KEKUATAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK.

(1)

SKRIPSI

KEKUATAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

MITIA INTANSARI NIM. 1116051139

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(2)

KEKUATAN HUKUM SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.

MITIA INTANSARI 1116051139

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2016


(3)

Lembar Persetujuan Pembimbing

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 24 Maret 2016

Pembimbing I

A.A Sri Indrawati, SH., MH. NIP.19571014198601 2 001

Pembimbing II

I Nyoman Darmadha, SH., MH NIP. 19541231198103 1 033


(4)

SKRIPSI INI TELAH DI UJI PADA TANGGAL : 12 April 2016

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana Nomor : 0641/UN 14.4E/IV/PP/2016

Ketua : A. A Sri Indrawati, SH.,MH ( )

NIP. 19571014198601 2 001

Sekretaris : I Nyoman Darmadha, SH.,MH ( )

NIP. 19541231198103 1 033

Anggota : Ida Ayu Sukihana, SH.,MH. ( )

NIP. 195703111986012001

Marwanto, SH. M.,Hum ( )

NIP. 196001011986021001

A.A. Ketut Sukranatha, SH.,MH ( )

NIP. 195706051986011002


(5)

KATA PENGANTAR Om Swastiastu,

Puji syukur penulis penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan bimbinganNya akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Kekuatan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank”. Penyusunan skripsi ini merupkan salah satu persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana

Hukum dalam bidang studi Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dan dukungan moral dari berbagai pihak. Karena itu, melalui kesemptan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang dengan segala kebijakannya banyak membatu dalam memperlancar proses pendidikan;

2. Bapak I Ketut Sudiarta SH.,MH , Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Udayana;

3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Udayana;

4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Udayana;

5. Bapak A.A. Ngurah Oka Parwatha, SH., M.Si., Ketua Program Ekstensi Fakultas Hukum Universitas Udayana;

6. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, SH., MH, Ketua Bagian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Udayana;

7. Bapak A.A. Sri Indrawati, SH., MH., Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya untuk membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 8. Bapak I Nyoman Darmadha, SH., MH., Dosen Pembimbing II yang telah banyak

meluangkan waktunya untuk membantu dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;


(6)

9. Bapak I Made Walesa Putra, SH., M.Kn., Dosen Pembimbing Akademik yang telah membatu dalam mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Udayana;

10.Bapak/Ibu Dosen/ Pengajar beserta staff Pegawai Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah telah mendidik, membantu dan memberikan sumbangsih berupa ilmu pengetahuan dan pelayanan dalam urusan administrasi perkuliahan;

11.Kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan hormati, Bapak I Nyoman Muliana dan Ibu Luh Sri Jati, Kakak-Kakak Metta, Mia, dan Marcel, dan yang paling penulis sayangi Komang Aditya Indra Purnama, selalu memberikan dukungan dalam proses penyusunan skripsi ini.

12.Yang terakhir tidak lupa ucapkan terimakasih kepada seluruh teman-teman angkatan 2011 Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah membantu dalam perkuliahan dan penyelesian skripsi ini, tak lupa Wulan, Ita, Windu, Dwi, Cintya, Wulan Fridayanti, Gek Tri, Desy, Vitri dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis berharap para pembaca mendapatkan informasi yang berguna dari apa yang penulis uraikan. Penulis sangat menyadari atas ketidak sempurnaan skripsi ini, karena itu penulis sangat mengharapkan saran berupa kritikan-kritikan ataupun pendapat lainnya sebagai bahan pertimbangan koreksi kedepannya. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Om Shanti, Shanti,Shanti Om

Denpasar, 24 Maret 2016


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSYARATAN GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

HALAMAN PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ... iv

KATA PENGANTAR ...v

DAFRTAR ISI ... vii

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ...1

1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Rumusan Masalah ...8

1.3 Ruang Lingkup Masalah ...8

1.4 Orisinalitas Penelitian ...9

1.5 Tujuan Penelitian ...11

a. Tujuan umum ...11

b. Tujuan khusus ...11

1.6 Manfaat Penelitian ...12

a. Manfaat teoritis ...12

b. Manfaat praktis ...12

1.7 Landasan Teoritis ...18

1.8 Metode Penelitian ...18


(8)

1.8.2 Jenis pendekatan ...18

1.8.3 Sumber bahan hukum ...19

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ...20

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum...21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, KREDIT, SURAT KUASA MEMBEBANKAN HAK TANGGUNGAN, DAN HAK TANGGUNGAN ...22

2.1 Perjanjian dan Perjanjian Kredit ...22

2.1.1 Pengertian perjanjian dan syarat sahnya perjanjian ...22

2.1.2 Pengertian kredit ...28

2.1.3 Wanprestasi dalam perjanjian kredit ...33

2.2 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan ...35

2.2.1 Pengertian dan dasar hukum surat kuasa membebankan hak tanggungan ...35

2.2.2 Bentuk surat kuasa membebankan hak tanggungan ...39

2.3 Hak Tanggungan ...40

2.3.1 Pengertian dan dasar hukum hak tanggungan ...40

2.3.2 Asas-Asashak tanggungan ...46

BAB III KEDUDUKAN PEMEGANG HAK TANGGUNGAN DALAM APABILA WANPRESTASI...49

3.1 Pembebanan Hak Tanggungan Pada Bank ...49

3.2 Kedudukan Kreditur Pemegang Hak Tanggungan Apabila Debitur Wanprestasi...62


(9)

BAB IV UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN

KREDITUR (BANK) APABILA DEBITUR WANPRESTASI

DALAM PERJANJIAN KREDIT BANK DENGAN SKMHT ....67

4.1 Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Sebagai Dasar Dalam Pemberian Hak Tanggungan ...67

4.2 Upaya Penyelesaian Wanprestasi Dalam Pembebanan Hak Tanggungan ...80

BAB V PENUTUP ...83

5.1 Kesimpulan ...84

5.2 Saran-Saran ...85


(10)

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN

Dengan ini penulis menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Penulisan Hukum/ Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/ Penuliasan Hukum/ Skripsi ini terbukti merupkan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian surat penyataan ini saya buat sebagai pertanggung jawaban ilmiah tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 24 Maret 2016 Yang menyatakan,

( Mitia Intansari ) NIM. 1116051139


(11)

ABSTRAK

Tulisan ini berjudul “Kekuatan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank”. Salah satu hak yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah

terhadap tanah yang dikuasainya adalah menjaminkan hak atas tanah tersebutuntuk suatu utang tertentu dengan dibebani hak tanggungan. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan adalah surat atau akta yang berisikan pemberian kuasa yanhg diberikan oleh Pemberi Kuasa kepada Penerima Kuasa untuk mewakili Pemberi kuasa guna melakukan pemberian hak tanggungan kepada kreditor atas tanah milik Pemberi Kuasa dengan cara hadir dihadapan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). SKMHT ini digunakan apabiladebitur meminjam uang di bank dengan menggunakan tanah sebagai jaminannya, maka SKMHT ini dibutuhkan agar bank selaku debitur dapat memasangkan hak tanggungan pada tanah yang dijaminkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa SKMHT yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).

Kata kunci. Bank, Notaris/PPAT, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan


(12)

ABSTRACT

The painting is titled "The Power of Power of Attorney Law Imposing Mortgage In Bank Credit Agreement". One of the rights granted to holders of land rights to the land under their control are committed to ensuring land rights tersebutuntuk a particular debt burdened with security rights. Power of Attorney Imposing Mortgage is a letter or a certificate that contains the authorization yanhg given by the Principal to the endorsee to represent Giver power to conduct granting a security interest to a creditor on land owned by Principal by way appear before Notary Public / Official Deed Land (PPAT) , This SKMHT used apabiladebitur borrow money in the bank by using land as collateral, then SKMHT required to keep the bank as debtor can pair a security interest in the land as collateral. Under the provisions of Article 15 paragraph (3) and (4) of Law Mortgage, that SKMHT already registered shall be followed by the manufacture of Giving Mortgage Deed (APHT).

Keywords. Banks, Notary / PPAT, Power of Attorney Imposing Mortgage, Deed Granting Mortgage


(13)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan yang sedang giat dilaksanakan melalui rencana bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, baik materiil maupun spiritual. Salah satu cara untuk meningkatkan taraf hidup adalah dengan mengembangkan perekonomian dan perdagangan. Dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan ekonomi dan perdagangan di Negara manapun khususnya di Indonesia diperlukan dana tersedia yang cukup besar, dimana persediaan dana tersebut diperoleh dari kegiatan perkreditan, yang salah satunya dialokasikan melalui perbankan. Mengingat pentingnya kepastian akan tersalurkannya dana tersebut, sudah semestinya perlu adanya jaminan yang memadai dalam memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang berkepentingan. Oleh sebab itu perlu diatur keterkaitan pihak-pihak tersebut ke dalam suatu peraturan yang berimbang, dimana dalam hal ini secara khusus diatur didalam Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

Dengan diundangkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan dengan Tanah, maka hak tanggungan merupakan satu-satu lembaga hak jaminan atas tanah dalam hukum tanah nasional yang tertulis, dimana sebelumnya masih dikenal dua macam jaminan atas tanah yaitu lembaga jaminan hipotik dan Credietverband. Dengan adanya unifikasi jaminan atas tanah ini, maka dapat lebih menjamin kepastian hukum bagi para kreditur pemegang jaminan atas tanah.


(14)

Salah satu jaminan yang sering digunakan dalam pemberian kredit adalah jaminan hak tanggung atas tanah. Lembaga jaminan Hak Tanggungan digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang berupa tanah atau benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang bersangkutan yang pengikatan objek jaminan hutang dilakukan melalui lembaga jaminan Hak Tanggungan yang diaturpasa Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (yang untuk selanjutnya disebut

UUHT) memberikan definisi “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan

dengan tanah”, yang selanjutnya disebut “Hak Tanggungan”, sebagaimana diatur dalam Pasal 1

Ayat (1) UUHT sebagai berikut :

Hak Tanggungan adalah jaminan yang dibebankan pada hakatas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Udnang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok agrarian, berikut atau tidak berikut benda-benda lain merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Aturan hukum mengenai pelasanaan pemberian hak tanggungan dalam suatu perjanjian kredit bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum bagi semua pihak baik kreditur maupun debitur dalam memanfaatkantanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan kredit.

Menurut Pasal 4 UUHT, tanah yang dapat dijadikan jaminan adalah Tanah Hak Milik, Tanah Hak Guna Usaha, Tanah Hak Guna Bangunan, dan Tanah Hak Pakai atas tanah Negara. Pengikatan jaminan atas tanah hak tersebut adalah dengan Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang didalamnya meliputi seluruh bangunan dan tanaman yang berada diatasnya dan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan.

Pemberian Hak Tanggungan oleh debitur kepada Bank ditempuh melalui tata cara yang diatur dalam Pasal 10 UUHT yang tata cara pemberian hak tanggungannya didahului dengan


(15)

janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang, sedangkan Pasal 15 UUHT diatur tentang pemberian kuasa hak tanggungan.

Penyerahan jaminan debitur kepada kreditur sebagai pemberian hak tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (yang selanjutnya disebut APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (yang selanjutnya disebut PPAT). Di dalam APHT wajib dicantumkan keterangan mengenai :

a. Nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan b. Domisili pemegang dan pemberi hak tanggungan

c. Nilai Tanggungan

d. Uraian jelas mengenai obyek hak tanggungan1

Pasal 11 ayat (2) UUHT menyatakan bahwa APHT dapat dicantumkan janji-janji. Dimuatnya janji-janji dalam APHT tersebut yang kemudian harus didaftarkan pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Pendaftaran ini merupakan syarat mutlak untuk lahirnya hak tanggungan dan akta tersebut mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Selain itu, dengan didaftarkannya APHT pada Kantor Pertanahan maka terpenuhi asas publisitas, artinya setiap orang dapat mengetahui bahwa ha katas tanah sedang dibebani hak tanggungan.2

Penjelasan Umum angka 7 dinyatakan bahwa walaupun objek hak tanggungan sudah berpindahtangan dan menjadi pihak lain, kreditur masih dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitur cidera janji. Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi pemegang hak tanggungan. Dan penjelasan Pasal 15 ayat (1) UUHT dinyatakan bahwa pada asanya pemberian Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan

1

Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, h.425.

2


(16)

dengan cara hadir dihadapan Pejabat Pembuatan Akta Tanah. Hanya apabila benar-benar diperlukan, yaitu dalam hal pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir dihadapan PPAT, maka diperkenankan penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (yang selanjutnya disebut SKMHT) yang berbentuk akta otentik. Sejalan dengan hal tersebut, surat kuasa harus diberikan langsung oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya dalam ketentuan Pasal 15 UUHT. Lebih lanjut dijelaskan Pasal 15 ayat (2) UUHT, bahwa :

Kuasa untukMembebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya, sedangkan dalam ketentuan Pasal 15 ayat (1) dikatan SKMHT harus berbentuk otentik yang dibuat oleh Notaris atau PPAT.

Untuk dapat tercapainya kepastian hukum dan mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa, maka jangka waktu berlakunya SKMHT harus dibatasi. Pasal 15 ayat (3) UUHT menentukan bahwa SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib segera diikuti dengan pembuatan APHT dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah diberikan. Tetapi dalam ketentuan ayat (4), SKMHT mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan APHT selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. Tetapi pada kenyataannya dalam praktek ada SKMHT yang dibuat tidak diikuti dengan APHT.

Dengan semakin meningkatnya penyaluran kredit biasanya disertai pula dengan meningkatnya kredit yang bermasalah, walau presentase jumlah dan peningkatnya kecil, tetapi kredit bermasalah ini akan dapat mempengaruhi kesehatan perbankan. Kegiatan menyalurkan kredit mengandung resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan usaha bank.


(17)

Kestabilan keuangan bank sangat dipengaruhi oleh keberhasilan mereka dalam mengelola kredit yang disalurkan.

Oleh karena itu, pemberian kredit perbankan harus didasarkan pada persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam, atau dengan istilah lain harus didahului dengan Perjanjian Kredit. Perjanjian kredit tidak dapat dilepas dari ruang lingkup KUHPerdata. Menurut Pasal 1313 KUHPerdata, perjanjian dirumuskan sebagai suatu perbuatan bahwa satu orang lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Perjanjian kredit pada umumnya dibuat secara tertulis, karena kredit secara tertulis lebih aman dibandingkan dalam bentuk lisan. Dengan bentuk tertulis para pihak tidak dapat mengikari apa yang telahy diperjanjikan, dan ini akan merupakan bukti yang kuat dan jelas apabila terjadi sesuatu kepada kredit yang telah disalurkan atau juga dalam hal terjadi ingkar janji oleh pihak bank.3

Perjanjian kredit baru mempunyai kekuatan mengikat apabila perjanjian kredit tersebut disetujui tentang isi dan maksud dari perjanjian tersebut dan para pihak paham dan mengerti sehingga bersedia menerima segala akibat hukum yang timbul dengan membubuhkan tandatangan sebagai sahnya perjanjian. Agar suatu perjanjian sah menurut hukum diperlukan 4 (empat) persyaratan sebagai mana tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. Suatu pokok persoalan tertentu

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

3


(18)

Kedudukan bank dengan nasabah dalam pemberian kredit adalah setara, dan terdapat asas-asas umum dalam hukum perjanjian yang menekankan kesetaraan dimaksud seperti konsesualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas persamaan hukum.4

Dalam memberikan kredit pada nasabah, bank mensyaratkan adanya jaminan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak. Jaminan tersebut sangat penting sebagai pengaman kredit yang telah diberikan oleh pihak bank. Nasabah nyang meminjam kredit di bank untuk modal usaha, dalam menjalankan usahanya tidak selalu mendapatkan keuntungan tetapi sering juga mengalami kerugian sehingga faktor tersebut mereka tidak dapat mengembalikan pinjamannya kepada bank sampai jatuh tempo jangka waktu yang telah ditentukan. Hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan wanprestasi dari nasabah terhadap bank, yang bertindak sebagai kreditur. Dalam dunia perbankan, hal semacam ini dikenal dengan kredit tidak lancar atau macet.

Wanprestasi merupakan suatu peristiwa atau keadaan dimana debitur tidak memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik. Wanprestasi diatur pada Pasal 1238 KUHPerdata yang menyatakan bahwa Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan dinyatakan lalai, atau demi

4

Jonker Sihombing, 2009, Tanggung Jawab Yuridis Bankir Atas Kredit Macet Nasabah, PT. Alumni, Bandung, h.57.


(19)

perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Sedangkan Pasal 1243 KUHPerdata menyatakan Penggantian biaya, kerugian, dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai untuk memenuhi perikatan itu, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

Namun untuk dapat dinyatakan wanprestasi, maka harus melalui Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.5

Berdasarkan latar belakang diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian hukum yang dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul:Kekuatan Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi 2. Upaya hukum apa yang dilakukan kreditur bank dalam hal debiturwanprestasi dengan

pembebanan hak tanggung atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT)

1.3Ruang Lingkup Masalah

Agar pembahasan tidak meluas, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas. Adapun ruang lingkup masalah adalahkedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi dan Upaya hukum apa yang dilakukan

5

J. Satrio, 2012, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, Dan Yurisprudensi, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, h.2.


(20)

kreditur bank dalm hal debitur wanprestasi dengan pembebanan hak tanggungan atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT).

1.4Orisinalitas Penelitian

Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia, maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan, beberapa judul penelitian skripsi atau disertasi terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 2(dua) Skripsi yang pembahasannya berkaitan dengan perjanjian kredit bank dengan surat kuasa membebankan hak tanggungan:

No Judul Penulis Rumusan Masalah

1. Pelaksanaan Perjanjian Kredit Bank Dalam Hal

Surat Kuasa

Membebankan Hak

Tanggungan Yang Dibuat Tidak Diikuti dengan Akta

Pemberian Hak

Tanggungan

Ni Wayan Sukna Ekajayanti

(Mahasiswa

Fakultas Hukum Universitas

Udayana,

Denpasara), Tahun 2014.

1. Bagaimana akibat hukum pelaksanaan perjanjian kredit dalam hal SKMHT tidak diikuti dengan APHT?

2. Bagaimanakah

kedudukan bank

sebagai kreditur apabila SKMHT tidak diikuti dengan APHT dalam hal debitur wanprestasi?


(21)

2. Perlindungan Hukum Bagi Kreditur Dalam Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan

Susanti Program Pascasarjana

Universitas Islam

Negeri Sunan

Kalijaga, Yogyakarta

1. Bagaimana upaya

perlindungan hukum

dalam perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan oleh BRI

Cabang Temanggung

Unit Kandangan?

2. Bagaimana mekanisme penyelesaian kredit macet

di BRI Cabang

Temanggung Unit

Kandangan?

Tabel 1.2. Daftar Penelitian Penulis

No Judul Skripsi Penulis Rumusan Masalah

1. Kekuatan Hukum Surat

Kuasa Membebankan

Hak Tanggungan Dalam Perjanjian Kredit Bank

Mitia

Intansari,Fakultas Hukum

Universitas

Udayana, Tahun 2016.

1. Bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi? 2. Upaya hukum apa yang

dilakukan kreditur bank dalam hal debitur wanprestasi dengan


(22)

pembebanan hak tanggung atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT)

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut diatas, tujuan dari penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Adapun kedua tujuan tersebut antara lain.

1.5.1 Tujuan umum

1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi

2. Untuk mengetahui upaya hukum apa yang dilakukan kreditur dalam hal wanprestasi yang membebani hak tanggungan atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT).

1.5.2Tujuan khusus

1. Untuk memahami bagaimana kedudukan bank pemegang hak tanggungan dalam hal debitur wanprestasi

2. Untuk memahami upaya hukum apa yang dilakukan kreditur dalam hal wanprestasi yang membebani hak tanggungan atas dasar surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT).

1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1Manfaat teoritis


(23)

Penulisan skripsi ini dapat djadikan sebagai bahan penelitian atau penulisan bagi lembaga Fakultas Universitas Udayana dan sebagai bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Udayana.

1.6.2Manfaat praktis

Manfaat praktis yaitu manfaat dari penelitian hukum ini yang berkaitan dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari rencana penelitian ini sebagai berikut:

1. Menjadi wahana bagi penelitian untuk mengembangkan penalaran dan membentuk pola pikir sekaligus untuk mengetahui kemampuan peneliti dalam menerapkan ilmu yang diperoleh;

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberi masukan kepada semua pihak yang membutuhkan pengetahuan terkait dengan permasalahan yang diteliti dan dapat dipakai sebagai sarana yang efektif dan memadai dalam upaya mempelajari dan memahami ilmu hukum, khususnya pelaksanaan perjanjian kredit dalam surat kuasa membebankan hak tanggungan.

1.7 Landasan Teoritis

Salah satu yang diberikan kepeda pemegang hak atas tanah terhadap tanah yang dikuasainya adalah menjaminkan hak atas tanah tersebut untuk suatu utang tertentu dengan dibebani hak tanggungan. Dalam perkembangannya praktik pemberian kredit tidak cukup hanya didasarkan pada keyakinan dan kepercayaan kepada debitur, tetapi perlu juga disertai jaminan berupa barang guna mengantisipasi kemungkinan terjadinya wanprestasi atau debitur cidera janji dalam pengembalian kredit. UUPA mengatur bahwa hak atas yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan adalah hak milik, hak guna usaha,k dan hak guna bangunan.


(24)

Dalam Pasal 1 angka 1 UUHT dinyatakan bahwa hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah sebagaimana yang dimaksud oleh UUPA. Hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan harus vmemenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh UUHT, yaitu hak atas tanah tersebut menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Kedua syarat tersebut sifatnya kumulatif, yaitu apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka hak atas tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Dalam pembebanan hak tanggungan, PPAT yang merupakan pejabat umum diberi wewenang untuk membuat APHT serta membuat SKMHT apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir dihadapan Notaris/PPAT.

Pembuatan APHT didahului dengan adanya perjanjian pokok yaitu dalam hal ini adalah perjanjian kredit. Dengan menunjuk ketentuan Pasal 1 angka (12) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 yang menyatakan bahwa kredit diberikan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain.

Sedangkan SKMHT awalnya sangat asing terdengan bagi orang yang tidak pernah menggunakan tanah sebagai jaminan untuk meminjam uang di bank, tetapi bagi sebagian orang yang pernah atau sering meminjam uang di bank dengan menggunakan tanah sebagai jaminan, SKMHT sudah terbiasa terdengar bahkan menjadi salah satu pihak yang disebutkan dalam SKMHT tersebut. SKMHT ini digunakan apabila debitur meminjam uang di bank dengan menggunakan tanah sebagai jaminannya, maka SKMHT ini dibutuhkan agar bank selaku kreditur dapat memasangkan hak tanggungan pada tanah yang dijaminkan. Bila dikaji lebih jauh dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat, baik masyarakat di perkotaan maupun masyarakat pedesaan.


(25)

Kredit adalah penyediaan uang yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan.

Kredit yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur harus diamankan, oleh karena itu pihak kreditur memerlukan jaminan agar uang kredit diberikan tersebut dapat dikembalikan sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan sebelumnya. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) tidak memberikan pengertian tentang jaminan, tetapi hanya mengatur ketentuan umum mengenai jaminan yaitu Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata.

Pasal 1131 KUH Perdata menyatakan bahwa “segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akanada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”.

Jaminan berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata tersebut bersifat umum, yang berlaku untuk seluruh kreditur, sedangkan Pasal 1132 KUH Perdata, menyatakan diperbolehkan hak jaminan yang bersifat istimewa dan didahulukan (khusus), miasalnya dalam bentuk hak tanggungan.

Tanah sebagai benda tidak bergerak dapat dijadikan jaminan, dan tanah tersebut dapat dipasangkan hak tanggungan sebagai tanda bahwa tanah tersebut digunakan bank, hak tanggungan sifatnya tidak dapat dibagi-bagi, dan obyek hak tanggungan menurut Pasal 4 ayat (1) UUHT adalah :

1. Hak Milik; 2. Hak guna usaha; 3. Hak guna bangunan.


(26)

Kaitannya dengan hal tersebut diatas, apabila selaku debitur meminjam uang di bank dan tanah digunakan sebagai jaminan atas pinjaman tersebut, maka pihak bank selaku kreditur akan menganalisa terlebih dahulu jaminan tersebut dengan membutuhkan waktu minimal 7 hari. Setelah bank dapat menentukan nilai tanah tersebut, maka pihak bank menyerahkan sertifikat tanah tersebut sebagai tanda bukti hak kepada notaris untuk segera memproses pemasangan hak tanggungan di Kantor Pertanahan Nasional (BPN). Proses ini pun juga memerlukan waktu yang tidak singkat, apalagi jika tanah tersebut tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh BPN, proses pemenuhan syarat guna memasangkan hak tanggungan inilah yang menyebabkan adanya SKMHT yang harus ditandatangani oleh bank selaku kreditur dan peminjam selaku debitur. SKMHT ini digunakan oleh kreditur yang berfungsi sebagai pengaman bagi pihak bank, agar tetap memiliki jaminan atas kredit yang diberikan walaupun sertifikat tersebut masih dalam proses di BPN. SKMHT ini harus dibuat oleh pejabat yang berwenang dengan itu, yang alam hal ini pejabat tersebut adalah Notaris.

Pengertian Notaris terdapat dalam Pasal 1 Undang-Undnag Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (yang selanjutnya disebut UUJN), yaitu Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.

Salah satu ketentuan baru dalam UUJN adalah kewenangan Notaris untuk membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan. Kewenangan ini diatur dalam ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN dan Pasal 15 ayat (1) UUHT.

Menurut Pasal 15 ayat (1) UUHT, menyebutkan SKMHT wajib dibuat dengan akta Notaris atau akta PPAT dengan memenuhi persyaratan sebagai berikut :


(27)

1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan.

2. Tidak memuat kuasa substitusi (kuasa pengganti).

3. Mencantumkan secara jelas obyek hak tanggungan, jumlah utang, dan identitas krediturnya, serta nama dan identitasnya debitur apabila debitur bukan pemberi hak tanggungan.

Dari ketentuan Pasal 15 ayat (1) UUHT diatas, maka dengan kata lain perjanjian pemberian kuasa membebankan hak tanggungan sifatnya memaksa, yaitu para pihak tidak bebas untu menentukan sendiri, baik bentuk maupun isi dari perjanjian tersebut. Sedangkan Pasal 15 ayat (3) UUHT disebutkan SKMHT mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan APHT selambat-lambatnya 1(satu) bulan setelah ditandatanganinya SKMHT.

Pembuatan APHT oleh PPAT atas dasar surat kuasa yang bukan merupakan SKMHT in originali merupakan cacat hukum dalam proses pembebanan Hak Tanggungan. Karena walaupun telah dilaksanakan pendaftarannya, keabsahan Hak Tanggungan yang bersangkutan tetap terbuka kemungkinannya untuk digugat oleh pihak-pihak yang dirugukan yang dalam hal ini yaitu kreditur. Kreditur yang dirugikan dapat menuntut ganti kerugian kepada PPAT dan notaris yang bersangkutan. PPAT disini hanya berwenang untuk membuat APHT mengenai obyek Hak Tanggungan yang berletak di wilayah daerah kerjanya. Pembatasana ini tidak berlaku terhadap notaris dalam pembuatan SKMHT adalah dalam rangka memudahkan pemberian layanan kepada pihak-pihak yang memerlukan.


(28)

1.8 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Untuk dapat memahami objek dari skripsi ini maka dibuat dengan menggunakan pendekatan dan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan suatu karya ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut.6

1.8.1 Jenis penelitian

Jenis penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan permasalahan adalah penelitian hokum normatif. Dalam penelitian hukum jenis ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang ditulis dalam peraturan perundang-undangan/ hukum dikonsepkan sebagai kaidah/ norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.7

1.8.2 Jenis pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalampenulis ini adalah pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach) dan pendekatan Undang-Undang (the statue approach). Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang bersangkutan paut dengan isu hokum yang sedang ditangani.8

Pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conceptual approach) adalah pendekatan yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu

6

Alimudin Tuwu, 1993, Pengantar Metode Penelitian, Get 1, Universitas Indonesia, Jakarta, h.73.

7

Amirudin, H Zainal Asikin, 2006, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Cetakan Pertama, Jakarta, h.118

8


(29)

hukum. Dengan mempelajari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Dua pendekatan ini digunakan agar diperoleh hasil penelitian yang lebih akurat.

1.8.3 Sumber bahan hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat, yaitu :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta

Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah;

e. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

f. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria; g. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun

1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan.9

9


(30)

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literature, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengunduh bahan hukum yang diperlukan.10

2. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan hukum sekunder, yaitu berupa kamus , yang terdiri dari : a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta

b. Black’s Law Dictionary

c. Kamus Hukum

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh melalui pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi pustaka yang meliputi bahan hukum primer, yaitu perundang-undangan yang relevan dengan permasalahan. Bahan hukum sekunder, yaitu buku-buku literature ilmu hukum serta tulisan hukum lainnya yang relevan dengan permasalahan.

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum

Setelah data-data baik primer maupun sekunder yang dibutuhkan terkumpul, maka bahan hukum tersebut akan diolah dan dianalisa dengan menggunakan tehnik pengolahan data secara kualitatif yaitu yang menguraikan data secara bermutu dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga mempermudahkan pemahaman dan interprestasi data.11

10

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, h.141

11


(31)

Selain menggunakan tehnik pengolahan data secara kualitatif juga digunakan tehnik analisis deskripsi. Tehnik deskripsi adalah tehnik dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaannya. Deskripsi berarti uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi proposisi hukum atau non hukum.

Setelah melalui proses pengolahan dan analisa, selanjutnya data tersebut disajikan secara deskriptif analisis yaitu penyajian yang menggambarkan secara lengkap tentang aspek-aspek hukum permasalahan yang teliti dan selanjutnya dianalisa kebenarannya serta menyusun dan memilih data yang berkualitas untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan.12

12


(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANIAN KREDIT, SURAT KUASA MEMBEBANKAN, DAN HAK TANGGUNGAN

1.1 Perjanjian dan Perjanjian Kredit 2.1.1.a Pengertian perjanjian

Istilah perjanjian sama dengan kontrak karena keduanya bagian dari hukum perikatan. Sebagian ahli hukum menempatkan kontrak sebagai bagian dari hukum perjanjian karena kontrak sendiri ditempatkan sebagai perjanjian tertulis. Menurut Ketentuan Pasal 1233KUHPerdata hanya dikenal perikatan yang lahir dari suatu perjanjian dan yang lahir dari undang-undang.

Secara lengkap dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang, perikatan yang bersumber dari undang-undang dibagi dua, yaitu dari undang-undang daja dan dari undang-undang karena perbuatan manusia. Selanjutnya, perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan manusia dapat dibagi dua, yaitu perbuatan yang sesuai hukum dan perbuatan yang melanggar hukum.

b. Perjanjian atau kontrak ini merupakan suatu peristiwa hukum dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.1

1

Ahmadi Miru, 2010, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.01.


(33)

Kemudian pengertian perjanjian dapat dilihat pada Pasal 1313 KUHPerdata yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.

Definisi perjanjian dapat dilihat dari beberpa pendapat para sarjana yang berbeda-beda dan masing-masing ingin menemukakan dan memberi pandangan yang dianggap lebih tepat. Berikut ini akan dikemukan beberapa pendapat sarjana yaitu :

Menurut R. Wiryono Prodjodikoro, “bahwa perjanjian itu adalah sesuatu perbuatan

hukum mengenai harta kekayaan anatara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu hal, sedangkan pihak lain yang

lain berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu.”2

Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, “bahwa perjanjian itu adalah suatu perbuatan

hukum dimana seseorang atau lebih mengakibatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.”3 Menurut R.M. Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa perjanjian adalah hubungan antara dua belah pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.4

Sedangkan R. Setiawan mengartikan perjanjian sebagai suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.5

Berdasarkan keempat pandangan sarjana di atas, bahwa perjanjian adalah peristiwa yang timbul dari suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk

2

Wiryono Prodjodikoro, 1985, Hukum Tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, (selanjutnya disingkat Wiryono Prodjodikoro II) , h. 11.

3

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1972, Kumpulan Kuliah Hukum Perdata, Yayasan Gajah Mada, h.25.

4

R.M. Sudikno Mertokusumo, 1988, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, h.25.

5


(34)

melaksanakan suatu hal untuk tujuan tertentu. Hukum yang mengatur tentang perjanjian disebut hukum perjanjian.

Unsur yang terdapat dalam suatu definisi perjanjian itu adalah ada pihak-pihak sedikitnya dua orang, ada persetujuan antara pihak-pihak yang bersangkutan dalam perjanjian, adanya tujuan yang ingin dicapai da nada prestasi yang dilaksankan.

2.1.1.b Syarat sahnya suatu perjanjian

Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang terdiri dari 4 syarat, yaitu :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri;

Kesepakatan para pihak merupakan salah satu syarat yang penting dalam sahnya suatu perjanjian. Sepakat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara;

a. Tertulis b. Lisan c. Diam-diam

d. Symbol-simbol tertentu

2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

Untuk mengadakan suatu perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah tidak tidak cakap menurut hukum.

Pasal 1330 KUHPerdata menentukan bahwa tidak cakap membuat perjanjian adalah : 1. Orang-orang yang belum dewasa


(35)

3. Orang-orang perempuan dalam hal ditetapkan oleh undang-undang (dengan adanya SEMA: Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka ketentuan ini tidak berlaku lagi) Orang yang bellum dewasa, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 330 KUHPerdata adalah mereka yang belum genap berumur 21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin, sedangkan mereka yang berada dibawah pengampuan sesuai ketentuan Pasal 443 KUHPerdata adalah orang yang dungu, sakit otak, mata gelap dan boros.

3. Suatu hal tertentu; dan

Hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian, baik berupa barang atau jasa yang dapat dinilai dengan uang. Hal tertentu ini dalam perjanjian disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga dan tidak berbuat sesuatu.

Berbeda dari hal di atas, dalam KUHPerdata dan pada umunya para sarjana hukum berpendapat bahwa prestasi itu dapat berupa :

a. menyerahkan atau memberikan sesuatu; b. berbuat sesuatu; dan

c. tidak berbuat sesuatu.

Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian, dapat dipergunakan berbagai cara seperti; menghitung, menimbang, mengukur, atau menakar. Sementara itu, untuk menentukan jasa, harus ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak. Untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam perjanjian.


(36)

Suatu sebab yang halal adalah sebab yang dibenarkan oleh undang-undang, ketertiban umum, kebiasaan, kepatutan dan kesusilaan. Suatu perjanjian tanpa sebab, atau dibuat karena sebab yang palsu sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1335 KUHPerdata adalah termasuk ke dalam sebab yang tidak halal.6

Dengan dipenuhinya empat syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.7

Keempat unsur tersebut selanjutnya dalam doktir ilmu hukum yang berkembang, di golongkan ke dalam :

a. Dua unsur pokok yang mengangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif). Syarat Subjektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontrak dapat dibatalkan, meliputi :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat perjanjian;

b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan objek perjanjian (unsur objektif). Syarat Objektif, syarat ini apabila dilanggar maka kontraknya batal demi hukum, meliputi :

1. Suatu hal tertentu; dan 2. Suatu sebab yang halal.8

Keempat syarat tersebut biasa juga disingkat dengan sepakat, cakap, hal tertentu dan sebab yang halal. Untuk sahnya suatu perjanjian, harus dipenuhi keempat syarat tersebut. Jika

6

Ahmad Miru dan Sakka Pati, 2009, Hukum Perrikatan : Penjelasan Makna Pasal 1233 Sampai 1456 BW, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.68.

7

Suharnoko, 2009, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Kencana, Jakarta, h.1

8


(37)

salah satu syarat atau beberapa syarat bahkan semua syarat tidak dipenuhi, maka perjanjian itu tidak sah. Jadi, syarat sahnya perjanjian berlaku secara komulatif, dan bukan limitatif.

1.1.1. Pengertian Kredit

Menurut asal mulanya kata “Kredit” berasal dari bahasa latin yaitu “Credere” yang berarti kepercayaan, yaitu kepercayaan dari kreditur bahwa debitur akan mengembalikan pinjaman beserta bunganya sesuai dengan perjanjian kedua belah pihak Indikator kepercayaanini adalah kepercayaan moral, komersil, financial dan agunan. Kredit yang diberikan oleh bank kepada nasabah dituangkan dalam suatu perjanjian yang namanya perjanjian kredit. Menurut H Budi Untung menyebutkan : perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam uang yang melibatkan bank dengan nasabah.

Kredit dilihat dari sudut bahasa seperti kepercayaan, dalam arti bahwa apabila seseorang mendapatkan fasilitas kredit maka orang atau badan usaha tersebut telah mendapatkian kepercayaan dari pemberi kredit. Pengertian kredit menurut Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Perbankan adalah sebagai berikut :

Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasinya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.9

Bank sebagai pihak pemberi pinjaman dan nasabah sebagai penerima pinjaman. Dalam perjanjian kredit terdapat hak dan kewajiban para pihak pemberi dan penerima kredit. Dapat dikatakan dalam hubungan ini bahwa kreditur atau pihak yang memberikan kreditur (bank) dalam hubungan perkreditan dengan debitur (nasabah penerima kredit) mempunyai kepercayaan

9

Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, 2007, Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan Masalah Hukum, cet.1, Jakarta: YLBHI, h.131.


(38)

bahwa debitur dalam waktu dan dengan syarat-syarat yang telah disetujui bersama dapat mengembalikan kredit yang bersangkutan.

Menurut Daeng Naja dalam bukunya yang berjudul Hukum Kredit dan Bank Garansi menyebutkan setidaknya terdapat 4 (empat) unsur pokok dalam pengertian kredit:

1. Kepercayaan, artinya setiap pemberian kredit dari Bank ke debitur dilandasi oleh adanya keyakinan bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali oleh debitur kepada bank sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati.

2. Waktu, artinya ada jangka waktu yang diberikan kepada kreditur untuk melunasi pinjaman kreditnya.

3. Risiko, artinya dalam setiap pemberian pinjaman kredit pasti disertai dengan adanya resiko yang ditanggung oleh Bank.

4. Prestasi, artinya dalam setiap kesepakatan antara Bank dengan debitur maka saat itu juga akan terjadi suatu prestasi baik berupa barang, uang atau jasa kepada pihak lain dan balas prestasi (kontra prestasi) akan diterima.10

Pengertian kredit juga dikemukakan oleh Muchdarsyah Sinungun yang menyatakan bahwa

“kredit adalah suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak lainnya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada masa tertentu yang akan dating dan disertai dengan suatu kontra prestasi

berupa uang”.11

Lebih lanjut pengertian kredit dikemukakan oleh Raymond P.Kenr mengatakan

bahwa kredit adalah “Hak untuk menerima pembayaran atau kewajiban untuk melakukan

10

Rachmadi Usman, 2003, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h.236.

11


(39)

pembayaran pada waktu diminta, atau pada waktu yang akan dating karena penyerajan

barang-barang sekarang”.12

Beberapa sarjana hukum berpendapat bahwa perjanjian kredit dikuasai oleh ketentuan-ketentuan KUH Perdata Bab XIII buku III. Karena perjanjian kredit mirip dengan perjanjian pinjam uang, menurut KUH Perdata Pasal 1754 yang berbunyi: Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian , dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula. Perjanjian kredit sebagian dikuasai atau mirip perjanjian pinjam uang seperti diatur dalam KUH Perdata dan sebagian lainnya tunduk pada peraturan hukum yaitu Undang Perbankan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan, tidak mengenal istilah perjanjian kredit. Perjanjian kredit perlu mendapat perhatian yang khusus baik oleh bank sebagai kreditur maupun oleh nasabah sebagai debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun penata pelaksanaan kredit itu sendiri. Adapun fungsi perjanjian kredit adalah sebagai berikut:

1. Perjanjian kredit sebagai alat bukti bagi kreditur dan debitur yang membuktikan adanya hak dan kewajiban timbal balik antara bank sebagai kreditur dan debitur. Hak debitur adalah menerima pinjaman dan menggunakan sesuai tujuannya dan kewajiban debitur mengembalikan hutang tersebut baik pokok dan bunga sesuai waktu yang ditentukan. Hak kreditur untuk mendapatkan pembayaran bunga dan kewajiban kreditur adalah meminjamkan

12


(40)

sejumlah uang kepada debitur, dan kreditur berhak menerima pembayaran kembali pokok dan bunga.

2. Perjannjian kredit dapat digunakan sebagai alat atau sarana pemantauan atau pengawasan kredit yang sudah diberikan. Karena perjanjian kredit berisi syarat dan ketentuan dalam pemberian kredit dan pengembalian kredit. Untuk mencairkan kredit dan penggunaan kredit dapat dipantau dari ketentuan perjanjian kredit.

3. Perjanjian kredit merupakan perjanjian pokok yang menjadi dasar dari perjanjian ikatannya yaitu perjanjian pengikatan jaminan. Pemberian kredit pada umumnya dijamin dengan benda-benda bergerak atau benda tidak bergerak milik debitur atau milik pihak ketiga.13 Menurut R. Tjiptoadinugroho mengatakan : “Suatu unsur yang harus dipegang sebagai benang merah yang melintasi falsafah perkreditan dalam arti sebenarnya, bagaimanapun bentuk,

macam dan ragamnya dan dari manapun asalnya serta kepadasiapapun diberikannya”.14

Dasar Hukum Perjanjian Kredit

Suatu kegiatan dalam lalu lintas bisnis tentunya memerlukan suatu landasan yuridis yang menjadi dasar hukumnya. Hal ini sebagai konsekuensi dari suatu prinsip bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Indonesia yang tergolong kedalam sistem Hukum Eropa Kontinental, di mana peraturan perundang-undangan menduduki urutan yang sangat penting sebagai sumber hukumnya. Demikian pula terhadap suatu perbuatan hukum pemberian kredit, tentunya juga memerlukan suatu basis hukum yang kuat. Dasar hukum diadakannya perjanjian kredit mengacu pada :

13

H. Budi Untung, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Offset, Yogyakarta, h.12.

14


(41)

1. Undang-UndangNomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Perbankan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66.

3. Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Undang-Undang Perbankan: Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak meminjam untuk melunasinya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

4. Pasal 1754 KUHPerdata yang berbunyi: Pinjam meminjam adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang terakhir ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari jenis dan mutu yang sama pula.

5. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan: Adanya kesepakatan dan cakap dalam membuat suatu perjanjian.

6. Pasal 1874 KUHPerdata: Perjanjian dalam bentuk Akta Bawah Tangan dan Pasal 1868 KUHPerdata Perjanjian dalam bentuk Akta Otentik.

1.1.2. Wanprestasi Dalam Perjanjian Kredit

Sebelum membahas apa itu wanprestasi terlebih dahulu harus diketahui apa itu prestasi. Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi para pihak dalam suatu perjanjian atau kontrak. Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata prestasi dapat berupa :


(42)

b. Berbuat sesuatu; dan c. Tidak berbuat sesuatu.

Dalam pelaksanaan perjanjian, dapat terjadi wanprestasi atau yang disebut dengan istilah breach of contract adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam perjanjian tersebut. Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi hukum bagi pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi.

Dalam ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata, Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.

Wanprestasi adalah suatu tindakan tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dan debitur. Dalam restatement of the law of contracts, wanprestasi atau breach of contract dibedakan menjadi dua macam, yaitu total breachts dan partial breachts. Total breachts artinya pelaksanaan kontrak tidak mungkin dilaksanakan, sedangkan partial breachts artinya pelaksanaan perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan.15

Wanprestasi berasal dari istilah aslinya dalam bahasa Belanda (wanprestatie) yang artinya tidak dipenuhi prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

15


(43)

Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didala hukum perjanjian, berarti suatu hal yang haris dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian, barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi.16

R. Subekti, mengemukakan bahwa wanprestasi itu adalah kelalaian atau kealpaan yang berupa 4 macam, yaitu :

1. Tidak melalukan yang telah disanggupi akan dilakukannya

2. Melaksanakan yang telah diperjanjikannya, tetapi tidak sebagai mana yang telah diperjanjikan

3. Melakukan yang diperjanjikan tetapi terlambat

4. Melakukan suatu perbuatan yang menurut perjanjian tidak dapat dilakukan.17

Seseorang debitur baru dikatan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Somasi itu minimal telah dilakukan sebanyak tiga kali oleh debitur atau juru sita. Apabila somasi itu tidak dipindahkannya, maka kreditur berhak membawa persoalan itu ke pengadilan dan pengadilanlah yang akan memutuskan, apakah debitur wanprestasi apa tidak.

1.2 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

1.2.1 Pengertian dan dasar hukum surat kuasa membebankan hak tanggungan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) adalah surat kuasa yang diberikan oleh pemberi hak tanggungan kepada kreditur sebagai penerima hak tanggungan yang untuk membebankan hak tanggungan pada objek hak tanggungan. SKMHT itu sendiri

16

Wirjono Prodjodikoro, 1999, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, h.17.

17

R. Subekti, 1970, Hukum Perjanjian cet. Ke-II, Jakarta. Pembimbing Masa, (selanjutnya disingkat R. Subekti IV), h.50


(44)

merupakan surat kuasa khusus yang memberikan kuasa kepada kreditur selaku penerima kuasa untuk membebankan hak tanggungan pada nantinya akan dilanjutkan dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang disebut APHT dan surat kuasa ini wajib dibuat dengan suatu akta Notaris atau akta PPAT. Diundangkannya Undang-Undang No. 4 Tahun1996 tentang Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan atas tanah untuk mengganti hipotik dan Credietverband, tentunya undang-undang hak tanggungan ini diposisikan lebih baik dari pada saat berlakunya hipotik dan Credietverband dalam arti bahwa UUHT mempunyai kepastian hukum pada eksekusi atas objekhak tanggungan.18

Ketentuan yang mengatur tentang SKMHT tersebut diatur dalam Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang penetapan batas waktu SKMHT, untuk menjamin pelunasan kredit-kredit tertentu dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/24/KEP/DIR/1993 tentang Kredit Usaha Kecil yang kemudian dicabut dan diganti dengan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 30/55/LEP/DIR tanggal 8 Agustus 1998. Dalam Surat Keputusan tersebut dinyatakan bahwa:

“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka

meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan

kesejahteraan rakyat banyak”.

Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang HakTanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah menegaskan bahwa SKMHT wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT.19

18

Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), LaksBang Pressindo, Yogyakarta, h.308.

19

Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 31.


(45)

Lebih lanjutnya lagi yang ditegaskan dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan

(UUHT) bahwa “kuasa untuk membebankan hak tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau

tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali kuasa tersebut telah dilaksanakan atau telah abis jangka waktunya”. Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan hanya diperkenankan dalam keadaan khusus yang terkandung dalam penjelasan Pasal 15 ayat (1) yaitu a. apabila pemberi hak tanggungan tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan.SKMHT harus dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh Notaris atau PPAT, b. Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya membuat perbuatan hukum membebankan hak tanggungan, tetapi tidak membuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan dan memuat nama serta identitas kreditur, debitur, jumlah utang dan juga objek hak tanggungan.

Seperti hal yang diuraikan diatas untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan demi tercapainya kepastian hukum SKMHT yang dibatasi jangka waktu berlakunya. Pasal 15 ayat (3) Undang-undang hak tanggungan menentukan bahwa terhadap tanah-tanah yang sudah terdaftar SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam jangka waktu yang ditentukan adalah 1 bulan. Ketentuan tersebut tidak berlaku dalam hal SKMHT yang diberikan untuk menjamin suatu kredit seperti kredit program, kredit usaha kecil, kredit kepemilikan rumah (KPR) dan kredit yang sejenisnya. Peraturan yang mengatur mengenai SKMHT yang jangka waktunya ditentukan untuk kredit sejenis terdapat dalam Peraturan Menteri Negara Agraria BPN. No 4 Tahun 1996 tersebut menentukan bahwa SKMHT untuk menjamin suatu perjanjian utang piutang berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.


(46)

Dasar Hukum Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

a) Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan surat kuasa membebankan hak tanggungan wajib dibuat dengan Akta Notaris atau PPAT.

b) Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menyatakan : Surat Kuasa membebankan hipotek yang ada pada saat diundangkan Undang-Undang ini dapat digunakan sebagai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak saat berlakunya Undang-Undang ini, dengan mengingat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (5).

c) Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 angka 7 dikatakan bahwa dalam memberikan Hak Tanggungan wajib hadir dihadapan PPAT. Jika karena sesuatu sebab tidak dapat hadir sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya, dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang disingkat SKMHT, yang berbentuk akta autentik. Pembuatan SKMHT selain kepada Notaris, ditugaskan juga kepada PPAT yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan, dalam rangka memudahkan pemberian pelayanan kepada pihak-pihak yang memerlukan.

d) Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 dinyatakan : sebagai konsekwensi dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pembebanan hak tanggungan atas agunan, tanaman dan hasil akrya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang pemiliknya lain daripada pemegang Hak atas tanah wajib dilakukan bersamaan dengan Pemberian Hak Tanggungan atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan di dalam satu Akta Pemberian Hak Tanggungan, yang ditanda tangani


(47)

bersama oleh pemiliknya dan pemegang ha katas tanahnya atau kuasa mereka, keduanya sebagai pemberi tanggungan.

Yang dimaksud dengan akta autentik dalam ayat ini adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan atas benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah untuk dibebani hak atas tanggungan bersama-sama tanah yang bersangkutan.

e) Dalam penjelasan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 menjelaskan : termasuk dalam pengertian Surat Kuasa Membebankan Hipotik yang dimaksud pada ayat ini adalah surat kuasa untuk menjaminkan tanah.

1.2.2 Bentuk surat kuasa membebankan hak tanggungan

Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat berbentuk akta Notaris atau PPAT (Pasal 15 ayat (1) UUHT). Mengingat Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan berkaitan dengan Hak Tanggungan, yang obyeknya hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda yang ada diatasnya maka bentuknya lebih tepat Akta PPAT.20

Dalam kaitan ini, sesuai dengan asas konsistensi dan sistem, maka perlu dikoreksi sikap UUHT yang dituangkan dalam Pasal 4 ayat (5) UUHT tentang pemberian kuasa menanda tangani APHT dibuat dengan akta otentik dan Pasal 15 ayat (1) UUHT menentukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dapat dibuat dalam bentuk akta notaris atau PPAT. Seyogianya bentuk yang ditentukan di dalam kedua pasal itu sama, yaitu harus berbentuk akta PPAT, karena keduanya berkaitan dengan hak atas tanah yang dijaminkan sebagai Hak Tanggungan.

1.3 Hak Tanggungan

1.3.1 Pengertian dan dasar hukum hak tanggungan

20


(48)

Istilah Hak Tanggungan diambil dari istilah lembaga jaminan di dalam hukum adat. Di dalam hukum adat istilah Hak Tanggungan dikenal di daerah Jawa Barat, juga di beberapa daerah di Jawa Tengah atau Jawa Timur dan dikenal juga dengan istilah jonggolan atau istilah ajeran merupakan lembaga jaminan dalam hukum adat yang objeknya biasanya tanah atau rumah.

Istilah Hak Tanggungan yang berasal Hukum Adat tersebut, melalui Undang-Undang Pokok Agraria ditingkatkan menjadi istilah lembaga hak jaminan dalam system hukum nasional kita dan hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan bagi tanah tersebut diharapkan menjadi pengganti hipotek dari KUHPerdata. Dengan kata lain, lembaga hipotek dan credietverband akan dijadikan satu atau dilebur menjadi Hak Tanggungan.21

Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan tanggungan sebagai barang yang dijadikan jaminan dan jaminan itu diartikan sebagai tanggungan atau pinjaman yang diterima. Secara yuridis ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia 4 Tahun 1996 tenntang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan perumusan pengertian Hak Tanggungan sebagai berikut:

Hak Tanggungan atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hakatas tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Kemudian Angka 4 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah antara lain menyatakan :

21


(49)

Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahului daripada kreditor-kredito lain.

Jadi, Hak Tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditor lain. Jaminan yang diberikan yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditor-kreditor lainnya bagi kreditor (pemegang Hak Tanggungan).22

Dari rumuasan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan objek jaminannya berupa Hak-Hak atas Tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria.23

Unsur-Unsur yang tercantum dalam pengertian Hak Tanggungan disajikan berikut ini. a. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah. Adapun yang dimaksud dengan hak

jaminan atas tanah adalah penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur, yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain (droit de preference). Selain

22

Ibid. h.332.

23


(50)

berkedudukan mendahulu, kreditur pemegang hak jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan kepada pihak lain (droit de suite).

b. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya.

c. Untuk pelunasan hutang tertentu, maksudnya untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada kreditur.

d. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.24

Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini di tegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang berbunyi: apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur

24

Salim HS,H, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.96.


(51)

pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.25

Boedi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah Penguasaaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakanm melainkan untuk menjual jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya. Esensi ari definisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditur bukan untuk menguasai secara fisik, namun untuk menjualnya juka debitur cedera janji.26

Menurut Herowati Poesoko yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tersebut, terdapat unsur-unsur esensial, yang merupakan sifat dan ciri-ciri dari hak tanggungan, yaitu :

- Lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu - Pembebanannya pada hak atas tanah

- Berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

- Memberikan kedudukan yang preferent kepada krediturnya.27

Dasar Hukum Hak Tanggungan

25

Ibid, h.97.

26

Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, h.425.

27

Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), Cet I, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h. 87.


(52)

Setelah menunggu selama 34 tahun sejak Undang-Undang Nomor 5 Yahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjajikan akan adanya Undang-Undang Hak Tanggungan, pada tanggal 9 April 1996 telah disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, yang telah lama ditunggu-tunggu lahirnya oleh masyarakat.

Sesungguhnya Hak Tanggungan ini dimasudkan sebagai pengganti lemabga dan ketentuan hipotek sebagai mana diatur dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, yang berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria diberlakukan hanya untuk sementara waktu sampai menunggu terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan sebagaimana dijanjikan oleh Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah merupakan dasar hukum yang mengatur lembaga hak jaminan atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria.

Sebagai tindak lanjutnya Undang-Undang Hak Tanggungan, berturut-turut lahirnya ketentuan yang mengatur Hak Tanggungan

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah

2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.


(53)

3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.

4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.

5. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-1826 tertanggal 26 Mei 1996 perihal Pembuatan Buku Tanah dan Sertifikat Hak Tanggungan.

6. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-1544 tertanggal 30 Mei 1996 perihal Penyampaian Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Tahun 5 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.28

1.3.2 Asas-asas hak tanggungan

Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu mempunyai empat asas, yaitu sebagai berikut:

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada kreditornya. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas pihutangnya dari pada kreditor-kreditor lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani hak tanggungan tersebut;

2. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada artinya benda-benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap terbebani hak tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi objek hak

28


(1)

berkedudukan mendahulu, kreditur pemegang hak jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan kepada pihak lain (droit de suite).

b. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya.

c. Untuk pelunasan hutang tertentu, maksudnya untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitur yang ada pada kreditur.

d. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.24

Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini di tegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang 1996 Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang berbunyi: apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur

24

Salim HS,H, 2005, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, h.96.


(2)

pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan.25

Boedi Harsono mengartikan hak tanggungan adalah Penguasaaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakanm melainkan untuk menjual jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitur kepadanya. Esensi ari definisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditur bukan untuk menguasai secara fisik, namun untuk menjualnya juka debitur cedera janji.26

Menurut Herowati Poesoko yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tersebut, terdapat unsur-unsur esensial, yang merupakan sifat dan ciri-ciri dari hak tanggungan, yaitu :

- Lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu - Pembebanannya pada hak atas tanah

- Berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah

- Memberikan kedudukan yang preferent kepada krediturnya.27

Dasar Hukum Hak Tanggungan

25

Ibid, h.97. 26

Boedi Harsono, 2000, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, h.425.

27

Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), Cet I, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h. 87.


(3)

Setelah menunggu selama 34 tahun sejak Undang-Undang Nomor 5 Yahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menjajikan akan adanya Undang-Undang Hak Tanggungan, pada tanggal 9 April 1996 telah disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, yang telah lama ditunggu-tunggu lahirnya oleh masyarakat.

Sesungguhnya Hak Tanggungan ini dimasudkan sebagai pengganti lemabga dan ketentuan hipotek sebagai mana diatur dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, yang berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Pokok Agraria diberlakukan hanya untuk sementara waktu sampai menunggu terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan sebagaimana dijanjikan oleh Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria.

Dengan demikian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah merupakan dasar hukum yang mengatur lembaga hak jaminan atas tanah, yaitu Hak Tanggungan sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria.

Sebagai tindak lanjutnya Undang-Undang Hak Tanggungan, berturut-turut lahirnya ketentuan yang mengatur Hak Tanggungan

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah

2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan.


(4)

3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu.

4. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.

5. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 630.1-1826 tertanggal 26 Mei 1996 perihal Pembuatan Buku Tanah dan Sertifikat Hak Tanggungan.

6. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-1544 tertanggal 30 Mei 1996 perihal Penyampaian Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Tahun 5 Tahun 1966 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.28

1.3.2 Asas-asas hak tanggungan

Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan hutang tertentu mempunyai empat asas, yaitu sebagai berikut:

1. Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada kreditornya. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang hak tanggungan mempunyai hak didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas pihutangnya dari pada kreditor-kreditor lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani hak tanggungan tersebut;

2. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada artinya benda-benda yang dijadikan objek hak tanggungan itu tetap terbebani hak tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi objek hak

28


(5)

tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.29

3. Memenuhi Asas Spesialitas dan Publisitas.

Asas Spesialitas maksudnya wajib dicantumkan berapa yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan, juga identitas dan domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Asas Publisitas maksudnya wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.

4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.30

Disamping itu, hak tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Hal ini berarti suatu hak tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi objeknya dan setiap bagian daripadanya. Oleh karena itu, apabila sebagian dari hutang dibayar, pembayaran itu tidak membebaskan sebagian dari benda yang dibebani hak tanggungan. Penyimpangan terhadap asas ini hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut diperjanjikan secara tegas di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.

Sifat lainnya dari Hak Tanggungan adalah bahwa hak tanggungan merupakan ikutan (accessoir) pada perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang (perjanjian

29

Sutan Remy Sjahdeini, 1999, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan; Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, Alumni, Bandung, h. 383.

30

Boedi Harsono, 1997, Hukum Agraria Indonesia / Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Djambatan, Jakarta, h. 15, 38.


(6)

kredit). Dengan demikian, hapusnya hak tanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu utang yang dijamin pelunasanya tersebut.

Hak tanggungan dapat dibebankan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama untuk menjamin pelunasan lebih dari satu utang dan untuk beberapa kreditur. Hal ini menimbulkan adanya tingkatan-tingkatan bagi pemegang hak tanggungan. Peringkat hak tanggungan tersebut ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.