Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi

  

GAMBARAN KETAKUTAN PADA KAUM MUDA

DI YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

  Program Studi Psikologi

Oleh:

Selvister Lucky Mery Diliantoro

  

NIM: 059114052

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2010

  

MOTTO

“Kegagalan merupakan proses menuju

keberhasilan”

  

Dipersembahkan untuk:

Diriku, Keluarga, dan Sahabat-sahabatku

  

GAMBARAN KETAKUTAN PADA KAUM MUDA

DI YOGYAKARTA

Selvister Lucky Mery Diliantoro

  

ABSTRAK

Dalam dekade terakhir, masyarakat dunia tampaknya menjadi lebih takut dan lebih khawatir

tentang keselamatan, keamanan, penerimaan sosial, dan kesehatan lingkungan daripada masa lalu

  

(Handayani, 2010). Di Indonesia sendiri sebagai negara berkembang yang tingkat kesejahteraannya

tergolong rendah, kasus gangguan kesehatan jiwa, bunuh diri, dan rendahnya ikatan sosial yang

terjadi akibat ketakutan ternyata juga terus menunjukkan peningkatan. Kondisi ini tidak terlepas

dari kehidupan kaum muda di Yogyakarta. Kaum muda dalam perkembangannya menjadi

golongan yang paling rentan terhadap perubahan sosial. Perubahan yang terjadi di Yogyakarta dari

waktu ke waktu disinyalir telah menumbangkan pola-pola kerja, komunitas, dan pertalian keluarga

yang sudah dikenal, serta menumbangkan juga cara-cara yang dikuasai dalam memahami dunia

sekitarnya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gambaran ketakutan yang

dialami oleh kaum muda di Yogyakarta saat ini. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif

deskriptif dengan menggunakan teknik wawancara semi terstruktur sebagai alat pengambilan data.

Dalam penelitian ini, peneliti mengambil 5 kaum muda sebagai responden penelitian. Responden

penelitian adalah kaum muda yang berdomisili di Yogyakarta. Usia para responden yang

digunakan berkisar dari 22-24 tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gambaran ketakutan

pada kaum muda di Yogyakarta terdiri dari 2 kategori utama yaitu ketakutan terhadap kematian

dan ketakutan akan kegagalan. Ketakutan terhadap kematian para responden muncul karena

adanya bayang-bayang kematian yang dilingkupi dengan rasa sakit, penyiksaan, dan perasaan

tertekan. Ketakutan terhadap kematian juga muncul karena adanya ikatan sosial yang cukup kuat

dan ketidaksiapan dari para responden dalam menjalani kehidupannya secara individu. Ketakutan

akan kegagalan muncul karena adanya kekhawatiran terhadap target yang dimiliki para responden

tidak terealisir, terulangnya pengalaman yang dinilai buruk dimasa lalu, dan menghadapi situasi di

luar kebiasaan. Kata kunci : ketakutan, kaum muda.

OVERVIEW OF FEAR IN YOUTH IN YOGYAKARTA

  

Selvister Lucky Mery Diliantoro

ABSTRACT

  In the last decade, people seem to be more afraid and concerned about their safety,

security, social acceptance, and environmental health than in the past (Handayani, 2010). In

Indonesia, as a developing country which has low welfare level, cases of mental health disorders,

suicide, and low social bonding that occurs that happened because of the fear factor also

increasing continuously. This condition can not be separated from the life of young people in

Yogyakarta. Youngsters on its development become the most vulnerable groups of social changes.

The changes that occurred in Yogyakarta from time to time allegedly had uprooted work patterns,

community and family ties are already known, as well as ways to subvert the well-controlled in

understanding the world around them. Therefore, researchers interested in studying about the

picture of the fear experienced by youth in Yogyakarta today. This study uses descriptive

qualitative method using semi-structured interview technique as a means of collecting data. In this

study, researchers took five young people as research respondents. The respondents were young

people who live in Yogyakarta. The age of the respondents were ranged from 22-24 years. The

results of this study indicate that the image of fear which is faced by youngsters in Yogyakarta

were consist of two main categories: the fear of death and fear of failure. Fear of death due to the

respondents appeared by the shadow of death are covered with pain, torture, and feeling

depressed. Fear of death also appeared by appear because of the strong social bonding and

unpreparedness of the respondents to run their life individually. Fear of failure arose because of

the concerns over the target possessed by the respondents did not realized, repetition of bad

experiences, and facing an unusual situation.

  Key words: fear, youth.

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Selvister Lucky Mery Diliantoro Nomor Mahasiswa : 059114052

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

  

Ketakutan pada Kaum Muda di Yogyakarta

  beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti Kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikan pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 29 September 2010 Yang menyatakan, Selvister Lucky Mery Diliantoro

KATA PENGANTAR

  Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Gambaran Ketakutan Kaum

  Muda di Yogyakarta.

  Dalam menyelesaikan penelitian ini, peneliti banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Peneliti ingin mengucapkan terima kasih kasih secara tulus kepada orang-orang yang telah menginspirasi peneliti selama kuliah dan melakukan penelitian ini :

  1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani selaku dekan Fakultas Psikologi Sanata Dharma sekaligus dosen pembimbing skripsi yang telah dengan tulus merelakan energi, waktu, dan fasilitas secara total dalam membimbing dan membagikan ilmu kepada peneliti.

  2. Ibu ML. Anantasari, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing akademik peneliti. Terima kasih atas bimbingan dan kepercayaan Ibu.

  3. Ibu Dr. Tjipto Susan, M.Si. dan Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen penguji.

  4. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pendidik dan panutan bagi peneliti.

  5. Segenap karyawan Fakultas Psikologi: Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Doni, Pak Gi yang telah banyak membantu peneliti selama studi, Matur Nuwun nggih atas pelayanannya.

  6. Keluargaku tercinta dan Elisabeth Galih lokajati atas cinta kasih, dukungan, dan canda tawa selama ini.

  7. Ibu Risa Permanadeli atas pengalaman penelitian dan dukungannya.

  8. Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2005 untuk kebersamaan selama ini.

  9. Teman-teman Kontraksi’05 (Tristan, Hanes, Aan, Arya, Bagus, Bayu, Tesi, Budi “kempol”, Renda “kriwil, dll.) untuk pengalaman yang tak terlupakan selama ini.

  10. Teman-teman “Repsos & Taman Cemara” (Bella, Arya, Shinta, Tiwi, Lilo, Alma, dan Wida), Baka, Wandan, dan Nur untuk semua dukungan dan perjuangan bersama yang luar biasa.

  11. Teman-teman “MAGiS & Sr. FCJ” atas doa dan dukungannya selama ini.

  12. Teman-teman “Dragadoel Vespa”, “Retroland Rip” (Lukas, Masteng, dkk.), OMK Salam, dan Tim ADT (Bora, Sutaboy, Dita, dll.) atas kebersamaannya.

  13. Semua pihak yang tak dapat peneliti sebutkan satu persatu yang telah membantu peneliti.

  Akhir kata, peneliti menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

  DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ...................................................................................... iii HALAMAN MOTTO .................................................................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................................... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ....................................................................... vi ABSTRAK .................................................................................................................. vii ABSTRACT ............................................................................................................... viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ................................ ix KATA PENGANTAR ................................................................................................... x DAFTAR ISI ............................................................................................................... xii

  BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1 A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 6 C. Tujuan Penelitian .................................................................................................. 6 D. Manfaat Penelitian ................................................................................................ 6 BAB II. LANDASAN TEORI ...................................................................................... 7 A. Ketakutan .............................................................................................................. 7

  1. Pengertian Ketakutan ................................................................................... 7

  2. Sumber Ketakutan ........................................................................................ 8

  B. Kaum Muda ........................................................................................................... 9

  C. Gambaran Ketakutan Kaum Muda di Yogyakarta ............................................. 11

  BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ................................................................... 13 A. Jenis Penelitian ................................................................................................... 13 B. Desain Penelitian ................................................................................................. 14 C. Lokasi dan Subyek Penelitian ............................................................................. 16

  1. Lokasi Penelitian ........................................................................................ 16

  2. Subyek Penelitian ...................................................................................... 17

  D. Batasan Istilah ..................................................................................................... 18

  E. Metode Pengumpulan Data ................................................................................. 18

  1. Wawancara ................................................................................................. 18

  2. Observasi ................................................................................................... 19

  F. Metode Analisis Data .......................................................................................... 19

  1. Organisasi Data .......................................................................................... 20

  2. Koding dan Kategorisasi ............................................................................ 21

  3.Penafsiran Data ........................................................................................... 22

  G. Keabsahan Data Penelitian ................................................................................. 22

  1. Kredibilitas ................................................................................................. 22

  2. Confirmability ............................................................................................ 23

  BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................................... 24 A. Hasil Penelitian ................................................................................................... 24

  1. Penelitian Pendahuluan .............................................................................. 24

  2. Pelaksanaan Penelitian ............................................................................... 26

  B. Hasil Penelitian ................................................................................................... 27

  1. Gambaran Ketakutan pada Kaum muda di Yogyakarta ............................ 27

  2. Gambaran Ketakutan Masing-masing Responden Penelitian .................... 33

  3. Integrasi Ketakutan Para Responden Penelitian ....................................... 52

  C. Pembahasan ......................................................................................................... 54

  BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 62 A. Kesimpulan ......................................................................................................... 62 B. Keterbatasan Penelitian... .................................................................................... 63 C. Saran............... ..................................................................................................... 63 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 65 LAMPIRAN ................................................................................................................ 68

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perubahan dunia sekitar, baik yang bersifat konstruktif maupun destruktif, menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan manusia. Setiap terjadi perubahan lingkungan, manusia harus mengambil keputusan pribadi sebagai konsekuensi interaksi manusia dengan dunia sekitarnya. Kegagalan manusia dalam menemukan orientasi di tengah berbagai

  kemungkinan yang tak terhitung banyaknya berpotensi menimbulkan ketakutan yang menjadi salah satu ancaman terhadap kebermaknaan hidup manusia. Sebaliknya, keberhasilan menemukan orientasi dan membuat keputusan pribadi dalam mengatasi krisis mendatangkan pengalaman-

  pengalaman emosi positif (Sumanto, 2006).

  Dalam dekade terakhir, masyarakat dunia tampaknya menjadi lebih takut dan lebih khawatir tentang keselamatan, keamanan, penerimaan sosial, dan kesehatan lingkungan daripada masa lalu (Handayani, 2010). Kondisi ini menghasilkan pengalaman emosi negatif berupa ketakutan yang lebih tinggi. Berbagai macam ancaman terhadap diri seseorang dinilai semakin meningkat. Beberapa di antaranya adalah acaman kejahatan dan kekerasan, perang nuklir, berbagai penyakit seperti AIDS, ketakutan akan serangan terorisme, kekhawatiran akan serangan flu babi, hingga pemanasan global.. Untuk menunjukkan betapa tingginya tingkat ketakutan, beberapa ahli memberi label abad ini sebagai abad ketakutan, meski ketakutan itu sendiri sesungguhnya sudah ada sejak manusia ada (Handayani, 2010).

  Di Indonesia sendiri sebagai negara berkembang yang tingkat kesejahteraannya tergolong rendah, kasus gangguan kesehatan jiwa yang terjadi akibat ketakutan ternyata juga terus menunjukkan peningkatan. Menurut data riset kesehatan dasar tahun 2007 yang diadakan Departemen Kesehatan, gangguan mental emosional (depresi dan kecemasan) dialami sekitar 11,6 persen dari seluruh populasi Indonesia yang usianya di atas 15 tahun. Sementara data tahun 2009 menunjukkan jumlah masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan jiwa seperti stress, depresi, cemas berlebihan, ketakutan, hingga kasus parah schizophrenia mencapai angka 20-30 persen (Bararah, 2009). Dari jumlah itu, 2-3 persennya mengalami gangguan jiwa kronis kegilaan dan schizophrenia. Bahkan, setiap tahun tercatat, lima puluh ribu orang Indonesia melakukan tindakan bunuh diri.

  Sebagai perbandingan, kota besar seperti Jakarta, angka gangguan mental emosional dan gangguan jiwa berat jauh lebih tinggi dibandingkan kota lain. Untuk angka kematian karena bunuh diri saja, di Jakarta, mengalami peningkatan sepanjang tahun 2009. Khususnya untuk kota besar, salah satu penyebab tingginya angka depresi adalah gaya hidup yang individual. Ikatan sosial yang terbentuk antar individu bukan lagi menjadi sebuah prioritas utama. Hubungan yang terjalin antar individu hanya tampak di permukaan saja dengan tingkat keterikatan yang cenderung rendah. Korelasi dengan menunjukkan bahwa penurunan keterikatan sosial dan peningkatan bahaya lingkungan tampaknya bertanggung jawab atas meningginya tingkat ketakutan (Twenge, 2000). Penurunan ikatan sosial juga tidak lepas dari meningkatnya kebebasan masyarakat. Masyarakat yang memiliki tingkat keterikatan sosial yang rendah menghasilkan sosok-sosok pribadi yang mudah takut (Fukuyama, 1999).

  Ketakutan adalah reaksi manusia saat mengidentifikasikan bahaya eksternal secara objektif yang dapat membuat seseorang merasa diserang pertahanan dirinya (Zimbardo, 2002). Pendapat tersebut diperkuat dengan pendapat Seligman (1975) dan Schwartz (1989) (dalam Gleitman, 1991) yang menyatakan bahwa ketakutan adalah kondisi emosional yang berasal dari objek spesifik. Ketakutan juga merupakan emosi dasar manusia yang akan selalu ada pada setiap individu. Menurut Darwin (1872) (dalam Twenge, 2000), ketakutan juga berfungsi untuk memperingatkan potensi bahaya dan defensif yang memicu reaksi fisiologi dan psikologis.

  Kaum muda dalam perkembangannya menjadi golongan yang paling rentan terhadap perubahan sosial. Tahap perkembangan kaum muda dalam pencarian jati diri saat ini justru dihadapkan dengan banyaknya persaingan dan pilihan hidup yang beraneka ragam. Kota Yogyakarta sendiri sebagai kota yang tergolong didominasi oleh kaum muda saat ini sedang mengalami perubahan ke arah industrialisasi urban sehingga dikhawatirkan dapat berdampak pada meningkatnya tingkat ketakutan bagi masyarakat terkhusus

  

cultural shock . Perubahan yang terjadi di Yogyakarta dari waktu ke waktu

  telah menumbangkan pola-pola kerja, komunitas, dan pertalian keluarga yang sudah dikenal, serta menumbangkan juga cara-cara yang dikuasai dalam memahami dunia sekitarnya. Sebagai contoh, relasi yang tumbuh pada kaum muda cenderung mengarah kepada hal-hal yang berbau materialistis.

  Hubungan pertemanan antar kaum muda terjadi bukan lagi karena ada kedekatan emosional diantara mereka tapi lebih pada apa yang mereka gunakan, seperti gaya berpakaian yang sama, gaya rambut yang sama, kendaraan yang sama, dan lain sebagainya.

  Sebagian masyarakat memandang bahwa Yogyakarta telah berubah. Perubahan ini dapat dirasakan dari berbagai gejala-gajala yang muncul seperti perubahan nilai dan gaya hidup serta pola konsumsi (Subanar, 2007). Nilai utama budaya Jawa, yaitu nilai komunal yang menekankan kebersamaan masyarakat, saat ini mulai luntur akibat meningkatnya kedudukan nilai ekonomi dalam masyarakat.

  Tawaran gaya hidup modern yang ditawarkan adalah gaya hidup konsumsi. Hal ini dapat terlihat dari perubahan wajah kota Yogyakarta, jalan kota Yogyakarta dipenuhi billboard, spanduk-spanduk yang mengiklankan barang-barang konsumsi. Penampilan luar menjadi penting sebagai cara ekspresi yang baru (Miles, 1998), demikian pula bagi masyarakat Yogyakarta. Hal ini terlihat dari menjamurnya toko-toko yang menjual barang-barang yang mencerminkan gaya hidup materialis seperti pakaian serta alat-alat mengerjakan tugas ataupun browsing internet di tempat-tempat nongkrong seperti kafe ataupun mall tanpa mempedulikan orang di sekitarnya.

  Keberadaan kaum muda di Yogyakarta dalam hal ini sebenarnya berada di posisi yang dilematis. Di satu sisi prinsip hidup Jawa yang telah tertanam dalam masyarakat menjadi pegangan yang mau tak mau harus dimiliki kaum muda sebagai penerus di masa yang akan datang. Namun di lain hal, kehidupan modern yang telah merambah kota Yogyakarta juga menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi. Pergulatan dalam menjalani kehidupan tersebut yang disinyalir dapat menimbulkan kebingungan dan mengarah pada ketakutan kaum muda di Yogyakarta saat ini.

  Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gambaran ketakutan yang dialami oleh kaum muda di Yogyakarta saat ini.

  Usia para responden yang digunakan berkisar dari 22-24 tahun. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui ketakutan apa yang muncul pada kaum muda di Yogyakarta. Hal ini dapat membantu menentukan pendekatan yang sesuai bagi kaum muda di Yogyakarta. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menghasilkan pemahaman yang lebih tepat dan kontekstual terkait dengan kaum muda saat ini.

  B. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah penelitian ini adalah : Bagaimana gambaran ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta?

  C. Tujuan Penelitian

  Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang gambaran ketakutan yang dialami oleh kaum muda di Yogyakarta.

  D. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoretis

  Penelitian ini berguna untuk memperoleh gambaran ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta. Dalam dunia psikologi, penelitian ini dapat memperkaya kajian di bidang psikologi perkembangan, klinis, dan sosial.

b. Manfaat Praktis

  Sebagai bahan evaluasi bagi pihak pemerintahan, lembaga-lembaga terkait, dan orangtua sehingga mampu mengambil tindakan pendampingan yang tepat dalam menghadapi ketakutan kaum muda.

BAB II LANDASAN TEORI Berikut ini merupakan landasan teori yang mendasari penelitian

  ‘Gambaran Ketakutan pada Kaum Muda di Yogyakarta’. Dalam landasan teori ini akan dibahas mengenai pengertian ketakutan, kaum muda, dan deskripsi ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta.

A. Ketakutan 1. Pengertian Ketakutan

  Seligman (1975) dan Schwartz (1989) (dalam Gleitman, 1991) mengungkapkan bahwa ketakutan adalah kondisi emosional yang berasal dari objek spesifik. Ketakutan juga merupakan emosi dasar manusia yang akan selalu ada pada setiap individu. Respon fight or flight yang terdapat pada sistem syaraf simpatetik mengijinkan individu untuk merespon secara cepat ketika menghadapi beberapa ancaman yang akan hadir segera (Carson, 2000). Ketakutan secara subjektif juga bisa berubah seketika dari ketakutan yang normal menjadi ketakutan yang sangat kuat (Carson, 2000).

  Ketakutan mempunyai 3 komponen. Komponen yang pertama adalah kognitif atau subjektif yang terjadi saat seseorang mengatakan bahwa dirinya takut. Komponen yang kedua adalah fisiologis yang bisa ditunjukkan dengan detak jantung yang meningkat atau nafas yang berat. Komponen yang ketiga adalah perilaku yang ditunjukkan dengan keinginan kuat untuk melarikan diri (Lang dalam Carson, 2000). Ketiga komponen ini bisa muncul secara tidak bersamaan, maksudnya adalah bahwa seseorang mungkin hanya memperlihatkan indikator ketakutan secara fisiologis dan perilaku tanpa memperlihatkan komponen subjektif (Lang dalam Carson, 2000).

2. Sumber Ketakutan

  Ketakutan sendiri atau hakikat rasa takut menurut Moreno (1985) memiliki dua sumber utama: pertama, penglihatan adanya ancaman yang nyata, dan yang kedua, hilangnya simbol-simbol atau tanda-tanda keselamatan, dimotivasi oleh adanya kebutuhan akan rasa aman dari kondisi-kondisi eksternal, antara lain kematian.

  Sama seperti Dister (1988) yang mengatakan bahwa harus dibedakan antara ketakutan yang ada objeknya, seperti takut pada musuh, takut pada anjing, takut pada dosen penguji, dan seterusnya di satu pihak, dan ketakutan yang tidak ada objeknya, takut begitu saja, cemas hati: orang memang takut, tetapi tidak tahu kenapa ia takut atau apa saja yang ia takuti. Ketakutan tanpa objek itu dapat bersifat patologis (neorosis atau malah psikosis), namun sama sekali tidak harus bersifat demikian. Ketakutan tanpa objek itu bukan selalu gejala penyakit mental, tetapi dapat juga bersifat tanda kemanusiaan.

  Ketakutan ada bersama manusia karena itu sungguh-sungguh memanusiakan manusia, ketakutan menjadi berbeda karena ada objek dan tanpa objek. Di dalam jenis perasaan takut karena ada objek, kita merasakan takut yang dihubungkan secara khusus dengan bahaya tertentu yang jelas-jelas ada di hadapan kita. Ada hubungan langsung antara bahaya atau ancaman yang langsung dengan keutuhan fisik serta rasa takut tersebut. Sedangkan rasa takut tanpa objek bersumber dari perasaan dalam jiwa seseorang yang merasa keberadaan hidupnya terancam, namun di mana letak sebenarnya ancaman tersebut sulit diketemukan.

  Berdasarkan uraian tersebut, maka ketakutan dapat diartikan sebagai kondisi emosional dasar pada individu saat mengidentifikasikan bahaya eksternal yang berasal dari objek spesifik yang dapat membuat seseorang merasa diserang pertahanan dirinya. Ketakutan merupakan emosi dasar manusia yang bisa berubah dari keadaan normal ke ketakutan yang sangat kuat. Tiga komponen dari ketakutan adalah kognitif, fisiologis, dan perilaku.

  Ketiganya bisa hadir secara tidak bersamaan. Ketakutan dapat bersumber dari penglihatan terhadap ancaman yang nyata dan lenyapnya simbol-simbol keselamatan berupa kebutuhan akan rasa aman dari kondisi eksternal.

B. Kaum muda

  Kaum muda adalah golongan yang baru saja meninggalkan masa remaja dan mulai menapaki masa dewasa awal. Pada tahap dewasa awal, pembentukan jati diri menjadi penting karena pada masa ini perkembangan dan mensintesiskan jati dirinya pada masa kanak-kanak untuk membangun suatu jalan untuk menuju kematangan kaum dewasa (Santrock, 2005). Pada masa ini, menurut Erikson (dalam Larsen & Buss, 2005), kaum muda berjuang untuk melepaskan dirinya dari orangtuanya, berhenti bersandar pada orangtuanya, dan memutuskan nilai-nilai apa yang akan dipegangnya dan apa tujuan yang ingin dicapainya di masa depan.

  Di samping itu, saat memasuki masa dewasa awal, kaum muda juga memiliki tugas perkembangan untuk berelasi dalam masyarakat sosial.

  Mereka memandang diri mereka termasuk dalam satu atau lebih kelompok dalam masyarakat, keluarga, pekerjaan, pendidikan, etnik atau ras, dan komunitas lainnya (Brym & Lie, 2007). Mereka mengembangkan identitas yang sesuai dengan kategori sosial di mana mereka tergabung, karena itu perilaku dan keyakinannya pun sesuai dengan aturan yang berlaku dalam kategori sosial ini (Brym & Lie, 2007). Ketegori sosial ini terus berubah seiring perkembangan waktu, jadi kaum muda pun terus berusaha mengikuti perkembangan tersebut. Dengan demikian, identitas kaum muda pun fluktuatif, belum stabil, terus berkembang hingga sepanjang hidupnya (Brym & Lie, 2007; Santrock, 2005). Kaum muda terus membangun identitas dirinya melalui diskursus sosial dan budaya di mana ia berada.

  Berdasarkan uraina tersebut, maka kaum muda dapat diartikan sebagai golongan yang sedang mengalami transisi dari masa remaja menuju masa dewasa. Pada tahap ini kaum muda mulai melepaskan diri dari ketergantungan terhadap orangtua, membuat keputusan-keputusan pribadi, dan mulai mengembangkan relasi dengan lingkungan sekitar.

  C. Gambaran Ketakutan Kaum Muda di Yogyakarta

  Ketakutan merupakan kondisi emosional dasar pada individu saat mengidentifikasikan bahaya eksternal yang berasal dari objek spesifik yang dapat membuat seseorang merasa diserang pertahanan dirinya. Ketakutan merupakan emosi dasar manusia yang bisa berubah dari keadaan normal ke ketakutan yang sangat kuat. Tiga komponen dari ketakutan adalah kognitif, fisiologis, dan perilaku. Ketakutan bersumber dari penglihatan terhadap ancaman yang nyata dan lenyapnya simbol-simbol keselamatan berupa kebutuhan akan rasa aman dari kondisi eksternal.

  Yogyakarta sendiri sebagai lokasi penelitian telah mengalami perubahan ke arah industrialisasi dengan lebih mementingkan nilai ekonomi dalam masyarakat. Sebagai contoh, hampir jarang kita temui lagi di kota Yogyakarta kegiatan seperti “sambatan” yang sebenarnya menjadi tradisi Jawa yang tumbuh dalam masyarakat di kota ini. Justru sikap tolong- menolong kini telah dinilai dengan uang, ketika orang yang dibantu mampu membayar maka dorongan untuk membantu dari orang lain atau masyarakat disekitarnya akan semakin tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat kota Yogyakarta sendiri sedang berada pada keterasingan. Kehidupan sosial yang pada mulanya dibentuk dari sesuatu yang diketahui, disusun dan dibentuk oleh kebiasaan, kini menjadi sesuatu yang semakin anonim (Handayani, 2005). Kehidupan masa ini menuntut individu untuk selalu siap berubah dan mengikuti perubahan tanpa arah yang bisa saja menimbulkan ketakutan pada diri individu untuk menghadapinya.

  Perkembangan kehidupan kaum muda di Yogyakarta sendiri menunjukkan adanya indikasi untuk selalu mengikuti perubahan jaman tanpa terlalu memperdulikan nilai-nilai sosial yang telah ada di lingkungannya. Salah satu contoh yang dapat kita lihat adalah gaya hidup kaum muda di Yogyakarta saat ini. Kaum muda di kota ini lebih tampak berlomba-lomba untuk selalu berpenampilan trendi sesuai dengan mode yang sedang marak dipasaran dengan sekmentasi kaum muda. Hal ini berdampak pula pada relasi yang mereka jalani. Kaum muda cenderung akan berelasi dengan rekan- rekannya yang memiliki gaya hidup atau penampilan yang sama, sehingga pertemanan akan cenderung tampak karena adanya nilai material saja bukan lagi karena kedekatan emosional. Nilai komunal yang menjadi tradisi budaya Jawa pun tampak perlahan-lahan mulai menghilang. Kondisi demikian tentunya akan menimbulkan ketakutan bagi kaum muda, karena bila mereka tidak dapat berpenampilan sesuai dengan rekan-rekan sebayanya maka mereka akan merasa tidak diterima oleh lingkungan sebayanya.

  Dengan demikian, gambaran ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta merupakan pengalaman-pengalaman yang muncul pada kaum muda dari kondisi emosional ketika mengidentifikasi ancaman eksternal yang berasal dari objek spesifik di lingkungan mereka.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif. Menurut Bogdan dan Tylor (dalam Moleong, 2006), metode kualitatif sebagai prosedur

  penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati, selanjutnya Poerwandari (2005) menyatakan penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkripsi wawancara dan catatan laporan.

  Definisi penelitian kualitatif menurut Creswell (2007) adalah proses pencarian data untuk memahami masalah sosial yang diperoleh dari situasi yang alamiahnya. Penelitian kualitatif bertujuan untuk menggali dan memahami inti sebuah masalah sosial atau fenomena yang dialami individu secara alamiah dalam suatu konteks khusus dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Creswell, 2007; Moleong, 2006). Dalam penelitian ini, peneliti memberikan pertanyaan yang luas dan umum kepada responden, mengumpulkan pandangan secara detail berdasarkan kata-kata dan kesan partisipan, kemudian menganalisis informasi tersebut untuk menentukan tema utamanya dan mendeskripsikannya. Berdasarkan data tersebut, peneliti menginterpretasikan makna informasi yang menggambarkan refleksi personal.

  Penelitian bersifat deskriptif adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu (Suryabrata, 2002). Menurut Peshkin (dalam Leedy & Ormrod, 2005) penelitian bersifat deskriptif dapat mengungkap situasi, seting, proses, hubungan, sistem, dan orang-orang secara alami. Dengan pendekatan ini, berbagai dimensi gejala-gejala psikologi dapat digali dan diuraikan secara intensif (Suwignyo, 2002). Kekuatan dari penelitian ini adalah pada kekayaan interpretasi data. Pendekatan ini menekankan pada analisa data melalui pemetaan data ke dalam kategori-kategori yang dasar pembentukannya jelas, sistematis, dan logis (Suwignyo, 2002). Bobot data pertama ditentukan oleh kedalaman interpretasi dan pemaknaan data oleh peneliti, bukan mutu objektif (mutu empiris) data tersebut. Oleh karena itu, dalam penelitian ini peneliti harus memiliki kepekaan untuk mencatat, merekam, dan menangkap detil-detil fakta diamati selama obeservasi dan kemampuan merefleksikan detil-detil fakta tersebut.

  Berdasarkan definisi tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan pemahaman ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta.

B. Desain Penelitian

  Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Menurut Poerwandari (1998) penelitian kualitatif memilki merupakan studi dalam situasi alamiah (naturalistic inquiry) yaitu: desain yang bersifat alamiah, dalam arti peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi seting penelitian. Menggunakan analisis induktif, dalam artian peneliti mencoba memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri.

  Kontak personal langsung peneliti di lapangan, agar peneliti memperoleh pemahaman secara jelas tentang realitas dan kondisi nyata kehidupan sehari- hari. Penelitian kualitatif menekankan pada perspektif holistik, perspektif dinamis, dan perspektif perkembangan yaitu: keseluruhan fenomena perlu dimengerti sebagai suatu sistem yang kompleks dan bahwa yang menyeluruh.

  Penelitian kualitatif melihat gejala sosial sebagai sesuatu yang dinamis dan berkembang, bukan sebagai suatu hal yang statis dan tidak berubah dalam perkembangan kondisi dan waktu. Peneliti mengamati dan melaporkan objek yang diteliti dalam konteks perkembangan atau perubahan tersebut. Dikatakan berorientasi pada kasus unik, karena dalam penelitian kualitatif akan menampilkan kedalaman dan detil, karena fokusnya memang penyelidikan yang mendalam pada sejumlah kecil kasus. Netralitas empatik, mengacu pada sikap peneliti terhadap subjek yang dihadapi dan diteliti, sementara netralitas mengacu pada sikap peneliti yang tanpa dugaan tentang hasil-hasil yang harus didukung atau ditolak (bersikap netral). Mengacu pada fleksibilitas desain, yaitu: desain penelitian yang bersifat luwes, akan berkembang sejalan dengan bekembangnnya pekerjaan lapangan dan peneliti sebagai instrumen kunci, yaitu peneliti berperan besar dalam keseluruhan proses penelitian, mulai dari memilih topik, mendekati topik tersebut, mengumpulkan data hingga menganalisis dan menginterpretasikannya.

  Berdasarkan ciri-ciri tersebut, maka pendekatan kualitatif deskriptif adalah pendekatan yang sesuai dengan tujuan utama penelitian ini yaitu mengetahui atau melakukan penggalian, faktual, akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat pada populasi atau daerah tertentu. Peneliti mencoba memberikan gambaran ketakutan pada kaum muda di Yogyakarta.

C. Lokasi dan Subjek Penelitian 1. Lokasi penelitian

  Yogyakarta dikenal sebagai kota budaya yang memiliki ikatan tradisi yang masih sangat kuat (Subanar, 2007). Namun saat ini Yogyakarta tidak lepas dari arus perubahan perkembangan jaman (Subanar, 2007). Sebagian masyarakat memandang bahwa Yogyakarta telah berubah. Perubahan ini dapat dirasakan dari berbagai gejala-gajala yang muncul seperti perubahan nilai dan gaya hidup serta pola konsumsi (Subanar, 2007). Nilai utama budaya Jawa, yaitu nilai komunal yang menekankan kebersamaan masyarakat, saat ini mulai luntur akibat meningkatnya kedudukan nilai ekonomi dalam masyarakat.

  Keberadaan kaum muda di Yogyakarta dalam hal ini sebenarnya berada di posisi yang dilematis. Di satu sisi prinsip hidup Jawa yang telah tertanam dalam masyarakat menjadi pegangan yang mau tak mau harus dimiliki kaum muda sebagai penerus di masa yang akan dating. Namun di lain hal, kehidupan modern yang telah merambah kota Yogyakarta juga menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi. Pergulatan dalam menjalani kehidupan tersebut yang disinyalir dapat menimbulkan kebingungan dan mengarah pada ketakutan kaum muda di Yogyakarta saat ini.

2. Subjek Penelitian

  Dalam menentukan subjek penelitian, peneliti terlebih dahulu menetapkan satuan kajian. Moleong (2006) mengemukakan bahwa keputusan tentang penentuan subjek, besarnya dan strategi sampling itu bergantung pada penetapan satuan kajian yang dalam penelitian ini bersifat perorangan . Peneliti menentukan subjek penelitian dengan metode

  purposive sampling . Pemilihan metode ini lebih didasarkan pada

  pertimbangan bahwa suatu kajian penelitian itu tidak homogen, sehingga tidak semua dapat dijadikan subjek penelitian. Subjek dipilih dengan pertimbangan bahwa ia dapat memberikan informasi yang dibutuhkan berkaitan dengan tujuan penelitian dan diperkirakan mewakili (penghayatan terhadap) penelitian secara intens. Oleh karena itu, kemudian peneliti membuat beberapa kriteria antara lain untuk membatasi subjek yang akan digunakan :

1) Responden adalah kaum muda yakni berusia 22 sampai 24 tahun.

  2) Responden adalah kaum muda yang bertempat tinggal di daerah Yogyakarta.

  D. Batasan Istilah

  Penelitian ini hendak mengungkap tentang gambaran ketakutan menurut kaum muda di Yogyakarta. Peneliti membatasi istilah ketakutan sebagai pengalaman-pengalaman yang muncul dari kondisi emosional ketika mengidentifikasi ancaman eksternal yang berasal dari objek spesifik di lingkungan. Jadi, penelitian ini hendak mengungkap gambaran kondisi emosional ketika mengidentifikasi ancaman eksternal yang berasal dari objek spesifik pada orang yang berumur 22-24 tahun di Yogykarta.

  E. Metode Pengumpulan Data

  Dalam penelitian kualitatif terdapat beragam metode pengumpulan data yang dapat digunakan. Dalam penelitian ini terdapat dua metode yang digunakan sebagai alat dalam mengumpulkan data penelitian. Metode-metode tersebut adalah sebagai berikut :

1. Wawancara

  Poerwandari (Banister et al., seperti dikutip Poerwandari, 1998) menjelaskan bahwa wawancara kualitatif adalah percakapan tanya Jawab yang dilakukan peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang makna- makna subjektif yang dipahami individu berkenaan dengan topik yang diteliti dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap topik tersebut.

  Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan pedoman umum. Menurut Poerwandari (1998), bentuk wawancara ini menggunakan pedoman wanwancara yang sangat umum, yang mencantumkan isu-isu yang diliput tanpa harus menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan eksplisit. Metode wawancara ini dinilai efektif bagi peneliti karena wawancara yang dilakukan peneliti adalah wawancara terfokus mengenahi hal-hal khusus yaitu tentang pandangan tentang ketakutan.

  Adapun panduan umum wawancara yang teah direvisi dalam penelitian ini adalah :

1. Ketakutan apa yang anda rasakan saat ini? 2.

  Mengapa ketakutan tersebut bisa terjadi? 2.

   Observasi

  Tujuan observasi adalah mendeskripsikan keadaan yang dipelajari, aktivitas-aktivitas yang berlangsung, orang-orang yang terlibat dalam aktivitas dan makna kejadian dilihat dari perspektif responden (Poerwandari, 2005). Metode ini dilakukan dengan mengamati ekspresi kaum muda saat menceritakan pengalaman ketakutan mereka. Melalui metode observasi, diharapkan dapat diperoleh data mengenai ekspresi responden terhadap pertanyaan peneliti. Metode observasi ini dilakukan dengan membuat catatan lapangan selama proses peneleitian berlangsung.

F. Metode Analisis Data

  Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data

  (dalam Moleong, 1988). Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang terdiri dari berbagai sumber, kemudian langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan terebut kemudian dikategorisasikan, langkah berikutnya pembuatan koding dan yang terakhir penafsiran data. Langkah-langkah untuk menganalisis data verbatim hasil wawancara, observasi, dan crosscheck dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Organisasi data

  Dalam proses penelitian organisasi data merupakan tahap awal dalam kegiatan mengolah dan menganalisis data. Organisasi data dilakukan agar peneliti dapat memperoleh kualitas data yang baik, dapat mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini. Melalui Tahap ini, peneliti mengumpulkan dan menyusun secara cermat berbagai data yang diperoleh dilapangan yang berupa transkrip wawancara dan catatan observasi (catatan lapangan).

  Poerwandari (1998) menjelaskan organisasi data dilakukan agar peneliti dapat memperoleh kualitas data yang baik, dapat mendokumentasikan analisis yang dilakukan serta dapat menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian ini, kemudian hal-hal penting yang disimpan dan diorganisasikan adalah catatan lapangan, transkrip wawancara dan catatan refleksi peneliti, dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis, serta data-data yang sudah diberi kode-kode tertentu guna kemudahan dalam mencari data.

2. Koding dan Kategorisasi

  Tahap ini peneliti sudah melakukan klarifikasi data melalui pengkodingan sehingga pada akhirnya data-data lapangan akan dapat dipisahkan berdasarkan kategorinya masing-masing. Menurut Poerwandari (1998) agar lebih efektif, koding dapat dilakukan dengan cara: