Ulos di Tugu Khatulistiwa: studi deskriptif akulturasi masyarakat Batak di Pontianak - USD Repository

  ULOS DI TUGU KHATULISTIWA : STUDI DESKRIPTIF AKULTURASI MASYARAKAT BATAK DI PONTIANAK

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  Oleh: Albert Arie Bonivor

  NIM: 06 9114 099

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  

ULOS DI TUGU KHATULISTIWA : STUDI DESKRIPTIF AKULTURASI

MASYARAKAT BATAK DI PONTIANAK

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  Oleh: Albert Arie Bonivor

  NIM: 06 9114 099

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

  (Dame Ma di Hita Saluhutna)

  Menaklukkan alam adalah dengan cara bersinkronisasi dengan alam, menaklukkan manusia adalah dengan cara mengerti manusia.

  • AB THIRTEEN
    • Dame Ma di Hita Saluhutna

  Karya ini saya persembahkan sebagai jawaban atas harapan untuk mencapai

  

ULOS DI TUGU KHATULISTIWA : STUDI DESKRIPTIF AKULTURASI

MASYARAKAT BATAK DI PONTIANAK

Albert Arie Bonivor

  

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan sebuah studi deskriptif mengenai kisah hidup masyarakat

Batak di Pontianak yang selanjutnya dipahami sebagai proses akulturasi secara utuh.

Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana proses dan bentuk strategi akulturasi

masyarakat Batak di Pontianak. Ciri khas yang dimiliki Kalimantan Barat yaitu

mengidentikkan etnis dengan agama tertentu, membuat etnis Batak selalu diidentikkan

dengan agama Kristiani, agama yang sama dengan salah satu etnis yang pernah

berkonflik. Masyarakat Batak di Pontianak dalam catatan sejarah, tidak pernah terlibat

dalam konflik yang telah sering terjadi di Kalimantan Barat. Hal ini menjadi ketertarikan

tersendiri untuk mengetahui bagaimana pola akulturasi masyarakat Batak di Pontianak.

Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif dengan teknik pengumpulan data

yaitu wawancara dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Batak

di Pontianak mengandalkan nilai-nilai budaya Batak sebagai acuan dalam setiap tahap

akulturasi yang dilaluinya hingga saat ini. Dalihan na tolu menjadi konsep dasar yang

mengatur pola interaksi mereka dengan masyarakat di Pontianak. Tata cara berperilaku

yang diatur dalam Dalihan na tolu mengarahkan masyarakat Batak memilih strategi

Integrasi dalam menjalani proses akulturasi.

  Kata Kunci : Akulturasi, Tahapan akulturasi, Strategi akulturasi, orang Batak.

  

ULOS IN THE EQUATOR MONUMENT : A DESCRIPTIVE STUDY OF

BATAKNESE ACCULTURATION IN PONTIANAK

Albert Arie Bonivor

ABSTRACT

  This study was a descriptive study of the life story of Bataknese people in Pontianak,

understood as the process of acculturation in their entirety. The goal to find out how the process

and strategy of acculturation Bataknese people in Pontianak. West Borneo has the unique

characteristic that identifies a particular ethnicity to a religion, ethnic Batak always identified

with the Christian religion, the similar religion with ethnic that was involved with the ethnical

conflict. Bataknese people in Pontianak, in recorded history, was never involved in a conflict that

has often occurred in West Borneo. Researcher want to know what is the Bataknese people

acculturation patterns in Pontianak. Researcher was using qualitative descriptive method, with

interviews and observation as data collection techniques. The results showed that the Bataknese

people in Pontianak using Bataknese cultural values as a guide in every stage of acculturation.

Dalihan na tolu became basic concepts that regulate their interaction with people in Pontianak.

The procedure how to behaving that guiding in Dalihan na tolu, directing Bataknese people

choose integration strategies during their acculturation process.

  Key words : Acculturation, Stages of acculturation, acculturation strategies, Bataknese People.

KATA PENGANTAR

  Dengan rahmat Tuhan Semesta Alam yang Maha Esa, yang memberikan petunjuk dan semangat selama ini akhirnya saya dapat menyelesaikan tulisan ini.

  Sebuah karya yang tidak seberapa bila dibandingkan dengan berkat yang diberikan-Nya kepada saya, terima kasih tak terhingga untuk Engkau. Karya ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana dalam bidang Psikologi (S.Psi) sebagai pelengkap ilmu yang selama ini saya pelajari di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Karya ini diharapkan dapat memberikan sedikit sumbangsih kepada elemen-elemen yang (mungkin) berkepentingan didalamnya demi kebahagiaan bersama. Dengan harapan tidak disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Pemahaman bahwa hidup bersama tidaklah mudah dengan semua perbedaan yang ada, mengantarkan hasil penelitian ini menjadi bahan referensi kecil dalam proses pembelajaran hidup bersama. Sehingga impian hidup dalam damai dapat terus tertanam dalam benak kita semua.

  Sebuah ucapan terima kasih yang besar saya ucapkan kepada orang tua saya, Bapak Drs. Bontor Panggabean dan Ibu Rovina Clara Pangaribuan atas kesempatan yang berharga untuk saya dalam memenuhi rasa haus akan ilmu. Serta terhadap pengorbanan mereka dan dengan ciri khas masing-masing memberikan dukungan dan pengajaran hidup kepada saya, Mauliate. Terima kasih juga saya ucapkan kepada saudara-saudaraku, kakakku Mariavor Corry Sabarina Panggabean, SE dan adikku Anton Meirio Grahavor Panggabean, yang dengan kebersamaan dalam nama “VOR” dan dukungan yang diberikan selama ini.

  Sebagai seorang yang belum mahir dalam melakukan penelitian, saya menerima banyak bantuan, dukungan serta bimbingan baik secara moril maupun materil yang sangat berharga dan berperan penting dalam penyelesaian karya ini. Dengan hormat, secara khusus saya ucapkan terima kasih kepada :

  1. Dr. Christina Siwi Handayani, sebagai Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Begitu pula atas kesabaran dan kebijaksanaannya menjadi Dosen yang membimbing saya selama mengerjakan skripsi.

  2. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang dengan kebijaksanaannya membagikan ilmu mereka kepada saya.

  3. Minta Istono, M.Si, yang dengan kesabaran dan ciri khasnya membimbing saya secara akademik.

  4. Staf Fakultas : Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie, atas bantuannya selama saya menuntut ilmu.

  5. Guru, sahabat dan patner diskusi sejati yang dengan luar biasa memberikan perspektif baru mulai dari awal hingga karya ini selesai dikerjakan : Dr. Y. Argo Twikromo, Sasmito Adi Singowidjojo, S.Psi., Prof. Dr. Syarif Ibrahim Alqadrie, MRH. Panggabean, M.Si., Khidir Marsanto, S.Ant., terima kasih atas bantuan anda.

  6. Semua pihak-pihak yang memberikan data dan dalam penelitian ini : Para Informan, Masyarakat Pontianak, Pemerintah Daerah Kalimantan Barat, Pemerintah Kota Pontianak, Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, Segenap jajaran Kepolisian Daerah Kalimantan Barat,

  DAFTAR ISI

  HALAMAN JUDUL............................................................................................i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING...................................ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .........................................................iii HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................iv HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA........................................v ABSTRAK.........................................................................................................vi ABSTRACT......................................................................................................vii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH....................viii KATA PENGANTAR .......................................................................................ix DAFTAR ISI.....................................................................................................xii DAFTAR TABEL

  ……………………………………………………………xvi DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..xvii DAFTAR SKEMA

  ……………………………………………………….....xviii

  BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………...1

  A. Latar Belakang …………................................................................................1

  B. Rumusan Masalah...........................................................................................7

  C. Tujuan Penelitian............................................................................................7

  D. Manfaat Penelitian .........................................................................................8

  BAB II LANDASAN KONSEPTUAL ………………………………………...9

  …………………...….21

  ……………………………………..31

  D. Batasan Kon septual………………………………………………………..30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN

  2. Sosial, Ekonomi dan Budaya……………………………………….28

  1 . Demografis……………………………………………………...….27

  C. Masyarakat Pontianak ……………………………………………………...27

  2. Mayarakat Batak di Pontianak………………………….…………..26

  c. Boru ………………………………………………………...24

  b. Hula-hula …………………………………………………...23

  1. Nilai budaya Bata k………………………………………………....18 a. Dongan Sabutuha atau Dongan Tubu

  A. Akultur asi…………………………………………………….……………..9

  B. Batak……………………………………………………………………….18

  b. Stres akulturatif…………………….………………………15

  a. Perubahan perilaku……………………….………………...15

  5. Konsekuensi / dampak akulturasi………………..…………………15

  4. Faktor- faktor yang mempengaruhi akulturasi……………………...13

  3 . Strategi akulturasi….……………………………………………….13

  2. Proses akulturasi…….……………………………………………...11

  1. Pengertian…………………………….….…………………………..9

  A. Jenis Pene litian…………….………………………………………………31 B. Prosedur Peneliti an………....……………………………………………...31

  D. Batasan Penelitian………………………………………………………….34

  B. Hasil Penelitian …………………………………………………………….41

  1. Proses Ak ulturasi…………………………………………………...66 a. Dinamika proses migrasi…………………………………...66

  d. Strate gi Akulturasi………………………………………….64 C. Pembahasan……………………………………………………………..…66

  Interaksi…………………………………………………….58 c. Kendala Interaksi…………………………………………...61

  a. Proses Migrasi ……………………………………………...53 b.

  3. Dinamika Proses dan Strategi………………………………………53

  2. Dinamika Psik ologis Informan…………………………..…………42

  1. Data Demog rafi Informan………………………………………….41

  …40 A. Proses Penelitian…………………………………………………………...40

  E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………………....35

  F. Keabsaha n Data…………………………………………………………….38 BAB IV PENYAJIAN HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

  3. Pengumpulan dokumen…………………………………………….38

  2. Observasi……………………………………………………...……38

  b. Wawancara informal………………………………………..37

  )……………………………………...35

  a. Wawancara menggunakan petunjuk umum wawancara (pedoman pertanyaan

  1. Wawancara…………………………………………………………35

  1) Nilai budaya

  2) Penentuan daerah tujuan migrasi…………………..68 b. Kehidupa n berinteraksi……………………………………..71

  1) Pola interaksi……………………………………….71

  2) Berdina mika menghadapi kendala…………………74

  2. Strategi Akultur asi : Integrasi………………………………………79 BAB V PENUTUP

  ……………………………………………………………82

  A. Kesimpulan………………...………………………………………………82

B. Saran……………………………………………………………………….83

  DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………85

  Daftar Tabel Tabel 1. Pedoman Wawancara………………..………………………36 Tabel 2. Data Demo grafi Informan…………………………………...42 Tabel 3. Ringkasan Has il Interpretasi………………………………...51 Tabel 4. Alasan Migra si ke Pontianak………………………………...54 Tabel 5. Pengetahuan Aw al Mengenai Pontianak…………………….56 Tabel 6. Interaksi Dengan

  Masyarakat Pontianak…………………….59 Tabel 7. Kenda la Interaksi…………………………………………….62 Tabel 8. Perbedaan Sebelum dan Sesudah Otonomi………………….76 Daftar Gambar Gambar 1. Pola Hubungan Dalam Dalihan Na Tolu

  ………………….21 Daftar Skema Skema 1. Dinamika

  Proses Migrasi…………………………………...70

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan

  tingkat keberagaman budaya yang sangat menonjol. Di Kalbar tidak terdapat etnis dominan dengan jumlah lebih dari 50% jumlah penduduk Kalbar. Etnis yang dianggap sebagai etnis asli Kalbar adalah etnis Dayak yaitu sebanyak 41 %, kemudian etnis Melayu sebanyak 39 %, Tiong Hoa 12 % dan etnis-etnis lain sebesar 8 % (Polda Kalbar, 2006). Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa tidak terdapat etnis yang sangat dominan (lebih dari 50 %) mendiami Kalbar.

  Sejarah kelam mengenai konflik terbuka besar-besaran dan potensi konflik antar etnis di Kalbar telah menjadi sorotan para akademisi dan pemerintah.

  Lumpuhnya semua semua sendi kehidupan sebagai dampak dari konflik besar- besaran, menjadi pelajaran penting dan berharga bagi seluruh lapisan masyarakat Kalimantan Barat. Pada tahun 2003, Gubernur Kalbar H. Usman Jafar mencanangkan semboyan “Harmonis dalam etnis” (Supriyatna, 2007) untuk membuat Kalbar kembali aman demi terwujudnya pembangunan Kalbar. Upaya ini dilakukan untuk mengembalikan keadaan Kalbar menjadi kondusif. Dinamika kehidupan multikultural di Kota Pontianak sebagai ibukota dari Kalimantan Barat masih berproses menuju keharmonisan dan kerjasama yang baik antar agama, ras dan etnis.

  Konflik terbuka besar-besaran yang terakhir kali terjadi di Kalimantan

  1999 antara etnis Madura-Melayu di daerah Sambas (Alqadrie, 2008). Konflik antar etnis di Kalimantan Barat sesungguhnya sudah sering terjadi. Bahkan menurut Alqadrie (2009) dalam analisis dan prediksi

  “Hipotesis Kekerasan 2020”, konflik kekerasan antar komunitas atau kelompok etnis di Kalbar telah terjadi dalam kurun waktu hampir 30 tahunan sekali dimulai dari tahun 1900-an hingga 1990-an. Dalam periode ke empat yaitu tahun 1960-an hingga 1990-an, tercatat telah terjadi konflik antar etnis sebanyak lebih dari 15 kali yang melibatkan 3 etnis yaitu Dayak, Melayu dan Madura, hal ini belum termasuk pergesekan dan pertengkaran kecil yang menimbulkan kekhawatiran dan pengungsian kecil secara pribadi.

  Menurut Alqadrie (2009), potensi konflik di Kalbar disebabkan oleh tingginya kesadaran terhadap identitas etnis dan kesetiakawanan dalam membela kelompok pada masyarakat Kalbar. Kesadaran dan kesetiakawanan ini muncul sebagai konsekuensi bahwa tiap etnis di Kalbar selalu diidentikkan dengan agama tertentu. Sebagai contoh, Dayak diidentikkan dengan Kristiani (Kristen dan Katholik), Melayu dan Madura diidentikkan dengan Islam dan Tiong Hoa identik dengan Budha dan Kong Hu Cu. Pergesekan yang menyebabkan konflik terbuka lebih sering terjadi antara dua etnis yang mempunyai perbedaan lebih besar, yaitu Dayak dan Madura. Perbedaan ini terbentuk dari faktor agama dan etnis. Akan tetapi, konflik antara etnis Melayu dan Madura juga sering terjadi karena perbedaan budaya secara etnisitas.

  Pada konflik antara etnis Dayak dan Madura, perbedaan yang mencolok kelompok yang muncul adalah identitas agama dan etnisitas. Pada konteks konflik antara etnis Melayu dan Madura, perbedaan mengenai pemahaman tentang ajaran agama Islam: hubungan manusia dengan Allah (Hablum-minallah) dan hubungan antar manusia (Hablumminnanas), dimana masing-masing etnis memiliki pola pemahaman tersendiri (Alqadrie, 2009). Situasi konflik yang terbentuk dari pergesekan-pergesekan kecil antar individu kemudian diakomodir oleh tradisi kekerasan yang ada pada tiap-tiap etnis yang berkonflik. Arogansi budaya yang kemudian membentuk arogansi individual dalam etnis tersebut memupuk rasa solidaritas untuk membantu anggota etnis yang berkonflik. Akan tetapi, bantuan tersebut mengarah pada penyelesaian konflik dengan cara kekerasan secara berkelompok.

  Identifikasi secara keagamaan yang terjadi, dimana tiap-tiap etnis di Kalimantan Barat selalu diidentikkan dengan agama tertentu, tidak lalu membuat etnis lain yang mempunyai agama yang sama ikut dalam konflik tersebut.

  Etnisitas menjadi tembok pemisah pengaruh solidaritas keagamaan dalam konflik yang terjadi. Sebagai contoh, saat konflik antara etnis Dayak dan Madura, masyarakat etnis Melayu maupun etnis lain (Jawa, Padang, Bugis, dsb) yang diidentikkan dengan agama Islam, tidak semata-mata langsung mengedepankan solidaritas keagamaan dan serta-merta membantu etnis Madura dalam berkonflik. Mereka lebih cenderung berada pada posisi netral. Hal tersebut juga terjadi pada etnis yang diidentikkan dengan agama yang sama dengan etnis Dayak yaitu Kristen atau Katholik. Sikap netralitas dalam memposisikan diri di situasi konflik terjadi konflik antara etnis Dayak dan Madura kemungkinan muncul akibat pengalaman konflik yang sama dengan etnis Madura. Sedangkan etnis lain yang mempunyai identitas agama yang sama kebanyakan merupakan etnis pendatang.

  Salah satu etnis pendatang yang cukup banyak mendiami Kalbar adalah etnis Batak. Etnis Batak dan etnis-etnis pendatang lain mempunyai prosentase hanya 8 % dari total penduduk Kalbar (Polda Kalbar, 2006). Etnis Batak diidentikan dengan agama Kristen, yaitu agama yang sama dengan etnis Dayak.

  Akan tetapi, dalam catatan dokumen maupun wawancara penulis di lapangan (14 April 2010), etnis Batak tidak pernah terlibat dalam konflik terbuka dengan etnis lain. Selain itu, didapati bahwa pada setiap sektor pekerjaan terdapat orang Batak yang bekerja didalamnya. Hal ini sangat menarik perhatian penulis untuk mengungkap bagaimana proses pembauran yang terjadi sehingga masyarakat Batak dapat bertahan selama lebih dari 100 tahun di Pontianak dan Kalimantan Barat.

  Keberadaan masyarakat Batak yang kurang lebih selama 100 tahun di Kalimantan Barat dimana menurut Panitia Jubileum 50 Tahun HKBP Pontianak (dalam Parhalado HKBP Pontianak, 2008), pada tahun 1915 sudah ada dua orang pemuda dari Tanah Batak yang secara terpisah tiba di Kota Sambas untuk mengadu nasib atau bermigrasi memperbaiki taraf hidup. Mereka adalah Peres Lumban Tobing dan Willy Hutagalung. Mereka menuju daerah Moterado dimana terdapat tambang emas.

  Migrasi masyarakat Batak ke Kalbar terus berjalan hingga sekarang. Saat dilihat dari jumlah jemaat HKBP Pontianak yaitu sekitar 2.459 jiwa (Parhalado HKBP Pontianak, 2009). Jumlah ini belum ditambah dengan masyarakat Batak lain yang bukan menjadi anggota jemaat HKBP Pontianak, baik itu yang menjadi anggota jemaat Gereja lain maupun masyarakat Batak yang non Kristen yang berdomisili di Pontianak. Apabila dibandingkan dengan jumlah penduduk Pontianak yaitu sebesar 521.569 jiwa (Badan Pusat Statistik Kota Pontianak, 2009) dapat dikatakan bahwa prosentase masyarakat Batak di Pontianak adalah sekitar 0,5 % dari penduduk Kota Pontianak.

  Seiring berjalannya waktu, masyarakat Batak mulai memberikan banyak kontribusi serta berperan dalam pembangunan daerah Kalimantan Barat dan Pontianak khususnya. Gubernur Kalimantan Barat, H. Usman Jafar pada acara peletakan batu pertama pembangunan gereja HKBP Pontianak pada tanggal 16 April 2007, mengungkapkan bahwa sudah banyak generasi Batak yang lahir di Kalimantan Barat dan turut menyumbang dalam pembangunan daerah Kalimantan Barat (arsip.pontianakpost.com, 2009).

  Tidak terlibatnya etnis Batak dalam serangkaian konflik terbuka yang terjadi di Kalbar, menjadi indikator bagi penulis bahwa masyarakat Batak di Kalbar dapat melakukan adaptasi dalam rangkaian proses akulturasi dengan masyarakat Pontianak pada khususnya dan Kalbar pada umumnya. Meskipun demikian, dari catatan lapangan yang didapat penulis, terdapat permasalahan- permasalahan yang dihadapi masyarakat Batak secara perorangan maupun kelompok (14 April 2010). Adaptasi sendiri merupakan bagian dari tahapan- kontak, kontak, konflik, krisis dan adaptasi dapat menggambarkan dinamika psikologis kelompok maupun individu (Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999).

  Elemen psikologis yang muncul dalam tiap tahap dalam proses akulturasi, menjadi alasan pemilihan akulturasi untuk menggambarkan mengapa masyarakat Batak tidak terlibat dalam konflik di Kalimantan Barat.

  Pemilihan etnis Batak sebagai fokus penelitian didasarkan pada variasi posisi sosial di masyarakat yang beragam. Masyarakat Batak menempati posisi mulai dari posisi pemerintahan di kalangan pejabat teras, hingga swasta menengah kebawah. Hal ini dapat menunjukkan bahwa masyarakat Batak telah membaur dan berinteraksi pada segala lini sosial kemasyarakatan. Apabila dilakukan perbandingan dengan etnis lain, etnis Batak lebih memiliki variasi yang lebih tinggi (catatan lapangan, 17 April 2011). Sebagai perbandingan, etnis Tionghoa lebih mendominasi di bidang swasta, dan mereka mempunyai interaksi yang relative terbatas sesama etnis mereka. Hal ini ditunjukkan pula oleh banyaknya lokasi atau wilayah yang menjadi sentral pemukiman masyarakat Tiong Hoa.

  Wilayah-wilayah tersebut antara lain wilayah Jalan Gajahmada dan Tanjungpura, Siantan. Sedangkan etnis pendatang lain seperti Jawa dan Padang, dimana mereka lebih melebur dan lebih sulit dibedakan identitas etnisnya, tidak begitu menunjukkan pola penyebaran yang jelas. Hal ini disebabkan karena mereka tidak menonjolkan identitas dan cenderung memeluk agama Islam serta melebur ke etnis Melayu, (Alqadrie, 2009).

  Dari permasalahan-permasalahan yang timbul baik secara perorangan dengan etnis lain, baik itu etnis utama maupun sesama etnis pendatang. Oleh karena itu, penelitian ini ingin melihat permasalahan apa saja yang dihadapi masyarakat Batak di Pontianak dalam rangka proses akulturasi dan mencoba menggambarkan dinamika psikologisnya. Selain itu, penulis mencoba menggambarkan strategi dan nilai-nilai apa yang menjadi pegangan masyarakat Batak di Pontianak dalam menghadapi permasalahan serta dalam berinteraksi dengan masyarakat dari etnis lain. Dengan mengetahui dan mempelajari hal-hal tersebut, diharapkan dapat memberi gambaran sebuah proses akulturasi masyarakat Batak di Pontianak yang selama ini tidak menimbulkan konflik. Hal ini dapat dilihat sebagai referensi dalam rangka mewujudkan harmonisasi antar etnis-etnis di Kalbar dalam kemajemukan budaya di Kalbar pada umumnya dan Pontianak pada khususnya.

  B. Rumusan Masalah

  Dari pemaparan diatas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian yaitu : Bagaimana proses dan bentuk strategi akulturasi yang dilakukan masyarakat Batak di Pontianak ?

  C. Tujuan Penelitian

  Menggambarkan proses dan bentuk strategi akulturasi yang dipilih dan dijalankan oleh masyarakat Batak di Pontianak.

D. Manfaat Penelitian

  Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini secara keseluruhan dirumuskan dalam beberapa hal berikut :

  1. Dalam bidang keilmuan diharapkan dapat menambah literatur mengenai masyarakat Batak saat ini yang masih minim, terutama masyarakat Batak di perantauan. Literatur tersebut diharapkan dapat digunakan dalam bidang ilmu Psikologi, Sosiologi dan Antropologi.

  2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi masyarakat Kalbar pada khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya tentang kehidupan dalam pluralisme dan multikulturalisme yang berpotensi besar menimbulkan konflik.

BAB II LANDASAN KONSEPTUAL A. Akulturasi 1. Pengertian Akulturasi dipahami sebagai sebuah fenomena yang terjadi tatkala

  kelompok-kelompok individu yang memiliki kebudayaan yang berbeda terlibat dalam kontak yang terjadi secara langsung. (Redfield, Linton & Herskovitz, dalam Berry dkk, 1999). Kontak secara langsung ini dapat dipahami sebagai interaksi terus menerus yang melibatkan posisi individu secara personal (melibatkan elemen psikologis seperti persepsi dan sikap) maupun sebagai individu dengan atribut yang melekat padanya (contoh : identitas etnis atau kelompok).

  John W. Berry (2004) mendefinisikan secara sederhana bahwa akulturasi merupakan proses perubahan budaya dan perubahan psikologis sebagai hasil dari kontak antara kelompok-kelompok budaya dan anggota-anggota kelompoknya. Dalam masyarakat yang plural dalam kontek budaya adat dan tradisi, kelompok-kelompok budaya yang beraneka ragam berdinamika untuk mempertahankan tradisi budaya yang merupakan warisan dari pendahulunya.

  Akulturasi menjadi sebuah proses dinamis yang terjadi terus menerus dan melibatkan elemen-elemen kebudayaan dari tiap-tiap budaya yang bertemu.

  Proses ini terjadi dalam dua ranah yaitu individu dan kelompok. Akulturasi pada ranah kelompok menimbulkan perubahan dalam struktur sosial, landasan ekonomi, dan organisasi politik. Pada ranah individual, timbul perubahan jati diri, nilai dan sikap.

  Graves (1967 dalam Berry, 2004) mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan antara akulturasi sebagai fenomena kolektif atau fenomena pada ranah kelompok dan akulturasi psikologis secara personal. Pada awalnya, akulturasi merupakan perubahan kultur yang terjadi pada level kelompok dan kemudian berlanjut pada perubahan psikologis personal. Perubahan yang terjadi secara berkelompok yang disepakati bersama dengan alasan-alasan tertentu, mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan psikologis individu- individu anggota kelompok tersebut. Dua hal tersebut kemudian menjadi variabel yang saling berhubungan secara sistematis.

  Definisi lain dari akulturasi diungkapkan oleh Social Science Research

  Council (1954 dalam Berry, 2004 hal 24) “…culture change that is initiated by the conjunction of two or more autonomous cultural systems. Acculturative change may be consequence of direct cultural transmission; it may be derived from non cultural causes, such as ecological or demographic modification induced by an impinging culture; it may be delayed, as with internal adjustments following upon the acceptance of alien trait or patterns; or it may be a reactive adaptation ot traditional modes of life...

  

  Dapat dipahami bahwa perubahan dalam akulturasi bisa saja merupakan dampak dari kontak budaya secara langsung. Perubahan tersebut mungkin saja tidak berasal atau berbentuk budaya (tradisi/ritual), sebagai contoh perubahan demografi atau modifikasi lingkungan yang disebabkan oleh pergeseran budaya. Perubahan tersebut dapat berlangsung cepat atau tertunda tergantung dari pola adaptasi tiap individu terhadap pengaruh-pengaruh asing.

  Merangkum semua definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis mendefinisikan akulturasi sebagai sebuah proses berkepanjangan yang terjadi sebagai konsekuensi bertemunya dua kebudayaan yang berbeda. Kontak dan interaksi dengan dinamika konflik serta adaptasi yang terjadi didalamnya, menjadi sebuah proses longitudinal yang terjadi dalam ranah individual maupun kelompok. Akulturasi juga mencakup semua perubahan yang timbul dalam kontak individu dan kelompok dengan dua budaya yang berbeda. Akulturasi hanya akan terjadi apabila terjadi kontak antara budaya yang berbeda tersebut dengan cara apapun. Terjadinya akulturasi dapat dipahami, dirasakan dan dideteksi apabila muncul perubahan-perubahan yang merupakan dampak, hasil atau konsekuensi dari akulturasi.

2. Proses akulturasi

  Dalam proses akulturasi, individu atau kelompok budaya melewati beberapa tahap. Strategi akulturasi yang dipilih serta dijalani juga mempengaruhi waktu serta hasil-hasil pada tiap tahap akulturasi (Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999).

  a. Pra kontak Merupakan tahap dimana individu atau kelompok budaya sebelum bertemu dan melakukan kontak dengan budaya lain. Pada tahap ini, mempunyai informasi awal mengenai kebudayaan lain yang akan berakulturasi dengan mereka atau bahkan tidak sama sekali.

  b. Kontak Tahap dimana individu atau kelompok budaya melakukan kontak atau interaksi langsung dengan kebudayaan lain.

  c. Konflik Pada tahap ini, individu atau kelompok budaya menghadapi permasalahan-permasalahan yang bersumber dari perbedaan kebudayaan, perlakuan, kondisi lingkungan, kondisi sosial, serta permasalahan lain yang muncul dalam proses interaksi dengan kebudayaan lain.

  d. Krisis Individu atau kelompok budaya yang berakulturasi mengalami masa krisis dalam berbagai ranah, baik secara individu atau kelompok.

  e. Adaptasi Pada tahap ini, individu atau kelompok sudah dapat menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dari perbedaan-perbedaan budaya. Individu atau kelompok budaya menerapkan strategi-strategi akulturasi yang mereka pilih untuk dalam menghadapi permasalahan yang

  3. Strategi akulturasi :

  Menurut Berry, Poortinga, Segall & Dasen (1999), individu atau kelompok budaya dalam berakulturasi menggunakan cara-cara tertentu yang disebut sebagai strategi akulturasi, yaitu :

   Asimilasi Dua kebudayaan bertemu namun salah satu kebudayaan melebur dan merubah bentuk asli kebudayaan tersebut.

   Integrasi Yaitu dua kebudayaan saling meleburkan diri dengan kebudayaan lainnya tanpa meninggalkan kebudayaan mereka.

   Separasi Budaya yang mempertahankan kebudayaannya dan menghindari kontak dengan budaya lain (eklusifitas budaya).

   Marginalisasi Ketika budaya tidak melakukan kontak dengan budaya lain dan tidak mempertahankan budayanya.

  4. Faktor-faktor yang mempengaruhi akulturasi

  Dalam setiap dinamika dalam interaksi akan ditemukan perbedaan- perbedaan hasil yang dipengaruhi oleh banyak hal. Begitu pula dalam proses akulturasi. Dampak dari interaksi yang terjadi mempunyai hasil serta faktor- faktor yang mempengaruhi sendiri-sendiri. Berdasarakan pengertian serta penjelasan dari beberapa sumber, peneliti menyimpulkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi akulturasi.

   Pemilihan strategi akulturasi Dalam proses akulturasi, hasil akulturasi muncul dan dipahami sebagai sebuah strategi akulturasi. Setiap strategi akulturasi memiliki hasil dan tipikal yang berbeda-beda. Menurut Berry, Poortinga, Segall & Dasen (1999), keberhasilan akulturasi hingga mencapai tahap adaptasi tidak terjadi pada semua strategi akulturasi. Adaptasi hanya terjadi pada strategi akulturasi Asimilasi, Integrasi dan Separasi. Sedangkan Marjinalisasi hanya akan sampai pada tahap konflik.

   Sikap terhadap akulturasi Perbedaan keinginan berinteraksi dan mempertahankan nilai budayanya juga menjadi faktor lain yang mempengaruhi akulturasi. Sikap ini pula yang menjadi salah satu indicator strategi akulturasi yang dipilih. (Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999).

   Kemampuan adaptasi Perbedaan budaya yang tinggi dapat menyebabkan sulitnya menuju tahap adaptasi. Ketidakmampuan beradaptasi dapat menimbulkan stress akulturatif atau culture shock (Dayakisni & Yuniardi, 2008)

5. Konsekuensi / dampak akulturasi

  Akulturasi memberikan berbagai konsekuensi bagi pada pelakunya atau orang yang terlibat dalam proses ini. Konsekuensi tersebut serta tingkatannya merujuk pada kemampuan adaptif serta nilai-nilai budaya masing-masing pelaku akulturasi, (Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999)

  a. Perubahan perilaku

  Perubahan perilaku individu atau kelompok budaya, merupakan konsekuensi yang cenderung tidak terlihat secara nyata. Tingkatan perubahan dipengaruhi oleh strategi akulturasi yang dipilih dan dijalani. Pada dasarnya, perubahan ini dilakukan dalam rangka menghindari konflik yang muncul dalam proses akulturasi.

  Banyak faktor yang dapat mempengaruhi perubahan tersebut. Strategi akulturasi yang dipilih dan dijalani menjadi acuan tingkat perubahannya.

  Posisi individu atau kelompok budaya (sebagai kelompok dominan atau tidak) dalam proses akulturasi mempengaruhi perubahan perilaku tersebut.

  b. Stres akulturatif

  Pengertian sederhana dari stres akulturatif adalah stres yang diakibatkan oleh proses akulturatif (Berry, 2004). Lebih lanjut dijelaskan bahwa stres akulturatif merupakan reaksi psikologis yang negatif terhadap pengalaman-pengalaman akulturasi. Hal ini terjadi karena kurang beradaptasi dengan stresor-stresor yang timbul sebagai konsekuensi akulturasi. Contoh : kecemasan, depresi, alienasi, kebingungan jati diri, dll. Lebih lanjut dijelaskan bahwa stres akulturatif merupakan sebuah fenomena yang mungkin mendasari suatu reduksi dalam status kesehatan individu (termasuk aspek fisik, psikologis dan sosial) (Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999 : 553). Stres akulturatif merupakan distres psikokultural yang mengacu pada perbedaan kebudayaan antara kebudayaan asal dengan kebudayaan baru. Hal ini termasuk masalah- masalah ekonomi, sosial, psikologis dan tekanan-tekanan psikologis (Berry 1980, 1987, 1997, dalam Romanova, 2007 : 14).

  Faktor yang menimbulkkan stres akulturatif antara lain :

  a. Perbedaan kebudayaan yang mendasar yang menjadi potensi timbulnya konflik.

  b. Status sosial dalam kebudayaan baru.

  c. Kebijakan pemerintah yang mendeskriditkan.

  d. Faktor latar belakang individu seperti : pendidikan, pekerjaan, nilai, pengetahuan awal terhadap kebudayaan baru.

  Menurut Dayakisni & Yuniardi (2008 : 191), stres akulturatif mempunyai pengertian yang sama dengan cultural shock. Pengertian dari sendiri adalah ketika seseorang tidak mengenal kebiasaan-

  cultural shock

  kebiasaan sosial dari kultur baru atau jika ia mengenalnya maka ia tak dapat atau tidak bersedia menampilkan perilaku yang sesuai dengan

  Akulturasi yang muncul mengarahkan (bahkan terkadang memaksa) tiap individu baik secara kelompok maupun personal untuk melakukan perubahan. Hal tersebut dikarenakan pada dasarnya tiap budaya dapat mempengaruhi budaya lain dengan kemampuan yang sama. Akan tetapi, pada prakteknya budaya yang satu akan cenderung menguasai budaya lain dan pada akhirnya mengarahkan pada munculnya

  “kelompok dominan” dan kelompok yang berakulturasi” (Berry, Poortinga, Segall & Dasen, 1999). Perubahan yang muncul sebagai pilihan untuk bertahan dan mempertahankan budaya, dikemudian hari menjadi sebuah pola adaptasi unik dari tiap individu beserta kelompok budayanya. Pembatasan istilah akulturasi dalam penelitian ini diarahkan pada akulturasi yang terjadi pada ranah individual yang mencakup proses dan strategi individu dalam berakulturasi. Perlu dipahami lebih lanjut bahwa setiap individu yang terlibat dalam proses akulturasi mempunyai pengalaman akulturasi yang berbeda-beda. Selain itu, tidak semua pengalaman yang dimaknai dan diakui sebagai pengalaman akulturasi, merupakan pengalaman personal yang dialami langsung oleh individu tersebut. Beberapa pengalaman merupakan pengalaman langsung salah satu anggota kelompok yang kemudian “diakui” sebagai pengalaman kelompok. Pengalaman kelompok tersebut kemudian “diakui” dan dihayati sebagai pengalaman personal tiap anggota kelompok. Oleh karena itu, tiap informan akan dilihat dinamika psikologisnya untuk melihat runtutan pengalaman yang dialami dan dimaknai.

B. Batak 1. Nilai Budaya Batak

  Suku Batak memiliki nilai budaya yang sangat beragam. Simanjuntak (2009) secara ringkas mengungkapkan tujuan dan pandangan hidup orang Batak sebagai berkut :

  “Tujuan dan pandangan hidup mereka (orang Batak) secara turun temurun yakni kekayaan (hamoraon), banyak keturunan (hagabeon) dan kehormatan (hasangapon)” (Simanjuntak, 2009 : 142).

  Tujuan dan pandangan hidup hamoraon, hagabeon, hasangapon (selanjutnya akan disebut dengan 3H), merupakan nilai dasar yang menjadi

  terminal values (nilai-nilai yang ingin dicapai) bagi orang Batak (Irmawati, 2002). Nilai-nilai dalam 3 H merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan.

  Dalam usaha mewujudkan hasangapon, masyarakat Batak menggunakan hamoraon dan hagabeon.