini melatihkan kemampuan knowing siswa. Tahap interactive demonstration memberikan kesempatan kepada siswa untuk dapat membuat prediksi dan menerapkan pengetahuannya, sehingga diharapkan tahap ini

melatihkan kemampuan applying siswa. Pada tahap inquiry lesson siswa

dilatihkan untuk merancang suatu penyelidikan hingga mengidentifikasi

prinsip atau hubungan dan melalui tahap inquiry lab siswa diberikan

kesempatan untuk menetapkan hukum empiris berdasarkan pengukuran variabel, sehingga diharapkan pada kedua tahap ini dapat melatihkan

kemampuan reasoning siswa.

Telah terdapat beberapa penelitian yang berhasil menerapkan levels of

inquiry dalam proses pembelajaran fisika, salah satunya yaitu dilakukan oleh

Rahmat Hidayat (2012) tentang “Profil Kemampuan Berinkuiri Siswa SMP

dan Hasil Belajar Siswa Setelah Diterapkan Model Pembelajaran Level of

Inquiry”. Hidayat melakukan penelitian dengan menggunakan desain

penelitian one group pretest-posttest design dan menunjukkan terjadinya

peningkatan hasil belajar dengan rata-rata gain ternormalisasi sebesar 0,53 dengan kategori sedang. Akan tetapi belum ada penelitian yang menerapkan tahapan levels of inquiry secara sekaligus dalam satu pertemuan pada pokok bahasan optik. Alasan peneliti tertarik melakukan penelitian pada pokok bahasan optik dikarenakan (1) berdasarkan dari hasil wawancara dengan guru fisika di lokasi studi pendahuluan didapatkan informasi bahwa materi optik adalah materi yang tersulit untuk diajarkan di kelas VIII; (2) karakteristik materi optik cocok diajarkan dengan pembelajaran levels of inquiry karena konten pada materi optik banyak yang dapat dijelaskan melalui penyelidikan ilmiah dan (3) banyaknya aplikasi optik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Penerapan Levels of Inquiry Untuk Meningkatan Achievement Siswa SMP Pada Pokok Bahasan Optik”.


(15)

B. Identifikasi Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, diperoleh temuan masalah bahwa pembelajaran yang kurang memfasilitasi siswa dalam melatihkan kemampuan knowing, applying dan reasoning berdampak pada rendahnya achievement siswa. Alternatif solusinya yang rasional dan memungkinkan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu diterapkannya levels of inquiry.

Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini terdapat dua variabel penelitian yaitu :

1. Variabel bebas : penerapan levels of inquiry

2. Variabel terikat : achievement siswa SMP

Sedangkan, untuk batasan masalah dalam penelitian ini antara lain yaitu (1) levels of inquiry yang digunakan mengacu pada karya Carl J. Wenning, dengan tahapan levels of inquiry yang digunakan dalam penelitian ini hanya

dibatasi pada tahap discovery learning, interactive demonstration, inquiry

lesson dan guided inquiry laboratory. Hal tersebut disesuaikan dengan keterkaitan antara aspek achievement yang dipilih dengan intellectual process skills serta disesuaikan dengan karakteristik berpikir sampel penelitian yang digunakan yaitu siswa SMP. Siswa SMP yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah siswa SMP kelas VIII A di salah satu SMP Negeri di Kota Bandung; (2) Variabel achievement yang diukur didasarkan pada dua dimensi yaitu dimensi konten dan dimensi kognitif. Dimensi konten yang digunakan dibatasi hanya konten Fisika tentang optik yaitu topik pemantulan pada cermin cekung dan cembung, pembiasan pada lensa cekung dan cembung serta

aplikasi optik tentang kamera pinhole, sedangkan dimensi kognitif yang

dimaksud ialah terdiri dari tiga domain yaitu domain knowing, applying dan reasoning. Untuk aspek domain knowing dibatasi pada aspek recall/recognize, describe dan provide example, sedangkan aspek pada domain applying dibatasi pada aspek compare/contrast/classify, relate, use models, interpret information dan explain, dan untuk aspek pada domain reasoning dibatasi

pada aspek analyze, formulate questions/hyphothesize/predict, design


(16)

C. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan identifikasi masalah penelitian, maka rumusan masalah yang

akan diteliti dalam penelitian ini adalah “Bagaimana peningkatan

achievement siswa SMP pada pokok bahasan optik setelah diterapkan levels of inquiry?” Rumusan masalah tersebut dijabarkan menjadi pertanyaan-pertanyaan penelitian yang dikembangkan sebagai berikut ini:

1. Bagaimana peningkatan achievement siswa SMP setelah diterapkan levels

of inquiry?

2. Bagaimana peningkatan achievement siswa SMP pada domain kognitif

knowing, applying dan reasoning setelah diterapkan levels of inquiry?

3. Bagaimana peningkatan achievement siswa SMP pada setiap aspek

domain kognitif knowing, applying dan reasoning setelah diterapkan levels of inquiry?

4. Bagaimana peningkatan achievement siswa SMP pada setiap topik domain

konten optik setelah diterapkan levels of inquiry ?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui peningkatan achievement siswa SMP setelah diterapkan levels

of inquiry.

2. Mengetahui peningkatan achievement siswa SMP pada domain kognitif

knowing, applying dan reasoning setelah diterapkan levels of inquiry.

3. Mengetahui peningkatan achievement siswa SMP pada setiap aspek

domain kognitif knowing, applying dan reasoning setelah diterapkan levels of inquiry.

4. Mengetahui peningkatan achievement siswa SMP pada setiap topik


(17)

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi alternatif solusi sebuah

pembelajaran yang memungkinkan melatihkan kemampuan knowing, applying

dan reasoning siswa, sebagai bukti empirik tentang potensi penggunaan levels of inquiry dalam meningkatkan achievement siswa SMP, serta memperkaya hasil penelitian sejenis sehingga nantinya dapat digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan seperti guru, praktisi pendidikan, peneliti dan lain-lain, baik sebagai pembanding, pendukung atau bahkan sebagai rujukan bagi penelitian sejenis.

F. Struktur Organisasi Skripsi

Struktur organisasi skripsi ini terdiri dari BAB I berisi mengenai uraian tentang pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, identifikasi masalah penelitian, rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.

Bab II berisi mengenai kajian pustaka tentang levels of inquiry,

achievement serta kerangka pemikiran tentang keterkaitan levels of inquiry

dengan achievement siswa.

Bab III berisi metode penelitian termasuk lokasi dan sampel penelitian,

desain penelitian, metode penelitian, definisi operasional, instrumen

penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data hingga analisis data.

Bab IV berisi pemaparan hasil penelitian dan pembahasan. Pada bagian ini

akan dipaparkan mengenai hasil dan analisis achievement siswa,

keterlaksanaan levels of inquiry setiap pertemuannya dan penilaian LKS. Bab V merupakan simpulan dan saran.


(18)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Subjek Populasi atau Sampel Penelitian

Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu SMP Negeri di kota Bandung. Alasan peneliti memilih lokasi tersebut dikarenakan sekolah tersebut memiliki sarana laboratorium IPA yang layak, alat-alat eksperimen yang ada di sekolah tersebut cukup lengkap dan sekolah tersebut telah terakreditasi A, sehingga peneliti berasumsi bahwa sekolah tersebut sesuai untuk dilakukan penelitian dengan treatment levels of inquiry.

Populasi yang diambil dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII di SMP tersebut, dengan jumlah populasi 437 orang, namun dikarenakan keterbatasan dana, tenaga dan waktu, maka peneliti hanya mengambil sampel dari populasi tersebut. Untuk penentuan ukuran sampel disesuaikan dengan saran dari ahli Roscoe yaitu “ukuran sampel yang layak dalam penelitian

adalah antara 30 sampai dengan 500 orang” (Sugiyono, 2011, hlm.131).

Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonrandom sampling yaitu pengambilan sampel yang tidak memberikan peluang yang sama bagi setiap anggota populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel, seperti yang dikemukakan oleh Fraenkel, J.R (2012, hlm.94)

bahwa“…each of the individuals selected must possess all the criteria

mentioned. Each member of the population does not have an equal chance of being selected”. Dikarenakan kondisi sekolah yang tidak memperbolehkan untuk mengubah kelas yang sudah ada, maka pengambilan sampel tidak

mungkin dilakukan secara random dan hanya mungkin dipilih secara

nonrandom sampling. Adapun teknik sampling yang digunakan ialah purposive sampling yaitu pengambilan anggota sampel dari populasi yang dilakukan dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2011, hlm.120). Beberapa pertimbangan yang dijadikan acuan pemilihan sampel yaitu didasarkan atas rekomendasi guru Fisika di lokasi penelitian yang mengetahui keadaan siswa, beliau menganjurkan kelas VIII A digunakan sebagai sampel karena kelas


(19)

tersebut relatif mudah dikondisikan dan siswanya lebih aktif dalam pembelajaran, sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut, maka sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 37 orang siswa kelas VIII A di salah satu SMP Negeri di kota Bandung tahun ajaran 2013-2014.

B. Desain Penelitian

Desain penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah one-group

pretest-posttest design. Dalam desain penelitian ini tidak terdapat kelompok pembanding atau kontrol, seperti yang dikemukakan Creswell, J.W (1994, hlm.130) bahwa “…with preexperimental design, the research does not have

a control group to compare with the experimental group”. Selain itu terdapat pretest sebelum diberikan perlakuan, seperti yang dikemukakan Fraenkel, J.R (2012, hlm. 269) bahwa “in the one-group pretest-posttest design , a single group is measured or observed not only after being exposed to a treatment of

some sort, but also before”, dengan demikian hasil perlakuan dapat diketahui lebih akurat, karena dapat membandingkan keadaan sebelum dengan keadaan sesudah diberi perlakuan (Sugiyono, 2011, hlm.110-111). Pola desain ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: (Sugiyono, 2011, hlm.111; Creswell, J.W, 1994, hlm.130; Fraenkel, J.R, 2012, hlm. 269)

O1 = pretest (sebelum diberi treatment) O2 = posttest (setelah diberi treatment) X = treatment levels of inquiry

Alasan peneliti memilih design penelitian ini adalah (1) disesuaikan

dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui peningkatan achievement

siswa SMP setelah diterapkan levels of inquiry, karena dengan desain ini peneliti dapat memperoleh peningkatan achievement siswa dari selisih nilai tes sebelum dengan sesudah diberi perlakuan; (2) disesuaikan dengan teknik sampling yang digunakan yaitu purposive sampling; (3) keterbatasan peneliti untuk dapat mengontrol semua variabel luar yang mungkin mempengaruhi penelitian.

O

1

X O

2

Gambar 3.1 One-group Pretest-Posttest Design


(20)

Secara lengkap prosedur penelitian akan dijelaskan sebagai berikut: Tahap Persiapan:

Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah :

a. Menentukan sekolah yang dijadikan lokasi penelitian, membuat surat

perizinan dari universitas dan menghubungi pihak sekolah

b. Melaksanakan studi pendahuluan, meliputi observasi, wawancara guru dan

siswa serta tes soal TIMSS untuk mengetahui kemampuan siswa.

c. Merumuskan masalah terkait adanya ketidaksesuaian antara fakta

dilapangan dengan kondisi ideal yang ada pada teori

d. Melaksanakan studi literatur dan studi kurikulum untuk mencari solusi

permasalahan

e. Menentukan variabel, sampel serta desain penelitian yang akan digunakan.

f. Menyiapkan perangkat pembelajaran berupa RPP dan LKS

g. Membuat dan menyusun instrumen penelitian berupa soal achievement

dan lembar keterlaksanaan levels of inquiry

h. Membuat dan menguji coba set alat percobaan yang akan digunakan dalam pembelajaran

i. Menjudgement instrumen penelitian kepada judgement expert

j. Merevisi kembali hasil judgment, kemudian menunjukkan instrumen yang

sudah direvisi dan meminta penilaian judgement expert

k. Melakukan uji coba instrumen dan menganalisis butir soal (validitas,

reliabilitas, tingkat kesukaran dan daya pembeda)

l. Menentukan butir soal mana yang akan dipakai

Tahap Pelaksanaan

Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah :

a. Memberikan pretest berupa tes achievement pada pokok bahasan optik

untuk mengetahui kemampuan awal siswa

b. Memberikan treatment levels of inquiry yang dilaksanakan selama tiga kali pertemuan.


(21)

c. Selama diberikan treatment, siswa diberikan Lembar Kegiatan Siswa dan juga dilakukan perekaman video serta penilaian observer pada lembar keterlaksanaan levels of inquiry

d. Memberikan posttest berupa tes achievement pada pokok bahasan optik

untuk mengetahui peningkatan achievement siswa setelah diterapkan levels of inquiry.

Tahap Akhir

Kegiatan yang dilakukan dalam tahapan ini adalah :

a. Mengolah data hasil pretest, posttest, LKS dan lembar observasi.

b. Menganalisis dan membahas hasil penelitian.

c. Memberikan simpulan berdasarkan hasil penelitian serta saran

untuk pengembangan penelitian selanjutnya.

Secara singkat prosedur penelitian digambarkan sesuai diagram di bawah ini:

TAHAP PERSIAPAN

Melaksanakan Studi literature & studi kurikulum

Merumuskan masalah, sampel,variabel dan desain penelitian

Judgement instrument dan revisi

Membuat RPP, instrument penelitian, alat percobaan Menentukan sekolah tempat penelitian

Membuat surat izin studi pendahuluan, Menghubungi pihak sekolah

Melaksanakan studi pendahuluan

Uji coba instrument dan revisi


(22)

C. Metode Penelitian

Penentuan metode penelitian didasarkan pada rumusan masalah serta tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu ingin mengetahui peningkatan achievement siswa setelah diterapkan levels of inquiry, sehingga metode penelitian yang dipilih adalah eksperimental-deskriptif. Fraenkel, J.R (2012,

hlm. 265) menyatakan bahwa karakteristik metode ini yaitu “in an

experimental study, researchers look at the effect(s) of at least one independent variable on one or more dependent variables”. Jenis metode

eksperimental yang digunakan dalam penelitian ini adalah pre-experimental

design. Jenis pre-experimental design menyaratkan bahwa sampling yang dipilih tidak boleh dilakukan secara random (Sugiyono, 2011, hlm.74) karena masih terdapat variabel luar yang ikut berpengaruh terhadap terbentuknya variabel dependen, seperti yang dikemukakan Fraenkel,J.R (2012, hlm. 269) bahwa “… poor experimental design do not have built-in controls for threats to internal validity. In addition to the independent variable, there are a

number of other plausible explanations for any outcomes that occur”. Selain itu digunakan juga metode deskriptif yaitu metode yang ditujukan untuk menggambarkan secara sistematis fakta atau karakteristik objek yang diteliti secara tepat (Sukardi, 2009, hlm. 157).

Gambar 3.2 Skema Prosedur Penelitian TAHAP

AKHIR TAHAP PELAKSANAAN

Pretest acvhievement siswa berdasarkan kerangka TIMSS

Penerapan levels of inquiry dan perekaman video

Posttest acvhievement siswa berdasarkan kerangka TIMSS

Pengolahan data penelitian

Kesimpulan dan saran Analisis data penelitian


(23)

D. Definisi Operasional

Variabel-variabel yang akan diteliti didefiniskan secara operasional sebagai berikut:

1. Levels of inquiry merupakan model pembelajaran yang diterapkan secara komprehensif dan sistematis, bertujuan untuk meningkatkan pemahaman konseptual siswa serta mengembangkan pemahaman siswa tentang penyelidikan ilmiah dan sifat ilmu pengetahuan. Tahapan pada levels of inquiry adalah discovery learning, interactive demonstration, inquiry lesson, inquiry laboratory, real-word application, dan hypothetical inquiry. Dalam penelitian ini, tahapan levels of inquiry yang digunakan

ialah mulai dari discovery learning hingga guided-inquiry laboratory

dengan alasan disesuaikan tingkat subjek penelitian yaitu siswa SMP.

Untuk melihat keterlaksanaan levels of inquiry digunakan lembar

observasi keterlaksanaan levels of inquiry dan transkrip rekaman video penerapan levels of inquiry.

2. Achievement adalah hasil yang dicapai oleh seseorang setelah mengalami

pembelajaran dan bersifat kognitif. Achievement yang dimaksud mengacu

pada kerangka penilaian TIMSS 2015 yang terdiri dari dua dimensi yaitu dimensi konten dan dimensi kognitif. Untuk menentukan seberapa besar

peningkatan achievement siswa digunakan perhitungan persentase skor

gain (selisih posttest dan pretest) serta effect size-Cohen (d).

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data. Bentuk instrumen yang digunakan adalah tes dan non

tes. Instrumen bentuk tes yang digunakan mencangkup tes achievement,

sedangkan instrumen bentuk non tes yang digunakan mencakup penilaian LKS dan transkrip video. Penjelasan instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


(24)

1. Tes achievement

Instrumen tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen tes achievement. Fraenkel, J.R (2012, hlm.127) menyatakan bahwa “achievement tests measure an individual’s knowledge or skill in a given

area or subject”. Tes ini digunakan untuk mengukur peningkatan achievement siswa setelah diberikan treatment levels of inquiry. Hal tersebut senada dengan pernyataan yang diungkapkan Fraenkel, J.R (2012, hlm.127) bahwa “achievement tests are mostly used in schools to measure learning or the effectiveness of instruction”. Tes ini dilakukan dua kali yaitu saat pretest dan posttest, dengan menggunakan soal tes yang sama, hal tersebut dilakukan untuk meminimalisir faktor lain (perbedaan kualitas instrumen) yang dapat mempengaruhi hasil pretest dan posttest, sehingga perbedaan hasil yang diperoleh benar-benar disebabkan oleh pengaruh treatment yang diberikan.

Penyusunan instrumen ini disesuaikan dengan materi, kompetensi dasar, kompetensi inti yang hendak dicapai oleh siswa dan diadaptasi dari soal-soal TIMSS. Untuk pengembangan instrumen akan dijelaskan pada

bagian proses pengembangan instrumen dan perangkat tes achievement

dapat dilihat pada lampiran 3.4.

Instrumen ini mencakup dimensi konten yaitu optik dan dimensi kognitif yaitu knowing, applying dan reasoning. Format soal pada tes ini

berupa multiple choice dengan empat alternatif pilihan dan pertanyaan

essay yang membangun respon siswa (constructed respon). Penskoran soal PG yaitu skor 1 jika menjawab benar dan 0 jika salah. Sedangkan penskoran soal CR yaitu dengan rentang skor 2 sampai 0. Sedangkan untuk jumlah soal yang diteskan pada setiap domain berbeda-beda yaitu

35% soal domain knowing, 35% soal domain applying dan 30% soal

domain reasoning. Untuk distribusi soal dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(25)

Tabel 3.1 Distribusi Soal Achievement

Domain TIMSS Nomor Soal Jumlah Soal

Domain Knowing 1,5,10,24,6,7,23,25,13,21,27 11

Domain Applying 4,11,8,22,12,29,17,20,26,2,3 11

Domain Reasoning 9,28,30,32,14,15,16,31,19,18 10

2. Lembar observasi keterlaksanaan levels of inquiry

Lembar observasi ini bertujuan untuk menilai keterlaksanaan levels of inquiry meliputi aktivitas yang dilakukan guru dan siswa. Kegiatan pembelajaran yang diamati mulai dari tahap discovery hingga inquiry lab.

Bentuk yang digunakan yaitu menggunakan bentuk checklist (√) dengan

skala Guttman (ya-tidak). Jika kegiatan yang tercantum pada lembar

observasi terlaksana dalam penerapan levels of inquiry maka observer

memberikan tanda checklist (√) pada kolom Ya dengan skor satu, begitu juga sebaliknya. Lembar observasi yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat di lampiran 3.6.

3. Transkrip video penerapan Levels of inquiry

Transkrip video ini berisi tentang gambaran interaksi siswa dan guru

selama penerapan levels of inquiry yang terekam melalui video

pembelajaran. Bentuk instrumen ini adalah time and motion logs.

Fraenkel, J.R (2012, hlm.125) menyatakan bahwa “…a time-and-motion study is the observation and detailed recording over a given period of time of the activities of one or more individuals. Melalui transkrip video ini, peneliti dapat mengambil hal penting yang kemudian dapat dianalisis

untuk mengetahui kualitas keterlaksanaan levels of inquiry. Transkrip

video yang digunakan dapat dilihat di lampiran 4.5. 4. Lembar Kegiatan Siswa (LKS)

LKS berisi tentang gambaran aktivitas siswa dari setiap tahapan levels of inquiry. LKS memiliki dua fungsi yaitu sebagai alat bantu dalam kegiatan pembelajaran serta sebagai alat untuk menilai pencapaian achievement siswa pada setiap aspek domain kognitif TIMSS. Berkaitan


(26)

dengan fungsi LKS yang kedua, LKS mampu digunakan untuk melihat

sejauh mana terlatihkannya aspek domain kognitif siswa selama

pembelajaran levels of inquiry. Format LKS dapat dilihat di lampiran 2.2. F. Proses Pengembangan Instrumen

Dalam penelitian ini tidak semua soal tes achievement yang digunakan

berasal dari tes yang terstandar, maka instrumen tersebut harus diuji terlebih dahulu supaya diperoleh instrumen yang valid dan reliabel, sehingga diharapkan dapat memberikan hasil penelitian yang benar.

1. Uji Validitas

Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila instrumen tersebut mengukur apa yang hendak diukur, artinya instrumen tersebut dapat mengungkap data variabel yang diteliti secara tepat. (Arikunto. S, 2010, hlm.211 & Sugiyono, 2011, hlm.173). Untuk melihat tingkat validitas suatu tes dalam penelitian ini, maka instrumen tes diujikan dengan dua cara:

a. Pengujian validitas isi (content validity)

Validitas isi adalah validitas yang mengecek kecocokan diantara butir-butir tes yang dibuat dengan indikator, materi atau tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan (Sugiyono, 2011, hlm.183). Validitas isi hanya dapat ditentukan berdasarkan judgement para ahli, seperti yang dikemukakan oleh Fraenkel, J.R (2012, hlm.125) bahwa

“…a common way to do this is to have someone look at the content and format of the instrument and judge whether or not it is appropriate. … someone who knows enough about what is to be measured to be a competent judge.”

Sehingga dalam penelitian ini, pengujian validitas isi dilakukan oleh tim judgement experts yang terdiri dari tiga orang dosen ahli dan satu orang guru fisika SMP yaitu Achmad Samsudin, M.Pd, Muhamad Gina Nugraha, S.Pd, M.Pd, Dr. Andhy Setiawan, S.Pd, M.Si, dan


(27)

pendapatnya untuk mengecek kesesuaian antara soal dengan konsep, kesesuaian soal dengan kerangka TIMSS dan indikator serta aspek

penyajian soal. Setelah judgement experts melakukan pengecekan

instrumen, maka selanjutnya judgement experts memberikan penilaian

terhadap setiap butir soal dengan skala penilaian berupa skala rating politomi dengan rentang nilai 1-5, kemudian peneliti melakukan perhitungan validitas isi menggunakan indeks V dari Aiken dengan alasan validitas ini hanya digunakan untuk butir yang penilaiannya menggunakan skala politomi. Adapun rumus indeks V adalah: (Ridho, A, 2013, hlm.18; Aiken, 1980, hlm.956)

Dengan: V = validitas ; N= banyaknya ahli atau panelis ; c= skor kategori tertinggi (5); = r – l ; r = nilai rating yang diberikan ahli ; l = skor kategori terendah (1).

Untuk menginterpretasi nilai validitas isi yang diperoleh dari perhitungan di atas, maka digunakan pengklasifikasian validitas seperti yang ditunjukkan pada Tabel kriteria validitas di bawah ini:

Tabel 3.2. Kriteria Validitas Ahli

Hasil Validitas Kriteria validitas

0,80 < V ≤ 1,00 Sangat tinggi

0,60 < V≤ 0,80 Tinggi

0,40 < V≤ 0,60 Cukup

0,20 < V≤ 0,40 Rendah

0,00 < V≤ 0,20 Sangat rendah

Berikut ini akan disajikan hasil rekapitulasi validitas isi berdasarkan hasil judgement ahli.

Tabel 3.3 Rekapitulasi Validitas Ahli

Kriteria Validitas Nomor Soal Jumlah Soal

Sangat tinggi 1,2,3,4,7,8,9,10,12,13,14,17,20,21,22,25,26,

28,29,30,31,32

22

Tinggi 5,6,11,15,16,19,24,27 8

Sedang 18 1

Rendah 23 1


(28)

Tidak Valid - 0 Berdasarkan Tabel 3.3, diperoleh informasi bahwa dari 32 soal pilihan

ganda dan constructed response yang dijudgement didapatkan 68,75%

memiliki kategori sangat tinggi, 25% dengan kategori tinggi, 3,125 % dengan kategori sedang dan 3,125% dengan kategori rendah. Dikarenakan soal nomor 23 menunjukkan kategori rendah maka peneliti mengganti soal tersebut.

b. Pengujian validitas empiris

Setelah dilakukan pengujian validitas isi oleh tim ahli, maka instrumen tersebut di uji cobakan kepada siswa kelas IX di SMP Negeri 12 Bandung dengan jumlah sampel uji coba 40 orang. Setelah di dapatkan hasil uji coba, langkah berikutnya yaitu pengujian validitas

butir soal yang dilakukan dengan bantuan Microsoft Excel yaitu

dengan teknik korelasi product moment dengan angka kasar yang

dikemukakan Pearson sebagai berikut :

dengan N = jumlah siswa;

= koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y = skor tiap butir soal; = skor total tiap butir soal

Dasar mengambil keputusan yaitu jika rhitung > r tabel maka item

pertanyaan berkorelasi signifikan terhadap skor total sehingga

dinyatakan valid, namun jika rhitung < r tabel maka item pertanyaan tidak berkorelasi signifikan terhadap skor total sehingga dinyatakan tidak valid. Nilai koefisien korelasi Pearson (rtabel) diambil dengan taraf signifikansi α sebesar 0,05 dan n merupakan banyaknya data yang

sesuai. Tabel Pearson dapat dilihat di lampiran 3. Untuk

menginterpretasikan nilai koefisien korelasi yang diperoleh dari perhitungan diatas, digunakan kriteria validitas butir soal yang yang


(29)

dikemukakan oleh Guilford seperti yang ditunjukkan pada Tabel di bawah ini (Arikunto S, 2009, hlm.75):

Tabel 3.4. Kriteria Validitas

Koefisien Korelasi Kriteria validitas

0,80 < r ≤ 1,00 Sangat tinggi

0,60 < r ≤ 0,80 Tinggi

0,40 < r ≤ 0,60 Cukup

0,20 < r ≤ 0,40 Rendah

0,00 < r ≤ 0,20 Sangat rendah

Berikut ini akan disajikan hasil rekapitulasi validitas butir soal pilihan ganda berdasarkan hasil uji coba instrument.

Tabel 3.5 Rekapitulasi Validitas Soal Pilihan Ganda

Kriteria Validitas Nomor Soal Jumlah Soal

Sangat tinggi - 0

Tinggi - 0

Cukup 5,8,9,10,13,16,19,20,22,28 10

Rendah 1,2,15,25,26,27 6

Sangat rendah 18,30 2

Tidak Valid 17,21 2

Berdasarkan Tabel 3.4, didapatkan informasi bahwa dari 20 soal pilihan ganda yang diujicobakan diperoleh 30% dari soal total memiliki kategori rendah, 50% memiliki kategori sedang, 10% memiliki kategori sangat rendah dan 10% memiliki kategori tidak

valid. Sedangkan untuk hasil rekapitulasi validitas butir soal

constructed respone disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 3.6 Rekapitulasi Validitas Soal Constructed Response

Kriteria Validitas Nomor Soal Jumlah Soal

Sangat tinggi - 0

Tinggi 1 1

Sedang 4,14,29,31,32 5

Rendah 3,6,7,11,12,24 6

Sangat rendah - 0

Tidak Valid - 0

Berdasarkan Tabel 3.6, diperoleh informasi bahwa dari 12 soal constructed response yang diujicobakan didapatkan 50% memiliki kategori rendah, 42% dengan kategori sedang dan 8,3% dengan kategori tinggi.


(30)

Untuk menentukan butir soal mana yang digunakan maka peneliti menggunakan pertimbangan validitas uji coba dan validitas ahli. Hal ini dikarenakan ketika uji instrumen berlangsung, sampel uji coba tidak mengerjakan soal dengan serius dan banyak yang saling mencontek, sehingga penentuan butir soal tidak mungkin sepenuhnya

didasarkan pada hasil uji coba. Oleh karena itu peneliti

mempercayakan kredibilitas tim ahli sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan penentuan butir soal. Soal yang memiliki kriteria rendah menurut validitas uji coba, terlebih dahulu dicocokkan dengan hasil validitas ahli dengan tujuan apakah memang benar soal tersebut memiliki kriteria rendah berdasarkan kedua hasil validitas. Jika hasil validitas ahli dan validitas uji coba sama-sama menunjukkan kriteria rendah maka soal tersebut direvisi atau bahkan diganti. Namun sebaliknya jika validitas ahli menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan validitas uji coba maka soal tersebut tetap digunakan.

2. Reliabilitas

Reliabilitas berhubungan dengan masalah kepercayaan. Suatu

instrumen dikatakan reliabel apabila instrumen yang digunakan beberapa

kali untuk mengukur obyek yang sama akan menghasilkan data yang sama, meskipun oleh orang, waktu dan tempat yang berbeda pula (Arikunto S, 2009, hlm.86 & Sugiyono, 2011, hlm.173). Untuk pengujian

reliabilitas instrumen, peneliti melakukan teknik internal consistency,

maksudnya ialah peneliti mengujicobakan instrumen hanya sekali saja, kemudian data yang diperoleh dari hasil uji coba di analisis. Untuk soal pilihan ganda, teknik analisis yang digunakan ialah teknik Belah Dua

(Split-Half Technique) dengan bantuan Microsoft excel, yaitu dilakukan

dengan cara membagi tes menjadi dua bagian yang relatif sama, sehingga testi mempunyai dua skor, yaitu skor belahan pertama (awal / soal nomor ganjil) dan skor belahan kedua (akhir/ soal nomor genap). Koefisien


(31)

reliabilitas belahan tes dapat dihitung dengan menggunakan rumus korelasi angka kasar Pearson sebagai berikut:

dengan: n = banyak subjek ; x1 = kelompok data belahan pertama x2 = kelompok data belahan kedua

Untuk mengetahui koefisien reliabilitas alat evaluasi keseluruhan

menggunakan rumus Spearman Brown yaitu:

Dengan :

merupakan korelasi antara skor-skor setiap belahan tes merupakan koefisien reliabilitas yang sudah disesuaikan.

Sedangkan untuk soal constructed response menggunakan teknik

analisis alpha cronbach seperti yang dikemukakan oleh Fraenkel, J.R

(2012, hlm.158) bahwa “...alpha cronbach to be used in calculating the reliability of items that are not scored right versus wrong, as in some

essay tests where more than one answer is possible”. Adapun rumus perhitungannya adalah (Arikunto S, 2010, hlm.239)

=

Dengan : ; k = banyaknya butir pertanyaan

=jumlah varians butir; =varians total

Kriteria suatu instrumen dikatakan reliable apabila koefisien

reliabilitasnya lebih besar dari r tabel. Untuk menginterpretasikan derajat reabilitas instrumen dapat menggunakan tolak ukur yang dikemukakan oleh Guilford seperti yang ditunjukkan pada tabel kriteria reliabilitas di bawah ini:


(32)

Koefisien Korelasi Kriteria reliabilitas 0,80 < r ≤ 1,00 Sangat tinggi

0,60 < r ≤ 0,80 Tinggi

0,40 < r ≤ 0,60 Cukup

0,20 < r ≤ 0,40 Rendah

0,00 < r ≤ 0,20 Sangat rendah

Berdasarkan perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan rumus spearman brown pada soal pilihan ganda dan dengan rumus alpha cronbach pada soal constructed response maka diperoleh masing-masing nilai reliabilitas yaitu 0,53 dan 0,55. Kedua nilai tersebut berada pada kategori cukup. Sehingga dapat disimpulkan bahwa instrumen tes yang digunakan pada penelitian ini memiliki tingkat keajegan yang cukup.

3.Taraf Kesukaran

Soal yang baik adalah soal yang tidak terlalu mudah atau terlalu sulit. Indeks kesukaran adalah bilangan yang menunjukkan sukar atau mudahnya suatu soal. Besarnya indeks kesukaran antara 0,00 (sukar) sampai 1,00 (mudah). Rumus mencari indeks kesukaran adalah :

keterangan :

P : indeks kesukaran

B : banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan betul JS : jumlah seluruh siswa peserta tes

Tabel 3.8. Klasifikasi Indeks Kesukaran

Indeks kesukaran Kriteria

0,00 – 0,30 Sukar

0,3 1– 0,70 Sedang

0,71 – 1,00 Mudah

(Arikunto.S, 2009, hlm..207-210) Tabel dibawah menyajikan hasil taraf kesukaran tiap butir soal setelah dilakukan uji coba instrumen

Tabel 3.9 Rekapitulasi Tingkat Kesukaran

Kriteria Nomor Soal Jumlah Soal

Sukar 17, 21, 23, 24, 25, 31, 32 7


(33)

Mudah 1,2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,16,19,27 15

Berdasarkan tabel diatas diperoleh informasi bahwa dari 32 soal yang diujicobakan maka 21,875% berada pada kategori sukar, 31,25 % berada pada kategori sedang dan 46,875% berada pada kategori mudah.

4. Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang tidak pandai. Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi. Indeks ini berkisar antara 0,00 sampai 1,00. Berbeda dengan tingkat kesukaran, pada indeks diskriminasi terdapat tanda negatif. Rumus untuk menentukan daya pembeda adalah :

Keterangan : D : daya pembeda

BA : banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal tersebut dengan benar

BB : banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal tersebut dengan benar

JA : banyaknya peserta kelompok atas JB : banyaknya peserta kelompok bawah

PA : proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar PB : proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar

Tabel 3.10. Klasifikasi Daya Pembeda

Daya pembeda Kriteria

0,71 – 1,00 Baik sekali

0,41 – 0,70 Baik

0,21 – 0,40 Cukup

0,00 – 0,20 Jelek

(Arikunto.S, 2009, hlm. 211-218) Berikut ini akan disajikan hasil rekapitulasi daya pembeda butir soal

pilihan ganda dan constructed response berdasarkan hasil uji coba

instrument.

Tabel 3.11 Rekapitulasi Daya Pembeda Soal Pilihan Ganda


(34)

Baik sekali 4,23 2

Baik 14, 22, 29 3

Cukup 6, 9,10, 11, 12, 15, 19, 20, 25, 26, 28, 32 12

Jelek 1, 2, 3, 5, 7, 8, 13, 16, 17, 18, 21, 24, 27,

30, 31

15

Berdasarkan Tabel 3.11, didapatkan informasi bahwa dari 32 soal yang diujicobakan diperoleh 6,25% dari soal total memiliki kriteria baik sekali, 9,375% memiliki kriteria baik, 37,5% memiliki kriteria cukup dan 46,8% memiliki kriteria jelek. Banyaknya soal dengan daya pembeda jelek dikarenakan saat uji coba instrumen banyak siswa yang saling bekerja sama dan menjawab secara asal. Secara keseluruhan hasil uji coba instrumen dipaparkan pada tabel di bawah ini.

Tabel. 3.12 Hasil Pengembangan Instrumen N

o

Validitas Reliabilitas Daya Pembeda Tingkat Kesukaran Validitas Ahli

Keterangan

Nilai Kategori Nilai Kategori Nilai Kategori Nilai Kategori Nilai Kategori

1 0.29 Rendah 0.53 Sedang 0 Jelek 0.95 Mudah 0.958 Sgt Tinggi Dipakai

2 0.29 Rendah 0.53 Sedang 0.1 Jelek 0.95 Mudah 0.979 Sgt Tinggi Dipakai

3 0.35 Rendah 0.55 Sedang 0.2 Jelek 0.95 Mudah 0.896 Sgt Tinggi Dipakai

4 0.51 Sedang 0.55 Sedang 0.9 Sgt Baik 0.675 Sedang 0.896 Sgt Tinggi Dipakai

5 0.57 Sedang 0.53 Sedang 0.1 Jelek 0.95 Mudah 0.771 Tinggi Dipakai

6 0.33 Rendah 0.55 Sedang 0.35 Cukup 0.8125 Mudah 0.667 Tinggi Dipakai

7 0.22 Rendah 0.55 Sedang 0.05 Jelek 0.9875 Mudah 0.938 Sgt Tinggi Dipakai

8 0.57 Sedang 0.53 Sedang 0.2 Jelek 0.9 Mudah 0.958 Sgt Tinggi Dipakai

9 0.52 Sedang 0.53 Sedang 0.25 Cukup 0.875 Mudah 0.938 Sgt Tinggi Dipakai

10 0.46 Sedang 0.53 Sedang 0.25 Cukup 0.875 Mudah 0.938 Sgt Tinggi Dipakai

11 0.34 Rendah 0.55 Sedang 0.35 Cukup 0.9125 Mudah 0.792 Tinggi Dipakai

12 0.36 Rendah 0.55 Sedang 0.4 Cukup 0.85 Mudah 0.833 Sgt Tinggi Dipakai

13 0.49 Sedang 0.53 Sedang 0.15 Jelek 0.925 Mudah 1 Sgt Tinggi Dipakai

14 0.41 Sedang 0.55 Sedang 0.6 Baik 0.35 Sedang 0.917 Sgt Tinggi Dipakai

15 0.36 Rendah 0.53 Sedang 0.3 Cukup 0.7 Sedang 0.708 Tinggi Dipakai

16 0.49 Sedang 0.53 Sedang 0.15 Jelek 0.925 Mudah 0.708 Tinggi Dipakai

17 0.17 Sgt

Rendah 0.53 Sedang 0.05 Jelek 0.125 Sukar 0.938 Sgt Tinggi Dipakai

18 0.08 Sangat

Rendah 0.53 Sedang 0.1 Jelek 0.6 Sedang 0.563 Sedang Dipakai

19 0.55 Sedang 0.53 Sedang 0.25 Cukup 0.875 Mudah 0.729 Tinggi Dipakai

20 0.5 Sedang 0.53 Sedang 0.3 Cukup 0.7 Sedang 0.938 Sgt Tinggi Dipakai

21 0.13 Sgt

Rendah 0.53 Sedang -0.15

Sangat

Jelek 0.225 Sukar 0.958 Sgt Tinggi Dipakai

22 0.5 Sedang 0.53 Sedang 0.5 Baik 0.6 Sedang 0.979 Sgt Tinggi Dipakai

23 0.63 Tinggi 0.55 Sedang 0.95 Sgt Baik 0.2625 Sukar 0.396 Rendah Diperbaiki

24 0.23 Rendah 0.55 Sedang 0.15 Jelek 0.1625 Sukar 0.771 Tinggi Dipakai

25 0.37 Rendah 0.53 Sedang 0.3 Cukup 0.2 Sukar 0.938 Sgt Tinggi Dipakai


(35)

27 0.21 Rendah 0.53 Sedang -0.05 Sangat

Jelek 0.775 Mudah 0.667 Tinggi Dipakai

28 0.46 Sedang 0.53 Sedang 0.35 Cukup 0.625 Sedang 0.896 Sgt Tinggi Dipakai

29 0.53 Sedang 0.55 Sedang 0.6 Baik 0.475 Sedang 0.875 Sgt Tinggi Dipakai

30 0.15 Sangat

Rendah 0.53 Sedang 0.15 Jelek 0.325 Sedang 0.854 Sgt Tinggi Dipakai

31 0.47 Sedang 0.55 Sedang 0.15 Jelek 0.0375 Sukar 0.938 Sgt Tinggi Dipakai

32 0.57 Sedang 0.55 Sedang 0.35 Cukup 0.1125 Sukar 1 Sgt Tinggi Dipakai

G. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut.

1. Tes

Tes yang dilakukan peneliti ialah tes achievement. Tes ini digunakan

untuk mengukur peningkatan achievement siswa sebelum dan sesudah

treatment levels of inquiry. Waktu pelaksanaannya ialah 80 menit. 2. Observasi

Teknik observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi nonpartisan karena peneliti tidak sebagai pengamat, namun peneliti meminta tiga orang yang bertugas sebagai pengamat independen artinya ketiga orang tersebut hanya mengamati kegiatan pembelajaran,

tetapi tidak terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Jenis observasi

nonpartisipan yang dipilih peneliti ialah observasi terstruktur karena observasi tersebut telah dirancang secara sistematis tentang hal apa yang akan diamati melalui lembar observasi.

3. Metode Dokumentasi dengan Video Rekaman

Video rekaman digunakan untuk merekam penerapan levels of inquiry

selama pembelajaran berlangsung. Peneliti meminta tolong satu orang untuk bertugas merekam pembelajaran. Setelah di dapatkan rekaman video maka peneliti mentranskripkan video dan menganalisis apakah tahapan levels of inquiry telah di lakukan dengan baik atau tidak.

H. Analisis Data


(36)

Teknik pengolahan data untuk tes achievement dilakukan dengan

menghitung selisih persentase skor pretest dan skor posttest serta

menghitung nilai effet size. Perhitungan effect size dimaksudkan untuk

mengetahui besarnya peningkatan achievement siswa setelah diterapkan

levels of inquiry. Rosenthal (dalam Dunst, C.J, dkk, 2004, hlm.1) menyatakan bahwa “an effect size is a measure of the magnitude of the strength of a relationship between an independent (intervention) and dependent (outcome) variable”. Selain itu, salah satu artikel yang berjudul understanding, using and calculating effect size mengemukakan bahwa

In an educational setting, effect size is one way to measure the effectiveness of a particular intervention. Effect size enables us to measure both the improvement (gain) in learner achievement for a group of learners and the variation of student performances expressed on a standardised scale. (Government of South Australia, 2014, hlm.1) Tidak hanya itu Schagen, I (2009, hlm.3) juga menyatakan bahwa effect size dapat digunakan untuk membandingkan progress dari waktu ke waktu

“… to compare progress over time on the same test (most common use)…”. Melalui effect size juga dapat menunjukkan seberapa besar

kontribusi penerapan treatment levels of inquiry terhadap achievement

siswa, seperti yang dikemukakan Schagen, I (2009, hlm.2) bahwa “an effect size is a measure that is independent of the original units of measurement; it can be a useful way to measure how much effect a treatment or intervention had”. Adapun langkah-langkah yang digunakan dalam pengolahan data adalah sebagai berikut:

a. Pemberian skor soal PG dengan metode right only, yaitu jawaban

benar diberi skor 1 dan jawaban salah atau soal yang tidak di jawab diberi skor 0. Total skor setiap siswa diperoleh dengan menghitung jawaban benar yang dijawab siswa

b. Pemberian skor soal constructed response ditentukan berdasarkan

rubrik jawaban yang telah dibuat peneliti. Rentang skor pada jawaban constructed response adalah 2 sampai 0. Total skor tiap siswa dihitung dengan menjumlahkan skor yang diperoleh.


(37)

c. Penggabungan skor pilihan ganda dan constructed response dilakukan

dengan menjumlahkan skor soal pilihan ganda dan soal constructed

response sehingga didapatkan skor total

Stotal = SPG + SCR

dengan Stotal = skor total, SPG = skor pilihan ganda dan SCR = skor constructed response

d. Perhitungan persentase skor total pretest dan persentase skor total posttest, dengan cara sebagai berikut:

e. Perhitungan persentase skor gain diperoleh dari selisih persentase skor pretest (Si) dengan persentase skor posttest (Sf). Perhitungan persentase

skor gain dapat menggunakan rumus % G = % Sf – % Si

Setelah didapatkan selisih persentase skor pretest dan skor posttest, langkah selanjutnya yaitu menghitung nilai effect size sebagai berikut:

a. Menghitung korelasi antara baseline (pretest) dengan intervention

(posttest) dengan menggunakan rumus korelasi product moment. Nilai

korelasi yang diperoleh kemudian diinterpretasi sesuai dengan Tabel 3.2 sebelumnya. Dengan perhitungan korelasi maka peneliti dapat

menentukan rumusan yang digunakan untuk menghitung besar effect

size. Dikarenakan korelasi yang diperoleh termasuk kategori kecil, maka rumus effect size yang digunakan adalah sebagai berikut:

Cohen (dalam Duns, dkk. 2004, hlm. 6)

dengan d = effect size, = mean posttest, mean pretest, =

standar deviasi pretest dan = standar deviasi posttest

b. Effect size yang telah diperoleh dari perhitungan kemudian

diinterpretasikan sesuai tabel interpretasi effect size berdasarkan


(38)

Tabel 3.13 Interpretasi Effect Size

Effect Size (d) Kategori

0,0 - 0,1 Tidak berpengaruh (negligible effect)

0,2- 0,4 Kecil (small effect)

0,4 - 0,7 Sedang (medium effect)

0,8 – tak hingga Besar (large effect)

c. Untuk pengolahan achievement siswa pada setiap topik konten optik,

peneliti menentukan tingkat penguasaan konsep siswa berdasarkan kriteria yang dikemukakan oleh Arikunto (2009) berikut ini

Tabel 3.14 Tafsiran Kriteria Kemampuan

Persentase Skor (%) Tafsiran

81-100 Sangat Baik

61-80 Baik

41-60 Cukup

21-40 Kurang

0-20 Sangat Kurang

2. Data Observasi Keterlaksanaan Levels of inquiry

Untuk mengetahui keterlaksanaan levels of inquiry, maka peneliti

melakukan perhitungan keterlaksanaan levels of inquiry dari setiap tahapan levels of inquiry yaitu dengan menggunakan rumus sebagai berikut;

Kemudian penafsiran hasil perhitungan menggunakan kategori

keterlaksanaan sesuai tabel di bawah ini.

Tabel 3.15. Interpretasi Keterlaksanaan

% kategori keterlaksanaan (KM) Kategori

KM = 0 Tidak satupun kegiatan terlaksana Sebagian kecil kegiatan terlaksana Hampir setengah kegiatan terlaksana KM = 50 Setengah kegiatan terlaksana

Sebagaian besar kegiatan terlaksana Hampir seluruh kegiatan terlaksana KM = 100 Seluruh kegiatan terlaksana

(Budiarti dalam Koswara, 2010) 3. Data Penilaian LKS (Lembar Kegiatan Siswa)


(39)

Untuk melihat seberapa besar setiap aspek domain kognitif siswa yang terlatihkan melalui LKS, maka peneliti menghitung dengan menggunakan rumus di bawah ini, kemudian menafsirkan kategori kemampuan yang terlatihkan siswa melalui hasil persentase LKS dengan menggunakan Tabel 3.14.


(40)

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan

Berdasarkan data hasil penelitian, pengolahan data dan analisis data, maka dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut.

1. Peningkatan achievement siswa SMP setelah diterapkan pendekatan levels

of inquiry berada pada kategori besar. Hal ini berarti bahwa penerapan

pendekatan levels of inquiry memiliki kontribusi yang besar dalam

meningkatkan achievement siswa SMP.

2. Peningkatan achievement siswa SMP pada domain kognitif knowing,

applying dan reasoning setelah diterapkan pendekatan levels of inquiry masing-masing berada pada kategori besar. Hal ini berarti bahwa

penerapan pendekatan levels of inquiry memiliki kontribusi yang besar

dalam meningkatkan achievement siswa SMP pada domain kognitif

knowing, applying dan reasoning.

3. Peningkatan achievement siswa SMP pada setiap aspek domain kognitif

knowing, applying dan reasoning setelah diterapkan pendekatan levels of inquiry berada pada kategori besar, kecuali pada aspek evaluate di domain reasoning yang memiliki kategori kecil. Hal ini berarti bahwa penerapan

pendekatan levels of inquiry memiliki kontribusi yang besar dalam

meningkatkan achievement siswa SMP pada setiap aspek domain kognitif

knowing, applying dan reasoning, kecuali pada aspek evaluate.

4. Peningkatan achievement siswa SMP pada setiap topik domain konten

optik setelah diterapkan pendekatan levels of inquiry berada pada kategori

besar. Hal ini berarti bahwa penerapan pendekatan levels of inquiry

memiliki kontribusi yang besar dalam meningkatkan achievement siswa


(41)

B. Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang diajukan, antara lain:

1. Seharusnya jumlah pertanyaan yang melatihkan aspek evaluate di LKS

ataupun ketika pelaksanaan pendekatan levels of inquiry ditambahkan lagi,

dengan tujuan agar achievement pada aspek evaluate dapat lebih

meningkat.

2. Ketika menerapkan pendekatan levels of inquiry, guru harus memiliki

kemampuan mengelola kelas dengan baik seperti membuat suasana kelas tetap kondusif selama pembelajaran, pengalokasian waktu yang tepat dan teknik pemberian pertanyaan arahan yang benar, dengan tujuan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan optimal.

3. Untuk penelitian selanjutnya, alangkah lebih baik jika pada desain

penelitian digunakan jenis time series design serta dibandingkan dengan kelompok kontrol.

4. Untuk mendapatkan instrumen yang sesuai maka lebih baik peneliti

mengkorelasikan antara soal TIMSS yang terstandar dengan instrument

yang dibuat, kemudian dilakukan perhitungan korelasi perbedaan

rangkingnya.

5. Ketika melakukan perekaman video pembelajaran, lebih baik setiap

kelompok direkam oleh satu kamera, sehingga hasil yang didapatkan lebih fokus dalam pengambilan gambar dan dapat benar-benar terlihat keterlaksanaannya.

6. Untuk penelitian selanjutnya, alangkah lebih baik jika semua aspek pada

domain knowing, applying dan reasoning yang dilatihkan dapat diukur,

dengan tujuan untuk mengetahui apakah pendekatan levels of inquiry

dapat meningkatkan semua aspek domain kognitif.

7. Sebelum menerapakan levels of inquiry sebaiknya siswa terlebih dahulu

dilatihkan melakukan percobaan-percobaan sederhana sehingga saat

pelaksanaan levels of inquiry siswa tidak terlalu kesulitan melakukan


(42)

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L.R. (1980). Content Validity and Reliability Of Single Items or

Questionnaires. Educational and Psychological Measurement, 40, hlm.

955-959.

Algarabel, S & Dasi, C. (2001). The definition of achievement and the construction of tests for its measurement: A review of the main trends. Spanyol: Spanish Ministry of Education and Science

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto,S. (2010). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Audia, A. (2010). Belajar dan Pembelajaran. [Online]. Tersedia di:

http://audiaaziza.blogspot.com/ . Diakses 30 April 2014.

Balitbang Kemendikbud. (2011). Survey Internasional TIMSS. [Online]. Tersedia di: http://litbang.kemdikbud.go.id/site/index.php/timss . Diakses 31 Januari 2014. Ciascai.L & Eliza D.M. (2013). What Spesific Science Abilities and Skills Romanian Student Developing During Primary Education? A Comparison With The Abilities Tested By The TIMSS 2011 Inquiry. Acta Didactica Napocensia. 6(4), hlm.29-44.

Cohen, J. (1992). A Power Primer. Psychological Bulletin. 112 (1), hlm.155-159.

Creswell,J.W. (1994). Research design: Qualitative and quantitative approaches.

USA: Sage Publication

Dahar, R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Dunst, C.J,dkk. (2004). Guidelines for Calculating Effect Sizes for Practice-Based Research Syntheses. Centerscope. 3(1).hlm.1-10.

Fraenkel, J.R, Wallen, N.E, & Hyun, H.H. (2012). How to Design and Evaluate Research in Education (eight ed). New York: Mc.Graw-Hill.

Gross. J.L. (2009). Seeing is Believing: Classroom Demonstrations as Scientific

Inquiry. [Online]. Tersedia di:

http://www.phy.ilstu.edu/pte/311content/demos/demos_as_inquiry.pdf. Diakses 01 Februari 2014


(1)

Putri Aulia Diah Pratiwi, 2014

Penerapan Levels Of Inquiry Untuk Meningkatkan Achievement Siswa Smp Pada Pokok Bahasan Optik

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu B. Saran

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang diajukan, antara lain:

1. Seharusnya jumlah pertanyaan yang melatihkan aspek evaluate di LKS ataupun ketika pelaksanaan pendekatan levels of inquiry ditambahkan lagi, dengan tujuan agar achievement pada aspek evaluate dapat lebih meningkat.

2. Ketika menerapkan pendekatan levels of inquiry, guru harus memiliki kemampuan mengelola kelas dengan baik seperti membuat suasana kelas tetap kondusif selama pembelajaran, pengalokasian waktu yang tepat dan teknik pemberian pertanyaan arahan yang benar, dengan tujuan agar proses pembelajaran dapat berjalan dengan optimal.

3. Untuk penelitian selanjutnya, alangkah lebih baik jika pada desain penelitian digunakan jenis time series design serta dibandingkan dengan kelompok kontrol.

4. Untuk mendapatkan instrumen yang sesuai maka lebih baik peneliti mengkorelasikan antara soal TIMSS yang terstandar dengan instrument yang dibuat, kemudian dilakukan perhitungan korelasi perbedaan rangkingnya.

5. Ketika melakukan perekaman video pembelajaran, lebih baik setiap kelompok direkam oleh satu kamera, sehingga hasil yang didapatkan lebih fokus dalam pengambilan gambar dan dapat benar-benar terlihat keterlaksanaannya.

6. Untuk penelitian selanjutnya, alangkah lebih baik jika semua aspek pada domain knowing, applying dan reasoning yang dilatihkan dapat diukur, dengan tujuan untuk mengetahui apakah pendekatan levels of inquiry dapat meningkatkan semua aspek domain kognitif.

7. Sebelum menerapakan levels of inquiry sebaiknya siswa terlebih dahulu dilatihkan melakukan percobaan-percobaan sederhana sehingga saat pelaksanaan levels of inquiry siswa tidak terlalu kesulitan melakukan percobaan.


(2)

113


(3)

Putri Aulia Diah Pratiwi, 2014

Penerapan Levels Of Inquiry Untuk Meningkatkan Achievement Siswa Smp Pada Pokok Bahas an Optik

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu DAFTAR PUSTAKA

Aiken, L.R. (1980). Content Validity and Reliability Of Single Items or Questionnaires. Educational and Psychological Measurement, 40, hlm. 955-959.

Algarabel, S & Dasi, C. (2001). The definition of achievement and the construction of tests for its measurement: A review of the main trends. Spanyol: Spanish Ministry of Education and Science

Arikunto, S. (2009). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Arikunto,S. (2010). Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.

Audia, A. (2010). Belajar dan Pembelajaran. [Online]. Tersedia di: http://audiaaziza.blogspot.com/ . Diakses 30 April 2014.

Balitbang Kemendikbud. (2011). Survey Internasional TIMSS. [Online]. Tersedia di: http://litbang.kemdikbud.go.id/site/index.php/timss . Diakses 31 Januari 2014. Ciascai.L & Eliza D.M. (2013). What Spesific Science Abilities and Skills Romanian Student Developing During Primary Education? A Comparison With The Abilities Tested By The TIMSS 2011 Inquiry. Acta Didactica Napocensia. 6(4), hlm.29-44.

Cohen, J. (1992). A Power Primer. Psychological Bulletin. 112 (1), hlm.155-159. Creswell,J.W. (1994). Research design: Qualitative and quantitative approaches.

USA: Sage Publication

Dahar, R.W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta: Erlangga

Dunst, C.J,dkk. (2004). Guidelines for Calculating Effect Sizes for Practice-Based Research Syntheses. Centerscope. 3(1).hlm.1-10.

Fraenkel, J.R, Wallen, N.E, & Hyun, H.H. (2012). How to Design and Evaluate Research in Education (eight ed). New York: Mc.Graw-Hill.

Gross. J.L. (2009). Seeing is Believing: Classroom Demonstrations as Scientific

Inquiry. [Online]. Tersedia di:

http://www.phy.ilstu.edu/pte/311content/demos/demos_as_inquiry.pdf. Diakses 01 Februari 2014


(4)

114

Putri Aulia Diah Pratiwi, 2014

Hidayat, R. (2012). Profil Kemampuan Berinkuiri Siswa SMP Dan Hasil Belajar Siswa Setelah Diterapkan Model Pembelajaran Levels of Inquiry. Skripsi Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Hussain,A, Azzem, M, Shakoor A . (2011). Physics Teaching Methods: Scientific Inquiry Vs Traditional Lecture. International Journal of Humanities and

Social Science, 1(19), hlm. 269-276.

Kamalia Devi, P. (2011). Pengembangan Soal “Higher Order Thinking Skill” Dalam

Pembelajaran IPA SMP/MTs. [Online]. Tersedia di: http://p4tkipa.net/data-jurnal/HOTs.Poppy.pdf. Diakses 01 Februari 2014.

Kemendikbud. (2012). Dokumen Kurikulum. Jakarta: Kemendikbud

Kemendikbud. (2013). KURIKULUM 2013 KOMPETENSI DASAR Sekolah Menengah Pertama (SMP)/ Madrasah Tsanawiyah (MTs). Jakarta: Kemendikbud.

Kemendiknas. (2011). INSTRUMEN PENILAIAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SMP: Belajar dari PISA dan TIMSS. Jakarta: Kemendiknas.

Kitot, Ahmad, Seman. (2010). The Effectiveness of Inquiry Teaching in Enhancing

Students’ Critical Thinking. International Conference on Learner Diversity

2010.

Kompas. (2012). Prestasi Sains dan Matematika Indonesia Menurun. [Online].

Tersedia di:

http://edukasi.kompas.com/read/2012/12/14/09005434/Prestasi.Sains.dan.Mat ematika.Indonesia.Menurun . Diakses 31 Januari 2014.

Koswara, T. (2010). Penerapan Model Pembelajaran Konstruktivisme Dalam Pembelajaran Fisika Untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Lambert,J & Whelan Ariza, E.N. (2008). Improving Achievement for Linguistically

and Culturally Diverse Learners Through an Inquiry-Based Earth Systems Curriculum. Journal of Elementary Science Education, 20(4), hlm. 61-79 Maqbool, A & Sofi, A. (2013). To Study the Scientific Temper and Academic

Achievement of Science and Social Science Stream Adolescents in Educational Zone Dangiwacha District Baramulla Kashmir. Elite Research Journal of Education and Review, 1(5), hlm.44-47.


(5)

Putri Aulia Diah Pratiwi, 2014

Penerapan Levels Of Inquiry Untuk Meningkatkan Achievement Siswa Smp Pada Pokok Bahasan Optik

Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu

Megawati, E. (2013). Profil Kemampuan Inkuiri dan Kemampuan Berpikir Logis Siswa SMA Dalam Penerapan Levels of Inquiry Pada Pembelajaran Fisika. Skripsi Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Mullis,I.V.S & Martin,M.O. (2013). TIMSS 2015 Assessment Frameworks. [Online].

Tersedia di: http://timssandpirls.bc.edu/timss2015/frameworks.html . Diakses 30 Januari 2014.

Mullis,I.V.S & Martin,M.O. (2011). TIMSS 2011 Assessment Frameworks. [Online]. Tersedia di: http://timssandpirls.bc.edu/timss2011/frameworks.html . Diakses 30 Januari 2014.

National Science Teachers Association (2004). Position Statement-Scientific Inquiry.

[Online]. Tersedia di

http://www.nsta.org/docs/PositionStatement_ScientificInquiry.pdf. Diakses 01 Februari 2014

Noviandini, N. (2014). Kemampuan Berinkuiri dan Hasil Belajar Siswa SMA Setelah Diterapkan Levels of Inquiry. Skripsi Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

NSES. (1996). National Science Education Standards. [Online]. Tersedia di http://www.nap.edu/openbook.php?record_id=4962&page=23. Diakses 01 Februari 2014

NRC. (2000). Inquiry and the National Science Education Standards. National Research Council Washington. National Academy Press

Oxford. (2003). Oxford Learner’s Pocket Dictionary New Edition. New York: Oxford University Press.

Permendikbud. (2013). Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 68 Tahun 2013 Tentang Kerangka Dasar dan Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah. Jakarta: Permendikbud.

Ridho,A. (2013). PENGEMBANGAN INSTRUMEN PENELITIAN. Makalah Kuliah Umum Program Studi Pendidikan Matematika Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Kalijaga. Yogyakarta.

Rustaman, N.Y, (2005). Perkembangan Penelitian Pembelajaran Berbasis Inkuiri Dalam Pendidikan Sains. Prosiding Seminar Nasional II Himpunan Ikatan Sarjana dan Pemerhati Pendidikan IPA Indonesia. Bandung, UPI Press, hlm.1-21.

Sanjaya, Wina. (2012). Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.


(6)

116

Putri Aulia Diah Pratiwi, 2014

Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung : Alfabeta

Schagen, I. (2009). How Much Difference Does It Make? Notes on Understanding, Using, and Calculating Effect Sizes for Schools. [Online]. Tersedia di : http://www.nzcer.org.nz/system/files/16886.pdf. Diakses 3 Februari 2014. Taraban, R., Box, C., Myers, R., Pollard, R., & Bowen, C. W. (2007). Effects of

activelearning experiences on achievement, attitudes, and behaviors in high school biology. Journal of Research in Science Teaching, 44(7), 960-979. Tjalla, A. (2010). Potret Mutu Pendidikan Indonesia Ditinjau dari Hasil-hasil Studi

Internasional . [Online]. Tersedia di :

http://www.pustaka.ut.ac.id/dev25/index.php?option=com_content&view=arti cle&id=2201:potret-mutu-pendidikan-indonesia-ditinjau-dari-hasil-hasil-studi-internasional&catid=75&Itemid=417 . Diakses 3 Februari 2014.

Wenning, Carl. J. (2005). Levels of inquiry: Hierarchies of pedagogical practices and inquiry processes. Journal Physics Teacher Education Online, 2(3), hlm. 3-12.

Wenning, Carl. J. (2005). Implementing inquiry-based instruction in the science classroom: A new model for solving the improvement-of-practice problem.

Journal Physics Teacher Education Online, 2(4), hlm. 9-15.

Wenning, Carl. J. (2010). Levels of inquiry: Using inquiry spectrum learning sequences to teach science. Journal Physics Teacher Education Online, 5(3), hlm. 11-20.

Wenning, Carl. J. (2011). The Levels of Inquiry Model of Science Teaching. Journal

Physics Teacher Education Online, 6(2), hlm. 9-16. .

Widyanita, IR. (2011). Penerapan Model Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Menggunakan Instrumen Tes Padanan Soal Trends in International Mathematics And Science Study Dalam Pembelajaran IPA SMP. Skripsi Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung: Tidak diterbitkan.

Wilson, C.D, dkk. (2010). The Relative Effects and Equity of Inquiry-Based and

Commonplace Science Teaching on Students’ Knowledge, Reasoning, and

Argumentation. Journal of Research in Ssience Teaching. 47 (3), hlm. 276-301.