Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Pendidikan Seks dengan Perilaku Seks Bebas Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Wonosegoro T1 132010105 BAB II

(1)

BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Perilaku Seks Bebas 2.1.1.Pengertian Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yangmempunyai bentangan yang sangat luas antara lain: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skinnerdalam Notoatmodjo (2003), merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar, perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons.

Perilaku adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh individu yang berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain dan bersifat nyata. Perilaku setiap individu berbeda-beda, perilaku merupakan hal nyata atau suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang individu secara kongkret, (Sarwono, 2007).

Skinner dalam Walgito (2003) membedakan perilaku manusia menjadi dua, yaitu :

1. Perilaku yang alami (innate behavior)

Perilaku alami adalah perilaku yang dibawa sejak individu dilahirkan, yaitu yang berupa refleks-refleks dan insting-insting.


(2)

2. Perilaku Operan (operant behavior)

Perilaku operan yaitu perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, perilaku ini disebut juga refleksi karena dikendalikan oleh otak sebagai pusat kesadaran.

Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa perilaku adalah segala aktivitas individu dalam merealisasikan keinginan individu tersebut yang bersifat nyata dan kongkret.

2.1.2. Pengertian Perilaku Seks Bebas

Menurut Hudson (dalam walmyr.com 2003). Pengertian seks telahdidefinisikan dalam berbagai versi oleh para ahli. Seks memiliki makna yang luas dan berbeda-beda. Oleh karena itu pembahasan seks dapat membawa ke perdebatan yang mengarah pada unsur negatif dari seks itu yaitu seks bebas. Seks bebas adalah perilaku dan aktifitas fisik seseorang yang didorong oleh hasrat seksual dan menggunakan tubuh untuk mengekspresikan perasaan erotik yang dilakukan sendiri maupun melibatkan orang lain di luar ikatan pernikahan. Perilaku seks bebas adalah respon yang diberikan oleh remaja terhadap perilaku dan aktifitas fisik seseorang yang didorong oleh hasrat seksual dan menggunakan tubuh untuk mengekspresikanperasaan erotik yang dilakukan sendiri maupun melibatkan prang lain di luar ikatan pernikahan setelah mengetahui informasi dan pemberitaan dalam wujud suatu orientasi atau kecenderungan dalam bertindak.

Selanjutnya Kartono (2001) mendefinisikan perilaku seks bebas adalah hubungan seksual secara bebas dengan banyak orang dan merupakan tindakan hubungan seksual yang tidak bermoral, terang-terangan, dan tanpa malu-malu sebab dorongan oleh nafsu seksual yang terintegrasi, tidak matang dan tidak wajar. Perilaku seks bebas mencangkup berbagai macam bentuk perilaku seks diantaranya berpelukan, berciuman, meraba dan bersenggama.

2.1.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seks Bebas

Menurut Sarwono (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi seks bebas pada remaja yaitu :


(3)

1. Perubahan hormonal

Perubahan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu.

2. Penyebaran informasi melalui media massa

Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media massa dan teknologi canggih (internet) menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengar dari lingkungan sekelilingnya, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya.

3. Tabu-larangan, norma-norma di masyarakat

Orang tuanya sendiri, baik karena kehidupan ketidak tahuannya maupun karena sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.

4. Pergaulan yang semakin bebas antara laki-laki dan perempuan.

Adanya kecenderungan yang makin bebas antara laki-laki dan wanita, dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga kedudukan wanita sejajar dengan pria.

1.1.4. Bentuk-bentuk Perilaku Seks Bebas

Menurut Santrock (2002) Bentuk-bentuk perilaku seks bebas meliputi :

1. Kissing: Saling bersentuhan antara dua bibir atau pasangan yang didorong

oleh hasrat seksual.

2. Necking: Mencium bagian leher pasangan sampai menimbulkan nafsu.

Leher adalah bagian tubuh yang peka terhadap rangsangan.

3. Petting: Bercumbu sampai menempelkan alat kelamin, yaitu dengan

menggesek-gesekkan alat kelamin dengan pasangan namun belum bersenggama.

4. Intercaurse: Mengadakan hubungan kelamin atau bersetubuh di dalam dan

diluar pernikahan.

Menurut Mu’tadin (2002) perilaku seksual adalah segala tigkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, bercumbu dan senggama. Obyek seksual dapat berupa orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang


(4)

yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual(yang dilakukan sebelum waktunya) justru dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah dan agresi.

Hudson ( dalam walmyr.com, 2003) ada sebagaian kalagan mengganggap bahwa perilaku seks bebas terpisah dari ukuran moral; artinya sah-sah saja sepanjang dilakukan atas dasar kebutuhan bersama. Khusus dalam pergaulan lewat jenis pada lingkungan bebas norma dan rendahnya control sosial, cenderung mengundang hasrat dan kebutuhan seks serta menerapkannya secara bebas. Bagi kalangan remaja, seks merupakan indikasi kedewasaan yang normal, bila remaja tidak cukup mengetahui secara utuh tentang rahasia dan fungsi seks, maka wajar kalau remaja menafsirkan seks semata-mata sebagai tempat pelampiasan birahi, dan tidak peduli dengan resiko.

1.1.5. Sikap Seksual

Sikap seksual menurut Hudson ( dalam walmyr.com 2003) sesuai dengan skala Likert yang disusun, dikategorikan menjadi 4 sikap;

1. Sikap sangat tidak setuju yaitu: seseorang menganggap perilaku seks pranikah merupakan suatu hal yang harus dihindari.

2. Sikap tidak setuju yaitu: seseorang yang tidak menyetujui dengan adanya perilaku seks pranikah karena tidak sesuai dengan ajaran agama dan hanya sebagai pengetahuan saja.

3. Sikap setuju yaitu: seseorang menerima bahwa perilaku seks pranikah merupakan suatu hal yang lumrah dan telah banyak terjadi di kalangan masyarakat.

4. Sikap sangat setuju yaitu: seseorang menyetujui dengan adanya perilaku seks pranikah bahkan orang tersebut mendukungnya.


(5)

1.1.6.Aspek-aspek Perilaku Seks

Menurut Hudson dalam (Walmyr.com,2003) aspek sikap remaja terhadap perilaku seks pranikah mengkait dengan empat aspek :

1. Aspek Biologis

Aspek biologis merupakan aspek yang berkaitan dengan berfungsinya organ reproduksi termasuk didalamnya bagaimana menjaga atau merawat kesehatan kesehatan reproduksi, mengfungsikannya secara optimal pengetahuan mengenai bahayanya melakukan seks bebas. Aspek biologis ini berkaitan dengan perilaku seks bebas yang meliputi

kissing, necking, petting dan intercourse.

2. Aspek Psikologis

Aspek psikologis berhubungan dengan permasalahan perasaan seseorang.

1). Atas dasar saling mencintai, melakukan hubungan seks bebas sebagai pencurahan rasa kasih saying.

2). Atas dasar pemuas nafsu dan kebutuhan materi. 3. Aspek Moral

Aspek moral mencangkup anggapan dari seseorang individu terhadap hubungan seks bebas

4. Aspek Sosial

Merupakan aspek yang melihat bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia, bagaimana seseorang menyesuaikan diri dengan tuntutan peran dari lingkungan social, serta bagaimana sosialisasi peran dan fungsi seksualitas dalam kehidupan manusia.

2.2. Pendidikan Seks

2.2.1. Pengertian Pendidikan Seks

Menurut Ajen (2003) Pendidikan seks adalah membimbing dan menjelaskan tentang perubahan fungsi organ seksual sebagai tahapan yang harus dilalui dalam kehidupan manusia dan dapat membantu para remaja laki-laki dan perempuan untuk mengetahui resiko dari sikap seksual mereka dan mengajarkan pengambilan keputusan seksualnya secara dewasa, sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan diri sendiri maupun orangtuanya.


(6)

Pendidikan seksual harus diberikan secara pribadi, karena luas sempitnya pengetahuan dengan cepat lambatnya tahap-tahap perkembangan tidak sama buat setiap anak. Pada akhirnya perlu diperhatikan bahwa usahakan melaksanakan pendidikan seksual perlu diulang-ulang (repetitive) selain itu juga perlu untuk mengetahui seberapa jauh sesuatu pengertian baru dapat diserap oleh anak, juga perlu untuk mengingatkan dan memperkuat (Singgih D. Gunarso, 2002).

Menurut Tukan (1994) mengartikan pendidikan seks adalah manusia menjelaskan dan memberikan informasi tentang seksualitas manusia serta meneguhkan makna atau menafsirkan nilai manusiawi terhadap seksualitas tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa pendidikan seksualitas bertujuan mengartikan pengahayatan kehidupan seksual manusia dan pendidikan seksualitas merupakan proses pembudayaan diri sendiri dalam kehidupan bersama orang lain yang harus di tempatkan dalam konteks keluarga, sekolah dan masyarakat.

Pendidikan seks membantu remaja untuk menumbuhkan sikap-sikap baik, dan norma-norma kelakuan dalam segi-segi seks, diperlukan oleh semua orang dewasa yang berhubungan dengan anak-anak (Kirkendall, 1985).

Pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia yang jelas dan benar meliputi proses terjadinya pembuahan, kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual yang diberikan sepatutnya berkaitan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat(Sarwono, 2007).

Menurut Rahman & Fachrudin (2000) pendidikan seks adalah perlakuan proses sadar dan sistematis yang dilakukan oleh pihak sekolah, keluarga dan masyarakat untuk menyampaikan informasi seksualitas yang mencakup ruang lingkup seperti perkembangan anak laki-laki dan perempuan, kemampuan personal, perilaku seksual, perilaku sosial, kesehatan seksual, peran keluarga, sekolah, masyarakat dan pemerintah serta problema dan tantangan dalam perkembangannya.


(7)

Pendidikan seks membantu remaja untuk menumbuhkan sikap-sikap baik, dan norma-norma kelakuan dalam segi-segi seks, diperlukan oleh semua orang dewasa yang berhubungan dengan anak-anak (Kirkendall, 1985).

Dari beberapa teori pendidikan seks yang telah dijabarkan oleh penulis diatas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan seks adalah membimbing atau menjelaskan tentang fungsi organ seksual baik bagi laki-laki dan perempuan baik dari lingkup sekolah keluarga maupun masyarakat, agar mereka tidak memiliki kesalah pahaman mengenai seks sehingga tidak berakibat pada perilaku yang tidak diinginkan. Dalam penelitian ini teori pendidikan seks yang digunakan oleh penulis yaitu teori dari Rahman dan Fachrudin .

2.2.2. Tujuan Pendidikan Seks

Menurut Kirkendall (1985) Tujuan dari pendidikan seks yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:

1. Membantu anak-anak untuk merasakan bahwa seluruh anggota jasmaninya dan semua tahap-tahap pertumbuhan adalah sesuatu yang disukai dan mempunyai tujuan tertentu. Kendatipun anaka tidak harus memikirkan salah satu anaggota tubuhnya atau fungsi tertentu yang dilaksanakannya, namun tubuhnya atau fungsi tertentu yang dilaksanakannya, namun ia hendakanya dapat berbicara tentang itu seperti halnya dengan anggota tubuh lainya secara terbuka dan tidak malu.

2. Menjadikan si anak mengerti dengan jelas tentang proses berketurunan, karena ia seharusnya tahu bahwa setiap gambaran kehidupan timbul dari kehidupan yang serupa dan berketurunan terjadi dalam bermacam-macam bentuk.

3. Mempersiapkan anak untuk menghadapi perubahan-perubahan yang akan terjadi akibat pertumbuhannya, misalnya si anak harus mengetahui sedikit tentang keluarnya mani waktu tidur.

4. Membantu remaja untuk mengetahui bahwa perbuatan seks harus didasarkn atas penghargaan yang tulus terhadap kepentingan orang lain. 5. Menjadikan anak merasa bangga dengan jenis kelamin yang ia di dalam

kelompok itu.Di samping itu memandang lawan jenis dengan penghargaan terhadap kelebihan dan keistimewaannya.


(8)

6. Menciptakan perasaan bahwa masalah seks adalah satu sisi positif konstruktif dan terhormat dalam kehidupan manusia.

2.2.3. Tahap-Tahap Perkembangan Seks

Tahap perkembangan menurut Sigmund Freud dalam Suryabrata (2011) terbagi 5 fase, yaitu:

1. Tahap pertama (Oral Stage)

Ini adalah tahapa paling awal kegiatan seks manusia yang dimulai sejak lahir hingga tahun pertama kehidupannya. Pada tahap ini seorang bayi akan berusaha memenuhi kebutuhan seksualnya yang terpusat di daerah seputar mulut (oral) dengan melakukan aktivitas menghisap. Cara pemuasan seks semacam ini pada usia dewasa akan ditranformasikan kedalam bentuk menggigit, menjilat, menghisap, dan mencium, dalam ragam aktivitas seks oral yang mengaplikasi bibir, lidah, dan gigi.

2. Tahap kedua (Anal Stage)

Pada tahap ini manusi akan mendapat kesenangan seksual dari daerah sekitar dubur. Biasanya dilakukan melalui aktivitas saat mengeluarkan kotoran. Tahap ini berlangsung sepanjang tahun kedua kehidupan bayi. Pada orang dewasa dorongan mendapatkan kepuasan melalui daerah anal juga biasanya akan ditransformasikan ke dalam bentuk aktivitas seks anal yang lebih kompleks lagi.

3. Tahap ketiga (Phalic Stage)

Pada tahap ini seorang anak sudah dapat mengidentifikasi kelaminya dan mulai dapat merasakan kenikmatan ketika memainkannya. Tahap ini berlangsung antara umur 3 hingga 6 tahun. Pada tahap ini anak telah menunjukkan keingintahuan yang lebih besar terhadap perbedaan yang ada diantara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki menidolakan ayahnya dan berusaha untuk meniru semua prilaku sang ayah, sedangkan anak perempuan berusaha keras untuk meniru ibunya.

4. Tahap keempat (Latency Stage)

Tahap ini juga sering disebut masa atau fase laten karena cenderung untuk menekan seluruh keinginan erotisnya hingga nanti mencapai pada usia pubertas. Pada tahap ini ketertarikan anak pada usia pubertas. Pada tahap ini ketertarikan anak pada seksualitas biasanya akan dikalahkan dengan keinginantahuan yang lebih besar terhadap hal-hal yang bersifat ilmiyah dan sains, tahap ini terjadi ketika anak memasuki usia remaja. Namun demikian ada pula anak yang menunjukkan ketertarikan pada seks, yang ditandai dengan munculnya sktivitas rutin semacam masturbasi ataupun manipulasi genital lainnya (biasanya anak akan memainkan alat vitalnya). 5. Tahap Kelima (Genital Stage)

Masa ini menandai puncak perlembangan dan seksual anak, dimana seluruh kesenagan seksual akan terpusat di daerah genital atau kelamin.


(9)

Maka ini dikenal dengan istilah pubertas yang menandai terjadinya perubahan fisiologi dan hormonal tubuh anak secara revolusioner.

2.2.4. Metode-Metode Pendidikan Seks

Sedangkan menurut Tukan (1994) ada beberapa 3 metode pendidikan seks yaitu:

1. Metode Pengalaman

Pengalaman adalah guru yang paling baik, orang tua tentunya mempunyai banyak pengalaman yang berharga dari perkawinannya tentunya masalah seks, dari itulah orang tua membagikan informasi seks tersebut melalui pengalaman dengan cara penyampaian pengalaman yang pernah dilalui dengan bahasa yang disesuaikan jangan terlalu fulgar.

2. Metode Ilmu

Dalam metode ini masih terbagi dalam tiga metode lagi, yaitu: a. Metode Biologi-Media

Melihat data badan manusia atau mempelajari badan manusia hingga pada alat kelamin manusia, penyakit menular jika terjadi penyalahgunaan seks, dan melihat data tetang bayi yang berada dalam perut.

b. Metode Psikologi

Metode ini memberikan perbedan sifat pria dan wanita, namun dalam hal ini kita tidak hanya sampai pada pemberiaan sifat manusia tetapi pada kesiapan dua individu yang ingin menuju kearah berkeluarga. c. Metode Sosiologi

Dalam metode ini pendidik memberikan informasi seks melalui materi yang mempelajari secara sistematis kehidupan bersama manusia sejauh kehidupan itu dapat ditinjau dan diamati. Dengan kata lain metode ini dalam penyampaian mengenai seks di selipkan dalam mata pelajaran seperti sejarah, ekonomi, ilmu politik, dan psikologi. 3. Metode Etis-Filosofis

Metode ini lebih menekankan kepada peserta didik mengenai gambaran secara jelas tentang seks dari ilmu filsafat yang diberikan oleh pendidik, yaitu dengan menekankan pada kenyataan pada norma moral yang biasanya berlaku apakah dapat diterima oleh masyarakat atau ditolak. 2.2.5.Kapan Pendidikan Seks Perlu Diberikan

Tukan (1994) mengungkapkan pendidikan seks harus dimulai dalam dan dari keluarga serta dimulai dari manusia sendiri.


(10)

Sedangkan menurut Kirkendall (1985) pendidikan seks dimulai sejak kanak-kanak pertama, yang sebagian besarnya tidak lain dari gambaran tentang pendidikan seks yang tidak langsung dan tergantung kepada cara orang tua mendekati anak-anak mereka dan mereka berusaha memenuhi keinginan mereka.

2.2.6.Sumber-Sumber Pendidikan Seks

Sedangkan menurut Ajen (2003) sumber pendidikan seks yang diperoleh oleh remaja yaitu; lingkungan terdekat yaitu keluarga, sekolah dengan diberikan layanan oleh guru pembimbing, oleh masyarakat sekitar, LSM-LSM dan mencari sumber sendiri menonton film, menonton TV, membaca buku tentang seks, dan membuka situs di internet.

2.2.7.Aspek-aspek Pendidikan Seks

Menurut Rahmad dan Fahrudin (2000) mengungkapkan beberapa aspek-aspek pendidikan seks yang perlu diterapkan kepada anak, antara lain :

1. Harapan Orang Tua

Menerapkan pendidikan seks dalam konsep pengenalan seks yang jelas pada anak perlu dan penting, seperti menjelaskan hubungan seks itu apa?, menjelaskan tentang alat kelamin itu apa?, menerapkan kepada anak bahwa baiknya hubungan seks dilakukan setelah menikah, kenapa manusia dapat dilahirkan, perilaku menyimpang kejahatan seks dan membimbing anak pada saat menonton acara televise yang berkategori dewasa.

2. Terintegrasi pendidikan

Seks yang diberikan dalam mata pelajaran : Agama, olah raga, biologi, sosiologi,antropologi dan bimbingan konseling. Pendidikan seks yang diberikan tersebut meliputi informasi seksualitas mencangkup masalah reproduksi, seksualitas/seks(jenis kelamin), menjelaskan hubungan seks itu apa?, menjelaskan tentang alat kelamin itu apa?, proses kelahiran, KB, perilaku menyimpang, kejahatan seks dan juga perlindungan hokum mengenai seks. Pendidikan seks dalam kegiatan OSIS mencangkup dalam program kepitrian dan keputraan (Pramuka), pesantren kilat,kemudian pendidikan seks dalam kegiatan POMG dalam bentuk seminar dan diskusi.


(11)

3. Harapan Masyarakat Sekitar

Pendidikan seks yang diberikan masyarakat, sekitar adalah bagaimana lingkungan masyarakat berdampak positif atau negative dalam pemberian informasi seksualitas, pembentuk perkembangan seksualitas pada anak, kegiatan LSM seperti memberikan informasi seks yang tepat atau tidak?, pengenalan mengenai seksualitas, buku porno, film blue, dampak negative dari itu semua.

2.3.Hubungan Pendidikan seks dengan Perilaku Seks Bebas

Sarwono (2003) mengungkapkan bahwa perilaku seksual remaja dapat dikurangi atau dicegah melalui kedekatan hubungan antara orang tua dan anak, pelaksanaan kehidupan beragama secara aktual sehari-hari dan mengkomunikasikan seks (pendidikan seks) pada remaja. Pendidikan seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks mengandung pengalihan nilai-nilai, seperti peran pria dan wanita dalam pergaulan, peran ayah-ibu dan anak-anak dalam keluarga.

2.4.Penelitian yang relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Wulan (2011), di SMA Negeri 11 Yogyakarta.Dari hasil uji statistik chi square diperoleh hasil p-value 0,027 dengan menggunakan nilai derajat 95 % taraf kebebasan α p-value < 0,05, maka ada hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja kelas X SMA Negeri 11 Yogyakarta.

Juga penelitian yang dilakukan oleh Yohanes (2002), di SMA Negeri 5 Bogor. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) ada hubungan yang signifikan antara pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seks bebas pada remaja.


(12)

2.5. Hipotesis

Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah:“Ada hubungan yang negatif signifikan antara pendidikan seks dengan perilaku seks bebas siswa kelas XI SMK Negeri 1 Wonosegoro”.


(1)

Pendidikan seks membantu remaja untuk menumbuhkan sikap-sikap baik, dan norma-norma kelakuan dalam segi-segi seks, diperlukan oleh semua orang dewasa yang berhubungan dengan anak-anak (Kirkendall, 1985).

Dari beberapa teori pendidikan seks yang telah dijabarkan oleh penulis diatas, penulis menyimpulkan bahwa pendidikan seks adalah membimbing atau menjelaskan tentang fungsi organ seksual baik bagi laki-laki dan perempuan baik dari lingkup sekolah keluarga maupun masyarakat, agar mereka tidak memiliki kesalah pahaman mengenai seks sehingga tidak berakibat pada perilaku yang tidak diinginkan. Dalam penelitian ini teori pendidikan seks yang digunakan oleh penulis yaitu teori dari Rahman dan Fachrudin .

2.2.2. Tujuan Pendidikan Seks

Menurut Kirkendall (1985) Tujuan dari pendidikan seks yang hendak dicapai adalah sebagai berikut:

1. Membantu anak-anak untuk merasakan bahwa seluruh anggota jasmaninya dan semua tahap-tahap pertumbuhan adalah sesuatu yang disukai dan mempunyai tujuan tertentu. Kendatipun anaka tidak harus memikirkan salah satu anaggota tubuhnya atau fungsi tertentu yang dilaksanakannya, namun tubuhnya atau fungsi tertentu yang dilaksanakannya, namun ia hendakanya dapat berbicara tentang itu seperti halnya dengan anggota tubuh lainya secara terbuka dan tidak malu.

2. Menjadikan si anak mengerti dengan jelas tentang proses berketurunan, karena ia seharusnya tahu bahwa setiap gambaran kehidupan timbul dari kehidupan yang serupa dan berketurunan terjadi dalam bermacam-macam bentuk.

3. Mempersiapkan anak untuk menghadapi perubahan-perubahan yang akan terjadi akibat pertumbuhannya, misalnya si anak harus mengetahui sedikit tentang keluarnya mani waktu tidur.

4. Membantu remaja untuk mengetahui bahwa perbuatan seks harus didasarkn atas penghargaan yang tulus terhadap kepentingan orang lain. 5. Menjadikan anak merasa bangga dengan jenis kelamin yang ia di dalam

kelompok itu.Di samping itu memandang lawan jenis dengan penghargaan terhadap kelebihan dan keistimewaannya.


(2)

6. Menciptakan perasaan bahwa masalah seks adalah satu sisi positif konstruktif dan terhormat dalam kehidupan manusia.

2.2.3. Tahap-Tahap Perkembangan Seks

Tahap perkembangan menurut Sigmund Freud dalam Suryabrata (2011) terbagi 5 fase, yaitu:

1. Tahap pertama (Oral Stage)

Ini adalah tahapa paling awal kegiatan seks manusia yang dimulai sejak lahir hingga tahun pertama kehidupannya. Pada tahap ini seorang bayi akan berusaha memenuhi kebutuhan seksualnya yang terpusat di daerah seputar mulut (oral) dengan melakukan aktivitas menghisap. Cara pemuasan seks semacam ini pada usia dewasa akan ditranformasikan kedalam bentuk menggigit, menjilat, menghisap, dan mencium, dalam ragam aktivitas seks oral yang mengaplikasi bibir, lidah, dan gigi.

2. Tahap kedua (Anal Stage)

Pada tahap ini manusi akan mendapat kesenangan seksual dari daerah sekitar dubur. Biasanya dilakukan melalui aktivitas saat mengeluarkan kotoran. Tahap ini berlangsung sepanjang tahun kedua kehidupan bayi. Pada orang dewasa dorongan mendapatkan kepuasan melalui daerah anal juga biasanya akan ditransformasikan ke dalam bentuk aktivitas seks anal yang lebih kompleks lagi.

3. Tahap ketiga (Phalic Stage)

Pada tahap ini seorang anak sudah dapat mengidentifikasi kelaminya dan mulai dapat merasakan kenikmatan ketika memainkannya. Tahap ini berlangsung antara umur 3 hingga 6 tahun. Pada tahap ini anak telah menunjukkan keingintahuan yang lebih besar terhadap perbedaan yang ada diantara anak laki-laki dan perempuan. Anak laki-laki menidolakan ayahnya dan berusaha untuk meniru semua prilaku sang ayah, sedangkan anak perempuan berusaha keras untuk meniru ibunya.

4. Tahap keempat (Latency Stage)

Tahap ini juga sering disebut masa atau fase laten karena cenderung untuk menekan seluruh keinginan erotisnya hingga nanti mencapai pada usia pubertas. Pada tahap ini ketertarikan anak pada usia pubertas. Pada tahap ini ketertarikan anak pada seksualitas biasanya akan dikalahkan dengan keinginantahuan yang lebih besar terhadap hal-hal yang bersifat ilmiyah dan sains, tahap ini terjadi ketika anak memasuki usia remaja. Namun demikian ada pula anak yang menunjukkan ketertarikan pada seks, yang ditandai dengan munculnya sktivitas rutin semacam masturbasi ataupun manipulasi genital lainnya (biasanya anak akan memainkan alat vitalnya). 5. Tahap Kelima (Genital Stage)

Masa ini menandai puncak perlembangan dan seksual anak, dimana seluruh kesenagan seksual akan terpusat di daerah genital atau kelamin.


(3)

Maka ini dikenal dengan istilah pubertas yang menandai terjadinya perubahan fisiologi dan hormonal tubuh anak secara revolusioner.

2.2.4. Metode-Metode Pendidikan Seks

Sedangkan menurut Tukan (1994) ada beberapa 3 metode pendidikan seks yaitu:

1. Metode Pengalaman

Pengalaman adalah guru yang paling baik, orang tua tentunya mempunyai banyak pengalaman yang berharga dari perkawinannya tentunya masalah seks, dari itulah orang tua membagikan informasi seks tersebut melalui pengalaman dengan cara penyampaian pengalaman yang pernah dilalui dengan bahasa yang disesuaikan jangan terlalu fulgar.

2. Metode Ilmu

Dalam metode ini masih terbagi dalam tiga metode lagi, yaitu: a. Metode Biologi-Media

Melihat data badan manusia atau mempelajari badan manusia hingga pada alat kelamin manusia, penyakit menular jika terjadi penyalahgunaan seks, dan melihat data tetang bayi yang berada dalam perut.

b. Metode Psikologi

Metode ini memberikan perbedan sifat pria dan wanita, namun dalam hal ini kita tidak hanya sampai pada pemberiaan sifat manusia tetapi pada kesiapan dua individu yang ingin menuju kearah berkeluarga. c. Metode Sosiologi

Dalam metode ini pendidik memberikan informasi seks melalui materi yang mempelajari secara sistematis kehidupan bersama manusia sejauh kehidupan itu dapat ditinjau dan diamati. Dengan kata lain metode ini dalam penyampaian mengenai seks di selipkan dalam mata pelajaran seperti sejarah, ekonomi, ilmu politik, dan psikologi. 3. Metode Etis-Filosofis

Metode ini lebih menekankan kepada peserta didik mengenai gambaran secara jelas tentang seks dari ilmu filsafat yang diberikan oleh pendidik, yaitu dengan menekankan pada kenyataan pada norma moral yang biasanya berlaku apakah dapat diterima oleh masyarakat atau ditolak. 2.2.5.Kapan Pendidikan Seks Perlu Diberikan

Tukan (1994) mengungkapkan pendidikan seks harus dimulai dalam dan dari keluarga serta dimulai dari manusia sendiri.


(4)

Sedangkan menurut Kirkendall (1985) pendidikan seks dimulai sejak kanak-kanak pertama, yang sebagian besarnya tidak lain dari gambaran tentang pendidikan seks yang tidak langsung dan tergantung kepada cara orang tua mendekati anak-anak mereka dan mereka berusaha memenuhi keinginan mereka.

2.2.6.Sumber-Sumber Pendidikan Seks

Sedangkan menurut Ajen (2003) sumber pendidikan seks yang diperoleh oleh remaja yaitu; lingkungan terdekat yaitu keluarga, sekolah dengan diberikan layanan oleh guru pembimbing, oleh masyarakat sekitar, LSM-LSM dan mencari sumber sendiri menonton film, menonton TV, membaca buku tentang seks, dan membuka situs di internet.

2.2.7.Aspek-aspek Pendidikan Seks

Menurut Rahmad dan Fahrudin (2000) mengungkapkan beberapa aspek-aspek pendidikan seks yang perlu diterapkan kepada anak, antara lain :

1. Harapan Orang Tua

Menerapkan pendidikan seks dalam konsep pengenalan seks yang jelas pada anak perlu dan penting, seperti menjelaskan hubungan seks itu apa?, menjelaskan tentang alat kelamin itu apa?, menerapkan kepada anak bahwa baiknya hubungan seks dilakukan setelah menikah, kenapa manusia dapat dilahirkan, perilaku menyimpang kejahatan seks dan membimbing anak pada saat menonton acara televise yang berkategori dewasa.

2. Terintegrasi pendidikan

Seks yang diberikan dalam mata pelajaran : Agama, olah raga, biologi, sosiologi,antropologi dan bimbingan konseling. Pendidikan seks yang diberikan tersebut meliputi informasi seksualitas mencangkup masalah reproduksi, seksualitas/seks(jenis kelamin), menjelaskan hubungan seks itu apa?, menjelaskan tentang alat kelamin itu apa?, proses kelahiran, KB, perilaku menyimpang, kejahatan seks dan juga perlindungan hokum mengenai seks. Pendidikan seks dalam kegiatan OSIS mencangkup dalam program kepitrian dan keputraan (Pramuka), pesantren kilat,kemudian pendidikan seks dalam kegiatan POMG dalam bentuk seminar dan diskusi.


(5)

3. Harapan Masyarakat Sekitar

Pendidikan seks yang diberikan masyarakat, sekitar adalah bagaimana lingkungan masyarakat berdampak positif atau negative dalam pemberian informasi seksualitas, pembentuk perkembangan seksualitas pada anak, kegiatan LSM seperti memberikan informasi seks yang tepat atau tidak?, pengenalan mengenai seksualitas, buku porno, film blue, dampak negative dari itu semua.

2.3.Hubungan Pendidikan seks dengan Perilaku Seks Bebas

Sarwono (2003) mengungkapkan bahwa perilaku seksual remaja dapat dikurangi atau dicegah melalui kedekatan hubungan antara orang tua dan anak, pelaksanaan kehidupan beragama secara aktual sehari-hari dan mengkomunikasikan seks (pendidikan seks) pada remaja. Pendidikan seks bukanlah penerangan tentang seks semata-mata. Pendidikan seks mengandung pengalihan nilai-nilai, seperti peran pria dan wanita dalam pergaulan, peran ayah-ibu dan anak-anak dalam keluarga.

2.4.Penelitian yang relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Wulan (2011), di SMA Negeri 11 Yogyakarta.Dari hasil uji statistik chi square diperoleh hasil p-value 0,027 dengan

menggunakan nilai derajat 95 % taraf kebebasan α p-value < 0,05, maka ada

hubungan antara pemberian pendidikan seks sejak dini dengan perilaku seksual pada remaja kelas X SMA Negeri 11 Yogyakarta.

Juga penelitian yang dilakukan oleh Yohanes (2002), di SMA Negeri 5 Bogor. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut: (1) ada hubungan yang signifikan antara pendidikan seks dalam keluarga dengan perilaku seks bebas pada remaja.


(6)

2.5. Hipotesis

Hipotesis yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah:“Ada hubungan yang negatif signifikan antara pendidikan seks dengan perilaku seks bebas siswa kelas XI SMK Negeri 1 Wonosegoro”.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Pendidikan Seks dengan Tingkat Perilaku Pacaran Remaja Siswa Kelas XI IPA SMA Negeri 1 Adipala Cilacap

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Pendidikan Seks dengan Perilaku Seks Bebas Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Wonosegoro

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Pendidikan Seks dengan Perilaku Seks Bebas Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Wonosegoro T1 132010105 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Pendidikan Seks dengan Perilaku Seks Bebas Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Wonosegoro T1 132010105 BAB IV

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Pendidikan Seks dengan Perilaku Seks Bebas Siswa Kelas XI SMK Negeri 1 Wonosegoro T1 132010105 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konformitas Negatif dengan Perilaku Seks Bebas Remaja pada Siswa Kelas XI di SMK Kristen Salatiga T1 132009080 BAB I

0 0 7

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konformitas Negatif dengan Perilaku Seks Bebas Remaja pada Siswa Kelas XI di SMK Kristen Salatiga T1 132009080 BAB II

0 0 17

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konformitas Negatif dengan Perilaku Seks Bebas Remaja pada Siswa Kelas XI di SMK Kristen Salatiga T1 132009080 BAB IV

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konformitas Negatif dengan Perilaku Seks Bebas Remaja pada Siswa Kelas XI di SMK Kristen Salatiga T1 132009080 BAB V

0 0 2

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hubungan antara Konformitas Negatif dengan Perilaku Seks Bebas Remaja pada Siswa Kelas XI di SMK Kristen Salatiga

0 0 14