Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.) Program Studi Psikologi

  

PENYESUAIAN DIRI

PASANGAN SUAMI ISTRI BEDA AGAMA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)

  

Program Studi Psikologi

Oleh:

Antonia Widyasmara

  

NIM: 039114057

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2009

  Rintang yang harus ku hadapi Perbedaan tiada bertepi Mengenali keinginanmu terhadap aku Tak semuanya keinginanku..... Mengapa tak pernah kita coba selaraskan rasa dalam jiwa Ini diriku.....dan begitulah dirimu..... Tak pernah sempurna.....Cuma manusia Seharusnya yang terjadi slalu dapat disadari Dua beda kan saling menyatu bukan ‘tuk diri sendiri Bila sampai hari ini masih ada cinta yang membuat kita satu Itu semua anugerah Yang Kuasa.....

  

Kita cuma manusia yang dianugrahkan cinta oleh Yang Kuasa

Dipersembahkan untuk : Papa dan Mama yang selalu ada di hatiku,

  Serta bagi Mereka yang mampu menjadikan “perbedaan” itu sebagai sesuatu yang indah dalam hidup.

  

ABSTRAK

Penyesuaian Diri Pasangan Suami Istri Beda Agama

  Antonia Widyasmara 039114057 Perkawinan beda agama bukanlah hal baru dalam masyarakat Indonesia.

  Informasi mengenai kebijakan yang membahas perkawinan beda agama memang masih simpang siur. Banyak masyarakat yang memandang perkawinan beda agama ini rentan masalah bahkan bisa memicu terjadinya perceraian. Namun, hal ini tidak membuat banyak pasangan membatalkan perkawinannya walaupun berbeda agama.

  Penelitian kualitatif deskriptif ini bertujuan untuk mendeskripsikan penyesuaian diri pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama Penelitian ini penting dilakukan karena semakin banyak pasangan yang tetap menjalani perkawinan beda agama, walaupun banyak pihak yang tidak mendukung. Penyesuaian diri pasangan yang melakukan perkawinan beda agama akan dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri, peran agama dalam kehidupan perkawinan, cara dan proses penyesuaian diri dalam perkawinan.

  Subjek penelitian adalah pasangan suami istri yang menjalani kehidupan perkawinan berbeda agama. Tiga pasang suami istri yang teridentifikasi sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, dipilih menjadi subjek penelitian. Pengumpulan data dengan teknik wawancara yang melibatkan pasangan suami istri dan salah satu anggota keluarga yang lain. Hasil penelitian menggambarkan pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama memiliki latar belakang penyesuaian diri yang hampir sepenuhnya sama. Cara dan proses penyesuaian diri ketiga pasangan suami istri yang berbeda agama juga memiliki kesamaan satu sama lain. Permasalahan dalam penyesuaian diri yang dialami ketiga pasangan cukup bervariasi. Sedangkan peran agama dalam kehidupan ketiga pasang subjek penelitian tidak berperan besar karena hanya tampak saat mengenalkan agama kepada anak-anak mereka atau pada saat beribadah. Faktor lain yang juga cukup mempengaruhi adalah kehidupan beragama. Kehidupan beragama hanya aktif dilakukan oleh para istri.

  Beberapa temuan penelitian perlu dikaji lebih lanjut, seperti peran suami pada perkawinan beda agama. Pengkajian ini meliputi mengapa dominasi istri dalam kehidupan perkawinan begitu kuat, khususnya perkawinan beda agama. Pengkajian lebih lanjut juga perlu dilakukan pada pasangan yang belum lama menjalani perkawinan beda agama. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah permasalahan dan faktor yang mempengaruhi perkawinan mereka juga sama dengan pasangan yang telah menjalani kehidupan perkawinan lebih dari 10 tahun. Selain itu, perlu adanya penelitian mengenai perkawinan beda gereja dan beda agama. Hal ini bertujuan untuk memberikan informasi dan gambaran kepada masyarakat persamaan dan perbedaan diantara keduanya.

  Kata Kunci : penyesuaian diri, perkawinan beda agama.

  

ABSTRACT

The Self Adaptation of The Couple Who Have Done Interfaith Marriage

  Antonia Widyasmara 039114057

  Interfaith marriage isn’t a new case in Indonesian society. Information about the wisdom of interfaith marriage confuses the people. The people have a low opinion about the interfaith marriage because they think the people who get married with different religion always meet with problems even they end up with divorce. But, this opinion didn’t make the couples cancel their marriage.

  This descriptive-qualitative study aimed to describe the self adaptation of the couples who get married with different religion. This study is important to conducted because more couples which persist interfaith marriage, although many people which don’t support them. The self adaptation of couples who interfaith marriage will be seen from factors influencing of self-adaptation, role of religion in life of marriage, the method and process self adaptation in marriage.

  The subjects of this study are the couples who married with different religion. Three identified couples has fulfilled the predetermined requirements of the study. The data were collected using the interview technique which involved the couples and one of their families.

  The results of the study describe that the couples who are doing interfaith marriage have a similarity life background. They used the same method and process to adapt each other. They have a variety of problems in their self-adaptation. The religion function is just for introducing religion to their children or only for praying. The other factors that influence are their religion activity.

  Some findings of the study must be followed up such as wife domination in life of marriage. Further study also requires to be conducted at newly couples (less than five years). This matter aimed to know what their problems, the methods and process of self adaptation is similar with the couples which have experienced more than five years. Besides, further study also requires for interfaith marriage with interchurch marriage. This study is aimed at giving information to people about the similarity and the difference among them. Keywords: self-adaptation, interfaith marriage

  Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul Penyesuaian Diri Pasangan Suami

  Istri Menikah Beda Agama.

  Selama proses menyelesaikan penelitian ini, penulis banyak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih secara tulus kepada orang-orang yang telah mendukung dan menginspirasi penulis selama kuliah dan melakukan penelitian ini :

  1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, S.Psi, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan kepada penulis.

  3. Segenap Bapak dan Ibu dosen Fakultas Psikologi sebagai pembimbing dan rekan diskusi penulis.

  4. Segenap karyawan Fakultas Psikologi : Mas Muji, Mas Gandung, Mbak Nanik, Mas Doni, Pak Gi yang telah membantu penulis selama studi, Terima kasih banyak buat semua bantuannya.

  5. Seluruh subjek penelitian penulis yang dengan senang hati mau berbagi pengalamannya sehingga penelitian ini bisa berjalan dengan lancar.

  6. Papa tersayang, PV. Joko Nugroho, yang mengajari penulis bagaimana hidup bersahaja, mau untuk bekerja keras, dan bersabar.

  7. Mama tersayang, Elisabeth Sri Budiarti, seorang wanita hebat, yang selalu mengajari penulis arti berjuang tanpa kenal lelah dan menyerah, menjadi seorang wanita yang kuat dan mandiri..

  8. FX. Lanang Waskito, adik penulis. Jangan pernah merasa puas ya Dek, teruslah berjuang. I trust u can do it.

  9. Om Nondo, Bulik Murni, Tika, Carol, dan Krista, keluarga kedua penulis.

  Terima kasih atas semua dukungan, nasehat dan pengalaman hidup yang diberikan kepada penulis selama ini.

  10. Keluarga besar Sentolo dan Semarang, terima kasih untuk semua dukungan yang diberikan kepada penulis selama ini.

  11. PSM “Cantus Firmus”, tempat penulis untuk menyalurkan hobi dan menghilangkan rasa jenuh.. Makasih ya Om Ponco (Mas Mbong) dan juga

  teman-teman buat kebersamaannya walaupun gak lama.

  12. Fany dan Ranie, sahabat penulis sejak SMA. Makasih ya buat pertemanan kita

  selama ini..Masa SMA dan hidup di asrama tidak akan pernah menyenangkan tanpa adanya kalian...

  13. Teman-teman penulis dari SMU Stella Duce 2 Yogyakarta, Ana, Yessi, Icha- bochie dan winarni...kapan kita jualan sandwich lagi?hehehe....

  14. Lukas, kakak angkat penulis. Kak, makasih ya buat supportnya selama ini...cepetan lulus kak, masa keduluan sama adiknya sih..hehehe...

  15. Dhanie dan Anna, sahabat yang memberikan penulis banyak pengalaman hidup..

  Makasih ya Dol, buat semua waktu dan support yang selalu ada di saat ku butuh..

  16. Boz (Linda), sahabat juga guru bagi penulis. Boz, makasih ya buat semua penjelasan boz tentang apapun selama kuliah.

  17. Diana, sahabat yang selalu bisa membuat penulis untuk selalu ingat pada Tuhan.

  Makasih ya Dol, buat persahabatan kita selama ini.

  18. Melan dan Melati, dua sahabat yang lucu dan unik. Melan, ku senang dengan

semua kepolosan dan keceriaan mu yang bisa muncul kapan saja.hehehehe...

  19. Atok, rondang, beni, indri, wiwid, dan nanang. Saat kuliah dan bermain jadi lebih menyenangkan bersama kalian.

  20. Seseorang yang akan selalu ada di dalam hati penulis...Makasih ya baNk, buat

  semua support, rasa senang, sedih, dan sakit selama ini... you’ll be in my heart...always.....

  21. Untuk seseorang yang kembali hadir dalam kehidupan penulis.....terimakasih

  sudah membuat ku kembali bersemangat menjalani hidup walaupun kamu gak tahu itu....

  22. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis.

  Akhir kata, penulis menyadari bahwa penelitian dan penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kesempurnaan skripsi ini dari pembaca semua. Semoga skripsi ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan dalam hidup sehari- hari.

  Yogyakarta, Penulis

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL................................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................................iii HALAMAN MOTTO.............................................................................................iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA..................................................................v ABSTRAK..............................................................................................................vi ABSTRACT...........................................................................................................vii LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...............................viii KATA PENGANTAR............................................................................................ix DAFTAR ISI..........................................................................................................xii DAFTAR TABEL.................................................................................................xiv DAFTAR GAMBAR.............................................................................................xv DAFTAR LAMPIRAN.........................................................................................xvi

BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................1 A. Latar Belakang Permasalahan.........................................................................1 B. Rumusan Masalah...........................................................................................6 C. Tujuan Penelitian............................................................................................7 D. Manfaat Penelitian..........................................................................................7 BAB 2. LANDASAN TEORI...............................................................................8 A. Perkawinan Beda Agama.................................................................................8

  1. Perkawinan Beda Agama.........................................................................8

  2. Peran Agama dalam Perkawinan...........................................................11

  B. Penyesuaian Diri pada Perkawinan................................................................13

  1. Perkawinan.............................................................................................13

  2. Pengertian Penyesuaian Diri pada Perkawinan......................................14

  3. Masalah dalam Penyesuaian Diri pada Perkawinan...............................15

  4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penyesuaian Perkawinan................17

  C. Kerangka Pemikiran.......................................................................................21

  D. Pertanyaan Penelitian.....................................................................................23

  

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN............................................................25

A. Jenis Penelitian..............................................................................................25 B. Fokus Penelitian............................................................................................26 C. Metode Pengumpulan Data...........................................................................27 D. Subjek Penelitian...........................................................................................28 1. Proses Pengumpulan Data.................................................................28 2. Pemilihan Subjek Penelitian..............................................................32 E. Analisis Data.................................................................................................34 F. Pertanggungjawaban Mutu............................................................................37

BAB 4. HASIL PENELITIAN.............................................................................39

A. Pasangan 1 (EW dan CR)...........................................................................39 B. Pasangan 2 (MM dan I)..............................................................................56 C. Pasangan 3 (SM dan FI).............................................................................70

BAB 5. PEMBAHASAN......................................................................................85

A. Pembahasan................................................................................................85 1. Latar Belakang..................................................................................85 2. Cara dan Proses Penyesuaian Diri....................................................92 3. Permasalahan dalam Proses Penyesuaian Diri.................................95 4. Peran Agama dalam Perkawinan....................................................101 5. Faktor Lain yang Cukup Penting....................................................103 B. Diskusi Umum.........................................................................................113

BAB 6. KESIMPULAN.....................................................................................119

A. Kesimpulan..............................................................................................119 B. Keterbatasan Penelitian............................................................................120 C. Saran.........................................................................................................121

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................122

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel I Panduan Wawancara....................................................................28 Tabel II Identitas Subjek Penelitian...........................................................33 Tabel III Daftar Kode Analisis Data............................................................36 Tabel IV Perbandingan Subjek Penelitian.................................................106

  DAFTAR GAMBAR

  Halaman Gambar 1 : Denah Rumah Subjek EW dan CR................................................41 Gambar 2 : Denah Rumah Subjek MM dan I...................................................58 Gambar 3 : Denah Rumah Subjek SM dan FI..................................................72

  Halaman Lampiran 1: Hasil Wawancara............................................................................124 Lampiran 2: Analisis Hasil Wawancara..............................................................163

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan salah satu tahapan hidup yang akan dilewati oleh

  manusia. Pada saat seorang individu memutuskan untuk melakukan sebuah perkawinan, berarti individu tersebut telah siap membuka diri untuk menerima orang lain dalam kehidupannya. Banyak hal yang harus dipersiapkan ketika seorang individu memutuskan untuk melakukan sebuah perkawinan, yaitu siap secara lahir dan batin. Siap secara lahir, berarti individu tersebut telah cukup umur untuk melangsungkan perkawinan dan sudah memiliki materi yang cukup. Siap secara batin berarti individu tersebut telah siap untuk berbagi hidupnya dengan orang lain, bertanggung jawab, memiliki emosi yang stabil dan terkontrol. Perkawinan bukanlah sebuah titik akhir, tetapi sebuah perjalan panjang yang harus dilalui oleh keduanya demi tercapainya tujuan dari sebuah perkawinan yang telah disepakati oleh keduanya.

  Setiap pasangan juga harus terus belajar mengenai kehidupan bersama dan harus kian menyiapkan mental untuk menerima kelebihan sekaligus kekurangan pasangannya.

  Perkawinan juga memerlukan penyesuaian secara terus menerus. Setiap perkawinan, selain cinta juga diperlukan sikap saling pengertian yang mendalam, kesediaan untuk saling menerima pasangan masing-masing dengan latar belakang yang merupakan bagian dari kepribadiannya. Hal ini berarti keduanya juga harus

  1 bersedia untuk menerima dan ikut terlibat dalam lingkungan sosial dan budaya pasangannya. Oleh karena itu, diperlukan keterbukaan dan toleransi yang sangat tinggi, serta rasa untuk saling menyesuaikan diri. Wismanto (dalam Anjani, 2006), menyatakan bahwa proses pengenalan antar pasangan berlangsung terus menerus hingga salah satu pasangan meninggal.

  Penyesuaian diri adalah salah satu faktor penting dalam mencapai keberhasilan perkawinan karena penyesuaian diri merupakan suatu usaha suami istri untuk mengurangi perbedaan-perbedaan diantara mereka. Pada saat pasangan suami istri mampu berinteraksi dengan baik dan mampu saling mengkomunikasikan kebutuhan, keinginan, pandangan hidup dan harapan mereka satu sama lain, mampu menjalin relasi dengan lingkungan sosial pasangan, keluarga pasangan, dan juga dalam menyelesaikan permasalahan dapat dikatakan bahwa penyesuaian diri dalam kehidupan perkawinannya tercapai. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Gunarsa (1991), bahwa penyesuaian diri dalam suatu perkawinan adalah suatu usaha untuk mencapai pengenalan dan pengertian yang lebih mendalam dengan mengurangi perbedaan-perbedaan maupun sumber masalah demi terbinanya kesatuan suami istri. Penyesuaian diri dalam perkawinan akan berjalan dengan baik ketika usaha yang dilakukan tersebut tercapai, namun ada perbedaan-perbedaan yang masih sulit untuk disesuaikan satu sama lain seperti perbedaan agama.

  Agama merupakan salah satu hal yang sangat jelas membedakan individu yang satu dengan yang lainnya, apakah individu tersebut temasuk dalam kelompok

  2 agama tertentu atau tidak. Dengan kata lain, agama secara otomatis membentuk kelompok. Individu yang tidak termasuk dalam kelompok agama tersebut termasuk kelompok yang out-group sedangkan individu yang memiliki kepercayaan yang sama akan termasuk dalam kelompok tersebut atau in-group. Lalu, bagaimana dengan pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama? Bagaimana cara pasangan tersebut melakukan penyesuaian diri dalam kehidupan perkawinannya yang jelas memiliki perbedaan agama satu sama lain.

  Perkawinan beda agama merupakan perkawinan yang memiliki dua prinsip agama yang berbeda. Kehidupan perkawinan pasangan yang berbeda agama juga akan mengalami masalah terkait dengan penyesuaian diri. Perbedaan agama yang ada diantara pasangan suami istri memiliki andil untuk memunculkan perselisihan, pertengkaran, maupun dalam penyelesaian masalah. Setiap pasangan tetap berpegang teguh pada ajaran agama yang dianutnya dan merasa yakin bahwa apa yang diyakininya adalah benar. Hal inilah yang pada akhirnya membuat pasangan suami istri yang berbeda agama kesulitan untuk menyatukan perbedaan yang ada. Berbeda ketika pasangan suami istri mampu menempatkan perbedaan agama sebagai sesuatu yang harus dihormati dan dihargai, sehingga dapat memunculkan kerukunan serta rasa toleransi yang tinggi dan ini membuat keduanya tidak kesulitan untuk saling menyesuaikan diri dan menyatukan perbedaan yang ada.

  Informasi mengenai perkawinan beda agama di Indonesia masih simpang siur. Sebagian orang menyatakan bahwa hal ini terlarang namun sebagian lagi menyatakan

  3 bahwa hal ini sah-sah saja. Pada kenyataannya, hal ini masih sulit untuk dilaksanakan karena perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya (pasal 2 UU Perkawinan No.1 Tahun 1974, dalam Monschovir, 2005). Pada saat akan menikah, calon pasangan suami istri ini sudah mengalami banyak hambatan, mulai dari proses akan melangsungkan perkawinan, seperti adanya tekanan yang datang dari lingkungan sosial ataupun dari pihak keluarga sendiri karena pada dasarnya tidak ada ajaran agama di Indonesia yang menganjurkan umatnya untuk melakukan perkawinan dengan orang yang berlainan agama. Sama halnya dengan lingkungan sosial yang menganggap hal ini tidak sesuai dengan ajaran agama, maka tidak jarang muncul pendapat yang menentang terjadinya perkawinan beda agama.

  Seperti contoh kasus pada Nn. H dan Tn. F yang kebetulan berbeda agama dan akan segera melangsungkan pernikahan. Nn. H merasa gelisah dan takut akan bahaya kegagalan rumah tangganya karena perbedaan agama (Hidayat, 2007). Ini menunjukkan bahwa kecemasan yang dialami oleh pasangan beda agama sudah dialami sejak mereka akan melangsungkan pernikahan. Permasalahan yang sama juga dialami oleh Ahmad Nurcholish dan Ang Mei Yong, yaitu pasangan suami istri yang beragama Islam dan Konghucu pada saat akan melangsungkan perkawinan mendapat protes keras dari pengelola Masjid Al-Azhar, Jakarta. Hal ini disebabkan aktivitas yang dilakukan oleh Nurcholish selama ini adalah sebagai pengurus teras di Youth Islamic Studi Club (YISC) Al-Azhar. Keputusannya untuk tetap melangsungkan

  4 perkawinan dengan Ang Mei Yong, penganut agama Konghucu jelas memancing keberatan dari pihak masjid. (Laporan Khusus, Gatra, Nomor 47 Beredar Senin, 3 Oktober 2005).

  Penyesuaian diri pasangan suami istri yang menikah beda agama pun akan sulit dilaksanakan jika tidak ada kematangan pribadi baik sosial dan emosi. Selain itu, adanya motivasi dari masing-masing pasangan untuk saling menyesuaikan diri juga menjadi unsur pendukung penyesuaian diri. Penyesuaian antara kedua keluarga juga akan mengalami kesulitan. Permasalahan perbedaan agama sering kali membuat salah satu pasangan menjadi terkucil dari lingkungan keluarganya. Konsekuensi lainnya adalah dalam tumbuh kembang anak. Apakah anak akan memilih agama ayah atau ibu atau bukan keduanya (tidak mengikuti agama ayah atau ibu) karena kebingungan.

  Pada akhirnya tidak jarang kedua pasangan memilih untuk menjalankan hidup apa adanya karena tidak mampu menyelesaikan konflik dalam menjalankan agamanya masing-masing.

  Uraian diatas menunjukkan bahwa penyesuaian diri menjadi faktor penting dalam tercapainya keberhasilan yang pada akhirnya menentukan terciptanya kebahagiaan dalam sebuah perkawinan. Penyesuaian diri merupakan masalah yang harus dihadapi oleh pasangan suami istri. Bila mampu dilalui dengan baik, maka perkawinan akan terus bertahan dan sebaliknya jika tidak mampu untuk menyelesaikannya, maka perkawinan akan dengan mudah berakhir. Persoalan ini menjadi menarik untuk diteliti karena peneliti secara khusus ingin mengetahui

  5 penyesuaian diri yang dilakukan oleh pasangan suami istri yang menjalani perkawinan beda agama. Peneliti ingin mengetahui pengalaman keduanya saling menyesuaikan diri selama berpacaran sampai pada akhirnya menikah. Peneliti juga ingin mengetahui mengapa mereka tetap memilih untuk melakukan perkawinan beda agama yang sudah jelas dilarang oleh agama yang dianut oleh keduanya. Selain itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana agama berperan dalam kehidupan perkawinan mereka.

  Metode yang akan digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah model studi kualitatif deskriptif , yaitu metode penelitian yang digunakan untuk memahami masalah sosial atau fenomena yang dialami oleh manusia secara menyeluruh, kompleks, dan detail dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata dan bahasa dalam suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Creswell dalam Moleong,2005)

B. Rumusan Masalah

  Rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana penyesuaian diri pasangan suami istri yang melakukan perkawinan berbeda agama?”

  6

C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah “Ingin mengetahui bagaimana cara dan proses penyesuaian diri pasangan suami istri yang melakukan perkawinan beda agama serta peran agama dalam kehidupan perkawinan mereka”.

  D. Manfaat Penelitian 1.

  Manfaat Teoritis a.

  Memberikan sumbangan pada bidang konseling keluarga dan perkawinan, terutama pada hal-hal yang terkait dengan perkawinan beda agama.

  b.

  Memberikan sumbangan informasi bagi para pembaca penelitian ini, sehingga diharapkan mampu memberikan bantuan ide mengenai tema-tema yang terkait dengan penyesuaian perkawinan dan pernikahan beda agama.

  Peneliti ingin memberikan informasi baru kepada para pembaca penelitian terkait dengan penyesuaian diri pada perkawinan dan pernikahan beda agama.

  7

BAB II LANDASAN TEORI A. PERKAWINAN BEDA AGAMA 1. Perkawinan Beda Agama Perkawinan beda agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan

  wanita yang berbeda agama, yang menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Rusli & Tama, 2000). Sesuai dengan Piagam Hak asasi Manusia, undang-undang perkawinan sipil di Indonesia pada dasarnya tidak melarang pernikahan antar agama. Menjadi susah dalam penerapannya karena adanya pasal 2 UU Perkawinan No1. Tahun 1974 yang mengatakan bahwa “ Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.” Ini berarti setiap warga Negara Indonesia yang akan menikah harus melewati lembaga agamanya masing-masing dan tunduk pada aturan pernikahan agamanya. Apabila keduanya memiliki agama yang berlainan, maka lembaga agama tidak dapat menikahkan mereka kecuali salah satunya mengikuti agama lainnya.

  8 Pengecualian yang dapat diterima adalah calon istri dari agama lain kawin dengan calon suami dari agama Islam, karena hal ini tidak menyalahi peraturan perkawinan dalam agama Islam. Namun, tidak semua KUA bersedia melaksanakan pernikahan ini dengan alasan adanya perbedaan pemahaman Al-Qur’an antar ulama.

  Dalam pernikahan Kristen-Katolik, dapat diberkati di satu gereja, contoh di gereja Katolik dengan meminta Dispensasi kepada Uskup Diosesan karena pernikahan termasuk dalam kategori Matrimonia Mixta (menikah campur tetapi masih sama- sama beriman Kristen, baik itu Kristen Katolik dan Kristen Protestan)

  Ada satu cara yang dapat dilakukan bagi calon pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan berbeda agama, yaitu dengan memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat untuk melakukan pencatatan terhadap pernikahan itu dengan sebelumnya mengajukan persyaratan-persyaratan administrasi. Jika permohonan tersebut dikabulkan, maka itu yang menjadi dasar untuk dibawa ke catatan sipil dan bukan ke Kantor Urusan Agama. Hal ini berlaku pada agama apapun dan status perkawinan adalah sah jika calon pasangan suami istri telah melewati prosedur-prosedur yang benar. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka semakin jelas bahwa calon pasangan suami istri yang berbeda agama tidak perlu lagi keluar negeri untuk melaksanakan perkawinan.

  9 Dua prosedur yang berbeda yang berlaku bagi para penganut ke lima kelompok agama dalam pengesahan hukum perkawinan, yaitu: a.

  Islam Bagi penganut agama Islam, pernikahan dilaksanakan menurut upacara Islam dan pencatatannya dilakukan dalam satu upacara dihadapan penghulu.

  b.

Katolik, Kristen Protestan, Budha, dan Hindu

  Penganut agama-agama ini dinikahkan pertama-tama menurut upacara agama yang dianut oleh calon pasangan suami istri. Kemudian, perkawinan tersebut dicatat oleh pejabat Catatan Sipil. Setelah itu, satu Akte Perkawinan diterbitkan.

  Menurut Hilman (2003), adanya perbedaan agama atau perbedaan dalam melaksanakan upacara agama yang dipertahankan oleh suami isteri dalam kehidupan rumah tangga mereka, adakalanya menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan rumah tangga. Perbedaan pendapat merupakan hal yang melatarbelakangi munculnya ketidakseimbangan dalam kehidupan rumah tangga pasangan yang melakukan perkawinan beda agama karena pada dasarnya setiap agama mengharapkan agar individu menikah menurut hukum agamanya masing-masing. Perbedaan pendapat akan muncul kembali saat munculnya anak dalam kehidupan rumah tangga, akan dibawa kemana agama anak, apakah sesuai dengan agama ibu atau ayah atau tidak kedua agama orang tuanya.

  10 Perkawinan pada dasarnya bukan hanya antara dua individu, tetapi melibatkan keluarga kedua belah pihak. Bila agama pasangan berbeda, maka penyesuaian antara kedua keluarga juga akan mengalami kesulitan. Sehingga, sering kali salah satu pasangan menjadi terkucil dari lingkungan keluarganya (Teddy, 2005).

  Menurut Almirzanah (2001) agama berasal dari kata “religare” yang artinya mengikat manusia dengan Tuhan. Makna dari kata “mengikat” yaitu agama dengan aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang ada harus dilaksanakan, dimana aturan- aturan dan kewajiban-kewajiban itu berfungsi untuk mengikat dan mengutuhkan diri seseorang atau sekelompok orang dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama serta alam semesta (Driyarkara, 1978).

  Agama khususnya agama timur bukanlah suatu sistem dogma melainkan lebih kepada suatu cara hidup agar manusia bisa hidup secara harmonis dengan alam dan sesamanya yang diwujudkan dalam mengamalkan sikap kasih dan tanggap satu terhadap yang lain (Sumarah, 2002).

  Jadi, agama merupakan suatu keyakinan dalam diri manusia yang mengatur dan mempengaruhi tingkah lakunya melalui aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan, baik dengan sesama maupun dengan alam semesta.

  11 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa agama membentuk dan akhirnya menjadi dasar dari gaya hidup individu yang tampak dalam perilakunya dengan lingkungan dan sesamanya. Selain itu, agama bagi kebanyakan orang juga berfungsi untuk menjaga kebahagiaan hidup mereka (Agama Untuk Manusia. 2007 ).

  Salah satu cara untuk mencapai kebahagiaan itu adalah dengan melakukan perkawinan karena dengan melakukan perkawinan, individu tersebut sudah melakukan salah satu kewajibannya untuk menciptakan keharmonisan dengan sesamanya. Dalam perkawinan, agama memiliki peran yang sama yaitu menjadi dasar hidup bagi pasangan suami-istri dalam menjalani kehidupan perkawinannya. Saat agama pasangan suami-istri ini sama, maka dasar untuk menyatukan gaya hidup mereka akan lebih mudah karena dasar hidup yang digunakan oleh keduanya adalah sama. Sehingga, diharapkan dengan latar belakang agama yang sama akan membuat pasangan suami-istri ini akan lebih mudah menyesuaikan diri dan pada akhirnya bisa mencapai kebahagiaan hidup perkawinan mereka.

  Berbeda ketika pasangan suami-istri ini memiliki latar belakang berbeda agama, dasar hidup yang dimiliki oleh keduanya akan berbeda dan ini juga berpengaruh pada gaya hidup mereka. Penyesuaian diri yang harus dilakukan oleh keduanya tidak hanya pada kebiasaan dan perilaku pasangannya tetapi juga pada hal- hal yang membentuk gaya hidup tersebut. Kebahagiaan juga bisa dicapai oleh pasangan suami-istri yang melakukan perkawinan beda agama tetapi melalui hal-hal yang lain dan tidak terkait dengan agama keduanya.

  12 Pasangan yang melakukan perkawinan beda agama dan tetap pada agamanya masing-masing seharusnya bisa lebih saling menghargai dan memahami perbedaan yang ada di antara mereka. Perbedaan tersebut seharusnya dijadikan sarana untuk saling berbagi kebaikan bagi pasangan mereka dan sebagai landasan toleransi antar sesama. Pada dasarnya yang membedakan agama yang satu dengan yang lainnya adalah tata caranya saja, tetapi inti dari setiap agama adalah sama yaitu mengajarkan umatnya untuk melakukan kebaikan terhadap sesama dan lingkungannya (Nurcholish, 2004) B.

PENYESUAIAN DIRI PADA PERKAWINAN 1. Perkawinan

  Perkawinan merupakan penyatuan antara dua orang menjadi satu kesatuan yang saling merindukan, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling melayani dan kesemuanya diwujudkan dalm kehidupan yang dinikmati bersama. Perkawinan juga merupakan sebuah ikatan yang bersifat menetap antara pasangannya yang sah dan perlu diarahkan untuk menciptakan kesejahteraan dan rasa aman dalam keluarga (Gunarsa, 1991). Menurut Walgito (1984) perkawinan merupakan sebuah aktivitas yang menyatukan dua pribadi menjadi kesatuan. Selanjutnya, sebagai sebuah aktivitas, sama dengan aktivitas-aktivitas lainnya, maka perkawinan juga pasti memiliki tujuan yang hendak dicapai. Sebuah perkawinan tentu saja melibatkan dua orang individu, maka adanya kemungkinan bahwa tujuan

  13 keduanya menjadi tidak sama. Bila hal tersebut terjadi, maka keduanya harus mencari cara untuk membuat suatu keputusan yang merupakan kesatuan dari kedua tujuan mereka yang berbeda. Pasangan suami istri yang mampu menyatukan tujuan yang berbeda tersebut, akhirnya akan mencapai kebahagiaan dalam perkawinan keduanya.

  Penyesuaian diri pada perkawinan adalah usaha tercapainya pengenalan dan pengertian yang lebih mendalam dengan berkurangnya perbedaan-perbedaan maupun sumber permasalahan demi terbinanya kesatuan suami istri (Gunarsa, 1991). Le Master (dalam Hepi, 2002) berpendapat bahwa penyesuaian perkawinan sebagai kemampuan untuk melakukan penyesuaian atau beradaptasi dan kemampuan untuk memecahkan masalah yang muncul dalam perkawinan. Menurut Laswell & Laswell (dalam Hepi, 2002), penyesuaian perkawinan mengandung dua pengertian.

  Pengertian yang pertama, penyesuaian perkawinan berarti adanya hubungan yang saling menguntungkan (mutualisme) antara pasangan suami-istri untuk saling memberi dan menerima, sehingga tingkat penyesuaian perkawinannya bisa dikatakan tinggi. Tetapi jika pasangan suami-istri tidak bisa melaksanakan kewajibannya satu sama lain, maka tingkat penyesuaian perkawinannya rendah. Pengertian yang kedua, dalam penyesuaian perkawinan secara tidak langsung menunjukkan adanya dua individu yang saling belajar untuk mengakomodasi kebutuhan, keinginan, dan harapan dari pasangannya. Dalam proses akomodasi ini perselisihan dapat terjadi

  14 karena adanya perbedaan kebutuhan, keinginan, dan harapan di antara pasangan suami-istri.

  Jadi, penyesuaian diri merupakan suatu usaha pasangan suami istri untuk saling menyesuaikan diri satu sama lain dengan cara saling membuka diri untuk mau berbagi dan menerima kelebihan dan kekurangan pasangannya demi berkurangnya perbedaan-perbedaan yang sering memicu timbulnya masalah dalam perkawinan.

  Menurut Clayton (dalam Ati,1997), dalam perkawinan terdapat permasalahan untuk menyesuaikan diri pada perkawinan yang dapat dipilah menjadi: a. Marriage Sociability, yaitu penyesuaian antar pasangan menikah yang terkait dengan hubungan social seperti kemampuan menjalin hubungan social dengan pasangan dan lingkungan. Selain itu juga dalam sikap terhadap jaringan social pasangannya b.

  Marriage Companionship, yaitu tingkat persahabatan antara suami isteri seperti keterbukaan, empati, dan melakukan sesuatu bersama pasangannya.

  c.

Economic Affair, yaitu terkait dengan pengaturan keuangan dalam rumah tangga yang meliputi pembelanjaan uang, baik untuk kebutuhan rumah tangga

  maupun kebutuhan pribadi suami istri termasuk juga urusan pekerjaan masing-masing pasangan seperti pekerjaan sebagai ibu rumah tangga. Selain itu juga termasuk penghasilan dan materi yang dimiliki.

  15 d.

  Marriage Power, yaitu pembagian kekuasaan dalam rumah tangga, berkaitan dengan kewenangan membuat keputusan termasuk ekspresi unilateral yang berhubungan dengan respect-prestige, compliance-power. Ada tiga dominasi

  marital power , yaitu power bases (keunggulan priadi yang dimiliki dibanding

  pasangannya), power process (proses pengambilan keputusan), dan power outcomes (siapa yang memutuskan) e.

  Extra Family Relationship, yaitu hubungan pasangan suami istri dengan orangtua, mertua, ipar, maupun keluarga besar. Hal ini juga termasuk dalam tugas penyesuaian diri karena saat menikah selain menyesuaikan diri dengan pasangannya juga harus menyesuaikan diri dengan keluarga pasangannya.

  f.

  Idiological Congruence, yaitu usaha pasangan suami istri dalam menyatukan pandangan hidup, aturan rumah tangga, etika, aturan moral dan cita-cita mereka.

  g.

  Marital Intimacy, meliputi ekspresi kasih sayang yang ditunjukkan oleh setiap pasangan suami istri.

  h.

Interaction Tactics, yaitu taktik yang digunakan oleh pasangan yang menikah dalam melakukan interaksi, termasuk cara berkomunikasi, kerjasama, dan

  konflik yang terjadi serta cara menghadapinya.

  16 Menurut Schneider (dalam Hepi,2002), ada lima faktor yang mempengaruhi perkawinan, yaitu:

  a.

Penyesuaian sebelum menikah

  Penyesuaian sebelum menikah merupakan faktor yang menonjol dalam penyesuaian perkawinan. Penyesuaian perkawinan akan berhasil jika penyesuaian sebelum menikah seorang individu berjalan dengan baik dan hal ini berhubungan erat dengan latar belakang kehidupan individu yang bersangkutan. Latar belakang keluarga menjadi faktor yang paling penting dalam membentuk seorang individu yang mampu melakukan penyesuaian diri dengan baik. Kehidupan perkawinan orang tua yang bahagia dan relasi dengan anak juga baik sehingga anak merasa bahagia dan di cintai, dapat menjadi dasar kehidupan perkawinan yang bahagia bagi anak-anak mereka kelak.

  Kebahagian yang dirasakan anak dalam relasinya dengan orang tua mereka akan membuat mereka cenderung jatuh cinta pada individu yang memiliki karakteristik yang sama dengan orang tuanya. Jika mereka tidak merasakan kebahagiaan dalam relasi dengan orang tuanya anak akan memilih pasangan hidup yang berlawanan dengan orang tuanya. Selain itu, perkembangan sosial pada anak juga ikut memberikan pengaruh dalam mensukseskan kehidupan perkawinan mereka.

  Oleh karena itu, keluarga dan perkawinan menjadi sebuah institusi sosial yang membantu anak dalam melakukan penyesuaian sosial.

  17

  b.

Sikap terhadap perkawinan

  Sikap terhadap perkawinan menjadi faktor kedua yang mempengaruhi suami istri dalam melakukan penyesuaian perkawinan. Sikap terhadap perkawinan diartikan sebagai suatu bentuk tanggung jawab dari perkawinan yang ingin dijalani oleh pasangan suami istri dalam kehidupan perkawinannya. Jika perkawinan dimaknai sebagai sebuah perpaduan yang tidak dapat dibatalkan oleh suami istri, maka ide mengenai perpisahan dan perceraian tidak akan pernah ada. Tetapi jika perceraian menjadi salah satu syarat dalam perkawinan suami dan istri, maka ini menunjukkan bahwa keduanya belum memiliki kedewasaan dan juga keinginan untuk bertanggung jawab secara penuh dalam kehidupan perkawinannya. Selain itu, penyesuaian diri dalam perkawinan juga akan dipengaruhi oleh baik dan buruknya sikap dalam memiliki dan membesarkan anak.

  Kejujuran menjadi hal yang penting untuk dibicarakan sebelum dan sesudah perkawinan, sehingga kemungkinan munculnya hal-hal yang mengganggu dalam perkawinan bisa dikurangi. Cobaan dan kesulitan yang dialami dalam perkawinan bukan menjadi sesuatu hal yang harus membuat pasangan suami istri menjadi khawatir melainkan menjadi sebuah kegagalan yang perlu untuk diatasi bersama- sama.

  18

  c.

Motivasi yang mendasari perkawinan

  Motivasi yang mendasari perkawinan dimaknai sebagai sebuah alasan dan tujuan seorang individu yang memutuskan untuk menikah. Jika individu menikah dengan tujuan untuk menambah materi, mencari tempat berlindung yang aman atau satu-satunya kesempatan untuk menghindari tetap lajang, tanpa adanya rasa cinta dan tanggung jawab pada keluarga maka perkawinan tersebut sudah gagal sejak awal. Selain itu, perkawinan menjadi tidak sehat jika perkawinan hanya dianggap sebagai cara untuk mengabadikan hubungan anak laki-laki dengan ibunya. Sehingga istri hanya dianggap sebagai ibu bukan sebagai partner dalam hubungan perkawinan. Motivasi yang cukup memadai adalah ketika perkawinan mewakili ekspresi tulus saling mencintai dan bersahabat. Selain itu, adanya kebutuhan yang mendalam untuk persahabatan dan keinginan untuk memiliki anak dan keluarga juga dapat menjadi alasan bagi seseorang untuk menikah.

  d.

Menyeleksi pasangan

  Menyeleksi pasangan adalah hal yang juga penting untuk dilakukan dalam penyesuaian perkawinan. Setiap individu pasti ingin mendapatkan pasangan yang terbaik sesuai dengan keinginan mereka. Proses menyeleksi pasangan ini biasanya dilakukan melalui proses persahabatan. Persahabatan memberikan keuntungan kepada setiap individu untuk lebih mengenal seperti apa individu lain tersebut. Tetapi persahabatan yang terjalin lama bukanlah suatu hal yang paling penting dalam

  19 mencapai kebahagiaan perkawinan. Sebagai contoh, istri yang berwatak tenang, bermoral baik dan mempunyai prinsip agama dan sikap yang sehat terhadap tanggung jawab pada kehidupan perkawinan merupakan hal yang lebih penting dalam suatu perkawinan dibandingkan menjadi istri dan ibu yang baik, tahu dan belajar untuk membuat tempat tinggal menjadi baik, membuat kue, menjahit dan sebagainya. Sama halnya pada suami yang mempunyai potensi baik sebagai pencari nafkah yang tetap, perhatian pada keluarga, memiliki emosi yang dewasa, sadar akan tanggung jawab dalam perkawinan akan jauh lebih baik.

  e.

Faktor-faktor lain yang cukup penting

  Faktor lain yang juga turut berperan dalam penyesuaian perkawinan adalah latihan spiritual karena latihan spiritual mempunyai peran penting untuk meneguhkan keyakinan pada Tuhan, sikap menderma dan rendah hati, keyakinan pada sakramen dan doa perkawinan. Suami istri yang mencurahkan diri untuk satu sama lain dan untuk kesejahteraan anak melalui latihan spiritual akan banyak memberi masukan untuk kebahagiaan kehidupan perkawinan mereka. Sebagai contoh, jika pasangan suami istri sama-sama memiliki keyakinan untuk berusaha mengerti sudut pandang satu sama lain maka mereka akan memperlihatkan kemauan untuk berkompromi, menghargai kepribadian pasangannya, menahan diri untuk saling mengejek atau meremehkan pasangannya, hal ini akan sangat baik untuk kebahagiaan suami dan istri. Sehingga, pada saat ada tekanan ataupun masalah mereka akan mampu untuk

  20 menghadapinya karena sama-sama mampu menjaga kebahagian perkawinan mereka melalui cara menghargai satu sama lain. Faktor lain yang juga cukup penting adalah usia suami dan istri, lama perkawinan, kemampuan financial dan usia ketika menikah.

C. Kerangka Pemikiran

  Perkawinan merupakan satu tahapan hidup yang akan dilewati oleh setiap individu dan dilakukan oleh dua orang individu yang sama-sama memiliki kesiapan diri baik lahir maupun batin untuk menerima orang lain dalam kehidupan pribadi maupun keluarga mereka. Perkawinan yang diijinkan oleh agama dan Negara adalah bila pasangan yang akan melakukan perkawinan menganut kepercayaan yang sama, tetapi pada kenyataannya banyak pasangan suami istri yang tetap melakukan perkawinan walaupun keduanya memiliki perbedaan agama.

  Pandangan masyarakat mengenai perkawinan beda agama pada umumnya tidak setuju dengan adanya perkawinan beda agama. Karena masyarakat menganggap perkawinan yang dilandasi oleh dua agama yang berbeda akan banyak mengalami kesulitan dalam perkawinan mereka. Hal ini disebabkan karena perbedaan latar belakang agama yang tidak sama, sehingga tidak dapat dipungkiri adanya perbedaan pendapat, sikap, dan acuan individu dalam melakukan suatu tindakan juga berbeda.

  Tidak dapat dipungkiri ada faktor-faktor lain yang juga turut andil dalam setiap permasalahan yang muncul dalam perkawinan mereka, seperti perbedaan latar

  21 belakang keluarga, pendidikan, dan sebagainya. Selain itu, hubungan pasangan yang melakukan perkawinan beda agama dengan keluarga dari masing-masing pasangan seringkali menjadi tidak harmonis dan pada akhirnya anak yang akan menjadi korban karena bingung harus mengikuti agama yang mana dari kedua orang tuanya.