KECERDASAN EMOSIONAL PARA GURU YANG MENG

YANG MENGHADAPI PENSIUN SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata Semarang

Untuk Memenuhi Sebagian dari Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Psikologi

RETNO KUSUMASTUTI 05.40.0141 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA SEMARANG

Skripsi ini aku persembahkan untuk Tuhan Yang Maha Esa, serta Bapak dan Ibu yang selalu memberiku dukungan di setiap langkahku.

Cara Paling Singkat dan Paling Pasti Untuk Hidup Secara Terhormat Di Dunia Adalah Hidup Sebagaimana Adanya. (Socrates)

Sebuah Kesalahan Tidak Akan Menjadi Kebenaran Sesering Apapun Dilakukan. Sebuah Kebenaran Tidak Akan Menjadi

Kesalahan, Meskipun Tidak Ada yang Pernah Mendengarnya. (Mahatma Gandhi)

Tes Utama Terhadap Kecerdasan Kita Bukanlah dalam Seberapa Besar Pengetahuan Kita Akan Apa yang Harus Dilakukan. Melainkan Pada Apa yang Kita Lakukan di Saat Kita Tidak Tahu Apa yang Harus Dilakukan. (John Holt)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmat-Nya peneliti dapat menyelesaikan karya ini dengan lancar. Serta berbagai pihak yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan karya ini, antara lain :

1. Ibu Th dewi setyorini, S.Psi., M. Si selaku dekan Fakultas Psikologi, yang dapat membuat peneliti menjadi termotivasi.

2. Bapak Drs M.L Oetomo selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing peneliti, memberikan saran, kritik, juga petuah yang menyejukkan hati serta memberi pencerahan, yang selalu dapat meluangkan waktunya yang berharga bagi peneliti.

3. Bapak Drs Suharsono selaku dosen wali yang dapat membimbing peneliti.

4. Para dosen psikologi yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah membantu peneliti dalam menyelesaikan karya ini.

5. Para subyek yaitu SS, N, dan SD yang sangat membantu peneliti demi kelancaran proses pembuatan karya ini, yang telah meluangkan waktunya bagi peneliti, serta dapat memberikan warna selama berlangsungnya proses tersebut.

6. Teman-teman Laboratorium Psikodiagnostik, yang telah membantu peneliti dalam melaksanakan tes TAT.

7. Para staf tata usaha yang telah membantu peneliti, terutama saat pendaftaran ujian proposal dan skripsi.

8. Bapak dan Ibu yang selalu mencintai dan menyayangiku, selalu memberiku dukungan setiap saat, baik moril maupun materiil. Peneliti juga menyayangi Bapak dan Ibu, peneliti akan selalu memberikan yang terbaik bagi kalian, membuat kalian bahagia dan bangga.

9. Mbak Asih dan Mas Nyoto, kakak-kakakku yang selalu memberi dukungan bagi peneliti, selalu membuat peneliti menjadi semangat dan berusaha menjadi lebih baik lagi.

10. Adhit, My Lovely Nephew, yang selalu membuat peneliti tertawa karena celoteh dan tingkahnya yang lucu serta membuat peneliti belajar kesabaran.

11. My Old Sister, Nana, terimakasih atas kebersamaan yang telah kamu berikan dari awal kuliah hingga saat ini. Peneliti berharap keadaan yang seperti ini tidak akan berubah sampai kapanpun. You Are My Best Listener, terimakasih karena kamu juga selalu bersedia mendengarkan keluh kesahku.

12. Cicikku ‘Nyak’ (Kristin), terimakasih atas kebersamaannya selama ini, terimakasih karena telah menjagaku, kamu telah mengajarkanku tentang banyak hal, hingga ada sedikit perubahan yang positif dalam sifat dan sikapku.

13. Eyangnda (Berlian), matur nuwun sanget Eyang, telah memberiku warna dalam hidup, memberi semangat dalam berbagai hal.

14. Sahabatku sejak kecil, Ai, semoga persahabatan kita tak lekang oleh waktu. Peneliti doakan selalu yang terbaik buatmu.

15. Temanku, Indra, terimakasih telah hadir dalam hidupku, kamulah orang yang dapat aku ajak diskusi dan berdebat. Tempat aku selalu mencurahkan keluh kesah, dan kaupun telah menjadi pendengar yang baik. Thank You.

16. Teman-temanku, Rakhel, Ayu, Gendut, Anggit, terimakasih telah memberiku dukungan dan semangat hingga skripsi ini selesai dengan lancar.

17. Pasukan Lepete Ceria : Ade, Nandi, Nana, Veena, Anggit, Lala, Poe-3, Seto, Dian. Kebersamaan yang paling menyenangkan bersama kalian. Perhatian dan pengertian selalu aku dapatkan dari kalian. Saat sedih, aku temukan sukacita di wajah kalian. Thanks for all

18. Teman-temanku kuliah : Citra, Icha, Nanachan, Okta, Stella, Agnes, terimakasih canda tawanya selama ini.

19. Teman-teman KAPKI : Nanik, Keren, Desy, dan brother Topan. Selalu kunantikan kebersamaan seperti dulu lagi.

20. Keluarga Widya : Mas Kandar, budhe, mbak QQ, Devina. Thanks

21. Serta segenap pihak yang telah membantu peneliti, yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Penulis

DAFTAR TABEL

Tabel 1 : Reaksi yang Muncul Saat Menghadapi Pensiun Subyek 1.....................70 Tabel 2 : Keterampilan Emosional Subyek 1.........................................................71 Tabel 3 : Reaksi yang Muncul Saat Menghadapi Pensiun Subyek 2.....................91 Tabel 4 : Keterampilan Emosional Subyek 2.........................................................92 Tabel 5 : Reaksi yang Muncul Saat Menghadapi Pensiun Subyek 3...................112 Tabel 6 : Keterampilan Emosional Subyek 3.......................................................113

TABEL DIAGRAM

Diagram 1 : Analisa Kecerdasan Emosional Guru yang Menghadapi Pensiun....36 Diagram 2 : Kecerdasan Emosional Guru

yang Menghadapi Pensiun Subyek 1................................................72 Diagram 3 : Kecerdasan Emosional Guru Yang Menghadapi pensiun subyek 2................................................93 Diagram 4 : Kecerdasan Emosional Guru yang Menghadapi Pensiun Subyek 3..............................................114

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Setiap individu yang memiliki pekerjaan, pastinya akan mengalami banyak hal selama menggeluti pekerjaannya, baik itu pegawai pemerintah ataupun pekerja swasta. Masa-masa sulit di awal pekerjaan hingga tiba saatnya untuk mendapatkan jabatan yang diinginkan sehingga dapat sukses dalam pekerjaannya, akan dialami oleh setiap individu di dalam pekerjaannya. Setelah mengalami semua itu, tiba saatnya di usia lanjut, ketika kondisi fisik sudah menurun dan usia mulai bertambah tua, orang harus siap untuk menghadapi masa pensiun.

Masa pensiun tidak dapat dihindari oleh tiap orang yang bekerja. Setiap perusahaan dan instansi pemerintah telah menetapkan batasan usia tertentu untuk pensiun bagi pegawainya. Mau tidak mau jika usia telah bertambah dan diikuti dengan kondisi fisik yang menurun, setiap pegawai akan menghadapi masa pensiun, entah individu tersebut menyukainya atau tidak.

Pensiun sering diidentikkan dengan tanda seseorang memasuki masa tua. Banyak orang mempersepsikan secara negatif dengan menganggap bahwa pensiun itu merupakan pertanda bahwa dia sudah tidak berguna dan tidak dibutuhkan lagi karena usia tua dan produktivitas makin menurun, sehingga tidak menguntungkan lagi bagi tempat mereka bekerja.

Menurut Hurlock (1992, h. 380) tahap terakhir dalam kehidupan sering dibagi menjadi usia lanjut dini yang berkisar antara usia enam puluh sampai tujuh puluh dan usia lanjut yang mulai pada usia tujuh puluh sampai akhir kehidupan seseorang.

Salah satu tugas perkembangan yang harus dilalui oleh individu yang lanjut usia adalah mempersiapkan diri memasuki masa pensiun. Pensiun diawali dengan berhentinya seseorang dari suatu pekerjaan formal yang semula digelutinya, karena kondisi fisik dan bertambahnya usia. Hal itu tidak dapat dihindarkan, setiap individu pasti akan bertambah usia dan jika saat itu tiba maka masa pensiun harus siap dihadapi.

Di Indonesia, menurut PP RI No. 32 tahun 1979, batasan usia pensiun bagi pegawai negeri ditetapkan pada umur 56 tahun. Batas usia tersebut dapat melonggar menjadi 58, 60, atau 65 tahun apabila seseorang menduduki jabatan tertentu yang telah diatur dalam PP tersebut ( www. dikti.co.id).

Pensiun merupakan akhir dari suatu pekerjaan, tidak ada satupun individu yang bekerja tidak mengalami masa pensiun, hanya cara mereka dalam menghadapinya yang berbeda satu sama lain. Pensiun seharusnya membuat individu senang karena dapat menikmati hari tua mereka, namun tidak sedikit pula individu yang merasa bingung bahkan cemas ketika mendekati masa pensiun. Banyak alasan dikemukakan, merasa kehilangan pekerjaan yang selama ini digeluti sehingga jika pensiun tidak lagi memiliki kesibukan, selain itu masalah perekonomian juga ikut andil, jika tidak lagi bekerja maka tidak akan ada lagi pemasukan seperti sebelumnya.

Bagi sebagian orang, pensiun dirasa sebagai suatu hal yang membuat depresi, stress, jenuh, dan hidup terasa tidak lagi bermakna. Bagi orang yang setiap harinya bekerja dari pagi hingga siang atau sore hari, saat pensiun akan menjadi hari-hari membosankan tanpa pekerjaan, tidak ada lagi yang bisa dikerjakan untuk mengisi waktu.

Guru merupakan suatu pekerjaan yang menuntut seseorang untuk berinteraksi dengan orang lain. Sikap para guru terhadap pensiun pasti bervariasi, dari sikap yang senang karena merasa akan bebas dari tugas dan tanggungjawab sampai ke sikap yang gelisah karena memikirkan sesuatu yang harus dilepaskan, padahal bagi individu itu sangat berarti yaitu pekerjaan, atau mungkin ada hal lain lagi yang membuat mereka gelisah. Seorang guru menularkan ilmu yang dimiliki pada murid-muridnya, serta berkomunikasi dengan guru yang lain untuk mengembangkan prestasi akademik muridnya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan subyek di awal survey, diketahui bahwa bagi sebagian guru, dapat melihat muridnya belajar dan bercanda dengan murid yang lain merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi seorang guru. Bagi sebagian guru, mereka mulai berpikir jika pensiun nantinya, mereka tidak dapat menikmati saat-saat bersama para muridnya lagi. Selain itu, hilangnya pekerjaan membuat sebagian guru kebingungan sehingga memutar otak untuk mencari solusinya.

Hilangnya pekerjaan yang semula dimiliki, cukup membuat sebagian guru bingung. Mereka yang semula dapat menjadikan kegiatan mengajar sebagai suatu kesibukan dan hiburan, nantinya jika sudah pensiun akan Hilangnya pekerjaan yang semula dimiliki, cukup membuat sebagian guru bingung. Mereka yang semula dapat menjadikan kegiatan mengajar sebagai suatu kesibukan dan hiburan, nantinya jika sudah pensiun akan

Selain tidak dapat berkumpul lagi dengan anak didik dan hilangnya pekerjaan, pendapatan yang didapat juga akan berkurang. Saat masih menjadi pegawai pemerintah, selain gaji, tunjangan juga akan diperoleh sehingga semua kebutuhan akan tercukupi, bukan hanya sekedar untuk makan dan minum, kebutuhan untuk membeli barang mewah tentunya dapat dijangkau dengan mudah. Namun, jika pensiun semua hal itu akan sulit dicapai, apalagi bagi mereka yang masih memiliki tanggungan, yaitu anak yang masih bersekolah, terlebih lagi jika sudah menginjak perguruan tinggi. Tidak sedikit uang yang dikeluarkan ketika membiayai anak yang bersekolah di perguruan tinggi. Hal ini cukup membuat mereka, orang tua yang berprofesi sebagai guru menjadi gundah ketika masa pensiun semakin dekat. Setelah pensiun mereka hanya akan menerima uang pensiunan yang jumlahnya tidak seberapa jika dibandingkan dengan uang yang mereka peroleh saat mereka masih bekerja, dan tentunya tidak memperoleh tunjangan lagi. Mereka memikirkan uang yang mereka peroleh itu cukup untuk membiayai pendidikan anak-anak dan kebutuhan sehari-hari ataukah tidak.

Beberapa hal di atas dapat menimbulkan kekhawatiran bagi para guru yang akan mendekati masa pensiun. Sebagai contoh, Pak Harto seorang guru yang menghadapi masa pensiunnya dengan rasa khawatir, memiliki ketakutan akan pendapatan setelah pensiun yang jumlahnya hanya sedikit, sedangkan dia masih harus menyekolahkan anaknya, selain itu dia juga merasa harga

dirinya turun di mata istrinya yang masih bekerja (Katamsi, 2007). Pak Ardi berusia 61 tahun bersama istrinya bingung mengatur uang pensiun yang jumlahnya minim untuk kebutuhan sehari-hari. Selain mereka berdua, ada juga, Ibu Mira yang tidak memiliki kesiapan apa-apa saat menghadapi pensiun suaminya, padahal mereka masih memiliki tiga orang anak yang masih sekolah, sedangkan suaminya dan dirinya sendiri tidak memiliki pekerjaan sampingan (Sulistiarto, 2007).

Sudah diutarakan bahwa setiap orang mempunyai sikap yang bervariasi jika mendekati masa pensiun, tergantung kondisi emosionil seseorang dalam menghadapi semua masalah yang terjadi pada dirinya. Back (Hurlock, 1992, h. 419) juga mengutarakan bahwa hal-hal yang dapat mempengaruhi seseorang dalam menerima masa pensiun adalah kondisi emosionil para pekerja terhadap pensiun itu sendiri. Apabila pensiun semakin dianggap sebagai perubahan ke status baru, maka pensiun akan semakin tidak dianggap sebagai membuang status yang berharga dengan demikian akan terjadi transisi yang lebih baik.

Berdasarkan uraian Back di atas diketahui bahwa kondisi emosionil yang menganggap bahwa pensiun hanya sebagai masa transisi dari keadaan Berdasarkan uraian Back di atas diketahui bahwa kondisi emosionil yang menganggap bahwa pensiun hanya sebagai masa transisi dari keadaan

Menurut Goleman (2007, h. 7) kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain, untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya dengan orang lain.

Kecerdasan emosional menuntut tiap individu untuk belajar mengakui dan menghargai perasaan terhadap diri sendiri dan orang lain, dan untuk menanggapinya dengan tepat, menerapkan dengan efektif energi emosi dalam kehidupan dan pekerjaan sehari-hari.

Individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi pastinya lebih bisa mengelola emosinya dengan baik daripada orang lain yang kecerdasan emosinya rendah, akan lebih bisa menguasai perasaan dan pikirannya sendiri, sehingga dapat sukses meskipun mendekati atau bahkan sudah mengalami masa pensiun. Mereka yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dapat berpikir tentang langkah mereka selanjutnya, sehingga tidak akan mengalami kecemasan saat menghadapi masa pensiun. Misalnya seperti, menciptakan Individu yang memiliki kecerdasan emosional tinggi pastinya lebih bisa mengelola emosinya dengan baik daripada orang lain yang kecerdasan emosinya rendah, akan lebih bisa menguasai perasaan dan pikirannya sendiri, sehingga dapat sukses meskipun mendekati atau bahkan sudah mengalami masa pensiun. Mereka yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dapat berpikir tentang langkah mereka selanjutnya, sehingga tidak akan mengalami kecemasan saat menghadapi masa pensiun. Misalnya seperti, menciptakan

Kebanyakan orang lebih mementingkan IQ (Intelegensi Quotient) daripada kecerdasan emosional (Emotional Quotient). Padahal hanya dengan nalar saja tidak cukup, tanpa kecerdasan emosional seseorang tidak dapat memahami dirinya sendiri, tidak dapat mengerti dan memahami tentang masalah yang sedang dihadapinya serta bagaimana cara mengatasi permasalahan tersebut.

Kecerdasan emosional yang dimiliki masing-masing individu yang menghadapi masa pensiun seharusnya dapat membuat dirinya mengerti serta memahami penyebab munculnya kecemasan yang mereka alami dan bagaimana cara mengatasinya. Dapat terbebas dari rasa cemas dan mencari jalan keluar yang terbaik bagi permasalahannya.

Berdasarkan beberapa hal di atas, peneliti ingin melakukan penelitian mengenai kecerdasan emosional para guru yang menghadapi pensiun. Adapun perbedaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian terdahulu adalah sebagai berikut:

1. Penelitian Arbadiati dan Kurniati (2007) mengenai hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecenderungan problem focused coping pada sales, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi seseorang, maka semakin tinggi pula 1. Penelitian Arbadiati dan Kurniati (2007) mengenai hubungan antara kecerdasan emosi dengan kecenderungan problem focused coping pada sales, menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat kecerdasan emosi seseorang, maka semakin tinggi pula

2. Sari juga melakukan penelitian tentang kecerdasan emosional (2005). Hasilnya, kecerdasan emosional berperan dalam mengurangi kecenderungan psikopatik pada remaja delinkuen.

3. Dalam penelitian Arfiana, Setyorini, dan Prabowo (2005) yang menggunakan subyek beberapa karyawan dalam suatu perusahaan, terbukti bahwa semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin rendah stres kerja pada masing-masing karyawan tersebut.

4. Maria Margareta (2006) melakukan penelitian tentang hubungan antara kecerdasan emosional guru dengan strategi mengajar yang efektif dalam kurikulum berbasis kompetensi. Terlihat bahwa karakteristik guru yang mampu mengajar secara efektif antara lain adalah guru yang emosinya stabil, kreatif dan inovatif, terbuka pada keberagaman kebutuhan peserta didiknya dan memiliki motivasi mengajar yang tinggi.

B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kecerdasan emosional para guru saat menghadapi pensiun.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan bidang Psikologi Perkembangan.

2. Manfaat Praktis Dapat menambah pengetahuan dan berguna bagi guru yang akan menghadapi pensiun.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional Kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh Peter Salovey dan John Mayer, mereka mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (dalam Shapiro, 1999, h. 5).

Salovey dan Mayer melontarkan kecerdasan emosional untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Kualitas-kualitas itu antara lain; empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, sikap hormat (dalam Shapiro, 1999, h. 5).

Gardner yang mencetuskan istilah kecerdasan pribadi, dianggap Salovey dan Mayer sebagai dasar dari kecerdasan emosional. Kecerdasan pribadi menurut Gardner adalah suatu keterampilan yang berhubungan

Disamping itu, kecerdasan emosional juga berkaitan dengan kemampuan untuk mengelola perasaan dan memotivasi, merencanakan, dan meraih tujuan dari kehidupan (dalam Goleman, 2007, h. 57).

Menurut Goleman (2007, h. 7) kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain, untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya dengan orang lain. Goleman juga menambahkan bahwa kecerdasan emosi bukan berarti memberi kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa melainkan mengelola perasaan sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif, yang memungkinkan orang bekerja sama dengan lancar menuju sasaran bersama (Goleman, 2003,h. 9).

Jack Block, seorang ahli psikologi, menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mantap secara sosial, mudah bergaul, tidak mudah takut atau gelisah, berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk memikul tanggungjawab, dan mempunyai pandangan moral, simpatik serta hangat dalam hubungan dengan orang lain, dan memandang dirinya sendiri secara positif (dalam Goleman, 2007, h. 60).

Gottman (2003, h. 2) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan dan kesadaran emosional untuk menangani perasaan, Gottman (2003, h. 2) menyebutkan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan dan kesadaran emosional untuk menangani perasaan,

Berdasarkan pernyataan dari beberapa ahli diatas mengenai kecerdasan emosional, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu keterampilan seseorang dalam mengendalikan dirinya, mengerti serta memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain, mampu mengendalikan dorongan emosinya, dan dapat menciptakan suasana yang hangat dalam hubungannya dengan orang lain.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional Kecerdasan emosional tidaklah muncul begitu saja, kecerdasan emosional yang dimiliki tiap-tiap orang dipengaruhi oleh beberapa faktor. Goleman (2007, h. 29) salah satu tokoh yang menyebutkan faktor-faktor tersebut sebagai berikut :

a. Faktor internal

1. Faktor bawaan Kehidupan emosional telah muncul saat bayi, meskipun belum memahami, dan mengetahui cara kerja amigdala dan hippocampus, struktur otak tersebutlah yang memunculkan kembali informasi serta menentukan apakah informasi tersebut mempunyai nilai emosi tertentu atau tidak. Korteks frontal juga memiliki andil dalam emosi 1. Faktor bawaan Kehidupan emosional telah muncul saat bayi, meskipun belum memahami, dan mengetahui cara kerja amigdala dan hippocampus, struktur otak tersebutlah yang memunculkan kembali informasi serta menentukan apakah informasi tersebut mempunyai nilai emosi tertentu atau tidak. Korteks frontal juga memiliki andil dalam emosi

2. Kemarahan Zillman (dalam Goleman, 2007, h. 83) pemicu amarah adalah perasaan terancam bahaya. Kemarahan yang meledak-ledak atau sifat emosional yang dimiliki seseorang tidak dapat membuatnya cakap tentang kecerdasan emsoionalnya.

3. Kesedihan Kesedihan yang berkepanjangan dapat mengakibatkan depresi. Hal yang dapat dilakukan untuk melawan depresi adalah bersosialisasi, dengan bersosialisasi maka kecerdasan emosional seseorang dapat terlatih.

4. Harapan Dari sudut pandang kecerdasan emosional, mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan terjebak dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau depresi dalam menghadapi sulitnya tantangan atau kemunduran.

b. Faktor eksternal

1. Pembelajaran emosi Pembelajaran emosi di masa kanak-kanak dapat mempunyai pengaruh besar terhadap temperamen. Sifat otak yang mudah sekali dibentuk pada masa kanak-kanak dapat membuat pengalaman- pengalaman selama masa tersebut mampu mempengaruhi 1. Pembelajaran emosi Pembelajaran emosi di masa kanak-kanak dapat mempunyai pengaruh besar terhadap temperamen. Sifat otak yang mudah sekali dibentuk pada masa kanak-kanak dapat membuat pengalaman- pengalaman selama masa tersebut mampu mempengaruhi

2. Pengasuhan orangtua Kecerdasan emosional diajarkan bukan saja melalui hal-hal yang dilakukan dan dikatakan oleh orangtua langsung kepada anak- anaknya, tetapi juga dalam contoh-contoh yang mereka berikan untuk menangani perasaan (Gottman, 2003, h. 2). Interaksi emosional antara orangtua dengan anak akan berpengaruh besar pada masa depan anak karena dengan memahami ikatan-ikatan emosional yang kuat dengan anak berarti menolong anak mengembangkan kemampuan emosionalnya (Gottman, 2003, h. 15).

3. Lingkungan Seseorang yang hidup di lingkungan yang buruk apalagi sejak kecil, tidak dapat mengembangkan kecerdasan emosionalnya dengan baik. Di lingkungan sekitarnya hanya ada tindak kekerasan dan kejahatan, dari situ seorang anak tidak dapat belajar bagaimana memahami perasaan orang lain, serta membina hubungan dengan orang lain.

Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional terdiri dari faktor internal yang mencakup faktor Dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional terdiri dari faktor internal yang mencakup faktor

3. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional Shapiro (1999,h. 24) mengemukakan enam aspek kecerdasan emosional, yaitu :

a. Keterampilan emosi dari segi moral Terdiri dari kemampuan untuk berempati dan peduli, bersikap jujur dan integritas, dan kemampuan untuk mengatasi emosi moral negatif yaitu rasa malu dan rasa bersalah.

b. Keterampilan berpikir Terdiri dari kemampuan untuk berpikir realistis dan optimis

c. Keterampilan memecahkan masalah

d. Keterampilan sosial Kemampuan bergaul dengan orang lain, terdiri dari kemampuan untuk mengenali, menafsirkan dan bereaksi secara tepat terhadap situasi- situasi sosial.

e. Keterampilan untuk memotivasi diri dan berprestasi

f. Keterampilan mengelola emosi Kemampuan untuk meningkatkan perasaan-perasaan positif, kemampuan untuk mengamati dan mempelajari reaksi orang lain.

Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2007, h. 57) membagi dan memperluas kemampuan kecerdasan emosional dalam lima wilayah utama, yaitu :

a. Mengenali emosi diri Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan untuk memantau perasaan dari waktu ke waktu, mengobservasi, mengenali perasaan yang dimiliki diri sendiri.

b. Mengelola emosi Menangani perasaan agar perasaan dapat diungkapkan dengan tepat. Kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggungan.

c. Memotivasi diri sendiri Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan, untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri, dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi.

d. Mengenali emosi orang lain Empati, kemampuan yang juga bergantung pada kesadaran diri emosional, merupakan keterampilan bergaul.

e. Membina hubungan Seni membina hubungan, sebagian besar, merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Keterampilan sosial, kemampuan seseorang untuk berhubungan dengan orang lain, keterampilan ini menunjang popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi.

Goleman (2007, h. 274) mengemukakan tujuh unsur utama kemampuan yang berkaitan dengan kecerdasan emosional :

a. Keyakinan Perasaan kendali dan penguasaan seseorang terhadap tubuh, perilaku, dan dunia.

b. Rasa ingin tahu Perasaan bahwa menyelidiki segala sesuatu itu bersifat positif dan menimbulkan kesenangan.

c. Niat Hasrat dan kemampuan untuk berhasil, dan untuk bertindak berdasarkan niat itu dengan tekun. Hal ini berkaitan dengan perasaan terampil, perasaan efektif.

d. Kendali diri Kemampuan untuk menyesuaikan dan mengendalikan tindakan dengan pola yang sesuai dengan usia, suatu rasa kendali batiniah.

e. Keterkaitan Kemampuan untuk melibatkan diri dengan orang lain berdasarkan pada perasaan saling memahami.

f. Kecakapan berkomunikasi Keyakinan dan kemampuan verbal untuk bertukar gagasan, perasaan, dan konsep dengan orang lain. Hal ini berkaitan dengan rasa percaya pada orang lain dan kenikmatan terlibat dengan orang lain.

g. Kooperatif Kemampuan untuk menyeimbangkan kebutuhannya sendiri dengan kebutuhan orang lain dalam kegiatan kelompok.

Dulewics dan Higgs (dalam Martin, 2003, h. 47) mengemukakan tujuh elemen utama kecerdasan emosional, yaitu :

a. Penyadaran diri (self awareness)

b. Manajemen emosi (emotional management)

c. Motivasi diri (self motivation)

d. Empati (emphaty)

e. Mengelola hubungan (handling relationship)

f. Komunikasi interpersonal (interpersonal communication)

g. Gaya pribadi (personal style) Jeanne Segal (1999, h. 50) menyebutkan bahwa kemampuan memahami pribadi dan antarpribadi berasal dari empat keterampilan emosional yang membentuk kecerdasan emosional, yaitu :

a. Kesadaran emosional, yang membuat perbedaan bagaimana seseorang memberi tanggapan terhadap konflik dan ketidakpastian

b. Penerimaan, yang membuat orang dapat terhindar dari stres atau kecemasan

c. Kesadaran aktif, yang membuat seseorang mengetahui diri sendiri serta menyadari emosi-emosi dan pikiran-pikirannya

d. Empati, yang membuat orang dapat menempatkan dirinya pada perspektif orang lain dan menghargai perasaan-perasaannya

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek kecerdasan emosional terdiri dari kesadaran emosional, penerimaan, kesadaran aktif, dan empati.

4. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional Menurut Martin (2003, h. 26) kelebihan orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dibandingkan orang lain tercermin dari fakta :

a. Pada posisi yang berhubungan dengan orang banyak, mereka lebih sukses bekerja. Terutama karena lebih berempati, komunikatif, lebih tinggi rasa humornya, dan lebih peka akan kebutuhan orang lain.

b. Para salesmen, penyedia jasa, atau profesional lainnya yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, nyatanya lebih disukai pelanggan, rekan sekerja dan atasannya.

c. Mereka lebih bisa menyeimbangkan rasio dan emosi. Tidak terlalu sensitif dan emosional, namun juga tidak dingin dan terlalu rasional. Pendapat mereka dianggap selalu obyektif dan penuh pertimbangan.

d. Mereka menanggung stres lebih kecil karena biasa dengan leluasa mengungkapkan perasaan, bukan memendamnya. Mereka mampu memisahkan fakta dengan opini, sehingga tidak mudah terpengaruh oleh gosip, namun berani untuk marah jika merasa benar.

e. Berbekal kemampuan komunikasi dan hubungan interpersonal yang tinggi mereka selalu mudah menyesuaikan diri karena fleksibel dan mudah beradaptasi.

f. Di saat yang lainnya menyerah, mereka tidak putus asa dan frustrasi, justru menjaga motivasi untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.

Mubayidh (2007, h. 73) menyebutkan orang dewasa yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, tercermin dari :

a. Lebih siap menerima tuntutan lingkungan.

b. Lebih mampu menghadapi tekanan lingkungan dan keadaan.

c. Lebih mampu memahami emosi dan perasaan orang lain.

d. Menjalankan tanggung jawab sosial dengan lebih baik.

e. Lebih mampu beradaptasi.

f. Lebih mampu memperkirakan karakter persoalan secara detail dan cepat memberikan solusinya.

g. Lebih mampu bekerja dalam tim.

h. Lebih mampu memperkirakan perbedaan antara realitas di lapangan dengan harapan.

i. Lebih optimis dalam menjalani hidup. j. Lebih mampu berperilaku positif meski dalam keadaan sulit.

Di sisi lain, Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah, sering mengalami problem emosi dan menampakkan perilaku bermusuhan. Mereka tidak mengetahui emosi dan perasaan mereka dengan baik. Mereka tidak mampu mengungkapkan emosi dan perasaan melalui lisan maupun tulisan. Akibatnya, mereka tampak sering marah dan sangat sensitif tanpa mengetahui sebab yang sebenarnya (Mubayidh, 2007,

h. 50). Menurut Goleman (2007, h. 65), mereka yang tidak cakap h. 50). Menurut Goleman (2007, h. 65), mereka yang tidak cakap

Dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kecerdasan emosional yaitu orang yang memiliki kecerdasan emosional rendah, tidak mengetahui emosi dan perasaan mereka dengan baik, tidak mampu mengungkapkan emosi dan perasaan melalui lisan dan tulisan; sedangkan orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu memahami emosi dan perasaan orang lain, mampu beradaptasi, serta menjalankan tanggung jawab sosial dengan lebih baik.

5. Penelitian Beberapa Tokoh Mengenai Kecerdasan Emosional Walter Mischel, seorang psikolog dari Universitas Stanford, sekitar

30 tahun yang lalu melakukan ’percobaan marshmallow’. Dia memberi sejumlah marshmallow (jajanan manis ala Eropa) kepada sejumlah anak berusia 4 tahun. Sebelum meninggalkan anak-anak itu ia berkata, marshmallow dalam jumlah lebih banyak akan diberikan kepada mereka yang mampu menahan diri selama 15 menit untuk tidak makan marshmallow yang sudah di depan mata tersebut. Sebagian dari mereka 30 tahun yang lalu melakukan ’percobaan marshmallow’. Dia memberi sejumlah marshmallow (jajanan manis ala Eropa) kepada sejumlah anak berusia 4 tahun. Sebelum meninggalkan anak-anak itu ia berkata, marshmallow dalam jumlah lebih banyak akan diberikan kepada mereka yang mampu menahan diri selama 15 menit untuk tidak makan marshmallow yang sudah di depan mata tersebut. Sebagian dari mereka

a. Lebih percaya diri dan lebih matang secara sosial.

b. Lebih kuat pribadi dan pengaruhnya.

c. Mempunyai tekad kuat.

d. Lebih sanggup beradaptasi dengan kegagalan.

e. Lebih tahan menghadapi penderitaan atau ketegangan.

f. Lebih mampu mengendalikan diri dalam menghadapi tekanan.

g. Lebih mampu menghadapi tantangan, dan tidak mudah menyerah.

h. Lebih mandiri.

i. Mendapatkan kepercayaan dari orang lain, dijadikan tempat mengadu orang lain. j. Lebih jujur. k. Lebih kreatif dan spontan. l. Setelah waktu berjalan cukup lama, mereka tetap mampu

mengendalikan diri dan menunda penerimaan reward untuk menjalankan kewajibannya dulu.

Di sisi lain, anak-anak yang menghabiskan marshmallow mempunyai sifat-sifat negatif (Mubayidh, 2007, h. 217), antara lain :

a. Pemalu dan kurang senang berinteraksi secara sosial.

b. Lebih cenderung memperlihatkan sifat membangkang.

c. Ragu-ragu dalam mengambil keputusan.

d. Sangat rentan untuk goyah saat menerima rintangan atau kegagalan.

e. Memandang diri dengan pendangan negatif, seakan dirinya tidak berguna.

f. Saat menghadapi tekanan atau ketegangan, lebih memilih untuk menarik diri atau stagnan.

g. Kurang jujur.

h. Tamak, tidak merasa puas, dan menuntut yang lebih.

i. Dengki dan pencemburu. j. Saat reaktif saat menghadapi kegoncangan. k. Kurang bisa mengendalikan diri, kurang mampu untuk menunda

menerima penghargaan. Ternyata anak-anak yang mampu menahan diri itu lebih maju perkembangan sosial, akademik maupun karirnya, dibanding mereka yang tidak mampu (dalam Martin, 2003, h. 43). Hal ini membuktikan bahwa kemampuan mengendalikan emosi mempunyai peranan yang sangat besar terhadap kesuksesan.

Kecerdasan emosional membantu manusia untuk menentukan kapan dan di mana bisa mengungkapkan perasaan dan emosinya. Kecerdasan emosional juga membantu manusia mengarahkan dan mengendalikan emosinya. Studi yang dilakukan oleh Sigdal Barsade di Universitas Yale, melibatkan sukarelawan yang bekerja sebagai tenaga

manajemen di beberapa kantor perusahaan. Mereka harus membuat kesepakatan tentang mekanisme pembayaran gaji para karyawan. Di antara sukarelawan itu ada seseorang yang berperan sebagai pembicara utama dan menunaikan beberapa peran sekaligus. Misalnya, terkadang dia diminta berbicara dengan muka ceria dan penuh semangat; atau berbicara dengan tenang dan hangat; atau bicara dengan nada tolol dan patah hati; atau bicara dengan nada bermusuhan dan emosional. Hasilnya, orang ini dinilai berhasil memerankan berbagai suasana emosi yang mewakili karakter semua sukarelawan. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa perasaan dan emosi yang baik akan melahirkan solidaritas dan kerjasama antaranggota. Keduanya juga memunculkan sikap adil dan prestasi yang lebih baik dalam kelompok (dalam Mubayidh, 2007, h. 18).

Penelitian Rosenthal dari Universitas Harvard, menyebutkan bahwa orang yang mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain cenderung akan lebih berhasil dalam bisnis, bekerja, dan hidup bermasyarakat. Studi di zaman modern menunjukkan bahwa faktor yang paling mendorong pelanggan untuk membeli barang adalah kemampuan penjual untuk mengenali perasaan pelanggan, dan kemudian merespon perasaan ini dengan tepat. Banyak pembeli mengakui, ia lebih menyukai penjual yang mau mendengarnya dan mampu memahami hakikat apa yang diinginkan dan dibutuhkannya (dalam Mubayidh, 2007, h. 19).

Beberapa usahawan Indonesia yang meraih kesuksesan berkat kecerdasan emosional antara lain adalah Sosrodjojo, pendiri dan

penggagas ”Teh Botol Sosro”. Hanya dengan berbekal pendidikan dasar, dia mulai usahanya dari kota kecil Slawi dan Tegal. Adrie Mongso, seseorang yang di Sekolah Dasar saja tidak tamat ini merupakan pelopor kata-kata mutiara terbitan ’Harvest’. Dia mengaku bahwa modal kerjanya hanya kemampuan berkomunikasi dan keyakinan pada sebuah prinsip. Selain menjadi pengusaha, dia juga seorang motivator terkenal. A Tham Gozali, pendiri dan pelopor ”A Tham Tailor” bermodal kemampuan menjahit yang dipelajarinya di kampung halamannya di Singkawang, Kalimantan Barat, dia nekat berangkat ke Jakarta. Lambat laun kemampuannya melayani dan memahami kebutuhan konsumen membawanya pada kesuksesan. Meski latar belakang pendidikannya hanya SD ternyata dia mampu menjadi salah seorang penjahit terkemuka di Indonesia (dalam Martin, 2003, h. 37).

B. Guru yang Menghadapi Pensiun

1. Pengertian Guru yang Menghadapi Pensiun Menurut Poerwadarminta guru (1983, h. 335) adalah orang yang kerjanya mengajar, sedangkan menurut Djamarah (2005, h. 31) guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggungjawab terhadap pendidikan murid-muridnya baik secara individu ataupun secara klasikal, di sekolah maupun di luar sekolah.

Pensiun berarti bahwa perusahaan memberikan sejumlah uang tertentu secara berkala kepada karyawan yang telah berhenti bekerja Pensiun berarti bahwa perusahaan memberikan sejumlah uang tertentu secara berkala kepada karyawan yang telah berhenti bekerja

Flippo (1987, h. 283) menyebut pensiun sebagai suatu ”peran tanpa peran”. Dalam suatu masyarakat yang dibangun berdasarkan etika kerja, peralihan dari suatu peran kerja produktif yang nyata pada suatu hari telah menanamkan keyakinan bahwa pensiun mengakibatkan penyakit mental dan jasmani serta kadang-kadang kematian yang terlalu cepat. Pensiun merupakan suatu peristiwa penting dalam daur kehidupan seseorang, pensiun memaksa suatu peningkatan dalam ruang lingkup pengambilan keputusan tentang kehidupan pribadi seseorang.

Schwartz berpendapat bahwa pensiun merupakan akhir pola hidup atau masa transisi ke pola hidup baru. Pensiun selalu menyangkut perubahan peran, perubahan keinginan dan nilai, dan perubahan secara keseluruhan terhadap pola hidup setiap individu (Hurlock, 1992, h. 417 ).

Back (dalam Hurlock, 1992, h. 419) menjelaskan bahwa apabila pensiun semakin dianggap sebagai perubahan ke status baru, maka pensiun akan semakin tidak dianggap sebagai membuang status yang berharga dengan demikian akan terjadi transisi yang lebih baik.

Jadi dapat disimpulkan bahwa guru yang akan menghadapi pensiun adalah seseorang yang mengalami masa transisi menuju ke hidup yang baru karena kondisi fisik dan batasan usia, setelah sekian lama bekerja sebagai pengajar, mempunyai wewenang dan tanggungjawab terhadap pendidikan murid-muridnya.

2. Kategori Sikap Terhadap Pensiun Havighurst (Hurlock, 1992, h. 418) membagi sikap terhadap pensiun menjadi dua kategori, yaitu :

a. Pengalihan peran (transformer) Mengubah gaya hidup dengan menciptakan gaya hidup yang baru dan menyenangkan diri sendiri. Melepaskan berbagai peran lama dan menjalankan peran baru.

b. Pemelihara peran (maintainers) Terus bekerja dengan melakukan pekerjaan penggal waktu setelah pensiun. Pekerjaan yang dilakukan merupakan lanjutan dari pekerjaan yang sebelumnya.

Jadi kategori sikap tehadap pensiun terdiri dari pengalihan peran dan pemelihara peran.

3. Kondisi yang Mempengaruhi Penyesuaian Terhadap Pensiun Terdapat berbagai macam kondisi yang mempengaruhi penyesuaian terhadap pensiun. Baik tidaknya penyesuaian diri seseorang saat pensiun dipengaruhi oleh (Hurlock, 1992, h. 419) :

a. Para pekerja yang pensiun secara sukarela akan menyesuaikan diri lebih baik dibandingkan dengan mereka yang merasakan pensiun dengan terpaksa terutama bagi mereka yang masih ingin melajutkan bekerja.

b. Kesehatan yang buruk pada waktu pensiun memudahkan penyesuaian sedangkan orang sehat mungkin cenderung melawan untuk melakukan penyesuaian diri.

c. Berhenti dari pekerjaan secara bertahap ternyata lebih baik efeknya dibandingkan jika tiba-tiba berhenti dari kebiasaan bekerja, karena sebagian orang tidak bisa mengatur persiapan pola hidup tanpa pekerjaan.

d. Pekerja yang mengembangkan minat tertentu guna menggantikan aktivitas kerja rutin, akan menghasilkan kepuasan yang dulu diperoleh dari pekerjaannya, tidak akan mengalami kesulitan saat pensiun, yang secara emosional membingungkan, misalnya sulit menemukan minat pengganti.

e. Kontak sosial, jika tinggal di rumah sendiri, sedangkan anak-anak sudah menikah, orang pensiunan memutuskan untuk melakukan kontak sosial.

f. Semakin sedikit perubahan yang harus dilakukan terhadap kehidupan

semasa pensiun semakin baik penyesuaian diri dapat dilakukan.

g. Status ekonomi yang baik, yang memungkinkan seseorang untuk hidup dengan nyaman dan menyenangkan.

h. Status perkawinan yang bahagia sangat membantu penyesuaian diri terhadap masa pensiun.

i. Semakin para pekerja menyukai pekerjaan mereka, semakin buruk penyesuaian terhadap pensiun.

j. Semakin besar masyarakat sekitar menawarkan berbagai kegiatan, akan mempemudah penyesuaian terhadap pensiun. k. Sikap anggota keluarga terhadap masa pensiun mempunyai pengaruh yang amat besar terhadap sikap pekerja. Dapat disimpulkan bahwa baik tidaknya penyesuaian diri seseorang saat menghadapi pensiun dipengaruhi oleh kondisi kesehatan, kontak sosial, status ekonomi, status perkawinan, memiliki minat tertentu untuk menggantikan aktivitas kerja rutin.

4. Fase-fase Pensiun Seorang ahli gerontologi, Robert Atchley (dalam Santrock, 2002,

h. 228) menggambarkan tujuh fase pensiun yang dilalui oleh orang-orang dewasa, yaitu :

a. Fase jauh (the remote phase) Kebanyakan individu sedikit melakukan sesuatu untuk mempersiapkan fase pensiun. Seiring dengan pertambahan usia mereka yang memungkinkan pensiun, mereka mungkin menyangkal bahwa fase pensiun akan terjadi.

b. Fase mendekat (the near phase) Para pekerja mulai berpartisipasi di dalam program pra-pensiun. Program ini membantu orang-orang dewasa memutuskan kapan dan bagaimana mereka seharusnya pensiun dengan mengakrabkan mereka dengan keuntungan-keuntungan dan dana pensiun yang diharapkan akan dapat mereka terima, atau melibatkan mereka dalam diskusi b. Fase mendekat (the near phase) Para pekerja mulai berpartisipasi di dalam program pra-pensiun. Program ini membantu orang-orang dewasa memutuskan kapan dan bagaimana mereka seharusnya pensiun dengan mengakrabkan mereka dengan keuntungan-keuntungan dan dana pensiun yang diharapkan akan dapat mereka terima, atau melibatkan mereka dalam diskusi

c. Fase bulan madu (the honeymoon phase) Fase terawal dari fase pensiun, banyak individu merasa bahagia. Mereka mungkin dapat melakukan segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan sebelumnya, dan mereka menikmati aktivitas-aktivitas waktu luang yang lebih.

d. Fase kekecewaan (the disenchantment phase) Orang-orang dewasa lanjut menyadari bahwa bayangan pra-pensiun mereka tentang fase pensiun ternyata tidak realistic.

e. Fase re-orientasi (reorientation phase) Para pensiunan mencatat apa yang masih dimiliki, mengumpulkannya bersama-sama, dan mengembangkan alternatif-alternatif kehidupan yang lebih realistik.

f. Fase stabil (the stability phase) Orang-orang dewasa telah memutuskan berdasarkan suatu criteria tertentu untuk mengevaluasi pilihan-pilihan pada fase pensiun dan bagaimana mereka akan menjalani salah satu pilihan yang telah dibuat.

g. Fase akhir (the termination phase) Peranan fase pensiun digantikan oleh peran sebagai pesakitan atau peran tergantung karena orang-orang dewasa lanjut tidak dapat berfungsi secara mandiri lagi dan mencukupi kebutuhannya sendiri.

Jadi tujuh fase pensiun yang akan dialami oleh setiap orang adalah Fase jauh (the remote phase), Fase mendekat (the near phase), Fase bulan madu (the honeymoon phase), Fase kekecewaan (the disenchantment phase), Fase re-orientasi (reorientation phase), Fase stabil (the stability phase), Fase akhir (the termination phase).

C. Analisa Kecerdasan Emosional Para Guru yang Menghadapi Pensiun Setiap individu yang bekerja pastinya akan mengalami masa pensiun, baik bagi mereka yang bekerja di sebuah perusahaan ataupun yang bekerja di instansi pemerintah. Perusahaan ataupun pemerintah telah menetapkan batasan usia tertentu untuk pensiun bagi karyawan atau pegawainya. Saat masa pensiun tiba, hal itu tidak dapat dihindari oleh setiap orang. Ketika kondisi fisik menurun, produktivitas makin menurun, dan usia bertambah tua, masa pensiun semakin di depan mata.

Guru merupakan suatu pekerjaan di instansi pemerintah, itu artinya guru memiliki batasan usia tertentu untuk pensiun. Ketentuan tersebut telah diatur di dalam PP RI No. 32 tahun 1979 (www. dikti.co.id), yang berisi batasan usia pensiun bagi pegawai negeri ditetapkan pada umur 56 tahun. Meskipun batasan usia ini nantinya bersifat longgar, namun tetap saja setiap guru akan mengalami masa pensiun di usia tua mereka.

Para guru menghadapi masa pensiun dengan cara yang berbeda-beda satu sama lain. Beberapa diantara mereka merasa senang karena dapat memperoleh waktu untuk istirahat setelah sekian lama mengajar, sehingga Para guru menghadapi masa pensiun dengan cara yang berbeda-beda satu sama lain. Beberapa diantara mereka merasa senang karena dapat memperoleh waktu untuk istirahat setelah sekian lama mengajar, sehingga

Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti, diperoleh informasi bahwa kehilangan pekerjaan, pendapatan akan berkurang, kebersamaan dengan para murid yang menjadikan hiburan bagi mereka akan lenyap begitu saja, beberapa hal tersebut merupakan alasan yang membuat para guru menjadi cemas saat masa pensiun semakin mendekat. Faktor ekonomi dan faktor sosial di atas menjadi masalah yang sangat besar bagi mereka. Berkurangnya pendapatan akan berpengaruh pada kehidupan rumah tangga sehari-hari, cara mereka memenuhi kebutuhan rumah tangga akan berbeda seperti saat pekerjaan masih digeluti, terlebih lagi jika masih memiliki tanggungan, yaitu anak yang masih sekolah, tentunya hal itu akan membuat mereka khawatir tentang keuangan rumah tangga. Interaksi dengan murid dan rekan sekerja akan berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali, hal ini akan membuat mereka merasa sepi karena tidak adanya teman sebaya yang dapat dijadikan tempat berkeluh kesah. Para guru sudah memutar otak sedemikian rupa untuk mencari solusi dalam menghadapi beberapa permasalahan yang akan dihadapinya tersebut, bahkan sebelum pensiun itu benar-benar dialami. Oleh sebab itu, reaksi masing-masing guru yang akan menghadapi pensiun berbeda satu sama lain. Ada beberapa dari mereka yang khawatir hingga timbul cemas. Namun tidak sedikit pula yang daya juangnya tinggi dalam Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti, diperoleh informasi bahwa kehilangan pekerjaan, pendapatan akan berkurang, kebersamaan dengan para murid yang menjadikan hiburan bagi mereka akan lenyap begitu saja, beberapa hal tersebut merupakan alasan yang membuat para guru menjadi cemas saat masa pensiun semakin mendekat. Faktor ekonomi dan faktor sosial di atas menjadi masalah yang sangat besar bagi mereka. Berkurangnya pendapatan akan berpengaruh pada kehidupan rumah tangga sehari-hari, cara mereka memenuhi kebutuhan rumah tangga akan berbeda seperti saat pekerjaan masih digeluti, terlebih lagi jika masih memiliki tanggungan, yaitu anak yang masih sekolah, tentunya hal itu akan membuat mereka khawatir tentang keuangan rumah tangga. Interaksi dengan murid dan rekan sekerja akan berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali, hal ini akan membuat mereka merasa sepi karena tidak adanya teman sebaya yang dapat dijadikan tempat berkeluh kesah. Para guru sudah memutar otak sedemikian rupa untuk mencari solusi dalam menghadapi beberapa permasalahan yang akan dihadapinya tersebut, bahkan sebelum pensiun itu benar-benar dialami. Oleh sebab itu, reaksi masing-masing guru yang akan menghadapi pensiun berbeda satu sama lain. Ada beberapa dari mereka yang khawatir hingga timbul cemas. Namun tidak sedikit pula yang daya juangnya tinggi dalam

Adanya sikap yang bervariasi ketika menghadapi masa pensiun tergantung kondisi emosionil seseorang dalam menghadapi semua masalah yang terjadi pada dirinya. Kecerdasan emosional seseorang sangat mempengaruhi kehidupan seseorang, dengan adanya kecakapan dalam kecerdasan emosionalnya akan membuat orang menyadari apa yang sedang terjadi dalam dirinya, bagaimana perasaannya saat itu, serta bagaimana cara menghadapi setiap permasalahan yang terjadi pada dirinya, dan dapat mengendalikan emosinya dengan baik.

Menurut Goleman (2007, h. 7) kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, serta kemampuan untuk mengendalikan dorongan emosi, untuk membaca perasaan terdalam orang lain, untuk memelihara hubungan sebaik-baiknya dengan orang lain.

Aspek-aspek kecerdasan emosional yang dikemukakan oleh Shapiro (1999,h. 24), antara lain adalah keterampilan emosi dari segi moral, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan untuk memotivasi diri dan berprestasi, keterampilan mengelola emosi, keterampilan memecahkan masalah. Sedangkan menurut Segal (1999, h. 50), kecerdasan emosional terbentuk dari kesadaran emosional, penerimaan, kesadaran aktif, dan empati.

Segal (1999, h. 211) mengatakan jika seseorang yang keluar dari pekerjaannya dan berniat untuk mencari pekerjaan di tempat lain, kebutuhan ekonomi memaksanya berada dalam situasi kerja yang tidak sesuai. Maka orang tersebut tidak akan merasa nyaman dengan lingkungan barunya jika dia tidak dapat menggunakan emosinya dengan baik untuk tetap terkendali dan menjaga kepuasan di tempat kerjanya yang baru, tapi jika orang tersebut mampu menggunakan emosinya dengan baik, dia akan merasa mendapat pekerjaan yang tepat, hasil dan deskripsi pekerjaan akan tampak sempurna di matanya.

Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional rendah tidak dapat mengambil keputusan, serta tidak dapat memecahkan masalah dengan baik. Mereka juga tidak tahu bagaimana caranya memikirkan perasaan orang lain, kurang dapat berinteraksi dengan orang lain, bahkan yang lebih buruk lagi mereka tidak mampu merasakan apa yang disukainya dan apa yang tidak disukainya, tidak dapat memahami perasaannya sendiri (Segal, 1999, h.10). Goleman (2007, h. 351) juga menambahkan bahwa seseorang yang tidak Seseorang yang memiliki kecerdasan emosional rendah tidak dapat mengambil keputusan, serta tidak dapat memecahkan masalah dengan baik. Mereka juga tidak tahu bagaimana caranya memikirkan perasaan orang lain, kurang dapat berinteraksi dengan orang lain, bahkan yang lebih buruk lagi mereka tidak mampu merasakan apa yang disukainya dan apa yang tidak disukainya, tidak dapat memahami perasaannya sendiri (Segal, 1999, h.10). Goleman (2007, h. 351) juga menambahkan bahwa seseorang yang tidak