Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi

  

RELIGIUSITAS WAROK PONOROGO

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

  

Program Studi Psikologi

Oleh:

Susana Pebriartati

  

NIM: 039114063

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

HALAMAN MOTTO

  Matamu adalah pelita tubuhmu. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu, tetapi jika matamu jahat, gelaplah tubuhmu. Karena itu perhatikanlah supaya terang yang ada padamu jangan menjadi kegelapan. Jika seluruh tubuhmu terang dan tidak ada bagian yang gelap, maka seluruhnya akan terang, sama seperti apabila pelita menerangi engkau dengan cahayanya

  (Lukas 11 :34-36)

  

Dipersembahkan untuk :

kedua orang tua ku tercinta

alm. Bapak Petrus Suwardi

dan

  

Ibu Y. F. Sutinah

  

ABST RAK

Religiusitas Warok Ponorogo

Fakultas Psikologi

Universitas Sanata Dharma

  

Yogyakarta

2007

  Kesenian reyog merupakan salah satu bentuk budaya Jawa yang tumbuh dan berkembang di kota Ponorogo Jawa Timur. Dalam kesenian reyog ada tokoh sentral yang disebut warok, yang dianggap sebagai pemimpin dan dijadikan panutan masyarakat. Namun warok juga menjadi kontroversi di dalam masyarakat terutama dengan maraknya isu tentang ag ama. Reyog seperti berdiri dalam dua p ondasi kokoh yaitu antara dukungan dan pertentangan dari masyarakat. Praktek mistis membuat reyog memiliki citra buruk tapi reyog adalah kesenian asli daerah yang patut untuk dikembangkan.

  Penelitian kualitatif ini bertujuan u ntuk m emahami religiusitas pada warok reyog Ponorogo. Penelit ian ini sangat penting dilakukan k arena citra warok yang cenderung buruk deng an praktek mistis mereka membuat kesenian reyog sulit untuk dikembangkan. Religiusitas warok secara utuh akan dilihat melalui lima dimensi religiusitas da n teori perkembangan kepercayaan Fow ler.

  Subjek penelitian adalah tiga or ang wa rok Ponorogo yang teridentifikasi sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Teknik pengambilan subjek melalui snowball sa mpling . Penelitian dilak ukan selama dua minggu dengan teknik wawancara dan observasi.

  Hasil penelitian menggambarkan warok memiliki keyakinan yang sangat tebal kepada Tuhan melalui kepercayaan mereka masing-masing. Pengalaman religius diperoleh melalui makna hidup mereka yang menyatakan hidup sebagai jalan menuju pada Tuhan. Praktek religius yang dijalankan warok sesuai dengan keyakinan mereka masing-masing dan sesuai dengan cara hidup dalam budaya Jawa yang mereka percayai. Pengetahuan warok pada agama Islam masih terbatas apabila dibandingkan dengan pengetahuan tentang kepercayaan dalam budaya Jawa. Warok memiliki sikap hidup yang baik dan diteladani oleh masyarakat di sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian, warok KG berada pada tahap keempat, warok AT dan warok HM berada dalam tahap ketiga dalam teori perkembangan kepercayaan eksistensial Fowler.

  Perlu kajian ulang mengenai agama Islam dalam budaya Jawa mengingat bahwa saat ini banyak masyarakat meninggalkan budayanya dengan alasan agama. Dengan kajian ulang diharapkan kesenian reyog dan budaya Jawa tetap terjaga kelestariannya.

  Kata kunci : warok, religiusitas, keyakinan religius, pengalaman religius, praktek religius, pengetahuan religius dan konsekuensi religius.

  

ABSTRACT

The Religiousness of Warok Ponorogo Faculty of Psycholo gy

  

Sanata Dharma University

Yogyakarta

2007

  Reyog dance is a kind of Javanese culture from Ponorogo, East-Java. There is a central figure that called warok who became a leader and followed by people around them. But warok also became a controversial figure in Ponorogo especially about their faith. Reyog stand from two strong foundations between support and contradiction in Ponorogo. The magical practiced make warok have a bad image but reyog is an original culture from Java that we have to develop.

  This qualitative study aimed to understand about the religiousness on warok reyog Ponorogo. This study is important because warok image make reyog diff icult to develop. We can study the religiousness of warok from five dimension religiousness and the faith development theory by Fowler.

  Three subjects in this study that identified as a warok. Three identified warok has fulfilled with the snowball sampling. The data collecting done for two weeks using the interview and observation technique that involv es the warok reli giousness component.

  There results of this study describe warok have a strong belief to the God with their faith. Their religious experience got from their life meaning that their belief as their way to God. Their religious prac ticed have done according to their faith and according to their life style in Javanese culture. Warok knowledge to the Moslem is limit compare with their knowledge about the faith in Javanese culture. Warok had a good attitude in their life and followed by people around them. Based from the results of this study, warok KG stay in the fourth, warok AT and warok stay in the third of the faith development theory by Fowler.

  The finding of the study must be follow up such as the Moslem and Javanese culture because there are many people forget about their culture. This study suggests that people became forget about their culture because their religion therefore hoped reyog dance and Javanese culture still protected the continuous.

  Key words : warok, religiousness , religious faith, religious experience, religious kno wledge, religious practice, religious consequence.

  

KAT A PENGANT AR

  Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehing ga penulis dapat menyelesaikan penelitian ya ng berjudul Religiusitas Waro k Ponorogo.

  Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat dukungan dar i berbagai pihak. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kasih secara tulus kepada orang-orang yang telah menginspirasi penulis selama kuliah dan melakukan penelitian ini :

  1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Bapak Dr. A. Supratiknya selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis.

  3. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pembimbing dan rekan diskusi penulis.

4. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Doni, Pak Gi yang telah membantu penulis selama studi.

  5. Mbah Wo sekeluarga, mbah Tobron sekeluarga dan mbah Moloq sekeluarga, terimakasih atas dukungannya pada penelitian ini. Penulis mempelajari berbagai hal melalui cara hidup dan keteladan melalui mbah sekalian.

  6. lis pada banyak hal dalam

  Bapakku alm. Petrus Suwardi, yang mengajari penu hidup. Terimakasih atas “pecut” yang selalu dirindukan jika penulis nakal dan telah menjadi inspirasi bagi penulis.

  7. Ibuku tersayang, Y. F. S as dan selalu menjaga kami .

  Mb tapi memacu adikmu ini untuk cepat lulus. u karna penulis. penulis. “Sekarang ana jauh lebih kuat mbak”.

  i bukan 14.

  16. an seluruh keluarga besar di Ponorogo, terimakasih sudah mau direpotin dan membantu dalam penelitian ini. utinah, sosok pekerja ker anak-anakmu. Maaf sudah sering buat ibu marah dan menghabiskan banyak duit.

  8 ak Yayuk “mak endut 1” dan mas Catur, terimakasih atas semua nasihat dan teladan yang kalian berikan.

  9. Mbak Titin “mak endut 2” dan mas Drajat, terimakasih atas pertanyaannya yang udah bikin stres, te

  10. Mbak Ika “mbak pempeng” dan mas Gigih, terimakasih atas segala dukungan dan doanya yang dengan sabar dimarahi ib

  11. Mbak Rini dan mas Loren, terimakasih atas segala hal yang sudah diberi dan semangatnya.

  12. Mbak Danik dan bang Lingga, terimakasih atas kesabarannya karna udah menjadi “tong sampah”

  13. Uchie adikku terimakasih atas bantuannya yang telah menjadi pembantu selama 2 bulan terakhir ini. ”kamu adalah pembantu termahal tap

  yang terbaik yang pernah kumiliki” .

  Semua ponakanku yang keren-keren, Fany, Icha, Tito, Sasha, Bagas, Dimas.... makasih senyumannya yang membuat penulis semangat.

  15. Om Bambang, Bulek Titik, Ika, Dito dan seluruh keluarga besar di Solo, terimakasih atas perhatian dan kasih sayang yang kalian berikan.

  Mas Tondo, Mbak Harini, Tiyok d

  17. Diana, Dhanie, Dyas, Melan dan Bos Linda... Makasih banget atas persahabatan yang indah selama ini. Tiada kata bisa kuungkapkan dengan kata-kata karna begitu banyak yang penulis peroleh dari kalian.

  18. Otics, Poke, Mia, Melati, Andri dan semua teman-teman relawan Bantul, terimakasih atas kebersamaan yan g sangat menyenangkan dan semangat yang kalian berikan.

  19. Mas Indri, Nanang, Wiwit, Galih, Beny dan aa’ Atok.... makasih s udah mau menemaniku, menjadi sasaran empuk kemarahanku dan teman curhatku yang sangat baik. ”miss u all”.

  20. Suster Hedwig, terimakasih atas dukungan surat, doa dan tempat curhatnya, yang sudah de ngan sabar mendengarkan setiap keluh kesahku. “Maaf suster

  kalo sering nyusahin hehehe” .

  21. Teman-teman kosku yang datang dan pergi, mbak Ana, Mbak Lia, Sisk a dan Sania... makasih udah mau dengerin ana kalo lagi teriak-teriak dan segala bantuannya selama di yogya ini.

  22. Agnes dan Edick teman-teman satu perantauanku, terimakasih atas segala semangat yang kalian berikan. “Nes makasih udah membantu ana selama di

  yogya ini yach”.

  23. Teman-teman angkatan 2003 yang selalu berjuang meraih cita-citanya. “Ayo semangat prenz” .

  24. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terimakasih buat semuanya. Tuhan memberkati.

  Penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untu k kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

  Yogyakarta, Penulis

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya kary a ilmiah.

  Yogyakarta, 7 Desember 2007 Penulis,

  Susana Pebriartati

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL....................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii HALAMAN PUBLIKASI iv

  HALA MAN MOTTO..................................................................................... v HALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................... vi ABSTRAK...................................................................................................... viii ABSTRACT.................................................................................................... viii K ATA ENGA TAR........... P N ................. ....... .... ........ ..................................... ix PERNYATAAN KEASLIAN KARYA......................................................... xiii DAFTAR ISI................................................................................................... xiv DAFTAR TABEL........................................................................................... xviii DAFTAR GAMBAR...................................................................................... xix BAB I PENDAHULUAN...............................................................................

  1 A.

  1 Latar Belakang.......................................................................................

  B.

  6 Rumusan Masalah..................................................................................

  C.

  7 Tujuan Penelitian...................................................................................

  D.

  7 Manfaat Penelitian.................................................................................

  BAB II. TINJAUAN PUSTAKA...................................................................

  8 A.

  8 Sejarah Reyog Ponorogo.......................................................................

  B.

  Warok.................................................................................................... 13

  C. Agama dan Religiusitas..........................................................................

  20 D. Agama Islam...........................................................................................

  26 E. Religiusitas Warok Reyog Ponorogo......................................................

  32 F. Pertanyaan Penelitian...............................................................................

  36 BAB III. METODE PENELITIAN................................................................

  37 A.

  37 Jenis Penelitian......................................................................................

  B.

  38 Fokus Penelitian....................................................................................

  C.

  39 Subjek Penelitian...................................................................................

  D.

  40 Metode Pengumpulan Data....................................................................

  1. Wawancara........................................................................................

  40 2. Observasi...........................................................................................

  41 E. Analisis Data...........................................................................................

  42 F.Pemeriksaan Keabsahan Data...................................................................

  45 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................

  49 A. Tahap Pengumpulan Data.......................................................................

  49 B. Identitas dan Deskripsi Subjek Penelitian...............................................

  50 1. Identitas Subjek Penelitian................................................................

  50 2. Deskripsi Subjek Penelitian...............................................................

  50 a. Subjek 1........................................................................................

  50 b.Subjek 2........................................................................................

  53 c. Subjek 3........................................................................................

  54 C. Hasil Penelitian.......................................................................................

  55

  2. Subjek 1 .............................................................................................

  78 e. Konsekuensi Religius...................................................................

  88 D. Pembahasan Hasil Penelitian Religiusitas Warok Ponorogo..................

  87 f. Perkembangan Kepercayaan Eksistensial.....................................

  86 e. Konsekuensi Religius...................................................................

  85 d. Pengetahuan Religius...................................................................

  82 c. Praktek Religius...........................................................................

  81 b. Pengalaman Religius....................................................................

  80 a. Keyakinan Religius......................................................................

  79 4. Subjek 3..............................................................................................

  78 f. Perkembangan Kepercayaan Eksistensial.....................................

  77 d. Pengetahuan Religius ..................................................................

  57 a. Keyakinan Religius .....................................................................

  71 c. Praktek Religius...........................................................................

  70 b. Pengalaman Religius....................................................................

  69 a. Keyakinan Religius......................................................................

  67 3. Subjek 2..............................................................................................

  66 f. Perkembangan Kepercayaan Eksistensial.....................................

  63 e. Konsekuensi Religius...................................................................

  62 d. Pengetahuan Religius..................................................................

  60 c. Praktek Religius...........................................................................

  59 b. Pengalaman Religius....................................................................

  89

  2. Pengalaman Religius....................................................................

  92 3. Praktek Religius...........................................................................

  94 4. Pengetahuan Religius...................................................................

  96 5. Konsekuensi Religius...................................................................

  97 BAB V : PENUTUP....................................................................................... 106

  A. Kesi mpulan............................................................................................. 106

  B. Sara n........................................................................................................ 107 DAF TAR PUSTAKA..................................................................................... 109 LAMPIRAN.................................................................................................... 112

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel I Panduan Wawancara......................................................................41 Tabel II Daftar Kode Dalam Analisis..........................................................44 Tabel III Jadwal Pengambilan Data..............................................................50

  Tabel IV Identitas Subjek Penelitian............................................................50

  D

  ar 1: D r 2: D

  

AFTAR GAMBAR

Halaman

  Gamb enah Rumah KG..........................................................................52 Gamba enah Rumah HM..........................................................................55

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ponorogo adalah salah satu kota di Propinsi Jawa Timur yang memiliki jumlah penduduk sebesar 783.356 jiwa yang tersebar dalam 20 kecamatan. Mayoritas penduduk Ponorogo beragama Islam dengan jumlah 777.517 jiwa, umat

  beragama Katolik sebesar 2642 jiwa, umat Kristen sebesar 1920 jiwa, umat Hindu sebesar 266 jiwa, dan umat Budha sebesar 463 jiwa (Biro Pusat Statistik Indonesia, 1981). Kehidupan masyarakat di Ponorogo ditunjang oleh sektor pertanian, perdagangan dan pertambangan. Sektor penunjang lainnya adalah bidang budaya – pariwisata (“Ponorogo”, 2006). Pariwisata di Ponorogo amat ditunjang oleh salah satu bentuk seni budaya yang sangat tekenal, yaitu Reyog Ponorogo.

  Reyog Ponorogo adalah salah satu bentuk kesenian yang tercipta pada jaman Kerajaan Wengker (1037 Masehi). Bentuk kesenian ini berupa tarian, alunan musik gamelan dan pertunjukan akrobat yang ditunjukkan para pemainnya. Setelah raja Wengker wafat, kesenian reyog dikembangkan oleh Prabu Klana Sewandana.

  Selanjutnya kesenian reyog berkembang dan digunakan oleh Batoro Katong untuk menyebarkan agama Islam di Ponorogo.

  Pemain reyog memiliki beberapa nama sesuai dengan perannya dalam memainkan pertunjukan, yaitu Warok, Klono Sewandana, Pujangganong, jathilan, Warok adalah orang yang memimpin dan dihormati pembarong, dan pengrawit. dalam kelompok, dan biasanya mengawasi jalannya pertunjukan di tepi lapangan mengembangkan kesenian Reog di Kerajaan Wengker (lihat lampiran 1 Gambar 2).

  

Pujangganong adalah orang yang memerankan sosok patih Bujangganong sebagai

  orang yang menciptakan kesenian reyog (lihat lampiran 1 Gambar 3). Jathilan adalah penari yang menggunakan kuda lumping (lihat lampiran Gambar 4). Sosok penari jathilan dahulu dimainkan oleh laki-laki namun saat ini penari laki-laki digantikan oleh penari wanita. Pembarong adalah orang yang memainkan dadhak

  

merak (lihat lampiran 1 Gambar 5) yang merupakan peralatan tari paling dominan

dan terdiri dari kepala harimau dan kerangka bambu yang ditutupi oleh bulu merak.

  Yang terakhir adalah pengrawit yaitu orang yang memainkan peralatan gamelan yang terdiri dari terompet, kendang, ketipung, kethuk dan kenong, kempul, dan angklung (lihat lampiran 1 Gambar 6). Jadi kesenian reog biasanya dimainkan oleh sekitar 20 sampai 30 orang.

  Tokoh sentral dalam kesenian reog adalah Warok. Konon seorang warok adalah seorang yang sakti dan sebagai pemimpin kelompok. Ada pepatah Jawa bagi

  

waro k yaitu ora tedas tapak paluning pande, sisaning gurenda atau tidak mempan

  terhadap semua senjata. Menurut salah seorang sesepuh warok Mbah Wo Kucing, untuk menuju pada kesaktian, seseorang harus menguasai apa yang disebut Reh

  

Kamusankan Sejati atau jalan kemanusiaan yang sejati. Hal inilah yang dipelajari

para warok muda untuk mendapat gelar dan menjadi seorang warok sejati.

  Istilah warok dahulu sangat berkembang di lingkungan Kerajaan Wengker (1037 Masehi). Raja Wengker, yaitu Prabu Jaka Bagus, konon adalah seorang

  

warok. Selanjutnya istilah warok berkembang di luar lingkungan kerajaan karena menciptakan kesenian Reyog pertama kali adalah warok. Maka istilah warok sangat identik dengan kesenian Reyog Ponorogo.

  Secara umum ternyata ada dua istilah jenis warok yang berkembang di masyarakat Ponorogo, yaitu warok sejati dan warokan. Kedua jenis warok tersebut memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lainnya (Ian Douglas Wilson, 1999). Menurut Ayu Sutarto (2005), seorang warok sejati merupakan sosok orang yang baik, bisa memberikan nasihat spiritual, dan bisa melindungi masyarakat awam.

  Sedangkan istilah warokan diberikan pada orang yang menggunakan ilmu untuk kepentingan diri sendiri dan cenderung bertindak kriminal. Pada masa ini sedikit sekali warok yang menyandang predikat warok sejati di Ponorogo.

  Sosok warok kontroversial di masyarakat Ponorogo. Di satu sisi, warok dipandang baik karena warok memiliki ilmu kanuragan dan kebijaksanaan yang tinggi sehingga mereka sering dimintai nasihat dan petuah oleh masyarakat awam termasuk oleh pejabat daerah. Seorang warok sejati memiliki tekad suci dan mau menolong sesama tanpa pamrih dengan cara melindungi sesama dari kejahatan. Oleh karena itu, menurut Dr. Ayu Sutarto warok merupakan sosok yang baik, produktif dan protektif (“Warok dan Identitas Ponorogo, 2006).

  Di sisi lain warok memiliki citra buruk di masyarakat. Gemblak adalah salah satu citra buruk yang melekat pada sosok warok. Gemblak adalah seorang anak laki-laki yang digunakan warok sebagai pengganti wanita dalam berhubungan seksual. Warok memiliki pantangan untuk berhubungan seksual dengan lawan jenisnya agar kekuatan spiritual yang mereka miliki tidak hilang (Ian Douglas Fauzannafi (2005), para warok ini adalah penganut kejawen atau paling tidak adalah orang-orang abangan yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.

  Kesenian reyog yang identik dengan minuman keras dan tradisi sesajen bertentangan dengan ajaran agama, terutama ajaran agama Islam yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Ponorogo. Maka kemudian reyog menjadi identik dengan pertentangan antara “Islam” dan “Kejawen”. Secara tidak langsung ada pemisahan antara pemain reyog dengan golongan agama, dengan sebutan tyang ho’e untuk para pemain reyog dan tyang mesjid untuk remaja santri.

  Kepercayaan kejawen yang dianut oleh para warok, menurut Negara adalah salah satu aliran kebatinan di Indonesia, dan bukanlah suatu agama. Namun salah satu kewajiban yang ditentukan bagi segenap penduduk Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah keharusan untuk menganut salah satu agama dunia (“Fenomena Agama Asli”, 2006). Maka seluruh penduduk Indonesia tak terkecuali

  

warok juga harus menganut salah satu agama yang diakui di Indonesia. Warok

menganut agama mayoritas yang ada di daerah Ponorogo yaitu agama Islam.

  Secara hukum Negara, warok adalah penganut agama Islam. Seseorang yang telah menganut salah satu agama tentunya juga harus menaati dan menjalankan aturan dan kewajiban yang ada di dalam agamanya. Warok yang telah menganut agama Islam juga diikat dengan adanya aturan dan kewajiban yang ada di dalam agama Islam. Namun penggunaan ilmu kanuragan yang digunakan oleh ternyata sudah melanggar salah satu aqidah Islam. Dalam Surat Luqman

  warok, [31] :13 tertulis bahwa “Wahai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah.

  Pada kesenian reyog Ponorogo kesan mistis sangat terlihat apabila warok menyalakan kemeyan dan menyediakan sesaji di depan barongan sebagai alat utama. Hal ini ternyata juga telah melanggar aqidah Islam yang lainnya yaitu seperti yang tertulis dalam Surat Yusuf [12] : 106 ; “Dan sebagian besar dari

  

mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan

Allah (dengan sesembahan-sesembahan lain)” (dalam Zainu, 2004).

  Penggunaan ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan yang telah dipelajari para

warok ternyata telah melanggar beberapa aqidah dari agama yang dianut warok.

  Dalam agama Islam maka warok bukanlah sosok orang yang mempunyai sikap religius pada agamanya. Oleh karena itu penggolongan antara remaja santri yang taat beragama dengan para warok muda yang kurang taat menjadi tampak jelas di Ponorogo.

  Kesenian reyog Ponorogo dapat dikatakan berdiri pada dua pondasi yang kokoh dalam masyarakat. Di satu sisi reyog dikatakan sebagai kesenian asli yang patut untuk dikembangkan. Di sisi lain tradisi reyog sangat melekat dengan praktik ritual yang bersifat mistis. Para pemain reyog berdiri di antara pertentangan dan dukungan dari masyarakatnya. Citra warok yang berkembang di masyarakat baik itu yang positif maupun negatif tentunya dapat mempengaruhi kehidupan para

  warok di tengah masyarakat.

  Banyak peneliti yang merasa tertarik dengan fenomena warok dan reyog, seperti Ian Douglas Wilson (1999) dan Muhammad Zamzam Fauzannafi (2005).

  Ian Douglas Wilson (1999) menemukan bahwa dalam kesenian reyog Ponorogo bahwa seorang warok melakukan praktek homoseksual dengan alasan bahwa praktek itu digunakan untuk mempertahankan kekuatan supranatural yang mereka miliki. Sedangkan Muhammad Zamzam Fauzannafi (2005) melihat kesenian reyog Ponorogo dari sisi sosial-politik. Fauzannafi melihat bahwa kesenian reyog saat ini dipengaruhi oleh unsur-unsur politik pemerintahan yang akhirnya sedikit mengubah kesenian asli reyog yang terbentuk pertama kali di Ponorogo. Fauzannafi meneliti bahwa kekuatan pemerintah Orde Baru yang saat itu dikuasai oleh partai Golkar ternyata ikut mempengaruhi reyog, misalnya saja pengubahan nama REYOG menjadi REOG.

  Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana religiusitas seorang warok Ponorogo. Religiusitas yang dimiliki warok tentunya berhubungan dengan kepercayaan yang mereka anut yaitu kejawen dan agama yang mereka anut yaitu Islam. Menurut mayoritas penduduk Ponorogo yang menganut agama Islam, praktek ritual mistis yang dilakukan para warok bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Sepintas terlihat bahwa warok adalah sosok golongan masyarakat yang banyak melanggar ajaran agama, namun bagaimanakah sebenarnya religiusitas yang dimiliki oleh para warok ? Maka sosok warok yang identik dengan Reyog dan ilmu kanuragan membuat peneliti merasa tertarik mengadakan penelitian mengenai religiusitas yang dimiliki warok.

B. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah religiusitas

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran secara objektif mengenai religiusitas Warok Reyog Ponorogo.

  D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

  a) Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi penelitian ilmu sosial lainnya yang ingin memahami konsep tentang Reyog Ponorogo, dan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi penelitian yang sejenis dimasa yang akan datang.

  b) Bagi peneliti, sebagai tambahan ilmu dimana peneliti dapat melihat kemampuan mengkombinasikan teori dan praktek di lapangan.

2. Manfaat Praktis

  a) Bagi masyarakat luas, diharapkan penelitian ini dapat memberi pemahaman yang benar tentang Reyog Ponorogo sehingga tidak ada lagi stereotype negatif yang selama ini ada di kalangan masyarakat non Ponorogo.

  b) Bagi para generasi muda Ponorogo, diharapkan mereka mampu untuk memahami kesenian Reog dengan baik, sehingga kesenian yang menjadi ciri khas daerah dapat terlestarikan dan terjaga nilai-nilai budayanya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Bab ini akan membahas mengenai tinjauan pustaka yang mendasari penelitian “Religiusitas Warok Reyog Ponorogo”. A. Sejarah Reyog Ponorogo Reyog Ponorogo adalah salah satu bentuk kesenian rakyat yang berasal

  dari Ponorogo. Ada banyak versi cerita tentang legenda asal mula terbentuknya kesenian Reyog. Hal ini dapat dipahami karena pada jaman dahulu belum terdapat penulisan tentang sejarah masa lalu dan masih bersifat budaya lisan. Jadi sejarah terbentuknya kesenian Reyog berasal dari cerita-cerita rakyat yang memungkinkan adanya banyak versi cerita.

  Penelitian ini tidak ingin membahas mengenai sejarah yang paling benar, tetapi ingin mencoba mendeskripsikan kehidupan warok Reyog Ponorogo, sehingga versi cerita yang ditampilkan adalah versi sejarah yang dianggap benar oleh sebagian masyarakat Ponorogo. Versi cerita ini peneliti ambil dari buku “Ungkapan Sejarah Kerajaan Wengker dan Reyog Ponorogo” yang disusun oleh Moelyadi, yang telah disahkan sebagai suatu legenda yang benar oleh bupati Ponorogo saat itu yaitu Drs. Soebarkah Poetro Hadiwirjo pada tanggal 22 September 1986.

  Sejarah Reyog tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kota Ponorogo. Sejarah keduanya tidak lepas dari kisah tentang kerajaan Wengker. Konon daerah Reyog berhubungan dengan kerajaan Wengker, kerajaan Lodaya, dan kerajaan Panjalu.

  Dahulu kala kerajaan Wengker diperintah oleh Prabu Jaka Bagus, yang memiliki patih bernama Bajang Anung (dalam kesenian Reyog disebut Bujangganong). Keduanya adalah orang yang sakti. Prabu Jaka Bagus tidak ingin kesaktiannya luntur, karena itu ia tidak mau berhubungan dengan perempuan.

  Maka ia berhubungan dengan sesama jenis, yang disebut dengan “gemblakan”. Namun atas desakan patihnya, yaitu agar kerajaan memiliki keturunan, maka Prabu bersedia untuk menikah. Maka sebagai calon permaisurinya adalah Dewi Sanggramawijaya yang merupakan penasihat raja dari Kerajaan Panjalu. Putri tersebut terkenal memiliki paras yang elok dan bijaksana. Selain itu Prabu Jaka Bagus sebenarnya punya hubungan darah dengan Putri Sanggramawijaya, yaitu keturunan raja Airlangga. Maka saat itu patihnya mengajukan lamaran ke kerajaan Panjalu.

  Sementara itu kerajaan Lodaya dipimpin oleh Prabu Singobarong. Prabu Singobarong ternyata juga memiliki perasaan kasmaran dengan Putri Sanggramawijaya. Selain itu juga, sebelumnya ada wabah akibat dari tenung janda Calon Arang. Menurut ilham yang diterima Prabu, wabah tersebut akan berhenti jika ia menikah dengan Dewi Sanggramawijaya. Maka ia juga mengajukan lamaran pada kerajaan Panjalu.

  Ternyata kedua lamaran, yaitu dari kerajaan Wengker yang diwakili oleh Pu Bajang Anung dan dari kerajaan Lodaya oleh raja Singobarong sendiri, datang membuat suatu sayembara. Isi sayembara tersebut adalah: 1.

  Sang Dewi bersedia menikah bila salah satu dari kedua calon dapat membuat jalan dari daerah calon suami sampai menembus ke daerah Panjalu di bawah tanah.

2. Sebagai sarana perkawinan, minta diciptakan suatu pertunjukan yang belum pernah ada di dunia.

  Setelah mendengar sayembara tersebut, Pu Bajang Anung dan raja Singobarong mengundurkan diri. Saat di tengah perjalanan pulang kembali ke kerajaan Wengker ternyata raja Singobarong menyerang Pu Bajang Anung dan pasukannya. Akhirnya Pasukan kerajaan Wengker kalah, namun Pu Bajang Anung selamat.

  Pu Bajang Anung melaporkan pada raja perihal sayembara dan serangan dari kerajaan Lodaya. Mendengar laporan dari patih Pu Bajang Anung, Prabu Jaka Bagus sangat marah, dan ia langsung menyerang kerajaan Lodaya. Sementara itu Pu Bajang Anung yang resah mencari tempat sunyi untuk mengheningkan cipta di bawah gunung Bhayangkaki. Ia bersemedi, dan akhirnya mendapat topeng seperti raksasa dan sebatang buluh kuning sebagai pusaka untuk mengalahkan musuh.

  Prabu Jaka Bagus saat itu masih mengadakan peperangan dengan raja Singobarong. Tidak lama setelah peperangan berjalan, Pu Bajang Anung datang untuk membantu Prabu Jaka Bagus yang sedang mengalami kekalahan. Dengan senjata yang dimilikinya, yaitu Buluh Gading dan Topeng, ia dapat mengalahkan kerajaan Lodaya. Akhirnya raja Singobarong kalah dan menjadi tawanan Pu

  Pu Bajang Anung lalu memberikan perintah pada Raja Singobarong dan prajuritnya untuk membuat jalan di bawah tanah untuk memenuhi permintaan Dewi Sanggramawijaya. Setelah jalan tersebut selesai, maka Pu Bajang Anung menyampaikan hal itu pada raja Panjalu. Dewi Sanggramawijaya dan raja Panjalu akhirnya melihat hasil pekerjaan yang telah dilaporkan patih kerajaan Wengker itu. Pada waktu rombongan kerajaan Panjalu akan kembali pulang, raja Singobarong melihat Dewi Sanggramawijaya. Maka timbullah perasaan marah dan dendam yang menyala-nyala. Selanjutnya ia berubah lagi menjadi macan jadi- jadian yang besar dan buas. Dengan tidak membuang waktu lagi, Pu Bajang Anung menarik goloknya dan memenggal leher macan tersebut. Kepala Singobarong putus, dan matilah ia.

  Pu Bajang Anung merasa menyesal telah membunuh raja Singobarong sehingga ia mengasingkan diri di dalam hutan. Namun Pu Bajang Anung masih memiliki tugas yaitu membuat kesenian yang tidak pernah ada di dunia. Maka dalam pengasingannya, Pu Bajang Anung berpikir dan berusaha membuat kesenian yang tidak pernah ada di dunia. Topeng dan buluh yang didapat Pu Bajang Anung saat semedi pertama kali digunakan sebagai bahan untuk membuat alat-alat kesenian. Topeng menggambarkan perwujudan diri Pu Bajang Anung sendiri, sedangkan buluh dipotong-potong untuk membuat terompet, angklung dan cemeti (pecut). Potongan buluh yang lebih halus dianyam menjadi bentuk kuda tiruan, yang disebut dengan Kuda Kepang. Tambahan alat musik lainnya yaitu dua buah canang perang nada slendro dan genderang besar dan kecil beserta yang menyusun iringan gamelan dan Jatil yang menaiki kuda kepang. Kemudian ia menciptakan perwujudan raja Singobarong melalui topeng kepala macan. Ia juga mulai menghias kepala macan dengan memberikan mahkota bulu-bulu merak. Nantinya kepala macan itu dipakai oleh salah seorang warok untuk menggambarkan perwujudan Singobarong. Terakhir Pu Bajang Anung memegang Pecut Samandiman. Arti Pecut Samandiman adalah pecut pemimpin. Pu Bajang Anung menciptakan tarian yang menggambarkan riwayat hidup perjuangannya.

  Untuk menunjukkan darma baktinya pada kerajaan Wengker, Pu Bajang Anung menyerahkan kesenian yang telah dibuatnya kepada Prabu Jaka Bagus sebagai syarat sayembara Dewi Sanggramawijaya. Prabu Jaka Bagus menamakan kesenian ltu Leyog. Ternyata bunyi Leyok…Leyok dari kejauhan terdengar seperti Reyog. Maka selanjutnya nama kesenian baru itu disebut Reyog.

  Pada saat kesenian Reyog ini akan dibawa menuju kerajaan Panjalu ternyata iring-iringan pengantin dari kerajaan Wengker terkena bencana. Pada saat itu terjadi gempa yang sangat besar. Iring-iringan pengantin tadi terkubur di jalan bawah tanah yang telah mereka buat. Akibat kejadian itu, Dewi Sanggramawijaya menjadi seorang pertapa dan memilih tempat bertapa di dekat Candi Belahan di Kepucang lereng gunung Penanggungan dan dengan menyebut dirinya KILISUCI. Kerajaan Wengker dikuasai oleh Panji Kelana Sewandana, yang merupakan utusan kerajaan Panjalu yang berasal dari Jenggala. Panji Kelana Sewandana inilah yang kemudian meneruskan kesenian Reyog. Selanjutnya kerajaan Wengker dikuasai oleh Raden Katong yang merupakan utusan dari kembali membangun bekas kerajaan Wengker. Dengan demikian bekas Kerajaan Wengker menjadi kota Ponorogo sekitar tahun 1408 Syaka atau 1486 Masehi.

  Pada tahun 1995, Bupati Ponorogo yang bernama Drs. Markoen Singodimedjo, M.M. menggantikan semboyan Ponorogo menjadi Reog yang memiliki kepanjangan “Resik (bersih), Endah (indah), Omber(lapang), Girang-

  

gumirang (menyenangkan)”. Jadi kesenian yang semula bernama Reyog diganti

  menjadi Reog. Dengan demikian kesenian yang baru tadi sekarang lebih dikenal dengan nama Reog Ponorogo.

B. Warok

  Warok berasal dari kata Arok yang artinya berbudi bowo leksono yaitu orang yang sifatnya baik dan sosial. Selanjutnya warok dapat diartikan sebagai orang yang setia dan taat pada kepercayaannya. Pada awalnya istilah warok ini hanya berkembang di lingkungan kerajaan Wengker, karena Prabu Jaka Bagus adalah warok pertama, namun lama-kelamaan menjadi istilah umum bagi masyarakat. Banyak warga masyarakat yang ingin sama seperti rajanya, yaitu menjadi sakti dan dikenal sebagai warok.

  Menurut salah satu sesepuh Reyog Mbah Wo Kucing, warok berasal dari kata wewarah yang berarti petunjuk. Jadi, warok artinya adalah seseorang yang mampu memberi petunjuk dan pengajaran tentang hidup yang baik. Warok adalah orang yang mempunyai tekad suci, siap memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Mbah Wo Kucing kemudian menambahkan bahwa pengendapan batin. Seorang warok mengarahkan hidupnya pada arah yang benar dan baik.

  Seseorang akan mendapat gelar menjadi seorang warok harus memenuhi beberapa syarat tertentu. Dahulu kala untuk mendapatkan sebutan warok harus memiliki kekuatan dan kesaktian berupa antara lain tebalnya kulit dan kerasnya tulang, yang kelak menjadi suatu cabang ilmu aji Jaya Sakti (Moelyono, 1986).

  Seorang warok menggunakan ilmu kanuragan dalam memainkan dan mengembangkan kesenian Reyog Ponorogo. Hal ini diungkapkan oleh Mbah Wo bahwa syarat untuk menjadi seorang warok yaitu harus menempuh berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Setelah menempuh kedua ilmu tersebut, biasanya calon warok dikukuhkan menjadi warok dengan diberi senjata kolor wasiat berupa tali bewarna putih. Senjata itulah yang menjadi andalan para warok.

  Syarat utama menjadi seorang warok adalah memiliki tubuh yang bersih, tidak bersentuhan dengan perempuan, bisa menahan nafsu, serta bisa menahan lapar dan haus. Hal ini diperlukan karena tubuh seorang warok akan ”diisi” oleh ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Maka untuk menjadi seorang warok, seseorang perlu belajar dan menuntut ilmu kanuragan yang bersifat mistis.

  Secara garis besar, warok bukanlah suatu profesi atau jabatan. Warok adalah suatu julukan bagi orang yang memiliki kekuatan supranatural dan telah melewati beberapa pelajaran tentang ilmu kebatinan di daerah Ponorogo. Warok sendiri identik dengan tubuh yang besar, berjenggot, memakai ikat kepala hitam, berpakaian serba hitam dan memakai tali bewarna putih yang disebut dengan kesehariannya, orang yang disebut warok memiliki kehidupan yang sama dengan masyarakat lainnya dan hampir tidak bisa dibedakan dengan masyarakat di lingkungannya.

  Berdasarkan sejarah dan definisi Reyog dan warok, maka dapat disimpulkan bahwa sebenarnya istilah warok dan Reyog adalah dua istilah yang berbeda. Hal yang menghubungkan kedua istilah tersebut adalah bahwa Reyog dimainkan oleh warok. Reyog merupakan hiburan bagi para Warok. Maka sebenarnya seorang warok bisa saja tidak berada dalam kelompok Reyog. Namun seiring dengan berjalannya waktu, orang yang menjadi warok hampir seluruhnya bermain Reyog sehingga warok identik dengan kesenian Reyog.

  Banyak orang menduga bahwa reyog Ponorogo dipengaruhi oleh budaya spritual animisme karena penampilannya yang selalu berbau mistis dan magis (”Budaya Mistis Reog Ponorogo, 2002). Kepercayaan yang bersifat animisme adalah kepercayaan bahwa dibalik semua realita ada roh-roh yang bekerja (”Renungan”, 1999). Kepercayaan ini dapat dilihat ketika tokoh warok menyalakan dupa dan kemenyan di depan topeng barong sebelum pertunjukkan reyog dimulai. Ini merupakan salah satu bukti bahwa warok memiliki kekuatan ilmu mistis dan ilmu kebatinan.

  Dari sejumlah persyaratan untuk menjadi seorang warok yang sakti, maka muncullah istilah gemblakan yang menjadi citra buruk dari warok. Salah satu syarat menjadi warok adalah memiliki kesaktian, namun kesaktian itu bisa diperoleh jika warok bisa menahan untuk tidak berhubungan seksual dengan kepercayaan, bahwa berhubungan dengan perempuan akan menyebabkan berkurangnya kekuatan (Ian Douglas wilson, 1999). Maka untuk menggantikan peranan perempuan, warok memilih anak laki-laki muda yang kira-kira berumur 8 sampai 16 tahun. Anak laki-laki ini disebut dengan gemblak, dan biasanya dalam kesenian reyog, gemblak berada dalam posisi penari jathil.

  Dahulu istilah gemblak sangat popoler di masyarakat Ponorogo. Namun setelah tahun 1980, istilah gemblak mulai redup karena penari jathil yang semula adalah seorang anak laki-laki, digantikan dengan anak perempuan (Fauzannafi, 2005). Hal ini terjadi karena pada tahun 1977, INTI (Insan Taqwa Allah) berusaha untuk membersihkan nama reyog terutama yang berhubungan dengan praktek homoseksual yang dijalankan oleh warok (Ian Douglas Wilson, 1999). Maka semenjak itu penari jathilan digantikan dengan penari perempuan agar reyog sesuai dengan tradisi bangsa yang sesuai dengan budaya bangsa.

  Ternyata ada dua istilah warok yang berkembang di masyarakat Ponorogo, yaitu warok sejati dan warokan. Warok sejati memiliki jiwa ksatria dan bertindak tanpa pamrih, sementara itu warokan menggunakan kekuatan mereka untuk keuntungan pribadi. Perbedaan lainnya yaitu warokan kurang bisa mengontrol nafsu mereka pada adanya gemblak, sedangkan seorang warok sejati harus bisa menahan nafsu mereka (Ian Douglas Wilson, 1999).

  Menurut Fauzannafi (2005), warok adalah penganut ajaran Kejawen. Kejawen adalah salah satu agama asli penduduk Indonesia (”Fenomena Agama

  

Asli” , 2006). Pembentukan ajaran kejawen menurut Mulyana (2006) merupakan asimilasi antara kepercayaan Jawa asli, Hindu-Budha, dan Islam (Mulyana, 2006). Lebih lanjut Mulyana menjelaskan bahwa kejawen adalah keseluruhan tata hidup orang Jawa yang diyakini, dijalani, dan dikembangkan sebagai sikap dan pandangan hidup orang Jawa. Ajaran kejawen dekat dengan praktek mistis dan ilmu kebatinan.

  Penganut ajaran kejawen tersebar di propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penganut kejawen menjalankan kepercayaan yang mereka miliki melalui tradisi atau laku keagamaan. Orang Jawa melakukan kepercayaan mereka dengan berusaha untuk berperilaku baik, kepada alam dan kepada sesama manusia. Menjalani kehidupan sehari dengan baik, menurut orang Jawa hal itu sudah merupakan kehidupan beragama yang disebut juga dengan religiusitas. Maka religiusitas orang Jawa terlihat dari perilakunya sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat.

  Pemerintah sampai saat ini belum menetapkan ajaran kejawen sebagai sebuah agama di Indonesia. Pemerintah hanya mengakui 5 agama besar yaitu Islam, Katolik, Kristen Protestan, Budha dan Hindu ditambah dengan agama yang baru diresmikan yaitu Konghuchu (Hutagalung, 2006). Tidak diakuinya kejawen sebagai sebuah agama resmi di Indonesia disebabkan karena ajaran Kejawen tidak memiliki Kitab Suci dan Nabi seperti yang terdapat dalam agama-agama besar (Susanto, 2005). Maka ajaran kejawen merubah dirinya dengan istilah ajaran kebatinan seperti agama-agama asli lainnya di Indonesia (”Fenomena Agama

  

Asli” , 2006). Ajaran kebatinan ini oleh pemerintah disebut dengan aliran