ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM P
ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan
di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)
FUAD MUCHLIS SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2009
Fuad Muchlis NRP. I352070081
ABSTRACT
FUAD MUCHLIS. ANALYSIS OF PARTICIPATORY COMMUNICATION IN PROGRAM OF SOCIETY EMPOWERMENT (Case Study at Implementation of Discussion of PNPM Mandiri Perdesaan In The Teluk Village District Of Pemayung Batang Hari Regency). Under direction of SARWITITI and YATRI INDAH KUSUMASTUTI
Successfullness of assistance activity for society empowerment determined by participatory communication process. PNPM MPd, a recent society empowerment development model initiated by government, has become important and interested research topic related to development communication science. The research aim are to describe the role of facilitator in the activity of PNPM MPd, to express the meaning of facilitators credibility according to perspective of PNPM MPd participant and to analyze participatory communication that happen between facilitator and participant in activity of PNPM MPd in the effort of society empowerment. The research is constructivist paradigm by using design of communication ethnography, which located in Teluk Village District of Pemayung Batang Hari Regency. The research is conducted
from 11 rd March 2009 to 13 May 2009. The result of research using access consept, heteroglasia (heterogenity
st
of economic and gender) and dialogue indicates that communication in PNPM MPd activities was not undertaken participatively. Immature replication from PPK to PNPM MPd by government has become the cause of unparticipative communications. The role of facilitator is not maximal due to pursued by target of mechanistic program and greater location coverage. The credibility of facilitator also as a factor that makes PNPM MPd not as good as compared to previous program (PPK). Communication process that is not participatory in every activity of PNPM MPd make this program quite difficult to reach it purpose to empower the society.
Keyword : Participatory communication, role of facilitator, credibility, society empowerment
RINGKASAN
FUAD MUCHLIS. ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN
pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari). Dibimbing oleh SARWITITI dan YATRI INDAH KUSUMASTUTI.
Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi yang lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri. Proses pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level grass root itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dengan stakeholder lain dalam proses pembangunan.
Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam pemberdayaan masyarakat yang dipengaruhi oleh peran dan kredibilitas fasilitator menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma konstruktivis yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran fasilitator dalam aktivitas PNPM MPd, mengungkapkan makna kredibilitas fasilitator menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd serta menganalisis proses komunikasi yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan pada aspek teknik, peran fasilitasi dan pendidikan terkesan diabaikan. Hal ini disebabkan oleh jenis kegiatan yang juga dominan pada aspek teknis yaitu pembangunan infrastruktur. Walaupun di lapangan dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, tetapi karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu maka fasilitator pemberdayaanpun ikut terjebak pada kerja teknis sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh dari pemberdayaan menjadi terabaikan. Peran fasilitator yang mengabaikan aspek fasilitasi dan pendidikan berdampak pada proses komunikasi yang berlangsung dalam implementasi program menjadi tidak partisipatif.
Hasil penelusuran peneliti berhasil merangkum makna kredibilitas fasilitator perspektif partisipan, yaitu : (1) Kompetensi, yang meliputi aspek keahlian dan berpengalaman, menguasai informasi, percaya diri dan berani mengambil resiko; (2) Berkarakter yang meliputi aspek trust , sabar, objektif, disiplin dan rajin; (3) Karismatik yang ditunjukkan oleh sosok yang selalu aktif, tegas, bersemangat, berwibawa, berpenampilan tenang dan bisa memberi teladan; dan (4) Adaftif. Dari perspektif pelaku PNPM MPd terungkap bahwa kredibilitas fasilitator menjadi menurun jika dibandingkan pada program PPK. Hal ini disebabkan oleh (1) semakin longgarnya syarat rekruitment calon fasilitator PNPM MPd jika dibandingkan dengan PPK. PPK mensyaratkan fasilitator Hasil penelusuran peneliti berhasil merangkum makna kredibilitas fasilitator perspektif partisipan, yaitu : (1) Kompetensi, yang meliputi aspek keahlian dan berpengalaman, menguasai informasi, percaya diri dan berani mengambil resiko; (2) Berkarakter yang meliputi aspek trust , sabar, objektif, disiplin dan rajin; (3) Karismatik yang ditunjukkan oleh sosok yang selalu aktif, tegas, bersemangat, berwibawa, berpenampilan tenang dan bisa memberi teladan; dan (4) Adaftif. Dari perspektif pelaku PNPM MPd terungkap bahwa kredibilitas fasilitator menjadi menurun jika dibandingkan pada program PPK. Hal ini disebabkan oleh (1) semakin longgarnya syarat rekruitment calon fasilitator PNPM MPd jika dibandingkan dengan PPK. PPK mensyaratkan fasilitator
Berbagai musyawarah dalam PNPM MPd yang peneliti ikuti dan fakta empirik di lapangan memberikan penjelasan bahwa, RTM juga tidak memiliki peluang dalam berpartisipasi. Hal ini ditandai dengan RTM selalu tidak menerima undangan untuk kegiatan PNPM MPd. Dengan demikian peluang RTM dalam pengambilan keputusan juga tidak ada karena musyawarah selalu didominasi oleh elit desa dan fasilitator.
Komunikasi partisipatif yang mengakomodir keberagaman (heteroglasia) baik dari perspektif ekonomi maupun gender belum terimplementasi secara baik. RTM dan kelompok perempuan tidak dilibatkan dalam proses komunikasi pada aktivitas PNPM MPd. Sebagai sebuah program yang mengusung isu pemberdayaan, PNPM MPd mestinya menjadikan setiap aktivitasnya sebagai proses untuk “membantu partisipan” terutama RTM dan kelompok perempuan memperoleh “kuasa” untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan terkait dengan diri mereka. Konsep heteroglasia selalu mengajak kita untuk membawa agar sistem pembangunan mestinya selalu dilandasi dan menghargai keberagaman oleh berbagai kelompok dan komunitas yang berbeda baik dari variasi ekonomi, sosial, agama dan faktor budaya yang saling mengisi satu sama lain.
Dialog sebagai ciri komunikasi partisipatif juga belum terjadi pada berbagai musyawarah dalam PNPM MPd. Hal ini dapat dilihat dimana program belum menjamin dan memberikan setiap orang memiliki hak yang sama untuk berbicara atau untuk didengar. Kesan yang ditangkap dalam musyawarah tersebut, forum adalah “pengumuman” dari pelaku PNPM MPd sebagai perpanjangan
musyawarah yang selalu mengedepankan dialog. Partisipan terkondisikan oleh situasi dimana mereka harus menyepakati misi yang dibawa oleh pelaku PNPM MPd dari pemerintah. Partisipan tidak diberi kesempatan mempertanyakannya sehingga kesadaran kritis yang diharapkan muncul dari proses musyawarah tidak terjadi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain sebagai subjek yang otonom, tidak hanya sebagai objek komunikasi.
Dengan merujuk pada konsep akses, heteroglasia dan dialog, komunikasi antara fasilitator dengan dan sesama partisipan dalam aktivitas PNPM MPd berlangsung secara tidak partisipatif. Proses komunikasi yang tidak partisipatif disebabkan oleh situasi dimana fasilitator tidak dapat menjalankan peran fasilitasi dan pendidikan secara optimal dan hanya dominan menjalankan peran teknik. Situasi dimana aktivitas pemberdayaan (empowerment) belum berjalan semestinya tersebut juga disebabkan oleh kredibilitas fasilitator yang cenderung menurun dibandingkan dengan program sebelumnya (PPK). Fakta dimana peran fasilitator tidak optimal dan kredibilitas fasilitator yang menurun ini disebabkan oleh “policy” pemerintah terhadap program yang kurang mendorong visi pemberdayaan.
Kata kunci : komunikasi partisipatif, peran fasilitator, kredibilitas, pemberdayaan masyarakat
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
(Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan
di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari)
FUAD MUCHLIS
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2009
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Djuara. P. Lubis, MS
Judul Tesis : Analisis Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Masyarakat (Studi Kasus pada Implementasi Musyawarah dalam PNPM Mandiri Perdesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).
Nama
: Fuad Muchlis
NIM
: I352070081
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sarwititi Sarwoprasodjo, MS Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MSi Ketua
Anggota
Diketahui
Koordinator Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian: 29 Juli 2009 Tanggal Lulus: 18 Agustus 2009
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan nikmat-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat (Studi kasus pada implementasi PNPM Mandiri Pedesaan di Desa Teluk Kecamatan Pemayung Kabupaten Batang Hari).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Sarwititi, MS dan Ibu Ir. Yatri Indah Kusumastuti, M.Si yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, masukan serta arahan dengan penuh kesabaran sejak awal penyusunan proposal penelitian, selama di lapangan dan penulisan hingga proses penyelesaian tesis ini serta Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku penguji luar komisi yang telah memberikan koreksi dan masukan berharga bagi penyempurnaan tesis ini. Terima kasih juga kepada masyarakat dan perangkat Desa Teluk, pengurus UPK Kecamatan Pemayung, perangkat Kecamatan Pemayung, PJO Kabupaten Batang Hari dan para pelaku PNPM MPd lain yang telah banyak membantu penulis dalam pengumpulan data penelitian ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan pada Mbak Lia (Sekretariat KMP), teman-teman di mayor KMP 2007 (Pak Ojat, Pak Ipunk, Pak Hosea, Mb Ely, Bu Lina, Bu Loli, Bu Retno, Mb Hanif, Wiwin, Uni, Gita, , dan Ria) atas segala dukungannya selama proses belajar. Tidak lupa terima kasih juga untuk teman- teman di Markaz KIC Bogor (Bang Lukman, M.Si, Bang Sofyan, M.Si, Arman, M.Si, Husnul, Hayat, dan Nurhan) untuk kebersamaan yang selalu dan semoga tetap terjalin dengan baik.
Selanjutnya penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas Jambi yang telah memberikan izin mengikuti pendidikan pascasarjana di SPs IPB, Dirjen Dikti Depdiknas RI atas bea siswa (BPPS) dan Pemerintah Provinsi Jambi c.q Dinas Pendidikan atas bantuan biaya penelitian dan penulisan tesis ini.
Akhirnya, terima kasih tiada tara atas perhatian dan do’a ibunda Muhibah beserta seluruh keluarga (Mbak Alfiah, Mas Bisri, Srifitrotun Nisa, Kiki) serta Adinda Rica Natalisa atas segala cinta, pengertian dan dorongan untuk penyelesaian studi ini.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diperlukan demi penyempurnaan tulisan ini. Semoga seluruh upaya ini dapat menjadi amal baik dan bermanfaat. Amin...
Bogor, Agustus 2009
Fuad Muchlis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Teluk Sialang, Kecamatan Betara, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Provinsi Jambi pada tanggal 06 September 1979 dari Ayah Isjudi Syujak (Alm) dan Ibu Muhibah. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.
Pendidikan Sarjana ditempuh pada tahun 1997 hingga tahun 2002 pada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas Jambi. Kesempatan melanjutkan pendidikan program Magister Sains (S.2) Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2007 pada Mayor Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP) dengan sponsor Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Penulis diterima sebagai staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Jambi pada Desember 2003 dan mulai aktif bekerja sejak tahun 2004. Selain mengajar penulis juga pernah diperbantukan sebagai Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) pada Badan Pelaksana Kuliah Kerja Nyata (KUKERTA) Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Jambi sejak tahun 2005-2007.
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Daftar Informan di Lokasi Penelitian .................................................
2. Orbitasi Jarak dan Waktu Tempuh Desa Teluk dari Pusat
Pemerintahan ..................................................................................... 39
3. Komposisi Penduduk Desa Teluk Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat Kesejahteraan dan Tingkat Pendidikan Tahun 2008 ...........
4. Jenis dan Jumlah Sarana Pendidikan di Kecamatan Pemayung ....
5. Kegiatan PPK dan PNPM Mandiri Perdesaan Kecamatan Pemayung 52
6. Pemetaan Pembangunan Infrastruktur dan Pembiayaan PPK dan PNPM MPd di Kecamatan Pemayung ......................................
DAFTAR GAMBAR
Halaman
29
1. Skema Kerangka Pemikiran Penelitian .............................................
37
2. Proses Analisis Data Penelitian.........................................................
47
3. Struktur Kelembagaan Pemerintahan Desa Teluk Tahun 2008 .......
4. Kunjungan Dirjen PMD Depdagri RI dan Salah Satu Event Komunikasi pada PNPM MPd (MAD III) di Kecamatan Pemayung.....................
51
5. Fasilitas infrastruktur bangunan PNPM MPd dan aktivitas Simpan Pinjam Khusus Perempuan (SPP) di Kecamatan Pemayung ..........
53
6. Peneliti bersama Fasilitator Usai Melakukan Wawancara di Ruang UPK PNPM MPd Kecamatan Pemayung ..........................................
54
57
7. Alur Kegiatan PNPM Mandiri Perdesaan .........................................
8. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU di Desa Teluk ....................................................................
66
9. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh Masyarakat Melalui PPK di Desa Teluk ...............................................................
67
91
10. Posisi Tempat Duduk Peserta Rapat ...............................................
11. Pemisahan Tempat Duduk Peserta Rapat antara Kelompok Laki-laki dan Kelompok Perempuan ...............................................................
92
DAFTAR SINGKATAN
APBD
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
ADD
: Alokasi Dana Desa
AD/ART
: Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga
BAPPEDA
: Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BAPPENAS
: Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
BKAD
: Badan Kerja Sama Antar Desa
BBM
: Bahan Bakar Minyak
BLM
: Bantuan Langsung Masyarakat
BPKP
: Badan Pemeriksan Keuangan dan Pembangunan
BPS
: Badan Pusat Statistik
FK
: Fasilitator Kecamatan
FasKab
: Fasilitator Kabupaten
HAM
: Hak Asasi Manusia
HOK
: Hari Orang Kerja
IPM
: Indeks Pembangunan Manusia
Kades
: Kepala Desa
KM-Prov
: Konsultan Manajemen (tingkat) Provinsi
KPMD
: Kader Pemberdayaan Masyarakat Desa
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MAD
: Musyawarah Antar Desa
MDGS
: Milenium Development Goals
Musdes
: Musyawarah Desa
Musrenbang
: Musyawarah Perencanaan Pembangunan
PNPM
: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
PNPM MPd
: PNPM Mandiri Perdesaan
PPK
: Program Pengembangan Kecamatan
PELITA
: Pembangunan Lima tahun
Perda
: Peraturan Daerah
PerDes
: Peraturan Desa
PJOK
: Penanggung Jawab Operasional Kegiatan
PjOKab
: Penanggung Jawab Operasional Kabupaten
PjOProv
: Penanggung Jawab Operasional Provinsi
PMD
: Pemberdayaan Masyarakat Desa
P2KP
: Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan
Pokmas
: Kelompok Masyarakat
PTO
: Petunjuk Teknis Operasional
RAB
: Rencana Anggaran Biaya
RPJM
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RPJMDes
: Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
RT
: Rukun Tetangga
RTM
: Rumah Tangga Miskin
RW
: Rukun Warga
SDM
: Sumber Daya Manusia
SPP
: Simpan Pinjam Khusus Perempuan
TPK
: Tim Pengelola Kegiatan
TP3
: Tim Pengelola dan Pemelihara Prasarana
TPU
: Tim Penulis Usulan
TV
: Tim Verifikasi
UEP
: Usaha Ekonomi Produktif
UPK
: Unit Pengelola Kegiatan
PENDAHULUAN Latar Belakang
Pengalaman masa lalu telah memberikan pelajaran berharga bagi bangsa Indonesia, bahwa pembangunan yang dilaksanakan dengan pendekatan top-down dan sentralistis, belum berhasil menghadirkan kesejahteraan bagi publik dalam arti yang sesungguhnya. Implementasi pendekatan dan sistem pembangunan tersebut mengakibatkan keikutsertaan masyarakat dalam pembangunan, bukan dalam pengertian partisipasi yang sebenarnya, tetapi lebih pada dimobilisasi. Karena itu, kegiatan pembangunan makin menjadikan masyarakat sangat bergantung terhadap input-input dari pemerintah. Hal ini menjadikan masyarakat menjadi kurang percaya diri, tidak kreatif dan tidak inovatif. Pendekatan top-down dan sentralistis juga mengakibatkan hak-hak masyarakat terserap ke dalam kepentingan pemerintah, dan menjadikannya tidak berdaya baik pada aspek politik, sosial dan ekonomi. Pada aspek ekonomi misalnya, terlihat bahwa upaya penanganan kemiskinan untuk menyejahterakan rakyat tidak benar-benar berhasil secara nyata.
Penanganan kemiskinan sesunguhnya sejak lama telah diupayakan. Sejak PELITA I (era pemerintahan Suharto) upaya penanganan kemiskinan yang dilakukan pemerintah telah menjangkau berbagai pelosok tanah air. Out-putnya, secara kuantitatif menunjukkan hasil yang cukup significant. Hal ini terlihat pada data statistik yang menunjukkan, ketika dimulainya pembangunan lima tahunan (PELITA) pada akhir 1960-an, kurang lebih 60 persen penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan, dan kemudian pada 1996-an menjadi sekitar
12 persen dari total penduduk Indonesia (BPS 1997). Tetapi, ketika terjadi krisis ekonomi pada 1997-an telah mengecilkan pencapaian prestasi pembangunan pada umumnya dan penurunan angka kemiskinan pada khususnya. Krisis tersebut menyebabkan melonjaknya angka kemiskinan mencapai 40 persen dari total penduduk Indonesia. Terdapat pelajaran berharga dan (mungkin) sebagai penyadaran bagi para penyelenggara negara, bahwa kebijakan dalam melakukan pembangunan yang menempatkan warga miskin sebagai obyek pembangunan perlu dikoreksi.
Respons terhadap pendekatan pembangunan tersebut, berkembanglah diskusi tentang civil society di kalangan perguruan tinggi maupun organisasi non pemerintah. Diskursus tentang civil society ini menyadarkan para penyelenggara negara untuk menemukan pendekatan baru dalam kebijakan pembangunan yang Respons terhadap pendekatan pembangunan tersebut, berkembanglah diskusi tentang civil society di kalangan perguruan tinggi maupun organisasi non pemerintah. Diskursus tentang civil society ini menyadarkan para penyelenggara negara untuk menemukan pendekatan baru dalam kebijakan pembangunan yang
Pemberdayaan (empowerment) dipandang sebagai jawaban atas pengalaman pelaksanaan pembangunan yang didasari oleh kebijakan yang terpusat sejak tahun 1970-an sampai 1990-an tersebut. Kealpaan pemerintah untuk memberikan ruang partisipasi lebih luas kepada rakyat sebagai end user kebijakan publik pada masa itu ternyata telah menyebabkan matinya inovasi dan kreasi rakyat untuk memahami kebutuhannya sendiri serta cara-cara merealisasikan kebutuhannya itu melalui proses pembangunan. Proses pembangunan terpusat yang tidak partisipatif dan cenderung melupakan kebutuhan rakyat pada level akar rumput (grass root) itu telah menyadarkan para pemikir kebijakan publik untuk akhirnya berani mengadopsi konsep pemberdayaan yang dipercayai mampu menjembatani partisipasi rakyat dalam proses pembangunan. Dalam konteks ini pemberdayaan ditantang untuk dapat menumbuhkan kembali inovasi dan kreatifitas rakyat (Wrihatnolo 2007)
Salah satu program pengentasan kemiskinan berbasis pemberdayaan (empowerment) yang diusung oleh pemerintah saat ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM-M). PNPM-M diharapkan dapat mewujudkan masyarakat berdaya dan mandiri yang mampu mengatasi berbagai persoalan kemiskinan, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam menerapkan model pembangunan partisipatif yang berbasis kelembagaan masyarakat dalam rangka penanggulangan kemiskinan dan meningkatkan capaian manfaat program kepada kelompok sasaran yang ditandai dengan adanya peningkatan IPM Milenium Development Goals (MDGs).
Sejak tahun 2007, PNPM Mandiri dilaksanakan dengan memperluas cakupan wilayah sasaran pelaksanaan P2KP dan PPK. Selanjutnya pada tahun 2008 mulai diterapkan PNPM Mandiri Perkotaan (pengembangan dari P2KP) dan PNPM Mandiri Perdesaan (pengembangan dari PPK). Proses pemberdayaan masyarakat dititikberatkan pada fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat di tingkat basis kelurahan/desa, fasilitasi pengintegrasian program jangka menengah penanggulangan kemiskinan tingkat kelurahan/desa sesuai kebutuhan masyarakat dengan perencanaan pemerintah. Program ini diharapkan dapat menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar delapan persen dan Sejak tahun 2007, PNPM Mandiri dilaksanakan dengan memperluas cakupan wilayah sasaran pelaksanaan P2KP dan PPK. Selanjutnya pada tahun 2008 mulai diterapkan PNPM Mandiri Perkotaan (pengembangan dari P2KP) dan PNPM Mandiri Perdesaan (pengembangan dari PPK). Proses pemberdayaan masyarakat dititikberatkan pada fasilitasi penguatan kelembagaan masyarakat di tingkat basis kelurahan/desa, fasilitasi pengintegrasian program jangka menengah penanggulangan kemiskinan tingkat kelurahan/desa sesuai kebutuhan masyarakat dengan perencanaan pemerintah. Program ini diharapkan dapat menurunkan tingkat kemiskinan menjadi sebesar delapan persen dan
Pertanyaan mendasarnya adalah apakah PNPM Mandiri yang merupakan kelanjutan dari program-program pemberdayaan sebelumnya (PPK dan P2KP) benar-benar mampu memberdayakan keluarga miskin ? Dalam penelitiannya, Solihin (2005) menyebutkan bahwa pada aspek ekonomi terjadi peningkatan modal dan pendapatan bagi masyarakat miskin sebesar 60 persen sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pada aspek sosial juga terjadi peningkatan interaksi sosial antar anggota KSM dengan fasilitatornya dan terjadi peningkatan partisipasi warga masyarakat. Selanjutnya juga terjadi peningkatan pada aspek pembangunan sarana dan prasarana fisik di lokasi kegiatan.
Hal yang kontras justru terjadi pada penelitian Zainuri (2005) yang memfokuskan penelitiannya pada proses partisipasi, transfer kekuasaan dan perbaikan kualitas hidup menurut perspektif pekerjaan sosial. Ia menyatakan bahwa Program Pengembangan Kecamatan/PPK (sekarang PNPM Mandiri Perdesaan) ternyata belum berhasil memberdayakan keluarga miskin. Berikutnya penelitian Muchtar (2007) juga membuktikan bahwa tidak terjadi proses pemberdayaan dalam implementasi P2KP (sekarang PNPM perkotaan).
Keberhasilan sebuah kegiatan pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat akan ditentukan oleh komunikasi yang partisipatif. Adanya komunikasi yang partisipatif memungkinkan anggota komunitas penerima program (partisipan) memiliki rasa tanggung jawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan masyarakatnya serta dapat menggali potensi dan kreativitas masyarakat. (Suparjan et al. 2003) . Dengan komunikasi partisipatif, diharapkan partisipasi, potensi dan kreativitas masyarakat dapat lebih tergali. Pendeknya, dengan pendekatan partisipatif diharapkan dapat berkembangnya aktifitas yang berorientasi pada kompetensi dan tanggung jawab sosial sebagai anggota komunitas itu sendiri. Dengan melibatkan masyarakat dalam keseluruhan proses, maka keterampilan analisis dan perencanaan menjadi teralihkan kepada mereka atau partisipan.
Proses-proses komunikasi dalam PNPM MPd dapat teramati dalam berbagai event komunikasi di lokasi kegiatan. Dalam proses ini peran seorang fasilitator sangat menentukan apakah komunikasi berjalan secara partisipatif atau sebaliknya. Hal ini dapat dipahami karena fasilitator merupakan ujung tombak dalam aktivitas PNPM MPd. Ia adalah sosok yang selalu bersentuhan langsung Proses-proses komunikasi dalam PNPM MPd dapat teramati dalam berbagai event komunikasi di lokasi kegiatan. Dalam proses ini peran seorang fasilitator sangat menentukan apakah komunikasi berjalan secara partisipatif atau sebaliknya. Hal ini dapat dipahami karena fasilitator merupakan ujung tombak dalam aktivitas PNPM MPd. Ia adalah sosok yang selalu bersentuhan langsung
pendampingan bervisi pemberdayaan. Sebagai sebuah model pembangunan berdimensi pemberdayaan perspektif pemerintah yang relatif baru, penelitian tentang PNPM MPd dengan topik analisis komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan masyarakat yang ditunjukkan oleh peran seorang fasilitator dan kredibilitas yang melekat pada dirinya menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma kualitatif yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang komunikasi pembangunan.
dalam menjalankan
peran-peran
Perumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang penelitian di atas, maka rumusan masalah yang diungkap oleh peneliti adalah bagaimana peran fasilitator dalam melakukan pendampingan, bagaimana partisipan dan pelaku PNPM MPd memaknai kredibilitas seorang fasilitator dalam melakukan pendampingan untuk memberdayakan masyarakat serta bagaimana proses komunikasi berlangsung antara fasilitator dan partisipan dalam aktivitas PNPM MPd di lokasi penelitian ?
Tujuan Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan peran fasilitator dalam melakukan pendampingan pada aktivitas PNPM MPd.
dalam melakukan pendampingan menurut perspektif partisipan dan pelaku PNPM MPd
3. Menganalisis komunikasi partisipatif yang berlangsung antara fasilitator dan partisipan pada aktivitas PNPM MPd dalam upaya pemberdayaan masyarakat.
Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
1. Memberikan masukan strategis yang efektif dan efisien kepada pemegang kebijakan program PNPM MPd
2. Memberikan sumbangan hasil diskusi bersama partisipan kepada pelaku PNPM Mandiri Perdesaan dan komponen masyarakat yang peduli terhadap isu-isu pemberdayaan.
TINJAUAN TEORI Komunikasi Pembangunan dan Pemberdayaan
Melkote (2002) mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok paradigma dominan (modernisasi) dan kelompok paradigma alternatif (pemberdayaan). Teori-teori dan Intervensi dalam paradigma dominan dari modernisasi dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Daniel Lerner dalam bukunya The Passing of Traditional Society menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasi dan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu, kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional (Sarwititi 2005).
Dalam konteks
komunikasi
pembangunan,
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Teori Difusi dan Inovasi (Diffusion of Innovation Theory) yang mulai ditulis Rogers (1962) dan berkembang pada tahun 1970-an yang beranggapan bahwa pembangunan terjadi melalui penyebaran (difusi) inovasi dari agen pembangunan ke luar sistem sosial di tingkat lokal melalui berbagai saluran (Media massa, interpersonal dan lain-lain) kepada anggota-anggota sistem sosial dalam kurun waktu tertentu. Pendekatan ini mendapat kritik dari kalangan komunikasi pembangunan antara lain tidak memberikan umpan balik yang sangat mempengaruhi keberhasilan kampanye. Sejak akhir tahun 1970-an dan berkembang pada tahun 1990-an muncullah pendekatan pemasaran sosial yang melihat bahwa proses komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai proses bertahap yang memerlukan pesan- pesan dan pendekatan yang berbeda pada setiap tahap proses perubahan perilaku. Pengembangan lebih jauh dari pendekatan pemasaran sosial ini adalah strategi hiburan pendidikan yang berkembang pada akhir tahun 1990-an. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa media massa sangat Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Teori Difusi dan Inovasi (Diffusion of Innovation Theory) yang mulai ditulis Rogers (1962) dan berkembang pada tahun 1970-an yang beranggapan bahwa pembangunan terjadi melalui penyebaran (difusi) inovasi dari agen pembangunan ke luar sistem sosial di tingkat lokal melalui berbagai saluran (Media massa, interpersonal dan lain-lain) kepada anggota-anggota sistem sosial dalam kurun waktu tertentu. Pendekatan ini mendapat kritik dari kalangan komunikasi pembangunan antara lain tidak memberikan umpan balik yang sangat mempengaruhi keberhasilan kampanye. Sejak akhir tahun 1970-an dan berkembang pada tahun 1990-an muncullah pendekatan pemasaran sosial yang melihat bahwa proses komunikasi pembangunan harus dilihat sebagai proses bertahap yang memerlukan pesan- pesan dan pendekatan yang berbeda pada setiap tahap proses perubahan perilaku. Pengembangan lebih jauh dari pendekatan pemasaran sosial ini adalah strategi hiburan pendidikan yang berkembang pada akhir tahun 1990-an. Pendekatan ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa media massa sangat
Sedangkan paradigma alternatif dalam komunikasi pembangunan melihat perlunya memasukkan masalah kesamaan, pemeliharaan lingkungan dan perlindungan budaya asli dalam konsep pembangunan. Terdapat dua jalur dalam pendekatan alternatif-komunikasi partisipatori, yakni PAR (Participatory Action Research) dan pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan banyak digunakan dalam pengorganisasian komunitas, pendidikan dan psikologi komunitas. Oleh karena itu, pemberdayaan dapat diartikan dalam banyak hal dan dapat diamati pada berbagai level yakni individual, organisasi dan komunitas. Di tingkat komunitas, pemberdayaan berarti proses peningkatan kontrol kelompok- kelompok terhadap konsekuensi-konsekuensi yang penting bagi anggota kelompok dan orang lain dalam komunitas yang lebih luas (Fawcett et al. 1984 diacu dalam Melkote 2002). Sedangkan di tingkat individu pemberdayaan didefinisikan sebagai “perasaan psikologis berkenaan dengan pengendalian atau pengaruh pribadi dan kepedulian terhadap pengaruh sosial yang aktual, kekuasaan politis dan hukum legal (Rappaport 1987 diacu dalam Melkote 2002)
Pergeseran pada isu pemberdayaan memberikan implikasi kepada perubahan etika, metodologi dan filosofi konsep-konsep dalam teori-teori komunikasi pembangunan (Wilkins 2002 diacu dalam Sarwititi 2005). Dalam hal etika, peneliti komunikasi didorong untuk peduli terhadap kelompok yang tertindas : wanita, orang miskin, kelompok etnis dan bahasa minoritas, pengungsi dan lain-lain. Perhatian terhadap hal-hal praktis dan etis (aksiologi) menjadi lebih diutamakan daripada masalah epistimologis seperti obyektivitas dan pemisahan antara peneliti dan yang diteliti (detacmhment)
Jan Servaes menghubungkan pemberdayaan dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara kolektif pada semua tingkat sosial sehingga masyarakat dapat mengkontrol dampak dari keputusan tersebut. Pemberdayaan Jan Servaes menghubungkan pemberdayaan dengan partisipasi dalam pengambilan keputusan secara kolektif pada semua tingkat sosial sehingga masyarakat dapat mengkontrol dampak dari keputusan tersebut. Pemberdayaan
Kedua, dalam model pembangunan yang inisiatifnya berasal dari akar rumput partisipasi struktur komunikasi menjadi sangat penting. Secara tidak langsung dibutuhkan suatu media yang dikuasai oleh komunitas lokal, organisasi dan pergerakan. Hal ini akan mendorong mereka untuk memilih informasi yang benar-benar penting dan membentuk gambaran positif tentang diri mereka sendiri. Dengan begitu organisasi akan memiliki peluang untuk mempengaruhi media lainnya.
Ketiga, langkah penting dalam pemberdayaan adalah bahwa tiap unit pembangunan harus bersifat mandiri. Hal ini berarti mengurangi ketergantungan pada mitra yang berkuasa, tiap unit harus berusaha mencari dan memenuhi kebutuhannya sendiri dengan sumberdaya yang ada. Intinya adalah tidak tergantung pada pihak luar, kalaupun tergantung pada sumberdaya yang berasal dari luar maka sifatnya hanya melengkapi dari apa yang sudah ada.
Keempat, menyadari pentingnya kebijakan desentralisasi. Pembangunan di suatu negara tidak didominasi oleh satu pusat metropolitan melainkan terdiri atas beberapa pusat pemerintahan lokal dan regional yang tersebar.
Kelima, pembangunan harus didefinisikan secara kultural daripada secara ekonomi atau politik, menurut Servaes kebudayaan merupakan arena perjuangan dari upaya pemberdayaan.
Selanjutnya, Melkote dan Steves (2001) juga menyebutkan bahwa pemberdayaan adalah konsep inti dari dari pengorganisasian. Mereka menganggap ketidaksamaan kekuasaan merupakan masalah utama dari masalah pembangunan. Menurut mereka pemberdayaan adalah suatu proses dimana individu atau organisasi memperoleh kontrol dan menguasainya melalui suatu kondisi sosial ekonomi, melalui partisipasi demokrasi dalam komunitasnya dan melalui kisah mereka sendiri
Sementara itu, Payne (1997) diacu dalam Nasdian (2003), mengemukakan bahwa suatu proses pemberdayaan (empowerment), pada intinya, ditujukan untuk :
“to help clients gain power of decision and action over their own lives by reducing the effect of social or personal blocks to exercising existising power, by increasing capacity and self confidence to use power and by transferring power from the environment to clients.” Pemberdayaan adalah kegiatan yang ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya).
Shardlow (1998) diacu dalam Adi IR (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan adalah membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka “such a definition of empowerment is centrally about people taking control of their own lives and having the power to shape their own future”. Pemberdayaan (empowerment) juga dapat didefinisikan sebagai “proses “ maupun sebagai hasil (DuBois & Miley 2005 diacu dalam Suharto 2006). Sebagai “proses” pemberdayaan adalah serangkaian aktivitas yang terorganisir dan ditujukan untuk meningkatkan kekuasaan, kapasitas atau kemampuan personal, interpersonal atau politik sehingga individu, keluarga atau masyarakat mampu melakukan tindakan guna memperbaiki situasi-situasi yang mempengaruhi kehidupannya. Sebagai sebuah hasil, pemberdayaan menunjuk pada tercapainya sebuah keadaan, yakni keberdayaan atau keberkuasaan.
Definisi lain tentang pemberdayaan dikemukakan oleh Suharto (2005) yang berpendapat sebagai sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Sementara itu Ife (1995), menyatakan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit tetapi penguasaan klien atas pilihan personal untuk membuat keputusan gaya hidup, mendefinisikan kebutuhan, kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan, kemampuan menjangkau dan menggunakan lembaga masyarakat, kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan dan kemampuan memanfaatkan dan mengelola Definisi lain tentang pemberdayaan dikemukakan oleh Suharto (2005) yang berpendapat sebagai sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Sementara itu Ife (1995), menyatakan bahwa pemberdayaan memuat dua pengertian kunci, yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan disini diartikan bukan hanya menyangkut kekuasaan politik dalam arti sempit tetapi penguasaan klien atas pilihan personal untuk membuat keputusan gaya hidup, mendefinisikan kebutuhan, kemampuan mengekspresikan dan menyumbangkan gagasan, kemampuan menjangkau dan menggunakan lembaga masyarakat, kemampuan memobilisasi sumber-sumber formal, informal dan kemasyarakatan dan kemampuan memanfaatkan dan mengelola
Penelitian terkini mengenai komunikasi pembangunan menekankan bahwa pemberdayaan merepresentaikan harga diri, dan nilai identitas seseorang dan bentuk re-evaluasi kebudayaan lokal. Hal tersebut juga dapat dinyatakan sebagai institusi kebudayaan sehingga orang yang memiliki modal kebudayaan dihargai dan diakui. Ini juga penting dalam hal pergantian kebudayaan seseorang tidak harus mengganti identitas dirinya. Konsep pemberdayaan yang berkembang saat ini akan berbahaya jika tidak diorientasikan secara jelas kepada pelayanan masyarakat, pemberdayaan harus secara eksplisit diletakkan dalam kerangka kerja yang sesuai dengan paramater kemanusiaan dan kesamaan sosial (White 2004).
Berangkat dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan adalah sebuah “proses menjadi”, bukan sebuah “proses instan”. Sebagai proses , pemberdayaan mempunyai tiga tahapan, yaitu : penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan (Wrihatnolo 2007). Tahap pertama adalah penyadaran. Pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi “pencerahan” dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai “sesuatu”. Prinsip dasarnya adalah membuat target mengerti bahwa mereka perlu (membangun “demand) diberdayakan, dan proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri mereka. Tahap kedua adalah pengkapasitasan atau “capacity building” atau sederhananya adalah memampukan (enabling). Proses pengkapasitasan dilakukan pada tiga aspek, yaitu (1) memampukan manusia, baik dalam konteks individu maupun kelompok; (2) memampukan organisasi, dapat dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi yang hendak menerima daya atau kapasitas tersebut; dan (3) memampukan sistem nilai (aturan main). Dalam cakupan organisasi, sistem nilai berkenaan dengan AD/ART, sistem dan prosedur dan peraturan. Pada tingkat yang lebih maju, sistem nilai terdiri pula atas budaya organisasi dan etika organisasi. Pengkapasitasan sistem nilai dilakukan dengan membantu target dan membuatkan “aturan main” diantara mereka sendiri. Tahap ketiga adalah pemberian daya itu sendiri. Pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas atau peluang.
Komunikasi Partisipatif dan Pemberdayaan
Proses pemberdayaan (empowerment) sejatinya harus ditujukan untuk “membantu partisipan memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya.“ (Payne 1979 diacu dalam Nasdian 2003)
Harus diakui bahwa selama ini, peran serta masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit, artinya manusia cukup di pandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan. Dengan kondisi ini, partisipasi masyarakat “terbatas” pada implementasi atau penerapan program; masyarakat tidak dikembangkan dayanya menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil “pihak luar”. Akhirnya, partisipasi menjadi bentuk yang pasif dan tidak memiliki “kesadaran kritis” (Nasdian 2003).
Terhadap pengertian partisipasi di atas, terjadi tindakan korektif yang disejajarkan dengan upaya mencari definisi masyarakat yang lebih genuine, aktif dan kritis. Konsep yang baru tersebut menumbuhkan daya kreatif dalam dirinya sendiri sehingga menghasilkan pengertian partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh Paul (1987) diacu dalam Nasdian (2003) sebagai berikut :
“……participation refers to an active process whereby beneficaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share of project benefits. “
Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai “sadar” akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka (memiliki kesadaran kritis). Partisipasi telah menjadi kata kunci untuk suatu perubahan dan menjadi koreksi total terhadap berbagai sistem interaksi (komunikasi) termasuk antara pemerintah dan rakyatnya. (Dwivedi 2003). Komunikasi partisipatif dengan demikian mesti dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pendidikan masyarakat yang partisipatif, tentu bukan sekedar teknik melainkan suatu Pengertian di atas melihat keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai “sadar” akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka (memiliki kesadaran kritis). Partisipasi telah menjadi kata kunci untuk suatu perubahan dan menjadi koreksi total terhadap berbagai sistem interaksi (komunikasi) termasuk antara pemerintah dan rakyatnya. (Dwivedi 2003). Komunikasi partisipatif dengan demikian mesti dilandasi oleh suatu pandangan bahwa setiap orang pada dasarnya memiliki pengalaman yang cukup kaya untuk bisa diolah menjadi bahan pembelajaran. Pendidikan masyarakat yang partisipatif, tentu bukan sekedar teknik melainkan suatu
Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif.
“…..participation is concerned with the distribution of power in society, for it is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met through the distribution of resources” (Curtis et al. 1978 diacu dalam Nasdian 2003).
Selanjutnya Rahim (2007), mengajukan empat konsep terkait komunikasi partisipatif yang akan mendorong terbangunnya pemberdayaan (empowerment) yaitu heteroglasia, dialogis, poliponi dan karnaval.