Pendapat Ulama Tentang Mathla’

1. Ikhtilaful Matali‟ Perbedaan Tempat atau Waktu Terbitnya Hilal Ulama berbeda pendapat dalam memahami term ikhtilaful mathla‟ dan berbeda pendapat dalam menentukan kriteria jarak jauh dan dekat dalam hal menentukan tempat terbitnya hilal, yaitu: a. Pendapat pertama, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ikhtilaful matoli‟ ialah perbedaan dua tempat dengan ukuran jarak perjalanan yang membolehkan mengerjakan shalat qashar, yaitu kira-kira 85 km. Jadi hasil rukyat itu di Jakarta, maka hasil rukyat tersebut hanya berlaku untuk Jakarta dan daerah-daerah yang berada di dalam jarak 85 km dari Jakarta. 16 b. Pendapat kedua, jauh itu bisa dibedakan berdasarkan perbedaan matla‟, seperti: Perbandingan jarak antara satu kota di suatu negara dan kota lain di negara lain; sedangkan yang dekat, seperti antara jarak 2 kota dalam satu negara. c. Pendapat ketiga, jika iklimnya berbeda maka berarti jaraknya jauh, namun jika iklimnya sama maka jaraknya dekat. d. Pendapat keempat, ukuran jauh itu di ukur dengan masalah qashar jarak yang boleh meringkas shalat. Jika boleh mengqashar shalat berarti jaraknya jauh, jika tidak boleh maka jaraknya dekat. 17 e. Menurut pendapat para ulama pengikut madzhab Syafi‟I Syafi‟iyah, dihitung dalam jarak kurang lebih 24 farsakh berada dalam radius ± 120 km. Adapun penduduk daerah yang jauh lebih dari radius 120 km, maka daerah tersebut tidak wajib mengikuti keputusan daerah yang di luar dari jarak yang telah ditentukan. 18 16 Rodhi Sholeh, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal, Hal. 78 17 Hasan Muarif dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 L-Z, Hal. 50 18 Nasyrah Hizbut Tahrir, Kesatuan Awal Dan Akhir Ramadhan Merupakan Kewajiban Syar‟iy Bagi Seluruh Kaum Muslimin, 1999, hal.3 Adapun kelompok yang mengatakan adanya perbedaan matla‟ ikhtilful mathali‟, sehingga penduduk negeri tidak wajib berpuasa berdasar ru‟yatul hilal penduduk negeri yang lain, mereka berargumentasi dengan hadits yang diriwayatkan dari Kuraib: ا ق َا ث ق : خ̃اا ق ، خآ : ثَ ج ا إ َ ا ك : ث ا ض ا َ َ ، ا ا ا آ ف َّ آ ، ض ا َ َ ا ، َّ ا ق ق َّ إ قف ا ا ك َث َ ا ف َّ ا خٰآ ف ا ق َث : آ قف ؟ ا ا آ َ ا آ قف ص ا ص ، َ ا آ ، قإ ؟ آ قف ا قف ؟ ص اآ ، قف ا آ ثاث ِ َ ص ا اف : آ ا ٰ ،ا َ ها َص ها . ف َّش . “Diriwayatkan oleh Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub, Qutaibah, Ibnu Hujrin Yahya bin Yahya berkata: kami mengabatkan dan dia berkata kepada orang-orang yang terakhir: Hadits dari Ismail Wahwa bin Ja‟far dari Muhammad Wahwa bin Abi Harmalah dari Kuraib: “Saya datang ke Syam dan masuklah bulan Ramadhan, ketika saya berada disana, maka saya melihat hilal di malam jum‟at. Di akhir bulan saya kmebali ke Madinah. Maka ibnu Abbas bertanya kepada saya “Kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “Kami melihatnya p ada malam Jum‟at. “Ibnu Abbas berkata: ”Apakah kamu sendiri yang melihatnya? ”Aku menjawab: “Benar, dan orang-orang lain melihat juga. Karenanya Mu‟awiyah ada orang-orang disana berpuasa. “Kata Ibnu Abbas: “Akan tetapi kami melihatnya malam Sabtu, karenanya kami akan terus berpuasa hingga cukup 30 hari atau kami melihat bulan sendiri. “Aku berkata: ”Tidaklah Anda mencukupi dengan rukyat Mu‟awiyah dan puasanya? “Ibnu Abbas menjawab: ”Tidak”. Demikianlah kami diperintahkan Rasulullah.” Yahya bin Yahya ragu-ragu dalam lafazh hadits, cukup bagi kita atau cukup bagi kamu. 19 Tindakan Abdullah bin Abbas tidak mengikuti awal Ramadhan yang ditetapkan pemerintah di Syam, dimana Madinah waktu itu termasuk daerah kekuasaan Syam kemudian berkata: “Demikian itulah Rasulullah SAW. memerintahkan kepada kita”, maka tindakan 19 „Ashomuddin Al-Shobabathi dkk, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 2005 M1426 H, Juz IV, hal.211 tersebut, menurut ilmu Mustolahul Hadits dimasukkan Hadits juga, sebab ada kata-kata bahwa “Rasulullah SAW memerintahkan kepada kita”. Karena hal tersebut termasuk Hadits Nabi SAW, maka hal tersebut menjadi perhatian para ulama untuk diikuti. Tetapi kata-kata Abdullah bin Abbas yang berbunyi: “Demikianlah Rasulullah memerintahkan kepada kita.” Adalah kata-kata yang Mujmal, yakni tidak sepenuhnya jelas, sehingga para ulama berbeda pendapat dalam mentafsirkannya, yakni alasan-alasan apa yang menyebabkan penetapan hasil rukyat di Syam tidak berlaku bagi orang-orang yang tinggal di Madinah? Pendapat- pendapat para ulama itu antara lain: a. Karena antara Syam dan Madinah itu berbeda mathla‟nya. b. Karena antara Syam dan Madinah di waktu itu tidak ada penghubung cepat yang dapat memberi berita rukyat dalam waktu satu malam, sehingga penetapan rukyat pada malam itu di Syam tidak akan dapat dikerjakan oleh orang-orang Madinah pada pagi harinya. Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwa diantaranya yang menggunakan alasan bahwa antara Syam dan Madinah adalah berbeda matla‟nya adalah Mazhab Syafi‟i. 20 Ulama Syafi‟i memahami hadits Nabi SAW di atas ditujukan kepada penduduk setiap negara, bukan untuk umat Islam seluruhnya. 21 Adapun Pendapat segolongan kecil ulama. Mereka berpegang kepada Hadits oleh Ahmad, Muslim dan At Turmudzi dari Kuraib, hadits yang dijelaskan di atas. Para ulama dalam menanggapi hadits Kuraib mempunyai beberapa pendapat. Pendapat-pendapat itu telah 20 Rodhi Sholeh, Rukyat Hilal tentang Penetapan Awal Ramadhan Dan Syawal, hal.80 21 Hasan Muarif dkk, Suplemen Ensiklopedi Islam 2 L-Z, hal.50 dijelaskan satu persatu oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kitab Fathul Bari 22 . Diantara lain adalah: a. Yang diikhbarkan bagi penduduk suatu negeri hanyalah rukyat mereka sendiri, tak dapat mereka ikuti rukyat dari negeri lain. Inilah pendapat Ikrimah, Al-Qasim ibn Muhammad, Salim dan Ishaq. Demikianlah pendapat mereka yang berempat ini menurut nukilan ibn Mundzir. 23 b. Tidak wajib atas penduduk suatu negeri menerima rukyat negeri lain, terkecuali dibenarkan oleh Khalifah Kepala Negara, karena seluruh daerah yang di bawah kekuasaannya dipandang satu negeri. Demikianlah pendapat Ibn Majisun. 24 c. Jika negeri itu berdekatan satu sama lain, dipandang satu negeri. Jika berjauhan, tidaklah wajib diikuti rukyat itu oleh negeri-negeri yang lain. Inilah pendapat yang dipilih Abu ththayib dari kalangan Syafi‟iyah dan Asy Syafi‟i sendiri menurut nukilan Al- Baghawy. 25 2. Ittihadul Mathla‟ Persamaan Waktu Dan Tempat Terbitnya Hilal 22 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari, cet.II Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2006, Buku no.2, hal.70 23 Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari: “Bagi tiap-tiap negeri ru‟yah melihat hilal tersendiri. Dalam kitab Shahih Muslim dari hadits Ibnu Abbas terdapat keterangan yang mendukung pendapat ini. Ibnu Munazdir juga meriwayatkan pendapat tersebut dari Ikrimah, Al-Qasim, Salim dan Ishaq. Sementara Imam At-Tirmizdi menukilnya dari para ahli ilmu dan tidak menukil pendapat selain itu. Al Mawardi juga meriwayatkannya sebagai salah satu pendapat dalam mazhab Syafi‟i.” Hal.70 24 Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari: “Ibnu Al Majisyun berkata: Apabila hilal terlihat disuatu negeri, maka puasa hanya diwajibkan begi mereka yang tinggal di negeri tersebut; kecuali apabila hal itu sampai kepada Imam, lalu sang Imam menetapkan agar orang- orang memulai puasa, sebab negeri itu ditinjau dari kedudukan Imam sama seperti satu negeri dimana ketetapannya berlaku untuk semua negeri.” Hal.70-71 25 Tengku Muhaamad Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Puasa, Edisi Kedua Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1996, cet.I. hal.63 Lihat juga Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari : “Sebagian ulama mazhab Syafi‟i menyatakan, apabila negeri-negeri itu letaknya saling berdekatan, maka hukumnya adalah sama. Tapi apabila berjauhan, maka ada dua pendapat; yaitu tidak wajib puasa bagi negeri lain menurut pendapat mayoritas. Akan tetapi, Abu Thayyib dan segolongan ulama berpen dapat wajib bagi negeri lain untuk berpuasa. Hal ini diriwayatkan oleh Ab Baghawi dari Asy Syafi‟i.” Hal.71 Ulama berargumentasi ittihadul mathla ‟ yaitu dengan banyak hadits yang memerintahkan berpuasa karena melihat hilal dan sebab berbuka, dan jika sebab sudah terwujud maka akibat pun akan terwujud, yakni puasa dan berbuka. ̃ ث ح : ش ث ح : ق ي ح ث ح : ه يض ي : ي : ي ق ق ، ي ه ص : ي ه ص ق : ، ي طف ي ص يثاث ف ي ي غ ف . “Diriwayatkan oleh Adam, Syub‟ah, Muhammad bin Ziyad berkata: Saya mendengar Abu Hurairah ra: Dia berkata: Rasulullah saw, atau beliau telah bersabda: Abu Al-Qasim saw telah berkata: Berpuasalah kalian karena melihatnya hilal dan berbukalah karena melihatnya hilal. Apabila pandangan kalian tersamar terhalang, maka sempurnakanlah hitungan bulan Sya‟ban menjadi 30 hari”. HR. Bukhari 26 Bila hilal awal bulan Ramadhan telah terlihat dalam suatu negeri, maka menurut pendapat kebanyakan ahli fikih, diantaranya para ahli fiqh dari Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah menentukan wajib berpuasa bagi penduduk semua negeri. Karena mereka berpendapat bahwa perbedaan tempat terbitnya matahari atau bulan ikhtilaful math la‟ tidak menjadi masalah. Berdasarkan hal ini, apabila penduduk suatu negeri melihat datangnya bulan Ramadhan, maka wajib puasa bagi penduduk semua negeri Islam bersama-sama penduduk negeri yang melihatnya. Oleh karena itu penduduk Mesir, Irak, Kuwait dan lainnya wajib berpuasa, disebabkan bulan telah terlihat oleh penduduk Suria. Begitu juga sebaliknya. 27 Hal ini berdasarkan pengertian umumnya sabda Nabi saw. ي طف ي ص “Berpuasalah kamu ketika melihatnya dan berbukalah kamu ketika melihatnya”. HR. Bukhari 26 Abi Al Hasan Nurdin Muhammad bin Abdu, Kitab Shahih Al Bukhariy, hal.630 27 Staf Redaksi Litera Antar Nusa, Fada‟il Ramadan wa Ahkamihi judul asli, cet.III. Bogor Baru A: Pustaka Litera Antar Nusa, p.t., 14031983, hal.56-57 Dalam Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa, Ibnu Abidin 1198-1252 H1714-1836 M, ulama fiqih Mazhab Hanafiyah, menyatakan bahwa munculnya hilal pada setiap daerah dengan waktu yang berbeda-beda tidak dapat di ingkari; apalagi jika daerah itu saling berjauhan. Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW menyatakan: “Jika kamu melihat hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah kamu dan jika kamu melihat hilal bulan syawal, maka berbukalah kamu ”. Hadits itu tidak secara tegas menunjukkan apakah jika suatu penduduk suatu negeri telah melihat hilal, maka kewajiban memulai ibadah puasa hanya berlaku untuk mereka atau juga berlaku untuk daerah Islam. Disinilah tejadinya perbedaan pendapat para ulama. Namun, apabila suatu negara sekalipun wilayahnya luas itu dipimpin oleh seorang kepala negara Muslim dan kepala negara itu mengumumkan di mulainya awal Ramadhan berdasarkan penglihatan disuatu daerah, maka pengumumannya itu wajib diikuti oleh kaum Muslim diseluruh negara itu. Misalnya, daerah Aceh telah melihat hilal secara meyakinkan dan pemerintah mewajibkan memulai awal puasa berdasarkan penglihatan itu, maka seluruh umat Islam Indonesia wajib melaksanakan puasa pada hari itu. Ketentuan itu disepakati oleh ulama fikih karena dalam kaedah fikih disebutkan, “Keputusan Hakim Pemerintah menghilangkan segala perbedaan pendapat. 28 Pendapat Ibnu Abidin ini ada sedikit berbeda dengan mazhab Hanafiyah, yakni dalam pelaksanaan shalat Idul Adha. Sebagaimana yang telah dicantumkan dalam Kitab Raddul Mukhtar juz II halaman 393 sebagai berikut: ي آ ظ ش ي اف يف ط فا خ ح يف ا ﻔي آ ح يغ يحضأ قح يف ي ي ق خآ يف . أ ي ق ط ص يف ي ط فا خ ط يحضا فا . ف 28 “Mathla‟.” Dalam Hasan Muarif Ambary, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999: hal.49 ش ي يف يحضأ ف ق ي ص ق ش ث ي ي . Dari uraian Ibnu Abidin diatas dapat dipahami bahwa masalah pelaksanaan shalat Idul Adha tidak sama dengan masalah penetapan awal Ramadhan dan SyawalIdul Fitri yang menurut Jumhur tidak dikenal adanya sistem mathla ‟. Sebab dalam penetapan awal bulan awal Ramadhan dan SyawalIdul Fitri masalahnya adalah puasa, sedangkan disini bulan DzulhijjahIdul Adha masalahnya adalah soal shalat dan qurban. Jadi dalam hal ini kembali kepada mathla ‟ masing-masing, sebagaimana waktu shalat maktubah dimana masing-masing negeri berlaku waktu setempat. 29 Ulama Hanafiyah yang dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam mengartikan Al- Qur‟an surat Al- Baqarah ayat 185, “Jika kamu telah melihat bulan, maka hendaklah kamu berpuasa...”. juga tidak ditujukan kepada penduduk tertentu, tetapi berlaku umum untuk seluruh umat Islam dimanapun mereka berada. Dengan demikia n perbedaan matla‟ bagi Mazhab Hanafiyah tidak ada pengaruhnya dalam menentukan awal Ramadhan, awal Syawal dan hari Wukuf di Arafah. Menurut ulama Mazhab Hanafiyah, apabila suatu negeri telah melihat hilal dalam menentukan awal bulan Ramadhan, awal Syawal maka daerah lain wajib mengikuti daerah yang telah melihat itu. Alasan mereka adalah karena hadits Rasulullah SAW yang dikemukakan di atas tidak membedakan satu daerah dengan daerah yang lainnya. 30 Dari penjelasan di atas menjelaskan bahwa ketiga mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah sepakat bahwa tidak ada perbedaan mathla‟ dalam penentuan awal dan akhir 29 Direktorat Jenderal Bimas dan Penyelenggraan Haji Direktorat Peradilan Agama, Selayang Pandang Hisab Rukyat, hal 34 30 “Mathla‟.” Dalam Hasan Muarif Ambary, dkk, ed., Suplemen Ensiklopedi Islam, hal.49 Ramadhan dan pelaksanaan Idul Adha. Namun Ibnu Abidin ulama fiqih Mazhab Hanafiyah berbeda dalam masalah pelaksanaan Idul Adha.

C. Mathla’ dalam Penentuan Waktu Ibadah

Ada beberapa teks nash baik yang berasal dari Al- Qur‟an maupun Hadits Nabi Muhammad SAW yang menjelaskan tentang waktu-waktu sholat. Bila dalam Al- Qur‟an penetapan waktu sholat yang lima waktu itu disebutkan secara implisit maka di dalam hadits Nabi saw penetapannya disebutkan secara eksplisit. 31 Adapun beberapa teks nash itu sebagai berikut: ق ي ٰ ص “Sesungguhnya sholat itu adalah fadhu yang ditentukan waktunya atau orang-orang yang beriman.” QS. An-Nisa, 4: 103 ٰ ض ف ط ح ف ي ء ۖ غ ق ش ط ق ح ح “…Dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu, sebelum terbit matahari, dan sebelum terbenamnya, dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu dimalam hari, dan pada waktu-waktu d isiang hari, s upaya kamu merasa tenang.” QS. Thaha, 20: 130 ش ﻔ ء ق ۖ ﻔ ء ق ي ق غ ٰ ش ٰ ص ق ”Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikanlah pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” QS. Al- Isra‟17: 78 ٰ ح ف ي “Dan bertasbihlah kepadaNya pada beberapa saat dimalam hari dan terbenam bintang- bintang di waktu fajar .” QS. Ath-Thuur, 52: 49 Dalam tafsir Al-Mishbah, kata li dûlûk terambil dari kata dalaka yang bila dikaitkan dengan matahari, seperti bunyi ayat ini, maka ia berarti tenggelam, atau menguning, atau tergelincir dari tengahnya. Ketiga kata itu ditampung oleh kata tersebut, dan dengan demikian ia mengisyaratkan secara jelas dua kewajiban sholat, yaitu Zuhur dan Maghrib, dan secara tersirat ia mengisyaratkan juga tentang sholat Ashar, karena waktu Ashar bermula 31 Maskufa, Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, Jakarta: Fakultas Syariah Dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 1428 H2007 M, hal.29 begitu matahari menguning. Ini dikuatkan lagi dengan redaksi ayat diatas yang menghinggakan perintah pelaksaann sholat sampai ي ق غghasaq al-lail, yakni kegelapan malam. Demikian tulis Al-Biq ậ‟i. Ulama Syiah kenamaan, Thâbâthâbâ‟I, berpendapat bahwa kalimat ي ق غ ش mengandung empat kewajiban sholat, yakni ketiga yang disebut al- Biqa‟I dan sholat Isya‟ yang ditunjuk oleh ghasaq al-lail. Kata ق غ ghasaq pada mulanya berarti penuh. Malam dinamai ghasaq al-lail karena angkasa dipenuhi oleh kegelapan. 32 Waktu shalat ini dijelaskan juga dalam hadits Rasulullah SAW. ها ض ها ا ها ص َ ها َ ق ׃ ا ا ا ا ق ص ا ض ﻄ ا ّ ا ، ّ ا ص ص ا ق ، ا ص ق ّا ﻐ ﻐ ا ، ّ ا ا ص ا ق ء ﻄ ﻷا ا ﻒ ص ا ، ﻄ ص ا ا ص ق ّ ا ﻄ ا ﻄ ش ق ﻄ َإف اَص ا ّ ف َّ ا ط ا إف ، . ا “Dari Abdullah bin Amru R.A, bahwasannya Rasulullah SAW. Bersabda, “Waktu zhuhur apabila tergelincir matahari, sampai bayang-bayang seseorang sama dengan tingginya, yaitu selama belum dating waktu Ashar. Dan waktu Ashar selama matahari belum menguning. Dan waktu shalat Maghrib selama syafaq belum terbenam mega merah. Dan waktu shalat Isya sampai tengah malam yang pertengahan. Dan waktu subuh mulai fajar menyingsing sampai selama matahari belum terbit. Maka jika matahari telah terbit, janganlah kamu melakukan shalat, karena matahari terbit di antara dua tanduk syetan .” HR. Muslim 33 Bila diperhatikan dari landasan normative di atas maka awal waktu shalat senantiasa didasarkan pada perjalanan matahari harian sebagai akibat dari adanya rotasi bumi dari Barat ke Timur. Oleh karena itu waktu sholat relative terhadap peredaran semu matahari. 32 M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Misbah ”pesan, Kesan dan Kesaksian Al-Qur‟an”, cet.VIII. Jakarta: Lentera Hati, 2007, hal.533-534 33 Muhammad Nashirudin Al Albani, Ringkasan Shahih Muslim Buku I, Jakarta Selatan: Pustaka Azzam, 2003, cet.I, hal. 170 Waktu shalat dari hari ke hari, dan antara tempat satu dan lainnya bervariasi. Waktu shalat sangat berkaitan dengan peristiwa peredaran semu matahari relative terhadap bumi. Pada dasarnya, untuk menentukan waktu shalat, diperlukan letak geografis, waktu tanggal, dan ketinggian. Letak geografis suatu tempat bisa dicari dengan atlas atau GPS Global Posisioning Sistem, waktu dan tanggal adalah tanggal tertentu yang akan kita tentukan waktu shalatnya dan ketinggian adalah data tinggi matahari pada waktu shalat yang akan ditentukan. 34 ا َصف َّ ا ا ا إ “ Jika matahari telah tergelincir, maka shalatlah kalian .” HR. at-Thabrani Praktik shalat tergantung pada waktu, dan dengan cara apapun agar waktu shalat itu bisa dibuktikan, maka shalat pun bisa dilakukan dengan cara tersebut. Jika melihat matahari untuk melihat waktu zawal tergelincirnya matahari, atau melihat bayangan agar bisa melihat bayangan benda, apakah sama atau melebihinya, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits- hadits tentang waktu shalat; jika melakukannya, dan bisa membuktikan waktu tersebut, maka shalat pun sah. Jika tidak melakukannya, tetapi cukup dengan menghitungnya dengan perhitungan astronomi, kemudian tahu bahwa waktu zawal itu jatuh jam ini, kemudian melihat jam, tanpa harus keluar untuk melihat matahari atau bayangan, maka shalat pun sah. Dengan kata lain, waktu tersebut bisa dibuktikan dengan cara apapun. Karena Allah SWT telah memerintahkan untuk melakukan shalat ketika waktunya masuk, dan menyerahkan untuk melakukan pembuktian masuknya waktu tersebut tanpa memberikan ketentuan detail, tentang bagaimana cara membuktikannya. 35 Adapun kaitan mathla‟ dengan waktu shalat, yaitu: 34 Maskufa, Cara Mudah Belajar Ilmu Falak, hal.97 35 Denny Asseifff, “Penentuan Awal-Akhir Ramadhan”, artikel diakses pada 27 Juli 2010 dari file:C:Documents and SettingsMicrosoftDesktopMATLApenentuan-awal-akhir-ramadhan.html