Pendapat Ulama Tentang Mathla’
1. Ikhtilaful Matali‟ Perbedaan Tempat atau Waktu Terbitnya Hilal
Ulama berbeda pendapat dalam memahami term ikhtilaful mathla‟ dan berbeda
pendapat dalam menentukan kriteria jarak jauh dan dekat dalam hal menentukan tempat terbitnya hilal, yaitu:
a. Pendapat pertama, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ikhtilaful matoli‟ ialah
perbedaan dua tempat dengan ukuran jarak perjalanan yang membolehkan mengerjakan shalat qashar, yaitu kira-kira 85 km. Jadi hasil rukyat itu di Jakarta, maka hasil rukyat
tersebut hanya berlaku untuk Jakarta dan daerah-daerah yang berada di dalam jarak 85 km dari Jakarta.
16
b. Pendapat kedua, jauh itu bisa dibedakan berdasarkan perbedaan matla‟, seperti:
Perbandingan jarak antara satu kota di suatu negara dan kota lain di negara lain; sedangkan yang dekat, seperti antara jarak 2 kota dalam satu negara.
c. Pendapat ketiga, jika iklimnya berbeda maka berarti jaraknya jauh, namun jika
iklimnya sama maka jaraknya dekat. d.
Pendapat keempat, ukuran jauh itu di ukur dengan masalah qashar jarak yang boleh meringkas shalat. Jika boleh mengqashar shalat berarti jaraknya jauh, jika tidak boleh
maka jaraknya dekat.
17
e. Menurut pendapat para ulama pengikut madzhab Syafi‟I Syafi‟iyah, dihitung dalam
jarak kurang lebih 24 farsakh berada dalam radius ± 120 km. Adapun penduduk daerah yang jauh lebih dari radius 120 km, maka daerah tersebut tidak wajib
mengikuti keputusan daerah yang di luar dari jarak yang telah ditentukan.
18
16
Rodhi Sholeh, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal, Hal. 78
17
Hasan Muarif dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 L-Z, Hal. 50
18
Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal Dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh
Kaum Muslimin, 1999, hal.3
Adapun kelompok yang mengatakan adanya perbedaan matla‟ ikhtilful mathali‟, sehingga penduduk negeri tidak wajib berpuasa berdasar
ru‟yatul hilal penduduk negeri yang lain, mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan dari Kuraib:
ا ق َا ث
ق :
خ̃اا ق ، خآ :
ثَ ج ا
إ َ
ا ك
: ث
ا ض ا َ َ ،
ا ا ا آ ف َّ آ ، ض ا َ َ ا ، َّ ا
ق ق َّ إ
قف ا ا ك َث َ ا ف َّ ا خٰآ ف
ا ق َث
: آ قف ؟ ا ا آ
َ ا آ قف ص ا ص ، َ ا آ ، قإ ؟ آ قف
ا قف ؟ ص
اآ ، قف ا آ ثاث ِ َ ص ا اف :
آ ا ٰ ،ا َ
ها َص ها .
ف َّش
.
“Diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah, Ibnu Hujrin Yahya bin Yahya berkata: kami mengabatkan dan dia berkata kepada orang-orang yang terakhir:
Hadits dari Ismail Wahwa bin Ja‟far dari Muhammad Wahwa bin Abi Harmalah dari Kuraib:
“Saya datang ke Syam dan masuklah bulan Ramadhan, ketika saya berada disana, maka saya melihat hilal di malam jum‟at. Di akhir bulan saya kmebali ke Madinah. Maka
ibnu Abbas bertanya kepada saya “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Kami melihatnya p
ada malam Jum‟at. “Ibnu Abbas berkata: ”Apakah kamu sendiri yang melihatnya? ”Aku menjawab: “Benar, dan orang-orang lain melihat juga. Karenanya
Mu‟awiyah ada orang-orang disana berpuasa. “Kata Ibnu Abbas: “Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga cukup 30 hari atau
kami melihat bulan sendiri. “Aku berkata: ”Tidaklah Anda mencukupi dengan rukyat Mu‟awiyah dan puasanya? “Ibnu Abbas menjawab: ”Tidak”. Demikianlah kami
diperintahkan Rasulullah.” Yahya bin Yahya ragu-ragu dalam lafazh hadits, cukup bagi kita atau cukup bagi kamu.
19
Tindakan Abdullah bin Abbas tidak mengikuti awal Ramadhan yang ditetapkan pemerintah di Syam, dimana Madinah waktu itu termasuk daerah kekuasaan Syam kemudian
berkata: “Demikian itulah Rasulullah SAW. memerintahkan kepada kita”, maka tindakan
19
„Ashomuddin Al-Shobabathi dkk, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 2005 M1426 H, Juz IV, hal.211
tersebut, menurut ilmu Mustolahul Hadits dimasukkan Hadits juga, sebab ada kata-kata bahwa “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita”. Karena hal tersebut termasuk Hadits
Nabi SAW, maka hal tersebut menjadi perhatian para ulama untuk diikuti. Tetapi kata-kata Abdullah bin Abbas yang berbunyi: “Demikianlah Rasulullah memerintahkan kepada kita.”
Adalah kata-kata yang Mujmal, yakni tidak sepenuhnya jelas, sehingga para ulama berbeda pendapat dalam mentafsirkannya, yakni alasan-alasan apa yang menyebabkan penetapan
hasil rukyat di Syam tidak berlaku bagi orang-orang yang tinggal di Madinah? Pendapat- pendapat para ulama itu antara lain:
a. Karena antara Syam dan Madinah itu berbeda mathla‟nya.
b. Karena antara Syam dan Madinah di waktu itu tidak ada penghubung cepat yang dapat
memberi berita rukyat dalam waktu satu malam, sehingga penetapan rukyat pada malam itu di Syam tidak akan dapat dikerjakan oleh orang-orang Madinah pada pagi harinya.
Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa diantaranya yang menggunakan alasan bahwa antara Syam dan Madinah adalah berbeda matla‟nya adalah Mazhab Syafi‟i.
20
Ulama Syafi‟i memahami hadits Nabi SAW di atas ditujukan kepada penduduk setiap negara, bukan untuk
umat Islam seluruhnya.
21
Adapun Pendapat segolongan kecil ulama. Mereka berpegang kepada Hadits oleh Ahmad, Muslim dan At Turmudzi dari Kuraib, hadits yang dijelaskan di atas. Para ulama dalam
menanggapi hadits Kuraib mempunyai beberapa pendapat. Pendapat-pendapat itu telah
20
Rodhi Sholeh, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal, hal.80
21
Hasan Muarif dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 L-Z, hal.50
dijelaskan satu persatu oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kitab Fathul Bari
22
. Diantara lain adalah:
a. Yang diikhbarkan bagi penduduk suatu negeri hanyalah rukyat mereka sendiri, tak dapat
mereka ikuti rukyat dari negeri lain. Inilah pendapat Ikrimah, Al-Qasim ibn Muhammad, Salim dan Ishaq. Demikianlah pendapat mereka yang berempat ini menurut nukilan ibn
Mundzir.
23
b. Tidak wajib atas penduduk suatu negeri menerima rukyat negeri lain, terkecuali dibenarkan
oleh Khalifah Kepala Negara, karena seluruh daerah yang di bawah kekuasaannya dipandang satu negeri. Demikianlah pendapat Ibn Majisun.
24
c. Jika negeri itu berdekatan satu sama lain, dipandang satu negeri. Jika berjauhan, tidaklah
wajib diikuti rukyat itu oleh negeri-negeri yang lain. Inilah pendapat yang dipilih Abu
ththayib dari kalangan Syafi‟iyah dan Asy Syafi‟i sendiri menurut nukilan Al- Baghawy.
25
2. Ittihadul Mathla‟ Persamaan Waktu Dan Tempat Terbitnya Hilal
22
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, cet.II Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2006, Buku no.2, hal.70
23
Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari: “Bagi tiap-tiap negeri ru‟yah melihat hilal tersendiri. Dalam kitab Shahih Muslim dari hadits Ibnu Abbas
terdapat keterangan yang mendukung pendapat ini. Ibnu Munazdir juga meriwayatkan pendapat tersebut dari Ikrimah, Al-Qasim, Salim dan Ishaq. Sementara Imam At-Tirmizdi menukilnya dari para ahli ilmu dan tidak
menukil pendapat selain itu. Al Mawardi juga meriwayatkannya sebagai salah satu pendapat dalam mazhab
Syafi‟i.” Hal.70
24
Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari: “Ibnu Al Majisyun berkata: Apabila hilal terlihat disuatu negeri, maka puasa hanya diwajibkan begi mereka yang
tinggal di negeri tersebut; kecuali apabila hal itu sampai kepada Imam, lalu sang Imam menetapkan agar orang- orang memulai puasa, sebab negeri itu ditinjau dari kedudukan Imam sama seperti satu negeri dimana
ketetapannya berlaku untuk semua negeri.” Hal.70-71
25
Tengku Muhaamad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Puasa, Edisi Kedua Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1996, cet.I. hal.63 Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab
Shahih Al-Bukhari : “Sebagian ulama mazhab Syafi‟i menyatakan, apabila negeri-negeri itu letaknya saling
berdekatan, maka hukumnya adalah sama. Tapi apabila berjauhan, maka ada dua pendapat; yaitu tidak wajib puasa bagi negeri lain menurut pendapat mayoritas. Akan tetapi, Abu Thayyib dan segolongan ulama
berpen dapat wajib bagi negeri lain untuk berpuasa. Hal ini diriwayatkan oleh Ab Baghawi dari Asy Syafi‟i.”
Hal.71
Ulama berargumentasi ittihadul mathla ‟ yaitu dengan banyak hadits yang
memerintahkan berpuasa karena melihat hilal dan sebab berbuka, dan jika sebab sudah terwujud maka akibat pun akan terwujud, yakni puasa dan berbuka.
̃ ث ح :
ش ث ح :
ق ي ح ث ح
: ه يض ي
: ي
: ي ق
ق ، ي ه ص
: ي ه ص
ق :
، ي طف ي ص
يثاث ف ي ي غ ف
.
“Diriwayatkan oleh Adam, Syub‟ah, Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar Abu Hurairah ra: Dia berkata: Rasulullah saw, atau beliau telah bersabda: Abu Al-Qasim
saw telah berkata: Berpuasalah kalian karena melihatnya hilal dan berbukalah karena melihatnya hilal. Apabila pandangan kalian tersamar terhalang, maka sempurnakanlah
hitungan bulan Sya‟ban menjadi 30 hari”. HR. Bukhari
26
Bila hilal awal bulan Ramadhan telah terlihat dalam suatu negeri, maka menurut pendapat kebanyakan ahli fikih, diantaranya para ahli fiqh dari Hanafiyah, Malikiyah dan
Hanabilah menentukan wajib berpuasa bagi penduduk semua negeri. Karena mereka berpendapat bahwa perbedaan tempat terbitnya matahari atau bulan ikhtilaful math
la‟ tidak menjadi masalah. Berdasarkan hal ini, apabila penduduk suatu negeri melihat
datangnya bulan Ramadhan, maka wajib puasa bagi penduduk semua negeri Islam bersama-sama penduduk negeri yang melihatnya. Oleh karena itu penduduk Mesir, Irak,
Kuwait dan lainnya wajib berpuasa, disebabkan bulan telah terlihat oleh penduduk Suria. Begitu juga sebaliknya.
27
Hal ini berdasarkan pengertian umumnya sabda Nabi saw.
ي طف ي ص
“Berpuasalah kamu ketika melihatnya dan berbukalah kamu ketika melihatnya”. HR. Bukhari
26
Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal.630
27
Staf Redaksi Litera Antar Nusa, Fada‟il Ramadan wa Ahkamihi judul asli, cet.III. Bogor Baru A:
Pustaka Litera Antar Nusa, p.t., 14031983, hal.56-57
Dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa, Ibnu Abidin 1198-1252 H1714-1836 M, ulama fiqih Mazhab Hanafiyah, menyatakan bahwa munculnya hilal pada setiap daerah
dengan waktu yang berbeda-beda tidak dapat di ingkari; apalagi jika daerah itu saling berjauhan. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW
menyatakan: “Jika kamu melihat hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah kamu dan jika kamu melihat hilal bulan syawal, maka berbukalah kamu
”. Hadits itu tidak secara tegas menunjukkan apakah jika suatu penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka kewajiban
memulai ibadah puasa hanya berlaku untuk mereka atau juga berlaku untuk daerah Islam. Disinilah tejadinya perbedaan pendapat para ulama. Namun, apabila suatu negara sekalipun
wilayahnya luas itu dipimpin oleh seorang kepala negara Muslim dan kepala negara itu mengumumkan di mulainya awal Ramadhan berdasarkan penglihatan disuatu daerah, maka
pengumumannya itu wajib diikuti oleh kaum Muslim diseluruh negara itu. Misalnya, daerah Aceh telah melihat hilal secara meyakinkan dan pemerintah mewajibkan memulai awal puasa
berdasarkan penglihatan itu, maka seluruh umat Islam Indonesia wajib melaksanakan puasa pada hari itu. Ketentuan itu disepakati oleh ulama fikih karena dalam kaedah fikih disebutkan,
“Keputusan Hakim Pemerintah menghilangkan segala perbedaan pendapat.
28
Pendapat Ibnu Abidin ini ada sedikit berbeda dengan mazhab Hanafiyah, yakni dalam pelaksanaan shalat Idul Adha. Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Kitab Raddul
Mukhtar juz II halaman 393 sebagai berikut:
ي آ ظ ش
ي اف يف ط فا خ ح
يف ا ﻔي آ ح يغ يحضأ قح يف
ي ي ق خآ يف
. أ
ي ق ط
ص يف ي ط فا خ
ط يحضا فا
. ف
28
“Mathla‟.” Dalam Hasan Muarif Ambary, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999: hal.49
ش ي يف يحضأ
ف ق ي
ص ق ش ث ي ي
.
Dari uraian Ibnu Abidin diatas dapat dipahami bahwa masalah pelaksanaan shalat Idul Adha tidak sama dengan masalah penetapan awal Ramadhan dan SyawalIdul Fitri yang
menurut Jumhur tidak dikenal adanya sistem mathla ‟. Sebab dalam penetapan awal bulan
awal Ramadhan dan SyawalIdul Fitri masalahnya adalah puasa, sedangkan disini bulan DzulhijjahIdul Adha masalahnya adalah soal shalat dan qurban. Jadi dalam hal ini kembali
kepada mathla ‟ masing-masing, sebagaimana waktu shalat maktubah dimana masing-masing
negeri berlaku waktu setempat.
29
Ulama Hanafiyah yang dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam mengartikan Al- Qur‟an surat
Al- Baqarah ayat 185, “Jika kamu telah melihat bulan, maka hendaklah kamu berpuasa...”.
juga tidak ditujukan kepada penduduk tertentu, tetapi berlaku umum untuk seluruh umat Islam dimanapun mereka berada. Dengan demikia
n perbedaan matla‟ bagi Mazhab Hanafiyah tidak ada pengaruhnya dalam menentukan awal Ramadhan, awal Syawal dan hari Wukuf di Arafah.
Menurut ulama Mazhab Hanafiyah, apabila suatu negeri telah melihat hilal dalam menentukan awal bulan Ramadhan, awal Syawal maka daerah lain wajib mengikuti daerah
yang telah melihat itu. Alasan mereka adalah karena hadits Rasulullah SAW yang dikemukakan di atas tidak membedakan satu daerah dengan daerah yang lainnya.
30
Dari penjelasan di atas menjelaskan bahwa ketiga mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah sepakat bahwa tidak ada perbedaan
mathla‟ dalam penentuan awal dan akhir
29
Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggraan Haji Direktorat Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab Rukyat, hal 34
30
“Mathla‟.” Dalam Hasan Muarif Ambary, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, hal.49
Ramadhan dan pelaksanaan Idul Adha. Namun Ibnu Abidin ulama fiqih Mazhab Hanafiyah berbeda dalam masalah pelaksanaan Idul Adha.