Studi Kualitatif Deskriptif di Yogyakarta SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  Pengalaman Wanita Karir Menghadapi Status Kelajangan serta Alasan-alasan Mereka Menunda Pernikahan

Sampai Usia 35 Tahun

  

Studi Kualitatif Deskriptif di Yogyakarta

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

Yohanes Dody Mulyaindah

  

NIM : 029114080

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  

2010

  Love is patient, love is kind. It does not envy, it does not boast, it is not proud.

  (1 Corinthians 13:4) And now these three remain Faith, hope and love. But the greatest of these is Love.

  (Corinthians 13:13) There can be miracle, when you believe… Kupersembahkan karya ini untuk : Yesus Kristus dan Bunda Mariaku atas berkat, rahmat serta penyertaan-Nya Mama dan Papa terkasih, yang oleh mereka aku dibimbing Mbah Yut, Mbah Kung dan Mbah Ti, karena selalu mendukungku Adikku tercinta, yang selalu buat hariku cerah ceria My Lovely, yang selalu setia menemaniku dalam suka dan dukaku Saya meny yatakan deng gan sesunggu uhnya, bahw wa skripsi ya ang saya tulis s ini tidak memuat t karya atau bagian kary ya orang lain n, kecuali yan ng telah terc antum dalam kutipan dan n daftar pusta aka, sebagai mana layakn nya karya ilm miah.

  Penulis Yohanes D Dody Mulya aindah

  Pengalaman Wanita Karir Menghadapi Status Kelajangan serta Alasan-alasan Menunda Pernikahan sampai Usia 35 Tahun Studi Kualitatif Deskriptif pada 3 Wanita Karir Lajang di Yogyakarta

  Yohanes Dody Mulyaindah ABSTRAK Penelitian ini membicarakan wanita karir lajang. Pembahasan mengenai interpretasi

subjek terhadap status kelajangan dan alasannya. Subjek adalah 3 wanita yang bekerja di

  

Yogyakarta. Peneliti menggunakan metode analisis tematik untuk menginterpretasikan data. Data

menyatakan pengalaman subjek adalah tertekan untuk segera menikah, perceraian orang-tua,

menikmati karir dan mampu mandiri secara finansial. Peneliti melihat bahwa alasan menunda

pernikahan adalah terlalu menikmati hidupnya sekarang dan terlalu fokus pada karir. Walaupun

demikian, peneliti menyimpulkan bahwa status lajang yang dipilih subjek hanya bersifat

sementara sehingga dapat dikategorikan sebagai temporary voluntary. Hal ini dikarenakan subjek

masih berkeinginan untuk menikah dan memiliki keturunan.

  Kata Kunci : wanita, lajang

  

The Experience of Unmarried Career Women and The Reason

To Delay Their Marriage Until 35 Year Old

Descriptive Qualitative Study with Three Unmarried Career Women

in Yogyakarta

  

Yohanes Dody Mulyaindah

ABSTRAC

This research intends to discuss the experience of unmarried career women and their

interpretation to delay their marriage until 35 year old. The subjects are three working women in

  

Yogyakarta. The researcher used thematic analytic method to interpret data. Data show that

subjects experience stress to marriage soon, their parents’ divorce, the joy of their career, and

sufficiency of their financial needs. The reasons to remain unmarried are to enjoy to their life and

to focus to their careers. However, the researcher concludes that their status is temporary

voluntary. The subjects are willing to marry and to have children.

  Key Words : Women, unmarried

  

LEMB BAR PERNY YATAAN P PERSETUJ JUAN

PUBLIK KASI KARY YA ILMIAH H UNTUK K KEPENTIN NGAN AKA ADEMIS

  Yang bertan Y nda tangan di i bawah ini, saya mahasi iswa Univer rsitas Sanata Dharma : N Nama : Yoha anes Dody M Mulyaindahit tha N NIM : 0291 114080

  Demi penge D embangan il mu pengeta ahuan, saya memberikan n kepada Pe erpustakaan U Universitas Sanata Dhar rma karya ilm miah saya ya ang berjudul l :

  

Peng galaman Wa anita Karir Menghadap pi Status Ke elajangan se erta

Al asan-alasan n Menunda Pernikahan n sampai Us sia 35 Tahu n

(Stu udi Kualitati if Deskriptif f pada 3 Wan nita Karir L Lajang di Yo ogyakarta)

  D Dengan dem mikian saya a memberik kan kepada Perpustakaa an Universi itas Sanata Dharma ha D ak untuk m menyimpan, mengalihk kan dalam bentuk m media lain, m mengelolany ya dalam ben ntuk pangka alan data, me endistribusik kan secara te erbatas, dan m mempublika asikannya di i internet a atau media l lain untuk k kepentingan n akademis tanpa perlu t meminta ij jin dari say ya maupun memberikan n royalti ke epada saya s selama tetap p mencantum mkan nama s aya sebagai penulis. Demikian pe D ernyataan in i saya buat d dengan seben narnya Dibuat di Yo D ogyakarta Pada Tangga P al 25 Novem mber 2009 Yang meny Y yatakan Y Yohanes Do ody Mulyain dah

  Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, rahmat dan penyertaanNya yang telah mengatur setiap langkah penulisan skripsi ini sehingga akhirnya dapat terselesaikan dengan baik.

  Skripsi yang berjudul Pengalaman Wanita Karir Menghadapi Status Kelajangan serta Alasan-alasan Menunda Pernikahan sampai Usia 35 Tahun’ ini diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi.

  Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang turut memberikan dukungan, semangat dan bantuan hingga selesainya skripsi ini :

  1. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani selaku Dekan Fakultas Psikologi atas ijin yang telah diberikan kepada penulis dalam melakukan penelitian.

  2. Bapak V. Didik Suryo. H. S.Psi. Msi selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dengan segala kesabaran dan perhatiannya. Terima kasih ya Pak atas masukan dan koreksiannya.

  3. Ibu Sylvia Carolina MYM, S.Psi.,M.Si, selaku Ketua Program Studi yang telah memberikan kelancaran penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Psikologi.

  4. Ibu Nimas Eki, S. Psi selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas motivasinya…

  5. Ibu Dr. Tjipto Susana. M.Si dan Rm. Dr. A. Priyono Marwan S.J selaku dosen penguji skripsi, terimakasih banyak ya Romo dan Ibu atas kesabarannya merevisi skripsi ini.

  6. Dosen-dosen Psikologi yang telah mendidik dan mengajar penulis selama menempuh bangku perkuliahan.

  7. Seluruh Staff Fakultas Psikologi : Mas Gandung, Mbak Naniek, Mas Muji, Pak Giek, Mas Doni…. atas keramahan dan bantuan selama mengikuti studi di Fakultas Psikologi….Matur thank you ya……

  8. Bapak dan Ibu yang tercinta, buat perhatian, kasih sayang dan support yang diberikan selama ini. Besar rasa hormat, terima kasih dan sayang penulis untuk mereka...

  9. Adik-adikku, Bosil dan Kudel, terima kasih atas dukungan dan dorongan yang tiada henti-hentinya selama ini.……

  10. Yus P. Pratomo… yang selalu memberikan semangat dan bimbingan.....Makaci ya ....

  11. Tyas Kristiani…. atas dukungan, motivasi dan bantuannya. Makasih Dok…….

  12. SYP… yang sangat memberikan motivasi dan dorongan yang begitu besar hingga bisa lulus…ASBAK…

  13. Temen-temen baikku Ohaq, Jo’e, Nining, ….Seneng banget punya temen- temen baik kaya’ kalian, makasih buat support kalian dan kebersamaan kita selama ini…Kapan ya kita bisa kumpul lagi ??

  14. Teman-teman angkatan 02 yang senasib dan seperjuangan…ayo cepet dikerjain skripsinya, gak usah saling menunggu….semua punya jatahnya sendiri2 kok....ayo kalian pasti bisa…semangat ya temen-temen…

  15. My Bravo… makasih buat gonggongan dan kelucuan yang selalu menemaniku sampai pagi…

  16. Semua subjek penelitian….terimakasih atas kesediaan teman-teman membantu kelancaran penelitian ini…..

  17. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dan dukungan, baik secara moril maupun materiil kepada penulis.

  Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya kepada semua pihak, apabila dalam proses penulisan skripsi ini, penulis telah membebani dan merepotkan. Harapan dan doa penulis, semoga Tuhan Yesus Kristus senantiasa membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Penulis menyadari banyak kekurangan dalam penulisan ini, oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk kemudian hari. Penulis berharap karya penulisan ini dapat digunakan bagi kebaikan dan kepentingan bersama.

  Penulis

  

DAFTAR ISI

  Halaman

  HALAMAN JUDUL …………………………………………………... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ..……………………. ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….... iii HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………. iv PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………………………………. v

ABSTRAK ……………………………………………………………... vi

ABSTRACT …………………………………………………………… vii

PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ……………………………... viii KATA PENGANTAR ………………………………………………… ix DAFTAR ISI …………………………………………………………... xii DAFTAR TABEL ……………………………………………………... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………... xviii

  BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………............. 1 A. LATAR BELAKANG MASALAH …………………………. 1 B. RUMUSAN MASALAH …………………………………….

  7 C. TUJUAN PENELITIAN …………………………………….. 7

  D. MANFAAT PENELITIAN ………………………………...... 7

  1. Manfaat Teoritis …………………………………………

  7

  2. Manfaat Praktis …………………………………………

  8

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………….

  9 A. Pengertian Wanita Lajang …………………………………

  9 B. Kategori Hidup Melajang…………………………………..

  9 C. Alasan-alasan Penyebab Wanita Melajang ……………….

  11 D. Pandangan Umum tentang Wanita Melajang……………...

  13 E. Batasan Masa Dewasa Awal…..………………........................ 14

  F. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal…………………

  17 G. Pertanyaaan Penelitian …………………………………….. 19

  BAB III METODOLOGI PENELITIAN ……………………………………… 20 A. JENIS PENELITIAN ………..……………………………..

  20 B. SUBJEK PENELITIAN……………………….. ………………. 20

  C. METODE PENGUMPULAN DATA ………………………… 21

  D. KEABSAHAN DATA PENELITIAN ……………………….. 22 1. Kredibilitas ………………………………………..……..

  22

  a. Validitas argumuntatif …………………………. 23

  b. Validitas ekologis ……………………………….. 23

  2. Dependability ………………………………..…………

  23

  a. Kohersi …………………………………………… 24

  b. Keterbukaan ……………………………………... 24

  c. Diskursus ………………………………………… 24

  3. Conformability..………………………..………………... 24

  4. Transferability ………………………………………….. 25 E. METODE ANALISIS DATA ……………………………….

  25

  1. Organisasi Data …………………………………….. 26

  2. Kategori dan Analisis Data …………………………. 26

  3. Interpretasi ………………………………………….. 26

  28 A. PENGAMBILAN DATA …………………………………..

  28 B. HASIL PENELITIAN …………… …………………………

  30 1. Gambaran Diri Subjek I ………………………………...

  30 2. Gambaran Diri Subjek II ………………………………..

  34

  3. Gambaran Diri Subjek III ……………………………… 39

  4. Hasil …………………………………………………….. 44 C. PEMBAHASAN …………………………………………….

  44 BAB V

  PENUTUP …………………………………………………………….. 46 A. KESIMPULAN ……………………………………………..

  46 B. KELEMAHAN PENELITIAN …………………………….. 47 C. SARAN ……………………………………………………...

  47 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………. 48

  DAFTAR TABEL

  Tabel 1 Kategori Hidup Melajang……………………………………….. 10 Tabel 2 Data Subjek Penelitian ………………………………................. 21

  1. Transkrip Wawancara Subjek I ..……. …………………….…… 52

  2. Transkrip Wawancara Subjek II …………………………………

  61 3. Transkrip Wawancara Subjek III ………………………………….

  66

  4. Kategorisasi Data Wawancara …………… ……………………

  74 5. Analisis Data Wawancara ………………………………………..

  91 6. Hasil Analisis Data ……………………………………………….

  97 pernikahan sebagai karakteristik tradisional masyarakat Asia Tenggara dan Asia Timur, seperti Malaysia, Indonesia, Singapura, dan bagian selatan Thailand (Jones, 2005). Peneliti berpendapat bahwa universalitas pernikahan adalah hukum atau norma yang disepakati suatu kelompok masyarakat yang mewajibkan setiap orang, khususnya wanita, untuk menikah. Keharusan tersebut merupakan hukum atau norma yang ditetapkan oleh masyarakat.

  Dalam hukum atau norma tersebut, yang melanggar akan mendapatkan sanksi sosial dari masyarakat.

  Universalitas pernikahan pada masyarakat tradisional yang mulai memudar ini menimbulkan salah satu fenomena sosial yang sekarang semakin bertambah, yaitu wanita karir lajang. Rata-rata usia pernikahan wanita karir yang masih melajang terus meningkat dan terus berkembang dalam masyarakat saat ini. Data statistik menunjukkan angka yang terus meningkat, yaitu rata-rata usia pernikahan perempuan di Yogyakarta adalah 24 tahun pada tahun 1971 dan pada tahun 2000 rata-rata usia pernikahannya menjadi 26 tahun (Badan Statistik Nasional, 2010).

  Rata-rata usia pernikahan perempuan di Yogyakarta pada usia 30-40 tahun semakin meningkat. Hal itu semakin terlihat jelas jika melihat fenomena

  1 itu di kota-kota besar. Taraf hidup dan tingkat pendidikan serta perkembangan yang pesat memberikan kebebasan yang seluas-luasnya pada setiap orang untuk berkarya dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Pria dan wanita memiliki hak yang sama untuk menentukan jalan hidupnya. Sedangkan, Jones (2005) berpendapat bahwa pada masa universilitas pernikahan masih sangat kokoh dan tidak terbantahkan, wanita yang berusia 30-40 tahun, belum menikah atau masih melajang dipandang sebagai penyimpangan dari kehidupan yang berfokus pada keluarga.

  Dari hasil penelitian Jacoby dan Bernard (1972), dibandingkan dengan pria, setelah usia tertentu, umumnya sekitar usia 30 tahun, wanita mendapat tekanan yang lebih besar untuk menikah dari orang-tua, sahabat, dan bahkan teman kerjanya. Bila hingga usia 30 tahun sang wanita tidak kunjung mendapatkan pasangan, maka biasanya orang-tua, sahabat, dan teman kerjanya mulai merancang suatu pertemuan dengan seorang pria atau mencarikan jodoh melalui rubrik biro jodoh di surat kabar untuk individu yang belum memiliki pasangan. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan mendapat perhatian yang besar dari masyarakat dan diharapkan setiap individu dewasa muda mengalaminya.

  Pertanyaan “kapan kamu menikah?” yang sering terlontar kepada wanita lajang memiliki 2 makna implisit yang negatif. Pertama, secara historis, keamanan fisik dan ekonomi wanita terikat dengan status pernikahannya. Kedua, pertimbangan kesanggupan membina hubungan romantis (Levine, 1981).

  Penelitian Cockrum dan White (dalam Gordon, 2003) mencatat terdapat standar yang berbeda yang digunakan masyarakat dalam memandang laki-laki yang hidup melajang dengan wanita yang hidup melajang. Pria yang hidup melajang cenderung lebih dapat diterima dibandingkan dengan wanita melajang. Wanita melajang sering dilihat sebagai pribadi yang kurang feminin, kurang mampu mencintai dan merawat, kurang menarik secara seksual, dan lebih egois.

  Baik pada budaya individualistik maupun kolektivistik, masyarakat masih belum siap menerima status atau gaya hidup melajang (Gordon, 2003).

  Sejak usia dini anak-anak perempuan didorong untuk berpikir bahwa hidup sebagai wanita dewasa adalah hidup dalam wadah pernikahan dan menjadi ibu. Lewis (1997) menunjukkan bahwa dalam masyarakat Indonesia tidak ada model perkembangan yang mengakomodasi menjadi matang dan lanjut usia dalam kondisi melajang.

  Wanita yang dibesarkan dalam budaya kolektivistik percaya bahwa kewajiban mereka untuk berkontribusi pada keluarga merupakan peran penting mereka sebagai anggota keluarga. Pernikahan dipandang sebagai suatu cara untuk memaksimalkan sumber daya (resources) rumah tangga dan keturunan (Gordon, 2003).

  Jones (2005) menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia tetap menempatkan menikah dan memiliki anak sebagai prioritas hidup wanita.

  Hidup melajang akan dipandang sebagai "tidak lengkap". Melalui proses internalisasi, pandangan masyarakat tentang hidup melajang beserta dengan stereotipnya melekat dalam diri wanita usia dewasa muda di Indonesia. Bagaimana mereka bersikap terhadap hidup melajang dipengaruhi oleh sikap masyarakat terhadap hidup melajang ini, mengingat sikap terbentuk oleh karena adanya karakteristik permintaan, yaitu tanda-tanda perseptual, baik implisit maupun eksplisit, tentang sikap yang diharapkan dalam suatu situasi tertentu yang coba dikomunikasikan (Deaux, 1981). Dengan demikian, dapat diperkirakan sikap wanita dewasa muda terhadap hidup melajang akan cenderung negatif.

  Hasil penelitian Blakemore, Lawton, dan Vartanian (dalam Gordon, 2003) menunjukkan bahwa dibandingkan dengan pria, wanita memiliki keinginan yang lebih tinggi untuk menikah. Dorongan ini muncul karena hingga saat ini wanita masih ingin memenuhi tuntutan tradisional mereka, yaitu menjadi istri dan ibu.

  Wanita pada masyarakat yang lebih modern memiliki kebebasan untuk memilih. Hal itu terlihat dalam penelitian terhadap wanita warga negara Amerika keturunan Cina dan Jepang. Ferguson (1981) menemukan bahwa wanita yang memilih untuk hidup melajang memiliki empat alasan. Keempat alasan itu antara lain adalah pernikahan orang-tua mereka, status sebagai anak tertua, cita-cita pendidikan mereka, dan tidak cukup peminang yang sesuai harapan. Dua pertiga responden dari penelitian itu menyatakan bahwa pernikahan orang-tua mereka lebih didasarkan pada tanggung jawab dan kewajiban dan bukan cinta. Hal ini membuat mereka mempertimbangkan dengan hati-hati apakah mereka akan menikah atau tidak. Posisi sebagai anak perempuan tertua memiliki makna melayani para pria dalam keluarga dan merawat saudara-saudara yang lebih muda atau bekerja untuk menyokong perekonomian keluarga. Alasan terakhir, yakni kurangnya peminang yang sesuai dengan harapan mereka, menunjukkan bahwa kebanyakan pria keturunan Asia menginginkan wanita yang penurut dan submissive seperti ibu mereka, sementara para wanitanya menginginkan pria yang mau berbagi tanggungjawab dalam mengelola rumah tangga dan merawat anak.

  Penelitian yang dilakukan Craig (dalam Doris, 2000) menunjukkan bahwa keputusan untuk tidak menikah merupakan hasil pertimbangan yang matang antara kebebasan dan kekangan yang akan dicapai dengan hidup melajang. Di lain pihak, juga merupakan pertimbangan antara kemandirian dan ketergantungan yang akan diperoleh dengan hidup menikah. Mereka yang tidak menikah akan memiliki kebebasan dan mampu memenuhi kebutuhan serta keinginannya. Sedangkan bagi mereka yang menikah akan terikat dalam sebuah perkawinan dan bergantung satu sama lain dan pihak-pihak yang terlibat sebagai keluarganya. Pilihan untuk menikah atau tidak menikah sama- sama memberikan keuntungan, tergantung pada nilai apa yang ingin dicapai individu. Namun, karena tidak mungkin baginya memiliki semuanya itu sekaligus, maka individu harus memilih, kebebasan dan kemandirian atau kekangan dan ketergantungan.

  Pilihan pertama yaitu kebebasan dan kemandirian yang terdapat dalam kehidupan melajang memberi lebih banyak kebebasan bagi individu untuk melakukan segala aktivitasnya dan mengembangkan dirinya untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kekangan dan ketergantungan membuat individu yang terkait didalamnya untuk saling memberi dan menerima serta saling mendukung dalam wadah pernikahan.

  Alasan-alasan tersebut menunjukkan bahwa hidup melajang bukanlah suatu pilihan yang negatif, nilai hidup yang hendak dipenuhi dengan hidup melajang sama berharganya dengan nilai hidup yang hendak dipenuhi dengan menikah. Namun demikian, tidak dapat dihindari bahwa sampai saat ini norma sosial yang menuntut wanita untuk menikah masih berlaku. Berdasarkan norma tersebut, saat seseorang memutuskan untuk tidak menikah maka ia akan dinilai telah melanggar suatu hukum, dan kemudian masyarakat akan memandang orang tersebut secara negatif bahkan memperlakukannya secara diskriminatif (Gordon, 2003).

  Penelitian ini akan memfokuskan pada subjek perempuan dan telah bekerja atau berkarir kerena peneliti ingin melihat bagaimana pengalaman wanita karir dalam menghadapi status kelajangannya serta alasan-alasan apa saja yang menjadi pertimbangan dalam memilih untuk hidup melajang atau menunda pernikahan dari sudut pandang perempuan. Dalam banyak wacana, perempuan dulu seringkali dianggap sebagai kelas dua dalam strata sosial kemasyarakatannya. Peneliti berasumsi bahwa ideologi patriarki memberikan hak-hak istimewa pada kaum pria dan menjadikan kaum wanita sebagai nomer dua. Sedangkan hal itu sudah jauh berbeda sekarang ini. Kaum perempuan telah memiliki kedudukan yang sama dengan kaum pria. Perubahan tersebut kemudian memunculkan fenomena baru akan adanya wanita lajang. Memilih untuk hidup melajang tidak lagi hanya merupakan dominasi kaum laki-laki. Sehingga fenomena ini kemudian dapat diinterpretasikan sebagai patut untuk dilihat dan diteliti.

  B. Rumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian yang diajukan sebagai berikut: Bagaimana pengalaman wanita karir dalam menghadapi status kelajangan serta alasan-alasan yang mempengaruhinya?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat alasan-alasan wanita karier dewasa dalam memilih hidup melajang atau menunda pernikahannya. Selain itu, penelitian ini juga ingin menginterpretasikan fenomena sosial tentang wanita karier lajang sebagai gaya hidup terkini yang lebih bersifat temporary atau sementara.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi psikologi sosial mengenai pengalaman hidup melajang dan alasan-alasan yang mempengaruhi dalam pengambilan keputusan untuk memilih hidup melajang atau menunda pernikahan pada wanita karier dewasa dengan melihat kompleksitas dari fenomena yang terjadi saat ini. Serta melihat fenomena sebagai gaya hidup yang akan terus berubah sesuai perkembangan jaman.

  2. Manfaat Praktis Dapat dijadikan suatu wacana dalam usaha untuk memberikan gambaran tentang hidup melajang sehingga dapat menjadi pertimbangan dalam memutuskan untuk hidup melajang atau menunda pernikahan.

  BAB II LANDASAN TEORI Pada bab II ini membahas perihal landasan teori sebagai acuan

  penelitian. Hal-hal yang akan dibahas adalah pengertian tentang wanita lajang, kategori hidup melajang, alasan-alasan penyebab wanita melajang serta pandangan umum tentang wanita lajang. Selain itu, batasan serta tugas-tugas perkembangan pada masa dewasa awal dibahas guna memberikan acuan dalam menentukan subjek penelitian. Akhir bab ini berisi pertanyaan- pertanyaan penelitian yang akan dijawab sebagai hasil penelitian.

A. Pengertian Wanita lajang

  Orthner (1981) mendefinisikan lajang sebagai gaya hidup yang berorientasi pada tidak berpasangan, tidak berkaitan atau menjauhi suatu hubungan. Sedangkan wanita adalah berjenis kelamin wanita, bukan laki-laki. Jadi wanita lajang adalah wanita yang memiliki gaya hidup tidak berpasangan, tidak terkait atau menjauhi suatu hubungan.

B. Kategori Hidup Melajang Orthner (1981) berpendapat bahwa hidup melajang memiliki 2 kategori

  Kategori pertama meliputi mereka yang belum menikah dan pernah menikah tetapi kemudian berpisah. Melajang pada kategori pertama bersifat sementara.

  Ketegori kedua meliputi mereka yang memang memilih melajang dengan keinginannya sendiri dan lebih bersifat tetap.

  M. Laswell dan T. Laswell (1987) berpendapat bahwa melajang hanya sebagai suatu masa yang sifatnya temporary (sementara) yang biasanya berlangsung sebelum menikah, baik oleh laki-laki maupun perempuan. Namun Saxton (1986) membagi kategori melajang tidak hanya bersifat

  temporary

  tapi juga yang bersifat stabil. Stein (1981) membagi hidup melajang menjadi empat kategori, yakni: (1) temporary voluntary, (2)

  temporary involuntary, (3) stable voluntary, dan (4) stable involuntary.

  Ketegori menurut Stein (1981) dipandang paling lengkap sehingga kategori inilah yang digunakan dalam penelitian ini.

  Tabel 1 Kategori Melajang

Voluntary Involuntary

Temporary Stable Temporary Stable

  Tidak pernah menikah dan pada awalnya ingin menikah tapi tidak secara aklif mencari pasangan tapi juga tidak mengopo- sisikon ide pernikahan. Menunda untuk menikah karena beberapa aktifitas (pendidikan, karir, politik) menjadi prioritas utama/ tertinggi.

  Tidak pernah menikah dan awalnya memang telah memilih untuk tetap single. Mereka mungkin mengopo-sisikan ide pernikahan atau mereka yang memenuhi panggilan tugas- tugas religius. Puas dengan kehidupan melajang. Terdiri dari orang-orang yang tidak akan menikah

  Belum menikah dan berkeinginan untuk menikah dan sedang aktif mencari pasangan tapi belum menemukan

  → ingin menikah dalam waktu dekat. Menunda semenlara pernikahan dan mencari pernikahan dengan prospek yang lebih cerah. Menyetujui konsep

  Tidak pernah menikah dan berharap untuk menikah tapi lebih menyerahkan pada kemungkinan dan penerimaan

  singlehood sebagai

  kehidupan yang memungkinkan baginya. Terdiri dari orang yang telah bercerai dan sudah tua

  → tidak memungkinkan untuk menikah. Mereka yang tidak sukses mencari pasangan atau

  Voluntary Involuntary Temporary Stable Temporary Stable

  Termasuk mereka yang samen laven → tapi berharap untuk menikah suatu hari nanti (bisa dengan pasangan saat ini bisa juga dengan orang lain) ataupun tidak pernah menikah pernikahan dan ingin menikah.

  Termasuk mereka yang janda dan cerai tapi masih ingin menikah lagi (single parents). mendapatkan pasangan karena secara fisik, psikologis dan sosial membuat mereka tidak dapat menikah atau ‘boleh menikah’ dengan kemungkinan yang sangat kecil, misalnya gila, cacat. (Stein, 1981) C.

Alasan-alasan Penyebab Wanita Melajang

  Banyak faktor yang menyebabkan wanita tidak menikah. Hurlock (1990) menyebutkan beberapa alasan wanita dewasa awal tidak mau menikah: penampilan fisik tidak seksi, memiliki cacat fisik atau penyakit lama, sering gagal dalam mencari pasangan hidup, tidak mau memikul tanggung jawab perkawinan dan orang-tua, keinginan untuk meniti karier tanpa batas dan senang berpergian, tidak seimbangnya jumlah pria dan wanita di masyarakat tempat ia tinggal, jarang mempunyai kesempatan untuk berjumpa dan berkumpul dengan lawan jenis yang dianggap cocok, mempunyai tanggungjawab keuangan dan waktu untuk kedua orang-tua dan saudara- saudaranya, kekecewaaan yang dialami karena kehidupan keluarga yang tidak bahagia di masa lalu atau pengalaman perkawinan yang tidak bahagia yang dialami oleh temannya, mudahnya fasilitas untuk melakukan hubungan seksual tanpa nikah, gaya hidup yang menggairahkan, besarnya kesempatan untuk meningkatkan jenjang karier, kebebasan untuk mengubah dan melakukan percobaan dalam pekerjaan dan gaya hidup, mempunyai kepercayaan bahwa mobilitas sosial akan lebih mudah diperoleh apabila dalam keadaan lajang daripada sudah menikah, persahabatan dengan anggota kelompok seks yang sejenis dan yang begitu kuat serta memuaskan, dan alasan homoseksual atau lesbian.

  Dalam sebuah survey yang dilakukan oleh Stein (1981) dikemukakan beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk melajang, antara lain: memiliki kesempatan berkarir, kebebasan untuk berubah dan mobilitas, otonomi secara psikologis dan sosial, serta ketidaktergantungan secara ekonomi.

  Pada penelitian di Indonesia yang dilakukan Meiyuntariningsih, Sarwendah, dan Astutiek (2001) mengenai wanita lajang didapatkan bahwa persepsi tentang perkawinan memiliki hubungan yang positif dan sangat signifikan dalam membentuk kecenderungan seorang wanita untuk melajang. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Risnawaty (2003) terlihat bahwa tekanan dan norma sosial yang berlaku dalam masyarakat turut membantu seorang wanita untuk memutuskan untuk melajang. Pada masyarakat yang menekankan dan memiliki norma yang ketat bagi wanita untuk harus menikah, maka wanita tersebut tidak memiliki pilihan untuk tidak menikah atau menunda pernikahan. Sedangkan, pada masyarakat yang tidak menekankan serta memeiliki norma yang tidak ketat akan keharusan seorang wanita untuk menikah, maka wanita akan memiliki pilihan untuk menikah atau tidak menikah. Sehingga keputusan menikah atau tidak menikah adalah suatu pilihan. Penelitian lain lagi tentang wanita lajang didapatkan bahwa sikap terhadap hidup melajang menimbulkan kecemasan akan ketidakhadiran pasangan. Hidup melajang bagi seorang wanita dalam penelitian di atas dipandang sebagai sikap yang negatif dan akan menimbulkan kecemasan. Beberapa penelitian tentang wanita lajang yang dilakukan di Indonesia ini dapat dilihat beberapa alasan yang dapat membentuk wanita untuk memilih hidup melajang, antara lain persepsi tentang perkawinan, norma yang berlaku, tekanan sosial.

D. Pandangan Umum tentang Wanita Lajang

  Bell (1978) mengungkapkan beberapa stereotip negatif dari wanita melajang. Stereotip itu antara lain adalah individu yang tidak mempunyai pasangan, sendirian, dan tidak lengkap, seseorang yang bergerak melawan kekuatan norma perkawinan yang diharapkan dicapai oleh orang dewasa pada umumnya. Hal ini menyebabkan wanita melajang dipandang sebagai individu yang tidak pantas tinggal dalam masyarakat.

  Penelitian yang dilakukan Dagun (1990) memaparkan bahwa wanita yang tidak menikah dianggap sebagai seorang yang tidak menarik, cacat dan tidak memiliki kemampuan. Orang yang mengalami kegagalan untuk menikah dipandang sebagai orang yang tidak dewasa. Wanita melajang dianggap kurang bersosialisasi, kurang menarik, dan kurang reliabel dibandingkan dengan individu yang bercerai, janda, atau orang yang menikah. Dalam masyarakat terdapat pandangan bahwa wanita yang melajang adalah wanita yang tidak berhasil dipilih atau "tidak laku", karena itu sering terdengar julukan "perawan tua" untuk wanita yang tetap melajang. Wanita melajang adalah orang yang tidak menarik karena ia gagal memikat pria untuk dijadikan pelindungnya, seperti yang dipaparkan oleh Stein (1981). Tidak mengherankan jika wanita lajang lebih dipandang negatif daripada pria lajang karena wanita harus menikah dan dapat hidup layak dengan diberi nafkah oleh pria yang mendominasi bidang ekonomi. Sehingga wanita yang tidak atau belum menikah akan dipandang tidak menarik, tidap sepadan atau tidak berkompeten. Wanita tersebut dipandang sebagai makhluk yang rendah atau tidak patut dihargai.

E. Batasan Masa Dewasa Awal

  Setiap kebudayaan menentukan kriteria kedewasaan seseorang secara berbeda-beda. Hukum perkawinan Indonesia (Saleh, 1980) mendefinisikan bahwa seseorang dianggap sebagai individu yang dewasa ketika menginjak usia 21 tahun (meski belum menikah) atau sudah menikah (meskipun belum berusia 21 tahun) dan telah dapat dituntut bertanggung jawab atas .perbuatannya. Sedangkan menurut Hurlock (1990), seseorang dikatakan dewasa bila telah memiliki kekuatan tubuh secara maksimal, siap bereproduksi dan telah dapat diharapkan memiliki kesiapan kognitif, afektif dan psikomotor, serta bertanggung jawab secara sosial.

  Pada umumnya, penentuan kedewasaan seseorang akan didasarkan pada perubahan-perubahan fisik dan psikologis tertentu. Dalam hal ini, Hurlock (1990) membagi masa dewasa menjadi 3 periode: (a) Masa Dewasa Awal (18

  • 40 tahun). Pada masa ini, perubahan-perubahan yang tampak antara lain perubahan dalam hal penampilan, fungsi-fungsi tubuh, minat, sikap serta tingkah laku sosial; (b) Masa Dewasa Madya (40 - 60 tahun). Pada masa ini, kemampuan fisik dan psikologis seseorang terlihat mulai menurun. Usia dewasa madya merupakan usia transisi dari masa dewasa ke masa tua. Transisi itu terjadi baik pada fungsi fisik maupun psikisnya; (c) Masa Dewasa Lanjut (60 -meninggal). Pada masa dewasa lanjut, kemampuan fisik maupun psikologis menurun drastis.

  Menurut Hurlock (1990) ciri-ciri masa dewasa awal adalah sebagai berikut :

  1. Masa dewasa awal sebagai masa bermasalah. Sejak awal masa dewasa, individu dihadapkan pada masalah-masalah yang berhubungan dengan penyesuaian diri dalam pelbagai aspek utama kehidupan orang dewasa. Masalah-masalah yang dihadapi orang muda sangatlah rumit dan memerlukan proses sehingga pelbagai penyesuaian diri tidak dapat dilakukan dalam waktu yang bersamaan dan proses penyelesaiannya.

  2. Masa dewasa awal sebagai masa ketegangan emosional. Kekhawatiran utama yang dialami seseorang pada masa dewasa awal terpusat pada masalah pekerjaan dan atau perkawinan. Apabila individu merasa tidak mampu mengatasi masalah-masalah utama dalam kchidupan tersebut rnaka akan terganggu secara emosional.

  3. Masa dewasa awal sebagai masa keterasingan mental. Pada masa dewasa awal, individu diharapkan dapat menyesuaikan diri dengan pola kehidupan baru, yaitu: karier, perkawinan dan rumah tangga. Ketika individu menempuh hidup baru, maka hubungan dengan teman-terman sebaya menjadi renggang. Bersamaan dengan hal tersebut, keterlibatan dengan kegiatan kelompok diluar menjadi berkurang. Akibatnya adalah muncul rasa kesepian.

  4. Masa dewasa awal sebagai masa untuk membangun komitmen. Memasuki masa dewasa awal, individu mulai membuat pola-pola kehidupan baru dan membuat komitmen-komitmen baru. Pada masa ini, individu memutuskan membangun komitmen untuk selamanya. Individu yang telah memutuskan untuk menikah dan menjadi orang-tua maka akan menjadi orang-tua untuk selamanya.

  5. Masa dewasa awal merupakan masa ketergantungan. Banyak orang muda masih tergantung pada orang-tua atau orang lain selama jangka waktu tertentu. Ketergantungan ini disebabkan karena individu masih membutuhkan biaya untuk pendidikan. Biasanya, individu berusaha meyakinkan orang lain dan diri sendiri bahwa semakin panjang masa pendidikan, maka akan semakin banyak pelatihan kerja yang didapatkan.

  Akibatnya adalah masa ketergantungan seseorang akan semakin panjang.

  6. Masa dewasa awal sebagai masa perubahan nilai. Pada masa ini, individu akan mengadakan perubahan nilai. Perubahan ini dilakukan agar individu dapat diterima oleh individu dewasa lainnya.

  7. Masa dewasa awal sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru.

  Di antara pelbagai penyesuaian diri yang dilakukan orang muda terhadap gaya hidup baru yang paling umum dilakukan adalah penyesuaian terhadap pola peran seks atas dasar persamaan derajat yang menggantikan pola tradisional dan pola baru dalam kehidupan berkeluarga, yaitu: perceraian, orang-tua tunggal dan pelbagai masalah pekerjaan.

  8. Masa dewasa awal sebagai masa kreatif. Pada masa ini tergantung pada minat dan kemampuan individu, kesempatan untuk mewujudkan keinginan dan kegiatan-kegiatan yang memberikan kepuasan sebesar-besarnya.

F. Tugas Perkembangan Masa Dewasa Awal

   Havighurst (1972) menunjukan tugas-tugas perkembangan masa dewasa

  awal adalah sebagai berikut:

  1. Memilih teman bergaul (sebagai calon suami atau istri). Pada umumnya, pada masa dewasa awal ini, individu sudah mulai berpikir dan memilih pasangan yang cocok dengan dirinya, yaitu: dapat mengerti pikiran dan perasaannya sehingga dapat dilanjutkan ke jenjang pernikahan (menjadi pasangan hidupnya).

  2. Belajar hidup bersama dengan suami atau istri. Masing-masing individu mulai menyesuaikan pendapat, keinginan dan minat dengan pasangan hidupnya.

  3. Mulai hidup dalam keluarga atau hidup berkeluarga. Dalam hal ini, masing-masing individu sudah mulai mengabaikan keinginan atau hak-hak pribadi. Kebutuhan atau kepentingan yang utama adalah keluarga.

  4. Dituntut adanya kesamaan cara dan faham. Anak tidak merasa bingung harus memlih mcngikuti cara ayah atau ibunya. Oleh karena itu, suami istri harus menentukan cara mendidik anak-anaknya.

  5. Mengelola rumah tangga. Pengelolaan rumah tangga menuntut ada keterbukaan antara dua pihak, yaitu suami dan istri. Hal ini untuk menghindari konflik dalam rumah tangga.

  6. Mulai bekerja dalam suatu jabatan. individu yang sudah memasuki masa dewasa dituntut untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhannya sendiri.

  Dalam pekerjaannya tersebut, individu dituntut untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

  7. Mulai bertanggungjawab sebagai warga negara yang baik. Individu yang dewasa berhak untuk menentukan cara hidupnya sendiri, memilih wakil- wakilnya dalam pemerintahan dan menjalankan kewajibannya sebagai warga negara.

  8. Memperoleh kelompok sosial yang seirama dengan nilai-nilai fahamnya.

  Individu yang telah memasuki masa dewasa, harus dapat menyesuaikan faham-faham dirinya dengan kelompok sosial atau masyarakat sekitarnya.

  Berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan sebelumnya maka peneliti ingin melihat :

  1. Bagaimanakah pengalaman wanita karir terhadap status kelajangannya hingga usia di atas 35 tahun?

  2. Apa saja alasan yang mempengaruhi wanita karir untuk tetap melajang hingga usia di atas 35 tahun?

  3. Kategori apa yang dapat ditemukan pada wanita karir yang masih melajang hingga usia di atas 35 tahun? metode kualitatif deskriptif sebagai upaya untuk mendapatkan data-data yang rinci dan komprehensif untuk mengetahui pengalaman wanita karir dalam menghadapi status lajang serta alasan-alasan yang mempengaruhinya. Poerwandari (2001) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkrip wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh berupa transkrip wawancara.

B. Subjek Penelitian

  Subjek penelitian adalah 3 orang wanita yang telah bekerja atau sedang meniti karir, masih melajang dan belum pernah menikah sebelumnya. Ketiga subjek dalam penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik snowball atau

  chain sampling . Antara subjek satu dengan berikutnya masih terkait satu sama