Kualitas Tanah Pada Berbagai Penutupan Lahan Hasil Revegetasi (Studi Kasus Pasca Kegiatan Rehabilitasi Lahan Di Sub DAS Ciliwung Hulu

(1)

KUALITAS TANAH PADA BERBAGAI PENUTUPAN LAHAN

HASIL REVEGETASI

(Studi Kasus Pasca Kegiatan Rehabilitasi Lahan Di Sub DAS Ciliwung Hulu)

DADAN MULYANA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kualitas Tanah Pada Berbagai Penutupan Lahan Hasil Revegetasi (Studi Kasus Pasca Kegiatan Rehabilitasi Lahan Di Sub DAS Ciliwung Hulu) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Dadan Mulyana


(3)

ABSTRACT

DADAN MULYANA. Soil Quality At Several Area Cover Post Revegetation (case study post revegetation at Ciliwung uper watersheed). Under academic supervision of SRI WILARSO BUDI R and BASUKI WASIS.

ABSTRACT

Evaluation of land rehabilitation (revegetation) activities is necessary for measuring the extent of success of the ongoing activities in rehabilitating and recovering the degraded land. One way for evaluating the success of land rehabilitation (revegetation) is by determining the soil quality. The objective of this study was learning the soil quality in various land cover types, in the form of scrub/bush land, farm land, monoculture crops and mixed crops in Ciliwung upper watershed. All of those land cover types were the result of rehabilitation activities, except the scrub/ bush land. Soil chemical, biological, and physical properties were measured in the study area. Research results showed that soil quality in the various land cover types were better as compared with those before revegetation.

Soil quality indexes for the four land cover types were 0.2156 (scrub/bush land); 0.2144 (mixed crop); 0.2112 (monoculture crop); and 0.1835 (farm land). However there were no differences in soil quality indexes in the four land cover types.

Keywords: soil quality index, land cover, mixed crop, monoculture crop, upper watershed.


(4)

RINGKASAN

DADAN MULYANA. Kualitas Tanah Pada Berbagai Penutupan Lahan Hasil Revegetasi (Studi Kasus Pasca Kegiatan Rehabilitasi Lahan Di Sub DAS Ciliwung Hulu). Dibimbing oleh SRI WILARSO BUDI R dan BASUKI WASIS.

Kegiatan rehabilitasi sangat perlu untuk dievaluasi untuk perbaikan program ini selanjutnya. Kegiatan evaluasi memerlukan tolok ukur yang dapat menggambarkan kecenderungan umum perubahan kondisi tanah selama dimanfaatkan. Salah satu tolok ukur penilaian tersebut adalah kualitas tanah.

Penelitian ini dilaksanakan pada lokasi rehabilitasi lahan oleh Kelompok Tani Megamendung di Blok S. Cipendawa Desa Megamendung Kec Cisarua, Kab Bogor yang merupakan daerah Sub Das Ciliwung Hulu. Penelitian dilakukan pada penutupan lahan berupa tanaman hutan (pohon jati-mengkudu) seluas 5.220 m2, penutupan lahan berupa tanaman hutan campuran (beberapa

jenis pohon hutan) seluas 2.640 m2, penutupan lahan berupa tanaman pertanian

(tanaman sayuran) seluas 3.430 m2, dan penutupan lahan berupa semak belukar

seluas 1.510 m2. Sampel tanah untuk analisis sifat kimia dan biologi tanah

diambil secara komposit dengan 2 ulangan. Indeks kualitas tanah dihitung berdasarkan kriteria Mausbach & Seybold (1998) yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi lahan penelitian.

Kondisi lingkungan atau tempat tumbuh menunjukan adanya perbedaan diantara tutupan vegetasi. Berdasarkan hasil pengamatan berbagai penutupan lahan menunjukan bahwa suhu udara tertinggi terjadi pada lahan semak belukar, yaitu 32,8 0C dan terendah terjadi pada penutupan lahan campuran, yaitu sebesar

28,1 0C. Kelembaban udara (Rh) tertinggi terjadi pada penutupan lahan

campuran , yaitu 72,3 % dan terendah pada penutupan lahan semak belukar, yaitu sebesar 60,8 %. Nilai suhu tanah tertinggi terjadi pada penutupan lahan semak belukar, yaitu sebesar 26,5 0C dan terendah terjadi pada penutupan lahan

campuran, yaitu sebesar 20,7 0C. Nilai kelembaban tanah tertinggi terlihat pada

lahan campuran yaitu 96% apabila dibandingkan dengan tutupan lahan yang lainnya. Perbedaan yang signifikan juga terlihat pada ketahanan penetrasi, dimana lahan campuran mempunyai nilai yang lebih rendah (0,75kg/ cm2) apabila

dibandingkan dengan kondisi penutupan lahan yang lainnya.

laju infiltrasi diukur untuk mengetahui seberapa cepat air dapat masuk ke dalam tanah. Laju infiltrasi tertinggi adalah pada penutupan lahan pertanian (TP) sebesar 475,5 mm/jam (sangat cepat), kemudian penutupan lahan jati-mengkudu (JM) 117 mm/jam (cepat) diikuti oleh penutupan lahan campuran (TC), yaitu sebesar 80 mm/jam, dan yang paling rendah adalah lahan penutupan lahan semak belukar (SB) sebesar 17,65 mm/jam (sedang lambat).

Hasil pengamatan analisis vegetasi tanaman pohon hutan menunjukkan penutupan lahan masih berupa tingkat pancang pada lokasi penelitian, baik di areal jati-mengkudu maupun pada lahan campuran. vegetasi tingkat pancang di areal jati mengkudu didominasi oleh Tectona grandis yang memiliki KR (97,4%), FR (50%), DR (98,46%) dan INP (245,8%), sedangkan Morinda kitrifolia memiliki KR (2,6%), FR (50%), DR (1,54%) dan INP (54,2%). Pada areal tanaman campuran hasil analisis vegetasi menunjukkan Tectona grandis


(5)

masih mendominasi areal dengan nilai KR (27,6%), FR (21,5%), DR (30,26%) dan INP (79,2%), sedangkan vegetasi yang paling sedikit adalah kisere yang memiliki nilai KR (1,7%), FR (7,1%), DR (0,62%) dan INP (9,5%).

Hasil analisis vegetasi tumbuhan bawah menunjukkan pada penutupan lahan jati-mengkudu, KR berkisar antara 0,19% - 33,84% untuk penutupan semak belukar 0,16% - 40,65 %, untuk penutupan lahan campran 0,58% - 38,01% dan untuk pertanian 0,98% - 29,41%. Sedangkan untuk FR 3,33% - 6,67% untuk penutupan jati-mengkudu, 3,23%-9,68% untuk semak belukar, 10% - 20% untuk penutupan campuran dan 5,26% - 15,79% untuk panutupan pertanian. Nilai INP pada penutupan jati-mengkudu paling tinggi adalah Cyrtococcum accrescens

(40,51%) dan Phyllanthus amarus dengan INP terendah (3,52%), pada penutupan lahan semak belukar yang memiliki INP tertinggi adalah Imperata cilindrica

(47,10%) dan Lamtana camara memiliki INP terendah (3,39%), pada penutupan lahan campuran yang memiliki INP tertinggi adalah Uggodium flexuosum

(47,01%) dan Melastoma malabatricum memiliki INP terendah (10,58%) dan pada penutupan lahan pertanian yang memiliki INP tertinggi adalah Ageratum conyzoides (45,20%).

Kondisi kualitas tanah sebelum revegetasi menurut data yang diperoleh dari hasil anasisis tanah yang dilakukan oleh Kelompok Tani Megamendung (KTM) menunjukkan rendahnya kualitas lahan di lokasi penelitian. Rendahnya kualitas tanah diindikasikan oleh kemasaman tanah yang sangat masam (pH 4,32), daya hantar listrik (DHL) yang sangat rendah (0,88 dS m-1), kandungan

C-organik rendah (1,75 %), ketersediaan pospor sangat rendah (8,04 ppm), dan kandungan K tersedia yang rendah (80,42 ppm).

Beberapa sifat fisika dan kimia tanah setelah dilakukan revegetasi mengalami perubahan baik naik maupun turun. Nilai kemasaman tanah (pH) mengalami kenaikan sebesar 0,25 % sehingga dari kondisi sangat masam menjadi kondisi asam, C-organik mengalami kenaikan (1,34%) dari harkat rendah menjadi harkat tinggi, N-total juga mengalai kenaikan (0,07%) dari harkat rendah menjadi harkat sedang. Kadar air mengalami kenaikan sebesar 16,78%.

Kondisi kualitas lahan setelah revegetasi pada semua tipe penutupan lahan secara umum tidak menunjukkan adanya perbedaan sifat fisika tanah, biologi tanah maupun kimia tanah pada lokasi penelitian (p > 0,05), kecuali untuk KTK berbeda nyata antara LP dan TC (p-value = 0,023), kandungan Al berbeda nyata antara TP dan TC (P-Value = 0.042) dan antara TP dan JM (p-value = 0.033), begitu pula untuk unsur H, Fe dan Mn ada perbedaan pada setiap penutupan lahan (p-value <0,05).

Berdasarkan penghitungan indeks kualitas tanah dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah maka diperoleh nilai rataan indek kualitas tanah pada masing-masing penutupan lahan dari yang paling tinggi ke yang paling rendah adalah 0,2156 (SB); 0,2144 (TC); 0,2112 (JM); dan 0,1835 (TP). Indek kualitas tanah pada semua penutupan lahan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p > 0,05).


(6)

©Hak cipta milik IPB tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

KUALITAS TANAH PADA BERBAGAI PENUTUPAN LAHAN

HASIL REVEGETASI

(Studi Kasus Pasca Kegiatan Rehabilitasi Lahan Di Sub DAS Ciliwung Hulu)

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Silvikultur

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(8)

Judul Tesis : Kualitas Tanah Pada Berbagai Penutupan Lahan Hasil Revegetasi (Studi Kasus Pasca Kegiatan Rehabilitasi Lahan Di Sub DAS Ciliwung Hulu)

Nama Mahasiswa : Dadan Mulyana Nomor Pokok : E051060061

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS Ketua

Dr. Ir. Basuki Wasis , MS Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(9)

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) di Institut Pertanian Bogor. Dalam penelitian ini penulis memilih judul " Kualitas Tanah Pada Berbagai Penutupan Lahan Hasil Revegetasi (Studi Kasus Pasca Kegiatan Rehabilitasi Lahan Di Sub DAS Ciliwung Hulu)".

Dengan penuh kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Keluarga besar saya (Ema Entat, Bapa Aan, A Emprit, A Iwan, A Yayan), Istriku tercinta Nurhasanah, Anaku tersayang Sayyid Maulana Nuramadhan dan Jilan Ihda Husnayain atas dukungan semangat dan doanya.

2. Bapak Dr. Ir. Sri Wilarso Budi R, MS selaku dosen pembimbing atas segala bantuan dan bimbingannya.

3. Bapak Dr. Ir. Basuki Wasis, MS selaku dosen pembimbing atas segala bantuan dan bimbingannya.

4. Bapak Dr. Ir. Cahyo Wibowo M.Sc. F.Trop selaku penguji luar komisi atas saran dan masukkannya.

5. Para Rimbawan di Laboratorium Pengaruh Hutan yang telah memberikan dukungan dan bantuannya.

6. Kelompok Tani Mega Mendung Khususnya Pak Bambang, Ibu Rosita, Pak Dokter Untung, Kang Yuhan, Pak ade dan Mas Karjo yang telah memberikan dukungan.

7. Teman - teman program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan khususnya Pak Ceng Asmarahman atas bantuan dan dukungannya.

Penulis berharap semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat khususnya untuk rehabilitasi lahan di Indonesia. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakannya.

Bogor, Agustus 2009


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sumedang pada tanggal 22 Maret 1976. Penulis adalah suami dari Nurhasanah dan ayah dari Sayyid Maulana Nuramadhan dan Jilan Ihda Husnayain.

Pada tahun 1988 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Rancapurut, pendidikan menengah di SMPN I Sumedang pada tahun 1991 dan SMAN 2 Sumedang pada tahun 1994, penulis diterima di IPB tahun 1994 di Fakultas Kehutanan, Jurusan Manajemen Hutan kemudian pada tahun 2006 penulis masuk ke Sekolah Pasca Sarjana IPB program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan dengan sponsor BPPS.

Selama menjadi mahasiswa penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Silvikultur Fakultas Kehutanan IPB dan mengasuh mata kuliah Pengaruh Hutan dan Pengelolaan Nutrisi Hutan. Penulis dinyatakan lulus sebagai Magister Sains dengan judul tesis Kualitas Tanah Pada Berbagai Penutupan Lahan Hasil Revegetasi (Studi Kasus Pasca Kegiatan Rehabilitasi Lahan Di Sub DAS Ciliwung Hulu).


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

DAFTAR TABEL iii

DAFTAR GAMBAR iv

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah dan Kerangka Pemikiran... 4

1.3. Tujuan Penelitian... 6

1.4. Manfaat Penelitian... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tanah... 7

2.2. Kualitas Tanah... 7

2.3. Lahan kritis... 8

2.4. Rehabilitasi Lahan... 11

2.5. Sifat fisik Tanah... 12

2.6. Sifat Kimia Tanah... 14

2.7. Sifat Biologi Tanah... 16

2.8. Bahan Organik... 18

III. METODOLOGI 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian... 21

3.2. Bahan dan Alat... 21

3.3. Metode Penelitian... 22

3.4.AnalisisData... 31

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Letak dan Luas... 34

4.2. Kondisi Sosial Masyarakat... 34

4.3. Kondisi Lahan... 35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Hasil... 39

5.1.1. Kondisi Lingkungan ... 39

5.1.2. Kualitas Tanah... 63

5.1.3. Kualitas Tanah pada Beberapa Penutupan Lahan... 63

5.2. Pembahasan... 65

5.2.1. Kondisi Lingkungan ... 65

5.2.2. Kualitas Tanah ... 68

5.2.3. Kualitas Tanah pada Beberapa Penutupan Lahan... 78

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan... 81

6.2. Saran... 81

DAFTAR PUSTAKA... 82


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Modifikasi indikator, bobot dan batas-batas fungsi penilaian ... 30

Tabel 2. Metode analisis sifat fisik, kimia dan biologi tanah... 32

Tabel 3. Penutupan lahan di Blok S Cipendawa pra rehabilitasi... 35

Tabel 4. Data hasil analisis tanah pra revegetasi pada lokasi penelitian ... 36

Tabel 5. Perubahan penutupan lahan di lokasi penelitian... 37

Tabel 6. Data curah hujan tahunan Blok S Cipendawa Megamendung ... 38

Tabel 7. Data kondisi lingkungan pada penutupan lahan pertanian (TP), semak belukar (SB), tanaman campuran (TC) dan Jati-Mengkudu (JM)... 39

Tabel 8. Hasil analisis sifat fisik tanah pada penutupan lahan pertanian (TP), semak belukar (SB), tanaman campuran (TC) dan Jati-Mengkudu (JM)... 45

Tabel 9. Perubahan nilai sifat kimia tanah pada penutupan lahan pertanian (TP), semak belukar (SB), tanaman campuran (TC) dan Jati-Mengkudu (JM)... 49

Tabel 10. Perubahan nilai sifat biologi tanah di lokasi penelitian... 57

Tabel 11. Hasil analisa pupuk kompos... 59

Tabel 12. Analisis vegetasi tingkat pancang pada lokasi penelitian... 60

Tabel 13. Analisis vegetasi tumbuhan bawah pada lokasi penelitian... 60

Tabel 14. Rataan sifat fisika dan kimia tanah sebelum dan setelah revegetasidi lokasi penelitian... 63

Tabel 15. Rataan indeks kualitas tanah dan peringkat kualitas tanah pada empat tipe penutupan lahan di lokasi penelitian... 64


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran... 5

Gambar 2. Peta lokasi Penelitian... 22

Gambar 3. Cara pengambilan sampel tanah utuh dengan menggunakan ring sampel tanah... 24

Gambar 4. Bentuk petak contoh untuk analisis vegetasi tanaman hutan dan tumbuhan bawah... 28

Gambar 5. Penutupan lahan pada awal pelaksanaan rehabilitasi lahan tahun 2002 (a) dan Penutupan Lahan setelah direhabilitasi tahun 2008(b)38 Gambar 6. Suhu dan kelembaban udara di lokasi penelitian... 40

Gambar 7. Suhu dan kelembaban tanah di lokasi penelitian... 41

Gambar 8. Laju infiltrasi di lokasi penelitian... 41

Gambar 9. Erosi pada penutupan lahan TC (tahun 2001-2007)... 42

Gambar 10. Erosi pada penutupan lahan JM (tahun 2001-2007)... 43

Gambar 11. Erosi pada penutupan lahan TP (tahun 2001-2007)... 44

Gambar 12. Erosi pada penutupan lahan SB (tahun 2001-2007)... 44

Gambar 13. Bulk Density pada berbagai penutupan vegetasi... 45

Gambar 14. Air tersedia pada berbagai penutupan lahan... 46

Gambar 15. Porositas tanah pada berbagai penutupan lahan... 47

Gambar 16. Kadar air dengan berbagai penutupan vegetasi... 48

Gambar 17. Tekstur tanah pada berbagai penutupan vegetasi... 48

Gambar 18. Nilai kemasaman tanah (pH) pada berbagai penutupan lahan. . 50

Gambar 19. Nilai C-organik pada berbagai penutupan lahan... 51

Gambar 20. Nilai N total tanah pada berbagai penutupan lahan... 52

Gambar 21. Kandungan fosfor pada berbagai penutupan vegetasi... 53

Gambar 22. Kandungan kalium pada berbagai penutupan lahan... 53

Gambar 23. Kapasitas tukar kation (KTK) pada berbagai penutupan lahan.. 54

Gambar 24. Nitrat (NO3-) pada berbagai penutupan lahan... 55


(15)

Gambar 26. Kandungan Fe dan Mn pada berbagai penutupan vegetasi... 56

Gambar 27. Nilai Cmic pada berbagai penutupan lahan... 57

Gambar 28. Bahan organi pada berbagai penutupan vegetasi... 58


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Nilai C untuk berbagai jenis tanaman dan pengelolaan tanaman 88 Lampiran 2. Nilai faktor P di berbagai aktivitas konservasi tanah... 88 Lampiran 3. Foto penutupan lahan di lokasi penelitian Blok S Cipendawa

Megamendung... 89 Lampiran 4. Kriteria penilaian sifat kimia tanah... 90 Lampiran 5. Hasil perhitungan laju infiltrasi pada lokasi penelitian... 91 Lampiran 6. Data informasi umum mengenai sejarah pengelolaan


(17)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permasalahan lingkungan seperti banjir, erosi dan longsor terjadi dimana-mana pada musim penghujan, sedangkan pada musim kemarau terjadi kekeringan dan kebakaran hutan yang sering mengancam, gagal panen juga sering terjadi karena adanya serangan hama dan penyakit. Akibat dari permasalahan tersebut banyak pihak yang rugi dan banyak lahan produktif berkurang. Masalah tersebut menunjukkan adanya penurunan sumber daya lahan (SDL) baik ditingkat lahan maupun lansekap/nasional dan global, antara lain berhubungan dengan (1) terganggunya fungsi hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) baik jumlah dan kualitas air, (2) menurunnya kesuburan tanah (rendahnya ketersediaan hara dan kandungan bahan organik tanah), (3) menurunnya kualitas udara akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca (CO2,

N2O, CH4) melebihi daya serap daratan dan lautan, (4) berkurangnya tingkat

keindahan lansekap, (5) berkurangnya tingkat biodiversitas flora dan fauna baik di atas tanah maupun dalam tanah. Salah satu penyebab terjadinya penurunan SDL adalah adanya alih guna lahan hutan menjadi lahan pertanian intensif dengan masukan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kemerosotan atau degradasi lahan.

Kemorosotan atau degradasi lahan sering dikaitkan dengan pemanfaatan lahan yang tidak mengikuti aspek keseimbangan input dan output. Input berkaitan dengan perbaikan tanah atau penyuburan dan pemupukan pada kegiatan budidaya. Sedangkan output dikaitkan dengan serapan hara oleh tanaman dan kemungkinan tercucinya hara melalui mekanisme erosi. Fenomena degradasi lahan tidak hanya terdapat pada kawasan lahan yang ada aktivitas budidaya, lebih kontras terjadi pada tanah-tanah terlantar. Indikator degradasi Lahan dapat ditunjukkan dengan gejala pertumbuhan tanaman yang kurang baik atau tumbuhnya semak-belukar di atas tanah tersebut. Selama ini degradasi lahan banyak terdapat pada kawasan marginal, yaitu tanahnya berupa lahan kering, dengan input budidaya dan teknologi pengelolaan lahan kering yang rendah, marginalisasi lahan terus akan


(18)

terjadi yang pada akhirnya mengakibatkan lahan berkecenderungan makin terdegradasi baik fisik maupun kimia. Pada lahan yang berlereng proses degradasi tanah akan cepat terjadi karena adanya erosi. Erosi akan membawa lapisan permukaan tanah yang relatif lebih subur ke tempat lain, yang akan mengakibatkan pemiskinan unsur hara dan menurunkan kualitas sifat fisik dan kimia tanah dan akibatnya tanah menjadi rusak atau terdegradasi.

Untuk mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut, maka kegiatan rehabilitasi lahan harus dilakukan, salah satu kegiannya adalah revegetasi. Kegiatan ini bertujuan tidak saja untuk memperbaiki kondisi lahan yang labil, dan mengurangi erosi tanah, tetapi dalam jangka panjang dapat memperbaiki kondisi iklim mikro, estetika dan meningkatkan kondisi lahan ke arah yang lebih protektif dan konservatif.

Kegiatan rehabilitasi lahan sudah dicanangkan oleh pemerintah pusat dalam berbagai kegiatan, seperti Gerakan Penghijauan Nasional, Penanaman Sejuta Pohon, dan Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL). Program GN-RHL adalah salah satu program prioritas Departemen Kehutanan dalam upaya merehabilitasi dan memulihkan kawasan hutan dan lahan yang rusak dan kritis (terdegradasi) guna mengembalikan fungsi, daya-dukung dan produktivitasnya guna terwujudkan revitalisasi kehutanan Indonesia seperti dicanangkan dalam Rencana Strategis Departemen Kehutanan Tahun 2005 – 2009.

Kegiatan rehabilitasi lahan bisa dilakukan oleh masyarakat, hal ini yang diharapkan oleh semua pihak, yaitu timbulnya kesadaran masyarakat untuk melakukan rehabilitasi lahan. Salah satu contoh adalah kegiatan rehabilitasi lahan yang dilakukan oleh Kelompok Tani Megamendung (KTM) yang melakukan revegetasi lahan kritis pada lahan ex, HGU PT Buana Estate yang berakhir pada tahun 1998 dan tahun 2000 di Blok S Cipendawa, Desa Megamendung, Bogor, dimana wilayah ini termasuk kedalam Sub DAS Ciliwung Hulu. Kegiatan kelompok tani ini sudah berjalan tujuh tahun dari tahun 2002. Untuk melihat perkembangan kegiatan revegetasi tersebut maka diperlukan suatu evaluasi.

Evaluasi kegiatan diperlukan untuk mengukur keberhasilan kegiatan revegetasi yang telah berjalan dalam upaya merehabilitasi dan memulihkan lahan yang rusak. Hasil pelaksanaan evaluasi diperlukan untuk memberi rekomendasi dan bahan


(19)

masukan guna perbaikan pelaksanan kegiatan rehabilitasi lahan pada masa yang akan datang. Evaluasi kegiatan dapat dilakukan dengan cara melihat keberhasilan tumbuh tanaman (persentasi tumbuh) dan kesehatan tanaman (prosentase sehat), selain itu dapa juga melakukan pendekatan penilaian sumberdaya tanah.

Pendekatan penilaian kelestarian sumberdaya tanah telah banyak mengalami perkembangan dengan melibatkan berbagai fungsi tanah secara holistik, tidak hanya aspek produktivitas lahan saja. Untuk itu kegiatan penilaian memerlukan tolok ukur yang dapat menggambarkan kecenderungan umum perubahan kondisi tanah selama dimanfaatkan. Salah satu tolok ukur penilaian tersebut adalah kualitas tanah.

Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikator-indikator kualitas tanah. Indikator-indikator-indikator kualitas tanah dipilih dari sifat-sifat yang menunjukkan kapasitas fungsi tanah. Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001).

Kualitas tanah adalah gabungan komponen-komponen fisika, biologi dan kimia tanah serta interaksinya. Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikator-indikator kualitas tanah. Pengukuran indikator kualitas tanah menghasilkan indeks kualitas tanah. Indeks kualitas tanah merupakan indeks yang dihitung berdasarkan nilai dan bobot tiap indikator kualitas tanah. Penentuan kualitas tanah untuk mengevaluasi keberhasilan rehabilitasi lahan sangat diperlukan, oleh karena itu diperlukan penelitian mengenai kualitas tanah pada berbagai penutupan lahan hasil rehabilitasi lahan untuk melihat perkembangan kegiatan tersebut dan untuk memberi masukan untuk pengelolaan selanjutnya.

1.2. Perumusan masalah dan Kerangka pemikiran

Pengalihfungsian lahan dari lahan hutan menjadi penggunaan lain yang bukan peruntukannya akan menimbulkan penurunan kualitas lingkungan. Permasalahan yang timbul dari pengalihfungsian lahan hutan adalah terbentuknya lahan kritis yang karakteristik lahannya sebagai berikut :


(20)

1. Lahan miskin unsur hara , pH dan KTK rendah, serta bakteri pengurai tidak ada sehingga tumbuhan sulit tumbuh di lahan tersebut

2. Lahannya berupa lahan tidur yang tidak termanfaatkan

3. Hilangnya vegetasi alami dan berubahnya ekosistem lingkungan tersebut

Salah satu tindakan untuk mengatasi masalah tersebut di atas adalah dengan kegiatan rehabilitasi lahan. Upaya rehabilitasi dilakukan dengan tujuan agar kualitas lingkungan termasuk kualitas tanah pada lahan kritis dapat kembali seperti semula, produktivitas lahan diharapkan menjadi meningkat diiringi dengan tumbuhnya kembali vegetasi. Agar upaya rehabilitasi lahan ini berhasil sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk meningkatkan produktivitas lahan, maka kegiatan tersebut perlu dievaluasi dengan cara melakukan Pendekatan penilaian kelestarian sumberdaya tanah dengan mengukur kualitas tanahnya .

Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaruh kegiatan rehabilitasi lahan dengan revegetasi terhadap kualitas tanahnya ?

2. Penutupan lahan seperti apa yang paling baik untuk meningkatkan kualitas tanahnya ?

Lahan kritis

Kondisi vegetasi Kondisi Fisik linkungan

Kimia

Fisik Biologi

Upaya Rehabilitasi Lahan

Kualitas Tanah

Tesedianya data kualitas tanah dan lingkungan pada berbagai

penutupan lahan Curah Hujan, suhu, dan

kelembaban udara

Sumbangan terhadap ilmu pengetahuan Masukan di dalam


(21)

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

1.3. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mempelajari kualitas tanah pada berbagai penutupan lahan pasca revegetasi

2. Mendapatkan nilai indeks kualitas tanah untuk memperoleh informasi mengenai bentuk penutupan lahan yang paling baik dalam meningkatkan kualitas tanah dalam rangka rehabilitasi lahan.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana kualitas tanah pada berbagai penutupan lahan dan dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah, pengusaha maupun masyarakat dalam merehabilitasi lahan sehingga akan tercapai pengelolaan lingkungan dan sumberdaya lahan secara lestari.


(22)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanah

Tanah adalah tubuh alam yang berkembang akibat adanya interakasi antara bahan induk, bentang alam, iklim dan jasad hidup dalam rentang waktu tertentu dengan melibatkan serangkaian proses pembentukan tanah (Hardjowigeno, 2003). Bentuk dan intensitas interaksi antar faktor/komponen tersebut mengendalikan macam dan intensitas proses pembentukan tanah dan penampilan tubuh tanah yang terbentuk. Tubuh tanah tersusun dari satu atau lebih horison atau lapisan dengan watak-watak sifat fisik, sifat kimia dan sifat biologi yang berbeda antar horison dan mendatar (antar tubuh tanah). Faktor lingkungan di atas yang terlibat dalam pembentukan tanah disebut faktor-faktor pembentukan tanah. Keterkaitan antara faktor-faktor pembentukan tanah dengan tanah sebagai hasil pembentukan alami adalah melalui proses pembentukan tanah.

Tanah tersusun dari empat bahan utama yaitu bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan – bahan penyusun tersebut memiliki jumlah yang berbeda – beda untuk setiap jenis tanah ataupun lapisan tanah. Lapisan atas yang baik untuk pertumbuhan tanaman lahan kering (bukan sawah) umumnya mengandung 45 % bahan mineral, 5 % bahan organik, 20 – 30 % udara dan 20 – 30 % air (Hardjowigeno,2003).

Menurut Arsyad (2006) bahwa tanah mempunyai dua fungsi utama, yaitu (1) sebagai matriks tempat akar tumbuhan berjangkar dan air tanah tersimpan, dan (2) sebagai sumber unsur hara bagi tumbuhan. Menurunnya fungsi tanah inilah yang bisa disebut degradasi lahan. Apabila fungsi kedua menurun dapat diperbaiki dengan pemupukan, namun bila fungsi yang pertama yang menurun akan sulit diperbaiki

2.2. Kualitas Tanah

Doran & Parkin (1994) memberikan batasan kualitas tanah adalah kapasitas suatu tanah untuk berfungsi dalam batas-batas ekosistem untuk melestarikan produktivitas biologi, memelihara kualitas lingkungan, serta meningkatkan kesehatan tanaman dan hewan. Johnson et al. (1997) mengusulkan


(23)

bahwa kualitas tanah adalah ukuran kondisi tanah dibandingkan dengan kebutuhan satu atau beberapa spesies atau dengan beberapa kebutuhan hidup manusia.

Kualitas tanah diukur berdasarkan pengamatan kondisi dinamis indikator-indikator kualitas tanah. Pengukuran indikator-indikator kualitas tanah menghasilkan indeks kualitas tanah. Indeks kualitas tanah merupakan indeks yang dihitung berdasarkan nilai dan bobot tiap indikator kualitas tanah. Indikator-indikator kualitas tanah dipilih dari sifat-sifat yang menunjukkan kapasitas fungsi tanah. Indikator kualitas tanah adalah sifat, karakteristik atau proses fisika, kimia dan biologi tanah yang dapat menggambarkan kondisi tanah (SQI, 2001). Menurut Doran & Parkin (1994), indikator-indikator kualitas tanah harus (1) menunjukkan proses-proses yang terjadi dalam ekosistem, (2) memadukan sifat fisika tanah, kimia tanah dan proses biologi tanah, (3) dapat diterima oleh banyak pengguna dan dapat diterapkan di berbagai kondisi lahan, (4) peka terhadap berbagai keragaman pengelolaan tanah dan perubahan iklim, dan (5) apabila mungkin, sifat tersebut merupakan komponen yang biasa diamati pada data dasar tanah.

Karlen et al. (1996) mengusulkan bahwa pemilihan indikator kualitas tanah harus mencerminkan kapasitas tanah untuk menjalankan fungsinya yaitu: 1. Melestarikan aktivitas, diversitas dan produktivitas biologis

2. Mengatur dan mengarahkan aliran air dan zat terlarutnya

3. Menyaring, menyangga, merombak, mendetoksifikasi bahan-bahan anorganik dan organik, meliputi limbah industri dan rumah tangga serta curahan dari atmosfer.

4. Menyimpan dan mendaurkan hara dan unsur lain dalam biosfer.

5. Mendukung struktur sosial ekonomi dan melindungi peninggalan arkeologis terkait dengan permukiman manusia.

Berdasarkan fungsi tanah yang hendak dinilai kemudian dipilih beberapa indikator yang sesuai. Menurut Mausbach & Seybold (1998) Pemilihan indikator berdasarkan pada konsep minimum data set (MDS), yaitu sesedikit mungkin tetapi dapat memenuhi kebutuhan.


(24)

2.3. Lahan Kritis

Lahan kritis menurut hasil symposium pencegahan dan pemulihan lahan Kritis pada tahun 1975, didefinisikan sebagai tanah yang karena tidak sesuai dengan penggunaan dan kemampuannya telah mengalami atau dalam proses kerusakan fisika, kimia, dan biolagi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis, orologis, produksi pertanian, permukiman dan kehidupan sosial ekonomi dari daerah lingkungannya. Hidayat dan Thalib (1987) mengemukakan hal yang sama bahwa lahan kritis adalah lahan-lahan yang telah mengalami gangguan ataupun kerusakan baik secara fisika, kimia maupun biologinya.

Departemen Pertanian menetapkan lahan kritis pada hakekatnya adalah lahan yang pada saat ini kurang produktif lagi ditinjau dari segi pertanian karena pengelolaan dan penggunaannya tidak atau kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah. Pada lahan ini terdapat satu atau lebih unsur penghambat yang kurang mendukung usaha pemanfaatan lahan pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat mendefinisikan lahan kritis sebagai lahan yang telah mengalami kerusakan fisika tanah karena berkurangnya penutupan vegetasi dan adanya gejala erosi yang akhirnya membahayakan fungsi hidrologis dan daerah lingkungannya (Sunyoto et al. 1993).

Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan dengan Surat Keputusan Nomor 073/Kpts/V/1994 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai mendifinisikan lahan kritis adalah lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya sebagai media produksi ataupun media tata air. Lahan-lahan tersebut dapat berupa :

1. Lahan gundul yang sudah tidak bervegetasi sama sekali.

2. Padang alang-alang atau lahan-lahan yang ditumbuhi semak belukar yang tidak produktif.

3. Areal yang berbatu atau berparit sebagai akibat erosi tanah.

4. Lahan yang kedalaman solumnya sudah tipis sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik.


(25)

5. Tanah yang tingkat erosinya melebihi tingkat erosi yang dapat ditoleransikan, yaitu untuk tanah dengan kedalaman solum lebih dari 100 cm sebesar 14 ton/ha/tahun, daerah dengan kedalaman solum 30-100 cm sebesar 10 ton/ha/tahun dan tanah dengan kedalaman solum kurang dari 30 cm sebesar 5 to/ha/tahun.

Departemen kehutanan secara umum menyebutkan lahan kritis adalah lahan yang sudah tidak berfungsi sebagai media pengatur tata air dan unsur produksi pertanian yang baik. Keadaan ini dicirikan oleh keadaan penutupan vegetasi lebih kecil 25%, topografi dengan kemiringan lebih besar 15% dan ditandai dengan adanya gejala erosi lembar (sheet erosion) dan erosi parit (gully erosion). Suwardjo et al. (1996) membagi lahan kritis menjadi 4 (empat) kelas berdasarkan tingkat kekritisannya, yaitu potensial kritis, semi kritis, kritis dan sangat kritis, dengan penjelasan sebagai berikut :

1. Potensial Kritis

Lahan potensial kritis adalah lahan yang masih produktif tetapi kurang tertutup vegetasinya atau mulai terjadi erosi ringan, sehingga lahan akan rusak dan menjadi kritis. Lahan-lahan yang termasuk dalam kelas potensial kritis mempunyai ciri-ciri antara lain :

a. Masih memiliki fungsi produksi, hidroorologi sedang, tetapi bahaya untuk menjadi kritis sangat besar bila tidak dilakukan usaha konservasi.

b. Masih tertutup vegetasi dengan kondisi topografinya atau keadaan lerengnya sedemikian curam (lebih besar 45%), dan kondisi tanah atau batuan yang mudah longsong atau peka erosi sehingga bila vegetasi dibuka akan terjadi erosi berat.

c. Produktivitasnya masih baik, tetapi penggunaannya tidak sesuai dengan kemampuannya, dan belum dilakukan usaha konservasi, misalnya hutan yang baru dibuka.

2. Semi Kritis

Lahan semi kritis adalah lahan yang kurang atau tidak produktif, mempunyai ciri-ciri antara lain :


(26)

a. Mengalami erosi ringan hingga sedang (horison A lebih kecil dari 5 cm), antara lain erosi permukaan dan erosi alur, tetapi produktivitasnya rendah karena tingkat kesuburannya rendah.

b. Masih produktif tetapi tingkat bahaya erosi tinggi sehingga fungsi hidrologi menurun. Bila tidak ada usaha perbaikan maka dalam waktu relatif singkat akan menjadi lahan kritis. Solum tanah sedang (60-90 cm) dengan ketebalan lapisan atas (horison A) umumnya kurang dari 5 cm. Vegetasi dominan biasanya alang-alang, rumput dan semak belukar.

3. Lahan Kritis

Lahan kritis adalah lahan-lahan yang tidak produktif atau produktivitasnya rendah sekali, dengan ciri-ciri antara lain :

a. Mengalami erosi berat, dimana tingkat erosi umumnya erosi parit b. Kedalaman tanah yang sedang sampai dangkal (lebih kecil 60 cm) c. Persentase penutupan lahan kurang dari 50 %

d. Kesuburan tanah rendah dan meliputi daerah-daerah perladangan yang telah rusak, padang rumput/alang-alang dan semak belukar yang tandus.

4. Lahan sangat kritis

Lahan sangat kritis adalah lahan yang sangat rusak sehingga tidak berpotensi lagi untuk digunakan sebagai lahan pertanian dan sangat sukar direhabilitasi, dengan ciri-ciri antara lain ;

a. Mengalami erosi sangat besar (horizon A dan B hilang), selain erosi parit, banyak dijumpai tanah longsor, tanah merayap dengan dinding longsoran sangat terjal

b. Lapisa tanah dangkal (kurang dari 30 cm) atau tanpa lapisan atas atau tinggal bahan induk, sebagian horizon B tererosi

c. Persentase penutupan vegetasi sangat rendah, yaitu dibawah 25 % bahkan gundu atau tandus

2.4. Rehabilitasi lahan

Rehabilitasi lahan merupakan usaha untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Upaya rehabilitasi lahan harus mampu meningkatkan produktivitas lingkungan (Erfandi dan Dariah, 1991). Menurut Zulfahmi (1996), rehabilitasi


(27)

lahan ialah usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi lahan yang rusak agar dapat berfungsi kembali secara optimal sebagai unsur produksi, media pengatur air, dan sebagai unsure perlindungan alam.

Upaya rehabilitasi alam secara fisik bertujuan untuk pengendalian erosi, sedimentasi, banjir, perbaikan fluktuasi debit dan perbaqikan lingkungan. Usaha konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara vegetatif dan mekanik. Metode vegetatif adalah penggunaan tanaman dan sisa-sisanya untuk mengurangi daya rusak hujan, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan dan erosi. Konservasi dengan metode vegetatif dapat dilakukan dengan kegiatan reboisasi dengan penanaman dan suksesi alami, perlindungan mata air, alur sungai dan jurang, dan lain-lain. Metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah (Nugroho, 1999).

Menurut Arsyad dalam Sutrisno et al. (1993), pencegahan dan rehabilitasi tanah terdegradasi dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode mekanik, vegetatif, dan kimia. Perbaikan kerusakan tanah dapat dilakukan antara lain dengan penambahan pupuk organik maupun pupuk buatan. Menurut Abdurachman dan Agus (2001), pemberian bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah, menurunkan erodibilitas tanah, meningkatkan kapasitas memegang air tanah dan menyumbangkan sebagian hara bagi tanaman. Pemberian pupuk kandang pada umumnya memberikan dampak positif terhadap produksi tanaman.

2.5. Sifat Fisik Tanah

2.5.1. Bulk Density (kerapatan limbak)

Kerapatan limbak (bulk density) Merupakan cara lain menyatakan bobot tanah, dalam hal ini jumlah ruangan dalam tanah (ruang yang ditempati padatan air dan gas) turut diperhitungkan (Soepardi, 1983). Bobot isi tanah menunjukan tingkat kepadatan suatu tanah. Semakin tinggi bobot isinya, maka tanah tersebut akan semakin padat. Bobot isi tanah adalah bobot kering suatu unit volume yang terisi bahan padat dan volume ruangan (ruang pori tanah) yang dinyatakan dalam gr/cc (Haridjaja et al. 1983).

Menurut Hardjowigeno (1989) bahwa Tanah yang mempunyai bobot isi besar akan sulit meneruskan air atau sukar ditembus akar tanaman, sebaliknya


(28)

pada tanah dengan bobot isi yang lebih rendah akar tanaman akan mudah berkembang.

Bobot isi tanah dapat bervariasi dari waktu ke waktu atau dari lapisan ke lapisan sesuai dengan perubahan ruang pori atau struktur tanah. Keragaman ini mencerminkan derajat kepadatan tanah. Tanah dengan ruang pori berkurang dan berat tanah setiap satuan bertambah menyebabkan meningkatkan bobot isi tanah (Foth, 1988).

2.5.2. Permeabilitas tanah

Permeabilitas tanah merupakan kecepatan bergeraknya suatu cairan pada suatu media dalam keadaan jenuh. Permeabilitas ini sangat penting peranannya dalam pengelolaan tanah dan air (Haridjaja et al. 1983). Selanjutnya menurut Russel (1956) menyatakan bahwa permeabilitas tanah sebagai kecepatan air melalui tanah dalam keadaan jenuh pada periode tertentu dan dinyatakan dalam satuan cm/jam. Permeabilitas merupakan sifat fisika tanah yang langsung dipengaruhi pengolahan tanah, tanah dengan permeabilitas lambat lebih mudah tererosi daripada tanah dengan permeabilitas cepat. Penetapan permeabilitas tanah baik secara vertikal maupun horizontal sangat penting peranannya dalam pengelolaan tanah dan air (Baver, 1972).

Beberapa faktor yang mempengaruhi permeabilitas tanah antara lain tekstur, porositas tanah serta distribusi ukuran pori, stabilitas agregat, struktur tanah dan kandungan bahan organik (Hillel, 1980).

2.5.3. Air tersedia

Air tanah merupakan fase cair tanah yang mengisi sebagian besar atau seluruh ruang pori tanah (Haridjaja et al. 1983). Air ditahan dalam pori tanah dengan daya ikat yang berbeda–beda tergantung dari jumlah air yang ada dalam pori. Air bersama–sama dengan garam–garam yang larut air akan membentuk larutan tanah yang merupakan sumber hara bagi tumbuhan (Soepardi, 1983).

Selain dipengaruhi oleh tekstur, struktur dan kandungan bahan organik, jumlah air yang dapat digunakan oleh tanaman juga dipengaruhi oleh kedalam tanah dan sistem perakaran tanaman (Islami dan Utomo, 1995). Air tanah berperan penting dari segi pedogenesis maupun hubungannya dengan


(29)

pertumbuhan tanaman. Hancuran iklim, pertukaran kation, dekomposisi bahan organik, pelarut unsur hara dan kegiatan–kegiatan jasad mikro hanya dapat berlangsung dengan baik apabila tesedia air dan udara yang cukup (Haridjaja et al. 1983).

Kadar air dapat juga dinyatakan dalam persen volume yaitu persentase volume air terhadap volume tanah, cara ini mempunyai keuntungan karena dapat memberikan gambaran tentang ketersediaan air bagi tumbuhan pada volume tanah tertentu. Sebagian besar air tersedia merupakan air kapiler, yang ditahan tanah pada kelembaban antara kapasitas lapang dan koefisien layu (Hakim, et al. 1986).

2.5.4. Porositas Tanah

Ruang pori tanah yaitu bagian dari tanah yang ditempati oleh air dan udara, sedangkan ruang pori total terdiri atas ruangan diantara partikel pasir, debu dan liat serta ruang diatara agregat – agregat tanah (Soepardi, 1983). Pada tanah liat, porositasnya sangat beragam kerena perubahan pengembangan dan pengkerutan, agregasi, disversi dan pemadatan. Dengan demikian porositas dipengaruhi oleh tekstur, struktur dan bahan organik (Baver et al.1972). Serta ruang pori dipengaruhi oleh cara pengolahan tanah dan kedalaman tanah. Ruang pori pada lapisan tanah menurun dengan diolahnya lapisan atas tanah, tetapi penurunannnya tidak sebesar pada lapisan atas. Tanah mempunyai ruang mikro dan makro. Pori makro memperlancar gerakan udara dan air, sedangkan pori mikro menghambat gerakan udara dan air pada gerakan kapiler (Soepardi, 1983).

Porositas tanah dipengaruhi oleh kandungan bahan organik, struktur dan tektur tanah. Porositas tinggi jika bahan organik tinggi pula. Tanah–tanah dengan struktur remah atau granuler mempunyai porositas yang lebih tinggi daripada tanah–tanah dengan struktur pejal (Hardjowigeno, 1989)

2.6. Sifat Kimia Tanah

2.6.1. C-organik

C-organik adalah penyusun utama bahan organik. Menurut Istomo (1994) bahan organik ternyata mempunyai peranan yang sangat penting dalam tanah terutama pengaruhnya terhadap kesuburan tanah. Banyak sifat–sifat tanah baik


(30)

fisik, kimia dan biologi tanah secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh bahan organik.

Menurut Doran dan Parkin (1994) indikator–indikator yang digunakan dalam menentukan kualitas tanah terdiri dari 3 indikator yaitu C-organik, N-total dan biomassa karbon mikroorganisme (Cmic).

2.6.2. N-total (%)

Menurut Hardjowigeno (1989) Nitrogen dalam tanah berasal dari : a. Bahan organik tanah : bahan organik halus dan bahan organik kasar b. Pengikatan oleh mikroorganisme dari N udara

c. Pupuk d. Air hujan

Hilangnya N dari tanah disebabkan karena digunakan oleh tanaman atau mikroorganisme, N dalam bentuk NH+ diikat oleh mineral liat jenis ilit sehingga

tidak dapat digunakan oleh tanaman, N dalam bentuk NO3- mudah tercuci oleh air

hujan.

Kandungan N-total umumnya berkisar anatara 2000–4000 Kg/ha pada lapisan 0 – 20 cm tetapi tersedia bagi tanaman hanya kurang 3% dari jumlah tersebut (Hardjowigeno,1996).

2.6.3. P-Bray (ppm)

Unsur P dalam tanah berasal dari bahan organik, pupuk buatan dan mineral – mineral didalam tanah. Faktor yang mempengaruhi tersedianya P untuk tanaman adalah pH tanah. Fosfor paling mudah diserap oleh tanaman pada pH sekitar 6-7 (Hardjowigeno, 1989).

Didalam tanah terdapat dua jenis fosfor yaitu fosfor organik dan fosfor an organik. Bentuk fosfor organik biasanya terdapat banyak dilapisan atas yang lebih kaya akan bahan organik. Kadar P organik dalam bahan organik kurang lebih sama kadarnya dalam tanaman yaitu 0,2 – 0,5% (Leiwakabessy, 1988).

2.6.4. Kalium (me/100gr)

Unsur K dalam tanah berasal dari mineral–mineral primer tanah dan pupuk buatan. Unsur K ditemukan dalam jumlah banyak di dalam tanah. Tetapi hanya sebagian kecil yang digunakan oleh tanaman yaitu yang larut dalam air atau yang


(31)

dapat dipertukarkan (dalam koloid tanah). K dalam tanah dibedakan menjadi K tersedia bagi tanaman, K tidak tersedia bagi tanaman, dan K tersedia bagi tanaman tetapi lambat. Tanaman cenderung mengambil K dalam jumlah yang lebih banyak dari yang dibutuhkan tetapi tidak menambah produksi. K hilang dari tanah karena diserap tanaman dan proses leaching (Hardjowigeno, 1989).

2.6.5. KapaitasTukar Kation (me/100gr)

Kapasitas Tukar Kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubngannya dengan kesuburan tanah. Tanah–tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah–tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah–tanah berpasir (Hardjowigeno, 1989).

2.7. Sifat Biologi Tanah

2.7.1. Biomassa Mikroorganisme Tanah (Cmic)

Biomassa mikroorganisme merupakan bagian yang hidup dari bahan organik tanah yaitu bakteri, fungi, algae dan protozoa, tidak termasuk akar tanaman dan hewan yang berukuran lebih besar dari amoeba (kira-kira 5 x 103

µm3) (Jenkinson dan Ladd, 1981 dalam Djajakirana, 1993).

Menurut Lavahun (1995) biomassa mikroorganisme tanah merupakan sumber bervariasinya hara-hara tanaman dan juga agen pembentukan hara-hara tersebut. Selain itu merupakan agen perombakan dari semua bahan organik yang masuk ke dalam tanah, mengubahnya ke dalam bentuk senyawa anorganik sederhana, sehingga tanaman dapat menggunakannya lagi. Biomassa mikroorganisme ini memegang peranan penting dalam memelihara kesuburan tanah dan dalam siklus karbon, nitrogen, fosfor dan sulfur.

Biomassa mikroorganisme tanah mewakili sebagian kecil fraksi total karbon dan nitrogen tanah, tetapi secara relatif mudah berubah, sehingga jumlah aktifitas dan kualitas biomassa mikroorganisme merupakan faktor kunci dalam mengendalikan jumlah C dan N yang dimineralisasi (Hassink, 1994).


(32)

Biomassa mikroorganisme hanya menyusun 1-3% dari total C-organik tanah, tetapi merupakan hal penting untuk mengetahui bahan organik yang masuk ke dalam tanah (Jenkinson, 1977 dalam Martens, 1995). Biomassa mikrobia mencerminkan kadar C-organik serta menunjukkan jumlah substrat yang tersedia untuk pertumbuhan (Nuraini, 1997).

Pengukuran biomassa karbon mikroorganisme (Cmic) di dalam tanah

nilainya sangat kecil, tetapi dapat diketahui unsur C labilnya dibandingkan dengan pengukuran karbon bahan organik tanah, memberikan indikasi awal dan sensitif terhadap dinamika perubahan karbon.

Pengukuran biomassa mikrobia dapat memberikan gambaran potensi mineralisasi N tanah (Loiseau et al. 1994). Hal tersebut telah dibuktikan oleh Hassink (1994), bahwa biomassa mikrobia mempunyai korelasi positif dengan mineralisasi N. Jumlah biomassa mikroorganisme tanah dipengaruhi oleh keseimbangan antara ketersediaan C dan unsur hara lain yang tersedia di dalam tanah.

Sparling (1989) dalam Dally et al. (1993) menjelaskan kegunaan pengukuran Cmic dalam berbagai keadaan pengelolaan tanah antara lain :

a. Dalam memantau perubahan bahan organik pada konversi hutan menjadi lahan pertanian atau padang rumput.

b. Memantau perubahan bahan organik dan unsur hara pada pola tanaman dan sistem pertanian.

c. Mengukur unsur hara (N, P) yang potensial tersedia bagi tanaman. d. Dalam reklamasi lahan bekas tambang,

e. Dalam mendeteksi pengaruh pestisida terhadap mikroorganisme tanah, dan f. Dalam mengevaluasi peranan mikroorganisme tanah pada stabilitas agregat

tanah.

Pengukuran Cmic dikenalkan oleh Jenkinson dan Powlson (1976) yang

dikenal dengan metode fumigasi-inkubasi. Metode ini didasarkan pada dekomposisi dari sel-sel mikroorganisme tanah setelah diberi kloroform (CHCl3).


(33)

difumigasi ditambahkan ke dalam tanah yang difumigasi. Jumlah CO2 yang

dihasilkan selama 10 hari inkubasi diukur. Jumlah CO2 yang dihasilkan dari tanah

yang difumigasi dibandingkan dengan tanah yang tidak difumigasi di sebut CO2

Flush (CO2 yang berasal dari dekomposisi sel mikroorganisme tanah yang mati),

dengan menggunakan faktor konversi (biasanya 0.45) maka Cmic dapat dihitung.

Karena adanya kelemahan dalam metoda fumigasi-inkubasi yaitu bila digunakan untuk tanah tergenang dan tanah masam, Vance et al. (1987b) mengembangkan metode fumigasi-inkubasi menjadi fumigasi-ekstraksi.

2.7.2. Respirasi Tanah

Pengukuran respirasi (mikroorganisme) tanah merupakan cara yang pertama kali digunakan untuk menentukan tingkat aktivitas mikroorganisme tanah. Penetapan respirasi tanah adalah berdasarkan : 1) Penetapan jumlah CO2

yang dihasilkan mikroorganisme tanah dan 2) jumlah O2 yang digunakan oleh

mikroorganisme tanah. Pengukuran respirasi telah diperhatikan mempunyai korelasi yang baik dengan parameter yang lain yang berkatian dengan aktivitas mikroorganisme tanah seperti kandungan bahan organik, transformasi N atau P, hasil antara pH dan rata – rata jumlah mikroorganisme. Kecepatan respirasi lebih mencerminkan aktivitas metabolik dari pada jumlah, tipe atau perkembangan mikrobiota tanah (Anas, 1989).

2.7.3. Bahan Organik

Bahan organik mempunyai arti penting bagi kesuburan tanah terutama pada top soil. Bahan organik tersebut merupakan sumber nutrisi dan energi bagi organisme tanah, sehingga akan dikonsumsi dan didekomposisikan. Hasil dari dekomposisi oleh organisme tanah ini berupa hara yang mampu meningkatkan kesuburan tanah. Dekomposisi bahan organik merupakan proses perubahan dari serasah menjadi humus melalui aktifitas mikroorganisme tanah (Soepardi, 1983).

Aktifitas biologi dalam mengkonversi senyawa organik menjadi senyawa anorganik dikenal dengan istilah mineralisasi. Rata-rata proses dekomposisi oleh


(34)

mikroba dan mineralisasi ditentukan oleh kualitas sumber substrat dan kondisi lingkungan fisik (Foth, 1988).

Bahan organik mempengaruhi sifat fisika dan kimia tanah, khususnya di daerah tropika pada tanah yang berpasir dan liat yang didominasi oleh mineral liat 1 : 1, sebagian besar nutrisi tanaman dan sekitar 90 % kapasitas retensi unsur hara berasal dari bahan organik. Pada tanah yang tidak subur, bahan organik merupakan 90-95 % sumber N.

Budidaya pertanian akan menyebabkan penurunan kandungan bahan organik. Pada pertanian yang intensif dan terus-menerus akan menghabiskan kandungan bahan organik tanah, sebab siklus tertutup dari alam terganggu. Penyebab putusnya siklus tertutup dari alam adalah adanya pengangkutan biomassa yang merupakan sumber bahan organik pada siklus tertutup. Degradasi bahan organik akan mengurangi porositas mikro, tingkat infiltrasi dan aerasi tanah yang semuanya akan mempengaruhi kesuburan tanah.

Laju Perubahan Kandungan Bahan Organik

Kehilangan karbon tanah yang cepat akan diikuti oleh penurunan tingkat bahan organik tanah secara drastis dan hal ini terjadi pada beberapa dekade pada tanah-tanah pertanian. Kehilangan ini juga dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi ekosistem. Penurunan kandungan bahan organik yang cepat ini terjadi karena input biomassa yang diberikan ke dalam tanah hilang karena metabolisme bahan organik terhambat.

a. Pada Tanah-Tanah Pertanian

Tate (1987), menyatakan bahwa pada tanah-tanah pertanian yang produktif, kehilangan bahan organik yang terbawa panen cukup besar dibandingkan jumlah bahan organik yang dikembalikan ke dalam tanah, dan jumlah yang hilang pada tanah-tanah pertanian juga lebih besar daripada tanah rumput. Pada tanah-tanah yang diusahakan jumlah bahan organik yang dikembalikan ke dalam tanah lebih kecil sementara mineralisasi dan dekomposisi terus berlangsung sehingga penurunan kandungan bahan organik akan dipercepat,


(35)

aktifitas mikroorganisme juga akan tertekan akibatnya penurunan sifat fisik dan kimia yang mempengaruhi aktifitasnya.

Aktifitas mikroorganisme sebagian besar ditentukan oleh jumlah bahan organik yang mudah terlapuk. Seperti pada tanah rumput, sisa tanaman yang jatuh ke permukaan tanah pertanian akan termobilisasi sehingga aktifitas mikroorganisme meningkat. Selama terjadi mineralisasi bahan organik dan aktifitasnya akan menurun dengan banyaknya bahan yang lebih resisten.

b. Pada Tanah-Tanah Rumput

Transformasi bahan organik dibedakan dari ekosistem lain berdasarkan tipe dan jumlah bahan organik yang masuk ke dalam tanah, pengaruh rhizosfer dalam ekosistem dan distribusi input bahan organik. Selama pertumbuhan mikroorganisme tanah memperoleh input senyawa-senyawa organik yang mudah terlapuk secara terus-menerus. Laju transformasi bahan organik dalam ekosistem tanah merupakan bukti bahwa input bahan organik tersebut pada tanah rumput terjadi sepanjang pertumbuhan dimana akar dan tajuk akan dihasilkan terus-menerus.

Input C-organik yang terus-menerus dan distribusi perakaran tanaman juga mempunyai pengaruh besar terhadap sifat aktifitas mikrobial pada permukaan tanah. Aktifitas komonitas mikrobial tanah yang tinggi dapat dilihat pada tanah-tanah rumput dimana 80% atau lebih bahan organik yang masuk ke tanah-tanah akan dimineralisasi di tahun pertama (Tate, 1987).

c. Pada Tanah-Tanah Hutan

Reaksi-reaksi yang terjadi dalam bahan organik tanah yang terdapat di lahan hutan dapat diduga melalui sifat-sifat hutan tersebut. Transfer hara yang terjadi antara pengurai dan biomassa tanaman berkaitan erat. Permukaan tanah pada lahan hutan mengandung N besar dan sebagian besar terdapat pada biomassa di permukaan tanah. Kurang dari 10 % N-total tertinggi pada akar-akar pohon. Pada tanah-tanah hutan bahan organik masuk ke dalam tanah antara lain melalui eksudat dan pembusukan akar serta sampah hutan yang disebut litter (Tate, 1987).


(36)

Keberadaan spesies pohon adalah penting sebagai kontrol jumlah biomassa yang sampai di tanah. Menurut Joergensen et al. (1980) dikatakan bahwa meskipun biomassa akar hanya merupakan bagian yang kecil dari gudang hara di lahan hutan tetapi struktur dan dekomposisinya berpengaruh besar pada hara-hara yang terdapat di tanah hutan, dimana mereka didekomposisi pada laju yang lebih cepat daripada biomassa di permukaan tanah sehingga perakaran lebih mudah terlapuk daripada jaringan daun.


(37)

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada lokasi rehabilitasi lahan oleh Kelompok Tani Megamendung (KTM) di Blok S. Cipendawa Desa Megamendung Kec Cisarua, Kab Bogor yang merupakan daerah Sub Das Ciliwung Hulu (Gambar 2). Pengambilan data lingkungan dan sampel tanah dilakukan pada lokasi tersebut sedangkan analisis sifat fisik, kimia dan biologi tanah dilakukan di laboratorium fisis tanah, laboratorium kesuburan tanah, dan laboratorium biologi tanah Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya Lahan Fakultas Pertanian IPB.

Waktu Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan (November 2008 – Januari 2009). Survey penentuan lokasi penelitian dilaksanakan pada November 2008, pengambilan data akan dilaksanakan bulan Desember 2008 dan analisis data pada bulan Januari 2009.

3.2. Alat dan Bahan

Bahan – bahan yang digunakan antara lain contoh tanah utuh untuk analisis sifat fisik tanah, contoh tanah komposit untuk analisis sifat kimia dan biologi tanah, dan bahan – bahan kimia untuk analisis sifat tanah.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian : Peta lokasi, Autoklaf, cawan petri, ayakan, ember, polybag, gelas ukur, tabung reaksi, botol, oven, mikroskop, kamera, meteran/mistar, caliper, timbangan analitik, cangkul, kompas, GPS, sekop, komputer, soil tester, bor tanah, oven memert, gelas ukur, tabung film, plastik, kertas label, kertas saring, saringan, peralatan tulis, Cool box untuk menyimpan tanah dan peralatan analisis laboratorium.


(38)

Gambar 2 Peta lokasi penelitian

3.3. Metode Penelitian 3.3.1. Prosedur penelitian

Penelitian dilakukan dengan melakukan survai lapangan, pengambilan data lingkungan seperti curah hujan, suhu dan kelembaban serta pengambilan sampel tanah, analisis laboratorium, wawancara dengan kelompok tani dan pengumpulan data sekunder. Berdasarkan penutupan lahannya, lahan dipilih secara purposif dengan penutupan lahan berupa tanaman hutan (pohon jati- mengkudu/JM) seluas 5.220 m2, penutupan lahan berupa tanaman hutan campuran

(beberapa jenis pohon hutan/TC) seluas 2.640 m2, penutupan lahan berupa

tanaman pertanian (tanaman sayuran/TP) seluas 3.430 m2, dan penutupan lahan

berupa semak belukar (SB) seluas 1.510 m2. Dari masing-masing kelompok

dipilih 5 petak pewakil, sehingga pengambilan sampel secara komposit (Tan, 1995), kemudian dilakukan pemotongan penampang tanah untuk pengamatan profil tanah dan jeluk perakaran. Pada setiap penutupan lahan dilakukan pengukuran kondisi fisik lingkungan lain seperti infiltrasi, suhu dan kelembaban


(39)

udara, suhu dan kelembaban tanah, analisis vegetasi vegetasi pohon dan vegetasi tumbuhan bawah dan pendugaan erosi.

3.3. 2. Tehnik pengumpulan data

Penelitian dilakukan dengan mengumpulkan data Primer dan data sekunder yang didapat dari lapangan. Jenis-jenis data yang dikumpulkan adalah :

3.3.2.1. Data primer

Data Primer yang diambil di lokasi penelitian adalah :

1. Tanah

Untuk mendapatkan data mengenai sisat fisik, kimia dan biologi tanah, diambil contoh tanah dari penutupan lahan yang berbeda. Untuk pengumpulan data kimia dan biologi, maka contoh tanah diambil secara komposit dari 5 titik pada kedalaman 0 – 20 cm sebanyak 2 ulangan. Untuk pengambilan data sifat fisik tanah maka diambil 2 ulangan dari setiap penutupan lahan. Pada setiap blok dibuat pemotongan penampang tanah untuk pengamatan profil tanah.Cara pengambilan contoh tanah adalah sebagai berikut :

a. Contoh tanah utuh (undisturbed soil sample)

Pengambilan contoh tanah utuh untuk analisa sifat fisik tanah seperti berat isi (Bulk density), porositas, permeabilitas. Pengambilan contoh tanah utuh hanya pada satu kedalaman yaitu 0-20 cm (Gambar 3).

Kegiatan pengambilan contoh tanah dimulai dengan membersihkan bagian tubuh tanah yang akan diambil dari penutupan serasah dan batu, kemudian diratakan. Meletakkan ring sample tegak lurus di atas permukaan tanah tersebut dan ditekan hanya tiga perempat bagian masuk ke dalam tanah. Selanjutnya, meletakkan ring sample kedua di atas ring pertama, kemudian ditekan kembali sampai ring pertama dan ring kedua masuk ke dalam tanah. Ring beserta tanah di dalamnya digali dengan menggunakan sekop/cangkul. Kedua ring dipisahkan dengan hati-hati kemudian kelebihan tanah yang ada pada bagian atas dan bawah ring diiris hingga rata. Ring ditutup dengan menggunakan kantong plastik dan dimasukkan ke dalam cool box agar terjaga kelembabannya. Terakhir tanah dianalisa di laboratorium.


(40)

Gambar 3 Cara pengambilan sampel tanah utuh menggunakan ring sampel tanah

b. Contoh tanah biasa (disturbed soil sample)

Pengambilan contoh tanah biasa digunakan untuk analisa sifat kimia seperti pH, KTK, kadar air, dan kandungan hara. Kegiatan pengambilan contoh tanah dimulai dengan membersihkan permukaan tanah dari tanaman, daun dan sisa kotoran kemudian tanah diambil secara kompsit dari 5 titik dengan menggunakan cangkul dan pisau pada kedalaman 0 – 20 cm, kemudian cicampur menjadi tanah komposit sebanyak 1 Kg. Contoh tanah dimasukan kedalam kantung plastik dan diberi label dan dimasukkan ke dalam cool box agar terjaga kelembabannya. Terakhir tanah dianalisa di laboratorium.

2. Erosi tanah

Besarnya erosi tanah yang terjadi di lokasi penelitian ditentukan melalui pendugaan menggunakan metode Universal Soil-Loss Equation (USLE). Metode tersebut akan digunakan pada setiap penutupan lahan yang berbeda. Metode

8 cm 5 cm

a. ring sampel

b. Ring sampel di tekan ke dalam tanah

Tutup ring sampler

Permukaan tanah Rumput


(41)

USLE ini dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith pada tahun 1978. Metode USLE dirancang untuk memperkirakan rata-rata erosi tanah dari erosi lembaran dan erosi alur. Pendugaan tersebut tidak menghitung jumlah deposit dan hasil endapan dari erosi parit, dasar sungai dan tebing sungai. Metode ini digunakan pada petak contoh berukuran kecil berdasarkan penilaian di penampilan fisik lahan yang mengendalikan secara kuat terjadinya erosi tanah. Ukuran lahan yang kecil menjadi persyaratan utama dalam upaya meminimumkan keragaman penampilan fisik lahan sehingga meningkatkan keakuratan nilai laju erosi tanah yang prakirakan. Metode USLE dirancang untuk memprediksikan rata-rata kehilangan tanah yang disebabkan oleh aliran permukaan dalam jangka panjang pada area yang memiliki sistem pengelolaan dan tanaman yang spesifik. Metode ini juga dapat digunakan pada lahan non pertanian (Wischmeier dan Smith, 1978). Bentuk persamaannya adalah sebagai berikut :

PCSLKRA

...

= ... (1) dimana :

A = banyaknya tanah tererosi dalam ton per hektar per tahun

R = faktor curah hujan dan aliran permukaan, yaitu jumlah satuan indeks erosi hujan yang merupakan perkalian antara energi hujan total (E) dengan intensitas hujan maksimum 30 menit (I30)

tahunan.

K = faktor erodibilitas tanah L = faktor panjang lereng lahan S = faktor kemiringan lahan C = faktor penutupan lahan

P = faktor tindakan konservasi tanah

Untuk mendapatkan nilai erosivitas hujan (R) pada setiap kejadian hujan digunakan pendekatan yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978)

= i

n

EI

R 30 ... ( 2 )

Dimana :

R = erosivitas hujan rata-rata tahunan

n = jumlah kejadian hujan dalam kurun waktu satu tahun (musim hujan)

Energi kinetik hujan diperoleh dari persamaan yang dikemukakan oleh Lenvain (1989 dalam Asdak, 1995) :


(42)

EI30 = 2,21 P 1,36....... ( 3 )

Dimana :

EI30 = Indeks erosivitas bulanan

P = Rataan curah hujan (cm) pada suatu bulan

Nilai faktor K ditetapkan berdasarkan pendekatan yang dikembangkan oleh Wischmeir et al. (1971). Pendekatan yang digunakan dalam menentukan nilai K ini menggunakan nomograf erodibilitas tanah. Nomograf ini disusun berdasarkan lima parameter yaitu % fraksi debu dan pasir sangat halus, % fraksi pasir, % bahan organik, stuktur tanah, dan permeabilitas tanah.

Faktor indeks topografi L dan S, masing-masing mewakili panjang lereng dan kemiringan lereng yang diintegrasikan kedalam rumus yang dikembangkan oleh Foster dan Wischmeier (1973) :

(

) (

)

1,503

[

(

)

1,249

(

)

2,249

]

sin sin 5 , 0 cos 22

/ α α + α

= l C

LS m ... ( 4 )

Dimana :

m = 0,5 untuk lereng 5% atau lebih 0,4 untuk lereng 3,5-4,9%

0,3 untuk lereng kurang dari 3,5% C = 34,7046

α = sudut lereng

l = panjang lereng (m)

Untuk penentuan nilai faktor penutupan lahan (C) dipergunakan pendekatan yang digunakan oleh Arsyad (1989) (Lampiran 1). Penentuan besar faktor faktor tindakan konservasi tanah (P) digunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Arsyad (1989)(Lampiran 2).

3. Infiltrasi

Pengukuran lau infiltrasi dilakukan pada semua penutupan lahan sebanyak 2 ulangan. Pengukuran laju infiltrasi dilakukan dengan menggunakan alat infiltrometer ganda (double ring infiltrometer), yaitu satu infiltrometer silinder ditempatkan di dalam infiltrometer silinder lain yang lebih besar. Infiltrometer yang lebih kecil memiliki ukuran diameter 15 cm dan infiltrometer mempunyai ukuran diameter 30 cm dengan tinggi kedua ring adalah 10 cm. Pengukuran hanya dilakukan terhadap silinder yang kecil. Silinder yang lebih besar berfungsi sebagai penyangga yang bersifat menurunkan efek batas yang


(43)

timbul oleh adanya silinder (Asdak, 1995). Pengukuran dilakukan sampai laju infiltrasi mencapai nilai konstan dengan dua kali ulangan pengukuran. Laju infiltrasi merupakan penurunan kedalaman air per satuan waktu tertentu.

Persamaan infiltrasi yang digunakan yaitu persamaan Kostiakov (1932) dan Lewis (1937) diacu dalam Marshall dan Holmes (1988) :

F = kTn... ( 5)

dimana F = akumulasi infiltrasi (liter), T = waktu (jam), k dan n merupakan konstanta.

Laju infiltrasi pada t tertentu didapat dengan mendeferensialkan persamaan akumulasi infiltrasi terhadap t :

I = dF/dt = k n t n-1... (6 )

dimana I (mm/menit), t (menit), F (mm).

Nilai laju infiltrasi yang digunakan untuk perbandingan antara lahan pra-rehabilitasi dan lahan pasca rehabilitasi adalah nilai infiltrasi minimum setelah mencapai nilai konstan dalam satuan mm/jam.

4. Vegetasi

Analisis vegetasi dilakukan untuk mendapatkan data indeks nilai penting (INP) jenis vegetasi baik tanaman hutan maupun tumbuhan bawah pada lokasi penelitian. Untuk mendapatkan data vegetasi tanaman hutan maka akan dilakukan sampling terhadap penutupan lahan JM dan penutupan lahan TC. Pada penelitian ini petak contoh dibuat dengan metode petak tunggal (Soerianegara & Indrawan 1998).

Gambar 4 Bentuk petak contoh untuk analisis vegetasi tanaman hutan dan tumbuhan bawah

17,84 m

Plot untuk vegetasi pohon berukuran 0,1


(44)

Petak contoh dibuat berbentuk lingkaran dengan diameter 17,84 m sebanyak 2 petak untuk blok jati-mengkudu dan tanaman campuran. Selanjutnya di dalam petak contoh tersebut dibuat petak-petak contoh sekunder yang lebih kecil (secondary unit) dengan ukuran 1 x 1 m sebanyak 3 buah untuk analisis vegetasi tumbuhan bawah (Gambar 4). Pada penutupan semak belukar dan penutupan pertanian petak contoh hanya dibuat untuk tumbuhan bawah saja karena tidak ada vegetasi pohon.

3.3.2.2. Data Sekunder

Data sekunder dikumpulkan dari berbagai publikasi, studi, kajian dan peta meliputi :

1. Dokumen tentang kegiatan rehabilitasi lahan dari Kelompok Tani Megamendung termasuk hasil analisa tanah sebelum revegetasi.

2. Peta Rupa Bumi dan peta tataguna lahan 3. Peta lokasi dan peta geologi

3.3.3. Penentuan Indeks Kualitas Tanah

Indeks kualitas tanah dihitung berdasarkan kriteria Mausbach & Seybold (1998) dalam Partoyo (2005) yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi lahan penelitian. Modifikasi dilakukan pada beberapa hal yaitu:

1. Indikator C-total digantikan dengan C-organik, dengan pertimbangan bahwa kadar C-organik tanah tidak berbeda nyata dengan kadar C-total, karena tanah tidak mengandung CaCO3 sebagai sumber C anorganik. Selain itu pengukuran kadar C-organik juga lebih mudah dilakukan.

2. Indikator kemantapan agregat didekati dengan kadar debu+lempung, dengan pertimbangan kemudahan dalam analisis. Pengukuran kadar debu+lempung digunakan untuk menunjukkan kuantitas bahan yang dapat berperan pada fungsi pengaturan kelengasan, filtering dan buffering. 3. Bobot beberapa indikator disesuaikan dengan mempertimbangkan tingkat

kepentingan indikator dalam perbaikan kualitas tanah di lokasi penelitian. 4. Batas atas dan bawah dari beberapa indikator juga dinaikkan atau


(45)

penilaian hasil analisa tanah menurut Pusat Penelitian Tanah tahun 1983 (Prasetyo et al. 2005) (Lampiran 3).

Tabel 1 Modifikasi indikator, bobot dan batas-batas fungsi penilaian

Fungsi tanah Indikator Tanah Index Bobot

Fungsi Penilaian

Bobot Bobot Bobot Batas

Bawah

Batas Atas

1 2 3 X1 Y1 X2 Y2

Melestari-kan aktivitas biologi 04 Medium Perakaran 0,33 Jeluk Perakaran (cm)

0,6 0,079 5 0 180 1

Berat volume (gr/ cm3

)

0,4 0,053 2,1 0 0,5 1 Kelengasan 0,33

Porositas (%) 0,2 0,027 20 0 80 1

C-Organik (%) 0,4 0,050 0,2 0 5 1

Debu+liat (%) 0,4 0,053 0 0 100 1

Keharaan 0,33

pH (H2O) 0,2 0,013 4 0 8 1

P Bray (ppm) 0,2 0,027 2,5 0 50 1

K (me/100 g) 0,2 0,027 0,2 0 100 1

C-Organik (%) 0,2 0,040 0,2 0 10 1

N-total (%) 0,2 0,027 0,2 0 5,2 1

Pengaturan dan penyaluran air

0,3 Debu+liat (%) 0,6 0,18 0 0 100 1

Porositas (%) 0,2 0,06 20 0 80 1

Berat volume (gr/ cm3)

0,2 0,06 2,1 0 0,5 1

Filtring dan Buffering

0,3 Debu+lempung (%)

0,6 0,18 0 0 100 1

Porositas (%) 0,1 0,03 20 0 80 1

Proses Mikrobiologis

0,3

C-Organik (%) 0,33 0,029 0,2 0 10 1

N-total (%) 0,33 0,029 0,2 0 5,2 1

Respirasi 0,33 0,029 0 0 20 1

Cara perhitungan indeks adalah sebagai berikut :

1. Indeks bobot dihitung dengan mengalikan bobot fungsi tanah (bobot 1) dengan bobot medium perakaran (bobot 2) dengan bobot jeluk perakaran (bobot 3). Misalnya, indeks bobot untuk porositas diperoleh dengan mengalikan 0,40 (bobot 1) dengan 0,33 (bobot 2) dengan 0,60 (bobot 3), dan hasilnya sama dengan 0,079.


(46)

tanah dan fungsi penilaian. Skor berkisar dari 0 untuk kondisi buruk dan 1 untuk kondisi baik. Penetapan skor dapat melalui interpolasi atau persamaan linier sesuai dengan kisaran yang ditetapkan berdasar harkat atau berdasarkan data yang diperoleh . Menurut Masto ( 2007) Fungi skoring linier (FSL) adalah :

FSL (Y) = (x – s) / (t – s) ...(7) (Y) = 1 – [(x – s) / (t – s) ] ...(8)

Dimana, Y adalah skor linier, x adalah nilai sifat-sifat tanah, s dan t adalah nilai batas atas dan batas bawah.

3. Indeks kualitas tanah dihitung dengan mengalikan indeks bobot dan skor dari indikator.

3.4. Analisis Data

3.4.1. Analisis sifat Tanah

1. Sifat fisik tanah

Sample tanah yang digunakan merupakan sample tanah utuh sebanyak 100 gram yang diambil pada kedalaman 0 – 20 cm. Sifat fisik tanah yang di analisis antara lain tekstur, Bulk Density, porositas, kedalaman solum tanah, ketersediaan air dan permeabilitas

2. Sifat kimia tanah

Analisis sampel tanah di laboratorium dilakukan untuk penetapan: N-total, dengan metode Kjeldahl; Nitrat, dengan metode titrasi; P tersedia, dengan metode Bray; K tertukar, ekstrak NH4OAc dan diukur dengan flamefotometer; C-organik, dengan metode Walkley & Black; pH H2O, dengan pH stick; tekstur, dengan metode analisis granuler cara pipet; berat volume, dengan metode ring sampler; porositas dengan perhitungan menurut rumus n=1-(BV/BJ); kemantapan agregat. 3. Sifat biologi tanah

Pada sifat biologi tanah data yang diambil berupa biomasa carbon mikroorganisme (Cmic) dan total respirasi. Sifat – sifat tanah tersebut diatas

dianalisis dengan beberapa metode (Tabel 2).


(47)

No Parameter yang diambil Metode Analisis 1. Bahan Organik Tanah Pemanasan suhu tinggi

2. Infiltrasi Double ring infiltrometer

3. Pendugaan erosi Menggunakan model USLE

4. Iklim (suhu udara, kelembaban, dan Curah hujan)

Pengukuran lapang dan data sekunder dari BMG

5. Sifat Fisik 1. Bulk Density 2. Porositas 3. Air Tersedia 4. Kadar Air 5. Tektur tanah 6. Struktur tanah

8.kedalaman perakaran tanah

Nisbah bobot tanah / volume Volumeter Gravimetri Gravimetri Metode pipet Pengamatan lapang Pengamatan lapang 6. Sifat Kimia

1. C-Organik 2. N Total 3. P 4. K 5. KTK 6. pH

7. Electrical conductivity

Kjeldahl Kjeldahl P-Bray II

N NH4Oac Ph 7, AAS

N NH4Oac Ph 7, Titrasi

pH meter (Potentiometer) konduktometer

7. Sifat Biologi

1. Biomas Carbon Mikroorganisme (Cmic)

2. Total Respirasi tanah

Fumigasi-ekstaksi Inkubasi

3.4.2. Analisis Vegetasi

Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing spesies tumbuhan ditentukan dengan menjumlahkan KR, DR dan FR masing-masing spesies. Analisis vegetasi tanaman hutan dihitung dengan rumus sebagaimana diuraiakan Soerianegara dan Indrawan (1998) :

Kerapatan (K) = Jumlah Individu Jenis ...(9) Luas contoh

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan dari suatu jenis x 100 % …...(10) Kerapatan seluruh jenis

Dominansi (D) = Jumlah Bidang Dasar ...(11) Luas petak contoh

Dominansi Relatif (DR) = Dominansi dari suatu jenis x 100 % ...(12) Dominansi seluruh jenis

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukan suatu Jenis ...(13) Jumlah seluruh plot

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi dari suatu jenis x 100 % …...(14) Frekuensi seluruh jenis


(48)

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + DR + FR % ...(15)

Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing spesies tumbuhan bawah ditentukan dengan menjumlahkan KR dan FR masing-masing spesies. Analisis vegetasi tumbuhan bawah dihitung menggunakan persamaan 9, 10, 12, dan 13.

3.4.3. Analisis Data Kualitas Tanah

Data fisika, kimia, biologi tanah dan nilai indeks kualitas tanah dianalisis dengan uji berpasangan nilai tengah dari setiap penutupan lahan dengan menggunakan Uji-T. Untuk menganalisis data kualitas tanah pada berbagai penutupan lahan digunakan program komputer dengan sofware Microsoft Excel 2003, Minitab 14.


(49)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Letak dan Luas

Lokasi penelitian terletak di Blok S Cipendawa, Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Sub-DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. Berada di koordinat geografis 6o38’10’’ Lintang Selatan dan 106o54’28”

Bujur Timur, ketinggian tempat berkisar antara 709,5 – 772,85 mdpl, kemiringan lereng bervariasi dari 0 - 30o.

Jenis tanah latosol, jenis batuan gunung api muda, termasuk dalam geohidrologi akuifer setempat produktif, dan merupakan daerah resapan tak berarti (Bappeda Kabupaten Bogor 2005), curah hujan berkisar antara 3000-4000 mm per tahun. Pemukiman terdekat adalah Kampung Bengkok yang berjarak + 500 m ke arah selatan dan Desa Gunung Geulis + 1 km ke arah utara (termasuk wilayah DAS Cikarang) dari lokasi penelitian. Perjalanan menuju lokasi dapat ditempuh dengan berjalan kaki dan menggunakan mobil atau motor, berjarak + 2 km dari jalan raya Megamendung Puncak.

Berdasarkan pengukuran langsung di lapangan pada waktu penelitian luas masing- masing penutupan lahan adalah penutupan lahan JM seluas 5.220 m2,

penutupan lahan TC seluas 2.640 m2, penutupan lahan TP seluas 3.430 m2, dan

penutupan lahan SB seluas 1.510 m2.

4.2. Kondisi Sosial Masyarakat

Pemukiman masyarakat terdekat adalah Kampung Bengkok Desa Cipayung Girang Kecamatan Megamendung yang berjarak + 500 m arah selatan dan Desa Gunung Geulis Kecamatan Kedunghalang (DAS Cikarang) yang berjarak + 1 km arah utara dari lokasi penelitian. Mata pencaharian sebagian besar penduduk adalah sebagai buruh tani, penjaga villa dan tukang ojek, dengan tingkat pendidikan sebagaian besar adalah tamatan SD dan SMP. Lebih dari 50% tanah dimiliki oleh warga luar desa yang dibangun villa, dibiarkan dan/atau ditanami singkong.


(1)

Lampiran 5 Hasil perhitungan laju infiltrasi pada lokasi penelitian

Jati & mengkudu (1) Jati & mengkudu (2)

Jam ke t (jam) dh (cm) f (cm/jam) Jam ke t (jam) dh (cm) f (cm/jam)

0 0 0 0 0 0

0.03 0.03 1.5 50.00 0.03 0.03 0.9 30

0.08 0.05 2.9 58.00 0.08 0.05 0.9 18

0.16 0.08 2.4 30.00 0.16 0.08 1 12.5

0.24 0.08 2.1 26.25 0.24 0.08 0.9 11.25

0.32 0.08 2.1 26.25 0.32 0.08 1 12.5

0.44 0.12 3 25.00 0.49 0.17 2.1 12.35294

0.59 0.15 3.5 23.33 0.66 0.17 0.8 4.705882

0.74 0.15 3.5 23.33 0.83 0.17 1.7 10

0.9 0.16 3.5 21.88 1 0.17 1.6 9.411765

1.08 0.18 4.5 25.00 1.17 0.17 1.6 9.411765

1.27 0.19 3.5 18.42

1.46 0.19 3.5 18.42

Laju infiltrasi lahan bervegetasi jati & mengkudu : 13,916 cm/jam (139,16 mm/jam)

Campuran (1) Campuran (2)

Jam ke t (jam) dh (cm) f (cm/jam) Jam ke t (jam) dh (cm) f (cm/jam)

0 0 0

0.03 0.03 1.3 43.33333 0 0 0

0.08 0.05 1.3 26 0.03 0.03 0.4 13.33333

0.16 0.08 1.8 22.5 0.08 0.05 0.6 12

0.24 0.08 1.5 18.75 0.16 0.08 0.6 7.5

0.32 0.08 1 12.5 0.33 0.17 1 5.882353

0.4 0.08 1.3 16.25 0.5 0.17 0.8 4.705882

0.48 0.08 1.4 17.5 0.75 0.25 1 4

0.56 0.08 1.4 17.5 1 0.25 1 4

0.64 0.08 1.1 13.75 1.17 0.17 0.5 2.941176

0.72 0.08 0.9 11.25 1.34 0.17 0.5 2.941176

0.8 0.08 0.9 11.25

0.88 0.08 0.9 11.25


(2)

Semak & rumput (1) Semak & rumput (2)

Jam ke t (jam) dh (cm) f (cm/jam) Jam ke t (jam) dh (cm) f (cm/jam)

0 0 0 0 0 0

0.03 0.03 0.1 3.333333 0.03 0.03 0.1 3.333333

0.08 0.05 0.2 4 0.08 0.05 0.1 2

0.16 0.08 0.4 5 0.16 0.08 0.2 2.5

0.24 0.08 0.4 5 0.24 0.08 0.4 5

0.44 0.2 0.6 3 0.32 0.08 0.2 2.5

0.49 0.05 0.1 2 0.49 0.17 0.4 2.352941

0.66 0.17 0.5 2.941176 0.66 0.17 0.2 1.176471

0.83 0.17 0.4 2.352941 0.83 0.17 0.2 1.176471

1 0.17 0.4 2.352941 1 0.17 0.2 1.176471

Laju infiltrasi lahan bervegetasi semak & rumput : 1,765 cm/jam (17,65 mm/jam)

Lahan Pertanian : 1 Lahan Pertanian : 2 Jam ke

t

(jam) dh (cm) f (cm/Jam) Jam ke t

(jam) dh (cm) f (cm/jam)

0 0 0 0 0 0 0 0

0,01 0,01 3 372,41 0,02 0,02 2 83,72

0,26 0,02 3 127,06 0,05 0,03 3 100,93

0,29 0,00 3 99,08 0,21 0,03 3 86,4

0,32 0,03 2,5 104,65 0,25 0,03 3 87,10

0,47 0,00 3 81,20 0,39 0,04 3 81,82

0,51 0,04 3 87,80 0,43 0,04 3 78,83

0,62 0,04 3 72 0,47 0,04 3 72,97

0,75 0,05 3 62,79 0,58 0,03 2,5 74,38

0,80 0,00 3 57,14 0,61 0,03 2,5 74,38

0,85 0,00 2 37,89 0,72 0,03 2,5 73,77

0,91 0,00 2 39,13 0,98 0,04 2,5 67,16

0,96 0,00 3 40,15 1,02 0,04 2,7 63,95

1,03 0,07 40,15 1,10 0,03 2,00 57,60

1,11 0,08 3 37,50


(3)

Lampiran 6 Data informasi umum mengenai sejarah pengelolaan setiap penutupan lahan di lokasi penelitian

1. Penutupan lajan Jati-Mengkudu (JM) INFORMASI UMUM

1. Lokasi Lokasi penelitian terletak di Blok S

Cipendawa, Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Sub-DAS Ciliwung Hulu,

2. Jenis tanah Latosol

3. Curah Hujan 3000-4000 mm per tahun

4. Pengelola Kelompok Tani Megamendung (KTM)

5. Penutupan Lahan Tanaman monokultur (Jati Mengkudu/JM)

6. Luas 5.220 m2

PENGELOLAAN SAAT INI

1. Sistem Penanaman Multicrop antara jati dengan mengkudu

2. Pemupukan Tidak dipupuk

3. Pengendalian hama penyakit

Tidak dilakukan pemberian pestisida

4. Pengolahan Tanah Tanah tidak diolah

5. Irigasi Tidak ada pemberian air/penyiraman PENGELOLAAN MASA LALU (5-10) TAHUN YANG LALU

1. Sistem Penanaman Multicrop antara jati dengan mengkudu dan tanaman pertanian selama 2 tahun 2002-2004

2. Pemupukan Pada awal pengelolaan (2 tahun) diberi kompos sebanyak 10 ton/ha

3. Pengendalian hama penyakit

Tidak dilakukan pemberian pestisida

4. Pengolahan Tanah Tanah diolah dengan dibuat teras dan dicangkul sedalam 30 cm

5. Irigasi dilakukan pemberian air/penyiraman SEJARAH PENUTUPAN LAHAN

Tahun Penutupan lahan

1975-1985 Kebun cengkeh

1985-1998 Kebun teh

1998-2002 Kebun singkong, semak- rumput, tanah terbuka.


(4)

2. Penutupan lahan tanaman campuran (TC) INFORMASI UMUM

1. Lokasi Lokasi penelitian terletak di Blok S

Cipendawa, Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Sub-DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. Berada di

koordinat geografis 6o38’10’’ Lintang Selatan dan 106o54’28” Bujur Timur, ketinggian tempat berkisar antara 709,5 – 772,85 mdpl, kemiringan lereng bervariasi dari 0 - 30o.

2. Jenis tanah Latosol

3. Curah Hujan 3000-4000 mm per tahun

4. Pengelola Kelompok Tani Megamendung (KTM)

5. Penutupan Lahan Tanaman Heterokultur (Tanaman Campuran/ TC) tanaman jati, mengkudu, kopi, mahoni, puspa, makaranga

6. Luas 2.640 m2

PENGELOLAAN SAAT INI

1. Sistem Penanaman Multicrop spesies pohon dan MPTS

2. Pemupukan Tidak dipupuk

3. Pengendalian hama penyakit

Tidak dilakukan pemberian pestisida

4. Pengolahan Tanah Tanah tidak diolah

5. Irigasi Tidak ada pemberian air/penyiraman PENGELOLAAN MASA LALU (5-10) TAHUN YANG LALU

1. Sistem Penanaman Multicrop spesies pohon dan MPTS

2. Pemupukan Tidak dipupuk

3. Pengendalian hama penyakit

Tidak dilakukan pemberian pestisida

4. Pengolahan Tanah Tanah tidak diolah

5. Irigasi Tidak ada pemberian air/penyiraman SEJARAH PENUTUPAN LAHAN

Tahun Penutupan lahan

1975-1985 Kebun cengkeh

1985-1998 Kebun teh

1998-2002 Kebun singkong, semak- rumput, tanah terbuka.


(5)

3. Penutupan lahan semak belukar (SB) INFORMASI UMUM

1. Lokasi Lokasi penelitian terletak di Blok S

Cipendawa, Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor, Sub-DAS Ciliwung Hulu, Jawa Barat. Berada di

koordinat geografis 6o38’10’’ Lintang Selatan dan 106o54’28” Bujur Timur, ketinggian tempat berkisar antara 709,5 – 772,85 mdpl, kemiringan lereng bervariasi dari 0 - 30o.

2. Jenis tanah Latosol

3. Curah Hujan 3000-4000 mm per tahun

4. Pengelola Kelompok Tani Megamendung (KTM)

5. Penutupan Lahan Semak belukar

6. Luas 1.510 m2

PENGELOLAAN SAAT INI

1. Sistem Penanaman Tidak dilakukan penanaman

2. Pemupukan Tidak dipupuk

3. Pengendalian hama penyakit

Tidak dilakukan pemberian pestisida

4. Pengolahan Tanah Tanah tidak diolah

5. Irigasi Tidak ada pemberian air/penyiraman PENGELOLAAN MASA LALU (5-10) TAHUN YANG LALU

1. Sistem Penanaman Tidak dilakukan penanaman

2. Pemupukan Tidak dipupuk

3. Pengendalian hama penyakit

Tidak dilakukan pemberian pestisida

4. Pengolahan Tanah Tanah tidak diolah

5. Irigasi Tidak ada pemberian air/penyiraman SEJARAH PENUTUPAN LAHAN

Tahun Penutupan lahan

1975-1985 Kebun cengkeh

1985-1998 Kebun teh

1998-2002 Kebun singkong, semak- rumput, tanah terbuka.


(6)

4. Penutupan lahan tanaman pertanian (TP) INFORMASI UMUM

1. Lokasi Lokasi penelitian terletak di Blok S

Cipendawa, Desa Megamendung, Kecamatan Megamendung, Kabupaten Bogor

2. Jenis tanah Latosol

3. Curah Hujan 3000-4000 mm per tahun

4. Pengelola Kelompok Tani Megamendung (KTM)

5. Penutupan Lahan Tanaman Pertanian

6. Luas 3.430 m2

PENGELOLAAN SAAT INI

1. Sistem Penanaman Multicrop tanaman sayuran (sawi, cesim, cabe, cabe rawit, terung, ercis dan tomat)

2. Pemupukan Dipupuk kompos seetiap 3-4 bulan sekali sebanyak 10 ton/ha

3. Pengendalian hama penyakit

Tidak dilakukan pemberian pestisida

4. Pengolahan Tanah Tanah diolah di cangkul sedalam 30 cm dan dibuat bedengan setinggi 40 cm

5. Irigasi Dilakukan pemberian air/penyiraman setiap hari

PENGELOLAAN MASA LALU (5-10) TAHUN YANG LALU

1. Sistem Penanaman Multicrop tanaman sayuran (sawi, cesim, cabe, cabe rawit, terung, ercis dan tomat)

2. Pemupukan Dipupuk kompos seetiap 3-4 bulan sekali sebanyak 10 ton/ha

3. Pengendalian hama penyakit

Tidak dilakukan pemberian pestisida

4. Pengolahan Tanah Tanah diolah di cangkul sedalam 30 cm dan dibuat bedengan setinggi 40 cm

5. Irigasi Dilakukan pemberian air/penyiraman setiap hari