DOCRPIJM c29b1c3091 BAB II04 BAB 2
Selain memperhatikan sasaran dan target indikatif, dokumen
laporan tersebut juga menekankan pentingnya kemitraan baik secara
global maupun lokal antar pemangku kepentingan pembangunan.
Kemitraan yang dimaksud memiliki prinsip inklusif, terbuka, dan
akuntabel dimana seluruh pihak duduk bersama-sama untuk bekerja
bukan tentang bantuan saja, melainkan juga mendiskusikan kerangka
kebijakan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
30
c)
Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur
hidup
d)
Menjamin kehidupan sehat
e)
Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik
f)
Mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi
g)
Menjamin energi yang berkelanjutan
h)
Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan
pertumbuhan berkeadilan
i)
Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan
j)
Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif
k)
Memastikan masyarakat yang stabil dan damai
l)
Menciptakan Global Enabling Environment dan mengkatalis LongTerm Finance.
Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta Karya berkepentingan
dalam pencapaian sasaran 6 (enam) yaitu: mencapai akses universal ke air
minum dan sanitasi. Adapun target yang diusulkan dalam pencapaian
sasaran tersebut adalah:
a)
Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di
rumah, dan di sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi,
b)
Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses
universal ke sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan
meningkatkan akses sanitasi di rumah tangga,
c)
Menyesuaikan kualitas air baku (freshwater withdrawals) dengan
pasokan air minum, serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian,
industri dan daerah-daerah perkotaan,
d)
Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah
perkotaan dan dari industri sebelum dilepaskan.
29
Karya juga turut berperan serta dalam pemenuhan target 7D yaitu
mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin
di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020. Pemerintah
Indonesia menargetkn luas permukiman kumuh 6%, padahal data terkhir
(2009) proorsi penduduk kumuh mencapai 12,57%.
Untuk memenuhi target MDGs di bidang permukiman, diperlukan
perhatian khusus dari seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota perlu
melakukan optimalisasi kegiatan penyediaan infrastruktur permukiman
dalam rangka percepatan pencapaian target MMDGs.
2.4.4 Agenda Pembangunan Pasca 2015
Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi
untuk memberi masukan kerangka kerja agenda pembangunan global
pasca 2015. Panel ini diketuai bersama oleh Presiden Indonesia, Bapak
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia,
dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris, dan beranggotakan 24
orang
dari berbagai negara.
Pada
Mei 2013,
panel
tersebut
mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris Jendral PBB berjudul “A
New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies
Through Sustainable Development”. Isinya adalah rekomendasi arahan
kebijakan pembangunan global pasca 2015 yang dirumuskan berdasarkan
tantangan pembangunan baru, sekaligus pelajaran yang diambil dari
implementasi MDGs.
Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran indikatif
pembangunan global pasca 2015, sebagai berikut:
a)
Mengakhiri kemiskinan
b)
Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan
gender
28
dalam konteks pembanguan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan,
(ii) pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan
tingkat global, serta (iii) kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan
pembangunan
berkelanjutan.
Kerangka
aksi
tersebut
termasuk
penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs) post-2025 yang
mencakup 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan secara inklusif, yang
terinspirasi dari penerapan Millenium Development Goals (MDGs). Bagi
Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana
pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019 dan Rencana
Pembangunan Jangkan Panjang Nasional (2005-2025).
2.4.3 Millenium Development Goals
Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain menyepakati
Deklarasi Millenium sebagai bagian dari komitmen untuk memenuhi
tujuan dan sasaran pembanunan Millenium (Millenium Development
Goals).
Konsiten
dengan
itu,
Pemerintah
Indonesia
telah
mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan
sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana
Pembangaunan Jangka Panjang 2005-2025, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010-2014 serta Rencana Tahunan berikut
dokumen penganggarannya.
Sesuai tugas dan fungsinnya, Ditjen Cipta Karya memiliki
kepentingan dalam pemenuhan target 7C yaitu menurunkan hingga
setengahnya proorsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap
sumber air minum layak dan fasilitas sanitas dasar layak hingga 2015. Di
bidang air minum saat ini (2013) adalah 61,83%, sedangkan target
cakupan pelayanan adalah 68,86% yang perlu dicapai pada tahun 2015.
Disamping itu, akses sanitasi yang layak saat ini baru 58,60%, masih
kurang dibandingkan target 2015 yaitu 62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta
27
program Bidang Cipta Karya meliputi Agenda Habitat, Konferensi Rio+20,
Millenium Development Goals, serta Agenda Pembangunan Pasca 2015.
2.4.1 Agenda Habitat
Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan konferensi
Habitat II sebagai kelanjutan Konferensi Habitat I di Vancouver Tahun
1976. Konferensi tersebut menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen
kesepakatan prinsip dan sasaran pembangunan permukiman yang
menjadi panduan bagi negara-negara dunia dalam menciptakan
permukiman yang layak dan berkelanjutan.
Salah satu pesan inti yang menjadi komitmen negara-negara dunia,
termasuk Indonesia, adalah penyediaan tempat hunian yang layak bagi
seluruh masyarakat tanpa terkecuali, serta meningkatkan akses air
minum, sanitasi, dan pelyanan dasar terutama bagi masyarakat
berpenghasilan rendah dan kelompok rentan.
2.4.2 Konferensi Rio+20
Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT
Pembangunan berkelanjutan atau leih dikenak dengan KTT Rio+20.
Konferensi tersebut menyepakati dokumen the Futur We Want yang
menjadi arahan bagi pelaksanan pembangunan berkelanjutan di tingkat
global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman
pandangan terhadap masa dengan yang diharapkan oleh dunia (common
vision)
dan
penguatan
komitmen
untuk
menuju
pembangunan
berkelanjutan dengan memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan
Johannesburg Plan of Implementation 2002.
Dalam dokumen The Futur We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama
bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi hijau
26
e)
Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengambilan sampah
dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan
secara aman.
Undang-udang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara
terbuka di tempat pemrosesan akhir. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah
harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan
sistem pembuangan terbuka dan mengembangkan TPA dengan sistem
controlled landfill ataupun sanitary landfill.
2.3.4 UU. No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya
turut serta dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan
UU No. 20 Tahun 2011. Dalam undang-undang tersebut rumah susun
didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan
secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Peraturan
ini
juga
mengatur
perihal
pembinaan,
perencanaan,
pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan,
peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang,
hak dan kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran
masyarakat.
2.4
Amanat Internasional
Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan
perumusan kesepakatan bersama dibidang permukiman. Beberapa amanat
internasional yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan
25
b)
Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar
budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus
dilindungi dan dilestarikan. Pelaksanaan perbaikan, pemugaran,
perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan
lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah
nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya,
c)
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi
cacat dan lanjut usia
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.
2.3.3 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas
lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan
sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga
dilakukan dengan pengurangan sampah. Upaya pengurangan sampah
dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang
sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan
penanganan sampah meliputi:
a)
Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah
sesuai dengan jenis, jumlah, dan atau sifat sampah,
b)
Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah
dari sumber sanpah ke tempat penampungan sementara atau tempat
pengolahan sampah terpadu,
c)
Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber
dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari
tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan
akhir,
d)
Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan
jumlah sampah,
24
kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan
prasarana yang tidak memenuhi syarat. Untuk itu perlu dilakukan upaya
pencegahan, terdiri dari pengawasan, pengendalian, dan pemberdayaan
masyarakat serta upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu
pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.
2.3.2 UU No. 28 Tahun tentang Bangunan Gedung
Undang-undang
bangunan
gedung
menjelaskan
bahwa
penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang
meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan kontruksi, serta
kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Setiap bangunan
gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif
meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan
gedung, dan izin mendirikan bangunan. Sedangkan persyaratan teknis
meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan
bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan
peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan
gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang
ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RBTL).
Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal
sebagai berikut:
a)
Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung
dengan lingkungan harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar
bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan
selaras dengan lingkungannya. Disamping itu, sistem penghawaan,
pencahayaan,
dan
pengkondisian
udara
dilakukan
dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam
bangunan gedung (amanat green building).
23
j)
Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi
di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota,
k)
Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.
Adapun
wewenang
Pemerintah
Kabupaten/Kota
dalam
menjalankan tugasnya, yaitu:
a.
Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota,
b.
Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan
bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota,
c. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota,
d.
Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota,
e.
Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan
perumahan dan permukiman bagi MBR,
f.
Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi
MBR pada tingkat kabupaten/kota,
g.
Memfasilitasi kerjasama pada tingkat kabupaten/kota antara
pemerintah
kabupaten/kota
dan
badan
hukum
dalam
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman,
h.
Menetapkan lokasi perumahan dan pemukiman sebagai perumahan
kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota
i.
Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kebupaten/kota.
UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman
yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat
22
2.3.1 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
UU Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan
kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten /Kota dalam Penyelenggaraan
permukiman mempunyai tugas:
a)
Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat
kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman
dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan
provinsi,
b)
Menyusun
dan
rencana
pembangunan
dan
pengembangan
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota,
c)
Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap
pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah,
perumahan,
permukiman,
lingkungan
hunian,
dan
kawasan
permukiman,
d)
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di
bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota,
e)
Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota,
f)
Melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan
strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
pada tingkat kabupaten/kota,
g)
Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman,
h)
Melaksanakan
kebihakan
dan
strategi
provinsi
dalam
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman berpedoman
pada kebijakan nasional,
i)
Melaksanakan pengelolaan prasarana, saranan, dan fasilitas umum
perumahan dan kawasan permukiman,
21
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas
tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki
keunggulan
geoekonomi
dan
geostrategi
dan
berfungsi
untuk
menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain
yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional.
Disamping zona ekonomi, KEK juga dilengkapi dengan zona fasilitas
pendukung dan perumahan bagi pekerja. Ditjen Cipta Karya dalam hal ini
diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan
tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.
2.2.6 Direktif Presiden Program Pembanguan Berkeadilan
Dalam inpres No. 03 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh
Kementerian, Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program
pro rakyat, keadilan untuk semua, dan program pencapaian MDGs. Ditjen
Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro
Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program
peningkatan kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam
pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses
pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan
permukiman kumuh.
2.3
Peraturan Perundangan Bidang PU/Cipta Karya
Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi
peraturan perundangan yang terkait dengan Bidang Cipta Karya, antara lain: UU
No. 01 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28
Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, UU No. 07 Tahun 2008 Tentang Sumber
Daya Air, dan UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Persampahan.
20
pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan ekonomi atau sentra produksi
yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama.
2.2.4 Masterplan Perencanaan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan
Indonesia
sesuai dengan RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu
diimbangi dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkadilan.
Untuk itu, telah ditetapkan MP3KI dimana semua upaya penanggulangan
kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka
kemiskinan dan memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di
semua daerah dan di semua kelompok masyarakat. MP3KI bertumpu
pada sinergi dari 3 (tiga) strategi utma, yaitu:
a)
Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh,
terintegrasi, dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan
goncangan,
b)
Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan
sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang,
c)
Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood)
masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan
dukungan di tingkat lokal dan regional dengan memperhatikan aspek.
Kementerian Pekerjaan Umum, Khususnya Ditjen Cipta Karya,
berperan penting dalam pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan
pelaksanaan
program
pemberdayaan
masyarakat
(PNPM-
Perkotaan/P2KP, PPPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro
Rakyat.
2.2.5 Kawasan Ekonomi Khusus
UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah
19
b)
Memastikan ketersediaan air baku air minum,
c)
Meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana
permukiman,
d)
Meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum,
penanganan air limbah, dan pengelolaan persampahan,
e)
Meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan
sanitasi,
f)
Meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman,
g)
Meningkatkan
pemahaman
masyarakat
mengenai
pentingnya
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS),
h)
Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan
infrastruktur,
i)
Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta,
j)
Mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.
2.2.3 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia
Dalam rangka transformasi ekonomi Indonesia menuju negara maju
dengan pertumbuhan ekonomi 7-9 persen pertahun, Pemerintah
menyusun MP3EI yang ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun 2011.
Dalam dokumen tersebut pembangunan setiap koridor ekonomi
dilakukan sesuai tema pembangunan masing-masing dengan prioritas
pada Kawasan Perhatian Investasi (KPI MP3EI). Ditjen Cipta Karya
diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman
pada KPI prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan
tersebut. Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah salah
satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau
terhubung dengan satu lebih faktor konektivitas dan SDM IPTEK.
Pendekatan
KPI
dilakukan
untuk
mempermudah
identifikasi,
18
ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan mendorong partisipasi
masyarakat dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal
dan lingkungan yang layak sesuai UUD 1945 pasal 28H, pemerintah
memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan
rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan sarana
dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan
drainase.
Dokumen
RPJMN
juga
menetapkan
sasaran
pembangunan
infrastruktur permukiman pada periode 2010-2014, yaitu:
a)
Tersedianya akses air minum bagi 70% penduduk pada akhir tahun
2014, dengan perincian akses air minum perpipaan 32% dan akses air
minum non-perpipaan terlindungi 38%.
b)
Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS)
hingga akhir tahun 2014, yang ditandai dengan tersedianya akses
terhadap Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (off-site) bagi 10%
total penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat
skala kota sebesar
5% maupun sistem pengelolaan air limbah
terpusat skala komunal sebesar 5% serta penyediaan akses dan
peningkatan kualitas sistem pengelolaan air limbah setempat (onsite) yang layak bagi 90% total penduduk.
c)
Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80% rumah
tangga di daerah perkotaan.
d)
Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan
strategis perkotaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan
diarahkan untuk meningkatkan aksesbilitas masyarakat terhadap layanan
air minum dan sanitasi yang memadai, melalui:
a)
Penyediaan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,
17
dilakukan
melalui
pendekatan
tanggap
kebutuhan
(demand
responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber
daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan.
b)
Dalam mewujudkan pembangunan pembangunan yang lebih merata
dan berkeadilan maka Pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat
yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan
kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air
minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum
dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan
air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4)
penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air
minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
c)
Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih
merata dan berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukungnya bagi seluruh
masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan
pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam
penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama
untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.
d)
Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada
setiap tahapan RPJMN, yaitu:
1)
RPJMN ke 2 (2010-2014),
2)
RPJMN ke 3 (2015-2019),
3)
RPJMN ke 4 (2020-2024).
2.2.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014
RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No.
5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu
prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan
16
Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya
dihadapkan pada berbagai isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan
iklim, kemiskinan, reformasi birokrasi, kepadatan penduduk perkotaan,
pengarusutamaan gender, serta green economy. Disamping isu umum, terdapat
juga permasalahan dan potensi pada masing-masing daerah, sehingga dukungan
seluruh stakeholders pada penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya sangat
diperlukan.
2.2
Amanat Pembangunan Nasional Terkait Bidang Cipta Karya
Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan
nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,
mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh
sebab itu, Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat
kebijakan pembangunan nasional.
2.2.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007,
merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai
arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan
secara bertahap dalam jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen
tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah
“Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya
RPJPN
mengamanatkan
beberapa
hal
sebagai
berikut
dalam
pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:
a)
Dalam
mewujudkan
Indonesia
yang
berdaya
saing
maka
pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan
untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta
kebutuhan
sektor-sektor
terkait
lainnya,
seperti
industri,
perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut
15
BAB 2
KONSEP PERENCANAAN BIDANG CIPTA KARYA
2.1 Konsep Perencanaan Bidang Cipta Karya
Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan
berkelanjutan, konsep perencanaan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun
dengan berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan dan amanat
perencanaan pembangunan. Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan
permukiman, Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota perlu memahami
arahan kebijakan tersebut, sebagai dasar perencanaan, pemrograman, dan
pembiayaan pembangunan Bidang Cipta Karya.
Sumber Direktorat Bina Program, 2014
Gambar 2.1
Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya
14
laporan tersebut juga menekankan pentingnya kemitraan baik secara
global maupun lokal antar pemangku kepentingan pembangunan.
Kemitraan yang dimaksud memiliki prinsip inklusif, terbuka, dan
akuntabel dimana seluruh pihak duduk bersama-sama untuk bekerja
bukan tentang bantuan saja, melainkan juga mendiskusikan kerangka
kebijakan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.
30
c)
Menyediakan pendidikan yang berkualitas dan pembelajaran seumur
hidup
d)
Menjamin kehidupan sehat
e)
Memastikan ketahanan pangan dan gizi yang baik
f)
Mencapai akses universal ke air minum dan sanitasi
g)
Menjamin energi yang berkelanjutan
h)
Menciptakan lapangan kerja, mata pencaharian berkelanjutan, dan
pertumbuhan berkeadilan
i)
Mengelola aset sumber daya alam secara berkelanjutan
j)
Memastikan tata kelola yang baik dan kelembagaan yang efektif
k)
Memastikan masyarakat yang stabil dan damai
l)
Menciptakan Global Enabling Environment dan mengkatalis LongTerm Finance.
Dari sasaran indikatif tersebut, Ditjen Cipta Karya berkepentingan
dalam pencapaian sasaran 6 (enam) yaitu: mencapai akses universal ke air
minum dan sanitasi. Adapun target yang diusulkan dalam pencapaian
sasaran tersebut adalah:
a)
Menyediakan akses universal terhadap air minum yang aman di
rumah, dan di sekolah, puskesmas, dan kamp pengungsi,
b)
Mengakhiri buang air besar sembarangan dan memastikan akses
universal ke sanitasi di sekolah dan di tempat kerja, dan
meningkatkan akses sanitasi di rumah tangga,
c)
Menyesuaikan kualitas air baku (freshwater withdrawals) dengan
pasokan air minum, serta meningkatkan efisiensi air untuk pertanian,
industri dan daerah-daerah perkotaan,
d)
Mendaur ulang atau mengolah semua limbah cair dari daerah
perkotaan dan dari industri sebelum dilepaskan.
29
Karya juga turut berperan serta dalam pemenuhan target 7D yaitu
mencapai peningkatan yang signifikan dalam kehidupan penduduk miskin
di permukiman kumuh (minimal 100 juta) pada tahun 2020. Pemerintah
Indonesia menargetkn luas permukiman kumuh 6%, padahal data terkhir
(2009) proorsi penduduk kumuh mencapai 12,57%.
Untuk memenuhi target MDGs di bidang permukiman, diperlukan
perhatian khusus dari seluruh pemangku kepentingan, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota perlu
melakukan optimalisasi kegiatan penyediaan infrastruktur permukiman
dalam rangka percepatan pencapaian target MMDGs.
2.4.4 Agenda Pembangunan Pasca 2015
Pada Juli 2012, Sekjen PBB membentuk sebuah Panel Tingkat Tinggi
untuk memberi masukan kerangka kerja agenda pembangunan global
pasca 2015. Panel ini diketuai bersama oleh Presiden Indonesia, Bapak
Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Ellen Johnson Sirleaf dari Liberia,
dan Perdana Menteri David Cameron dari Inggris, dan beranggotakan 24
orang
dari berbagai negara.
Pada
Mei 2013,
panel
tersebut
mempublikasikan laporannya kepada Sekretaris Jendral PBB berjudul “A
New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies
Through Sustainable Development”. Isinya adalah rekomendasi arahan
kebijakan pembangunan global pasca 2015 yang dirumuskan berdasarkan
tantangan pembangunan baru, sekaligus pelajaran yang diambil dari
implementasi MDGs.
Dalam dokumen tersebut, dijabarkan 12 sasaran indikatif
pembangunan global pasca 2015, sebagai berikut:
a)
Mengakhiri kemiskinan
b)
Memberdayakan perempuan dan anak serta mencapai kesetaraan
gender
28
dalam konteks pembanguan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan,
(ii) pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan
tingkat global, serta (iii) kerangka aksi dan instrumen pelaksanaan
pembangunan
berkelanjutan.
Kerangka
aksi
tersebut
termasuk
penyusunan Sustainable Development Goals (SDGs) post-2025 yang
mencakup 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan secara inklusif, yang
terinspirasi dari penerapan Millenium Development Goals (MDGs). Bagi
Indonesia, dokumen ini akan menjadi rujukan dalam pelaksanaan rencana
pembangunan nasional secara konkrit, termasuk dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2014-2019 dan Rencana
Pembangunan Jangkan Panjang Nasional (2005-2025).
2.4.3 Millenium Development Goals
Pada tahun 2000, Indonesia bersama 189 negara lain menyepakati
Deklarasi Millenium sebagai bagian dari komitmen untuk memenuhi
tujuan dan sasaran pembanunan Millenium (Millenium Development
Goals).
Konsiten
dengan
itu,
Pemerintah
Indonesia
telah
mengarusutamakan MDGs dalam pembangunan sejak tahap perencanaan
sampai pelaksanaannya sebagaimana dinyatakan dalam Rencana
Pembangaunan Jangka Panjang 2005-2025, Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional 2010-2014 serta Rencana Tahunan berikut
dokumen penganggarannya.
Sesuai tugas dan fungsinnya, Ditjen Cipta Karya memiliki
kepentingan dalam pemenuhan target 7C yaitu menurunkan hingga
setengahnya proorsi rumah tangga tanpa akses berkelanjutan terhadap
sumber air minum layak dan fasilitas sanitas dasar layak hingga 2015. Di
bidang air minum saat ini (2013) adalah 61,83%, sedangkan target
cakupan pelayanan adalah 68,86% yang perlu dicapai pada tahun 2015.
Disamping itu, akses sanitasi yang layak saat ini baru 58,60%, masih
kurang dibandingkan target 2015 yaitu 62,41%. Selain itu, Ditjen Cipta
27
program Bidang Cipta Karya meliputi Agenda Habitat, Konferensi Rio+20,
Millenium Development Goals, serta Agenda Pembangunan Pasca 2015.
2.4.1 Agenda Habitat
Pada tahun 1996, di Kota Istanbul Turki diselenggarakan konferensi
Habitat II sebagai kelanjutan Konferensi Habitat I di Vancouver Tahun
1976. Konferensi tersebut menghasilkan Agenda Habitat, yaitu dokumen
kesepakatan prinsip dan sasaran pembangunan permukiman yang
menjadi panduan bagi negara-negara dunia dalam menciptakan
permukiman yang layak dan berkelanjutan.
Salah satu pesan inti yang menjadi komitmen negara-negara dunia,
termasuk Indonesia, adalah penyediaan tempat hunian yang layak bagi
seluruh masyarakat tanpa terkecuali, serta meningkatkan akses air
minum, sanitasi, dan pelyanan dasar terutama bagi masyarakat
berpenghasilan rendah dan kelompok rentan.
2.4.2 Konferensi Rio+20
Pada Juni 2012, di Kota Rio de Janeiro, Brazil, diselenggarakan KTT
Pembangunan berkelanjutan atau leih dikenak dengan KTT Rio+20.
Konferensi tersebut menyepakati dokumen the Futur We Want yang
menjadi arahan bagi pelaksanan pembangunan berkelanjutan di tingkat
global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman
pandangan terhadap masa dengan yang diharapkan oleh dunia (common
vision)
dan
penguatan
komitmen
untuk
menuju
pembangunan
berkelanjutan dengan memperkuat penerapan Rio Declaration 1992 dan
Johannesburg Plan of Implementation 2002.
Dalam dokumen The Futur We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama
bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Ekonomi hijau
26
e)
Pemrosesan akhir sampah dalam bentuk pengambilan sampah
dan/atau residu hasil pengolahan sebelumnya ke media lingkungan
secara aman.
Undang-udang tersebut juga melarang pembuangan sampah secara
terbuka di tempat pemrosesan akhir. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah
harus menutup tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan
sistem pembuangan terbuka dan mengembangkan TPA dengan sistem
controlled landfill ataupun sanitary landfill.
2.3.4 UU. No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Dalam memenuhi kebutuhan hunian yang layak, Ditjen Cipta Karya
turut serta dalam pembangunan Rusunawa yang dilakukan berdasarkan
UU No. 20 Tahun 2011. Dalam undang-undang tersebut rumah susun
didefinisikan sebagai bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan
secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan
merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan
digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang
dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.
Peraturan
ini
juga
mengatur
perihal
pembinaan,
perencanaan,
pembangunan, penguasaan, pemilikan, dan pemanfaatan, pengelolaan,
peningkatan kualitas, pengendalian, kelembagaan, tugas dan wewenang,
hak dan kewajiban, pendanaan dan sistem pembiayaan, dan peran
masyarakat.
2.4
Amanat Internasional
Pemerintah Indonesia secara aktif terlibat dalam dialog internasional dan
perumusan kesepakatan bersama dibidang permukiman. Beberapa amanat
internasional yang perlu diperhatikan dalam pengembangan kebijakan dan
25
b)
Bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar
budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus
dilindungi dan dilestarikan. Pelaksanaan perbaikan, pemugaran,
perlindungan, serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan
lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah
nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya,
c)
Penyediaan fasilitas dan aksesibilitas bagi
cacat dan lanjut usia
merupakan keharusan bagi semua bangunan gedung.
2.3.3 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
UU No. 18 Tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah
bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas
lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya. Pengelolaan
sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga
dilakukan dengan pengurangan sampah. Upaya pengurangan sampah
dilakukan dengan pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang
sampah, dan pemanfaatan kembali sampah. Sedangkan kegiatan
penanganan sampah meliputi:
a)
Pemilahan dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah
sesuai dengan jenis, jumlah, dan atau sifat sampah,
b)
Pengumpulan dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah
dari sumber sanpah ke tempat penampungan sementara atau tempat
pengolahan sampah terpadu,
c)
Pengangkutan dalam bentuk membawa sampah dari sumber
dan/atau dari tempat penampungan sampah sementara atau dari
tempat pengolahan sampah terpadu menuju ke tempat pemrosesan
akhir,
d)
Pengolahan dalam bentuk mengubah karakteristik, komposisi, dan
jumlah sampah,
24
kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan
prasarana yang tidak memenuhi syarat. Untuk itu perlu dilakukan upaya
pencegahan, terdiri dari pengawasan, pengendalian, dan pemberdayaan
masyarakat serta upaya peningkatan kualitas permukiman, yaitu
pemugaran, peremajaan, dan permukiman kembali.
2.3.2 UU No. 28 Tahun tentang Bangunan Gedung
Undang-undang
bangunan
gedung
menjelaskan
bahwa
penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang
meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan kontruksi, serta
kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Setiap bangunan
gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan
teknis sesuai dengan fungsi bangunan gedung. Persyaratan administratif
meliputi persyaratan status hak atas tanah, status kepemilikan bangunan
gedung, dan izin mendirikan bangunan. Sedangkan persyaratan teknis
meliputi persyaratan tata bangunan dan persyaratan keandalan
bangunan gedung. Persyaratan tata bangunan meliputi persyaratan
peruntukan dan intensitas bangunan gedung, arsitektur bangunan
gedung, dan persyaratan pengendalian dampak lingkungan, yang
ditetapkan melalui Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RBTL).
Disamping itu, peraturan tersebut juga mengatur beberapa hal
sebagai berikut:
a)
Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung
dengan lingkungan harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar
bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan
selaras dengan lingkungannya. Disamping itu, sistem penghawaan,
pencahayaan,
dan
pengkondisian
udara
dilakukan
dengan
mempertimbangkan prinsip-prinsip penghematan energi dalam
bangunan gedung (amanat green building).
23
j)
Mengawasi pelaksanaan kebijakan dan strategi nasional dan provinsi
di bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota,
k)
Menetapkan lokasi Kasiba dan Lisiba.
Adapun
wewenang
Pemerintah
Kabupaten/Kota
dalam
menjalankan tugasnya, yaitu:
a.
Menyusun dan menyediakan basis data perumahan dan kawasan
permukiman pada tingkat kabupaten/kota,
b.
Menyusun dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan
bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota,
c. Memberdayakan pemangku kepentingan dalam bidang perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota,
d.
Melaksanakan sinkronisasi dan sosialisasi peraturan perundangundangan serta kebijakan dan strategi penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota,
e.
Mencadangkan atau menyediakan tanah untuk pembangunan
perumahan dan permukiman bagi MBR,
f.
Menyediakan prasarana dan sarana pembangunan perumahan bagi
MBR pada tingkat kabupaten/kota,
g.
Memfasilitasi kerjasama pada tingkat kabupaten/kota antara
pemerintah
kabupaten/kota
dan
badan
hukum
dalam
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman,
h.
Menetapkan lokasi perumahan dan pemukiman sebagai perumahan
kumuh dan permukiman kumuh pada tingkat kabupaten/kota
i.
Memfasilitasi peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan
permukiman kumuh pada tingkat kebupaten/kota.
UU ini mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman
yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat
22
2.3.1 UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
UU Perumahan dan Kawasan Permukiman membagi tugas dan
kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabupaten/Kota. Pemerintah Kabupaten /Kota dalam Penyelenggaraan
permukiman mempunyai tugas:
a)
Menyusun dan melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat
kabupaten/kota di bidang perumahan dan kawasan permukiman
dengan berpedoman pada kebijakan dan strategi nasional dan
provinsi,
b)
Menyusun
dan
rencana
pembangunan
dan
pengembangan
perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat kabupaten/kota,
c)
Menyelenggarakan fungsi operasionalisasi dan koordinasi terhadap
pelaksanaan kebijakan kabupaten/kota dalam penyediaan rumah,
perumahan,
permukiman,
lingkungan
hunian,
dan
kawasan
permukiman,
d)
Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan
peraturan perundang-undangan, kebijakan, strategi, serta program di
bidang perumahan dan kawasan permukiman pada tingkat
kabupaten/kota,
e)
Melaksanakan kebijakan dan strategi pada tingkat kabupaten/kota,
f)
Melaksanakan peraturan perundang-undangan serta kebijakan dan
strategi penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman
pada tingkat kabupaten/kota,
g)
Melaksanakan peningkatan kualitas perumahan dan permukiman,
h)
Melaksanakan
kebihakan
dan
strategi
provinsi
dalam
penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman berpedoman
pada kebijakan nasional,
i)
Melaksanakan pengelolaan prasarana, saranan, dan fasilitas umum
perumahan dan kawasan permukiman,
21
hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas
tertentu. KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki
keunggulan
geoekonomi
dan
geostrategi
dan
berfungsi
untuk
menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain
yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional.
Disamping zona ekonomi, KEK juga dilengkapi dengan zona fasilitas
pendukung dan perumahan bagi pekerja. Ditjen Cipta Karya dalam hal ini
diharapkan dapat mendukung infrastruktur permukiman pada kawasan
tersebut sehingga menunjang kegiatan ekonomi di KEK.
2.2.6 Direktif Presiden Program Pembanguan Berkeadilan
Dalam inpres No. 03 Tahun 2010, Presiden RI mengarahkan seluruh
Kementerian, Gubernur, Walikota/Bupati, untuk menjalankan program
pro rakyat, keadilan untuk semua, dan program pencapaian MDGs. Ditjen
Cipta Karya memiliki peranan penting dalam pelaksanaan Program Pro
Rakyat terutama program air bersih untuk rakyat dan program
peningkatan kehidupan masyarakat perkotaan. Sedangkan dalam
pencapaian MDGs, Ditjen Cipta Karya berperan dalam peningkatan akses
pelayanan air minum dan sanitasi yang layak serta pengurangan
permukiman kumuh.
2.3
Peraturan Perundangan Bidang PU/Cipta Karya
Ditjen Cipta Karya dalam melakukan tugas dan fungsinya selalu dilandasi
peraturan perundangan yang terkait dengan Bidang Cipta Karya, antara lain: UU
No. 01 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, UU No. 28
Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, UU No. 07 Tahun 2008 Tentang Sumber
Daya Air, dan UU No. 18 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Persampahan.
20
pemantauan, dan evaluasi atas kegiatan ekonomi atau sentra produksi
yang terikat dengan faktor konektivitas dan SDM IPTEK yang sama.
2.2.4 Masterplan Perencanaan dan Perluasan Pengentasan Kemiskinan
Indonesia
sesuai dengan RPJMN 2010-2014, pertumbuhan ekonomi perlu
diimbangi dengan upaya pembangunan yang inklusif dan berkadilan.
Untuk itu, telah ditetapkan MP3KI dimana semua upaya penanggulangan
kemiskinan diarahkan untuk mempercepat laju penurunan angka
kemiskinan dan memperluas jangkauan penurunan tingkat kemiskinan di
semua daerah dan di semua kelompok masyarakat. MP3KI bertumpu
pada sinergi dari 3 (tiga) strategi utma, yaitu:
a)
Mewujudkan sistem perlindungan sosial nasional yang menyeluruh,
terintegrasi, dan mampu melindungi masyarakat dari kerentanan dan
goncangan,
b)
Meningkatkan pelayanan dasar bagi penduduk miskin dan rentan
sehingga dapat terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar dan
meningkatkan kualitas sumberdaya manusia di masa mendatang,
c)
Mengembangkan penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood)
masyarakat miskin dan rentan melalui berbagai kebijakan dan
dukungan di tingkat lokal dan regional dengan memperhatikan aspek.
Kementerian Pekerjaan Umum, Khususnya Ditjen Cipta Karya,
berperan penting dalam pelaksanaan MP3KI, terutama terkait dengan
pelaksanaan
program
pemberdayaan
masyarakat
(PNPM-
Perkotaan/P2KP, PPPIP, Pamsimas, Sanimas dsb) serta Program Pro
Rakyat.
2.2.5 Kawasan Ekonomi Khusus
UU No. 39 Tahun 2009 menjelaskan bahwa Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK) adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah
19
b)
Memastikan ketersediaan air baku air minum,
c)
Meningkatkan prioritas pembangunan prasarana dan sarana
permukiman,
d)
Meningkatkan kinerja manajemen penyelenggaraan air minum,
penanganan air limbah, dan pengelolaan persampahan,
e)
Meningkatkan sistem perencanaan pembangunan air minum dan
sanitasi,
f)
Meningkatkan cakupan pelayanan prasarana permukiman,
g)
Meningkatkan
pemahaman
masyarakat
mengenai
pentingnya
perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS),
h)
Mengembangkan alternatif sumber pendanaan bagi pembangunan
infrastruktur,
i)
Meningkatkan keterlibatan masyarakat dan swasta,
j)
Mengurangi volume air limpasan, melalui penyediaan bidang resapan.
2.2.3 Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia
Dalam rangka transformasi ekonomi Indonesia menuju negara maju
dengan pertumbuhan ekonomi 7-9 persen pertahun, Pemerintah
menyusun MP3EI yang ditetapkan melalui Perpres No. 32 Tahun 2011.
Dalam dokumen tersebut pembangunan setiap koridor ekonomi
dilakukan sesuai tema pembangunan masing-masing dengan prioritas
pada Kawasan Perhatian Investasi (KPI MP3EI). Ditjen Cipta Karya
diharapkan dapat mendukung penyediaan infrastruktur permukiman
pada KPI prioritas untuk menunjang kegiatan ekonomi di kawasan
tersebut. Kawasan Perhatian Investasi atau KPI dalam MP3EI adalah salah
satu atau lebih kegiatan ekonomi atau sentra produksi yang terikat atau
terhubung dengan satu lebih faktor konektivitas dan SDM IPTEK.
Pendekatan
KPI
dilakukan
untuk
mempermudah
identifikasi,
18
ekonomi dan sosial yang berkeadilan dengan mendorong partisipasi
masyarakat dalam rangka pemenuhan hak dasar untuk tempat tinggal
dan lingkungan yang layak sesuai UUD 1945 pasal 28H, pemerintah
memfasilitasi penyediaan perumahan bagi masyarakat berpendapatan
rendah serta memberikan dukungan penyediaan prasarana dan sarana
dasar permukiman, seperti air minum, air limbah, persampahan dan
drainase.
Dokumen
RPJMN
juga
menetapkan
sasaran
pembangunan
infrastruktur permukiman pada periode 2010-2014, yaitu:
a)
Tersedianya akses air minum bagi 70% penduduk pada akhir tahun
2014, dengan perincian akses air minum perpipaan 32% dan akses air
minum non-perpipaan terlindungi 38%.
b)
Terwujudnya kondisi Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS)
hingga akhir tahun 2014, yang ditandai dengan tersedianya akses
terhadap Sistem Pengelolaan Air Limbah Terpusat (off-site) bagi 10%
total penduduk, baik melalui sistem pengelolaan air limbah terpusat
skala kota sebesar
5% maupun sistem pengelolaan air limbah
terpusat skala komunal sebesar 5% serta penyediaan akses dan
peningkatan kualitas sistem pengelolaan air limbah setempat (onsite) yang layak bagi 90% total penduduk.
c)
Tersedianya akses terhadap pengelolaan sampah bagi 80% rumah
tangga di daerah perkotaan.
d)
Menurunnya luas genangan sebesar 22.500 Ha di 100 kawasan
strategis perkotaan.
Untuk mencapai sasaran tersebut maka kebijakan pembangunan
diarahkan untuk meningkatkan aksesbilitas masyarakat terhadap layanan
air minum dan sanitasi yang memadai, melalui:
a)
Penyediaan perangkat peraturan di tingkat Pusat dan/atau Daerah,
17
dilakukan
melalui
pendekatan
tanggap
kebutuhan
(demand
responsive approach) dan pendekatan terpadu dengan sektor sumber
daya alam dan lingkungan hidup, sumber daya air, serta kesehatan.
b)
Dalam mewujudkan pembangunan pembangunan yang lebih merata
dan berkeadilan maka Pemenuhan kebutuhan
dasar masyarakat
yang berupa air minum dan sanitasi diarahkan pada (1) peningkatan
kualitas pengelolaan aset (asset management) dalam penyediaan air
minum dan sanitasi, (2) pemenuhan kebutuhan minimal air minum
dan sanitasi dasar bagi masyarakat, (3) penyelenggaraan pelayanan
air minum dan sanitasi yang kredibel dan profesional, dan (4)
penyediaan sumber-sumber pembiayaan murah dalam pelayanan air
minum dan sanitasi bagi masyarakat miskin.
c)
Salah satu sasaran dalam mewujudkan pembangunan yang lebih
merata dan berkeadilan adalah terpenuhinya kebutuhan hunian yang
dilengkapi dengan sarana dan prasarana pendukungnya bagi seluruh
masyarakat untuk mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh.
Peran pemerintah akan lebih difokuskan pada perumusan kebijakan
pembangunan sarana dan prasarana, sementara peran swasta dalam
penyediaan sarana dan prasarana akan makin ditingkatkan terutama
untuk proyek-proyek yang bersifat komersial.
d)
Upaya perwujudan kota tanpa permukiman kumuh dilakukan pada
setiap tahapan RPJMN, yaitu:
1)
RPJMN ke 2 (2010-2014),
2)
RPJMN ke 3 (2015-2019),
3)
RPJMN ke 4 (2020-2024).
2.2.2 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014
RPJMN 2010-2014 yang ditetapkan melalui Peraturan Presiden No.
5 Tahun 2010 menyebutkan bahwa infrastruktur merupakan salah satu
prioritas pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan
16
Dalam pelaksanaannya, pembangunan infrastruktur Bidang Cipta Karya
dihadapkan pada berbagai isu strategis, antara lain bencana alam, perubahan
iklim, kemiskinan, reformasi birokrasi, kepadatan penduduk perkotaan,
pengarusutamaan gender, serta green economy. Disamping isu umum, terdapat
juga permasalahan dan potensi pada masing-masing daerah, sehingga dukungan
seluruh stakeholders pada penyusunan RPI2-JM Bidang Cipta Karya sangat
diperlukan.
2.2
Amanat Pembangunan Nasional Terkait Bidang Cipta Karya
Infrastruktur permukiman memiliki fungsi strategis dalam pembangunan
nasional karena turut berperan serta dalam mendorong pertumbuhan ekonomi,
mengurangi angka kemiskinan, maupun menjaga kelestarian lingkungan. Oleh
sebab itu, Ditjen Cipta Karya berperan penting dalam implementasi amanat
kebijakan pembangunan nasional.
2.2.1 Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025
RPJPN 2005-2025 yang ditetapkan melalui UU No. 17 Tahun 2007,
merupakan dokumen perencanaan pembangunan jangka panjang sebagai
arah dan prioritas pembangunan secara menyeluruh yang akan dilakukan
secara bertahap dalam jangka waktu 2005-2025. Dalam dokumen
tersebut, ditetapkan bahwa Visi Indonesia pada tahun 2025 adalah
“Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur”. Dalam penjabarannya
RPJPN
mengamanatkan
beberapa
hal
sebagai
berikut
dalam
pembangunan bidang Cipta Karya, yaitu:
a)
Dalam
mewujudkan
Indonesia
yang
berdaya
saing
maka
pembangunan dan penyediaan air minum dan sanitasi diarahkan
untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan dasar masyarakat serta
kebutuhan
sektor-sektor
terkait
lainnya,
seperti
industri,
perdagangan, transportasi, pariwisata, dan jasa sebagai upaya
mendorong pertumbuhan ekonomi. Pemenuhan kebutuhan tersebut
15
BAB 2
KONSEP PERENCANAAN BIDANG CIPTA KARYA
2.1 Konsep Perencanaan Bidang Cipta Karya
Dalam rangka mewujudkan kawasan permukiman yang layak huni dan
berkelanjutan, konsep perencanaan infrastruktur Bidang Cipta Karya disusun
dengan berlandaskan pada berbagai peraturan perundangan dan amanat
perencanaan pembangunan. Untuk mewujudkan keterpaduan pembangunan
permukiman, Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota perlu memahami
arahan kebijakan tersebut, sebagai dasar perencanaan, pemrograman, dan
pembiayaan pembangunan Bidang Cipta Karya.
Sumber Direktorat Bina Program, 2014
Gambar 2.1
Konsep Perencanaan Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya
14